Anda di halaman 1dari 26

Tugas Refarat

PARALISIS PITA SUARA

Oleh :
Maya Mahardikari
( 102117080 )

Dokter pembimbing
dr. Sri Utami Wulandari, Sp.THT-KL

KKS ILMU PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


UNIVERSITAS BATAM RSUD DR. RM. DJOELHAM
BINJAI 2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat

dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan refarat dengan judul

“Paralisis Pita Suara” untuk memenuhi Tugas kepanitraan klinik Ilmu Kesehatan

THT-KL RSUD Dr. R.M. Djoelham Kota Binjai.

Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih

kepada dr. Sri Utami Wulandari, Sp.THT-KL selaku pembimbing klinik yang

telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing penulis selama

mengikuti kepanitraan klinik Ilmu Kesehatan THT-KL.

Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari kesempurnaan,

oleh karena itu saran dan kritik sangat diharapkan, guna memperoleh hasil yang

lebih baik dalam menyempurnakan refarat ini. Sehingga refarat ini dapat

bermanfaat, khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya.

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................... 1

DAFTAR ISI .................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN

Pendahuluan .......................................................................................3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Laring...................................................................................3

1. Struktur Penyangga Laring...........................................................3

2. Muskulus Laring .........................................................................8

3. Persarafan Laring .........................................................................9

B. Fisiologi Laring................................................................................10

C. Paralisis Pita Suara .........................................................................12

1. Definisi.........................................................................................12

2. Etiologi.........................................................................................12

3. Patofisiologi..................................................................................13

4. Posisi Pita Suara Paralisis ............................................................14

5. Diagnosis.......................................................................................18

6. Penatalaksanaan............................................................................18

7. Komplikasi....................................................................................21

8. Prognosis.......................................................................................21

9. Daftar Pustaka...............................................................................22

3
BAB I

PENDAHULUAN

Pita suara terdapat pada laring. Walaupun laring biasanya dianggap


sebagai organ penghasil suara, namun ternyata mempunyai tiga fungsi utama yaitu
proteksi jalan nafas, respirasi dan fonasi. Pita suara ini memproduksi suara ketika
udara berada dalam paru dilepaskan dan melewati pita suara yang tertutup,
sehingga mengakibatkan pita suara tersebut akan bergetar. Namun, pembentukan

4
suara merupakan fungsi laring yang paling kompleks dan paling baik diteliti.
Korda vokalis sejati yang teraduksi, kini diduga berfungsi sebagai suatu alat bunyi
pasif yang bergetar akibat udara yang dipaksa antara korda vokalis sebagai akibat
kontraksi otot-otot ekspirasi. Nada dasar yang dihasilkan dapat dimodifikasi
dengan berbagai cara. Otot intrinsik laring dan krikotiroideus berperan penting
dalam penyesuaian tinggi nada. Tiap penyakit yang mempengaruhi kerja otot
intrinsik dan ekstrinsik laring (paralisis saraf, trauma, pembedahan) atau terdapat
massa pada korda vokalis sejati akan mempengarui fungsi laring, akibatnya akan
terjadi gangguan menelan ataupun perubahan suara. 1,2
Paralisis pita suara merupakan gangguan suara ketika salah satu ataupun
kedua pita suara tidak dapat membuka maupun menutup dengan semestinya.
Paralisis pita suara adalah suatu gangguan yang sering terjadi dengan gejala klinis
yang bervariasi, dari ringan hingga mengancam nyawa penderita. Paralisis pita
suara dapat mengakibatkan masalah dalam mengeluarkan suara dan mungkin
dalam bernapas serta menelan.2
Kelumpuhan pita suara dapat terjadi pada anak-anak ataupun orang
dewasa. Kelumpuhan ini pun dapat dikategorikan dalam kelumpuhan kongenital
dan kelumpuhan yang didapat. Satu atau kedua pita suara dapat terlibat, namun
kelumpuhan bilateral atau dua sisi lebih sering terjadi.3
Paralisis pita suara sendiri hingga kini masih menjadi masalah yang serius
dalam bidang THT. Hal ini dikarenakan kerusakan yang terjadi terhadap sarafnya
bersifat permanen. Berbagai tindakan intervensi pun mulai dikembangkan untuk
meminimalkan kerusakan yang terjadi.1,2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Laring

2.1.1 Struktur Penyangga Laring

5
Laring adalah suatu struktur berbentuk tabung yang terbentuk dari suatu
sistem yang kompleks yang terdiri dari otot, kartilago, jaringan ikat. Laring
menggantung dari tulang hyoid, yang merupakan satu-satunya tulang di
dalam tubuh yang tidak berartikulasi dengan tulang lain. Kerangka dari
laring tersusun atas 3 kartilago yang berpasangan dan 3 kartilago yang tidak
berpasangan. Kartilago tiroid merupakan kartilago tidak berpasangan yang
terbesar, terletak dibawah os hioideum dan menggantung pada ligamentum
tirohioideum adalah dua alae atau sayap kartilago tiroidea yang berbentuk
seperti perisai. Bagian paling anterior dari kartilago ini sering menonjol
pada beberapa pria, dan biasa disebut sebagai “Adam’s apple”. Pada tepi
posterior masing-masing alae, terdapat kornu superior dan inferior.
Artikulatio kornu inferior dengan kartilago krikoidea, memungkinkan
sedikit pergeseran atau gerakan antara kartilago tiroidea dan krikoidea.
Kartilago tidak berpasangan yang kedua adalah kartilago krikoid, yang juga
mudah teraba di bawah kulit, melekat pada kartilago tiroidea lewat
ligamentum krikotiroideum, bentuknya sering digambarkan sebagai sebuah
“signet ring” yang berbentuk lingkaran penuh dan tak mampu
mengembang.Intubasi endotrakea yang lama sering kali merusak lapisan
mukosa cincin dan dapat menyebabkan stenosis subglotis didapat. Kartilago
ketiga yang tidak berpasangan adalah kartilago epiglotika. Pegangan atau
petioles melekat melalui suatu ligamentum penden pada kartilago tiroidea
tepat diatas korda vokalis, sementara bagia racquent meluas ke atas di
belakang korpus hioideum ke dalam lumen faring, memisahkan pangkal
lidah dan laring. Perlekatan dari epiglotis memungkinkan kartilago tersebut
untuk invert, sebuah gerakan yang dapat membentuk untuk mendorong
makanan dan cairan secara langsung ke dalam esofagus dan melindungi

6
korda vokalis dan jalan pernapasan selama proses menelan.1,2,3,4

Gambar (1)
Dikutip dari kepustakaan 4
Ketiga kartilago yang berpasangan antara lain aritenoid,
kuneiformis, dan kornikulatus. Aritenoid berbentuk seperti piramid dan
karena mereka melekat pada korda vokalis, membiarkan terjadinya gerakan
membuka dan menutup dari korda vokalis yang penting untuk respirasi dan
bersuara. Kuneiformis dan kornikulatus berukuran sangat kecil dan tidak
memiliki fungsi yang jelas.2

Gambar(2)
Dikutip dari kepustakaan 4

2.1.2 Muskulus Laring

7
Otot-otot laring terdiri dari dua kelompok utama yaitu otot-otot
ekstrinsik dan otot-otot intrinsik. Otot-otot ekstrinsik laring adalah otot-otot
dari kompleks laryngohyoid yang berfungsi untuk menaikkan, menurunkan,
atau menstabilkan laring. Disebut otot ekstrinsik karena otot ini di satu
pihak melekat pada laring dan juga melekat di luar laring. Sedangkan otot-
otot intrinsic adalah otot yang secara anatomi terbatas pada otot yang
melekat tepat pada laring. Otot-otot intrinsic memodifikasi ukuran
pembukaan pada glottis bersama dengan panjang dan ketegangan pada
lipatan pita suara.1,2
1) Otot Ekstrinsik
Otot ekstrinsik melekat pada pemukaan laring dan permukaan luar
laring. Otot ekstrinsik berfungsi menggerakkan laring. Karena os
hyoideum dihubungkan dengan laring oleh membrana hyoithyroidea
dan oleh epiglottis maka otot-otot yang menggerakkan os. Hyoideum
juga akan menggerakkan laring. Ada 8 otot ekstrinsik laring, terbagi
menjadi:2
a. Otot Suprahioid.
Berfungsi mengangkat laring ke arah atas. Terdiri atas
M.Stylohyoid, M.Mylohyoid, M.Geniohyoid, dan M.Digastric.2
b. Otot Infrahioid.
Berfungsi menarik laring ke arah bawah. Terdiri atas
M.Sternotyroid, M.Sternohyoid, M.Thyrohyoid, dan M.Omohyoid.2
Otot-otot ini berperan pada gerakan dan fiksasi laring secara
keseluruhan. Terdiri dari kelompok otot elevator dan depresor. Kelompok
otot depresor terdiri dari mm.tirohioid, sternohioid, dan omohioid yang
dipersarafi oleh ansa hipoglosus dari C2 dan C3. Kelompok otot elevator
terdiri dari mm.digastrikus anterior dan posterior, stilohioid, geniohioid dan
milohioid yang dipersarafi oleh nervus kranial V,VII dan IX. Kelompok ini
penting pada fungsi menelan dan fonasi dengan mengangkat laring dibawah
dasar lidah.

8
2) Otot Intrinsik
Kontraksi otot intrinsik berhubungan dengan gerak pita suara. Otot
instrinsik laring berfungsi mempertahankan dan mengontrol jalan udara
pernafasan melalui laring, mengontrol tahanan terhadap udara ekspirasi
selama fonasi dan membantu fungsi sfingter dalam mencegah aspirasi
benda asing selama proses menelan. Otot-otot intrinsic terdiri dari
M.Cricoarytenoid posterior, M. Interaarytenoid Lateral, M.Cricotyroid
dan M. Tyroarytenoid.

M.cricotiroid terletak dipermukaan depan laring, antara sisi lateral


krikoid dan kartilago tiroid. Otot ini berfungsi untuk menyempitkan
ruang krikotiroid di anterior dan gerakan ini memperbesar jarak antara

9
kartilago tiroid dan kartilago aritenoid, yang menumpang pada krikoid.
Perlekatan anterior dan posterior ligamentum vokalis terpisah makin
jauh. Hasil akhirnya adalah pemanjangan dan peregangan pita suara.
Kontraksi m.krikoaritenoid posterior membawa prosesus
muskularis aritenoid ke belakang dan memutar prosesus vokalis ke
lateral. Otot ini berfungsi sebagai abduktor utama pita suara.
m.crikoaritenoid lateral melakukan gerak adduksi pita suara.
M.tiroaritenoid eksterna bekerja untuk adduksi pita suara, dan juga
mengubah tegangan dan ketebalan tepi bebas suara. Sfingter glotis
menarik kartilago aritenoid ke depan untuk mengurangi tegangan
ligamen vokalis dan memperbesar ketebalan pita suara. Otot ini
dipersarafi secara bilateral oleh n.laringeal rekuren, karena itu tidak
terjadi kelumpuhan akibat penyakit yang mengenai n.rekuren unilateral.
Otot ini juga menerima persarafan motorik dari n.laringeus superior.
M.ariepiglotik bekerja untuk menutupi sfingter laring superior,
tetapi bentuknya kecil dan sering hampir tidak ada. Otot ini dapat
menjadi hipertrofi jika fungsi pita suara palsu menggantikan fungsi pita
suara asli.1,2

2.1.3 Persarafan Laring


Terdapat dua pasang saraf yang mempersarafi laring dengan
persarafan sensorik dan motorik, yakni dua saraf laringeus superior dan dua
inferior atau laringeus rekurens. Saraf laringeus merupakan cabang-cabang
dari saraf vagus. Saraf laringeus superior meninggalkan trunkus vagalis
tepat di bawah ganglion nodosum, melengkung ke anterior dan medial di
bawah arteri karotis eksterna dan interna, dan bercabang dua menjadi suatu
cabang sensorik interna dan cabang motorik eksterna. Cabang interna
menembus membran tirohiodea untuk mengurus persarafan sensorik
valekula, epiglotis, sinus piriformis, dan seluruh mukosa laring superior
interna tepi bebas korda vokalis sejati. Masing-masing cabang eksterna
merupakan suplai motorik untuk satu otot saja, yaitu otot krikotiroideus. Di

10
sebelah inferior, saraf rekurens berjalan naik dalam alur di antara trakea dan
esophagus, masuk ke dalam laring tepat di belakang artikulasio
krikotiroideus, dan mengurus persarafan motorik semua otot intrinsik laring
kecuali krikotiroideus. Saraf rekurens juga mengurus sensasi jaringan di
bawah korda vokalis sejati (regio subglotis) dan trakea superior. Perjalanan
saraf rekurens kanan dan kiri yang berbeda juga rnemperlihatkan jaras
neural yang lebih tinggi dari persarafan laring. Karena perjalanan saraf
rekurens kiri yang lebih panjang serta hubungannya dengan aorta, maka
saraf ini lebih rentan cedera dibandingkan saraf yang kanan.

Gambar (4)
Dikutip dari kepustakaan 4

Suplai arteri dan drainase venosus dari laring paralel dengan suplai
sarafnya. Arteri dan vena laringea superior merupakan cabang-cabang arteri
dan vena tiroidea superior, dan keduanya bergabung dengan cabang interna
saraf laringeus superior untuk membentuk pedikulus neurovaskular
superior. Arteri dan vena laringea inferior berasal dari pembuluh tiroidea
inferior dan masuk ke laring bersama saraf laringeus rekurens.

11
Terdapat dua sistem drainase terpisah, superior dan inferior, di
mana garis pemisah adalah korda vokalis sejati. Korda vokalis sendiri
mempunyai suplai limfatik yang buruk. Di sebelah superior, aliran limfe
menyertai pedikulus neurovaskular superior untuk bergabung dengan nodi
limfatisi superiors dari rangkaian servikalis profunda setinggi os hioideus.
Drainase subglotis lebih beragam, yaitu ke nodi limfatisi pretrakeales (satu
kelenjar terletak tepat di depan krikoid dan disebut nodi Delphian), kelenjar
getah bening servikalis profunda inferior, nodi suprakalvikularis dan bahkan
nodi mediastinalis superior.2

2.2 Fisiologi Laring


Laring merupakan organ penghasil suara, serta memiliki fungsi utama
lainnya untuk proteksi jalan napas, respirasi dan fonasi. Suara adalah bunyi yang
dihasilkan bila udara paru diekspirasi melalui pita suara yang agak berdekatan.
Udara memaksa pemisahan pita suara sejati. Karena akan mengurangi tekanan
subglotis, maka pita suara tersebut akan memantul untuk berdekatan lagi.
Pengulangan cepat, 125 kali pada pria dan 250 kali pada wanita akan
menyebabkan vibrasi udara faring, yang menimbulkan bunyi suara manusia.
Nada dasar suara ditentukan oleh panjang dan ketegangan pita suara. Nada
bervariasi sesuai frekuensi vibrasinya. Kerasnya suara tergantung atas tekanan
yang terbentuk di bawah pita suara. Suara yang dipancarkan laring membentuk
huruf hidup. Huruf hidup berbeda ditentukan cara faring dan rongga mulut
membentuknya untuk meresonansi suara.

12
Gambar (5)
Dikutip dari kepustakaan 12

Tersedia mekanisme pengganti lainnya untuk membentuk kolom udara


yang bervariasi di faring. Pada keadaan tertentu, sebagai contoh pasien dapat
berbicara dengan medekatkan pita suara palsunya untuk bervibrasi. Setelah
laringiektomi, pasien dapat berbicara dengan menelan udara ke esophagus dan
membuatnya bervibrasi dengan jaringan faringoesophagus.
Suara diubah menjadi pembicaraan dengan cara menghentikan aliran udara
untuk membentuk konsonan. Produksi ucapan yang dapat dipahami tergantung
atas koordinasi neuromuskular antara korteks motorik dan serebelum serta sistem
otot faring, palatum, lidah dan bibir. Alat-alat ini merupakan struktur yang
menghentikan aliran udara.
Bernyanyi memerlukan pembentukan nada dan volume pada glotis yang
terintegrasi harmonis, yang berhubungan dengan mekanika mulut dan faring, serta

13
sesuai dengan irama yag dikehendaki. Kualitas bunyi pada suara, berbicara, dan
terutama bernyanyi tergantung atas nada tambahan yang terbentuk dalam laring.
Hal ini merupakan perkalian matematik frekuensi dasar struktur yang bervibrasi.
Vibrasi pita suara bersifat kompleks dan kombinasi berbagai vibrasi serta berbagai
macam nada tambahannya.1,3

2.3 Paralisis Pita Suara


2.3.1 Definisi
Paralisis berarti terganggunya kemampuan anggota tubuh untuk
bergerak dan berfungsi, yang biasanya diakibatkan karena kerusakan saraf.
Paralisis dapat terjadi juga pada pita suara. Paralisis pita suara terjadi akibat
hilangnya gerak aktif dari pita suara, Dapat terjadi pada salah satu atau kedua
pita suara yang tidak dapat membuka ataupun menutup dengan semestinya.9,13

2.3.2 Etiologi
Kelumpuhan pita suara dapat terjadi pada anak-anak ataupun orang
dewasa. Kelumpuhan ini pun dapat dikategorikan dalam kelumpuhan
kongenital dan kelumpuhan yang didapat. Satu atau kedua pita suara dapat
terlibat, namun kelumpuhan bilateral atau dua sisi lebih sering terjadi. 3
Kelumpuhan pita suara pada anak-anak yang berasal dari lesi
kongenital berhubungan erat dengan lesi pada sistem saraf pusat, termasuk
hidrochepalus, meningomyolocele, Arnold-chiari malformation, meningocele,
encephalocele, gangguan neuro muscular dan mistenia gravis.
Sedangkan kelainan yang didapat paling sering disebabkan oleh
trauma, infeksi dan neoplasma. Lesi traumatik lebih sering terjadi sekunder
akibat trauma operasi pada kista bronkogenik, fistula trakheoeshophagus dan
paten duktus arteriosus. Infeksi juga dapat menyebabkan kelumpuan pita
suara, penyakit-penyakit menular seperti batuk rejan, ensefalitis,
poliomyelitis, difteri, rabies, tetanus, sifilis walaupun sekarang jarang terjadi
namun dapat menyebabkan kelumpuhan pita suara.3

14
2.3.2 Patofisiologi
Pada daerah laring, secara anatomis terdapat nervus vagus dan
cabangnya yaitu nervus laringeus superior dan nervus laringeus inferior atau
rekurens yang mempersarafi pita suara. Jika terjadi penekanan maupun
kerusakan terhadap nervus ini maka akan terjadi paralisis pita suara, di mana
pita suara tidak dapat beradduksi. Secara normal, ketika berfonasi, kedua pita
suara beradduksi, tetapi karena terjadi paralisis salah satu atau kedua pita
suara, maka vibrasi yang dihasilkan oleh pita suara tidak maksimal.

Gambar (6)
Dikutip dari kepustakaan 2,4,13.

Secara umum terdapat lima posisi dari korda vokalis sesuai derajat
ostium laringeus : median, paramedian, intermedia, sedikit abduksi dan
adduksi penuh. Jika paralisis terjadi bilateral, posisi posisi ini ditandai dengan
mengamati ukurran celah glotis. Jika paralisis terjadi unilateral maka
pengamatan pertama –tama harus memperkirakan posisi garis tengah
sebenarnya kemudian menghubungkan dengan posisi korda vokalis.

15
Tiap lesi sepanjang perjalanan nervus laringeus rekurens dapat
menimbulkan paralisis laring. Lesi intrakranial biasanya disertai gejala-gejala
lain dan lebih bermanifestasi sebagai gangguan neurologis dan bukan
gangguan suara atau artikulasi. Lesi batang otak terutama menimbulkan
gangguan suara, namun dapat pula disertai tanda-tanda neurologis lain.

2.3.3 Posisi pita suara yang lumpuh


Posisi pita suara merupakan faktor tunggal yang paling penting, dan
gejala klinik kelumpuhan bervariasi tergantung pada posisi pita suara. Pada
pemeriksaan klinik terdapat lima macam posisi pita suara, yaitu :
1. median
2. paramedian
3. intermedian
4. abduksi sedikit
5. abduksi penuh

Gambar (7)
Dikutip dari kepustakaan 1

Kelumpuhan pada posisi median, posisi ini biasanya sebagai tanda


paralisis nervus rekurens laringeus yang terbatas. kelumpuhan pita suara yang
tepat digaris tengah sangat jarang, dan posisi dengan bagian posterior pita
suara kira-kira 1,5 mm lateral dari garis tengah, lebih sering ditemukan.
Kelumpuhan unilateral diposisi median, ditemukan pada paralisis
nervus rekurens yang telah berlangsung lama. Pada pemeriksaan, pita suara

16
yang lumpuh tampak agak atrofi dan letaknya sedikit lebih rendah daripada
pita suara yng normal, tetapi pada fonasi tampaknya hampir normal.
Aritenoid pada sisi yang lumpuh condong kedepan. Gejalanya biasanya tidak
jelas, dan suara normal pada pembicaraan. Tetapi, suara yang memerlukan
perubahan tinggi nada yang luas, seperti pada waktu bernyanyi, akan
terganggu. Pada latihan jasmani yang berat, akan terdapat sesak nafas dan
stridor.
Kelumpuhan bilateral pada posisi median, dapat terjadi segera setelah
cedera pada keadaan nervus rekurens laringeus, atau dapat tertunda sampai 20
tahun. Gejala yang jelas ialah dispnea dan adanya stridor inspirasi. Pasien
cenderung untuk mengurangi kegiatannya dan tetap diam untuk memperoleh
oksigen yang cukup untuk kebutuhannya. Suatu infeksi saluran nafas atas
dapat menyebabkan sumbatan laring total, seperti juga pada suatu rangsangan
yang menyebabkan inspirasi dalam dengan tiba-tiba. Sumbatan tiba-tiba pada
inspirasi disebabkan oleh adduksi pita suara, karena efek aerodinamik
hembusan udara yang menerpa permukaan superior pita suara dan
mendorongnya ke medial. Oleh karena bahaya ini, maka pasien biasanya
bernafas dangkal dan perlahan, serta menghindari kerja fisik atau rangsangan.
Suara tetap bagus, dan kebanyakan pasien menyangkal bahwa ada perubahan
suara. Akan tetapi, fungsi suara yang halus, seperti bernyanyi, terganggu. Bila
diperiksa ketika fonasi, laring tampaknya normal, tetapi pita suara tidak dapat
berabduksi dari posisi digaris tengah pada waktu inspirasi, sehingga saluran
nafas hanya berupa celah tipis berbentuk lonjong. Pada beberapa kasus
saluran nafas secara subjektif adekuat, oleh karena perbedaan tinggi pita
suara.
Kelumpuhan unilateral pada posisi paramedian, merupakan akibat yang
biasa terjadi pada kelumpuhan nervus rekurens yang baru. Derajat disfungsi
sangat dipengaruhi oleh derajat kompensasi yang dicapai. Pada pemeriksaan
laring tampak kelumpuhan pita suara pada posisi paramedian. Pita suara
bagian membran biasanya agak melengkung dan letaknya lebih rendah
daripada pita suara yang normal. Pita suara yang lumpuh tampak

17
menggelembung ke atas pada fonasi dan bentuk glotis tetap agak lonjong.
Aritenoid tampak melewati garis tengah dan bergerak dibelakang atau
didepan aritenoid yang lumpuh, bila paralisis telah beberapa hari. Gejala
pada kasus yang tidak mengalami kompensasi pada paralisis paramedian
antara lain suara mendesah, parau, waktu fonasi memendek, volume suara
dan tingkat nada berkurang, serta diplofonia. Bila terjadi kompensasi, maka
gejalanya berkurang, dan beberapa kasus, suara akan menjadi normal
kembali. Biasanya terdapat sedikit disfonia, dan pada beberapa kasus tinggi
nada meninggi abnormal (falsetto), oleh karena usaha kompensasi untuk
glotis yang lonjong itu. Biasanya pada orang tua tidak terjadi kompensasi
pada posisi pita suara ini.
Kelumpuhan bilateral pada posisi paramedian merupakan akibat yang
biasa ditemukan pada paralisis nervus rekurens bilateral yang baru saja
terjadi. Gejalanya sangat bervariasi pada tiap individu dan berupa dispnea dan
stridor. Disfonia berbanding terbalik dengan dispnea dan stridor. Disfonia
ditandai oleh suara mendesah yang lemah, agak parau, disertai gangguan
volume suara dan perubahan nada. Sebaiknya, dispnea tidak jelas pada waktu
istirahat, tetapi bekerja fisik biasanya menyebabkan sedikit stridor inspirasi
dan sukar bernafas. Dengan memeriksa laring keadaan ini dapat terungkap.
Biasanyalebar glotis dikomisura posterior 3-4 mm. Pita suara biasanya agak
melengkung lagi, serta pada ekspirasi dibagian superior menggelembung.
Paralisis pita suara pada posisi intermedian, biasanya disebabkan oleh
paralisis nervus rekurens dan nervus laringeus superior pada satu sisi, yang
disebut paralisis gabungan. Mungkin disebabkan oleh paralisis bulbar atau
vagus atas, tetapi yang paling sering menyebabkan kerusakan saraf ganda ini
adalah cedera ketika melakukan tiroidektomi. Paralisis yang hanya mengenai
nervus rekurens dapat menyebabkan posisi ini. Hal ini sangat mungkin pada
kerusakan nervus rekurens di thorax. Paralisis nervus rekurens akut yang
disebabkan oleh apapun dapat menyebabkan kelumpuhan pita suara yang
awalnya pada posisi intermedian. Posisi intermedian ini biasanya untuk
sementara, dan pita suara akan berpindah kearah garis tengah setelah

18
beberapa hari, atau pada beberapa kasus, setelah beberapa bulan atau tahun.
Gejalanya berupa ketidakmampuan glotis, suara lemah, mendesah, parau,
waktu fonasi pendek, dan nafas pendek karena udara nafas banyak pada
waktu berbicara. Pada mulanya kebanyakan pasien mengalami disfagi dan
aspirasi pada waktu menelan, tetapi pada kebanyakan kasus terjadi
kompensasi. Beberapa pasien, teruatama orang tua, gejalanya menetap karena
kompensasi tidak adekuat. Pada pemeriksaan laring tampak letak pita suara
yang lumpuh kira-kira 3,5 sampai 4 mm dari garis tengah. Pita suara
melengkung kelateral dan masih terdapat celah glotik seluas 1 sampai 2 mm
pada fonasi. Pada beberapa kasus paralisis gabungan, aritenoid prolaps ke
aterior tidak sejelas yang terjadi pada posisi median dan paramedian.
Kompensasi terjadi dalam dua bentuk:
- Pita suara yang normal melampaui garis tengah untuk mendekati
pita suara yang lain.
- Pita suara palsu mengambila alih fungsi fonasi dan fungsi sfingter,
dan terjadilah disfonia plika ventrikularis.
Jarang terjadi kelumpuhan bilateral diposisi intermedian yang menetap,
karena hal ini biasanya disebabkan oleh lesi bulbar bilateral dan lesi vagus
atas, yang tidak memungkinkan untuk terus hidup.
Paralisis pita suara dalam abduksi jarang sekali ditemukan. Hal ini
dapat terjadi oleh karena lesi korteks difus yang disebabkan oleh truma, tetapi
tidak terjadi kelumpuhan flaksid, hanya kelumpuhan spastik. Kelumpuhan itu
cenderung bilateral dan gejalanya sama dengan kelumpuhan pada posisi
intermedian, tetapi lebih jelas.
Kelumpuhan yang menyebabkan hilangnya ketegangan pita suara
(abduksi penuh) dan celah glotik miring serta aritenoid agak prolaps dan
sedikit berputar ke medial, disebabkan oleh paralisis cabang eksternal nervus
laringeus superior. Pada keadaan ini terdapat kesukaran mempertahankan,
menaikkan dan mengatur tinggi nada. Kelumpuhan ini umumnya unilateral
dan tidak jarang terjadi.

19
2.3.4 Diagnosis
Untuk menunjang diagnosis paralisis pita suara, maka dilakukan beberapa
tahapan pemeriksaan di antaranya adalah:
1) Anamnesa dan pemeriksaan fisik, termasuk pendengaran terhadap suara
dan jalan napas bergantung pada riwayat gejala yang ada.
2) Pemeriksaan penunjang
a. Pencitraan
Karena gangguan ini disebabkan oleh kerusakan saraf, maka
diperlukan tambahan tes untuk mencari penyebab paralisis. Untuk itu
maka dapat digunakan X-ray, MRI maupun CT-scan.
b. Endoskopi
Dilakukan untuk melihat pita suara yang ditampilkan pada monitor
agar bisa terlihat salah satu atau kedua pita suara yang terkena.
c. Laringeal elektromiografi
Dalam pemeriksaan ini dilakukan pemasukkan jarum kecil ke dalam
otot pita suara dan digunakan untuk menemukan kelainan yang terjadi
serta langkah terapi selanjutnya.

2.3.5 Penatalaksanaan
Ada beberapa terapi untuk paralisis pita suara, antara lain:
1) Medikasi
Terapi dengan medikasi biasanya dipakai saat ada kelainan penyerta
seperti refluks gastroesofagus (antacid, proton pump inhibitor), sinonasal
alergi (antihistamin).
2) Voice therapy
Terapi dapat dilakukan sendiri atau dengan dikombinasikan dengan
terapi pembedahan. Pemilihan voice therapy ini sebagai terapi sendiri
karena dalam beberapa kasus suara dapat kembali normal tanpa terapi pada
tahun pertama terjadinya kerusakan sehingga tidak memerlukan
pembedahan, jika pasien tidak bisa atau menolak pembedahan.

20
Untuk terapi yang dilakukan dengan pembedahan biasa dilakukan
pada saat pre-operatif 1-2 sesi dan post-operatif 2-3 sesi, pada terapi pre-
operatif dapat menurukan muscle tension dysphonia (MTD) sekunder dan
untuk terapi post-operatif nya dapat meningkatkan kekuatan, koordinasi,
dan daya tahan otot.
3) Pembedahan.
Pada paralisis bilateral pita suara biasanya pasien membutuhkan
penanganan yang segera akibat hilangnya fungsi abduksiyang
menyebabkan obstruksi jalan nafas. Trakheostomi sebaiknya dilakukan
pada pasien ini. Karena merupakan penatalaksanaan yang efektif dan
langsung melewati tempat obstruksi. Trakheostomi jangka panjang
biasanya kurang menarik, sehingga trakheostomi dilakukan pada akut
bilateral paralisis.3
Pembedahan untuk terapi paralisis pita suara juga dapat dikategorikan
sebagai :
a. Temporary
Dengan endoskopik injeksi dari material yang dapat diresorpsi pada
pita suara yang rusak, di samping otot thyroaritenoid di rongga
paraglotis. Dan hasilnya adalah medialisasi dari pita suara yang
paralisis, sehingga dapat meningkatkan kualitas suara dan
meningkatkan fungsi menelan. Ada banyak materi injeksi yang dapat
digunakan, antara lain :
1. Radiesse voice gel
2. Asam Hialuronik
3. Cymetra
4. Gelfoam
5. Zyplast/Zyderm

b. Permanen

21
Dapat dibagi menjadi injeksi permanen dan laryngeal framework
surgery. Pada teknik injeksi permanen, teknik-tekniknya sama dengan
yang injeksi temporary, hanya materialnya yang berbeda, untuk
injeksi permanen ini digunakan material yang lebih permanen, seperti
lemak, fascia, CaHA, Teflon.
Walaupun peningkatan popularitas dan ketersediaan material untuk
injeksi permanen, laryngeal framework surgery masih menjadi kriteria
standar untuk terapi jangka panjang pada paralisis pita suara.
Untuk terapi pembedahannya, medialisasi thyroplasty/laringoplasty
adalah medialisasi pita suara yang paralisis dari approach eksternal
dan dikerjakan melalui kartilago tiroid. Dibuat jendela insisi kecil dan
pisahkan kartilago tiroidnya dan implan dipasang melalui jendela
insisi kearah medial sehingga dapat memedialisasi pita suara yang
paralisis. Implan yang biasa dipakai adalah silastic block, Gore-Tex.
Untuk Gore-Tex penggunaannya sangat meningkat pada tahun-tahun
belakangan ini karena kemampuannya untuk dapat disesuaikan
dengan mudah pada saat prosedur pembedahan dan Gore-Tex aman
dan dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh.
Ada teknik terbaru untuk terapi pembedahan dengan laryngeal
framework surgery dan mencakup manipulasi dari kartilago
arytenoids, disebut “arytenoid adduction”, dengan melakukan jahitan
melalui otot untuk mecapai kartilago arytenoids dan menjahitnya
kearah anterior laring (arytenoid adduction). Terapi pembedahan
dengan kartilago arytenoid dapat mengembalikan panjang dan
ketegangan dari pita suara yang paralisis dan untuk memedialkan
glottis posterior.
Sekarang digunakan kombinasi dari kedua teknik pembedahan ini,
dengan ”arytenoid adduction” dan medialisasi laringoplasty disebut
dapat memaksimalkan rehabilitasi vokal. Dan ini terbukti karena
fungsi dari medialisasi laringoplasty adalah mengembalikan posisi dan
menebalkan pita suara yang paralisis dan arytenoid adduction untuk

22
mengembalikan ketegangan dan panjang dari pita suara yang
paralisis.3

2.3.6 Komplikasi
Komplikasi dari terapi pembedahan adalah suara yang kurang baik,
kesulitan bernafas, dan migrasi dari implan. Pada saat pembedahan yang
mencakup manipulasi dari saluran nafas, faktor seperti hematoma, edema dapat
menyebabkan kesulitan bernafas, dan untuk mencegah dari komplikasi ini maka
pada saat operasi harus dilakukan dengan tepat dan sangat hati-hati serta dengan
pemberian kortikosteroid pre dan post-operatif, dan resiko akan lebih besar jika
proses pembedahan adalah bilateral.
Walaupun pembedahan sangat penting jika ada disfagia, kebanyakan
pembedahan dilakukan untuk memperbaiki kualitas suara, dan jika tidak ada
perbaikan kualitas suara, maka terjadi komplikasi saat prosedur. Sering kualitas
suara yang buruk atau tidak ada perbaikan setelah operasi dapat diperbaiki
dengan pengulangan medialisasi laringoplasty dengan atau tanpa arytenoid
adduction.
Dan sebab yang paling sering menyebabkan kualitas suara yang buruk
setelah operasi adalah kesalahan penempatan implan, penempatannya terlalu
kearah anterior/superior, implan terlalu kecil/besar. Hal ini dapat menyebabkan
edema intraoperatif, dapat dicegah dengan penggunaan kortikosteroid untuk
meminimalkan edema sebelum dapat dilakukan kembali penggantian implan.
Migrasi dari implan dapat terjadi post-operatif, baik kearah medial saluran nafas
atau ke arah lateral ke leher.12,13
2.3.7 Prognosis
Hasil dari terapi pada paralisis pita suara adalah sangat baik. Kebanyakan
pasien dapat kembali berbicara hampir normal dan bahkan normal dan dengan
minimal atau tanpa limitasi dari fungsi berbicara untuk kebutuhan berbicara.

BAB III

KESIMPULAN

23
Paralisis atau kelumpuhan pita suara adalah terganggunya pergerakkan
pita suara karena disfungsi saraf ke otot – otot laring. Hal ini merupakan gejala
suatu penyakit dan bukan diagnosis. Kelumpuhan ini dapat kongenital dan
didapat. Pada kelainan yang didapat etiologi tersering adalah pasca-bedah,
selanjutnya, tumor, trauma, kelainan susunan saraf pusat.

Gejala kelumpuhan pita suara didapat adalah suara parau, stridor atau
bahkan disertai kesulitan menelan tergantung pada penyebabnya. Pemeriksaan
laringoskopi diperlukan untuk menentukkan pita suara sisi mana yang lumpuh
serta gerakkan aduksi dan abduksinya. Aspek klinis dari kelumpuhan pita suara
dapat bervariasi tergantung pada posisi pita suara.

Hasil dari terapi pada paralisis pita suara adalah sangat baik. Kebanyakan
pasien dapat kembali berbicara hampir normal dan bahkan normal dan dengan
minimal atau tanpa limitasi dari fungsi berbicara untuk kebutuhan berbicara sehari
– hari.

DAFTAR PUSTAKA

24
1. George L. Adams, Lawrence R. Boeis, Peter A. Highler. Dalam BOEIS
Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
ECG; 1997. Hal 369-396
2. J. Dance Jr, Milton. Anatomy and Physiology of the Voice. [online].
Available from:
http://www.gbmc.org/voice/anatomyphysiologyofthelarynx.cfm. [Cited
Apr, 05 2011]
3. James B. Snow, John Jacob Ballenger. In Ballenger’s
Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 16th Edition. Spain: BC
Decker Inc; 2003. Page 1090-1236
4. John T. Hansen, David R. Lambert. In Netter’s Clinical Anatomy. 1 st

Edition. USA: Medimedia; 2005. Chapter 8


5. R. S. Dhillon, C. A. East. In Ear, Nose, and Throat and Head and Neck
Surgery. 2nd Edition. UK ; Harcourt Publishers; 2000. Page 56-60
6. Thomas R. Van De Water, Hinrich Staecker. In Otolaryngology Basic
Science and Clinical Review. 1st Edition. New York: Thieme Medical
Publisher; 2005. Page 505-523
7. Efianty A., Nurbaity Iskandar, Jenny B, Ratna D, Dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi 6. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. Hal 241-2
8. Charles W. Cummings, Paul W. Flint, Bruce H. Haughey, K.Thomas
Robbins, J. Regan Thomas, Lee A. Harker, Mark A. Richardson, and
David E. Schuller. In Cummings Otolaryngology Head and Neck Surgery.
4th Edition. USA: Mosby Inc; 2005. Part 7
9. Anil K. Lalwani. In Current Diagnosis and Treatment Otolaryngology
Head and Neck Surgery. 2nd Edition. New York: Mc Graw Hill Lange;
2007. Chapter 31
10. Lucian Sulica, Andrew Blitzer. In Vocal Fold Paralysis. 1 st Edition. New
York: Springer Berlin Heidelberg; 2006. Page 35-93

25
11. Thomas L.Carrol. In Vocal Cord Paralysis. [Online] Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/863779-overview. [cited Apr,5
2011]
12. Mayo Foundation for Medical Education and Research.In Vocal Cord
Paralysis.[online] Available from:
http://www.entnet.org/HealthInformation/vocalChordParalysis.cfm.
[Cited Apr, 5 2011]
13. Greater Baltimore Medical Center. In Vocal Cord Paralysis.[Online].
Tersedia dari: http://www.nidcd.nih.gov/health/voice/vocalparal.htm#1.
[Cited Apr,5 2011]

26

Anda mungkin juga menyukai