Anda di halaman 1dari 15

Disorder of Sex Development pada Bayi 3 Minggu

Cicilia Sinaga - 102016170


Mahasiswa Fakultas Kedokteran Ukrida

Fakultas kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510

E-mail: ciciliaputriks@gmail.com

Abstrak

Disorder of sexual development (DSD) atau kelainan perkembangan kelamin terdiri atas
beberapa kelainan kongenital yang disebabkan oleh kromosom, gonadal, dan
perkembangan anatomi alat kelamin yang tidak normal. Penegakan diagnosis sedini
mungkin setelah lahir penting untuk dilakukan, karena alasan psikologis dan sosial, serta
bahaya yang timbul jika gagal mengenali seperti, hyperplasia adrenal kongential (CAH) .
Dalam hal ini konseling genetic berperan penting untuk membantu mengambil keputusan.

Kata kunci : DSD, CAH, konseling genetik

Abstract

Disorders of sexual development (DSD) consists of a number of congenital abnormalities


caused by chromosomes, gonadals, and abnormal anatomical genital development. There
are several types of DSD based on their etiology. Establishing a diagnosis as early as
possible after birth is important to do, due to psychological and social reasons, and the
dangers that arise if it fails to recognize such as congenital adrenal hyperplasia (CAH). In
this case genetic counseling plays an important role to help make decisions

Keywords : DSD, CAH, genetic counseling

1
Pendahuluan

Kelahiran anak dengan jenis kelamin yang tidak jelas merupakan suatu
kasus kedaruratan pediatric dan keadaan social emergency, bukan saja karena
alasan medis namun karena implikasi social akibat kerancuan kelamin pada anak
tersebut. Kelainan ini dulu dikenal dengan istilah sex ambiguous yang merupakan
istilah lama yang dipakai untuk penderita dengan alat kelamin tidak jelas. 1

Saat ini digunakan terminology baru yaitu Disorders of sex development


(DSD) yang didefinisikan sebagai suatu keadaan perkembangan organ kelamin
laki-laki atau perempuan yang berbeda dari normalnya. Kondisi ini dapat terjadi
akibat kelainan dalam proses perkembangan kromosom seks gonad atau anatomi
organ kelamin. Gangguan dalam proses pembentukan organ kelamin ini
menyebabkan ketidaksempurnaan bentuk maupun fungsi organ kelamin.1

Anamnesis

Pada penderita DSD penting ditanyakan riwayat keluarga tentang


adanya kematian perinatal atau neonatal, infertilitas, kosanguinitas atau riwayat
kesulitan penentuan jenis kelamin saat lahir. Perlu pula ditanyakan adanya
anggota keluarga dengan anomali genital dan hernia inguinalis dengan gonad
prolaps. Pola herediter berbagai kelainan interseks perlu dipikirkan dalam
diagnosis banding.2 Riwayat kehamilan terutama trimester pertama perlu
ditanyakan. Tumor yang menghasilkan androgen pada ibu dapat menimbulkan
fetus wanita yang mengalami virilisasi. Tanyakan pula adakah gangguan
endokrin pada ibu selama kehamilan, derajat maturitas/prematuritas umur
kehamilan dan penggunaan progesteron, androgen dan alkohol pada ibu hamil.3
Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dimulai dari melihat keadaan umum pasien meliputi


kesadaran dan tanda-tanda vital, pemeriksaan lokalisasi (inspeksi/palpasi) yaitu
dengan mencari kemungkinan adanya sindrom/malformasi tertentu. Secara umum
harus dilihat adanya dismorfik, bila ada maka merupakan petunjuk manifestasi

2
suatu sindrom, juga leher pendek dan lebar, puting susu berjarak jauh, dll.4,5
Genitalia eksterna diperiksa secara teliti untuk menunjukkan derajat virilisasi.
Ukuran penis diukur panjang penis teregang dan diameternya, ada tidaknya korda
penis, lemak prepubis yang berlebihan seringkali menutupi ukuran penis yang
sesungguhnya.5

Kecurigaan mengarah ke DSD jika ditemukan gambaran klinis dan ditemukan


keadaan-keadaan dibawah ini pada pemeriksaan fisik pada periode neonatal.4

1. Tampak seperti laki-laki

 Testis bilateral tidak teraba pada bayi cukup bulan


 Hipospadia berhubungan dengan pelepasan sakus skrotum
 Undescended testis dengan hipospadia* mikropenis

2. Indeterminate

 Ambiguous genitalia misalnya ekstrofi kloakal

3. Tampak seperti wanita

 Hipertrofi klitoris
 Foreshortened vulva dengan satu lubang* hernia inguinal berisi gonad

4. riwayat keluarga dengan DSD seperti CAIS

5. ketidaksesuaian antara penampilan genital dengan karyotype

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah melakukan pemeriksaan analisa


kromosom dengan cara yang konvensional atau menggunakan teknik fluorescence
in-situ hybridization (FISH) dengan tujuan untuk melakukan analisis keberadaan
kromosom X dan Y. Pemeriksaan ultrasonografi abdomen dan pelvis, dibutuhkan
untuk melihat genitalia interna pada laki-laki yakni vasa diferens, vesikula
seminalis, dan epididimus, sedangkan genitalia interna pada perempuan adalah tuba

3
falopi, uters, dan sepertiga bagian atas vagina. USG juga dapat digunakan untuk
melihat Congenital Adrenal Hyperplasia.2,5

Selain itu, pemeriksaan dengan uji hCG bertujuan untuk menguji fungsi dari
jaringan testis, namun protokol pemeriksaan dosis, frekuensi dan kapan saat yang
tepat dimulai pemeriksan masih diperdebatkan. Protokol yang sering digunakan
yaitu, dengan menggunakan hCG 1500 unit selama 3 hari dan sampel pasca injeksi
diambil setelah 24 jam dari suntikan terakhir, serta saat yang tepat dilakukan adalah
setelah melewati masa neonatus (usia lebih dari 4 minggu karena terkait dengan
peningkatan aktivitas sel Leydig).6 Uji Simulasi adrenocorticotropic hormone
(ACTH) bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya defek di kelenjar gonad. Selain
itu untuk memastikan adanya kelainan pada kelenjar adrenal pemeriksaan analisis
steroid pada urin juga dapat dilakukan.6

Diagnosis Kerja

Segala gangguan perkembangan seks dimulai dari tingkat kromosom, gonad


maupun anatomi disebut disorders of sex development (DSD). Dahulu gangguan ini
disebut sebagai kelamin ganda, interseks, genitalia ambiguous atau
pseudohermafrodit. Namun istilah ini sudah dianjurkan untuk tidak digunakan lagi
dan digantikan dengan istilah DSD, karena istilah-istilah tersebut sering
menimbulkan masalah sosial pada pasien. Pada bayi yang menderita perkembangan
ambiseksual, penegakan diagnosis sedini mungkin setelah lahir penting untuk
dilakukan, tidak hanya karena alasan psikologis dan sosial, tetapi juga karena
bahaya yang akan timbul jika gagal mengenali hyperplasia adrenal kongential yang
disertai dengan bentuk pemborosan garam (natrium).5
Diagnosis Banding

Tetragametic chimerism

Tetragametic chimerism adalah suatu bentuk chimerism bawaan. Kondisi


ini dapat terjadi melalui pembuahan dua ovum yang terpisah oleh dua sperma,
diikuti dengan fusi kedua embrio pada tahap blastokist atau zigot. Hal ini

4
menyebabkan perkembangan organisme dari campuran keempat sel induk. Dengan
kata lain, chimera terbentuk dari penggabungan dua kembar nonidentical
(meskipun hal serupa juga mungkin terjadi pada kembar identik, tetapi dengan
DNA mereka yang hampir identik, keberadaan chimerism tidak akan segera
terdeteksi pada tahap awal (tahap zigot atau blastokist). Dengan demikian, mereka
dapat menjadi laki-laki, perempuan, atau hermafrodit.5
Individu yang mengalami tetragametic chimerism dapat diidentifikasi
dengan menemukan dua populasi sel merah. Jika kedua zigot adalah lawan jenis,
genitalia ambigu dan hermaphroditism atau kombinasi keduanya; terkadang
individu-individu tersebut memiliki patchy skin, rambut dengan dua warna, atau
heterochromia. Jika blastokist adalah lawan jenis, alat kelamin dari kedua jenis
kelamin dapat terbentuk, baik ovarium dan testis, atau gabungan ovotestis.

Disgenesis Gonadal Campuran

Disgenesis gonadal adalah kelainan pada differensiasi gonad yang terjadi


akibat defek kromosom dan adanya mutasi gen spesifik. Bentuk disgenesis gonad
dibagi 2, yaitu murni dan campuran. Disgenesis campuran merupakan bentuk
ambiguous genitalia tersering, dengan karyotip 45X0/46XY/mosaic. Manifestasi
kliniknya perawakan pendek, ambiguous genitalia. Fenotip bervariasi sangat luas,
dari sindroma turner hingga laki-laki normal. Potensial transformasi ganas (“streak
gonad” dan testis). Bila diputuskan perempuan dilakukan gonadektomi. Bila
diputuskan laki-laki maka testis dikembalikan ke kantung skrotum.5

Turner Syndrom

Sindrom turner adalah suatu kelainan genetic yang ditemukan pada wanita.
Hal ini disebabkan tidak adanya sebagian atau seluruh kromosom X (Xo). Sindrom
turner bukan merupakan penyakit keturunan. Gadis yang menderita gangguan ini
tidak mengembangkan karakter seksual sekunder pada masa pubertas dan
terbelakang ovarium.5

5
Sindrom turner dijumpai pada abortusis dan penyebab 20% kematian
trimester pertama akibat kelainan kromosom. Prevalensi pada bayi lahir hidup
adalah sekitar 1 dari 5000. Antara 30 dan 50% mengalami cacat jantung mayor yang
mungkin berupa koarktasio aorta dan katup aorta bicuspid. Mekanisme hilangnya
kromosom belum diketahui. Mungkin bahwa gen yang terkait terlibat pada fenotip
turner adalah gen terkait-X yang lolos inaktivasi.5

Perawakan yang sangat pendek yaitu tinggi badan kurang dari 140 cm yang
disertai dengan dua atau lebih anomaly yang karakteristik (toraks, bentuk perisai,
leher berselaput, kelainan wajah, tumbuh rambut letak rendah, limfedema). Untuk
mendeteksi adanya kelainan pada janin selama kehamilan berlangsung, dapat
dilakukan dengan USG. Analisis kromosom juga dapat dilakukan ketika bayi masih
di dalam kandungan ataupun saat telah dilahirkan. Penatalaksanaan sindrom turner
meliputi 3 masalah psikologik, masalah pertumbuhan, dan induksi pubertas dengan
etinil estradiol. Prognosis dari sindrom turner pertumbuhan badan tidak akan
normal, tanda kedewasaan jasmani bisa tercapai, dan kehidupan seksualnya bisa
normal, namun tetap mandul.5

Klinefelter Syndrom

Sindrom klinefelter merupakan gangguan genetic pada pria dimana terdapat


tambahan pada kromosom sex (XXY). Kelebihan kromosom ini menyebabkan
terbentuk sedikit testoteron (fisik pria menjadi sama seperti wanita). Gejala klinis
klinefelter sindrom yaitu gejala fisiknya kaki panjang, pinggul lebar, ginekomastia,
testis kecil (mikro testis), kelemahan pada tulang, muscular (-). Gejala pada bahasa
yaitu lambat dalam perkembangan bahasa, susah mengekspresikan pikiran dan
keinginan, gangguan pada proses membaca serta mendengar. Gejala lainnya adalah
kehidupan sex normal tetapi sulit mempunyai keturunan karena sedikitnya produksi
testosterone. Pemberian testosterone pada masa pubertas dapat membuat
perkembangan tubuh normal seperti lelaki pada umumnya. Dokter spesialis
infertilitas dapat membantu penderita klinefelter untuk mempunyai keturunan.5

Patofisiologi

6
Diketahui bahwa sel manusia normal terdiri dari 23 pasang kromosom
yang terdiri dari 22 pasang kromosom autosomal dan sepasang kromosom seks
yang merupakan penentu perbedaan jenis kelamin. Pada perempuan kromosom
seks adalah XX dan pada laki-Iaki XY. Diferensiasi seks perempuan dan laki-
laki merupakan satu kesatuan karakteristik dari gonad, traktus genitalia interna
dan genitalia eksterna. Perkembangan organ kelamin normal melalui beberapa
tahap dan secara genetik kromosom akan mempengaruhi perkembangan gonad
menjadi testis dan ovarium.2,4
Gangguan diferensiasi seks paling baik dipahami berkenaan dengan
embriologi, dan pengaturan hormonal diferensiasi seks. Genitalia interna dan
eksterna dibentuk antara minggu kehamilan ke-9 sampai ke-13. Tanpa memandang
kariotipe, janin bersifat bipotensial dan mempunyai kapasitas mengembangkan
fenotipe laki-laki atau perempuan normal. Fenotipe perempuan berkembang jika
tidak terdapat pengaruh “laki-laki” spesifik yang mengubah perkembangan.
Fenotipe laki-laki atau perempuan berkembang secara internal dari gonad dan
duktus bipotensial, dan secara eksternal dari bakal bipotensial. Bila terdapat gen
untuk faktor penentuan testis yang dikenali gen SRY (sex reversing Y), di dekat
perbatasan pseudoautosom pada kromosom Y, gonad janin primitif berdiferensiasi
menjadi testis. Testis menyekresi testosteron, yang mempunyai pengaruh langsung
(stimulasi perkembangan duktus Wolff) tetapi juga secara lokal diubah menjadi
dehidrotestosteron (DHT) oleh enzim 5α-reduktase untuk pengaruh-pengaruh lain.
DHT menyebabkan pembesaran, rogasi, dan fusi labium majus menjadi skrotum;
fusi permukaan ventral penis menutupi uretra penis; dan pembesaran penis dengan
perkembangan akhir genitalia eksterna laki-laki. Produksi dan sekresi substansi
inhibitori-duktus Muller dari testis menyebabkan regresi dan hilangnya duktus
Muller dari derivatnya, seperti tuba uterina dan uterus. Dengan adanya testosteron,
duktus Wolff berkembang menjadi vas deferens, tubulus seminiferus, dan prostat.4
Bila SRY tidak ada, ovarium secara spontan berkembang dari gonad primitif
bipotensial. Bila substansi inhibitori-Muller tidak disekresikan dari testis janin,
uterus, tuba fallopii, dan sepertiga posterior vagina yang berkembang dari dukttus
Muller karena duktus Wolff degenerasi. Genitalia eksterna akan tampak seperti

7
perempuan bila androgen benar-benar tidak ada. Virilisasi yang tidak adekuat
akibat perkembangan testis yang abnormal, defek biosintesis testosteron atau DHT,
atau defek reseptor androgens, dapat menimbulkan fenotipe antara perempuan dan
laki-laki normal; hasilnya adalah anak yang memiliki genitalia ambigu. Hal yang
sangat penting diperhatikan adalah ada tidaknya fusi bagian posterior vagina (yang
membuat lubang vagina menjadi kecil atau bahkan seperti celah). Ini dapat terjadi
hanya antara usia 9 dan 13 minggu kehamilan dan hanya dapat terjadi jika terdapat
produksi androgen endogen berlebihan (seperti pada hiperplasia adrenal
kongenital). Jika lubang vagina normal dan tidak terdapat fusi, tetapi klitoris
membesar tanpa fusi ventral uretra ventral, pasien tersebut telah mengalami
pemajanan lebih lambat dengan androgen. Lebih lanjut, pasien dengan skrotum
yang terbentuk penuh, walaupun kecil, dan penis yang terbentuk normal, tetapi
kecil dan mikrophallus, harus sudah mengalami pemajanan normal dan efek
androgen selama 9-13 minggu kehamilan.4
Manifestasi Klinik DSD

Manifestasi klinik DSD dapat terlihat pada masa neonates atau tidak terlihat
sampai menginjak usia pubertas. Pada masa neonates, umumnya petugas medis
mendapatkan masalah untuk menentukan jenis kelamin pada bayi yang baru saja
dilahirkan akibat klitoromegali, pembengkakan daerah inguinal pada neonates
“perempuan”, tidak terabanya testis pada neonates “laki-laki”, ataupun hipospadia.
Sedangkan pada masa pubertas, umumnya manifestasi dapat berupa terhambatnya
pertumbuhan seks sekunder, amenore primer, adanya virilisasi pada perempuan,
gynecomastia, dan infertilitas.6

Risiko bila Gagal Diagnosis

Risiko yang terjadi bila gagal diagnosis, akan mengakibatkan gangguan


psikologis terhadap penderita DSD serta orangtuanya. Gangguan psikologis dapat
menyebabkan gangguan fisik juga.6

8
Konseling Genetik

Konsultasi genetic merupakan layanan komunikasi antara ahli genetika


medic dengan penyandang cacat herediter atau keluarganya. Konsultasi
menyangkut nasihat mengenai berbagai kondisi kelainan yang diwariskan, untuk
membantu agar yang berkepentingan dapat mengambil keputusan. Konsultasi
medic merupakan salah satu pendekatan, dalam upaya pencegahan agar alel-alel
mutan penyebab penyakit di dalam keluarga tidak tetap berada di dalam populasi.
Perkembangan metode konsultasi medic ini menumbuhkan profesi khusus dalam
ilmu kedokteran. Seorang ahli genetika medic- selain dituntut dapat menilai secara
tepat tentang risiko dalam keluarga juga harus dapat mendiskusikan berbagai
masalah yang berkaitan dengan reproduksi. Kini telah dicapai kemajuan penting
menyangkut pemecahan masalah gangguan genetic, khususnya mengenai diagnosis
prenatal sehingga dapat secara tepat memberikan saran apakah suatu kehamilan
dengan malformasi perlu dipertahankan ataukah diakhiri. Diagnosis prenatal
merupakan diagnosis mengenai masalah-masalah janin dalam kandungan sebelum
dilahirkan. Diagnosis prenatal menawarkan suatu kepastian bagi pasangan suami
istri yang sebelumnya menghadapi risiko tinggi mempunyai keturunan dengan
gangguan genetic yang sangat parah. Setelah mendapatkan penjelasan, nasihat, dan
saran, para pasangan dapat berharap mendapatkan keturunan yang sehat.2

A. Indikasi Umum Untuk Konsultasi Genetic:2

1. Anak sebelumnya dilahirkan dengan kelainan congenital multiple, kemunduran


mental, atau kerusakan organ (seperti kerusakan tuba neuralis, bibir sumbing dan
celah langit-langit);

2. Riwayat keluarga dengan kondisi herediter, seperti misalnya cyst fibrosis,


sindrom kromosom fragil, atau diabetes;

3. Wanita umur lanjut yang membutuhkan diagnosis prenatal atau indikasi lain;

4. Perkawinan antar kerabat;

9
5. Orang yang dihadapkan pada risiko pajanan terhadap teratogen, seperti bahan
kimia di tempat kerja, obat-oabatan, dan alcohol;

6. Seorang wanita yang mengalami kegagalan kehamilan berulang atau


kemandulan;

7. Seorang wanita yang telah di diagnosis menyandang abnormalitas atau kondisi


genetic yang berisiko;

8. Pasangan yang sebelum menjalani uji genetic dan sesudah menerima hasilnya,
khususnya mengenai kemungkinan tertundanya manifestasi gangguan, seperti
kanker dan penyakit neurologic.

Konsultasi Medikolegal

Perubahan Status Identitas


Identitas seseorang/anak merupakan sesuatu yang sangat penting dan akan selalu
digunakan dalam segala aspek kehidupan, sehingga oleh pemerintah dibuatkan
aturan khusus yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak.7
Pasal 5
Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status
kewarganegaraan.
Pasal 27
(1) Identitas diri setiap anak harus diberikan sejak
kelahirannya.
(2) Identitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dituangkan dalam akta kelahiran.
(3) Pembuatan akta kelahiran didasarkan pada surat keterangan dari orang yang
menyaksikan dan / atau membantu proses kelahiran.
(4) Dalam hal anak yang proses kelahirannya tidak diketahui, dan orang tuanya
tidak diketahui keberadaannya, pembuatan akta kelahiran untuk anak tersebut
didasarkan pada keterangan orang yang menemukannya.

10
Penatalaksanaan DSD

Penatalaksanaan yang optimal untuk DSD membutuhkan peran dari tim


multidisiplin yang berpengalam yang meliputi lingkup psikososial, medis, dan
pembedahan serta disiplin ilmu subspesialis lainnya seperti ahli neunatologi,
pediatric endokrinologi, pediatric urologi, endokrinologi ginekologi, ahli genetic,
konselor, psikiater atau ahli psikologi, perawat dan pekerja social.4,5

Lingkup Penanganan Psikososial

Manajemen psikososial pada DSD diantaranya adalah dengan melakukan


gender assignment & reassignment. Gender assignment (menentukan identitas
kelamin) sebaiknya telah mampu dilakukan pada masa neonates. Semakin lama
menunda penetuan jenis kelamin oleh ahli yang berpengalaman, dapat
menimbulkan risiko terjadinya penolakan terhadap eksistensi anak penderita DSD
oleh kedua orangtua yang diperkirakan dapat mengganggu aspek tumbuh kembang
anak terutama pada perkembangan organ reproduksi selanjutnya. Semakin lama
penentuan jenis kelamin akan berpengaruh pula pada prognosis dan pemilihan
terapi yang akan menetukan kapan dimulainya pemberian terapi hormonal, jenis
terapi hormonal yang dipilih serta lama pemberiannya, pemilihan waktu yang tepat
untuk pembedahan, hingga potensi seksualitas dan fertilitas pada DSD di usia
dewasa yang mempengaruhi kualitas hidupnya. Jika penetuan jenis kelamin masih
sulit ditentukan, sebaiknya para ahli yang menangani rutin memberikan penjelasan
dan konseling terhadap pihak orang tua sehingga dapat memulai adaptasi terhadap
kondisi yang dihadapi.4

Tidak menutup kemungkinan dalam penatalaksanaan DSD dilakukan


gender reassignment (menentukan kembali identitas kelamin). Saat ini, usia 18
bulan dianggap sebagai batas atas dalam melakukan gender reassignment, jika
gender reassignment baru dilakukan pada usia balita atau usia anak-anak, evaluasi
psikososial sangat penting, karena sudah terjadi perkembangan perilaku
berdasarkan jenis kelamin yang baru, sulit diberikan bila pemberian informasi dan
konseling tidak dilakukan secara mendalam dan rutin terhadap pihak orangtua

11
ataupun terhadap anak penderita DSD sendiri. Manajemen informasi kepada anak
penderita DSD oleh konselor yang terlatih, adalah termasuk dalam hal yang penting
untuk dipahami. Seorang konselor harus mampu menceritakan secara jujur tentang
kondisi atau riwayat perjalanan penyakit DSD kepada penyandang DSD bila ia
sudah mampu memahami kondisi kesehatan dirinya (umumnya dilakukan pada usia
tamat sekolah menengah pertama). Dengan melakukan manajemen informasi yang
baik, diharapkan penyandang DSD dapat menerima kondisinya saat ini, mampu
menjalankan terapi yang berkesinambungan, serta mendapat edukasi mengenai
perkembangan pubertas, seksualitas, dan kemungkinan potensi fertilitas dimasa
mendatang. Manajemen informasi juga diberikan kepada pihak orangtua terkait
dengan kondisi, prognosis, dan pengetahuan orangtua tentang DSD.4

Metode lain dalam lingkup psikososial yang dapat dilakukan adalah dengan
membentuk support groups. Terbukti dalam beberapa waktu belakangan ini, seiring
dengan perkembangan teknologi informasi, perkembangan support groups DSD
sangat membantu dalam penatalaksanaan DSD. Adanya support groups membantu
menimbulkan rasa kepercayaan diri, saling membantu antar sesama dan
meningkatkan kualitas hidup, serta mampu menimbulkan rasa dukungan dari pihak
keluarga.4

Lingkup Penanganan Medis

Penatalaksanaan medis umumnya adalah meliputi pemberian terapi


hormonal. Pemberian terapi hormonal ini juga termasuk dalam upaya pemeriksaan
untuk menegakkan diagnosis DSD sesuai dengan klasifikasinya. Pemberian terapi
hormone pada DSD didasari atas kebutuhan hormone seks untuk menginisiasi
maturasi pubertas. Terapi hormonal ini dapat dilakukan pada saat usia penyandang
DSD memasuki usia pubertas dimana lingkungan pergaulannya juga memasuki
masa tersebut. Jika terlalu lama menunda pemberian terapi hormone dapat
menimbulkan keterlambatan perkembangan genitalia, fungsi reproduksi dan fungsi
seksual serta mempengaruhi kualitas hidupnya di masa mendatang.5

Lingkup Penanganan Pembedahan

12
Berdasarkan guidelines American Academy of Pediatricks, lingkup
pembedahan sudah termasuk dalam pemilihan terapi DSD. Terapi pembedahan
berupa genitoplasty dapat dilakukan jika diagnosis sudah ditegakkan dengan pasti
dan hasil keluaran pasca operasi bermanfaat dalam penentuan jenis kelamin di usia
dewasa. Genitoplasty adalah merupakan jenis terapi yang bersifat irreversible
seperti dilakukannya kastrasi dan reduksi phallus pada DSD yang akan menjadi
wanita dan reseksi utero-vagina pada DSD yang akan menjadi pria. Terkadang DSD
yang tidak terdiagnosis pada masa infan dan baru diketahui saat memasuki masa
pubertas, seperti pada kasus anak perempuan dengan CAH dan dibesarkan sebagai
anak lelaki atau pada kasus anak lelaki dengan defisiensi 17β-hydroxystreoid
dehydrogenase dan 5α-reduktase dibesarkan sebagai anak perempuan. Kondisi
tersebut menimbulkan tekanan mental pada orangtua dan penyandang DSD, namun
pemilihan terapi pembedahan tidak boleh langsung dilakukan sebelum dilakukan
pemeriksaan endokrin dan pendekatan terapi psikososial. Seluruh jenis tindakan
pembedahan yang akan dilakukan harus dipertimbangkan secara hati-hati, dengan
selalu mengutamakan kepentingan pasien diatas segala-galanya.5

Hingga saat ini penentuan usia yang tepat untuk menentukan kapan
sebaiknya operasi dilakukan masih diperdebatkan. Berdasarkan aspek psikososial,
tindakan operasi yang dilakukan pada masa infan lebih disukai, karena lebih mudah
dilakukan dan riwayat trauma operasi dapat dihilangkan jika dibandingkan dengan
melakukan pembedahan pada anak saat memasuki usia dewasa. Namun, pendapat
lain menyatakan bahwa tindakan operasi DSD sebaiknya menunggu sampai usia
yang cukup untuk menerima informasi dan selanjutnya dilakukan informed consent
langsung kepada penyandang DSD, mengingat yang dilakukan berhubungan
dengan fungsi seksualitas. Sebelum tindakan pembedahan penting diketahui bagi
pihak orangtua dan penyanda ng DSD mengenai untung dan ruginya tindakan
pembedahan serta hasil akhir yang akan di dapat.5

Tujuan utama tindakan pembedahan adalah mengembalikan fungsi organ


genitalia dibandingkan fungsi estetiknya. Tujuan lainnya adalah menentukan jenis
kelamin yang tepat, membantu pembentukan image tubuh sesuai dengan jenis

13
kelaminnya, menghindari stigma social, dan terakhir berkaitan dengan fungsi
seksualitas dalam berhubungan seksual. Jika tindakan pembedahan sudah
ditetapkan, setelah menjalankan operasi penatalaksanaan lainnya yaitu aspek
psikososial dan medis harus tetap dijalankan secara teratur. Karena rangkaian
penatalaksanaan antara ketiganya saling mendukung satu sama lain. Terapi
pembedahan gonad saat ini juga dinilai penting, terutama pada kasus 46XY DSD,
dimana umumnya testis masih tetap berada di dalam rongga abdomen.
Kemungkinan adanya diferensiasi gonad kearah keganasan membuat terapi
pengangkatan gonad dibutuhkan. Pemeriksaan biopsy gonad kadang juga
diperlukan untuk membuktikan adanya kelainan disgenesis gonad atau adanya
kondisi ovotestis.

Kesimpulan

Disorders of sex development merupakan suatu kelainan yang terjadi akibat


perkembangan anatomis organ kelamin yang tidak sempurna pada saat embrio.
Kelainan tersebut menyebabkan tidak bisa dipastikannya jenis kelamin bayi yang
baru lahir, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan kromosom dan juga pemeriksaan
hormone. Kemudian perlu juga untuk melakukan konsultasi genetic sebelum
pemeriksaan dan sesudah hasil pemeriksaan keluar sehingga orangtua penderita
dapat mengerti. Perlu juga untuk konsultasi medikolegal yaitu yang berhubungan
dengan genetic, endokrin anak, serta hukum mengenai penatalaksanaan pasien
karena harus memilih apakah pasien tersebut mau dijadikan laki-laki atau
perempuan agar tidak terjadi kesalahpahaman.

14
Daftar Pustaka

1. Hughes IA. Disorders of sex development: a new definition and


classification. Best Practice & Research Clinical Endocrinology &
Metabolism.2008;22(1).p.119-34.
2. Kresnowidjojo S. Pengantar genetika medic. Jakarta: EGC;2012.p.205-10.
3. Siregar, Charles Darwin. Pendekatan Diagnostik Interseksualitas pada
Anak. Dalam Cermin Dunia Kedokteran No. 126. Jakarta; 2000.p.32-6.
4. Meyer-Bahlburg HFL. Treatment guidelines for children with disorders of
sex development. Neuropsychiatric de I’enfance et de
I’adolescense.2008;56.p.345-49.
5. Diamond DA, Burns JP, Mitchell C, et al. Sex assignment for newborns
with ambiguous genitalia and exposure to fetal testosterone: attitudes and
practices of pediatric urologist. J Pediatr.2006;148.p.445-9.
6. Corwin EJ. Buku saku patofisiologi corwin. Jakarta: EGC; 2001.p.63-4.
7. Jurnal Kedokteran Forensik Indonesia, Vol. 15 No. 1, Januari – Maret 2013.

15

Anda mungkin juga menyukai