OLEH:
STIFA B 2021
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas ini dengan baik dan selesai tepat waktu.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada apt. Suwahyuni Mus,
S.Si.,M.Kes selaku dosen pengampuh mata kuliah Blok Farmakologi 2 yang
telah mengarahkan dan membimbing kami serta rekan-rekan yang telah
membantu dalam menyelesaikan tugas yang berjudul “ASMA,BATUK, DAN
PPOK”. Penyusunan tugas ini untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Blok Farmakologi 2.
Kami menyadari masih terdapat kekurangan dalam buku ini untuk itu
kritik dan saran terhadap penyempurnaan tugas ini sangat diharapkan.
Semoga buku ini dapat memberi manfaat bagi mahasiswa farmasi
khususnya dan bagi semua pihak yang membutuhkan.
Makassar, 31 Januari 2023
Penyusun
3
A. ANATOMI DAN FISIOLOGI ORGAN
Anatomi berasal dari bahasa Latin, yaitu ana: bagian, memisahkan;
tomi (tomie): Tommeimei: iris, potong. Fisiologi berasal dari kata fisis
(phisis); alam atau cara kerja; logos (logi) ilmu pengetahuan. Dari kata
tersebut di atas dapat disimpulkan pengertian anatomi fisiologi adalah ilmu
pengetahuan yang mempelajari tentang susunan tubuh atau potongan
tubuh dan bagaimana alat tubuh itu bekerja secara normal. Anatomi adalah
ilmu yang mempelajari bentuk dan susunan tubuh baik secara keseluruhan
maupun bagian-bagian serta hubungan alat tubuh yang satu dengan yang
lain. Fisiologi adalah ilmu yang mempelajari faal atau pekerjaan dari tiap-
tiap jaringan tubuh atau bagian dari alat-alat tubuh. (Evelyn, 2018)
A.) Hidung
Hidung terdiri dari hidung luar dan hidung dalam. Hidung luar
menonjol pada garis tengah antara pipi dengan bibir atas. Struktur hidung
luar dapat dibedakan atas tiga bagian : bagian paling atas kubah tulang
yang dapat digerakkan, dibawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit
dapat digerakkan dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang
mudah digerakkan. Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-
bagiannya dari atas ke bawah yaitu : pangkal hidung (bridge), batang
hidung (dorsum nasi), puncak hidung (tip), ala nasi, kolumela, dan lubang
hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan
tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan kulit dan beberapa otot kecil
yang berfungsi untuk melebarkan dan menyempitkan lubang hidung.
Kerangka terdiri dari tulang-tulang (os nasal), prosesus frontalis os maksila,
prosesus nasalis os frontal. Sedangkan tulang rawan terdiri dari beberapa
pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung yaitu sepasang
kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis
inferior (kartilago ala mayor) dan tepi anterior kartilago septum. Rongga
hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Pintu tau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut
4
nares anterior dan lubang belakang disebut koana yang menghubungkan
kavum nasi dengan nasofaring. Bagian kavum nasi letaknya sesuai dengan
ala nasi, tepatnya dibelakang nares anterior disebut vestibulum. Vestibulum
ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut
panjang yang disebut vibrise. Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang
membentang dari nares anterior hingga koana di posterior yang
memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Septum nasi membagi tengah
bagian hidung dalam menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Setiap kavum nasi
mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan
superior. (Broek, 2020).
5
b.) Faring
Faring dibentuk oleh otot rangka dan dilapisi oleh membran mukosa
yang berkelanjutan dengan rongga hidung dan memiliki bentuk menyerupai
tabung, faring dibagi menjadi tiga bagian utama seperti nasofaring,
orofaring, dan laringofaring.
Nasofaring terletak diantara conchae pada rongga hidung dan
berfungsi sebagai jalan napas, bagian atas nasofaring adalah tonsil faring.
Adenoid disebut juga sebagai salah satu tonsil faring merupakan kumpulan
jaringan reticular limfoid yang serupa dengan nodus limfa dan terletak pada
bagian superior nasofaring, fungsi tonsil faring tidak diketahui dengan baik
akan tetapi mengandung banyak persediaan limfosit dan ditutupi oleh epitel
yang bersilia dan dapat menghancurkan patogen yang menyebabkan
terganggunya pernapasan responden. Tonsil faring cenderung mengalami
beberapa kemunduran seiring dengan bertambahnya usia dan bahkan bisa
hilang. Uvula berbentuk bulat kecil dengan struktur membentuk seperti
tetesan air mata yang terletak di bagian apex dari tekak. Uvula dan tekak
bergerak seperti pendulum pada saat menelan dan akan bergerak keatas
untuk menutup nasofaring sehingga mencegah makanan untuk tidak masuk
ke rongga pernapasan. Orafaring adalah sebuah tempat yang dapat
dilewati oleh udara dan makanan, orofaring dibatasi secara superior oleh
nasofaring dan anterior oleh rongga mulut. Osofaring mengandung dua
tonsil (amandel) yang berbeda meliputi palatina dan lingual tonsil, palatina
tonsil memiliki struktur yang melekat pada bagian lateral dari orofaring di
tenggorokan sedangkan lingual tonsil terletak di bagian dasar dari lidah.
Udara akan berakhir di bagian inferior, pada bagian inferior dari sistem
pencernaan dan pernapasan akan bercabang. Osofaring akan berlanjut
sampai pada laringofaring, pada bagian anterior laringofaring akan terbuka
kedalam laring sedangkan bagian posterior akan memasuki esofagus
(Herawati, 2018)
6
Gambar 2. Anatomi Faring (Tu et al, 2018)
Fungsi utama dari faring adalah untuk respirasi, menelan, resonansi
suara dan artikulasi. Fungsi faring dalam menelan memiliki 3 Fase yaitu,
fase oral, fase faringal, dan fase esofagal. Pada fase oral, bolus makanan
akan di salurkan dari mulut menuju faring dengan gerakan voluntary. Fase
faringal yaitu saat transfer bolus makanan melalui faring dengan gerakan
involuntary. Pada fase esofagal terjadi gerakan involuntary, dimana bolus
makanan secara peristaltik di esofagus menuju lambung. Fungsi faring
yang lain adalah artikulasi. Dimana proses ini diakibatkan karena gerakan
pendekatan palatum mole ke arah dinding belakang faring. Gerakan
tersebut terjadi sangat cepat yang melibatkan musculus salpingo faring dan
musculus palatofaring. Saat gerakan penutupan musculus levator veli
palatini akan menarik palatum mole ke belakang (Herawati, 2018).
c.) Laring
Laring merupakan salah satu kartilaginosa dengan struktur yang
terletak di bagian inferior dari laringofaring dan menghubungkan faring ke
trakea, membantu mengatur volume udara yang masuk dan keluar dari
paru-paru. Laring dibentuk dari beberapa bagian kartilago dengan tiga
kartilago besar, kartilago tiroid (anterior), epiglotis (superior) dan kartilago
krikoid (inferior) yang akan membentuk bagian utama dari laring. Epiglotis
yang melekat pada kartilago tiroid merupakan bagian dari kartilago yang
umumnya bersifat elastis dan mencakup pembukaan lubang dari trakea
yang flesibel, ketika dalam posisi tertutup ujung epiglotis yang tidak melekat
7
akan bertumpu pada glottis. Glottis terdiri dari folds vestibular, true pita
suara dan ruang di antara lipatan. Folds vestibular atau dikenal sebagai
false pita suara merupakan salah satu dari sepasang bagian yang terlipat
pada membran mukus, true pita suara dikenal sebagai selaput putih karena
memiliki sebuah selaput yang berwarna putih dan melekat pada otot ke
tiroid dan kartilago arytnoid pada laring disisi luarnya sedangkan pada
bagian dalam dari true pita suara memungkinkan untuk melakukan osilasi
dan akan menghasilkan suara. Ukuran dari selaput membran untuk setiap
responden sangat berbeda, fold (lipatan) dari laki-laki lebih besar
dibandingkan dengan perempuan dengan menciptakan suara yang lebih
dalam. Pada proses menelan faring dan laring akan terangkat ke atas
membuat faring melebar dan epiglotis pada laring akan melengkung ke
bawah sehingga menutup lubang trakea. Gerakan ini dapat menghasilkan
area yang lebih luas yang menyebabkan makanan bisa dilewati pada
bagian laring sekaligus mencegah makanan dan minuman untuk tidak
masuk ke trakea (Betts, 2018).
8
Penutupan rima glotis terjadi karena adduksi plika vokalis. Kartilago
aritenoid kiri dan kanan mendekat karena aduksi otot-otot intrinsik. Selain
itu dengan refleks batuk, benda asing yang telah masuk ke dalam trakea
dapat dibatukkan ke luar. Demikian juga dengan bantuan batuk, sekret yang
berasal dari paru dapat dikeluarkan Fungsi respirasi laring dengan
mengatur besar kecilnya rima glotis. Bila m.krikoaritenoid posterior
berkontraksi akan menyebabkan prosesus vokalis kartilago aritenoid
bergerak ke lateral, sehingga rima glotis terbuka. Dengan terjadinya
perubahan tekanan udara maka didalam traktus trakeo-bronkial akan dapat
mempengaruhi sirkulasi darah tubuh. Oleh karena itu laring juga
mempunyai fungsi sebagai alat pengatur sirkulasi darah. Fungsi laring
dalam proses menelan mempunyai tiga mekanisme yaitu gerakan
laring bagian bawah keatas, menutup aditus laringeus, serta mendorong
bolus makanan turun ke hipofaring dan tidak mungkin masuk kedalam
laring. Laring juga mempunyai fungsi untuk mengekspresikan emosi seperti
berteriak, mengeluh, menangis dan lain-lain yang berkaitan dengan
fungsinya untuk fonasi dengan membuat suara serta menentukan tinggi
rendahnya nada. Tinggi rendahnya nada di atur oleh peregangan plika
vokalis. Bila plika vokalis dalam aduksi, maka m.krikotiroid akan
merotasikan kartilago tiroid ke bawah dan ke depan, menjauhi kartilago
aritenoid. Pada saat yang bersamaan m.krikoaritenoid posterior akan
menahan atau menarik kartilago aritenoid ke belakang. Plika vokalis kini
dalam keadaan yang efektif untuk berkontraksi l. Sebaliknya kontraksi
m.krikoaritenoid akan mendorong kartilago aritenoid ke depan, sehingga
plika vokalis akan mengendor. Kontraksi serta mengendornya plika vokalis
akan menentukan tinggi rendahnya nada (Hermani, 2018).
d) Trakea
Trakea (tenggorokan) memiliki struktur panjang dari laring ke paru-
paru dan akan dibentuk oleh 16 sampai 20 susun dengan potongan yang
berbentuk C dari kartilago yang berhialin dan dihubungkan dengan jaringan
ikat yang padat. Otot trakea dan jaringan ikat yang elastis akan membentuk
9
sebuah membran fibroelastik sehingga membran fleksibel akan menutup
permukaan trakea bagian posterior yang dapat dihubungkan dengan
kartilago yang berbentuk C. Selaput fibroblastik memungkinkan trakea
untuk merenggang dan melebar selama proses inhalasi dan pernapasan,
trakea dilapisi dengan pseudostratified yang bersilia pada columna epitel
dan akan berlanjut di laring sedangkan esofagus berbatasan dengan trakea
di bagian posterior (Oppenstax, 2018)
10
bawah. Dari 3 lobus tersebut akan terbentuk lagi 10 segmen yang nantinya
akan bermuara menjadi bronkiolus. Sedangkan bronkus utama kiri akan
bercabang lagi menjadi 2 lobus, yaitu lobus kiri atas dan lobus kiri bawah.
Dari 2 lobus tersebut akan terbentuk 8 segmen yang nantinya akan
bermuara menjadi bronkiolus. Untuk system vaskularisasinya, bronkus
kanan akan mendapat vaskularisasi dari arteri pulmonalis dextra dan di
atasnya terdapat vena Azygos, sedangkan bronkus kiri mendapat
vaskularisasi dari arteri pulmonalis sinistra. Dalam system respirasi,
bronkus memiliki beberapa fungsi diantaranya ialah sebagai saluran untuk
mengalirkan udara dari dan ke alveoli, sebagai penghangat dan penyaring
udara yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui epitel kolumnar bersilia
yang ada di bronkus. (Mehran, 2018).
11
Saat menghirup udara, otot diafragma akan mendatar, ruang yang
menampung paru-paru akan meluas. Begitu pula sebaliknya, saat
menghembuskan udara, diafragma akan mengerut dan paru-paru akan
mengempis mengeluarkan udara (Fauci et al, 2018).
Paru-paru terletak pada rongga dada, berbentuk kerucut yang
ujungnya (apex pulmo) berada di atas tulang iga pertama dan dasarnya
berada pada diafragma (Basis pulmo). Paru terbagi menjadi dua yaitu, paru
kanan dan paru kiri. Paru-paru kanan mempunyai tiga lobus (lobus superior,
lobus medius, dan lobus inferior), sedangkan paru-paru kiri mempunyai dua
lobus (lobus superior dan lobus inferior). Setiap paru-paru terbagi lagi
menjadi beberapa sub bagian menjadi sekitar sepuluh unit terkecil yang
disebut bronchopulmonary segments. Paru-paru kanan dan kiri dipisahkan
oleh ruang yang disebut mediastinum (Sherwood, 2019).
Paru-paru dibungkus oleh selaput tipis yaitu pleura. Pleura terbagi
menjadi pleura viseralis dan pleura pariental. Pleura viseralis yaitu selaput
yang langsung membungkus paru, sedangkan pleura parietal yaitu selaput
yang menempel pada rongga dada. Diantara kedua pleura terdapat rongga
yang disebut kavum pleura. Sistem pernapasan terbagi menjadi dari dua
proses, yaitu inspirasi dan ekspirasi. Inspirasi adalah pergerakan dari
atmosfer ke dalam paru, sedangkan ekspirasi adalah pergerakan dari
dalam paru ke atmosfer (Gyuton, 2020)
12
B. PATOFISIOLOGI PENYAKIT
a.) Patofisiologi asma
Patofisiologi asma sangatlah komplek, meliputi beberapa komponen
yaitu; inflamasi jalan nafas, obstruksi jalan nafas yang intermiten, dan
hiperresponsif bronkus. Trigger (pemicu) yang berbeda akan menyebabkan
eksaserbasi asma oleh karena inflamasi saluran nafas atau bronkospasme
akut atau keduanya. Sesuatu yang dapat memicu serangan asma ini sangat
bervariasi antara satu individu dengan individu yang lain dan dari satu waktu
ke waktu yang lain. Beberapa hal di antaranya adalah alergen, polusi udara,
infeksi saluran nafas, kecapaian, perubahan cuaca, makanan, obat, atau
ekspresi emosi yang berlebihan. Faktor lain yang kemungkinan dapat
menyebabkan eksaserbasi ini adalah rinitis, sinusitis bilateral, poliposis,
menstruasi, refluk gastroesopageal dan kehamilan (Senapathi, 2016).
b.) Patofisiologi batuk
Batuk adalah suatu refleks pertahanan tubuh untuk mengeluarkan
benda asing dari saluran nafas. Ada 4 fase mekanisme batuk, yaitu fase
iritasi, fase inspirasi, fase kompresi dan fase ekspulsi/ekspirasi. Iritasi
salah satu ujung saraf sensoris nervus vagus di laring, trakea, bronkus
besar atau sera aferen cabang faring dari nervus glossofaringeal dapat
menimbulkan batuk. Batuk juga timbul bila reseptor batuk di lapisan
faring dan esofagus, rongga pleura dan saluran telinga luar
dirangsang. Rangsang pada reseptor batuk dialirkan ke pusat batuk ke
medula, dari medula dikirim jawaban ke otot-otot dinding dada dan
laring sehingga timbul batuk (Aditama, 2018).
Fase inspirasi dimulai dengan inspirasi singkat dan cepat dari sejumlah
besar udara, pada saat ini glotis secara refleks sudah terbuka. Volume
udara yang diinspirasi sangat bervariasi jumlahnya, berkisar antara 200
sampai 3500 ml di atas kapasitas residu fungsional. Penelitian lain
menyebutkan jumlah udara yang dihisap berkisar antara 50% dari tidal
volume sampai 50% dari kapasitas vital. Ada dua manfaat utama
dihisapnya sejumlah besar volume ini. Pertama, volume yang besar akan
13
memperkuat fase ekspirasi nantinya dan dapat menghasilkan ekspirasi
yang lebih cepat dan lebih kuat. Manfaat kedua, volume yang besar akan
memperkecil rongga udara yang ter-tutup sehingga pengeluaran sekret
akan lebih mudah (Aditama, 2018).
Setelah udara di inspirasi, maka mulailah fase kompresi dimana glotis
akan tertutup selama 0,2 detik. Pada masa ini, tekanan di paru dan
abdomen akan meningkat sampai 50- 100 mmHg. Tertutupnya glottis
merupakan ciri khas batuk, yang membedakannya dengan manuver
ekspirasi paksa lain karena akan menghasilkan tenaga yang berbeda.
Tekanan yang didapatkan bila glotis tertutup adalah 10 sampai 100% lebih
besar daripada cara ekspirasi paksa yang lain. Kemudian, secara aktif glotis
akan terbuka dan berlangsunglah fase ekspirasi. Udara akan keluar dan
menggetarkan jaringan saluran napas serta udara yang ada sehingga
menimbulkan suara batuk (Aditama, 2018).
c.) Patofisiologi PPOK
Onset (awal terjadinya penyakit) biasanya pada usia pertengahan dan
tidak hilang dengan pengobatan. Didefinisikan sebagai PPOK jika pernah
mengalami sesak napas yang bertambah ketika beraktifitas dan atau
bertambah dengan meningkatnya usia disertai batuk berdahak atau pernah
mengalami sesak napas disertai batuk berdahak (Kementerian Kesehatan
RI, 2017).
Asap rokok atau polutan dapat memicu inflamasi yang dapat merusak
paruparu. Secara nomal silia dan mucus di bronkus melindungi dari inhalasi
iritan.Namun, iritasi yang terjadi secara terus-menerus yang berasal dari
asap rokok atau polutan dapat memicu inflamasi yang dapat merusak paru-
paru yang menyebabkan respon yang berlebihan pada mekanisme
pertahanan mukosiliar yaitu penjagaan terhadap paru-paru yang dilakukan
oleh mucus dan silia.
Asap rokok akan menghambat pembersihan mukosiliar, factor yang
menyebabkan gagalnya pembersihan mukosiliar adalah adanya proliferasi
atau pertumbuhan pesat sel goblet. Peningkatan jumlah sel dan
14
bertambahnya ukuran sel kelenjar penghasil mucus menyebabkan
hipersekresi mucus di saluran napas. Bersama dengan adanya produksi
mucus, terjadi sumbatan bronkiolus dan alveoli. Iritasi dari asap rokok juga
menyebabkan inflamasi pada bronkiolus dan alveoli. Fungsi dari silia
menurun dan lebih banyak secret yang dihasilkan, dengan 12 banyaknya
mucus yang kental dan lengket serta menurunnya pembersihan mukosiliar
menyebabkan masalah pada jalan napas (Ikawati, 2016).
Pada emfisema, beberapa factor penyebab obstruksi jalan napas yaitu:
inflamasi dan pembengkakan bronki, produksi lendir yang berlebihan,
kehilangan rekoil elastic jalan napas, dan kolaps bronkiolus serta
redistribusi udara ke alveoli yang berfungsi. Karena dinding alveoli
mengalami kerusakan menyebabkan area permukaan alveolar yang kontak
langsung dengan paru berkurang sehingga akan mengakibatkan kerusakan
difusi oksigen. Kerusakan difusi oksigen ini akan mengakibatkan terjadinya
hipoksemia (Smeltzer & Bare, 2019).
15
Serangan asma pada pasien disebabkan karena adanya pemicu
serangan seperti udara dingin, udara terpapar polusi dan asap rokok,
aktivitas fisik yang berlebihan, infeksi virus, paparan zat kimia, dan
kurangnya kontrol emosi (Oktarina. dkk, 2018). Pada umumnya penderita
asma akan mengalami sesak nafas, berat pada dada, terdengar suara
wheezing saat di auskultasi, dan batuk. Namun tidak semua pasien asma
mengalami gejala batuk. Penderita penyakit asma membutuhkan
penatalaksanaan berupa terapi farmakologi dan terapi non-farmakologi
16
Batuk juga dapat disertai dahak. Jika tidak, rasa gatal di tenggorokan
mengindikasikan gejala batuk kering. Apabila batuk sambil mengeluarkan
darah, kondisi ini dinamakan hemoptysis atau batuk berdarah.
c.) Tanda dan Gejala PPOK
a. Batuk kronik
c. Kelemahan badan
d. Produksi spuntum
e. Nafas berbunyi
17
D. PENGGOLONGAN OBAT
18
ekspektoran untuk orang dewasaialah 300mg (5mL) tiap 2 hingga 4 jam.
Obat ini hampir tidak digunakan lagi untukpengasaman urin pada
keracunan sebab berpotensi membebani fungsi ginjal
danmenyebabkan gangguan keseimbangan elektrolit.
1.2 Mukolitik
1.2.1 Bromheksin
19
lebih mendalam pada masa akan datang. Efek samping dari obat ini jika
diberikan secara oral adalah mual dan peninggian transaminase serum.
Bromheksin hendaklah digunakan denganhati-hati pada pasien tukak
lambung. Dosis oral bagi dewasa seperti yang dianjurkan adalah tiga kali,
4-8 mg sehari. Obat ini rasanya pahit sekali.
1.2.2 Ambroksol
1.2.3 Asetilsistein
20
perlu disedot (suction). Maka, jika obat ini diberikan, hendaklah disediakan
alat penyedot lendir nafas. Biasanya, larutan yang digunakan adalah
asetilsistein 10% hingga 20%.
1.3 Antitusif
Obat golongan ini menekan batuk dengan mengurangi iritasi lokal di saluran
nafas, yaitupada reseptor iritan perifer dengan cara anastesi langsung atau
secara tidak langsung mempengaruhi lendir saluran nafas
21
lidokain sangat bermanfaat dalam menghambat batuk akibat prosedur
pemeriksaan bronkoskopi.
1.3.1.2 Demulcent
22
Dalam dosis terapi dekstrometorfan tidak menghambat aktivitas silia
bronkus dan efek antitusifnya bertahan 5-6 jam. Toksisitas zat ini rendah
sekali, tetapi dosis sangat tinggi mungkin menimbulkan depresi pernafasan.
Dekstrometorfan tersedia dalam bentuk tablet 10mg dan sebagai sirup
dengan kadar 10 mg dan 15 mg/5mL. dosis dewasa 10-30 mg diberikan 3-
4 kalisehari. Dekstrometorfan sering dipakai bersama antihistamin,
dekongestan, dan ekspektoran dalam produk kombinasi (Corelli, 2019).
Obat ini tidak mempunyai efek analgesik dan ketergantungan. Obat ini juga
efektif bila diberikan dengan dosis 30 mg setiap 4-8 jam, dosis dewasa 10-
20 mg setiap 4 jam. Anak-anak umur 6-11 tahun 5-10 mg. Sedangkan anak
umur2-6 tahun dosisnya 2,5 – 5 mg setiap 4 jam.
● Butamirat sitrat
Obat ini bekerja pada sentral dan perifer. Pada sentral obat ini menekan
pusat refleksdan di perifer melalui aktifitas bronkospasmolitik dan aksi
antiinflamasi. Obat ini ditoleransi dengan baik oleh penderita dan tidak
menimbulkan efek samping konstipasi, mual, muntah dan penekanan
susunan saraf pusat. Butamirat sitrat mempunyai keunggulan lain yaitu
dapat digunakan dalam jangka panjang tanpa efek samping dan
memperbaiki fungsi paru yaitu meningkatkan kapasitas vital dan aman
digunakan pada anak. Dosis dewasa adalah 3×15 ml dan untuk anak-anak
umur 6-8 tahun 2×10 ml sedangkan anak berumur lebih dari 9 tahun
dosisnya 2×15 ml.
● Dipenhidramin
23
batuk ialah 25 mg setiap 4 jam, tidak melebihi 100 mg/ hari untuk dewasa.
Dosis untuk anak berumur 6-12 tahun ialah 12,5 mg setiap 4 jam dan tidak
melebihi 50 mg/ hari. Sedangkan untuk anak 2-5 tahun ialah 6,25 mg setiap
4 jam dan tidak melebihi 25 mg / hari.
24
2.1 Obat Pereda Asma/ Reliever
2.1.1 Agonis Beta-2
Kerja Singkat Mekanisme kerja dari obat ini adalah relaksasi otot
polos saluran nafas, meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan
permabiliti pembuluh darah, dan modulasi pelepasan mediator dari sel
mast. Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah salbutamol,
terbutalin, feneterol, dan prokaterol. Obat ini mempunyai efek samping
berupa rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka, dan hipokalemia
pemberian secara inhalasi sangat dianjurkan dari pada pemberian secara
oral karena efek sampingnya yang lebih kecil (Angela et al, 2018).
2.1.2 Antikolinergik
2.1.3 Simpatomimetik
25
2.2 Obat Pengendali Asma / Controller
2.2.1 Kortikosteroid
2.2.2 Kortikosteroid
2.2.3 Kromolin
26
penurunan fungsi paru-paru, batuk, edema laringeal, iritasi faringeal, dan
nafas berbunyi (Katzung, 2018).
2.2.4 Nedokromil
2.2.5 Methylxanthine
27
memodulasi pelepasan mediator dari sel mast. Pemberian inhalasi agonis
beta-2 kerja lama, menghasilkan efek bronkodilatasi lebih baik
dibandingkan preparat sistemik. Agonis beta-2 kerja lama inhalasi dapat
memberikan efek samping sistemik seperti rangsangan kardiovaskular,
tremor otot rangka, dan hipokalemia (Katzung, 2018).
28
3.2 Teofilin
3.3 Aminophylline
3.4 Antimuskarinik
● Ipratropium Bromida
Inhalasi dari ipratropium aerosol dapat digunakan untuk terapi jangka
pendek pada PPOK ringan. Inhalasi ipratropium aerosol memberikan efek
puncak 30 – 60 menit sesudah pemberian; lama kerjanya 3 – 6 jam dan
efek bronkodilatasi dapat bertahan dengan pemberian dosis 3 x/hari.
Bentuk sediaan dari Ipratropium Bromida diantaranya Inhaler 20
mcg/semprot : Atrovent; Larutan inhalasi 0,025 % (0,25 mg/ml) : Atrovent;
29
Kombinasi Ipratropium Bromida 0,5 mg dan salbutamol sulphate 2,5 mg
(dalam 1 ampul 2,5 ml) : Combivent, Farbivent.
● Tiotropium Bromida
Tiotropium Bromida adalah bronkodilator antimuskarinik kerja panjang,
efektif untuk pengobatan PPOK dan kurang cocok untuk mengatasi
bronkospasme akut. Bentuk sediaan yang beredar diantaranya Kapsul
untuk inhalasi 18 mcg/kapsul : Spiriva; Inhaler 2,5 mcg/puff : Spiriva
Respimat (BPOM, 2017).
● Formoterol
Formoterol digunakan untuk terapi jangka pendek untuk
menghilangkan gejala dan untuk mencegah spasme bronkus akibat kerja
fisik dengan mula kerja yang sama cepatnya dengan salbutamol.
Formoterol yang beredar di Indonesia tidak bersifat tunggal, namun
kombinasi dengan kortikosteroid, salah satu mere dagang kombinasi antara
Formoterol dan Budesonide yang dikenal dengan Symbicort. Ada 2 jensi
merek Symbicort: Symbicort 80/4,5 mcg turbuhaler mengandung :
Budesonide 80 mcg dan formoterol fumarate 4,5 mcg. Symbucort 160/4,5
mcg turbuhaler mengandung: Budesonide 160 mcg dan formoterol
fumarate 4,5 mcg.
30
● Salmaterol
Salmaterol tidak boleh digunakan untuk mengatasi serangan akut,
karena mula kerjanya lebih lambat dibanding salbutamol dan terbutalin.
Sedian salmeterol yang beredar di Indonesia tidak bersifat tunggal, namun
merupakan kombinasi dengan kortikosteroid. Ada 5 jenis merek dagang
dari kombinasi salmeterol yaitu :Inhaler Seretide 50 : Salmeterol 25 mcg +
Fluticasone 50 mcg, Inhaler Seretide 125 : Salmeterol 25 mcg + Fluticasone
125 mcg, Diskus Seretide 100 : Salmeterol 50 mcg + Fluticasone 100 mcg,
Diskus Seretide 250 : Salmeterol 50 mcg + Fluticasone 250 mcg, dan diskus
Seretide 500 : Salmeterol 50 mcg + Fluticasone 500 mcg (BPOM, 2017).
31
serta mencegah timbulnya bronkokonstriksi atau gejala lainnya. Salah satu
terapi yang digunakan untuk menekan adanya inflamasi adalah
penggunaan obat golongan kortikosteroid (Rozaliyani et al., 2011).
1. Terapi asma
a. Terapi Non-farmakologi
Edukasi kepada pasien yang merokok untuk berhenti merokok,
melakukan intervensi penurunan berat badan termasuk program berbasis
diet dan olahraga terutama bagi pasien dewasa yang kelebihan berat badan
dan anak-anak untuk memperbaiki kontrol asma, mengikuti program latihan
pernapasan sebagai adjuvan terapi yang dapat meningkatkan kualitas
hidup pasien dan mengurangi timbulnya gejala (British thoracic society,
2016).
b. Terapi Farmakologi
1. Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan obat antiinflamasi paling poten yang dapat
digunakan untuk mengobati peradangan kronik seperti asma bronkial.
Namun, terdapat sejumlah kecil pasien (±5%) pasien asma yang tidak
menunjukkan respon baik terhadap penggunaan obat tersebut (Adcock and
Lane, 2003). Kortikosteroid merupakan salah satu terapi pemeliharaan dan
pencegahan asma. Mekanisme aksi dari glukokortikoid ini mampu
meningkatkan efek obat β-adrenergik dengan menghasilkan AMP siklik,
menghambat mekanisme bronkokonstriktor atau merelaksasi otot polos,
dan dapat mengurangi jumlah serta aktivitas dari sel yang terinflamasi
(Depkes RI, 2007). Kortikosteroid juga dianjurkan untuk pengobatan secara
berulang pada asma berat yang tidak responsif terhadap terapi untuk
bronkodilator (Wells et al, 2000).
a. Kortikosteroid Inhalasi
Kortikosteroid inhalasi merupakan first-line therapy untuk asma
yang sifatnya persisten. Kortikosteroid inhalasi adalah salah satu
obat yang sangat efektif mengendalikan gejala asma pada penderita
asma dari segala umur dan tingkat keparahannya. Kortikosteroid
32
inhalasi dapat meningkatkan kualitas hidup penderita asma dan
memungkinkan banyak pasien menjalani kehidupan normal,
memperbaiki fungsi paru-paru, mengurangi frekuensi eksaserbasi
dan dapat mencegah perubahan saluran napas, ireversibel dengan
penggunaan jangka panjang (Peter J. Barnes, 2011; Byrne et al.,
2005). Efek yang terjadi pada penggunaan kortikosteroid inhalasi ini
muncul dalam waktu yang lama. Umumnya pada kebanyakan
pasien, gejala akan membaik dalam 1-2 minggu pertama dan
mencapai peningkatan maksimal dalam 4-8 minggu. Perbaikan
FEV1 (Forced Expiratory Volume) dan PEF (peak expiratory flow
rates) memerlukan waktu 3-6 minggu untuk mencapai perbaikan
maksimal. Penggunaan kortikosteroid dengan dosis rendah sampai
sedang akan menimbulkan toksisitas sistemik rendah, namun jika
digunakan dengan dosis tinggi maka akan berisiko meningkatkan
toksisitas (Wells et al, 2008). Beberapa obat golongan kortikosteroid
inhalasi yang digunakan pada kortikosteroid inhalasi seperti
budesonid, beklometason dipropiat, flunisonid, flukason propionat,
mometason, dan triamsolon asetat (Depkes RI, 2007).
b. Kortikosteroid Sistemik
Kortikosteroid sistemik merupakan terapi yang paling efektif
digunakan dalam keadaan eksaserbasi dengan tujuan untuk
mengontrol segera atau ketika memulai terapi asma jangka panjang.
Obat ini merupakan terapi lini pertama pada pasien yang mengalami
asma berat dan pasien yang mengalami eksaserbasi ringan. Obat ini
dapat mempercepat pemulihan obstruksi saluran napas dan
mengurangi frekuensi tingkat kekambuhan (Tierney L.M. et al, 2002).
Penggunaan kortikosteroid oral jangka panjang diperlukan pada
asma yang tidak terkontrol, penggunaannya juga harus diperhatikan
karena adanya risiko menimbulkan efek samping yang signifikan.
Terapi penggunaan kortikosteroid jangka panjang dengan rute
pemberian melalui oral lebih diminati daripada intramuskular atau
33
intravena karena efek mineralokortikoid yang ditimbulkan lebih
rendah, waktu paruh yang relatif cepat, dan memungkinkan titrasi
dosis sampai yang terendah karena fleksibilitas dosis yang lebih
besar. Efek samping dari penggunaan kortikosteroid sistemik
meliputi osteoporosis, hipertensi arterial, diabetes, hypothalamic
pituitary adrenal axis suppression, obesitas, katarak, glaukoma,
kelemahan otot, dan penipisan kulit yang mengarah ke striae kulit
sehingga mudah memar (GINA, 2011). Kortikosteroid oral biasanya
digunakan pada pasien asma akut. Kortikosteroid oral biasanya
diberikan dengan dosis tunggal pada pagi hari untuk mengurangi
adanya gangguan terhadap sekresi kortisol harian. Dalam hal ini,
obat-obatan golongan kortikosteroid sistemik (oral atau parenteral)
yang digunakan untuk terapi asma, yaitu deksametason, metil
prednisolon, dan prednison (Depkes RI, 2007).
Pilihan jenis obat kortikosteroid sistemik dan inhalasi serta dosis
penggunaanya dapat dilihat pada tabel berikut (GINA, 2011):
34
Algoritma Terapi untuk Mencapai Asma Terkontrol
35
1. Penatalaksanaan Asma Akut (Saat Serangan)
Serangan akut adalah episodik perburukan pada asma yang harus
diketahui oleh pasien. Penatalaksanaan asma sebaiknya dilakukan oleh
pasien di rumah dan apabila tidak ada perbaikan segera ke fasilitas
pelayanan kesehatan penanganan harus cepat dan disesuaikan dengan
derajat serangan titik penilaian beratnya serangan berdasarkan riwayat
serangan termasuk gejala, pemeriksaan fisik dan sebaiknya pemeriksaan
faal paru, untuk selanjutnya diberikan pengobatan yang tepat dan cepat.
Pada serangan asma obat-obatan yang digunakan adalah:
a. Bronkodilator (β2 agonis kerja cepat dan ipratropium bromida).
b. Kortikosteroid sistemik
Pada serangan ringan obat yang digunakan hanya β2 agonis kerja
cepat yang sebaiknya diberikan dalam bentuk inhalasi. Bila tidak
memungkinkan dapat diberikan secara sistemik. Pada dewasa dapat
diberikan kombinasi dengan teofilin/aminofilin oral. Pada keadaan tertentu
(seperti ada riwayat serangan berat sebelumnya) kortikosteroid oral
(metilprednisolone) dapat diberikan dalam waktu singkat 3 sampai 5 hari
pada serangan sedang diberikan β2 agonis kerja cepat dan kortikosteroid
oral. Pada dewasa dapat ditambahkan inpratropium bromida inhalasi,
aminofilin IV (bolus atau drip). Pada anak belum diberikan ipratropium
bromida inhalasi maupun aminofilin IV. Bila diperlukan dapat diberikan
oksigen dan pemberian cairan IV pada serangan berat pasien jerawat dan
diberikan oksigen, cairan IV, β2 agonis kerja cepat ipratropium bromida
inhalasi, kortikosteroid IV, dan aminofilin IV (bolus atau drip). Apabila
berteduh agul secara cepat tidak tersedia dapat digantikan dengan
adrenalin subkutan.
2. Penatalaksanaan Asma Jangka Panjang
Penatalaksanaan asma jangka panjang bertujuan untuk mengontrol
asma dan mencegah serangan. Pengobatan asma jangka panjang yang
disesuaikan dengan klasifikasi beratnya asma. Prinsip pengobatan jangka
36
panjang meliputi 1 edukasi, 2 obat asma (pengontrol dan pelega) dan
menjaga kebugaran.
Langkah-langkah Pengobatan untuk mencapai Asma terkontrol yaitu:
a. Tahap 1: Dibutuhkan terapi pelega. Inhalasi β2-agonist kerja cepat
direkomendasikan sebagai obat pereda dan terapi alternatif lainnya
adalah Inhalasi antikolinergik, β2-agonist kerja singkat dengan rute
secara oral, atau teofilin kerja singkat.
b. Tahap 2: Penggunaan terapi pelega ditambah dengan salah satu
obat pengontrol. Inhalasi Glukokortikosteroid dosis rendah
direkomendasikan sebagai obat engontrol untuk asma dan terapi
alternatif lainnya adalah leukotrien.
c. Tahap 3: Penggunaan terapi pelega ditambah dengan satu obat atau
dua obat pengontrol. Inhalasi glokokortikossteroid dosis rendah yang
dikombinasikan dengan inhalasi β2-agonist kerja panjang dalam
kombinasi inhaler atau komponen terpisah. Inhalasi
glukokortikosteroid dosis rendah dapat ditingkatkan jika tidak
mencapai asma terkontrol dalam 3-4 bulan. β2-agonist kerja panjang
seperti formoterol yang memiliki onset kerja cepat jika diberikan
tunggal atau kombinasi dengan inhaler budesonide yang efektif
seperti β2- agonist kerja cepat pada asma eksaserbasi akut. Namun,
penggunaannya jika digunakan secara monoterapi, obat pereda
tidak dianjurjan dan harus selalu menggunakan inhalasi
glukokortikosteroid. Pilihan yang direkomendasikan untuk anak-anak
adalah meningkatkan inhalasi glokokortikosteroid menjadi dosis
sedang. Selain itu, terapi pengontrol untuk semua umur yang
digunakan adalah kombinasi inhalasi glukokortikosteroid dosis
rendah dengan leukotrien modifier. Alternatif lainnya, yaitu
penggunaan teofilin tablet lepas lambat dengan dosis rendah.
d. Tahap 4: Terapi pelega ditambahkan dengan dua atau lebih obat
pengontrol. Terapi yang direkomendasikan adalah kombinasi
inhalasi glukokortikosteroid dosis sedang atau tinggi dengan inhalasi
37
β2-agonist kerja panjang. Terapi alternatif lainnya, yaitu dengan
penambahan leukotrien modifier atau tablet teofilin lepas lambat.
e. Tahap 5: Terapi pelega ditambahkan dengan obat pengontrol
tambahan. Anti Ig-E direkomendasikan sebagai obat pengontrol
tambahan karena dapat meningkatkan kontrol asma alrgi ketika
kontrol belum dapat dicapai pada kombinasi kontroler lain termasuk
dosis tinggi inhalasi atau oral glukokortikosteroid (GINA, 2011).
b.) Tatalaksana Penyakit Batuk
Keberhasilan tata laksana batuk kronik tergantung pada keberhasilan
diagnosis penyebabnya. Oleh karena itu usaha paling keras dalam tata
laksana batuk kronik adalah dalam penentuan diagnosis secara sistematik
(De Jongste, 2003). Tata laksana untuk batuk kronik harus ditujukan
kepada penyebabnya. Pada pasien dewasa penyebab batuk kronik dapat
ditentukan pada hampir seluruh kasus, dan mengarahkan keberhasilan
terapi pada sebagian besar di antaranya. Melihat keberhasilan yang tinggi
ini terapi batuk non-spesifik perannya sangat terbatas pada tata laksana
batuk kronik. Hasil yang sama dapat diharapkan dalam tata laksana batuk
kronik pada anak (Irwin, 1998).
Sebelum melakukan tindakan lebih lanjut, langkah pertama yang perlu
dilakukan dalam tata laksana batuk kronik adalah penghentian pajanan
dengan asap rokok (merokok pasif). Tata laksana batuk kronik pada anak
yang termasuk kelompok I termasuk penjelasan untuk menenangkan
pasien dan orang tua, karena batuk biasanya memerlukan waktu 4-8
minggu untuk sembuh. Untuk batuk kronik pada pasien anak dengan
kelainan respiratorik yang nyata, hasilnya mungkin tidak sebaik
dibandingkan kelompok pertama. Batuk yang berhubungan dengan
penyakit paru kronik tidak boleh ditekan tetapi diberdayakan. Pasien dan
orang tuanya perlu diberi edukasi bahwa batuk merupakan mekanisme
alami yang berguna dan melindungi, dan bukannya harus dihentikan
dengan cara apapun (Cloutier, 1994).
38
Farmakoterapi untuk batuk dibagi dalam dua jenis, yaitu:
a..Antitusif untuk mencegah, mengendalikan, dan menekan batuk.
b..Protusif untuk membuat batuk lebih efektif.
Terapi antitusif terindikasi bila batuk tidak mempunyai manfaat,
misalnya batuk yang timbul akibat rangsangan di faring. Antitusif
nonspesifik ditujukan kepada gejala bukan kepada penyebab atau
mekanisme batuknya, oleh karena itu terapi antitusif perannya sangat
terbatas. Obat ini terindikasi hanya bila terapi definitif dan spesifik tidak
dapat diberikan, baik karena etiologinya tidak diketahui, batuk yang
demikian hebat atau bila terapi definitif tidak akan berhasil, misalnya batuk
karena kanker paru. Peran terapi antitusif terbatas karena besar
kemungkinan identifikasi etiologi batuk, dan terapi spesifik bisa berhasil.
Protusif terindikasi bila batuknya bermanfaat dan perlu diberdayakan, yaitu
pada kelainan respiratorik yang menghasilkan banyak sekresi, misalnya
bronkiektasis, bronkitis, pneumonia, atelektasis paru. Dari beberapa studi
yang dievaluasi beberapa obat protusif yang dinyatakan efektif adalah salin
hipertonik, erdostein, dan terbutalin (Irwin, 1998).
c.) Tatalaksana Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
Menurut Ikawati (2016) melakukan penatalaksanaan pada PPOK
mengupayakan terapi non-farmakologis dan terapi farmakologis. Terapi
nonfarmakologi yang dimaksud antara lain:
a. Latihan Batuk Efektif
Latihan Batuk efekif merupakan aktifitas untuk membersihkan sekresi
pada jalan nafas. Tujuan batuk efektif adalah meningkatkan mobilisasi
sekresi, pemberian latihan batuk efektif dilaksanakan terutama pada pasien
dengan masalah keperawatan ketidakefektifan jalan napas. Batuk efektif
penting dilakukan untuk menghilangkan gangguan pernapasan dan
menjaga paru- paru agar tetap bersih. Batuk efektif dapat di berikan pada
pasien dengan cara diberikan posisi yang sesuai agar pengeluaran dahak
dapat lancer yaitu posisi semi fowler.
b.Fisioterapi dada
39
Fisioterapi dada merupakan teknik fisioterapi yang biasanya
digunakan dalam latihan untuk penyakit respirasi kronis serta akut,
bertujuan untuk mengeluarkan sputum serta perbaikan ventilasi pada paru-
paru. Fisioterapi dada berkaitan erat dengan pemberian postural drainase
yang dikombinasikan dengan teknik-teknik tambahan lainnya yang
dianggap dapat meningkatkan bersihan jalan nafas.
Terapi farmakologi yang diberikan untuk pasien PPOK yang
mengalami masalah pada bersihan jalan nafas tidak efektif adalah sebagai
berikut:
a.Bronkodilator
Bronkodilator merupakan pengobatan simtomatik utama pada PPOK.
Obat ini biasa digunakan untuk melonggarkan jalan nafas ketika terjadi
serangan atau secara regular untuk mencegah terjadinya kekambuhan atau
mengurangi gejala.
b.Antibiotik
Penyebab ekserbasi akut pada PPOK sebagian besar karena infeksi
virus dan infeksi bakteri. Infeksi oleh lebih dari satu macam patogen terjadi
pada 1020% pasien. Oleh karena itu, pemberian antibiotik merupakan
pilihan yang digunakan dalam penatalaksanaan terapi.
c.Terapi Oksigen Jangka Panjang dan Terapi Nebulizer
Penggunaan oksigen berkesinambungan (>15 jam sehari) dapat
meningkatakan harapan hidup untuk pasien yang mengalami kegagalan
respirasi kronis, memperbaiki tekanan arteri pulmonal, polisitemia
(hematokrit > 55%),mekanik paru, dan status mental.
Penghentian merokok mempunyai pengaruh besar untuk
mempengaruhi riwayat dari PPOK. Kita sebagai dokter harus bisa membuat
pasien untuk berhenti merokok (Mangunnegoro, 2003). Konseling dengan
dokter secara signifikan meningkatkan angka berhenti merokok, konseling
selama 3 menit dapat menghasilkan angka berhenti merokok hingga 5-
10%. Terapi penggantian nikotin (permen karet nikotin, inhaler, patch
transdermal, tablet sublingual atau lozenge) dan juga obat dengan
40
varenicline, bupropion atau nortriptyline dengan baik meningkatkan
penghentian merokok jangka panjang dan pengobatan ini lebih efektif
daripada placebo. Mendorong kontrol tembakau secara komprehensif dari
pemerintah dan membuat program dengan pesan anti merokok yang jelas,
konsisten dan berulang. Aktivitas fisik sangat berguna untuk penderita
PPOK dan pasien harus didorong untuk tetap aktif. Melakukan pencegahan
primer, dapat dilakukan dengan baik dengan mengeleminasi atau
menghilangkan eksposur pada tempat kerja. Pencegahan sekunder dapat
dilakukan dengan baik dengan deteksi dini. Kita menghindari atau
mengurangi polusi indoor berupa pembakaran bahan bakar biomass dan
pemanasan atau memasak diruangan yang ventilasinya buruk, sarankan
pasien untuk memperhatikan pengumuman publik tentang tingkat polusi
udara. Semua pasien PPOK mendapat keuntungan yang baik dari aktivitas
fisik dan disarankan untuk selalu aktif (Buist, 2006).
Terapi Farmakologis untuk penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
a. Terapi Farmakologis untuk PPOK yang stabil
Terapi farmakologis dilakukan untuk mengurangi gejala, mengurangi
keparahan eksaserbasi dan meningkatkan status kesehatan. Setiap
pengobatan harus spesifik terhadap setiap pasien, karena gejala dan
keparahan dari keterbatasan aliran udara dipengaruhi oleh banyak faktor
seperti frekuensi keparahan eksaserbasi, adanya gagal nafas dan status
kesehatan secara umum. Pemberian terapi farmakologis pada PPOK untuk
terapi PPOK stabil perlu disesuaikan dengan keparahan penyakitnya.
Gambar 2. Panduan Umum Terapi PPOK Berdasarkan Keparahan Penyakitnya (GOLD, 2010).
41
Bronkodilator adalah obat pilihan pertama untuk menangani gejala PPOK,
terapi inhalasi lebih dipilih dan bronkodilator diresepkan sebagai
pencegahan/ mengurangi gejala yang akan timbul dari PPOK. Bronkodilator
inhalasi kerja lama lebih efektif dalam menangani gejala daripada
bronkodilator kerja cepat (Tashkin, 2004).
Agonis β-2 kerja singkat baik yang dipakai secara reguler maupun saat
diperlukan (as needed) dapat memperbaiki FEV1 dan gejala, walaupun
pemakaian pada PPOK tidak dianjurkan apabila dengan dosis tinggi.
Agonis β-2 kerja lama, durasi kerja sekitar 12 jam atau lebih. Saat ini yang
tersedia adalah formoterol dan salmeterol. Obat ini dipakai sebagai ganti
agonis β-2 kerja cepat apabila pemakaiannya memerlukan dosis tinggi atau
dipakai dalam jangka waktu lama. Efek obat ini dapat memperbaiki FEV1
dan volume paru, mengurangi sesak napas, memperbaiki kualitas hidup
dan menurunkan kejadia eksaserbasi, akan tetapi tidak dapat
mempengaruhi mortaliti dan besar penurunan faal paru. Agonis β-2 dengan
durasi kerja 24 jam, preparat yang ada adalah indacaterol (Mangunnegoro,
2003).
Kortikosteroid inhalasi dipilih pada pasien PPOK dengan FEV1
Kortikosteroid inhalasi dikombinasikan dengan beta2 agonist kerja lama
lebih efektif daripada salah satu antara kortikosteroid dan bronkodilator
dalam peningkatan fungsi paru dan mengurangi eksaserbasi pada pasien
dengan PPOK sedang sampai sangat berat. Pengobatan jangka panjang
dengan kortikosteroid oral tidak direkomendasikan. Phosphodiesterase-4
inhibitors, pada GOLD 3 dan GOLD 4 pasien dengan riwayat eksaserbasi
dan bronkitis kronis, phosphodiesterase-4 inhibitor roflumilast ini
mengurangi eksaserbasi pada pasien yang di terapi dengan kortikosteroid
oral (Singh, 2002).
b. Pengobatan Farmakologis yang lain
Vaksin Influenza bisa mengurangi penyakit serius dan kematian pada
PPOK, virus inaktif pada vaksin di rekomendasikan dan sebaiknya di
berikan sekali setahun. Vaksin pneumococcal polusaccharide
42
direkomendasikan untuk pasien diatas 65 tahun. Penggunaan antibiotik
tidak direkomendasikan kecuali untuk pengobatan eksaserbasi infeksius
dan infeksi bakteri lainnya (Buist, 2006).
c. Pengobatan lain
Pasien dari segala tingkat keparahan akan mendapatkan keuntungan
dari kegiatan rehabilitasi. Peningkatan kondisi pasien bisa dilihat setelah
melakukan program rehabilitasi pulmonari. Lama waktu minimum yang
efektif untuk rehabilitasi adalah 6 minggu, semakin lama program semakin
bagus buat pasien (Mangunnegoro, 2003).
Terapi oksigen dibedakan untuk PPOK derajat sedang dan berat.
Pada PPOK derajat sedang oksigen hanya digunakan bila timbul sesak
yang disebabkan pertambahan aktiviti. Pada PPOK derajat berat yang
terapi oksigen di rumah pada waktu aktiviti atau terus menerus selama 15
jam terutama pada waktu tidur. Dosis oksigen tidak lebih dari 2 liter (Buist,
2006).
Terapi pembedahan pada PPOK memiliki beberapa keuntungan.
Keuntungan dari LVRS (Lung Ventilation Reduction Surgery) dari pada
terapi medis lainnya adalah lebih signifikan hasilnya pada pasien dengan
empidema pada lobus bawah dan pada pasien dengan kapasitas aktifitas
fisik rendah karena pengobatan. Pada beberapa pasien dengan PPOK
sangat parah, transplatasi paru menunjukkan peningkatan kualitas hidup
yang baik (Mangunnegoro, 2003).
43
Daftar Pustaka
Betts J. G., DeSaix P., Johnson E., Johnson J. E., Korol O., Kruse D. H.,
Poe B.,
Broek, P.V.D., Feenstra, L. 2020. Anatomi dan Fisiologi Sinus Paranasal.
Buku Saku Ilmu Kesehatan Tenggorok, Hidung, dan Telinga. Edisi 12.
Jakarta: EGC, 99-100.
Evelyn CP, 2019. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta.
Gramedia
Fauci, AS., Kasper, DL., Longo, DL., Braunwald, E., Hauser, SL., Lameson,
J. L., et al. 2018. Harrison's Principle of Internal Medicine 17th Edition.
New York: McGraw-Hill.
Guyton. 2020. Ilmu Penyakit Paru. Salemba Medika : Jakarta.
Hadiarto. 2020. Anatomi dan Fisiologi Paru-Paru. Cv Agung Suseto :
Jakarta.
Herawati S, Rukmini S. 2018. Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung
Hermani, B. Suara Parau. 2018. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher.Jakarta: EGC :190-94.
J. Tu et al. 2018. Computational Fluid and Particle Dynamics in the Human
Mehran, R. J. 2018. Fundamental and Practical Aspects of Airway Anatomy:
From Glottis to Segmental Bronchus. Thoracic Surgery Clinics, 28(2)
Openstax. 2018. Anatomy an Physiology. Rice University.Textbook.
Paulsen, F. dan Waschke, J. 2018. Sobotta Atlas Anatomi Manusia Anatomi
Umum dan Sistem Muskuloskeletal. Jilid 1 Edisi 23. Jakarta EGC.
Respiratory System, 19 Biological and Medical Physics, Biomedical
Sherwood, L., 2019. Fisiologi Manusia: Dari Sel Ke Sistem. Terjemahan
BrahmU.Pendit.Human Physiology: From Cells To System. Jakarta:
EGC.
tenggorokan : anatomi faring. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG : 13-
5.
Texas: Openstax College pp. 728-998.
Wise J. A., Womble M., Young K. A., 2018. Anatomy & Physiology.
44
Aditama, T.Y. 2018. Patofisiologi batuk. Cermin Dunia Kedokteran
Indonesia No.84. Hal.5-7
Bare & Smeltzer. 2019. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddart (Alih bahasa Agung Waluyo) Edisi 8 vol.3. Jakarta: EGC
Dr. dr. Tiokorda Gde Agung Senapathi, Sp.An, KAR, 2016.
Comprehenssive Approach of Asthma. Denpasar. Divisi paru,bag/SMF Ilmu
Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP sanglah denpasar.
Ikawati, Z. (2016). Penatalaksanaan Terapi Penyakit Sistem Pernafasan.
Yogyakarta: Bursa Ilmu.
Kemenkes Ri. 2017. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta:
Balitbang Kemenkes Ri
Adawiah, A. Z., & Yanto, A. (2021). Perubahan frekuensi pernafasan dan
saturasi oksigen pada klien dengan asma menggunakan terapi
pursed-lip breathing. Ners Muda, 2(3
Irwin, R., French, C., Chang, A., Altman, K., Adams, T., & Altman, K. et al.
(2018). Classification of Cough as a Symptom in Adults and
Management Algorithms. Chest, 153(1), 196-209.
45
Mengurangi Sesak Nafas Pada Pasien Asma. Angewandte
Chemie International Edition, 6(11), 951–952., 2(1),15.
Qamila, B., Ulfah Azhar, M., Risnah, R., & Irwan, M. (2019). Efektivitas
Teknik Pursed Lipsbreathing Pada Pasien Penyakit Paru
Obstruksi Kronik (Ppok): Study Systematic Review. Jurnal
Kesehatan, 12(2), 137.
Bull, E., & Price, D. 2019. Simple Guide ASMA. Jakarta: Erlangga.
Estuningtyas, A., & Arif, A. 2020. Obat lokal. Farmakologi dan Terapi. Edisi
V. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Husein, M. M., Vera, J. H., & Weber, M. E. 2018. Removal of lead from
aqueous solutions with sodium caprate.
46
Ikawati, B., Yunianto, B., & Djati, R. A. P. 2021. Efektifitas pemakaian
kelambu berinsektisida di desa endemis malaria di Kabupaten
Wonosobo. Balaba: Jurnal Litbang Pengendalian Penyakit Bersumber
Binatang Banjarnegara, 1-6.
Katzung, B., 2018. Farmakologi dasar dan Klinik. Jakarta: salemba Medika,
hal 584-604.
47
Buist Sonia, et. All. Global Stategy for the Diagnosis, Management, and
Prevention of COPD. In: NHLBI/WHO Global Initiative for COPD
Workshop Summary: 2006
Byrne P.M., Federsen, William, Busse, Chen Y.-Z., Ohlsson, Ilman A.,
Lamm C.J. and Pauwels R.A., 2005, Effects of Early Intervention With
Inhaled Budesonide on Lung Function in Newly Diagnosed Asthma *,
CHEST, 129 (6), 1478–1485.
De Jongste, Shields MD. Chronic cough in children. Thorax 2003; 58: 998-
1003.
Irwin RS, Boulet LP, 7tier MM. Managing cough as a defense mechanism
and as a symptom. A consensus panel report of the American College
of Chest Physicians. Chest 1998; 114:133S-181S.
48
Mangunnegoro H, dkk. PPOK, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia: 2003. hal 1-56.
Tierney L.M., McPhee S.J., Papadakis M.A., 2002, Diagnosis dan Terapi
Kedokteran (Ilmu Penyakit Dalam), Salemba Medika, Jakarta.
49