Anda di halaman 1dari 51

REFERAT

DERMATITIS ATOPIK

Oleh :

Dian Rahma Ridwansyah

201510401011063

Pembimbing :

dr. Aniek Hartiwi Sp.A

SMF ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2016

1
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
DERMATITIS ATOPIK

Referat dengan topik “Dermatitis Atopik” telah diperiksa dan disetujui sebagai
salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan Dokter Muda di
bagian SMF Ilmu Kesehatan Anak.

Surabaya, April 2016


Pembimbing

dr.Aniek Hartiwi, SpA

2
KATA PENGANTAR

Assalamu ’alaikum Wr.Wb.


Segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya,
shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW,
keluarga dan para sahabatnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan responsi
kasus ini.
Penulis tak lupa mengucapkan terima kasih kepada seluruh
pembimbing, terutama kepada dr. Aniek Hartiwi SpA, terima kasih atas
bimbingan, saran, petunjuk dan waktunya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas responsi ini.
Penulis menyadari bahwa hasil penulisan ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu penulis terbuka untuk menerima kritik dan saran
yang membangun demi perbaikan penulisan selanjutnya.
Akhir kata, penulis mengharapkan tugas ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak.
Wassalamu ’alaikum Wr. Wb.

Surabaya, April 2016

Penulis

3
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN........................................................................ i

KATA PENGANTAR ................................................................................ ii

DAFTAR ISI .............................................................................................. iii

BAB 1 PENDAHULUAN...................................................................... 5

BAB 2 DERMATITIS ATOPIK.............................................................. 8

2.1 Definisi................................................................................................. 8

2.2 Epidemiologi ........................................................................................ 8

2.3 Etiologi................................................................................................. 9

2.4 Patogenesis........................................................................................... 11

2.5 Manifestasi Klinis................................................................................. 19

2.6 Diagnosis.............................................................................................. 30

2.7 Diagnosis Banding................................................................................ 33

2.8 Penatalaksanaan.................................................................................... 35

2.9 Prognosis............................................................................................... 47

BAB 3 KESIMPULAN........................................................................... 49

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 50

4
BAB I

PENDAHULUAN

Dermatitis atopik (DA) merupakan suatu penyakit keradangan kulit yang

kronik, ditandai dengan rasa gatal, eritema, edema, vesikel, dan luka pada stadium

akut, pada stadium kronik ditandai dengan penebalan kulit (likenifikasi) dan

distribusi lesi spesifik sesuai fase DA, keadaan ini juga berhubungan dengan

kondisi atopik lain pada penderita ataupun keluarganya (Fauzi N., dkk.,2009).

Terminologi “atopi” berasal dari kata atopos (bahasa Yunani) yang berarti

aneh atau tidak biasa. Pada tahun 1923, Coca & Cooke menggunakan terminologi

ini untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat atopi

(kepekaan) dalam keluarganya, misalnya asma bronchiale, rinitis alergik,

dermatitis atopik dan konjungtivitis alergik. Terdapat antibodi (IgE) yang

terdeteksi pada individu tersebut dan bisa ditransfer ke individu normal dengan uji

Prausnitz-Kùstner (PK). Pada zaman dahulu, penyakit atopik dianggap sesuatu

yang aneh bagi manusia, tetapi sekarang diakui bahwa ada beberapa spesies yang

rentan dengan penyakit ini (Kang K, 2009).

Dermatitis atopik merupakan salah satu penyakit kulit yang paling umum

yang mempengaruhi hingga 20% pada anak-anak dan 1-3% pada orang dewasa di

sebagian besar negara dari dunia. DA sering merupakan dampak utama dalam

perkembangan penyakit atopik lain seperti rhinitis dan asma. Angka prevalensinya

meningkat pesat pada dekade terakhir. Di Indonesia tahun 2012 terdapat 1,1 %

pasien dermatitis atopik berusia 13-14 tahun. Sedangkan tahun 2013 dari laporan

5 rumah sakit yang melayani dermatologi anak yaitu Dr. Hasan Sadikin Bandung,

5
RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, RS Adam Malik Medan, RS Dr. Kandou

Manado, RSU Palembang dan RSUD Sjaiful Anwar malang tercatat sejumlah 261

kasus diantara 2356 pasien baru (11,8%) (Diana IA, dkk, 2014). Umumnya

episode pertama terjadi sebelum usia 12 bulan dan episode-episode selanjutnya

akan hilang timbul hingga anak melewati masa tertentu. Sebagian besar anak akan

sembuh dari eksema sebelum usia 5 tahun. Sebagian kecil anak akan terus

mengalami eksema hingga dewasa. Diperkirakan angka kejadian di masyarakat

adalah sekitar 1-3% dan pada anak < 5 tahun sebesar 3,1% dan prevalensi DA

pada anak meningkat 5-10% pada 20-30 tahun terakhir (Judarwanto W., 2009).

Pada penderita DA 30 % akan berkembang menjadi asma, dan 35%

berkembang menjadi rhinitis alergi. Berdasarkan International Study of Ashma,

and Alergies in Children prevalensi gejala dermatitis atopik pada anak usia enam

atau tujuh tahun sejak periode tahun pertama bervariasi yakni kurang dari dua

persen di Iran dan Cina sampai kira-kira 20 persen di Australia, Inggris dan

Skandinavia. Prevalensi yang tinggi juga ditemukan di Amerika. Di Inggris, pada

survei populasi pada 1760 anak-anak yang menderita DA dari usia satu sampai

lima tahun ditemukan kira-kira 84 persen kasus ringan, 14 persen kasus sedang, 2

persen kasus berat (William H.C., 2005). Menurut laporan kunjungan bayi dan

anak di RS di Indonesia, dermatitis atopik berada pada urutan pertama (611 kasus)

dari 10 penyakit kulit yang umum ditemukan pada anak-anak. Di klinik

Dermatovenereologi RSUP Dr Sardjito Yogyakarta, pada periode bulan Februari

2005 sampai Desember 2007, terdapat 73 kasus dermatitis atopik pada bayi

(Budiastuti M.,dkk., 2007).

Dermatitis atopik umumnya tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat

dikontrol. Sebagian penderita mengalami perbaikan sesuai dengan bertambahnya

6
usia. Dalam penatalaksanaan penderita DA adalah menghindari atau sedikitnya

mengurangi faktor penyebab, misalnya eliminasi makanan, faktor inhalan, atau

faktor pencetus (Djuanda. A, 2009).

DA sering ditemukan pada pasien dengan latar belakang asma, alergi, dan

demam (kumpulan kondisi disebut diatesis atopik). Pasien seringkali akan

menunjukkan berbagai kombinasi erat terkait kecenderungan atopik. Dari 70%

menjadi 80% dari pasien akan memiliki riwayat keluarga atopik disease. Hal ini

diyakini bahwa pola pewarisan adalah poligenik, dengan atopi menjadi

interaksigenetik dan faktor lingkungan (Djuanda. A, 2009).

Referat ini akan membahas dermatitis atopik terutama pada anak tentang

epidemiologi, etiopatogenesis, manifestasi klinis, pemeriksaan laboratorik,

diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan, dan prognosis. Dengan memahami

karakteristik penyakit ini diharapkan kita dapat mendiagnosis dan menatalaksana

pasien dengan dermatitis atopik anak dengan tepat.

7
BAB II

DERMATITIS ATOPIK

2.1 Definisi

Dermatitis atopik (DA) adalah peradangan kulit kronis residif disertai

gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak, sering

berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi

pada penderita atau keluarganya. Dermatitis atopik disebut juga penyakit

multifaktorial, termasuk di antaranya faktor genetik, emosi, trauma, keringat,

dan faktor imunologis (Djuanda. A, 2009).

2.2 Epidemiologi

Dermatitis atopik merupakan penyakit kulit yang paling umum pada

penyaki alergi, yang mempengaruhi 1- 20% dari populasi. Prevalensinya

mencapai 80% kasus pada anak di bawah 2 tahun. Tidak ada perbedaan

antara jenis kelamin di tahun-tahun pertama kehidupan, tetapi yang paling

sering pada wanita (60%) dibandingkan pada laki-laki (40%) setelah berusia

6 tahun. Dermatitis atopik ini biasanya cenderung untuk mengalami

kekambuhan sebelum usia 5 tahun pada 40-80 % kasus dan 60- 90% pada

usia 15 tahun (Sanchez J, dkk, 2014)

Adanya perbedaan prevalensi dan insidensi dermatitis atopik mungkin

karena berbagai alasan, termasuk kriteria diagnostik yang dipilih di masing-

masing negara. Namun, beberapa badan internasional menggunakan alat

diagnostik yang sama ternyata memiliki perbedaan signifikan, dikarenakan

faktor genetika dan faktor lingkungan (Sanchez J, dkk, 2014). Di Indonesia

8
tahun 2012 terdapat 1,1 % pasien DA berusia 13-14 tahun. Sedangkan tahun

2013 dari laporan 5 rumah sakit yang melayani dermatologi anak yaitu Dr.

Hasan Sadikin Bandung, RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, RS Adam

Malik Medan, RS Dr. Kandou Manado, RSU Palembang dan RSUD Sjaiful

Anwar malang tercatat sejumlah 261 kasus diantara 2356 pasien baru (11,8%)

(Diana IA, dkk, 2014)


2.3 Etiologi

Penyebab dermatitis atopik tidak diketahui dengan pasti, diduga

disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan (multifaktorial).

Faktor intrinsik berupa predisposisi genetik, kelainan fisiologi dan biokimia

kulit, disfungsi imunologis, interaksi psikosomatik dan disregulasi atau

ketidakseimbangan sistem saraf otonom, sedangkan faktor ekstrinsik meliputi

bahan yang bersifat iritan dan kontaktan, alergen hirup, makanan,

mikroorganisme, perubahan temperatur, dan trauma (Fauzi N., dkk., 2009).

Faktor pencetus lain diantaranya

 Makanan

Berdasarkan hasil Double Blind Placebo Controlled Food Challenge

(DBPCFC), hampir 40% bayi dan anak dengan DA sedang dan berat

mempunyai riwayat alergi terhadap makanan. Bayi dan anak dengan alergi

makanan umumnya disertai uji kulit (skin prick test) dan kadar IgE

spesifik positif terhadap berbagai macam makanan. Walaupun demikian uji

kulit positif terhadap suatu makanan tertentu, tidak berarti bahwa penderita

tersebut alergi terhadap makanan tersebut, oleh karena itu masih

diperlukan suatu uji eliminasi dan provokasi terhadap makanan tersebut

untuk menentukan kepastiannya (Judarwanto W., 2009). Prevalensi reaksi

9
alergi makanan lebih banyak pada anak dengan dermatitis atopik berat.

Makanan yang sering mengakibatkan alergi antara lain susu, telur,

gandum, kacang-kacangan kedelai dan makanan laut (Roesyanto I.D., &

Mahadi., 2009).

 Alergen hirup

Alergen hirup sebagai penyebab DA dapat lewat kontak, yang dapat

dibuktikan dengan uji tempel positif pada 30-50% penderita DA, atau lewat

inhalasi. Reaksi positif dapat terlihat pada alergi debu rumah, dimana IgE

diukur secara in vitro dengan teknik RAST (Radio Allergo Sorbent Test)

95% penderita DA mengandung IgE spesifik positif terhadap debu rumah

dibandingkan pada penderita asma yang hanya 42% di Amerika Serikat.

Perlu juga diperhatikan bahwa DA juga bisa diakibatkan oleh alergen hirup

lainnya seperti bulu binatang rumah tangga, jamur di negara-negara dengan

4 musim. Suhu dan kelembaban udara juga merupakan faktor pencetus DA,

suhu udara yang terlampau panas atau dingin, keringat dan perubahan udara

tiba-tiba dapat menjadi masalah bagi penderita DA (Judarwanto W., 2009).

 Infeksi kulit

Mikroorganisme telah diketahui sebagai salah satu faktor ekstrinsik

yang berperan memberi kontribusi sebagai pencetus kambuhnya dermatitis

atopik. Mikroorganisme utamanya adalah Staphylococcus aureus (SA). Pada

penderita DA didapatkan perbedaan yang nyata pada jumlah koloni

Staphylococcus aureus dibandingkan orang tanpa atopik. Adanya kolonisasi

Staphylococcus aureus pada kulit dengan lesi ataupun non lesi pada

penderita dermatitis atopik, merupakan salah satu faktor pencetus yang

penting pada terjadinya eksaserbasi, dan merupakan faktor yang dikatakan

10
mempengaruhi beratnya penyakit. Faktor lain dari mikroorganisme yang

dapat menimbulkan kekambuhan dari DA adalah adanya toksin yang

dihasilkan oleh Staphylococcus aureus. Enterotoksin yang dihasilkan

Staphylococcus aureus ini dapat menembus fungsi sawar kulit, sehingga

dapat mencetuskan terjadinya inflamasi. Enterotoksin tersebut bersifat

sebagai superantigen, yang secara kuat dapat menstimulasi aktifasi sel T dan

makrofag yang selanjutnya melepaskan histamin. Enterotoxin

Staphylococcus aureus menginduksi inflamasi pada dermatitis atopik dan

memprovokasi pengeluaran antibodi IgE spesifik terhadap enterotoksin

Staphylococcus aureus (Judarwanto W., 2009).

 Stress emosi

Stress emosi tidak menyebabkan dermatitis atopik, namun sering

menjadi faktor pencetus kekambuhan penyakit. Penderita dermatitis atopik

sering kali frustasi, malu dan mengalami tekanan mental lain yang

menyebabkan nilai ambang gatal menurun sehingga meningkatkan siklus

gatal dan garukan. Relaksasi atau perubahan modifikasi perilaku dan

kebiasaan mungkin dapat membantu penderita dermatitis atopik yang

mempunyai kebiasaan menggaruk (Mansjoer A.,dkk., 2001).

2.4 Patogenesis

Berbagai faktor turut berperan pada pathogenesis DA, antara lain faktor

genetik terkait dengan kelainan intrinsik sawar kulit, kelainan imunologik,

dan faktor lingkungan (Soebaryo R.W., 2009).

a. Genetik

Genetik Pengaruh gen maternal sangat kuat. Ada peran kromosom

5q31-33, kromosom 3q21, serta kromosom 1q21 and 17q25. Juga

11
melibatkan gen yang independen dari mekanisme alergi. Ada

peningkatan prevalensi HLA-A3 dan HLA-A9. Pada umumnya berjalan

bersama penyakit atopi lainnya, seperti asma dan rhinitis. Risiko seorang

kembar monosigotik yang saudara kembarnya menderita DA adalah 86%

(Judarwanto W., 2009).

Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu yang menderita atopi

keluarga akan mengalami DA pada masa 3 bulan pertama kehidupan, bila

salah satu orang tua menderita atopi, lebih dari separuh jumlah anak akan

mengalami gejala alergi sampai usia 2 tahun, dan meningkat sampai 79%

bila kedua orangtua menderita atopi. Risiko mewarisi DA lebih tinggi

bila ibu yang menderita DA dibandingkan dengan ayah. Tetapi bila DA

yang dialami berlanjut hingga masa dewasa maka risiko untuk

mewariskan kepada anaknya sama saja yaitu kira-kira 50%.

b. Sawar kulit

Hilangnya Ceramide dikulit, yang berfungsi sebagai molekul

utama pengikat air diruang ekstraseluler stratum korneum, dianggap

sebagai penyebab kelainan fungsi sawar kulit. Variasi ph kulit dapat

menyebabkan kelainan metabolisme lipid di kulit. Kelainan fungsi sawar

mengakibatkan peningkatan transepidermal water loss, kulit akan

semakin kering dan merupakan port d’entry untuk terjadinya penetrasi

alergen, iritan, bakteri dan virus (Soebaryo R.W., 2009).

Respon imun kulit Sel-sel T baik subset CD4+ maupun subset

CD8+ yang diisolasi dari kulit (CLA+ CD45RO+ T cells) maupun dari

darah perifer, terbukti mensekresi sejumlah besar IL-5 dan IL-13,

sehingga dengan kondisi ini lifespan dari eosinofil memanjang dan

12
terjadi induksi pada produksi IgE. Lesi akut didominasi oleh ekspresi IL-

4 dan IL-13, sedangkan lesi kronik didominasi oleh ekspresi IL-5, GM-

CSF, IL-12, dan IFN-g serta infiltrasi makrofag dan eosinofil

(Judarwanto W., 2009).

Imunopatologi Kulit Pada DA, sel T yang infiltrasi ke kulit

adalah CD45RO+. Sel T ini menggunakan CLA maupun reseptor lainnya

untuk mengenali dan menyeberangi endotelium pembuluh darah. Di

pembuluh darah perifer pasien DA, sel T subset CD4+ maupun subset

CD8+ dari sel T dengan petanda CLA+CD45RO+ dalam status

teraktivasi (CD25+, CD40L+, HLADR+). Sel yang teraktivasi ini

mengekspresikan Fas dan Fas ligand yang menjadi penyebab apoptosis.

Sel-sel itu sendiri tidak menunjukkan apoptosis karena mereka diproteksi

oleh sitokin dan protein extracellular matrix (ECM). Sel-sel T tersebut

mensekresi IFN g yang melakukan upregulation Fas pada keratinocytes

dan menjadikannya peka terhadap proses apoptosis di kulit. Apoptosis

keratinosit diinduksi oleh Fas ligand yang diekspresi di permukaan sel-

sel T atau yang berada di microenvironment (Judarwanto W., 2009).

c. Lingkungan

Sebagai tambahan selain alergen hirup, alergen makanan,

eksaserbasi pada DA dapat dipicu oleh berbagai macam infeksi, antara

lain jamur, bakteri dan virus, juga pajanan tungau debu rumah dan

binatang peliharaan. Hal tersebut mendukung teori Hygiene Hypothesis

(Roesyanto I.D., & Mahadi., 2009).

13
Hygiene Hypothesis menyatakan bahwa berkurangnya stimulasi

sistem imun oleh pajanan antigen mikroba dinegara barat mengakibatkan

meningkatnya kerentanan terhadap penyakit atopik (Sugito T.L., 2009).

Sampai saat ini etiologi maupun mekanisme yang pasti DA belum

semuanya diketahui, demikian pula pruritus pada DA. Rasa gatal dan

rasa nyeri sama-sama memiliki reseptor di taut dermoepidermal, yang

disalurkan lewat saraf C tidak bermielin ke saraf spinal sensorik yang

selanjutnya diteruskan ke talamus kontralateral dan korteks untuk

diartikan. Rangsangan yang ringan, superfisial dengan intensitas rendah

menyebabkan rasa gatal, sedangkan yang dalam dan berintensitas tinggi

menyebabkan rasa nyeri. Sebagian patogenesis DA dapat dijelaskan

secara imunologik dan nonimunologik (Judarwanto W., 2009).

d. Imnopatogenesis DA

Histamin dianggap sebagai zat penting yang memberi reaksi dan

menyebabkan pruritus. Histamin menghambat kemotaksis dan menekan

produksi sel T. Sel mast meningkat pada lesi dermatitis atopik kronis.

Sel ini mempunyai kemampuan melepaskan histamin. Histamin sendiri

tidak dapat menyebabkan lesi ekzematosa. kemungkinan zat tersebut

menyebabkan pruritus dan eritema, mungkin akibat garukan karena gatal

menimbulkan lesi ekzematosa. Pada pasien dermatitis atopik kapasitas

untuk menghasilkan IgE secara berlebihan diturunkan secara genetik.

Demikian pula defisiensi sel T penekan (suppressor). Defisiensi sel ini

menyebabkan produksi berlebih igE (Mansjoer A.,dkk., 2001).

Respon Imun Sistemik Terdapat IFN-g yang menurun.

Interleukin spesifik alergen yang diproduksi sel T pada darah perifer

14
(interleukin IL-4, IL-5 dan IL-13) meningkat. Juga terjadi Eosinophilia

dan peningkatan IgE (Judarwanto W., 2009).


• Reaksi imunologis DA
Sekitar 70% anak dengan DA mempunyai riwayat atopi dalam

keluarganya seperti asma bronkial, rinitis alergi, atau dermatitis atopik.

Sebagian besar anak dengan DA (sekitar 80%), terdapat peningkatan kadar

IgE total dan eosinofil di dalam darah. Anak dengan DA terutama yang

moderat dan berat akan berlanjut dengan asma dan rinitis alergika di

kemudian hari (allergic march), dan semuanya ini memberikan dugaan

bahwa dasar DA adalah suatu penyakit atopi.


• Ekspresi sitokin
Keseimbangan sitokin yang berasal dari Th1 dan Th2 sangat

berperan pada reaksi inflamasi penderita Dermatitis Atopik (DA). Pada

lesi yang akut ditandai dengan kadar Il-4, Il-5, dan Il-13 yang tinggi

sedangkan pada DA yang kronis disertai kadar Il-4 dan Il-13 yang lebih

rendah, tetapi kadar Il-5, GM-CSF (granulocyte-macrophage colony-

stimulating factor), Il-12 dan INFg lebih tinggi dibandingkan pada DA

akut.

Anak dengan bawaan atopi lebih mudah bereaksi terhadap antigen

lingkungan (makanan dan inhalan), dan menimbulkan sensitisasi

terhadap reaksi hipersentivitas tipe I. Imunitas seluler dan respons

terhadap reaksi hipersensitivitas tipe lambat akan menurun pada 80%

penderita dengan DA, akibat menurunnya jumlah limfosit T sitolitik

(CD8+), sehingga rasio limfosit T sitolitik (CD 8+) terhadap limfosit T

helper (CD4+) menurun dengan akibat kepekaan terhadap infeksi virus,

bakteri, dan jamur meningkat.

15
Di antara mediator yang dilepaskan oleh sel mast, yang berperan

pada pruritus adalah vasoaktif amin, seperti histamin, kinin, bradikinin,

leukotrien, prostaglandin dan sebagainya, sehingga dapat dipahami

bahwa dalam penatalaksanaan DA, walaupun antihistamin sering

digunakan, namun hasilnya tidak terlalu menggembirakan dan sampai

saat ini masih banyak silang pendapat para ahli mengenai manfaat

antihistamin pada DA (Soebaryo R.W., 2009). Trauma mekanik (garukan)

akan melepaskan TNF-a dan sitokin pro inflammatory lainnya

diepidermis, yang selanjutnya akan meningkatkan kronisitas DA dan

bertambah beratnya eksema (Judarwanto W., 2009).

e. Antigen Presenting Cells

Kulit penderita DA mengandung sel Langerhans (LC) yang

mempunyai afinitas tinggi untuk mengikat antigen asing (Ag) dan IgE

lewat reseptor FceRI pada permukaannya, dan beperan untuk

mempresentasikan alergen ke limfosit Th2, mengaktifkan sel memori

Th2 di kulit dan yang juga berperan mengaktifkan Th0 menjadi Th2 di

dalam sirkulasi (Judarwanto W., 2009).

f. Faktor non imunologis

Faktor non imunologis yang menyebabkan rasa gatal pada DA

antara lain adanya faktor genetik, yaitu kulit DA yang kering (xerosis).

Kulit yang kering akan menyebabkan nilai ambang rasa gatal menurun,

sehingga dengan rangsangan yang ringan seperti iritasi wol, rangsangan

mekanik, dan termal akan mengakibatkan rasa gatal (Judarwanto W.,

2009).

g. Autoalergen

16
Sebagian besar serum pasien dermatitis atopik mengandung

antibody IgE terhadap protein manusia. Autoalergen tersebut

merupakan protein intraseluler, yang dapat dikeluarkan karena

kerusakan keratinosit akibat garukan dan dapat memicu respon IgE atau

sel T. pada dermatitis atopik berat, inflamasi tersebut dapat

dipertahankan oleh adanya antigen endogen manusia sehingga

dermatitis atopik dapat digolongkan sebagai penyakit terkait dengan

alergi dan autoimunitas (Soebaryo R.W., 2009).

Gambar 1. Mekanisme Alergi (Endaryanto E., & Harsono A., 2010).

Keterangan: Pada individu yang memiliki predisposisi alergi, paparan

pertama alergen menimbulkan aktivasi sel-sel allergen-specific T helper 2

(TH2) dan sintesis IgE, yang dikenal sebagai sensitisasi alergi. Paparan

allergen selanjutnya akan menimbulkan penarikan sel-sel inflamasi dan

aktivasi serta pelepasan mediator-mediator, yang dapat menimbulkan early

(acute) allergic responses (EARs) dan late allergic responses (LARs). Pada

17
EAR, dalam beberapa menit 3 kontak dengan alergen, sel mast yang

tersensitisasi IgE mengalami degranulasi, melepaskan mediator pre-formed

dan mediator newly synthesized pada individu sensitif. Mediator-mediator

tersebut meliputi histamin, leukotrien dan sitokin yang meningkatkan

permeabilitas vaskuler, kontraksi otot polos dan produksi mukus. Kemokin

yang dilepas sel mast dan sel-sel lain merekrut sel-sel inflamasi yang

menyebabkan LAR, yang ditandai dengan influks eosinofil dan sel-sel TH2.

Pelepasan eosinofil menimbulkan pelepasan mediator pro-inflamasi,

termasuk leukotrien-leukotrien dan protein-protein basic (cationic proteins,

eosinophil peroxidase, major basic protein and eosinophil-derived

neurotoxin), dan mereka merupakan sumber dari interleukin-3 (IL-3), IL-5,

IL-13 dan granulocyte/macrophage colony-stimulating factor.

Neuropeptides juga berkonstribusi pada patofisiologi simptom alergi

(Endaryanto E., & Harsono A., 2010).

18
Gambar 2: Patogenesis DA (Judarwanto W., 2009).

2.5 Manifestasi klinis

Manifestasi klinis DA berbeda pada setiap tahapan atau fase

perkembangan kehidupan, mulai dari saat bayi hingga dewasa. Pada setiap

anak didapatkan tingkat keparahan yang berbeda, tetapi secara umum mereka

mengalami pola distribusi lesi yang serupa (Zulkarnain I., 2009).

Kulit penderita DA umumnya kering, pucat atau redup, kadar lipid di

epidermis berkurang dan kehilangan air lewat epidermis meningkat.

Penderita DA cenderung tipe astenik, dengan intelegensia diatas rata-

rata,sering merasa cemas, egois, frustasi, agresif, atau merasa tertekan

(Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).

19
Subyektif selalu terdapat pruritus. Terdiri atas 3 bentuk, yaitu:

1. Bentuk infantil ( 0 - 2 tahun).

Lesi awal dermatitis atopik muncul pada bulan pertama kelahiran,

biasanya bersifat akut, sub akut, rekuren, simetris dikedua pipi

(Zulkarnain I., 2009). Karena letaknya didaerah pipi yang berkontak

dengan payudara, sering disebut eksema susu. Terdapat eritema

berbatas tegas, dapat disertai papul-papul dan vesikel-vesikel miliar,

yang menjadi erosif, eksudatif, dan berkrusta. Tempat predileksi

dikedua pipi, ekstremitas bagian fleksor, dan ekstensor

(Mansjoer A.,dkk., 2001).

Rasa gatal yang timbul sangat mengganggu sehingga anak

gelisah, susah tidur, dan sering menangis. Pada umumnya lesi DA

infantil eksudatif, banyak eksudat, erosi, krusta dan dapat mengalami

infeksi. Lesi dapat meluas generalisata bahkan walaupun jarang, dapat

terjadi eritroderma. Sekitar usia 18 bulan mulai tampak likenifikasi.

(Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).

Gambar 3: Dermatitis Atopik Infantil (Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005).

20
2. Bentuk anak (2 - 12 tahun)

Dapat merupakan kelanjutan bentuk infantile atau timbul sendiri

(denovo). Sejalan dengan pertumbuhan bayi menjadi anak-anak, pola

distribusi lesi kulit mengalami perubahan. Maifestasi dermatitis subakut

dan cenderung kronis. Lesi lebih kering, tidak begitu eksudatif, lebih

banyak papul, likenifikasi,dan sedikit skuama. Tempat predileksi terutama

di lipat siku, lipat lutut, pergelangan tangan bagian fleksor, kelopak mata,

leher, dan sangat jarang di daerah wajah (Djuanda. A, 2009).

Rasa gatal menyebabkan penderita sering menggaruk, dapat terjadi

erosi, ekskoriasi yang disebut scratch mark, likenifikasi, mungkin juga

mengalami infeksi sekunder. Akibat garukan, kulit menebal dan perubahan

lainnya yang menyebabkan gatal, sehingga terjadi linngkaran setan “siklus

gatal-garuk”. Rangsangan menggaruk sering di luar kendali. Kulit tangan

biasanya kering, kasar, garis palmar lebih dalam dan nyata serta

mengalami luka (fisura). Bibir terlihat kering, bersisik, sudut bibir terlihat

terbelah (kheilitis), bagian sudut lobus telinga sering mengalami fisura.

Lesi dermatitis atopik pada anak juga dapat ditemukan di paha dan

bokong. Penderita sensitive terhadap wol, bulu kucing dan anjing juga

bulu ayam, burung dan sejenisnya. Dermatitis atopik berat yang melebihi

50% permukaan tubuh dapat memperlambat pertumbuhan (Djuanda. A,

2009).

21
Gambar 4.a

Gambar 4.b.

Gambar 4.c.
Gambar 4a, b, c: Dermatitis Atopik pada Anak-anak (Simpson
E.L., & Hanifin J.M., 2005).

22
Gambar Pitiriasis alba

Gambar Dermatitis atopik dengan ekskoriasi linier multipel

Gambar Angular cheilitis

23
3. Bentuk dewasa (> 12 tahun)

Bentuk lesi pada fase dewasa hampir serupa dengan lesi kulit fase

akhir anak-anak (Zulkarnain I., 2009). Lesi selalu kering dan dapat

disertai likenifikasi dan hiperpigmentasi. Tempat predileksi tengkuk

serta daerah fleksor kubital dan fleksor popliteal.

Manifestasi lain berupa kulit kering dan sukar berkeringat, gatal-

gatal terutama jika berkeringat. Berbagai kelainan yang dapat

menyertainya ialah xerosis kutis, iktiosis, hiperlinearis Palmaris et

plantaris, pomfoliks, ptiriasis alba, keratosis pilaris (berupa papul-papul

miliar, ditengahnya terdapat lekukan), dll. (Mansjoer A.,dkk., 2001).

Pada orang dewasa sering mengeluh bahwa penyakitnya kambuh

apabila mengalami stress, mungkin karena stress menurunkan ambang

rangsang gatal. DA remaja cenderung berlangsung lama kemudian

menurun dan membaik (sembuh) satelah usia 30 tahun, jarang sampai

usia pertengahan, hanya sebagian kecil berlangsung sampai tua

(Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).

Gambar 5.a.

24
Gambar 5.b.

Gambar 5.a,b: Dermatitis Atopik Dewasa (Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005).

Gambar 6: Predileksi DA bentuk

infantile, anak, dewasa (Judarwanto W., 2009)

25
Gambar 7a Ertikaria

Gambar 7b Eritema Multiforme

Gambar 7c FDE (Eksantema Fixtum)

26
Gambar 7d Eritema Morbiliformis

Gambar 7e SJS
Gambar 7 drugs eruption

Terdapat beberapa gambaran klinis dan stigmata yang terjadi pada DA, yaitu:

• ‘White dermatographism’
Goresan pada kulit penderita DA akan menyebabkan kemerahan

dalam waktu 10-15 detik diikuti dengan vasokonstriksi yang

menyebabkan garis berwarna putih dalam waktu 10-15 menit

berikutnya.

• Reaksi vaskular paradoksal

27
Merupakan adaptasi terhadap perubahan suhu pada penderita DA.

Apabila ekstremitas penderita DA mendapat pajanan hawa dingin, akan

terjadi percepatan pendinginan dan perlambatan pemanasan

dibandingkan dengan orang normal (Judarwanto W., 2009). hal ini

diduga karena adanya pelebaran kapiler dan peningkatan permeabilitas

pembuluh darah yang mengakibatkan terjadinya edema dan warna

pucat dijaringan sekelilinnya (Zulkarnain I., 2009).


• Lipatan telapak tangan (palmar hiperlinearlity of Palms or soles)
• Pada kondisi kronis terdapat pertambahan mencolok lipatan

pada telapak tangan meskipun hal tersebut bukan merupakan

tanda khas untuk DA. (Judarwanto W., 2009).


• Pada umumnya pasien DA sejak lahir memiliki banyak garis

palmar yang lebih dalam dan lebih nyata, menetap sepanjang

hidup. (Zulkarnain I., 2009).


• Garis Morgan atau Dennie
Kelainan ini berupa cekungan yang menyolok dan simetris, namun

dapat ditemukan satu atau dua cekungan dibawah kelopak mata bagian

bawah.keadaan ini pada saat lahir atau segera sesudah itu dan bertahan

sepanjang hidup, Nampak seperti edema dari kelopak mata bawah

namun bukan merupakan atonogmomik DA (Zulkarnain I., 2009).


• Sindrom ‘buffed-nail’
Kuku terlihat mengkilat karena selalu menggaruk akibat rasa

sangat gatal.
• ‘Allergic shiner’
Sering dijumpai pada penderita penyakit alergi karena gosokan dan

garukan berulang jaringan di bawah mata dengan akibat perangsangan

melanosit dan peningkatan timbunan melanin.


• Hiperpigmentasi
Terdapat daerah hiperpigmentasi akibat garukan terus menerus.
• Kulit kering

28
Kulit penderita DA umumnya kering, bersisik, pecah-pecah, dan

berpapul folikular hiperkeratotik yang disebut keratosis pilaris. Jumlah

kelenjar sebasea berkurang sehingga terjadi pengurangan pembentukan

sebum, sel pengeluaran air dan xerosis, terutama pada musim panas.
• ‘Delayed blanch’
Penyuntikan asetilkolin pada kulit normal menghasilkan keluarnya

keringat dan eritema. Pada penderita atopi akan terjadi eritema ringan

dengan delayed blanch. Hal ini disebabkan oleh vasokonstriksi atau

peningkatan permeabilitas kapiler.


• Keringat berlebihan
Penderita DA cenderung berkeringat banyak sehingga pruritus

bertambah.
• Gatal dan garukan berlebihan
Penyuntikan bahan pemacu rasa gatal (tripsin) pada orang normal

menimbulkan gatal selama 5-10 menit, sedangkan pada penderita DA

gatal dapat bertahan selama 45 menit.

• Variasi musim
Mekanisme terjadinya eksaserbasi sesuai dengan perubahan musim

belum difahami secara menyeluruh. Beberapa penelitian menunjukkan

bahwa kelembaban nisbi tinggi musim baik pada kekeringan kulit

penderita DA. Pada daerah dengan kelembaban nisbi tinggi musim

panas berpengaruh buruk, sedangkan lingkungan sejuk dan kering akan

berpengaruh baik pada kulit penderita DA (Judarwanto W., 2009).


hertoge’s Sign
Didefinisikan sebagai penipisan atau hilangnya bagian lateral alis

mata (Zulkarnain I., 2009).

2.6 Diagnosis

29
Diagnosis memerlukan bukti adanya kulit yang gatal (atau laporan

orangtua adanya penggarukan atau penggosokan) disertai tiga atau lebih

hal berikut :

1. Riwayat keterlibatan lipatan kulit

2. Riwayat asma atau rhinitis alergi (atau dermatitis atopic pada orantua

atau saudara kandung jika anak berusia < 4 tahun)

3. Riwayat kulit yang kering 1 tahun terakhir

4. Onset pada anak < 2 tahun (kriteria tidak digunakan bila anak < 4

tahun)

5. Dermatitis pada lipatan yang terlihat (meliputi dermatitis yang

mengenai pipi, dahu atau bagian ekstrimitas luar pada anak < 4 tahun)

Kriteria diagnosis dermatitis atopik dari Hanifin dan Rajka, 1977


Diagnosis DA ditegakkan bila mempunyai minimal 2 kriteria
mayor dan 3 kriteriaminor.

30
Perlakuan khusus diperlukan untuk penderita DA Berat. Penentuan

gradasi berat-ringannya DA dapat mempergunakan kriteria Rajka dan Rajka

sebagaimana tabel berikut :

31
I. Luasnya lesi kulit
fase anak / dewasa
< 9% luas tubuh =1
9-36% luas tubuh =2
> 36 % luas tubuh =3
fase infantile
< 18% luas tubuh =1
18-54% luas tubuh =2
> 54% luas tubuh =3
II. Perjalanan penyakit
remisi > 3 bulan/ tahun =1
remisi < 3 bulan/ tahun =2
Kambuhan /terus mkenerus = 3
III. Intensitas penyakit
gatal ringan, kadang mengganggu tidur malam hari = + 1
gatal sedang, sering mengganggu tidur ( tidak terus-menerus) = + 2
gatal hebat, gangguan tidur sepanjang malam(terus-menerus) = + 3

Telah dilaporkan berbagai hasil laboratorium penderita DA,


walaupun demikian sulit untuk menghubungkan hasil laboratorium ini
dengan defek yang ada. Berikut merupakan pemeriksaan labortorium yang
bisa dilakukan:
 Imunoglobulin
IgG, IgM, IgA dan IgD biasanya normal atau sedikit meningkat
pada penderita DA. Tujuh persen penderita DA mempunyai kadar IgA
serum yang rendah, dan defisiensi IgA transien banyak dilaporkan
pada usia 3-6 bulan. Kadar IgE meningkat pada 80-90% penderita DA
dan lebih tinggi lagi bila sel asma dan rinitis alergika. Tinggi
rendahnya kadar IgE ini erat hubungannya dengan berat ringannya
penyakit, dan tinggi rendahnya kadar IgE tidak mengalami fluktuasi
baik pada saat eksaserbasi, remisi, atau yang sedang mendapat

32
pengobatan prednison atau azatioprin. Kadar IgE ini akan menjadi
normal 6-12 bulan setelah terjadi remisi.
 Uji kulit dan IgE-RAST
Pemeriksaan uji tusuk dapat memperlihatkan allergen mana
yang berperan, namun kepositifannya harus sejalan dengan derajat
kepositifan IgE RAST (spesifik terhadap allergen tersebut). Khususnya
pada alergi makanan, anjuran diet sebaiknya dipertimbangkan secara
hati-hati setelah uji tusuk, IgE RAST dan uji provokasi. Cara laim
adalah dengan double blind placebo contolled food challenges
(DPCFC) yang dianggapsebagai baku emas untuk diagnosis alergi
makanan.
 Peningkatan kadar IgE pada sel langerhans
Hasil penelitian adanya IgE pada sel langerhans membuktikan
mekanisme respon imun tipe I pada dermatitis atopik, adanya pajanan
terhadap allergen luar dan peran IgE di kulit.
 Jumlah eosinofil
Peningkatan jumlah eosinofil di perifer maupun di jaringan
kulit umumnya seirama dengan beratnya penyakit dan lebih banyak
ditemukan pada keadaan yang kronis.

 Faktor imunogenik HLA


Walaupun belum secara bermakna HLA-A9 diduga berperan
sebagai factor predisposisi intrinsic pasien atopik. Pewarisan
genetiknya bersifat multifactor. Dugaan lain adalah kromosom 11q13
juga diduga ikut berperan pada timbulnya dermatitis atopik.
 Kultur dan resistensi
Mengingat adanya kolonisasi Stapylococcus aureus pada kulit
pasien atopik terutama yang eksudatif (walaupun tidak tampak infeksi
sekunder), kultur dan resistensi perlu dilakukan pada dermatitis atopik.

2.7 Diagnosis Banding

Disease Distinguishing feature


Dermatitis kontak Riwayat paparan sebelumnya positif,

33
ruam pada area yang terpapar, tidak
ada riwayat keluarga.
Dermatitis Herpetiformis Vesikel pada area extensor, ada
hubungannya dengan enteropati
Infeksi dermatofita (termasuk tinea Plak serpiginosa dengan central
pedis/manum) clearing, KOH positif.
Penyakit imunodefisiensi Riwayat infeksi berulang
Impetigo Infeksi staphylococcus atau
streptococcus, infeksi minor akibat
injury (gigitan serangga), adanya
vesikel yang ruptur meniggalkan
krusta pada permukaan lesi
Lichen planus Erupsi yang muncul selama beberapa
minggu, riwayat keluarga negatif,
mungkin berhubungan dengan faktor
stres, muncul terutama pada usia 30-
60 tahun
Neurodermatitis Biasanya bercak single pada area yang
gatal, tidak ada riwayat keluarga.
Psoriasis Bercak terlokalisir pada permukaan
extensor,
Scabies Papul, sela-sela jari terlibat, skin
scraping positif.
Dermatitis seboroik Skuama berminyak pada kulit, tidak
ada riwayat keluarga
Penyakit sistemik Ditemukan gejala klinis dan
pemeriksaan fisik yang lengkap
berbagai penyakit.

2.8 Penatalaksanaan

Dermatitis atopik umumnya tidak dapat disembuhkan tetapi dapat di

kontrol. Sebagian penderita mengalami perbaikan sesuai dengan bertambahnya

usia. Langkah yang paling penting adalah menjalin hubungan baik dengan orang

34
tua penderita, menjelaskan mengenai penyakit tersebut secara rinci termasuk

perjalanan penyakit, dampak psikologis, prognosis, dan prinsip penatalaksanaan.

Terapi yang bisa dilakukan adalah hidrasi kulit, terapi farmakologik dan

identifikasi serta eliminasi faktor pencetus dermatitis atopik seperti bahan iritan,

deterjen, alergen, agen infeksi, dan stres emosional. Terdapat banyak faktor

menyumbang kepada simptom dermatitis atopik yang kompleks. Oleh sebab itu,

rencana terapi berbeda-beda dan unik pada bagi setiap pasien karena reaksi kulit

pada setiap individu dan faktor pencetusnya adalah berbeda.

Identifikasi dan Eliminasi Faktor Pencetus

Pasien dermatitis atopik lebih sensitif terhadap bahan iritan berbanding

dengan orang normal. Oleh itu, adalah penting bagi pasien untuk mengidentifikasi

dan mencegah faktor yang bisa mencetuskan itch-scratch cycle (siklus gatal-

garuk). Faktor pencetus ini antaranya adalah sabun dan deterjen, kontak dengan

bahan kimia, asap, memakai pakaian baru, dan paparan pada suhu dan

kelembapan yang ekstrim. Apabila menggunakan sabun, pasien harus

mengurangkan durasi kontak dengan bahan tersebut dan menggunakan sabun

yang mempunyai pH yang menghampiri pH neutral. pakaian baru harus dicuci

terlebih dahulu sebelum dipakai untuk mengurangkan kadar formaldehid dan

bahan kimia yang lain. Deterjen yang tertinggal pada pakaian turut bisa

menyebabkan iritasi kulit. Sebaiknya, penggunaan deterjen serbuk diganti dengan

deterjen cair .
Kondisi persekitaran seperti suhu panas dan lembap serta berkeringat

harus disesuaikan mengikut kondisi pasien agar tidak memperberat penyakit.

Walaupun sinaran cahaya matahari memberi manfaat kepada penderita dermatitis

atopik, namun paparan yang berlebihan harus dicegah.

35
 Alergen spesifik

Alergen yang berpotensi untuk mengeksaserbasi dermatitis atopik adalah

seperti berikut: makanan, inhalasi (debu/habuk, bulu hewan, pollen bunga).

Alergen ini harus diidentifikasi secara teliti dalam anamnesis dengan pasien serta

dilakukan tes tusuk (skin prick test) dan test serum IgE pada pasien.

 Stres emosional

Stres bukanlah penyebab terjadinya dermatitis atopik, tetapi bisa

mengeksaserbasi gejala dari penyakit ini. Dermatitis atopik biasanya berespon

dengan pasien yang sedang dalam kondisi stres, malu frustasi dan berbagai stres

emosional yang lain. Respon ini disertai dengan rasa gatal dan diikuti degan

tindakan menggaruk. Kadangkala, perilaku menggaruk ini menjadi kebiasaan

pada kebanyakan pasien. Relaksasi dan modifikasi perilaku dapat membantu

pasien mengatasi kebiasaan ini.

 Agen infeksi

Bagi pasien yang telah terkena infeksi atau kolonisasi S.aureus berat,

terapi dengan antibiotik anti-stafilokokal sangat membantu. Pasien yang tidak

terkolonisasi dengan tipe aureus yang resisten bisa dirawat dengan sefalosporin

atau penicillinase resistant-penicillin (dicloxacilin, oxacilin, cloxacilin). Akibat

dari peningkatan satfilokokus yang resisten-eritromisin, maka telah diperkenalkan

obat-obatan baru seperti makrolida yang baru untuk merawat dermatitis atopik.

Herpes simpleks bisa memprovokasi dermatitis yang rekuren dan sering

tersalah diagnosa dengan infeksi S.aureus. Jika terdapat punched-out lesion,

vesikel, dan/atau lesi pada kulit yang terinfeksi tetapi tidak berepon dengan

antibiotik oral, maka pemeriksaan penunjang yang mengarah ke H.simpleks harus

36
dilakukan. Antara pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan adalah pewarnaan

Giemsa dengan smear Tzanck (sampel diambil dari dasar vesikel), test direct

immunofluorescence assay, identifikasi material genetik herpes dengan PCR, atau

dengan kultur virus. Untuk infeksi yang dicurigai disebabkan oleh herpes

simpleks, obat anti-inflamatorik harus dihentikan seketika. Pada orang dewasa

dengan lesi herpes simpleks pada kulit, terapi yang bisa diberikan kepada pasien

adalah acyclovir 400 mg peroral 3 kali sehari selama 10 hari atau 200 mg peroral

4 kali sehari selama 10 hari. Terapi intravena juga bisa diberikan pada pasien

dengan ekzema herpeticum berat yang menyebar. Infeksi dermatofita bisa

mempersulit dermatitis atopik dan menyumbang kepada eksaserbasi aktivitas

penyakit. Pasien dengan infeksi dermatofita bisa di rawat dengan anti-jamur

sistemik atau topikal.

 Pruritus

Terapi pruritus harus mengarah langsung ke penyebab utamanya. Reduksi

inflamasi kulit dan kulit kering dapat diatasi dengan cara mengaplikasikan

glukokortikoid topikal dan hidrasi kulit. Tindakan ini dipercayai dapat

mengurangkan efek pruritus. Beberapa anti-histamin mempunyai efek ansiolitik

ringan dan bisa mengurangkan gejala simptomatik melalui efek penenang dan

sedatif. Disebabkan pruritus bertambah berat pada malam hari, antihistamin yang

mempunyai efek sedatif (eg: hydroxyzine atau diphenhydramine) mampu

memberi banyak kelebihan pada pasien. Sekiranya pruritus nokturnal bertambah

berat, maka penggunaan jangka pendek obat sedatif dapat diberikan. Rawatan

antibiotik dengan antihistamin topikal tidak direkomendasikan karena berpotensi

37
mencetuskan sensitisasi pada kulit. Namun begitu, aplikasi krem topikal doxepin

5% selama 1 minggu dapat mereduksi severitas pruritus tanpa mengakibatkan

sensitisasi.

1. Terapi topikal

Hidrasi kutaneus

Pasien dermatitis atopik mempunyai kulit yang kering dan fungsi sawar

kulit yang terganggu. Kondisi ini bisa menyebabkan morbiditas dengan cara

membentuk mikrofisura dan celahan pada kulit sekaligus menjadi port de entry

bagi patogen kulit, bahan iritan, dan alergen, sekaligus mengakibatkan infeksi

sekunder. Kondisi ini bisa menjadi lebih parah ketika musim dingin. Untuk

mengurangi gejala secara simptomatis, dapat dilakukan mandi dengan air hangat

selama 20 menit diikuti dengan aplikasi emolien yang oklusif untuk

mengembalikan kelembapan kulit. Kombinasi penggunaan emolien yang efektif

dengan terapi hidrasi membantu mengembalikan dan mempertahankan sawar

stratum korneum serta mengurangkan frekuensi aplikasi glukokortikoid topikal.

Pelembap tersedia dalam berbagai sediaan antaranya krem, losion, atau ointment.

Tetapi, sesetengah losion dan krem bersifat iritatif akibat penambahan substansi

lain seperti preservatif, pelarut, dan pewangi. Losion yang mengandungi air bisa

mengering disebabkan oleh efek evaporasi. Ointment hidrofilik tersedia dalam

berbagai viskositas tergantung dari kebutuhan pasien. Ointment yang oklusif

kadangkala tidak bisa ditoleransi dengan baik karena mengganggu fungsi duktus

ekrin dan bisa menginduksi terjadinya folikulitis. Terapi topikal untuk

menggantikan lipid epidermal yang abnormal, memperbaiki hidrasi kulit, dan

disfungsi sawar kulit bisa diberikan pada pasien dermatitis atopik ini. Hidrasi

dengan mandi dan kompres basah (wet dressing) merangsang penetrasi

38
glukokortikoid topikal. Kompres basah tersebut juga bisa melindungi lesi dari

garukan yang persisten, sehingga mempercepat proses penyembuhan lesi

ekskoriasi. Kompresi basah direkomendasikan pada bagian yang terkena

dermatitis atopik berat atau bagian yang melibatkan terapi dalam jangka waktu

yang lama. Namun, penggunaan kompresi basah yang berlebihan bisa

mengakibatkan maserasi dan dipersulit dengan infeksi sekunder.

Terapi glukokortikoid topikal

Terapi glukokortikoid topikal merupakan dasar untuk anti-inflamatorik lesi

kulit yang ekzematous. Disebabkan oleh efek sampingnya, kebanyakan dokter

menggunakan glukokortikoid topikal hanya untuk mengawal eksaserbasi akut

dermatitis atopik. Walau bagaimanapun, studi terbaru menunjukkan bahwa

kontrol dermatitis atopik bisa dilaksanakan dengan regimen terapi setiap hari

dengan glukokortikoid topikal. Kontrol untuk jangka waktu yang lama bisa

dikekalkan pada sesetengah pasien dengan mengaplikasikan fluticasone pada

bagian kulit yang telah sembuh tetapi beresiko untuk terjadinya ekzema sebanyak

2 kali dalam seminggu.


Penjelasan dan instruksi menggunakan glukokortikoid topikal harus

diberikan secara jelas dan lengkap untuk mencegah terjadinya efek samping.

Glukokortikoid fluorinated yang poten tidak boleh diaplikasikan ke wajah,

genitalia dan bagian lipatan kulit, tetapi preparasi glukokortikoid yang berpotensi

rendah bisa diaplikasikan ke bagian ini. Pasien juga harus diberikan instruksi

supaya mengaplikasikan glukokortikoid pada bagian lesi sahaja dan aplikasi

emolien pada bagian kulit yang sehat. Kadangkala penyebab kegagalan terapi

dengan glukokortikoid topikal adalah disebabkan oleh aplikasi atau penggunaan

obat yang tidak mencukupi. Jumlah topikal glukokortikoid yang diperlukan untuk

39
diaplikasi ke seluruh tubuh adalah kira-kira 30 gram krem atau ointment. Jadi,

untuk merawat seluruh tubuh sebanyak 2 kali sehari selama 2 minggu

memerlukan kira-kira 840 gram (2 lb) glukokortikoid topikal.


Terdapat 7 golongan bagi glukokortikoid topikal dan diatur mengikut

potensi berdasarkan vasoconstrictor assay. Disebabkan oleh efek sampingnya,

glukokortikoid yang sangat poten hanya digunakan untuk jangka waktu pendek

dan pada bagian yang mengalami likenifikasi tetapi bukan pada daerah wajah atau

lipatan kulit. Tujuan utama penggunaan emolien adalah untuk menghidrasi kuli

dan glukokortikoid potensi rendah adalah untuk terapi maintenance.

Glukokortikoid potensi sedang bisa digunakan untuk jangka waktu panjang bagi

merawat dermatitis atopik kronik yang melibatkan bagian badan dan ekstrimitas.

Glukokortikoid gel yang disediakan dengan basa glycol propylene sering

mengiritasi serta menyebabkan kekeringan pada kulit. Obat ini tidak boleh

diaplikasikan pada daerah kulit kepala atau jenggot.


Faktor yang berperan mempengaruhi potensi dan efek samping

glukokortikoid termasuk struktur molekuler kompaun, vehikulum, jumlah obat

yang diaplikasi, durasi aplikasi, sifat oklusif, serta faktor si pemakai seperti umur,

luas permukaan badan dan berat, inflamasi pada kulit, anatomi kulit, dan

perbedaan metabolisme kutaneus dan sistemik pada setiap individu. Efek samping

glukokortikoid topikal berkait langsung dengan susunan potensi kompaun dan

durasi penggunaannya. Selain itu, ointment mempunyai resiko tinggi untuk

mengoklusi epidermis, seterusnya meningkatkan absorbsi sistemik jika

dibandingkan dengan krem. Efek samping dari glukokortikoid dapat dibagi

menjadi dua yaitu efek samping lokal dan efek samping sistemik yang disebabkan

oleh supresi hypothalamus pituitary-adrenal.

40
Efek sampingnya termasuklah striae, atrofi kulit, dermatitis perioral dan

akne rosasea. Glukokortikoid poten bisa mengakibatkan supresi adrenal

(terutamanya pada bayi dan anak kecil). Pada bentuk anak dan dewasa dengan

likenifikasi dapat diberi kortikosteroid kuat seperti: Betametason dipropionat

0,05%, Deoksimetason 0,25%. Glukokortikoid sedang (fluticasone propionate)

0.05% krem pada bagian wajah dan bagian tubuh lain yang signifikan adalah

aman untuk digunakan pada anak-anak berumur 1 bulan sampai 3 bulan. Pada

penggunaan fluticason 0.05% krem juga bisa diaplikasikan pada anak-anak seawal

umur 3 bulan selama maksimal 4 minggu. Fluticason losion pula bisa digunakan

pada anak-anak 12 bulan dan ke atas. Krem dan ointment mometason bisa

digunakan pada anak-anak berumur 2 tahun dan ke atas.

Inhibitor calcineurin topikal

Takrolimus dan pimekrolimus topikal adalah imunomodulator non-steroid

yang bekerja menghambat aktivasi sel yang terlibat dalam D.A.yaitu: sel

Langerhans, sel T, sel mast, dan keratinosit. Ointment takrolimus 0.03% bisa

digunakan untuk terapi intermiten pada penderita dermatitis atopik anak-anak (≥ 2

tahun) dengan tingkat severitas sedang hingga berat. Ointment takrolimus 0.1%

pula bisa digunakan pada orang dewasa, manakala dalam sedian krem (1%)

digunakan untuk terapi bagi pasien ≥ 2 tahun dengan tingkat severitas dermatitis

atopik dari ringan sampai sedang. Kedua-dua obat ini efektif dan aman digunakan

selama 4 tahun (ointment takrolimus) dan 22 tahun (krem pimekrolimus). Efek

samping bagi penggunaan obat ini adalah rasa sensasi terbakar pada kulit. Obat ini

tidak mengakibatkan atrofi kulit. Oleh itu, obat ini bisa dipakai pada wajah dan

lipatan kulit.

41
Preparat ter

Preparat ter mempunyai efek antipruritus dan anti inflamasi pada kulit.

Dipakai pada lesi kronis, jangan pada lesi akut. Sediaan dalam bentuk salap

hidrofilik, misalnya yang mengandung likuor karbonis detergen 5% sampai10 %,

atau crude coal tar 1 % sampai 5%.

Antihistamin
Pengobatan D.A. dengan antihistamin topikal tidak dianjurkan karena

berpotensi kuat menimbulkan sensitisasi pada kulit. Dilaporkan bahwa aplikasi

topikal krim doksepin 5% dalam jangka pendek (satu minggu), dapat mengurangi

gatal tanpa terjadi sensitisasi. Tetapi perlu diperhatikan, bila dipakai pada area

yang luas akan menimbulkan efek samping sedatif.

Fototerapi

Cahaya matahari memberi banyak kebaikan pada pasien dermatitis atopik.

Walaubagaimanapun, sinaran yang terlalu panas bisa mencetuskan pruritus yang

memperberat kondisi pasien. Broadband UVB, Broadband UVA, Narrowband

UVB (311 nm), UVA-1 (340 hingga 400 nm) dan kombinasi fototerapi dengan

UVA-B menjadi terapi adjuvan (tambahan) yang bermanfaat untuk pasien

dermatitis atopik. Investigasi dari mekanisma fotoimunologi yang

bertanggungjawab terhadap efektifitas terapi menunjukkan bahwa sel Langerhans

epidermis dan eosinofil mungkin merupakan sasaran dari UVA fototerapi dengan

dan tanpa psoralen, sedangkan UVB yang diberikan menghasilkan efek

imnunosupresif dengan cara memblokir fungsi antigen-presenting Langerhans

cell dan mengubah produksi keratinosit sitokin. Indikasi bagi fotokemoterapi

dengan psoralen dan UVA adalah pasien dengan dermatitis atopik yang parah dan

menyebar. Efek samping jangka waktu pendek bagi fototerapi adalah eritema,

42
nyeri kulit, pruritus, dan pigmentasi. Efek samping jangka panjang adalah proses

penuaan.
Rawat inap
Pasien dermatitis atopik dengan kondisi eritodermik atau menderita

penyakit ini dengan tingkat severitas yang berat tidak memungkinkan untuk di

rawat jalan. Pasien seperti ini harus di rawat inap sebelum mempertimbangkan

terapi sistemik alternatif yang lain. Pada kebanyakan kasus, tindakan mengisolasi

pasien daripada alergen yang ada di sekitarnya atau mengatasi stres emosional dan

mengedukasi pasien dengan benar biasanya bisa memperbaiki kondisi penyakit

mereka.

2. Terapi sistemik
Glukokortikoid sistemik
Penggunaan glukokortikoid sistemik seperti prednison jarang diberikan

pada pasien dengan dermatitis atopik yang kronik. Setengah pasien dan dokter

lebih gemar menggunakan sistemik glukokortikoid tersebut untuk mencegah

perawatan kulit (hidrasi dan terapi topikal) yang mengambil waktu sangat lama.

Walau bagaimanapun, peningkatan perbaikan pada pasien yang mengkonsumsi

glukokortikoid sistemik biasanya berkait rapat dengan rebound yang parah selepas

terapi glukokortikoid sistemik dihentikan. Terapi jangka pendek glukokortikoid

oral sesuai untuk eksaserbasi akut dermatitis atopik. Sekiranya terapi dengan

glukokortikoid oral dimulakan, dosis yang diberikan harus dikurangi (tappering)

dan perawatan kulit juga harus dilakukan dengan cara aplikasi glukokortikoid

topikal dan sering mandi serta aplikasi emolien untuk mencegah terjadinya

rebound Pasien dengan lesi yang masih basah atau akut dapat menggunakan

prednison selama 7 hari dengan dosis 40-60 mg/hr untuk dewasa dan 1 mg/kg/hr

untuk anak. Penggunaan kortikosteroid sangat jarang digunakan dalam

pengobatan DA akibat efek sampingnya yang dapat mengganggu pertumbuhan.

43
Siklosporin
Siklosporin merupakan imunosupresif poten yang bekerja pada sel T

dengan mensupresi transkripsi sitokin. Banyak studi menyatakan bahwa terapi

siklosporin jangka pendek bisa memberi kebaikan kepada pasien dermatitis atopik

dewasa dan anak-anak. Dosis 5mg/kgBB biasanya diberikan dengan jangka waktu

pendek (6minggu) dan jangka waktu panjang (1 tahun). Ada juga sumber yang

mengatakan bahwa siklosporin dalam bentuk mikroemulsi bisa diberikan setiap

hari pada pasien dewasa dengan dosis 150 mg (dosis rendah) dan 300 mg (dosis

tinggi). Terapi dengan siklosporin menunjukkan perbaikan pada kondisi pasien

dan memperbaiki kualitas hidup mereka. Efek dari diskontinuitas obat ini adalah

relaps penyakit kulit yang cepat, peningkatan serum kreatinin atau gangguan

fungsi renal yang signifikan, dan hipertensi.

Antihistamin

Antihistamin golongan H1 yang bersifat sedatif untuk mengurangi gatal

dan sebagai penenang seperti:


Hidroksizine (dewasa 3 x 25 mg/hari, anak 0,6 mg/kgBB/hari)
1,2,4,17


Klorfeniramin (dewasa 3-4 x 4 mg/hari, anak 3-4 x 2-4 mg/hari)

atau diphenhidramine hidroklorid (dewasa 3 x 25-50 mg/hari, anak

5 mg/kgBB/hari) yang memberikan keuntungan dari efek samping

berupa sedasi untuk menangani gatal pada malam hari. 1,10,17



Doxepin hidroklorid memiliki efek anti depresan trisiklik dan blok

H1-H2 histamin reseptor dapat digunakan pada dosis oral, untuk

dewasa 10-50 mg pada malam hari dan untuk anak-anak 10-25 mg

pada malam hari. 1

44
Jika pruritus nokturnal semakin parah, maka dapat digunakan sedatif

jangka pendek untuk menghasilkan istirahat yang adekuat. Kontra indikasi pada

awal kehamilan dan hipersensitifitas.


Antimetabolit
Pemberian monoterapi dengan mycophenolate mofetil peroral dalam

jangka pendek sebanyak 2 g setiap hari bisa menghilangkan lesi pada pasien

dewasa dermatitis atopik yang resisten terhadap terapi lain termasuk

glikokortikoid topikal dan sistemik, dan fototerapi psoralen dan UVA. Namun

begitu, tidak semua pasien yang berespon baik dengan obat ini. Terapi dengan

obat ini harus dihentikan jika pasien tidak menunjukkan respon setelah 4 hingga 8

minggu perawatan.
Methotrexate merupakan anti-metabolit yang mempunyai efek poten

terhadap sintesis inflamatorik sitokin dan kemotaksis sel. Methotrexate diberikan

kepada pasien dermatitis atopik dengan penyakit yang menetap. Azathioprine

sering digunakan pada pasien dengan dermatitis atopik berat. Efek samping dari

penggunaan obat ini adalah supresi sumsum tulang.

Antibiotik

Pemberian antibiotik berkaitan dengan ditemukannya peningkatan koloni

S. aureus pada kulit penderita dermatitis atopik sehingga dapat diberi eritromisin

dan azitromisin. Bila ada infeksi virus seperti virus herpes simpleks dapat diberi

asiklovir 3 kali 400 mg/hari selama 10 hari atau 4 kali 200 mg/hari selama 10 hari.

 Cephalexin (dewasa 1-2 gr/hari, anak 25-50 mg/kgBB/hari dibagi

dalam 4 dosis)

 Cefadroxil (dewasa dan anak BB>40 kg, 500 mg 2 kali sehari, anak

BB<40 kg, 25 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis)

 Eritromisin (dewasa 1-1,5 gr/hari, anak 30-50 mg/kgBB/hari)

45
2.9 Prognosis

Keseluruhan proses dermatitis atopik tidak diketahui secara pasti. Prediksi

dermatitis atopik ini tidak bisa dilakukan dengan pasti pada setiap pasien, namun,

46
penyakit ini lebih berat dan persisten pada anak-anak. Waktu remisi muncul lebih

sering dengan pertambahan usia anak tersebut. Sekitar 40% hingga 60% anak-

anak yang mendapat dermatitis atopik dengan severitas ringan pada waktu bayi

sembuh secara spontan selepas umur 5 tahun. Walaupun studi awal menunjukkan

bahwa sekitar 84% anak-anak dengan dermatitis atopik akan lebih cenderung

untuk memiliki tingkat severitas yang lebih berat pada usia remaja, namun, studi

terbaru menunjukkan bahwa gejala dermatitis atopik hilang pada 20% anak-anak

dengan dermatitis atopik yang didapat sejak bayi hingga usia remaja., dan 65%

pasien mempunyai gejala dermatitis atopik yang sedang. Selain itu, lebih satu per

dua dari remaja yang dirawat dengan dermatitis ringan akan mengalami relaps

pada usia dewasa.

Pasien dewasa yang mempunyai riwayat terjadinya remisi dermatitis

atopik untuk beberapa tahun pada waktu anak-anak menunjukkan gejala

dermatitis tangan, terutamanya jika mereka terlibat dengan pekerjaan yang sering

menyebabkan tangan dalam kondisi yang basah dan lembap. Faktor yang diduga

menyebabkan prognosa buruk pada pasien dermatitis atopik adalah penyakit lesi

yang meluas pada waktu anak-anak, mempunyai riwayat keluarga dengan

penyakit asma atau rhinitis alergi (orang tua atau saudara), onset dermatitis atopik

yang terjadi sangat awal, anak tunggal, dan kadar serum IgE yang sangat tinggi.

47
BAB III

KESIMPULAN

Dermatitis atopik adalah peradangan pada epidermis dan dermis dan

residif yang bersifat kronis, residif sebagai respon terhadap pengaruh faktor

eksogen dan atau endogen dan keluhan gatal, sering berhubungan dengan individu

atau keluarga dengan riwayat atopi, distribusi simetris, biasanya terjadi pada

individu dengan riwayat gangguan alergi pada atau individu tersebut.

Dermatitis atopik dapat terjadi pada segala usia tetapi sering mulai timbul

pada usia balita. Berdasarkan usia kejadian dermatitis atopi dibagi dalam 3

stadium yaitu tipe infantil ( 2 bulan - 2 tahun), tipe anak-anak ( 3 -10 tahun) dan

tipe dewasa.

Etiologi pasti dermatitis atopik belum diketahui, tetapi faktor turunan

merupakan dasar pertama untuk timbulnya penyakit Gejala klinis yang spesifik

yaitu rasa gatal yang khas dengan predileksi yang khas, berlangsung kronis dan

residif.

Komplikasi dermatitis atopik adalah infeksi sekunder akibat bakteri,

infeksi jamur kulit, infeksi virus dan eritroderma. Aspek yang paling penting

dalam menangani anak-anak dengan dermatitits atopik adalah memberikan

penjelasan yang simpatik pada orangtuanya tentang keadaan yang sesungguhnya.

Pengobatan topikal dermatitis atopik terdiri dari hidrasi kulit,

kortikosteroid topikal, imunomodulator topikal, preparat ter dan antihistamin.

Pengobatan sistemik terdiri dari kortikosteroid, antihistamin, anti-infeksi,

48
interferon, dan siklosporin. Prognosis dermatitis atopik pada seseorang sulit

ditentukan.

DAFTAR PUSTAKA

Fauzi N., Sawitri, Pohan S.S., 2009. Korelasi antara Jumlah Koloni

Staphylococcus Aureus & IgE spesifik terhadap Enterotoksin

Staphylococcus Aureus pada Dermatitis Atopik. Departemen / SMF

Kesehatan Kulit dan Kelamin FK UNAIR / RSU Dr. Soetomo. Surabaya.

Kang K, Polster AM, Nedorost ST. Stevens SR, Cooper KD. Atopic dermatitis. In

Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP, Schaffer JV, editors. Dermatology

2nd ed. Edinburg: Mosby; 2008. p. 181 – 95.


Diana IA, dkk. Panduan Diagnosis dan Tatalaksana Dermatitis Atopik di

Indonesia. Kelompok Studi Dermatologi Anak Indonesia. Perhimpunan

Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia. Jakarta. 2014.


Djuanda. A, Hamzah. M, Aisah. S. Dermatitis actopic. Dalam, Ilmu Penyakit

Kulit dan Kelamin. Edisikelima. Jakarta: BalaiPenerbit FKUI, 2009


Sanchez J, Paez B, Macias A, Olmos C, Falco A. Atopic Dermatitis Guideline.

Position Paper from the Latin American Society of Allergy, Asthma and

Immunology. Revista Alergica Mexico. 2014 (61) 3 : 178-211.

William H.C., 2005. Atopic Dermatitis. N Engl J Med;; 352: 2314-24.

Judarwanto W., 2009. Dermatitis Atopik. Children Allergy Clinic Information;

www.Childrenallergicclinic.wordpress.com.

Budiastuti M., Wandita S., Sumandiono., 2007 . Exclusive breastfeeding and risk

of atopic dermatitis in high risk infant. Berkala Ilmu Kedokteran,

Volume 39, No. 4, Hal. 192-198.

49
Zulkarnain I., 2009. Manifestasi Klinis dan Diagnosis Dermatitis Atopik. dalam

Boediarja S.A., Sugito T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed).

Dermatitis Atopik. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. Hal. 39-51

Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005. Dermatitis. dalam Ilmu Penyakit Kulit dan

Kelamin. (Ed).IV.Jakarta; Balai Penerbit FK UI; Hal.129-47.

Soebaryo R.W., 2009. Imunopatogenesis. Dalam Boediarja S.A., Sugito T.L.,

Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed). Dermatitis Atopik. Balai

Penerbit FK UI. Jakarta. Hal. 39-51.

Mansjoer A., Kuspuji T., Rakhmi S., Wahyu I.W., Wiwiek S.,(Ed). 2001.

Dermatitis Atopik dalam Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid II.

Jakarta. Penerbit Media Aesculapius FKUI. Hal.


Roesyanto I.D., & Mahadi., 2009. Peran Alergi Makanan pada Dermatitis Atopik.

dalam Boediarja S.A., Sugito T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S.,

(Ed). Dermatitis Atopik. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. Hal.12-20.


Sugito T.L., 2009. Penatalaksanaan Terbaru Dermatitis Atopik. dalam Boediarja

S.A., Sugito T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed). Dermatitis

Atopik. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. Hal. 39-55

Endaryanto E., & Harsono A., 2010. Prospek Probiotik dalam pencegahan alergi

melalui induksi aktif toleransi imunologis. Divisi Alergi Imunologi

Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK-Unair/RSU Dr. Soetomo

Surabaya.

Kariossentono H., 2006. Dermatitis Atopik (Eksema). Cetakan I.LPP UNS dan

UNS Press. Surakarta. Hal.8-12.

Graham B.R., 2005. Dermatologi.Edisi VIII. Erlangga.Jakarta.Hal.73-74.

Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005. Atopic dermatitis. Periodic synopsis. J Am

Acad Dermatol. 53(1): 115-28.

50
Bhakta I.M.,2006. Pendekatan Terhadap Pasien Anemia. dalam Ari W.S.,

Bambang S., Idrus A., Marcelius S.K., Siti S.s (eds). Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam. jilid I. Edisi IV. FKUI. Jakarta. Hal: 632-35

51

Anda mungkin juga menyukai