Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

EPIGLOTITIS AKUT

Pembimbing:
dr. Dewi Puspitasari, Sp. THT-KL

Oleh:
R TRI KURNIA PUTRI (102121004)
AURA MUHAROMAH (102121058)
SILVIA RATIH PRATIWI (102121055)
ALICIA ROSA FARIDA (102121074)

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR SMF THT-KL


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BATAM
RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kehendak dan
Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul ”Epiglotitis
Akut”. Penyusunan tugas referat ini di maksudkan untuk mengembangkan wawasan
serta melengkapi tugas Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu THT-KL yang
diberikan pembimbing.

Dalam penulisan referat, penulis telah banyak mendapatkan bantuan, baik berupa
petunjuk, bimbingan, saran, motivasi, dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada dr. Dewi Puspitasari, Sp.
THT-KL selaku pembimbing dalam kepaniteraan klinik ilmu kedokteran THT-KL
serta dalam penyusunan paper ini.

Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa referat terdapat banyak
kekurangan dan jauh dari sempurna, mengingat segala keterbatasan pengetahuan dan
pengalaman yang dimiliki oleh penulis. Maka dari ini, penulis mengharapkan kritik
dan saran yang membangun untuk perbaikan di masa yang akan datang. Akhir kata
semoga referat ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis dan semua pihak yang
membaca.

Medan, Oktober 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... i


DAFTAR ISI ..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
A. Latar Belakang ...................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................2
A. Anatomi ............................................................................................................2
B. Fisiologi ...........................................................................................................7
C. Definisi Epiglotitis Akut ................................................................................. 8
D. Epidemiologi Epiglotitis Akut .........................................................................8
E. Etiologi Epiglotitis Akut ..................................................................................9
F. Patofisiologi Epiglotitis Akut ..........................................................................9
G. Manifestasi Klinis ..........................................................................................10
H. Diagnosa ........................................................................................................11
I. Diagnosa Banding ..........................................................................................13
J. Penatalaksanaan .............................................................................................14
K. Komplikasi .....................................................................................................15
L. Prognisis .........................................................................................................15
BAB III KESIMPULAN ....................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Epiglotitis biasanya disebabkan karena adanya infeksi bakteri pada daerah
tersebut dengan bakteri penyebab terbanyak adalah Haemophilus influenza tipe
B. Epiglotitis paling sering terjadi pada anak-anak berusia 2 – 4 tahun, namun
akhir-akhir ini dilaporkan bahwa prevalensi dan insidensinya meningkat pada
orang dewasa.
Onset dari gejala epiglotitis akut biasanya terjadi tiba-tiba dan berkembang
secara cepat. Pada pasien anak-anak, gejala yang paling sering ditemui adalah
sesak napas dan stridor yang didahului oleh demam, sedangkan pada pasien
dewasa gejala yang terjadi lebih ringan, dan yang paling sering dikeluhkan
adalah nyeri tenggorokan dan nyeri saat menelan tujuan utama dari tatalaksana
pada pasien dengan epiglotitis akut adalah menjaga agar saluran napas tetap
terbuka dan menangani infeksi penyebab atau penyebab yang lainnya (Tolan,
2011).
Epiglotitis akut dapat menjadi keadaan yang mengancam jiwa karena dapat
menimbulkan obstruksi saluran napas atas yang tiba-tiba. Karena itu, dokter
harus mewaspadai kemungkinan terjadinya epiglotitis pada pasien,
mendiagnosis serta memberikan tatalaksana secara tepat dan tepat agar tidak
sampai menjadi keadaan yang mengancam jiwa (Snow J.B et al, 2000).

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi
a. Epiglotis
Epiglotis adalah salah satu kartilago yang membentuk kerangka laring.
Epiglotis merupakan sebuah fibrokartilago elastis yang berbentuk seperti
daun, dengan fungsi utama sebagai penghalang masuknya benda yang
ditelan ke aditus laring. Saat menelan laring bergerak ke arah
anterosuperior. Hal ini membuat epiglotis mengenai pangkal lidah sehingga
epiglotis terdorong ke arah posterior dan menempatkannya pada aditus
laring. Epiglotis memiliki dua tempat perlekatan di bagian anterior. Secara
superior, epiglotis melekat pada tulang hioid melalui ligamen hioepiglotika.
Secara inferior pada bagian stem, epiglotis melekat pada permukaan dalam
dari kartilago tiroid tepat di atas komisura anterior melalui ligamen
tiroepiglotika. Permukaan kartilago epiglotis memiliki banyak lubang yang
berisi kelenjar mukus.
Epiglotis dapat dibagi menjadi bagian suprahioid dan bagian infrahioid.
Bagian suprahioid bebas baik pada permukaan laringealnya maupun
permukaan lingualnya, dengan permukaan mukosa laring lebih melekat
dibandingkan dengan permukaan lingual. Akibat permukaan mukosa laring
melipat ke arah pangkal lidah, terbentuk tiga lipatan: dua buah lipatan
glosoepiglotika lateral dan sebuah lipatan glosoepiglotika medial. Dua
lekukan yang terbentuk dari ketiga lipatan tersebut disebut dengan valekula
(dalam bahasa Latin berarti “lekukan kecil”). Bagian infrahioid hanya bebas
pada permukaan laringealnya atau permukaan posterior. Permukaan ini
memiliki tonjolan kecil yang disebut tuberkel. Di antara permukaan anterior
dan membran tirohioid dan kartilago tiroid terdapat celah pre-epiglotika

2
3

yang berisi lapisan lemak. Yang melekat secara lateral adalah membran
kuadrangular yang memanjang ke aritenoid dan kartilago kornikulata,
membentuk lipatan ariepiglotika.

Seperti pada aspek lain dari saluran napas pediatrik, epiglotis pada anak
berbeda secara signifikan dibandingkan dengan pada orang dewasa. Pada
anak-anak, epiglotis terletak lebih ke anterior dan superior dibandingkan
pada orang dewasa, dan berada pada sudut terbesar dengan trakea.
Epiglotis pada anak juga lebih terkulai dan berbentuk “omega shaped”
dibandingkan dengan epiglottis yang lebih kaku dan berbentuk “U-shaped”
pada orang dewasa (Snow J.B et al, 2003).
b. Otot Laring
Otot–otot laring terbagi dalam 2 (dua) kelompok besar yaitu otot-otot
ekstrinsik dan otot-otot intrinsik yang masing-masing mempunyai fungsi
yang berbeda.
1. Otot-otot ekstrinsik.
Otot-otot ini menghubungkan laring dengan struktur disekitarnya.
Kelompok otot ini menggerakkan laring secara keseluruhan.
4

Otot-otot ini terbagi atas:


a) Otot-otot suprahioid atau otot-otot elevator laring, yaitu:
1) M. Stilohioideus
2) M. Milohioideus
3) M. Geniohioideus
4) M. Digastrikus
5) M. Genioglosus
6) M. Hioglosus
b) Otot-otot infrahioid atau otot-otot depresor laring, yaitu:
1) M. Omohioideus
2) M. Sternokleidomastoideus
3) M. Tirohioideus
5

Kelompok otot-otot depresor dipersarafi oleh ansa hipoglossi C2 dan


C3 penting untuk proses menelan (deglutisi) dan pembentukan suara
(fonasi). Muskulus konstriktor faringeus medius termasuk dalam kelompok
ini dan melekat pada linea oblikus kartilago tiroidea. Otot-otot ini penting
pada proses deglutisi.
2. Otot-otot intrinsik
Menghubungkan kartilago satu dengan yang lainnya. Berfungsi
menggerakkan struktur yang ada di dalam laring terutama untuk
membentuk suara dan bernafas. Otot-otot pada kelompok ini
berpasangan kecuali m. interaritenoideus yang serabutnya berjalan
transversal dan oblik. Fungsi otot ini dalam proses pembentukkan suara
6

proses menelan dan berbafas. Bila M. interaritenoideus berkontraksi,


maka otot ini akan bersatu di garis tengah sehingga menyebabkan
adduksi pita suara.
Yang termasuk dalam kelompok otot intrinsik yaitu:
a) Otot-otot adduktor:
1) Mm. Interaritenoideus transversal dan oblik
2) M. Krikotiroideus
3) M. Krikotiroideus lateral
Berfungsi untuk menutup pita suara.
b) Otot-otot abduktor:
1) M. Krikoaritenoideus posterior
Berfungsi untuk membuka pita suara.
c) Otot-otot tensor:
1) Tensor Internus: M. Tiroaritenoideus dan M. Vokalis
2) Tensor Eksternus: M. Krikotiroideus
Mempunyai fungsi untuk menegangkan pita suara. Pada orang tua,
m. tensor internus kehilangan sebagian tonusnya sehingga pita suara
melengkung ke lateral mengakibatkan suara menjadi lemah dan serak.
(Ballenger, 1993)
7

B. Fisiologi
Walaupun laring biasanya dianggap sebagai organ penghasil suara, namun
ternyata mempunyai tiga fungsi utama yaitu proteksi jalan napas respirasi dan
fonasi. Kenyataannya secara filogenetik, laring mula-mula berkembang sebagai
suatu sfingter yang melindungi saluran pernapasan, sementara perkembangan
suara merupakan peristiwa yang terjadi belakangan. Perlindungan jalan napas
selama aksi menelan terjadi melalui berbagai mekanisme berbeda. Aditus
laringis sendiri tertutup oleh kerja sfinter dari otot tiroaritenoideus dalam plika
ariepiglotika dan korda vokalis palsu, disamping aduksi korda vokalis sejati dan
aritenoid yang ditimbulkan oleh otot intrinsik laring lainnya. Elevasi laring di
bawah pangkal lidah melindungi laring lebih lanjut dengan mendorong
epiglotis dan plika ariepiglotika ke bawah menutup aditus. Struktur ini
mengalihkan makanan ke lateral, menjauhi aditus laringis dan masuk ke sinus
piriformis, selanjutnya ke introitus esofagi. Relaksasi otot krikofaringeus yang
terjadi bersamaan mempermudah jalan makanan ke dalam esofagus sehingga
tidak masuk ke laring. Di samping itu, respirasi juga dihambat selama proses
menelan melalui suatu refleks yang diperantarai reseptor pada mukosa daerah
supraglotis. Hal ini mencegah inhalasi makanan atau saliva.
Namun pembentukan suara agaknya merupakan fungsi laring yang paling
kompleks dan paling baik diteliti. Penemuan sistem pengamatan serat optik dan
stroboskop yang dapat dikordinasikan dengan frekuensi suara yang sangat
membantu dalam memahami fenomena itu. Korda vokalis sejati yang teraduksi,
kini di duga berfungsi sebagai alat bunyi pasif yang bergetar akibat udara yang
di paksa antara korda vokalis sebagai akibat kontraksi otot-otot ekspirasi. Nada
dasar yang dihasilkan dapat dimodifikasi dengan berbagai cara. Otot intrinsik
laring (krikotiroideus) berperan penting dalam penyesuaian tinggi nada dengan
mengubah bentuk dan massa ujung-ujung bebas korda vokalis sejati dan
tegangan korda itu sendiri. Otot ekstralaring juga dapat ikut berperan. Demikian
pula karena posisi laring manusia lebih rendah, maka sebagian faring, di
8

samping rongga hidung dan sinus paranasalis dapat dimanfaatkan untuk


perubahan nada yang dihasilkan laring. Semua itu dipantau melalui suatu
mekanisme umpan balik yang terdiri dari telinga manusia dan suatu sistem
dalam laring sendiri yang kurang dimengerti. Sebaliknya kekerasan suara pada
hakikatnya proporsional dengan tekanan aliran udara subglottis yang
menimbulkan gerakan korda vokalis sejati. Di lain pihak, berbisik diduga
terjadi akibat lolosnya udara melalui komisura posterior di antara aritenoid
yang terabduksi tanpa getaran korda vokalis sejati. (Adams GL et al, 1997)
C. Definisi Epiglotitis Akut
Epiglotitis akut, atau biasa disebut juga supraglotitis atau laryngitis
supraglotik, adalah keadaan inflamasi akut pada daerah supraglotis dari laring,
yang meliputi inflamasi pada epiglotis, valekula, aritenoid, dan lipatan
ariepiglotika. Pada tahun 1900, Theisen pertama kali melaporkan kasus
epiglotitis akut sebagai “angina-peptiloides”. Sejak itu, epiglotitis akut
dipublikasikan secara luas dalam literatur pediatrik. (Gompf, 2011)
D. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, epiglotitis akut adalah penyakit yang jarang ditemui,
dengan kejadin pada orang dewasa sekitar 1 kasus per 100.000 penduduk per
tahun, dengan rasio laki-laki - perempuan sekitar 3:1, dan terjadi pada usia
sekitar 45 tahun. Namun akhir-akhir ini terdapat bukti yang menyatakan bahwa
prevalensi dan kejadian epiglotitis akut pada orang dewasa meningkat,
dibandingkan dengan pada anak-anak yang relatif menurun. Rasio kejadian
antara anak - anak dengan orang dewasa pada tahun 1980 adalah 2,6:1, dan
menurun menjadi 0,4:1 pada tahun 1993. Penurunan angka kejadian epiglotitis
akut pada anak-anak ini terjadi sejak diperkenalkannya vaksin untuk
Haemophilus influenzae tipe B (Hib). Epiglotitis akut paling sering terjadi pada
anak-anak usia 2 - 4 tahun. (Tolan, 2011)
9

E. Etiologi
Pada orang dewasa penyebab epiglotitis akut terbanyak yang adalah
Haemophilus influenza (25%) diikuti oleh H. parainfluenzae, Streptococcus
pneumonia dan group A streptococci. Penyebab infeksi lain yang jarang
ditemukan adalah Staphylococcus aureus, mycobacteria, Bacteroides
melaninogenicus, Enterobacter cloacae, Escherichia coli, Fusobacterium
necrophorum, Klebsiella pneumoniae, Neisseria meningitidis, Pasteurella
multocida, Herpes simplex virus (HSV) dan virus lainnya, infeksi
mononucleosis, Candida dan Aspergillus (pada pasien dengan
immunocompromised).
Penyebab non-infeksi epiglotitis akut dapat berupa penyebab termal
(makanan atau minuman yang panas, rokok, penggunaan obat-obatan terlarang
seperti kokain dan mariyuana) dan benda asing yang tertelan. Epiglotitis juga
dapat terjadi sebagai reaksi dari kemoterapi daerah kepala dan leher. (Gompf,
2011)
F. Patofisiologi
Epiglotis adalah tulang rawan elastis berbentuk daun dengan jaringan ikat
longgar di atasnya dan lapisan tipis mukosa. Jalan napas laring pada anak-anak
sempit. Pembengkakan yang relatif kecil pada mukosa dapat menyebabkan
penyempitan saluran napas yang signifikan. Epiglotitis akut biasanya dimulai
dengan pembengkakan permukaan lingual epiglotis, dan kemudian menyebar
ke permukaan laring dan lipatan aryepiglottic. Invasi bakteri ke mukosa
menyebabkan infeksi fulminan. Terutama pada anak-anak, epiglotis adalah
fokus utama infeksi dan bagian lain dari laring mungkin tidak bengkak. Abses
epiglotis dapat berkembang pada orang dewasa atau anak-anak (Wood J.M et
al, 2014).
Haemophilus influenza tipe b (Hib) atau Streptococcus pneumonia dapat
mengkolonisasi faring anak-anak yang dinyatakan sehat melalui transmisi
pernapasan dari kontak intim. Bakteri ini bisa menembus mukosa, menyerang
10

aliran darah dan menyebabkan bakteremia dan menginfeksi epiglotis dan


jaringan sekitarnya (Tolan, 2011).
G. Manifestasi Klinis
Onset dan perkembangan gejala yang terjadi pada pasien epiglottitis akut
berlangsung dengan cepat. Biasanya pasien datang dengan keluhan nyeri
tenggorokan, nyeri menelan/sulit menelan, dan suara menggumam atau “hot
potatao voice”, suara seperti seseorang berusaha berbicara dengan adanya
makanan panas di dalam mulutnya. Predictor adanya obstruksi saluran napas
adalah perkembangan yang cepat dalam 8 jam setelah onset gejala, terdapat
stridor inspirator, saliva yang menggenang, laju pernapasan lebih dari
20x/menit, dispnea, retraksi dinding dada dan posisi tubuh yang tegak (Chung,
2013). Selain itu, tanda-tanda lain yang dapat ditemukan pada pasien dengan
epiglottitis akut adalah demam, nyeri pada palpasi ringan leher, dan batuk
(Gompf, 2011).
Pada anak-anak, manifestasi klinik yang Nampak akan terlihat lebih berat
dibandingkan pada orang dewasa. Tiga tanda yang paling sering ditemui adalah
demam, sulit bernapas, dan iritabilitas. Anak-anak akan terlihat toksik, dan
terlihat tanda- tanda adanya obstruksi saluran napas atas. Akan terlihat
pernapasan yang dangkal, stridor inspiratoar, retraksi, dan saliva yang banyak.
Selain itu juga terdapat nyeri tenggorok yang hebat dan disfagia (Tolan, 2013).
Berbicara pun terbatas akibat nyeri yang dirasakan. Batuk dan suara serak
biasanya tidak ditemukan, namun bias terdapat suara menggumam. Stridor
muncul ketika saluran napas hamper sepenuhnya tertutup. Anak-anak biasanya
akan melakukan posisi “tripod” (pasien duduk dengan tangan mencengkram
pinggir tempat tidur, lidah menjulur dan kepala lurus ke depan). Laringospasme
dapat muncul secara tiba-tiba dengan adanya aspirasi secret ke saluran napas
yang telah menyempit dan menimbulkan respiratory arrest (Cummings et al,
2010).
11

Obstruksi saluran napas pada pasien dengan epiglottitis akut dapat terjadi
karena mukosa dari daerah epiglotis longgar dan memiliki banyak pembuluh
darah, sehingga ketika terjadi reaksi inflamasi, iritasi, dan respon alergi, dapat
dengan cepat terjadi edema dan menutupi saluran napas sehingga terjadi
obstruksi yang mengancam jiwa (Chung, 2000).
H. Diagnosis
Epiglotitis akut dapat ditegakkan berdasarkan:
a. Anamnesis
Pada anamnesis dapat ditemukan adanya disfagia, sakit tenggorokan
dan demam, biasanya seorang anak akan menolak untuk makan. Dispneu
progresif, suara biasanya tidak parau tetapi menyerupai “hot potato voice”,
penderita lebih suka posisi duduk tegak atau bersandar ke depan (kadang
dengan siku yang diletakkan di lutut, dikenal dengan tripod position
(Gompf, 2011).
b. Pemeriksaan Fisik
Dari pemeriksaan fisis laringoskopi indirek, pada inspeksi dapat terlihat
epiglotis dan daerah sekitarnya yang eritematosa, membengkak, dan
berwarna merah ceri, namun pemeriksaan ini jarang dilakukan karena
kemungkinan akan memperparah sumbatan dari saluran napas. Ataupun
jika perlu dilakukan, maka pemeriksaan ini dilakukan di tempat yang
memiliki alat-alat yan lengkap, seperti di ruang operasi. Dapat jga
dilakukan pemeriksaan laringoskopi direk dengan fiber optik untuk
pemeriksaan yang lebih akurat (Wick et al, 2002).
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Radiologi
Penggunaan pemeriksaan radiologis pada pasien dengan epiglotitis
akut masih kontroversial. Meskipun diketahui bahwa epiglotitis dapat
didiagnosis dari radiografi lateral leher, masih dipertanyakan apakah
prosedur ini aman dan memang diperlukan (Chung et al, 2000). Dari
12

hasil pemeriksaan radiografi ditemukan gambaran “thumb sign”, yaitu


bayangan dari epiglotis globular yang membengkak, terlihat penebalan
lipatan ariepiglotika, dan distensi dari hipofaring. Terkadang, epiglotis
itu sendiri tidak membengkak, namun daerah supraglotis masih terlihat
tidak jelas dan Nampak kabur akibat edema dari struktur supraglotis
yang lain. Pada kasus yang berat, terapi tidak boleh ditunda untuk
melakukan pemeriksaan radiografi. Jika radiografi memang
dibutuhkan, pemeriksaan harus didampingi dengan personil yang dapat
mengintubasi pasien secara cepat ketika obstruksi saluran napas
memberat atau telah tertutup seluruhnya (Snow, 2003).

2. Laringoskopi
Laringoskopi fiber optik merupakan pemeriksaan terbaik yang
dianjurkan untuk melihat epiglotis secara langsung.
13

d. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak spesifik pada pasien dengan epiglotitis
dan dilakukan ketika saluran napas pasien telah diamankan. Jumlah leukosit
dapat meningkat dari 15.000 hingga 45.000 sel/µl (Tolan, 2011). Kultur
darah dapat diambil, terutama jika pasien terlihat tidak baik secara sistemik.
Kultur biasanya memberikan hasil yang positif pada 25% kasus (Gompf,
2011)
Epiglotitis dapat menjadi fatal jika terlambat terdiagnosis (Probft et al,
2012). Diagnosis biasanya dapat ditegakkan dari riwayat perjalanan
penyakit dan temuan klinis, serta pemeriksaan radiografi jika
memungkinkan (Snow J.B et al, 2003)
I. Diagnosis Banding
Diagnosis banding epiglottitis akut yaitu:
a. Croup (laringotrakeobronkitis)
Adalah infeksi virus yang menyerang saluran pernapasan bagian
atas dengan cara menyebabkan peradangan dan pembengkakan. Sering
kali ditandai dengan batuk kering dan sesak napas. Disebabkan oleh
virus para-influenza, respiratory syncytial virus (RSV), serta virus
influenza A dan B. penyakit ini sering terjadi pada anak-anak usia 6
bulan sampai 3 tahun. Pada kasus berat dapat terjadi super-infeksi.
Keadaan ini disebut dengan trakeitis bacterial. Jika terjadi pada
epiglottis saluran pipa udara dapat membengkak dan berakibat fatal.
b. Trakeitis bakterialis
Adalah peradangan selaput lendir trakea. Biasanya penyebab paling
umum adalah infeksi dari virus streptococcus dan staphylococcus.
Ketika trakea mengalami peradangan keadaan yang memberatkan
adalah udara berdebu dan dingin, kering dan iritasi gas dan uap. Gejala
utamanya adalah nyeri kronis batuk trakeitis paroksimal dipagi hari
serta nyeri dada di malam hari.
14

Penyakit-penyakit yang disebutkan diatas dapat dijadikan pembanding. Hal


ini karena penyakit tersebut memiiki karakteristik yang hampir sama. Untuk
membedakan epiglottitis akut dengan penyakit-penyakit diatas diperlukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat (Kivekäs I, 2018).
J. Penatalaksanaan
Pada pasien epiglotitis akut sebisa mungkin untuk mengurangi obstruksi
saluran napas dan menjaga jalan napas terbuka serta mengurangi penyebab.
Tidak boleh melakukan intubasi kecuali sudah terjadi obstruksi jalan napas.
Mengelola jalan napas adalah yang paling penting dalam epiglotitis. Bahkan
pada pasien yang tampak stabil, perburukan klinis dapat terjadi kapan saja.
Kehilangan jalan napas adalah penyebab utama kematian pada epiglotitis.
Membuka jalan napas dengan intubasi biasanya dapat dilakukan dengan aman,
tetapi membutuhkan pengalaman dan ahli anestesi atau otolaryngologist.
Tahapan untuk mendapatkan jalan napas dapat dilakukan dengan cara
trakeotomi (Bizaki A.J et al, 2011).
Pada orang dewasa dengan epiglotitis, jalan napas dapat dipertahankan
tanpa intubasi. Distres jalan napas yang parah mungkin terjadi pada orang
dewasa dibandingkan pada anak-anak, karena orang dewasa memiliki jalan
napas yang lebih besar. Antibiotik intravena dapat dimulai sesegera mungkin
dan harus mencakup Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus,
Streptococcus dan Pneumococcus, seperti amoksisilin atau asam klavulanat
atau sefalosporin generasi kedua atau ketiga, seperti sefuroksim, sefotaksim,
atau seftriakson (Guardani E et al, 2010).
Kortikosteroid sering digunakan dalam upaya untuk mengurangi
peradangan, Walaupun belum ada keuntungan yang dihasilkan dari penggunaan
kortikosteroid ini (Kivekäs I, 2018).
15

K. Komplikasi
Epiglotitis akut dapat mengancam jiwa dan dapat terjadi infeksi lain secara
bersamaan, yang paling sering terjadi adalah pneumonia. Infeksi yang seiring
dengan infeksi H. Influenza termasuk meningitis, adenitis servikal, pericarditis
dan otitis media. Epiglotitis akut juga dapat berkomplikasi menjadi abses
epiglottis dan uvulitis. Pasien dengan obstruksi jalan napas menyeluruh dan
pasien dengan keadaan henti napas dapat mengalami hipoksik dari sistem saraf
pusat dan sistem organ lain (Wick et al, 2002).
L. Prognosis
Pada pasien dewasa prognosis baik jika ditangani dengan pengobatan yang
tepat dan cepat. Sebagian besar pasien dapat diekubasi dalam beberapa hari.
Namun jika epiglotitis tidak dikenali dapat dengan cepat menyebabkan
kematian. Pada pasien anak mortalitas menurun dari 7,1% menjadi 0,9% sejak
dilakukan tindakan pencegahan. Sedangkan Pada pasien dewasa mortalitas
sekitar 1-7%, namun jika ada obstruksi mortalitas menjadi 17,6%. Mortalitas
menurun semenjak diberikan vaksin H. influenzae (Kivekäs I, 2018).
BAB III
KESIMPULAN

Epiglotitis disebabkan karena peradangan dan edema pada daerah supraglotis


laring. Penyebab paling sering yaitu Haemophilus influenzae tipe B. Paling sering
terjadi pada anak berusia 2-6 tahun. Gejala klinis terjadi tiba-tiba dengan demam tinggi,
sakit tenggorokan, nyeri menelan batuk, air liur menetes, cepat menjadi progresif
hingga timbul distres pernapasan.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan demam, tanda distres pernapasan, pada


laringoskopi epiglotis tampak merah dan edema pada plika ariepiglotika. Penyulitnya
antara lain, edema paru, gagal napas, pneumonitis, pneumotoraks dan enfisema akibat
trakeostomi. Terapinya yaitu perawatan di ruang intensif, ventilasi, O2 lembab,
trakeostomi atau intubasi endotrakeal, kortikosteroid dan antibiotik.

16
DAFTAR PUSTAKA
Adams GL, Boies LR, Higler PA. Laring. In: Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6.
Cetakan Ketiga. Jakarta: EGC; 1997. P369-396
Bizaki AJ, Numminen J, Vasama JP, Laranne J, Rautiainen M. Acute supraglottitis in
adults in Finland: review and analysis of 308 cases. Laryngoscope. 2011
Oct;121(10):2107–13.
Chung, C.H. Acute Epiglottitis Presenting as the Sensation of a Foreign Body in the
Throat. Hong Kong Med J. September 2000. Tersedia di:
http://www.hkmj.org/article_pdfs/hkm0009p322.pdf [diakses 23 Oktober
2021].
Chung, C.H. Case and Literature Review: Adult Acute Epiglottitis – Rising Incidence
or Increasing Awareness. Hong Kong J Emerg Med.. Tersedia di :
http://www.hkcem.com/html/publications/Journal/2001-3/227-231.pdf
[diakses 23 Oktober 2021].
Cummings, C.W. et al. Cummings Otolaryngology - Head & Neck Surgery. 4th Ed.
USA: Elsevier; 2010: 2065-2075.
Dhingra, P.L. Acute and Chronic Inflammation of Larynx. In: Dhingra, P.L. Diseases
of Ear, Nose and Throat. 4th Ed. USA: Elsevier; 2007
Gompf, S.G. Epiglotitis 2011. Tersedia di:
http//emedicine.medscape.com.article/763612 [diakses 23 Oktober 2021]
Guardiani E, Bliss M, Harley E. Supraglottitis in the era following widespread
immunization against Haemophilus influenzae type B: evolving princi- ples in
diagnosis and management. Laryngoscope. 2010;120(11):2183–8.
Kivekäs, I., & Rautiainen, M. (2018). Epiglottitis, acute laryngitis, and croup.
Infections of the Ears, Nose, Throat, and Sinuses, 247-255.
Probft R, Grevers G. Infectious Diseases of the Larynx and Trachea in Children. In
:Basic Otorhinolaryngology.Stutgard, New York. Thieme. P354-356.
Snow, J.B., Ballenger, J.J. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery.
16th Ed. USA: BC Decker; 2003:1090-1093,1195-1199.
Tolan, R.W. Pediatric Epiglottitis. 2011.Tersedia di: http://
http://emedicine.medscape.com/article/963773 [diakses 23 Oktober 2021].
Wick, F., Ballmer, P.E., Haller, A. Acute Epiglottitis in Adults. Swiss Med Wkly. 2002;
132: 541-546. Tersedia di: http://www.smw.ch/docs/pdf200x/2002/37/smw-
10050.PDF [diakses 23 Oktober 2021].
Wood JM, Athanasiadis T, Allen J. Laryngitis. BMJ.2014;349:g5827.

Anda mungkin juga menyukai