TERAPI OKSIGEN
Oleh:
Pembimbing:
1
HALAMAN PENGESAHAN
Referat
TERAPI OKSIGEN
Oleh:
Dosen Pembimbing:
Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepanitraan Klinik
Senior di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin
Palembang.
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maga Esa karena atas rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan referat Terapi Oksigen sebagai salah
satu syarat mengikuti Kepanitraan Klinik Senior (KKS) di Departemen
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.
Terima kasih penulis ucapkan kepada dr. Ibnu Umar, Sp.An, KIC selaku
pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama penulisan dan
penyusunan referat ini sehingga referat ini dapat selesai dengan baik.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan
referat ini disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak untuk
perbaikan di masa yang akan datang. Penulis berharap referat ini dapat
memberikan manfaat bagi penulis dan bagi pembaca.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.......................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................ii
KATA PENGANTAR....................................................................................iii
DAFTAR ISI...................................................................................................iv
DAFTAR TABEL...........................................................................................v
DAFTAR GAMBAR......................................................................................vi
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................3
2.1 Definisi Terapi Oksigen...................................................................3
2.2 Tujuan Terapi Oksigen....................................................................3
2.3 Indikasi Terapi Oksigen...................................................................3
2.3.1 Indikasi Terapi Oksigen Jangka Pendek...........................4
2.3.2 Indikasi Terapi Oksigen Jangka Panjang..........................5
2.4 Kriteria Pemberian Oksigen............................................................6
2.4.1 Terapi Oksigen Jangka Pendek.........................................6
2.4.2 Terapi Oksigen Jangka Panjang........................................6
2.5 Kontraindikasi Terapi oksigen.........................................................7
2.6 Cara Pemberian Terapi Oksigen......................................................7
2.6.1 Sistem Aliran Oksigen......................................................7
2.6.2 Alat Terapi Oksigen..........................................................8
2.7 Panduan Pemilihan Terapi Oksigen.................................................14
2.8 Prosedur Terapi Oksigen.................................................................15
2.9 Evaluasi Terapi Oksigen..................................................................16
2.10 Komplikasi Terapi Oksigen...........................................................17
2.11 Sistem Respirasi.............................................................................19
BAB III KESIMPULAN................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................26
iv
DAFTAR TABEL
v
DAFTAR GAMBAR
vi
BAB I
PENDAHULUAN
Oksigen adalah gas yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Oksigen
merupakan salah satu gas yang ditemukan di udara yang kita hirup. Terapi
oksigen merupakan pengobatan yang menyediakan oksigen sebagai tambahan
bagi pasien yang membutuhkan.1 Terapi oksigen adalah pemberian oksigen pada
konsentrasi yang lebih besar dari konsentrasi oksigen di udara atmosfer (20,9%)
dengan tujuan pengobatan atau pencegahan gejala dan manifestasi dari hipoksia,
seperti agitasi, disorientasi, sakit kepala, nausea, takikardia, takipnea, serta
sianosis.2 Terapi oksigen harus dianggap sebagai obat yang diresepkan kepada
pasien hipoksemia untuk meningkatkan tekanan oksigen alveolar dan mengurangi
kerja pernapasan. Kadar oksigen yang diberikan tergantung pada kondisi yang
akan diterapi, dimana kadar yang tidak sesuai dapat berakibat serius atau bahkan
fatal.3
Terdapat berbagai indikasi pemberian terapi oksigen, antara lain
peningkatan kebutuhan metabolik, oksigenasi bersamaan dengan pemberian
anestesi, suplementasi selama pengobatan penyakit paru-paru yang mempengaruhi
pertukaran oksigen, pengobatan sakit kepala, paparan karbon monoksida, dan
lain-lain.4 Indikasi pemberian oksigen yang paling sering ditemukan adalah
keadaan hipoksemia atau penurunan kadar oksigen dalam darah. Pada pasien sehat
umumnya target saturasi oksigen adalah 92–98%. Sedangkan pada pasien
hiperkapnik kronis, target saturasi oksigen berada di antara 88–92% dengan
catatan saturasi oksigen awal di bawah nilai tersebut. Tidak ada kontraindikasi
absolut, tetapi pada pasien yang menderita keracunan paraquat dan dengan
inhalasi asam atau cedera paru-paru sebelumnya, terapi oksigen harus diberikan
dengan hati-hati.2 Selain itu terdapat kontraindikasi pada pasien yang tidak
memiliki hipoksia kronis dan memiliki keterbatasan jalan napas yang berat
dengan keluhan dispnea dengan PaO2 ≥60 mmHg, serta pada pasien perokok aktif
karena kemungkinan adanya prognosis yang buruk.5
Terapi oksigen dapat diberikan dengan sistem aliran rendah atau sistem
aliran tinggi. Pada sistem aliran rendah, pemberian oksigen dapat dilakukan
dengan menggunakan alat berupa kateter nasal, kanula nasal, sungkup muka
sederhana, sungkup muka rebreathing dengan kantong O2, dan sungkup muka
non-rebreathing dengan kantong O2. Jumlah aliran dan konsentrasi yang diberikan
tergantung pada alat yang digunakan dan kondisi pasien. Pada sistem aliran tinggi,
alat yang digunakan adalah sungkup muka venturi (venturi mask) dan sungkup
muka aerosol (Ambu Bag). Jumlah aliran dan konsentrasi yang diberikan juga
bergantung pada alat dan kondisi pasien. Alat lainnya yang umum digunakan
adalah CPAP (continuous positive airway pressure), dan sistem BiPAP (bilevel
positive airway pressure).4
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
2. Diberikan pada pasien yang dicurigai mengalami hipoksia berdasarkan
pemeriksaan fisik dan riwayat medis.
3. Diberikan pada pasien infark miokard, edema paru, cedera paru akut,
fibrosis paru, inhalasi CO atau keracunan sianida, dan ARDS (Acute
Respiratory Distress Syndrome).
4. Diberikan selama periode perioperatif. Hal ini dikarenakan selama
anestesi umum dapat mengakibatkan penurunan tekanan parsial
oksigen.
5. Diberikan pada pasien luka bakar, keganasan, infeksi berat, trauma,
kejang demam, dan penyakit lainnya yang menyebabkan peningkatan
kebutuhan jaringan terhadap oksigen.
Pada terapi oksigen dibagi menjadi dua, yakni terapi oksigen
jangka pendek (short-term oxygen therapy) dan terapi oksigen jangka
panjang (long-term oxygen therapy). Hal tersebut bertujuan agar
pemberian oksigen dapat memberikan manfaat yang optimal dan
menghindari toksisitas.
4
4 Curah jantung yang rendah dan asidosis metabolik (bikarbonat < 18
mmol/L)
5 Distress pernapasan (frekuensi pernapasan > 24 kali/menit)
2.3.2 Indikasi Terapi Oksigen Jangka Panjang
Terapi oksigen jangka panjang biasanya diberikan pada pasien
dengan penyakit PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis) dalam jangka
waktu 4–8 minggu. Terapi jangka panjang pada pasien ini dapat
meningkatkan angka harapan hidup sekitar 6-7 tahun. Karena adanya
perbaikan, maka dari itu, saat ini pemberian oksigen jangka panjang
direkomendasikan pada pasien hipoksemia dengan PaO2 < 55 mmHg atau
SaO2 < 88% diberikan secara terus menerus selama 24 jam dalam sehari.5
Pemberian oksigen jangka panjang harus dievaluasi ulang dalam 2
bulan untuk melihat apakah hipoksemia menetap atau ada perbaikan dan
apakah masih diperlukan terapi oksigen. Pasien dengan PaO2 56 sampai
dengan 59 mmHg atau SaO2 89%, kor pulmonal dan polisitemia juga
memerlukan terapi oksigen jangka panjang. Pada keadaan ini, awal
pemberian terapi oksigen harus dengan konsentrasi rendah (FiO2 24 –
28%) dan dapat ditingkatkan bertahap berdasarkan hasil pemeriksaan
analisis gas darah dengan tujuan mengoreksi hipoksemia dan menghindari
penurunan pH di bawah 7,26. Berikut merupakan rekomendasi pemberian
terapi oksigen jangka panjang oleh ACCP.8,9
Tabel 2. Indikasi Terapi Oksigen Jangka Panjang
No Indikasi Terapi Jangka Panjang
Pemberian Secara Kontinyu
1 PaO2 istirahat ≤ 55 mmHg atau SaO2 ≤ 88%
PaO2 istirahat 56–59 mmHg atau SaO 2 89% pada salah satu keadaan
berikut:
2 a Edema yang disebabkan oleh CHF (Congestive Heart Failure)
b P pulmonal pada pemeriksaan EKG (gelombang P > 3 mm pada
lead II, III, dan aVF)
5
3 Polisitemia (hematokrit > 56%)
Pemberian Tidak Kontinyu
1 Selama latihan: PaO2 ≤ 55 mmHg atau SaO2 ≤ 88%
2 Selama tidur: PaO2 ≤ 55 mmHg atau SaO2 ≤ 88%
6
4. Fibrosis sistik jika PaO2 < 7,3 kPa atau jika PaO2 7,3–8 kPa dengan
adanya polisitemia sekunder, hipoksemia nokturnal, hipertensi paru
atau udem perifer
5. Hipertensi paru, tanpa melibatkan parenkim paru jika PaO2 < 8 kPa;
6. Gangguan saraf otot atau otot rangka setelah penilaian oleh dokter
spesialis
7. Gangguan napas obstruktif sewaktu tidur meskipun sudah diberi terapi
tekanan udara positif, setelah penilaian oleh dokter spesialis
8. Keganasan paru atau penyakit terminal lain dengan dispnea yang
melumpuhkan
9. Gagal jantung dengan PaO2 siang hari < 7,3 kPa saat menghirup udara
atau dengan hipokemia nokturnal
10. Anak-anak dengan penyakit gangguan pernapasan, setelah diperiksa
dokter spesialis.
7
2.6.1 Sistem Aliran Oksigen
Terdapat berbagai teknik dan model alat yang dapat digunakan
pada pemberian terapi oksigen dengan kelebihan dan kekurangannya
masing-masing. Pemilihan teknik dan alat dalam pemberian terapi oksigen
sangat ditentukan oleh kondisi pasien. Pemberian terapi oksigen
berdasarkan sistem alirannya dibagi menjadi dua jenis, yaitu:6
8
Contoh alat suplementasi oksigen sistem aliran tinggi adalah
sungkup muka venturi yang mampu memberikan aliran total gas yang
tinggi dengan fraksi oksigen yang tetap.6,10
1. Nasal Kanul
9
Kanul nasal merupakan alat dengan aliran rendah dan konsentrasi
rendah. Alat ini memberikan O2 kontinu dengan aliran 1 – 6 L/menit
dengan konsentrasi O2 21 – 44%. Kanul nasal lebih mudah ditolerir, dapat
digunakan saat makan, minum, bergerak, berbicara dan nyaman. FiO 2
aktual yang dihantarkan kanul kasal pada pasien dewasa ditentukan oleh
aliran oksigen, volume nasofaringeal, dan aliran inspirasi pasien. Aliran
diatas 5 L/menit memiliki toleransi yang buruk karena ketidaknyamanan
pada kavitas nasal dan memiliki efek kering pada mukosa nasal. 11,12
Keuntungan penggunaan nasal kanul yaitu pemberian oksigen yang
stabil serta pemasangannya yang mudah dan nyaman karena pasien
masih dapat makan, minum, berbicara, dan membersihkan mulut.
Meskipun nasal kanul nyaman digunakan tetapi nasal kanul tidak dapat
memberikan konsentrasi oksigen yang lebih dari 44%, dapat dengan
mudah terlepas, dapat menyebabkan mukosa hidung kering dan iritasi,
dan tidak dapat digunakan pada pasien dengan obstruksi nasal.13
2. Kateter Nasal
Kateter nasal merupakan suatu alat sederhana yang dapat
memberikan oksigen secara kontinyu dengan kecepatan aliran 1–6
L/menit dengan konsentrasi 21%-44%. Prosedur pemasangan kateter
ini adalah dengan melakukan insersi kateter oksigen ke dalam hidung
sampai nasofaring.12
Keuntungan penggunaan kateter nasal adalah pemberian oksigen
yang stabil, pasien dapat bebas bergerak, makan, berbicara, dan
10
membersihkan mulut, murah, dapat juga dipakai sebagai kateter
penghisap, dan dapat digunakan dalam jangka waktu yang lama.
Namun, teknik memasukan kateter nasal lebih sulit dari pada nasal
kanul, dapat menyebabkan rasa nyeri saat kateter melewati nasofaring,
fiksasi kateter dapat memberi tekanan pada nostril sehingga kateter
harus diganti tiap 8 jam dan diinsersi ke dalam nostril lain, dapat
terjadi trauma, dapat menyebabkan iritasi mukosa hidung, serta kateter
mudah tersumbat dan tertekuk.12
11
pasien muntah, dan apabila tali pengikat terlalu ketat menekan kulit
dapat menyebabkan rasa pobia ruang tertutup.13
12
b) Sungkup Muka Non-Rebreathing
Alat ini terdiri atas sungkup muka sederhana yang
dilengkapi dengan kantong reservoir oksigen pada dasar sungkup
muka dan katup satu arah yang terletak pada lubang di samping
sungkup, dan satu lagi katup satu arah terletak antara kantong
reservoir dan sungkup muka. Kecepatan aliran oksigen pada
sungkup ini 10-15 L/menit dan dapat memberikan konsentrasi
oksigen 80-100%. Masker ini berguna untuk pasien hipoksia berat
dengan ventilasi baik, tetapi dapat menyebabkan retensi dan
aspirasi karbon dioksida jika muntah.11,12,14
13
dengan kode warna. Aliran oksigen melebihi aliran ekspirasi puncak
pasien. Oleh karena itu, kecil kemungkinan pasien menghirup udara
dari ruangan. Sungkup muka venturi menggunakan port dengan ukuran
berbeda untuk mengubah FiO2 yang dikirim (24 – 50%). FiO2 dan
aliran oksigen dengan jelas dinyatakan di bagian bawah setiap port.
Alat ini tidak menyebabkan membran mukosa kering, tetapi
membatasi serta mengganggu berbicara dan makan. Alat ini sangat
berguna pada pasien PPOK dimana pengiriman oksigen yang tepat
sangat penting. Berikut ini adalah FiO2 dan kecepatan aliran oksigen
venturi adapters berdasarkan kode warnanya:11,12
a) Biru = 24% pada 2 LPM
14
Gambar 7. Guideline Pemilihan Terapi Oksigen
2.8 Prosedur Terapi Oksigen
Pemberian terapi oksigen harus dilakukan dengan benar agar
tercapai tujuan pemberian terapi dan menghindari terjadinya efek samping.
Berikut ini adalah langkah-langkah pemberian terapi oksigen sehingga
tetap berada dalam batas aman dan efektif.15
1. Persiapan Alat
- Outlet oksigen/ oksigen sentral/dinding/ tabung
- Flowmeter oksigen dan humidifier
- Nasal kanul (pemilihan alat sesuai kebutuhan) / kateter nasal/
simple mask/ NRM/ RM
- Plester (jika di butuhkan)
- Gunting plester (jika di butuhkan)
15
2. Mengkaji ulang data pasien mengenai kekurangan oksigen (sesak
nafas, nafas cuping hitung, penggunaan otot pernafasan tambahan,
takikardi, gelisah, bimbang dan sianosis)
3. Menyapa pasien
4. Menjelaskan maksud dan tujuan tindakan yang akan dilakukan
5. Posisikan pasien aman dan nyaman (semi-fowler)
Prosedur Kerja:15
1. Cuci tangan dan pakai sarung tangan
2. Memberitahu klien
3. Isi glass humidifier dengan water for irigation setinggi batas yang
tertera
4. Menghubungkan flow meter dengan tabung oksigen/ sentral oksigen
5. Cek fungsi flow meter dan humidifeir dengan memutar pengatur
konsentrasi O2 dan amati ada tidaknya gelembung udara dalam glass
flowmeter
6. Menghubungkan kateter nasal/ kanul nasal dengan flowmeter
7. Alirkan oksigen ke kateter nasal dengan aliran antara 1 – 6 liter/ menit.
Canule Nasal dengan aliran antara 1 – 6 liter/ menit
8. Alirkan oksigen ke sungkup muka partial rebreathing dengan aliran
udara 8 – 12 l/menit.
9. Alirkan oksigen ke sungkup muka non-rebreathing dengan aliran 8 –
12 liter/menit
10. Cek aliran kateter nasal/ kanul nasal dengan menggunakan punggung
tangan untuk mengetahui ada tidaknya aliran oksigen
11. Olesi ujung kateter nasal/ kanul nasal dengan jeli sebeluin dipakai ke
pasien
12. Pasang alat Kateter nasal/ kanul nasal pada klien
13. Tanyakan pada klien apakah oksigen telah mengalir sesuai yang
diinginkan
16
14. Cuci tangan
15. Rapikan peralatan kembali
16. Dokumentasikan pada status klien: tanggal pemberian, jenis alat yang
digunakan, aliran oksigen yang diberikan, tanda-tanda vital, data
laboratorium yang berhubungan
17
fraksi lebih dari 50% terus-menerus selama 1-2 hari. Kerusakan jaringan
paru terjadi akibat terbentuknya metabolik oksigen yang merangsang sel
PMN dan H2O2 melepaskan enzim proteolitik dan enzim lisosom yang
dapat merusak alveoli. Apabila O2 80-100% diberikan kepada manusia
selama 8 jam atau lebih, saluran pernafasan akan teriritasi, menimbulkan
distress substernal, kongesti hidung, nyeri tenggorokan dan batuk.12
Beberapa komplikasi dari penggunaan terapi oksigen:13
1. Kebakaran
Oksigen dapat menyebabkan rambut, minyak kulit, pakaian dan
furniture terkena api pada suhu yang rendah sehingga menyebabkan
kebakaran. Oleh karena itu, pasien yang mendapatkan terapi oksigen
harus jauh dari api terbuka, sumber panas dan alat elektrik minimal 5
kaki
2. Atelektasis absorbs
Konsentrasi tinggi oksigen akan menyebabkan atelectasis karena
ketika oksigen diberikan dengan konsentrasi tinggi dan aliran cepat
sehingga diabsorbsi oleh alveoli dan menyebabkan kolaps. Nitrogen di
udara diabsorbsi lebih lambat sehingga tidak dapat mencegah alveolus
dari kolaps
18
Pasien yang terpapar level oksigen yang tinggi untuk waktu yang lama
akan menyebabkan kerusakan paru. Kerusakan ini bergantung pada
FiO2 dan durasi paparan. Toksisitas paru terjadi ketika radikal bebas
yaitu superoksida, ion hidroksil aktif dan hidrogen peroksida merusak
membran kapiler alveolar sehingga permeabilitas kapiler paru
meningkat dan dapat menyebabkan edema serta penebalan membran
sehingga terbentuk fibrosis. Fibrosis paru dapat terjadi ketika paparan
konsentrasi oksigen tinggi selama 1 minggu
5. Depresi ventilasi
Depresi ventilasi ini sering terjadi pada pasien COPD dengan retensi
CO2 yang memiliki tipe respirasi hipoksik. Peningkatan tekanan arteri
ke normal akan menghilangkan stimulus hiperkapnea untuk
mempertahakan ventilasi yang menyebabkan hipoventilasi pada pasien
ini
6. Toksisitas oksigen hiperbarik
Paparan jangka panjang dari terapi oksigen hiperbarik dapat
menyebabkan toksisitas pada paru, saraf optik dan sistem saraf pusat.
Gejala toksistas paru berupa rasa terbakar pada retrosternal, batuk dan
sesak napas. Menyempitnya lapangan pandang dan myopia pada
dewasa merupakan gejala toksistas pada saraf optik. Gejala toksistas
sistem saraf pusat berupa gangguan perilaku, mual, vertigo, kedut
wajah dan kejang tonik-klonik.
19
Tekanan parsial gas darah arteri yang normal adalah PaO 2 sekitar
96 mmHg (dibaca 96 mm merkuri atau 96 torricelli) dan PaCO 2 sekitar 40
mmHg. Tekanan parsial ini diupayakan dipertahankan tanpa memandang
kebutuhan oksigen yang berbeda-beda, yaitu saat tidur kebutuhan oksigen
100 mL/menit dibandingkan dengan saat ada beban kerja (exercise), 2000
– 3000 mL/menit.16
Respirasi adalah suatu proses pertukaran gas antara organisme
dengan lingkungan, yaitu pengambalian oksigen dan eliminasi
karbondioksida. Respirasi eksternal adalah proses pertukaran gas (O2 dan
CO2) antara darah dan atmosfer sedangkan respirasi internal adalah proses
pertukaran gas (O2 dan CO2) antara darah sirkulasi dan sel jaringan.16
Pertukaran gas memerlukan empat proses yang mempunyai
ketergantungan satu sama lain:16
Proses yang berkaitan dengan volume udara napas dan distribusi
ventilasi,
Proses yang berkaitan dengan volume darah di paru dan distribusi aliran
darah,
Proses yang berkaitan dengan difusi O2 dan CO2, dan
Proses yang berkaitan dengan regulasi pernapasan.
a) Ventilasi
Istilah ventilasi menyangkut volume udara yang bergerak masuk dan
keluar dari hidung atau mulut pada proses bernapas.16
- Ventilasi per menit, VE (Minute ventilation) adalah volume udara
yang keluar dari paru dalam satu menit diukur dalam liter.
VE = VT.f
Keterangan:
o VT : volume udara yang masuk dan keluar selama satu kali
bernapas
20
o f : frekuensi napas per menit
- Ventilasi alveolar, VA (Alveolar ventilation) adalah volume udara
inspirasi yang dapat mencapai alveoli dan dapat mengalami
pertukaran gas dengan darah
- Ventilasi percuma, VD (Wasted ventilation, Dead space ventilation)
adalah volume udara inspirasi yang tidak mengalami pertukaran
gas dengan darah.
VE = VD.VA
b) Distribusi
Setelah proses ventilasi, udara yang telah memasuki saluran napas di
distribusikasn ke seluruh paru; kemudian masuk ke dalam alveoli.
Udara volume tidal (volume udara yang masuk dan kemudian keluar
pada sekali bernapas) yang besarnya kira-kira 500 mL, dibagi menjadi
volume kecil-kecil sebanyak alveoli yang ada, yaitu kira-kira 300 juta
alveoli. Udara ini tidak terbagi rata ke semua alveoli. Udara pertama
yang terhirup, masuk ke puncak paru, kemudian disusul oleh udara di
belakangnya, masuk ke basis paru. Distribusi yang tidak merata ini
mengakibatkan nilai ventilasi di puncak paru lebih besar dibandingkan
nilai ventilasi di basis paru. Distribusi volume udara yang diinspirasi
dinyatakan sebagai fungsi langsung dari resistance (R) serta
compliance (C) yang disebut sebagai RC time constant. Pada keadaan
normal, dua buah alveoli yang berdekatan akan mendapat distribusi
yang sama sebab nilai R dan C nya sama. Pada keadaan tidak normal,
nilai R dan nilai C setiap regio dapat tidak sama. Pada bronkiolus yang
menyempit, nilai R-nya lebih tinggi dibandingkan pada keadaan
normal sedangkan pada alveoli yang kaku nilai R-nya juga meninggi.
Alveoli yang nilai R dan C nya tinggi mendapat distribusi udara yang
lebih kecil sehingga underventilated.16
c) Perfusi
21
Yang dimaksud dengan perfusi paru adalah sirkulasi darah di dalam
pembuluh kapiler paru. Rangkaian pembuluh darah di paru sangat
padat; terdapat kira-kira 6 miliar kapiler yang mengelilingi 3 juta
alveoli di kedua paru, sehingga terdapat 2000 kapiler untuk satu
alveolus. Aliran darah di dalam paru mempunyai tekanan lebih rendah
(15 mmHg) jika dibandingkan dengan tekanan darah sistemik yang
saat diastole 80 mmHg, tekanan di kapiler paru kira-kira
seperlimanya.16
Dalam keadaan istirahat, ketika cardiac output 6 liter/menit, hanya
25% dari pembuluh darah paru yang dialiri oleh darah. Sirkulasi darah
di dalam paru mendapat tahanan, terutama pada jala-kapiler paru
(capillary bed). Saat ada kenaikan cardiac output, sirkulasi paru dapat
mengakomodasinya tanpa terjadi perubahan tekanan di arteri
pulmonalis. Distribusi aliran darah di paru tidak sama rata. Karena
rendahnya tekanan darah di kapiler paru, aliran darah di paru sangat
terpengaruh oleh gravitasi bumi sehingga perfusi di bagian dasar paru
lebih besar dibandingkan perfusi di bagian apeks. Hal ini akan
mengakibatkan rasio V/Q di basis paru dan di puncak paru berbeda.
Adanya perbedaan perfusi menimbulkan gagasan untuk membagi paru
ke dalam 3 zona – yaitu zona 1, zona 2, dan zona 3 – berdasarkan
hubungan antara tekanan di arteri (Pa), alveolus (PA), dan vena (Pv).16
Jika saluran napas normal (terbuka), tekanan udara alveoli akan sama
besarnya diseluruh paru. Pada paru normal, terdapat hubungan
(relationship) antara tekanan udara alveoli dan tekanan darah di kapiler
paru; hubungan ini akan menentukan derasnya arus darah di kapiler
paru.16
Dalam zona 1, tekanan udara di alveolar dapat melebihi baik tekanan
arteri maupun tekanan vena sehingga dapat menghambat perfusi. Pada
keadaan shock, tekanan darah arteri paru jauh di bawah tekanan udara
alveoli; atau, pada pasien yang menggunakan ventilator, tekanan udara
alveoli dapat jauh di atas tekanan darah di kapiler paru. Keadaan
22
seperti ini, yaitu di alveoli ada ventilasi tetapi tanpa ada perfusi,
disebut physiologic dead space (ruang rugi fisiologik) atau alveolr
dead space (ruang rugi alveolar).16
Di zona 2, tekanan arteri melebihi tekanan alveolar tetapi tekanan
alveolar tetap lebih tinggi dibandingkan tekanan di vena. Darah dapat
mengalir karena tekanan arteri lebih tinggi daripada tekanan alveolar.16
Di zona 3, tekanan vena melebihi tekanan alveolar. Aliran darah di
zona 3 sebanding dengan perbedaan antara tekanan arteri dengan
tekanan vena.16
Pada paru normal, dalam keadaan istirahat, bagian terbesar aliran darah
di paru berada dalam zona 3; pada zona 2 sangat kecil; sedangkan pada
zona 1 hampir tidak ada. Pada exercise dan pada kenaikan cardiac
output yang menyebabkan tekanan arteri maupun tekanan vena
keduanya naik, zona 1 dan zona 2 menjadi zona 3. Dengan demikian,
alveoli yang semula tidak terperfusi atau sedikit perfusinya di zona 1
dan zona 2 menjadi dialiri darah sehingga permukaan pertukaran gas-
darah menjadi lebih luas dan tahanan vaskular menurun.16
d) Difusi Gas O2 dan CO2
Secara umum difusi diartikan sebagai peristiwa perpindahan molekul
dari suatu daerah yang konsentrasi molekulnya tinggi ke daerah yang
konsentrasinya lebih rendah. Peristiwa difusi merupakan peristiwa
pasif yang tidak memerlukan energi ekstra. Peristiwa difusi yang
terjadi di dalam paru adalah perpindahan molekul oksigen dari rongga
alveoli melintasi membrana kapiler alveolar, kemudian melintasi
plasma darah, selanjutnya menembus dinding sel darah merah, dan
akhirnya masuk ke interior sel darah merah sampai berikatan dengan
hemoglobin. Membran kapiler alveolus sangat tipis, yaitu 0,1 μm atau
sepertujuh puluh dari tebal butir darah merah sehingga molekul
oksigen tidak mengalami kesulitan untuk menembusnya. Peristiwa
difusi yang lain di dalam paru adalah perpindahan molekul
karbondioksida dari darah ke udara alveolus. Oksigen dan
23
karbondioksida menembus dinding alveolus dan kapiler pembuluh
darah dengan cara difusi. Berarti molekul kedua gas tadi bergerak
tanpa menggunakan tenaga aktif.16
Urut-urutan proses difusi terbagi atas:
- Difusi pada fase gas
Udara atmosfer masuk ke dalam paru dengan aliran yang cepat,
ketika dekat alveoli kecepatannya berkurang sampai terhenti.
Udara atau gas yang baru masuk dengan cepat berdifusi atau
bercampur dengan gas yang telah ada di dalam alveoli. Kecepatan
gas berdifusi di sini berbanding terbalik dengan berat molekulnya.
Gas oksigen mempunyai berat molekul 32 sedangkan berat
molekul karbon dioksida 44. Gerak molekul gas oksigen lebih
cepat dibandingkan dengan gerak molekul gas karbon dioksida
sehingga kecepatan difusi oksigen juga lebih cepat. Percampuran
antara gas yang baru saja masuk ke dalam paru dengan gas yang
lebih dahulu masuk akan komplit dalam hitungan perpuluhan detik.
Hal semacam ini terjadi pada alveoli yang normal, sedangkan pada
alveoli yang tidak normal, seperti pada emfisema, percampuran gas
yang baru masuk dengan gas yang telah berada di alveoli lebih
lambat.16
- Difusi menembus membrana pembatas
Proses difusi yang melewati membrana pembatas alveoli dengan
kapiler pembuluh darah meliputi proses difusi fase gas dan proses
difusi fase cairan. Dalam hal ini, pembatas-pembatasnya adalah
dinding alveoli, dinding kapiler pembuluh darah (endotel), lapisan
plasma pada kapiler, dan dinding butir darah merah (eritrosit).
Kecepatan difusi melewati fase cairan tergantung kepada kelarutan
gas ke dalam cairan. Kelarutan karbon dioksida lebih besar
dibandingkan dengan kelarutan oksigen sehingga kecepatan difusi
karbon dioksida di dalam fase cairan 20 kali lipat kecepatan difusi
24
oksigen. Semakin tebal membrana pembatas, halangan bagi proses
difusi semakin besar.16
BAB III
KESIMPULAN
25
Terapi oksigen merupakan pemberian oksigen dengan konsentrasi
oksigen lebih besar daripada konsentrasi oksigen di udara udara
ruangan. Tujuan utama terapi oksigen adalah untuk memperbaiki dan
mencegah hipoksemia agar tidak terjadi hipoksia jaringan. Indikasi
terapi oksigen jangka pendek biasanya diberikan pada pasien dengan
kondisi hipoksemia akut sedangkan terapi oksigen jangka panjang
biasanya diberikan pada pasien PPOK dalam jangka waktu 4 – 8
minggu. Sistem aliran oksigen dibagi menjadi dua yaitu sistem aliran
tinggi (venturi mask, bag mask) dan sistem aliran rendah (simple
mask, nasal canula, NRB, rebreathing mask). Komplikasi penggunaan
terapi oksigen yang terlalu berlebihan bisa menyebabkan Retinopathy
of prematurity (ROP) pada neonatus, toksisisitas paru, depresi
ventilasi, atelectasis absorbs, dan kebakaran. Oleh karena itu, terapi
oksigen pada pasien perlu dimonitor dan bila sudah mencapai target
saturasi (94 – 98%) maka dilakukan titrasi oksigen.
DAFTAR PUSTAKA
26
1. American Lung Association; Lung Procedurs, Tests, and Treatments:
Oxygen Therapy. [Serial dalam internet]. 2020. [Disitasi 25 Juni
2022]. Tersedia di: https://www.lung.org/lung-health-diseases/lung-
procedures-and-tests/oxygen-therapy
2. Singh, V., Gupta, P., Khatana, S., & Bhagol, A. Supplemental oxygen
therapy: Important considerations in oral and maxillofacial surgery.
National journal of maxillofacial surgery. 2011; 2(1), 10–14.
https://doi.org/10.4103/0975-5950.85846
3. BPOM RI; 3.6 Oksigen | Pusat Informasi Obat Nasional (PIO Nas).
[Serial dalam internet]. 2021. [Disitasi 25 Juni 2022]. Tersedia di:
http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-3-sistem-saluran-napas-0/36-oksigen
4. Weekley MS, Bland LE. Oxygen Administration. In: StatPearls [Serial
dalam internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022.
[Disitasi 25 Juni 2022]. Tersedia di:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK551617/
5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta. InternaPublishing. 2009.
6. Mangku G, Senapathi TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi.
II. Wiryana IM, Sinardja IK, Sujana IBG, Budiarta IG, editors. Jakarta:
Indeks; 2017
7. O’Driscoll, B. R., Howard, L. S., & Davison, A. G. BTS guideline for
emergency oxygen use in adult patients. British Thoracic Society. 2017.
36(6), vi1 68, doi: 10.1136/thx.2008.102947
8. Mahler, D., Selecky, P., Harrod, C., Benditt, J., Carrieri-Kohlman, V.,
Curtis, J., Manning, H., Mularski, R., Varkey, B., Campbell, M., Carter,
E., Chiong, J., Ely, E., Hansen-Flaschen, J., O'Donnell, D. and Waller, A.
American College of Chest Physicians Consensus Statement on the
Management of Dyspnea in Patients with Advanced Lung or Heart
Disease. Chest. 2010; 137(3), pp.674-691.
27
9. Setiati S, Alwi I, Sudoyo A, Stiyohadi B, Syam A. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. VI. Jakarta: InternaPublishing; 2014.
10. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Airway Management. In:
Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology. 6th ed. New York:
McGraw-Hill Education; 2013. p. 496–555.
11. PERKI. Buku Ajar Kursus Bantuan Hidup Jantung Dasar. Jakarta:
PERKI. 2016.
12. Hardavella G, Karampinis I, Frille A, Sreter K, Rousalova I. Oxygen
devices and delivery systems. Breathe [Serial dalam internet]. 2019
[Disitasi 25 Juni 2022]; 15(3):e108. Tersedia di:
https://pmc/articles/PMC6876135/
13. Htun AT, Thein WM. Oxygen Therapy. Int J Nov Res Healthc Nurs.
2016; 3(2):8–14.
14. Marino, P.L. “Oxygen Therapy". The ICU Book, 4rd Edition.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2014. H. 410-419.
15. Saryono. Terapi Oksigen. Dalam: Lab Keterampilan Medik.
Univeristas Jenderal Soedirman: Jawa Tengah. 2014.
16. Dr. R. Darmanto Djojodibroto, Sp. P, FCCP. Respirologi (respiratory
Medicine). Jakarta : EGC. 2014.
28