Anda di halaman 1dari 54

SKRIPSI

2022

HUBUGAN ANTARA NILAI NEUTROPHIL LYMPHOCYTE RATIO (NLR)


DENGAN DERAJAT KEPARAHAN APPENDICITIS PADA PENDERITA
APPENDICITIS DI RSUP WAHIDIN SUDIROHUSODO KOTA
MAKASSAR

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Skripsi

Diusulkan oleh :
Resky Alfiansyah A
C011191119

Dosen Pembimbing :
dr. Mappincara Sp.B – KBD

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2022
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu wata’ala atas segala rahmat dan
hidayah-Nya. Begitupun Shalawat yang senantiasa kita haturkan kepada junjungan
mulia Nabi Muhammad Sallallahu alaihi Wasallam. Sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi berjudul “Hubugan antara Peningkatan Jumlah Neutrophil
Lymphocyte Ratio (NLR) dengan Derajat Keparahan pada Penderita Appendicitis
di RSUP Wahidin Sudirohusodo Kota Makassar”. Skripsi ini diajukan guna
melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan
pendidikan di Fakultas Kedokteran (S1) dan mencapai gelar Sarjana Kedokteran

Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena
itu, penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada pihak-pihak sebagai berikut:

1. Prof. Dr. dr. Haerani Rasyid, M.Sc, Sp.PD-KGH, Sp.GK selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan
selama menempuh pendidikan kedokteran di Universitas Hasanuddin;

2. dr. Mappincara Sp.B-KBD selaku Dosen Pembimbing Utama dan dr. Arham
Arsyad Sp.B selaku Dosen Pembimbing Anggota yang telah meluangkan waktu,
pikiran, tenaga, dan perhatian dalam penulisan skripsi ini;

3. dr. Aminuddin Sp.GK, M.Nut & Diet, Ph.D, selaku dosen pembimbig akademik
yang telah membimbing selama kurang lebih tiga tahun setengah selama masa
preklinik.

4. dr. Julianus Aboyaman Uwuratuw Sp.B – KBD, selaku dosen penguji pada
seminar proposal dan seminar hasil.

5. Direktur dan jajaran staf RSUP Wahidin Sudirohusodo Kota Makassar, yang
telah memberikan izin dan membantu dalam proses penelitian;

6. Seluruh staf pengajar dan karyawan Fakultas Kedokteran Universitas


Hasanuddin atas bimbingan dan bantuannya selama menjadi mahasiswa;

6. Orangtua tercinta, Vivi Nurlina L dan Ayah Aidin Latif yang tidak pernah lelah
memberikan nasihat serta wejangan untuk kami anak-anaknya.

i
7. Spesial untuk Nenek kami tercinta Almh. Hj. Najemiah Laojeng yang kini telah
berpulang keRahmatullah, semoga amal ibadah dan kebaikannya diterima disisi-
Nya

8. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terimakasih atas segala
bantuan dan kerjasamanya.

Terakhir Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penulis menerima segala kritik dan saran dari semua pihak demi
kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat
bermanfaat.

Makassar, Juli 2022

Penulis,

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................

KATA PENGANTAR .............................................................................. i

DAFTAR ISI ............................................................................................ iii

DAFTAR GAMBAR ................................................................................ v

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1

1.1. Latar Belakang .................................................................................... 1


1.2. Rumusan Masalah ............................................................................... 4
1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................ 4
1.4. Manfaat Penelitian .............................................................................. 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 6

2.1. Appendiks ........................................................................................... 6


2.1.1. Definisi Appendiks ................................................................. 6
2.1.2. Anatomi Appendiks ................................................................ 6
2.1.3. Fisiologi Appendiks ................................................................ 9
2.2. Appendicitis ........................................................................................ 9
2.2.1. Definisi Appendicitis ............................................................... 9
2.2.2. Etiologi Appendicitis ............................................................... 11
2.2.3. Patofisiologi Appendicitis ........................................................ 12
2.2.4. Epidemiologi Appendicitis ...................................................... 13
2.2.5. Faktor Risiko Appendicitis ...................................................... 14
2.2.6. Manifestasi Klinis ................................................................... 17
2.2.7. Diagnosis Appendicitis Akut ................................................... 18
2.2.8. Komplikasi Appendicitis ........................................................ 20
2.2.9. Diagnosis Banding Appendicitis .............................................. 21
2.2.10. Tata Laksana Appendicitis ....................................................... 23
2.3. Neutrophil Lymphocyte Ratio (NLR) ................................................... 23

BAB III KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN

iii
HIPOTESIS ............................................................................................. 28

3.1. Kerangka Teori ................................................................................... 28


3.2. Kerangka Konsep ................................................................................ 29
3.3. Hipotesis ............................................................................................. 30

BAB IV METODE PENELITIAN .......................................................... 31

4.1. Tipe dan Desain Penelitian .................................................................. 31


4.2. Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................. 31
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ........................................................... 31
4.3.1. Populasi Penelitian ......................................................................... 31
4.3.2. Sampel Penelitian ........................................................................... 31
4.4. Teknik Pengumpulan Data .................................................................. 32
4.5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ................................................. 33
4.6. Etika Penelitian ................................................................................... 33
4.7. Definisi Operasional............................................................................ 35
4.8. Alur Penelitian .................................................................................... 37

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 38

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Appendicitis merupakan suatu kondisi peradangan yang terjadi pada organ


Appendix vermicularis, yaitu struktur mukosa berkonfluensi tubular yang terletak
pada caecum di regio abdomen kanan bawah yang diketahui memiliki fungsi utama
untuk mensekresikan Imunoglobulin A (IgA). Appendicitis merupakan kasus
bedah akut abdomen yang paling sering ditemukan (Sartelli et al. 2018)

Appendicitis terjadi pada sekitar 233/100.000 orang di seluruh dunia dengan


kejadian paling sering pada populasi antara usia 5 tahun dan 45 tahun dengan usia
rata-rata 28 tahun. Laki-laki memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk
terkena Appendicitis akut dibandingkan dengan perempuan, dengan insiden seumur
hidup 8,6% untuk laki-laki dan 6,7% untuk perempuan. (Bhangu. 2020)

Kementrian Kesehatan pada tahun 2015 merilis, Appendicitis dapat


ditemukan pada semua umur hanya pada anak-anak ≤ 1 tahun jarang dilaporkan.
Angka kejadian Appendicitis di Indonesia dilaporkan sekitar 95/1000 penduduk
dengan jumlah kasus sekitar 10 juta setiap tahunnya dan merupakan kejadian
tertinggi di ASEAN. Kejadian Appendicitis akut di negara berkembang tercatat
lebih rendah dibandingkan dengan negara maju. Di Asia Tenggara, Indonesia
menempati urutan pertama sebagai angka kejadian Appendicitis akut tertinggi
dengan prevalensi 0.05%, diikuti oleh Filipina sebesar 0.022% dan Vietnam sebesar
0.02%. Dari hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2014 di Indonesia,
Appendicitis menempati urutan tertinggi di antara kasus kegawatdaruratan
abdomen.

Prevalensi Appendicitis akut di Indonesia berkisar 24,9 kasus per 10.000


populasi. Appendicitis ini bisa menimpa pada laki-laki maupun perempuan dengan
risiko menderita Appendicitis selama hidupnya mencapai 7-8%. Prevalensi tertinggi
terjadi pada usia 20-30 tahun. Appendicitis perforasi memiliki prevalensi antara 20-
30% dan meningkat 32-72% pada usia lebih dari 60 tahun dari semua kasus
Appendicitis (Gunawan, 2018).

1
Appendicitis terbagi menjadi beberapa fase berdasarkan tingkat
keparahannya yaitu fase kataral/ fokal, fase supuratif/phlegmonous, fase gangren,
dan fase perforasi. Pada Appendicitis akut yang tidak diagnosis dan diobati secara
dini maka akan menyebabkan Appendicitis perforasi, sehingga memiliki risiko
komplikasi yang berkelanjutan seperti peritonitis maupun abses. Diagnosis
Appendicitis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang sederhana dan mudah yang
dapat dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium berupa leukosit dan hitung
jenisnya. Salah satu pemeriksaan laboratorium yang cepat dan murah adalah
pemeriksaan jumlah leukosit darah. Leukosit yang beredar dalam sirkulasi darah
terdiri atas lima jenis sel (neutrofil, limfosit, monosit, eosinofil, dan basofil) yang
memiliki fungsi berbeda – beda. Neutrofil merupakan jenis leukosit dengan jumlah
terbesar dan memiliki peran penting dalam reaksi tubuh terhadap inflamasi.

Neutrofil kadang disebut soldiers of the body karena merupakan sel pertama
yang dikerahkan ke tempat bakteri (antigen) masuk dan berkembang dalam tubuh.
Neutrofil berada dalam sirkulasi selama 7-10 jam sebelum bermigrasi ke jaringan,
dan hidup selama beberapa hari.

Menurut Goulart et al pada tahun 2012, hitung jenis leukosit merupakan


metode pemeriksaan yang sangat bermanfaat untuk mendiagnosis Appendicitis.
Umumnya leukosit pada pasien Appendicitis sebesar 15.000/mm3, leukosit >20.000
mengindikasikan adanya komplikasi (Appendicitis perforasi, p<0,05). Neutrofilia
berhubungan dengan limfopenia yang sering dikatakan shift to the left merupakan
karakteristik dari infeksi akut. Hitung jenis basofil, monosit dan eosinofil
ditemukan tidak relevan secara statistik dalam mendiagnosis infeksi secara
sistemik.

Maka dari itu, dengan berprinsip pada penelitian yang telah dilakukan dan
prevalensi yang menunjukkan tingginya kasus appendicitis akut. Maka menjadi
salah satu kekhawatiran di bidang kesehatan. Diperlukan penelitian kembali terkait
appendicitis dalam menuntaskan masalah yang ada.

Penelitian terkait penentuan diagnosis appendicitis dengan menghubungkan


NLR merupakan salah satu langkah awal yang dapat dilakukan. Meskipun telah ada

2
beberapa penelitian di Indonesia yang membahas terkait masalah tersebut, akan
tetapi penelitian itu masih terbatas di daerah tertentu. Selain itu, adanya dinamika
di dalam ilmu kedokteran mengharuskan setiap peneliti untuk memperbaharui data
yang dimiliki dalam jangka waktu tertentu. Untuk itu, penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui hubungan diantara keduanya pada pasien yang dirawat di RSUP
Wahidin Sudirohusodo.

3
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan diatas, maka dapat dirumuskan


rumusan masalah dalam penelitian sebagai berikut :

1.2.1 Bagaimana hubungan antara nilai Neutrophil Lymphocyte Ratio (NLR)


dengan derajat keparahan Appendicitis pada penderita Appendicitis di
RSUP Wahidin Sudirohusodo?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum


Mengetahui hubungan antara nilai Neutrophil Lymphocyte Ratio
(NLR) dengan derajat keparahan Appendicitis pada penderita Appendicitis
di RSUP Wahidin Sudirohusodo
1.3.2 Tujuan khusus
a. Mengetahui hubungan antara Neutrophil Lymphocyte Ratio (NLR)
dengan derajat keparahan Appendicitis pada penderita Appendicitis
b. Mengetahui peran Neutrophil Lymphocyte Ratio (NLR) dalam
mempengaruhi keparahan Appendicitis pada penderita Appendicitis

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritik


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah
mengenai hubungan antara Neutrophil Lymphocyte Ratio (NLR) dengan
derajat keparahan Appendicitis pada penderita Appendicitis

1.4.2 Mafaat Aplikatif


a. Bagi Praktisi Kesehatan
Memberikan informasi kepada tenaga kesehatan agar dapat
mengetahui tingkat keparahan pasien Appendicitis berdasarkan kadar
NLR.

4
b. Bagi Instansi
Sebagai sumber informasi dan arsip bagi pihak instansi dan juga
menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk
mengurangi prevalensi Appendicitis
c. Bagi Masyarakat
Memberikan informasi kepada masyarakat agar dapat mengetahui
tingkat keparahan Appendicitis terhadap kadar NLR
d. Bagi Peneliti
Sebagai tambahan ilmu, kompetensi, dan pengalaman berharga bagi
peneliti dalam melakukan penelitian kesehatan pada umumnya dan
terkait tentang Appendicitis pada khususnya.
e. Bagi Peneliti Lain
Sebagai acuan dan bahan pertimbangan bagi peneliti-peneliti
selanjutnya yang ingin mengembangkan penelitian tentang Appendicitis

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Appendiks

2.1.1 Definisi Appendiks

Appendiks vermiformis merupakan organ kecil tambahan, berada tepat


dibawah katup ileosekal serta melekat pada caecum (Tariani : 2021). Appendiks
disebut juga sebagai umbai cacing berbentuk tubuler. yang melekat dibagian basal
caecum pada pertemuan dengan Taenia coli (Muslim T : 2020)

2.1.2 Anatomi Appendiks

Appendiks vermiformis merupakan struktur tubular yang rudimenter dan


tanpa fungsin yang jelas, namun banyak yang mngaitkan organ ini dalam fungsi
imunologi. Appendiks berkembang dari posteromedial caecum dengan panjang
bervariasi dengan rata-rata antara 6-10 cm dan diameter sekitar 0,5 – 0,8 cm. dilihat
dari ventral (Bintang A : 2020)

Dilihat dari ventral, pada caecum bermuara segmen terakhir usus halus
(Ileum) ujung ke sisi (end to side) dan memiliki juluran Appendiks vermiformis.
Dengan demikian, ada 2 lubang muara di dinding caecum. Di kranial terletak
Ostium ileale pada sebuah papila kecil (Papilla ilealis) dan di kaudal terletak Ostium
appendiks vermiformis yang masuk ke lumen appendiks vermiformis. Appendiks
memiliki lumen yang menyempit diproksimal dan meluas dibagaian distal. Pada
usia bayi memiliki appendiks berbentuk seperti kerucut yang melebar dibagian
pangkal lalu menyempit diujungnya. Kondisi anatomi tersebut menyebabkan
menurunnya kejadian Appendicitis pada usia tersebut. Appendiks terhubung ke
mesenterium dibagian bawah ileum oleh sebagian kecil mesocolon yang dikenal
sebagai mesoappendiks.

6
Gambar 2.1 Color Atlas of Human Anatomy Internal Organ

Letak appendiks umumnya pada regio iliaca dextra abdomen. Titik Mc


Burney merupakan penanda permukaan basis appendiks antara 1/3 lateral dan 2/3
bagian medial suatu garis yang menghubungkan Spina Iliaka Anterior Superior
(SIAS) dengan umbilikus. Titik Mc Burney adalah tempat penting pada pembedahan
dimana biasa terdapat nyeri tekan maksimal pada Appendicitis serta titik sentral
insisi yang dibuat saat melakukan appendektomi.

Gambar 2.2 Mwachaka P, et al. 2014

Appendiks memiliki variasi dalam hal letak. Posisi appendiks


Retrocecal/retrocolic (43,5%) berada pada posterior dari ceacum atau bagian bawah

7
kolon asenden. Pelvic (9,3%) mengarah ke bawah, di atas psoas major dengan
ujungnya melampaui tepi atas dari pelvis bagian bawah. Lokasi post-ileal (14,3%)
dimana bagian distal appendiks berada pada posisi posterior-superior dari ileum
terminal dan mengarah ke organ limpa. Untuk sub-cecal (24,4%), Appendiks
vermiformis terletak di bawah caecum, berada di fossa iliaka dextra dan dipisahkan
oleh musculus iliaka oleh peritoneum di daerah tersebut. PreIleal (2,4%) berada di
bagian distal appendiks pada posisi anterior superior dari ileum terminal dan
mengarah ke orgam limpa. Posisi paracecal (5,8%) menunjukkan jika appendiks
berada pada lateral caecum dan kolon asenden. Selain itu, juga dikenal istilah
ectopic atau posisi lain (0,27%) yang berarti posisi Appendiks vermiformis tidak
termasuk dalam kelompok posisi yang telah dijelaskan.(Mwachaka : 2014)

Persarafan pada Caecum dan Appendiks vermiformis diatur oleh saraf


simpatis dan parasimpatis dari plexus mesentericus superior. Persarafan
parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika
superior dan arteri appendicularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari
nervus torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada Appendicitis bermula di
sekitar umbilikus. Rasa nyeri dari appendiks kemudian disalurkan melalui serabut
afferen masuk ke medulla spinalis setinggi T10.

Vaskularisasi appendiks berasal dari arteri appendikularis yang merupakan


arteri tanpa kolateral. Perdarahan arteri berasal dari mesenterium superior lalu ke
arteri ileocolica kemudian ke arteri appendicularis. Jika arteri ini tersumbat,
misalnya oleh karena trombosis pada infeksi appendiks akan mengalami gangrene.

Darah vena dialirkan ke vena ileocolica, selanjutnya ke vena mesenterica


superior. Terdapat pula arteri appendicularis aksesori yang bercabang dari arteri
Caecal posterior. Kerusakan arteri ini dapat menyebabkan perdarahan intraoperatif
dan pasca operasi yang signifikan dan diikat setelah arteri appendicularis utama
dikendalikan. Aliran limfe dari Appendiks vermiformis ke nodus lymphaticus
ileocolicus, terus ke nodus lymphaticus mesenterica superior (Muslim T 2020).

8
2.1.3 Fisiologi Appendiks

Appendiks menghasilkan lendir sebanyak 1-2 mL per harinya. Lendir


tersebut normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke
Caecum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada
patogenesis appendicitis Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh Gut
Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang terdapat di sepanjang saluran cerna
termasuk appendiks ialah IgA. Immunoglobulin itu sangat efektif sebagai
pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan appendiks tidak
memengaruhi sistem imun tubuh karena jaringan limfe di sini kecil sekali jika
dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh (Muslim T
2020).

2.2 Appendicitis

2.2.1 Definisi Appendicitis

Appendicitis adalah peradangan dari appendiks vermiformis dan merupakan


penyebab nyeri akut abdomen yang paling sering. Appendicitis dalam International
Classification of disease dapat dibedakan menjadi dua jenis.

1. Apppendicitis Akut

Acute Appendicitis/Early Stage Appendicitis, terjadi akibat peradangan


pada appendiksvermiformis yaitu divertikulum pada caecum yang menyerupai
cacing dan memberikan tanda setempat. Gejala berupa nyeri viseral yang samar
dan tumpul di daerah epigastrium disekitar umbilikus. Dalam hitungan jam menjadi
nyeri somatik setempat yaitunyeri yang terasa lebih tajam dan jelas letaknya. Sering
disertai mual, muntah, dan anoreksia. Pada tahap ini, terjadi obstruksi lumen
appendiks menyebabkan edema mukosa, ulserasi mukosa, diapedesis bakteri,
distensi appendiks karena akumulasi cairan dan peningkatan tekanan intraluminal.
Serabut saraf afferen viseral distimulasi serta pasien merasakan nyeri periumbilikal
viseral atau epigastrik ringan yang biasanya berlangsung 4-6 jam (Muslim T, 2020).
Pada klasifikasi ICD, Appendicitis akut dijabarkan dalam beberapa jenis.

9
a. Appendicitis akut dengan abses peritoneal
b. Appendicitis akut dengan peritonitis generalisata, yaitu Appendicitis akut
dengan peritonitis generalisata (diffusa) setelah ruptur atau perforasi.
c. Appendicitis akut dengan peritonitis lokalisata, yaitu Appendicitis akut
dengan peritonitis lokal dengan atau tanpa ruptur atau perforasi.
d. Appendicitis akut lainnya dan tidak dapat ditentukan, yaitu Appendicitis
akut tanpa disebutkan adanya peritonitis generalisata atau lokalisata.

2. Appendicitis lainnya, yaitu Appendicitis kronis dan rekuren.

Appendicitis kronik dapat ditegakkan apabila ditemukan riwayat nyeri pada


perut kuadran kanan bawah lebih dari 2 minggu yang terjadi dengan disertai radang
kronik appendiks secara makroskopik maupun mikroskopik. Adapun kriteria
mikroskopik penyakit ini yaitu fibrosis menyeluruh pada dinding appendiks,
adanya sumbatan parsial atau total di lumen appendiks, adanya jaringan parut dan
ulkus lama dimukosa serta sel inflamasi kronik. Tetapi, keluhan Appendicitis
kronik akan menghilangpasca dilakukannya appendektomi ( Muslim T, 2020)

Appendicitis juga dapat diklasifikasikan menjadi Appendicitis komplikata


dan Appendicitis non-komplikata. Pembagian ini berdasarkan ada atau tidaknya
komplikasi seperti gangren, perforasi, atau abses disekitar apendiks

Berdasarkan tingkat keparahannya pada saat dilakukan operasi,


Appendicitis dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu Appendicitis sederhana
dan kompleks. Sekitar 25-30 persen dari semua Appendicitis akut dianggap
kompleks. Pada klasifikasi ini, Appendicitis flegmonosa, supuratif atau non-
perforasi dikategorikan ke dalam Appendicitis sederhana, sedangkan Appendicitis
gangren, Appendicitis perforasi, dan pembentukan abses periapendiks dianggap
sebagai Appendicitis kompleks. (Bintang, 2020).

Appendicitis perforasi biasanya disertai dengan adanya demam tinggi (rata-


rata 38,3°C) dan nyeri yang hebat dibandingkan dengan Appendicitis akut. Rentan
waktu Appendicitis akut menjadi Appendicitis perforasi yaitu 12 jam. Mayoritas
pasien Appendicitis perforasi ditemukan pada anak di bawah usia 10 tahun dan juga
orang tua yang berusia lebih dari 50 tahun. Pada penelitian tersebut dikatakan

10
bahwa kesalahan mendiagnosis pada anak yang menderita Appendicitis
meningkatkan presentase menjadi perforasi mencapai 73,1. Kejadian perforasi pada
usia lebih dari 60 tahun dilaporkan sekitar 60% (Huda, 2019)

Pada Penelitian ini, Peneliti mengambil klasifikasi appendicitis berdasarkan


pemeriksaan histopatologi, adapun klasifikasi appendicitis berdasarkan
pemeriksaan histopatologi diantaranya

1. Appendicitis Akut
2. Appendicitis Gangrenosa
3. Appendicitis Perforasi
4. Appendicitis Kronis

Penelitian yang dilakukan oleh Omari et al, pada tahun 2013, membuktikan
sekitar 41% pasien yang menderita Appendicitis yang berusia lebih dari 60 tahun
mengalami perforasi. Pasien yang menderita Appendicitis akut mempunyai angka
kematian hanya 1,5% dan jika sudah menjadi perforasi, angka kematian meningkat
menjadi 20%-35%

2.2.2 Etiologi Appendicitis

Appendicitis yaitu peradangan appendiks dan terdapat berbagai hal yang


berperan sebagai faktor pencetus, tetapi penyebab utama yang berperan ialah
obstruksi lumen (Putra HA : 2015).

Adapun etiologi obstruksi ini antara lain :

a) Fekalit sebagai penyebab Appendicitis (33%) banyak terjadi pada orang


dewasa maupun yang lebih tua. Fekalit terbentuk dari garam kalsium dan
debris fekal yang melapisi kotoran atau feses yang memadat di dalam
appendiks (Craig s, 2018)
b) Hiperplasia limfoid menjadi penyebab terbanyak obstruksi (60%).
Hiperplasia limfoid sekunder akibat penyakit radang usus (Kolitis) atau
Inflammatory Bowel Disease (IBD) biasanya terjadi pada remaja dan
dewasa muda. Hiperplasia limfoid dikaitkan dengan berbagai gangguan
infeksi dan inflamasi termasuk penyakit Crohn, Gastroenteritis, Amebiasis,
Infeksi Pernapasan, Measles, dan Mononukleosis (Atikasari, 2015)

11
c) Tumor Appendiks/Neoplasma (Tumor, Karsinoma, Metastasis ke
Appendiks, karsinoma Appendiks Primer) menjadi penyebab kurang dari
1% kasus Appendicitis akut (Craig s, 2017)
d) Infeksi Bakteri (Misalnya Yersinia sp dan E.histolytica, Mycobacteria sp,
Actinomyces sp), Fungi (Misalnya Histoplasma sp), Virus (Misalnya
Adenovirus, Sitomegalovirus), Parasit (Misalnya Schistosoma sp, Cacing
Gelang, Strongyloides stercoralis). Polimikroba harus dipertimbangkan
sebagai penyebab infeksi pada penyakit Appendicitis selain itu cakupan
antibiotik harus mampu menanggulangi bakteri tersebut seperti Escherichia
coli, Bacteroides fragilis, Enterococci, Pseudomonas aeruginosa, dan
sebagainya. Pemilihan dan durasi pemberian antibiotik harus sesuai dan
terkadang menjadi kontroversi sehingga dibutuhkan pemeriksaan
penunjang berupa kultur (Sifri, 2019)
e) Benda Asing (Misalnya biji makanan, dan barium yang menggumpal) (Sifri,
2019)

2.2.3 Patofisiologi Appendicitis

Terdapat berbagai macam faktor sehingga Appendicitis dapat terjadi.


Namun, penyebab tersering akibat adanya obstruksi lumen appendiks. Diameter
lumen yang kecil mendukung fenomena obstruksi ini. Obstruksi dapat disebabkan
oleh hiperplasia limfoid, statis tinja dan fekalit, parasit, benda asing, dan neoplasma.
Obstruksi pada lumen proksimal appendiks akan meningkatkan tekanan dibagian
distal akibat sekresi cairan dan lendir terus menerus oleh mukosa appendiks.

Pada saat yang sama, bakteri akan memproduksi gas dalam lumen
(Richmond B, 2017). Selanjutnya gas bertambah banyak menyebabkan perekrutan
leukosit dan pembentukan pus. Jika obstruksi ini menetap maka tekanan
intraluminal akan meningkat sehingga terjadi hambatan pada drainase vaskular dan
limfatik. Sebagai konsekuensinya, terjadilah iskemik dinding appendiks
mengakibatkan hilangnya integritas epitel serta invasi bakteri pada dinding usus.
Tanpa penanganan yang tepat kondisi terlokalisasi ini dapat memburuk karena
trombosis arteri dan vena appendikuler. Inilah penyebab timbulnya perforasi dan
gangren pada appendiks. Komplikasi lebih lanjut dapat berakibat abses

12
periappendikular atau peritonitis. Terjadinya obstruksi menjadi perforaasi biasanya
berlangsung dalam 72 jam. Jika area periappendikular tertutup oleh abses yang
terbentuk maka nyeri akan terlokalisasi pada daerah abses namun apabila area tidak
tertutup maka cairan akan menyebar ke seluruh peritoneum sehingga nyeri bersifat
umum di seluruh lapang abdomen (Alder AC, 2019).

2.2.4 Epidemiologi Appendicitis

Prevalensi seseorang untuk menderita Appendicitis adalah sebesar 7%.


Appendicitis menjadi salah satu kasus penyakit bedah yang lebih umum dan
merupakan salah satu penyebab nyeri perut yang paling umum. Di Amerika Serikat,
250.000 kasus Appendicitis dilaporkan setiap tahun. Insiden Appendicitis akut terus
menurun sejak akhir 1940-an, dan insiden tahunan pada 2017 lalu adalah 10 kasus
per 100.000 penduduk. Dapat disimpulkan bahwa Appendicitis terjadi pada 7%
populasi Amerika Serikat dengan kejadian 1,1 kasus per 1000 orang per tahun
(Craig S, 2020).

Untuk wilayah Asia khususnya ASEAN, Indonesia tercatat memiliki kasus


Appendicitis tertinggi dengan angka kejadian Appendicitis dilaporkan sebesar 95
per 1000 penduduk dengan jumlah kasus mencapai 10 juta setiap tahunnya. Dalam
beberapa tahun terakhir, penurunan frekuensi Appendicitis di negara-negara barat
telah dilaporkan, yang mungkin terkait dengan perubahan asupan serat makanan.
Faktanya, insiden Appendicitis yang lebih tinggi diyakini terkait dengan asupan
serat yang buruk di negara- negara tersebut (Bintang, 2020).

Kejadian Appendicitis sekitar 1,4 kali lebih besar pada pria dibandingkan
pada wanita pada orang dewasa. Perbandingan laki-laki pada remaja dan dewasa
muda sebesar 3 : 2. Insiden apendektomi primer kira-kira sama pada kedua jenis
kelamin. Insiden Appendicitis secara bertahap meningkat sejak lahir, memuncak
pada akhir tahun remaja, dan secara bertahap menurun pada tahun-tahun lanjut usia.
Hiperplasia limfoid diamati lebih sering pada bayi dan orang dewasa yang
menyebabkan adanya peningkatan kejadian Appendicitis pada kelompok usia ini.
Anak- anak yang lebih muda memiliki tingkat perforasi yang lebih tinggi, dengan
tingkat yang dilaporkan 50-85%. Namun, rata-rata usia untuk melakukan
apendektomi atau pengangkatan apendiks adalah 22 tahun. Kemudian, ada

13
beberapa kasus Appendicitis neonatal dan bahkan prenatal yang pernah terjadi.
Namun, dokter harus tetap mempertahankan indeks kecurigaan yang tinggi di
semua kelompok umur (Craig 2, 2020).

Appendicitis akut adalah penyebab paling umum untuk dilakukannya


operasi akut abdomen. Di negara berkembang, sekitar 1 dari 1000 orang menderita
Appendicitis akut setiap tahunnya. Di Amerika, kurang lebih 300.000 apendektomi
dilakukan setiap tahunnya. Kebanyakan tindakan operasi ini dilakukan karena
kondisi gawat darurat dan mencegah kematian akibat komplikasi dari Appendicitis
seperti perforasi dan peritonitis. Penelitian telah menunjukkan bahwa angka
kematian dari Appendicitis akan meningkat sebesar 3,5-10 kali lipat jika apendiks
telah mengalami perforasi. Dipercaya bahwa apendiks dapat mengalami perforasi
jika tindakan operasi pada Appendicitis akut sederhana terlambat dilakukan (Nouri
et al, 2017).

2.2.5 Faktor Resiko Appendicitis

Appendicitis dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor risiko


terjadinya Appendicitis dapat meliputi

a) Pola Makan

Pola makan memiliki peran penting dalam resiko terjadinya Appendicitis.


Hal ini berkaitan dengan proses immunologi. Pola makan meliputi frekuensi
makan, konsumsi air minum, konsumsi fast food, konsumsi sayur, pemilihan menu
sehari-hari, dan mie instan. Kelompok orang yang suka mengonsumsi mie instan
maka asupan energi, lemak, natrium, tiamin, dan riboflavin lebih tinggi
dibandingkan yang tidak mengonsumsi mie instan. Sebaliknya, asupan protein,
kalsium osfor, besi, kalium, vitamin A, niasin, dan vitamin C secara signifikan lebih
rendah. Konsumsi fast food dapat meningkatkan asupan kalori, lemak, lemak jenuh,
natrium, dan minuman ringan serta menurunkan asupan vitamin A, vitamin C, susu,
buah-buahan, dan sayuran dibandingkan orang yang tidak makan makanan cepat
saji.

Selain itu, mengonsumsi sayur dan buah juga lebih rendah pada kelompok
tersebut. Dapat dikatakan bahwa mengonsumsi fast food dan mie instan

14
berkontribusi pada peningkatan asupan energi, tetapi rendah dalam asupan
mikronutrien. Asupan vitamin dan mineral yang tidak adekuat dapat memicu
penurunan imunitas yang cenderung mengarah pada kejadian infeksi (Atikasari,
2015). Kebiasaan makan makanan rendah serat berperan atas timbulnya konstipasi
dan berpengaruh terhadap timbulnya Appendicitis. Konstipasi akan menaikkan
tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional appendiks dan
meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. (Arifuddin 2017).

b) Usia

Kejadian Appendicitis secara bertahap meningkat sejak lahir dan memuncak


pada akhir masa remaja kemudian secara bertahap menurun pada usia geriatric
(Craig s, 2017). Salah satu faktor pencetus Appendicitis ialah hiperplasia jaringan
limfe. Pada usia di atas 60 tahun, tidak ditemukan jaringan limfoid pada appendiks,
namun terdapat perubahan pada lapisan serosa yang lebih elastis dibanding lapisan
mukosa sehingga respon terhadap tekanan intraluminal berbeda dibanding pasien
yang lebih muda, mengakibatkan kemampuan meregang akibat akumulasi sekret
intraluminal kurang baik, dapat berlanjut menjadi iskemik dan gangren stadium
awal.

Meskipun demikian, Appendicitis dapat terjadi pada segala usia. Insidens


tertinggi pada kelompok usia 20-30 tahun dengan dominasi pria dibandingkan
wanita. Rata-rata usia anak untuk insidens Appendicitis terjadi di usia 10-17 tahun
(Alder AC, 2019). Hiperplasia limfoid diamati lebih sering diantara bayi dan orang
dewasa serta bertanggung jawab terhadap peningkatan kejadian Appendicitis pada
kelompok usia ini. Anak – anak yang lebih muda memiliki tingkat perforasi yang
lebih tinggi, berkisar 50-85%. Usia rata-rata appendektomi adalah 22 tahun.
Meskipun jarang terjadi, Appendicitis neonatal bahkan prenatal telah dilaporkan.
Dokter harus mempertahankan indeks kecurigaan yang tinggi pada semua
kelompok usia (Craig s, 2017).

c) Status Gizi

Gizi merupakan salah satu faktor penentu terhadap respon imunitas.


Kekurangan salah satu zat gizi dapat menghambat respon imunitas dan

15
meningkatkan risiko infeksi. Appendicitis diawali oleh infeksi yang memicu
hiperplasia limfoid pada dinding appendiks yang membuat obstruksi pada lumen
proksimal. Jika asupan gizi tidak adekuat dapat menyebabkan penurunan berat
badan, imunitas menurun, kerusakan jaringan mukosa, invasi patogen, serta adanya
gangguan pada pertumbuhan dan perkembangan anak.

Oleh karena gizi yang buruk, anak menjadi kurus, lemah, dan rentan oleh
infeksi, terutama karena integritas struktural, fungsional epitel, dan inflamasi. Ini
menunjukkan bahwa malnutrisi dan infeksi memiliki hubungan erat. Penelitian oleh
Nelson dkk, di Southampton, Inggris menunjukkan perbedaan pada berat dan tinggi
badan untuk kelompok anak Appendicitis. Anak yang menderita Appendicitis
memiliki berat badan lebih rendah dibandingkan yang tidak menderita Appendicitis,
begitu pun tinggi badan anak menunjukkan hasil dalam batas signifikan. Bekele
dkk, melakukan penelitian pada 147 anak dengan usia dibawah 13 tahun di Etiopia,
menunjukkan bahwa lebih dari seperempat anak penderita Appendicitis mengalami
underweight dan stunted. Diperlukan peran aktif orang tua guna mengawasi dan
mengarahkan pemilihan makanan pada anak (Atikasari, 2015)

d) Jenis Kelamin

Insidens Appendicitis pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding,


kecuali pada kelompok usia 20-30 tahun, ketika insidens lakilaki lebih tinggi.
Perbandingan angka kejadian pada remaja dan dewasa muda yaitu 3:2 yang
didominasi oleh pria. Kejadian Appendicitis pada orang dewasa 1,4 kali lebih
banyak pada pria daripada wanita. Risiko penyakit ini sebanyak 8,6% pada pria dan
6,7% pada wanitapersentase risiko jenis kelamin laki-laki dan perempuan yakni
72,2% : 27,8%. Fenomena ini dikarenakan laki-laki banyak menghabiskan waktu
di luar rumah untuk bekerja serta cenderung mengkonsumsi makanan cepat saji
(Muslim T, 2020).

2.2.6 Manifestasi Klinis

Wedjo (2019), menyatakan pada Appendicitis nyeri terasa pada abdomen


kuadran bawah dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual, muntah dan
hilangnya nafsu makan. Nyeri tekan lokal pada titik Mc. Burney bila dilakukan

16
tekanan. Nyeri tekan lepas mungkin akan dijumpai. Derajat nyeri tekan, spasme
otot, dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak tergantung pada beratnya
infeksi dan lokasi appendiks. Bila appendiks melingkar di belakang sekum, nyeri
dan nyeri tekan dapat terasa di daerah lumbal; bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-
tanda ini hanya dapat diketahui pada pemeriksaan colok dubur.

Nyeri pada defekasi menunjukkan bahwa ujung appendiks dekat dengan


kandung kemih atau ureter. Adanya kekakuan pada bagian bawah otot rektum
kanan dapat terjadi tanda Rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran
bawah kiri, yang secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa pada kuadran
bawah kanan. Apabila appendiks telah ruptur, nyeri dan dapat lebih menyebar
distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik dan kondisi klien memburuk (Tariani,
2021).

Anorexia, mual, dan muntah biasanya terjadi dalam beberapa jam setelah
onset terjadinya nyeri. Muntah biasanya ringan. Diare dapat terjadi akibat infeksi
sekunder dan iritasi pada ileum terminal atau caecum. Gejala gastrointestinal yang
berat yang terjadi sebelum onset nyeri biasanya mengindikasikan diagnosis selain
Appendicitis. Meskipun demikian, keluhan GIT ringan seperti indigesti atau
perubahan bowel habit dapat terjadi pada anak dengan Appendicitis (Tariani, 2021).

Appendicitis tanpa komplikasi biasanya demam ringan (37,5 -38,5°C). Jika


suhu tubuh diatas 38,6°C, menandakan terjadi perforasi. Anak dengan appendicitis
kadang-kadang berjalan pincang pada kaki kanan. Karena saat menekan dengan
paha kanan akan menekan Caecum hingga isi Caecum berkurang atau kosong.
Bising usus meskipun bukan tanda yang dapat dipercaya dapat menurun atau
menghilang. Anak dengan appendicitis biasanya menghindari diri untuk bergerak
dan cenderung untuk berbaring di tempat tidur dengan kadang-kadang lutut
diflexikan (Warsinggih, 2010).

2.2.7 Diagnosis Appendicitis

Pada beberapa situasi, meskipun telah dilakukan pemeriksaan dengan


cermat. Diagnosis klinis Appendicitis masih mungkin salah sekitar 15-20% kasus.
Kesalahan mendiagnosis lebih sering terjadi pada wanita, terutama pada usia muda,

17
mengingat pada wanita sering timbul gangguan menyerupai Appendicitis misalnya
yang berasal dari genitalia interna akibat ovulasi, menstruasi, radang pelvis, atau
penyakit ginekologik lain.

Guna menurunkan angka kesalahan diagnosis, bila Appendicitis meragukan


sebaiknya penderita diobservasi di rumah sakit dengan frekueansi 1-2 jam.
Diagnosis Appendicitis dinilai berdasarkan riwayat, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan penunjang

Sampai saat ini penegakan diagnosis untuk Appendicitis akut masih menjadi
sebuah tantangan tersendiri bahkan bagi ahli dan professional sekalipun. Hal ini
karena tanda dan gejala yang terjadi pada pasien tidak spesifik dan memiliki banyak
diagnosis banding yang harus disingkirkan, sedangkan komplikasi yang dihadapi
pun tidak sembarangan. Pemeriksaan yang dilakukan haruslah kompleks untuk
dapat menghasilkan akurasi diagnosis yang baik

Pasien Appendicitis akut biasanya datang dengan keluhan nyeri pada perut
bagian kanan bawah. Nyeri ini biasanya digambarkan sebagia nyeri kolik di daerah
periumbikal yang nyerinya dirasa intensif pada 24 jam pertama, kemudian menjadi
nyeri tajam dan konstan yang berpindah ke daerah fosa iliaka kanan. Anamnesis
dilakukan untuk menanyakan adanya gejala lain yang menyertai seperti adanya
mual, muntah, konstipasi, penurunan nafsu makan, dan demam. Namun gejala
gejala ini tidak spesifik karena dapat terjadi pada gangguan lain dari abdomen
(Huda, 2019)

Kebanyakan penderita Appendicitis mengalami Appendicitis akut, hanya


sebagian kecil yang didiagnosis sebagai Appendicitis kronis. Penderita Appendicitis
kronis akan mengalami sakit perut di bagian kanan bawah yang kerap diiringi oleh
mual, diare, lelah, lemas, dan demam. Namun terkadang penderita hanya akan
merasakan sakit perut biasa yang tidak spesifik. Hal itu bisa membuat dokter sulit
membandingkan diagnosis Appendicitis kronis dengan penyakit lain. Beberapa
penyakit yang gejalanya bisa menyerupai Appendicitis kronis meliputi infeksi
saluran kemih, kista ovarium, sindrom iritasi usus, Penyakit Crohn, dan penyakit
radang pinggul.

18
Anamnesis yang lengkap dan pemeriksaan fisik yang cermat tetap menjadi
landasan diagnosis Appendicitis akut. Beberapa pemeriksaan fisik yang dapat
membantu menentukan diagnosis Appendicitis yaitu:

1. Tanda Mc Burney, nyeri positif jika dilakukan nyeri tekan pada titik Mc
Burney.
2. Tanda Psoas, nyeri positif jika pasien diposisikan berbaring pada sisi
sebelah kiri dan sendi pangkal kanan diekstensikan.
3. Tanda Obturator, nyeri positif jika pasien diposisikan terlentang dan
dilakukan gerakan endorotasi tungkai kanan dari lateral ke medial.
4. Tanda Rovsing, tanda rovsing positif jika dilakukan palpasi dengan tekanan
pada kuadran kiri bawah dan timbul nyeri pada sisi kanan.
5. Tanda Dunphy, tanda dunphy positif jika timbul nyeri abdominal pada saat
pasien batuk.
6. Tanda Blumberg, disebut juga dengan nyeri lepas. Dilakukan palpasi pada
kuadran kanan bawah kemudian dilepas. (Bintang, 2020).

Selanjutnya dapat dilakukan pemeriksaan penunjang dengan melakukan


pemeriksaan laboratorium. Pada pemeriksaan laboratorium, jumlah leukosit di atas
10.000 ditemukan pada lebih dari 90% anak dengan Appendicitis akut. Jumlah
leukosit pada pasien Appendicitis berkisar antara 12.000-18.000/mm³. Peningkatan
persentase jumlah neutrofil dengan jumlah normal leukosit menunjang diagnosis
klinis Appendicitis. Jumlah leukosit yang normal jarang ditemukan pada pasien
Appendicitis.Untuk menunjang diagnosis, juga dapat dilakukan dengan
pemeriksaan urinalisis yang dapat membantu untuk membedakan Appendicitis
dengan pyelonephritis atau batu ginjal. Meskipun demikian, hematuria ringan dan
pyuria dapat terjadi jika inflamasi apendiks terjadi di dekat ureter (Sallinen, 2016).

Ultrasonografi (USG) juga sering dipakai sebagai salah satu pemeriksaan


untuk menunjang diagnosis pada kebanyakan pasien dengan gejala Appendicitis.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sensitifitas USG lebih dari 85% dan
spesifitasnya lebih dari 90%. Gambaran USG yang merupakan kriteria diagnosis
Appendicitis akut adalah apendiks dengan diameter anteroposterior 7 mm atau
lebih, didapatkan suatu appendicolith, adanya cairan atau massa periappendiks.

19
Kemudian dapat juga dilakukan pemeriksaan CT Scan untuk mendiagnosis
Appendicitis akut jika diagnosisnya tidak jelas sensitifitas dan spesifisitasnya kira-
kira 95-98%. Adanya pasien yang obesitas, presentasi klinis tidak jelas, dan curiga
adanya abses, maka CT-scan dapat digunakan sebagai pilihan test diagnostik.
Diagnosis Appendicitis dengan CT-scan ditegakkan jika appendiks dilatasi lebih
dari 5-7 mm pada diameternya. (Huda, 2019).

2.2.8 Komplikasi Appendicitis

Komplikasi utama pada kasus Appendicitis yang tidak diobati adalah


perforasi, yang mengakibatkan terjadinya peritonitis, abses, dan pieleoflebitis.
Pasien dengan Appendicitis perforasi, isi dari apendiks yang mengalami perforasi
akan terbebas masuk kedalam rongga peritoneal yang menyebabkan timbulnya
peritonitis. Abses akan terbentuk setelah perforasi jika apendiks yang mengalami
perforasi dikelilingi oleh sisa rongga peritoneum karena lokasinya yang
retroperitoneal atau dikelilingi oleh lilitan usus halus atau omentum. Komplikasi
yang paling parah yang dapat terjadi pada pasien dengan Appendicitis perforasi
adalah tromboflebitis sepsis dari vena porta yang juga dikenal sebagai pieloflebitis
(Sarosi, 2016)

Perforasi merupakan komplikasi akut yang paling mengkhawatirkan usus


buntu dan dapat menyebabkan abses, peritonitis, usus obstruksi, masalah
kesuburan, dan sepsis. Tingkat perforasi di antara orang dewasa berkisar dari 17%
sampai 32% dan dapat menyebabkan peningkatan lama rawat inap, pemberian
antibiotik yang diperpanjang, dan banyak lagi komplikasi pasca operasi yang parah.
Sebuah studi observasional prospektif menunjukkan bahwa 4 dari 64 anak (6%)
dengan usus buntu perforasi diobati dengan antibiotik untuk suspek, sepsis, bahkan
setelah operasi.

Dalam sebuah studi observasional dari 230 anak dengan Appendicitis,


penundaan lebih dari 48 jam sejak timbulnya gejala untuk diagnosis dan
pembedahan dikaitkan dengan peningkatan dalam tingkat perforasi dibandingkan
dengan mereka yang diagnosis dan pembedahannya terjadi dalam waktu 24 jam

20
serta 56% peningkatan rata- rata lama tinggal di rumah sakit. Jumlah sel darah putih
dan temuan USG dari cairan abdomen bebas, visualisasi perforasi, atau diameter
apendiks rata-rata 11 mm atau lebih. Konsultasi bedah dilakukan pada pasien ini
untuk menentukan apakah mereka dapat dirawat non-bedah dengan antibiotik
intravena. (Bintang, 2020)

2.2.9 Diagnosis Banding Appendicitis

Diagnosis banding dari Appendicitis dapat bervariasi tergantung dari usia


dan jenis kelamin. Pada anak-anak dan balita, diagnosis bandingnya antara lain
intususepsi, divertikulitis, dan gastroenteritis akut. Intususepsi paling sering
didapatkan pada anak- anak berusia dibawah 3 tahun. Divertikulitis jarang terjadi
jika dibandingkan Appendicitis. Nyeri divertikulitis hampir sama dengan
Appendicitis, tetapi lokasinya berbeda, yaitu pada daerah periumbilikal. Diagnosis
banding yang agak sukar ditegakkan adalah gastroenteritis akut, karena memiliki
gejala-gejala yang mirip dengan Appendicitis, yakni diare, mual, muntah, dan
ditemukan leukosit pada feses.

Pada anak-anak usia sekolah, diagnosis banding yang agak sukar ditegakkan
adalah gastroenteritis dan konstipasi. Pada gastroenteritis, didapatkan gejala-gejala
yang mirip dengan Appendicitis, tetapi tidak dijumpai adanya leukositosis.
Konstipasi merupakan salah satu penyebab nyeri abdomen pada anak-anak, tetapi
tidak ditemukan adanya demam.

Pada pria dewasa muda diagnosis banding yang sering pada pria dewasa
muda adalah Crohn’s disease, klitis ulserativa, dan epididimitis. Pemeriksaan fisik
pada skrotum dapat membantu menyingkirkan diagnosis epididimitis. Pada
epididimitis, pasien merasa sakit pada skrotumnya. Pasien dengan Appendicitis
secara klasik memerah dan dehidrasi. Parameter fisiologis mungkin menunjukkan
demam ringan dengan takikardia. Nyeri perut di fosa iliaka kanan dan bukti adanya
peritonisme terlokalisasi, nyeri tekan dan nyeri perkusi merupakan indikasi
Appendicitis.Cara lain untuk menguji peritonisme pada anak-anak termasuk meniup
dan menghisap perut atau melompat di samping tempat tidur.

21
Pada pasien kurus, apendiks terkait mungkin bisa diraba. Pemeriksaan testis
penting untuk dilakukan pada pria muda. Pemeriksaan panggul dan rektal tidak
dilakukan secara rutin kecuali jika ada kecurigaan alternatif pemeriksaan yang
membutuhkan diagnosis. Presentasi dengan 'rigid abdomen', yaitu abdomen difus
menjaga, menunjukkan peritonitis umum dan perforasi saluran pencernaan. Ini
mungkin terkait dengan sepsis dan syok membutuhkan resusitasi segera.

Penyebab non-perforasi lain dari peritonitis umum adalah pankreatitis,


penyakit radang panggul, dan peritonitis bakterial spontan. Pada wanita usia muda,
diagnosis banding Appendicitis pada wanita usia muda lebih banyak berhubungan
dengan kondisi- kondisi ginekologik, seperti pelvic inflammatory disease (PID) dan
kista ovarium. Pada PID, terjadi nyeri bilateral dan dirasakan pada abdomen bawah.
Pada kista ovarium, nyeri dapat dirasakan bila terjadi ruptur ataupun torsi

Appendicitis pada usia lanjut sering sukar untuk didiagnosis. Diagnosis


banding yang sering terjadi pada kelompok usia ini adalah keganasan dari traktus
gastrointestinal dan saluran reproduksi, divertikulitis, perforasi ulkus, dan
kolesistitis. Keganasan dapat terlihat pada CT Scan dan gejalanya muncul lebih
lambat daripada Appendicitis.Pada orang tua, divertikulitis sering sukar untuk
dibedakan dengan Appendicitis, karena lokasinya yang berada pada abdomen
kanan. Perforasi ulkus dapat diketahui dari onsetnya yang akut dan nyerinya tidak
berpindah (Bintang, 2020).

2.2.10 Tata Laksana Appendicitis

Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan yang paling tepat dilakukan pada
Appendicitis akut adalah apendektomi, namun ada beberapa literatur yang
mengatakan untuk mencoba terapi konservatif pada kasus yang diduga bukan
Appendicitis akibat obstruksi apendiks. Terapi konservatif ini biasa dipilih
padapasien dengan risiko tinggi operasi. Terapi yang dilakukan berupa
mengistirahatkan usus dan pemberian antibiotik intravena, biasanya metronidazol
dan sefalosporin generasi ketiga. 80-90% terapi konservatif memberikan hasil yang
baik, namun 15% menunjukkan angka kejadian Appendicitis berulang dalam 1
tahun.

22
Selain itu, terapi yang penting lainnya adalah pemberian cairan intravena
yang cukup, pemasangan kateter urin bila perlu, pemberian antipiretik, dan terapi
simptomatis lainnya. Apendektomi dapat dilakukan secara terbuka atau
laparoskopi. Apendektomi dilakukan dengan anestesi umum, pada posisi supine.
Ada berbagai macam insisi yang dapat dilakukan pada apendektomi terbuka dan
masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan, diantaranya sebagai berikut
(Putra, 2020):

 Insisi oblique muscle splitting (McArthur-McBurney)


 Insisi Gridion
 Insisi transverse (Rockey-Davis)
 Insisi Rutherford Morison
 Insisi transverse skin crease (Lanz)
 Insisi lower midline abdominal

Pasien yang menjalani apendektomi laparoskopi biasanya mengalami nyeri


post operatif yang lebih ringan dan pulih dalam waktu yang lebih singkat
dibandingkan dengan pasien yang menjalani apendektomi terbuka. Apendektomi
laparoskopi juga memiliki angka kejadian infeksi pada luka operasi yang lebih
kecil, namun angka kejadian sepsis pascaoperasi lebih tinggi untuk kasus
Appendicitis gangrenosa dan perforasi. Apendektomi laparoskopi lebih
menguntungkan dikerjakan pada pasien obesitas dan awal kehamilan (Brunicardi,
2015).

Jika pada pemeriksaan dijumpai adanya massa apendiks (massa flegmon),


dianjurkan untuk menatalaksananya terlebih dahulu dengan regimen konservatif
Ochsner-Sherren, dengan alasan bahwa proses inflamasi sudah terlokalisasi dan
jika dilakukan operasi maka akan sangat sulit menemukan apendiks dan
mungkinsudah terbentuk fistula fekal. Hal yang dilakukan adalah memeriksa
perkembangan massa setiap hari (lebih mudah dengan membuat marka pada
dinding abdomen pasien), pemberian antibiotik, dan melakukan pemeriksaan CT
scan kontras. Jika terdapat abses, maka evakuasi dapat dilakukan dengan bantuan
radiologi. Suhu dan denyut nadi pasien juga dipantau per 4 jam, dan

23
mempertahankan keseimbangan cairan. Perbaikan klinis biasanya sudah dapat
dijumpai dalam 24-48 jam setelah terapi (Putra, 2020).

Kriteria untuk menghentikan terapi konservatif dan memulai tindakan


pembedahan pada massa apendiks adalah:

 Peningkatan denyut nadi


 Nyeri perut yang meningkat atau menyebar
 Ukuran massa yang membesar

Peran apendektomi di kemudian hari pada pasien yang gejala


Appendicitisnya menghilang setelah dilakukan terapi konservatif masih belum
jelas. Namun beberapa penelitian mengatakan bahwa jika terapi konservatif
berhasil, maka dianjurkan untuk dilakukan apendektomi dalam 2-4 bulan setelah
gejala akut menghilang. Hal ini dilakukan untuk mencegah Appendicitis berulang
di kemudian hari (Richmond, 2017). Jika tanda-tanda peritonitis dijumpai,
sebaiknya segera lakukan laparotomi (Putra, 2020).

2.3 Neutrophil Lymphocyte Ratio (NLR)

Definisi NLR atau Neutrophil Lymphocyte Ratio adalah parameter


sederhana untuk menilai status inflamasi subjek dengan mudah. Tingkat NLR telah
terbukti kegunaannya dalam stratifikasi kematian pada kejadian jantung utama,
sebagai faktor prognostik yang kuat dalam beberapa jenis kanker, atau sebagai
prediktor dan penanda patologi inflamasi atau infeksi (seperti Appendicitis
pediatrik) dan komplikasi pasca operasi (Khalifa et al., 2017). Sederhananya, NLR
merupakan jumlah neutrofil dibagi dengan jumlah limfosit. Di bawah tekanan
fisiologis, jumlah neutrofil meningkat, sedangkan jumlah limfosit menurun. NLR
merupakan gabungan kedua perubahan limfosit dan netrofil.

Appendicitis di tandai dengan adanya shift to left yaitu adanya peningkatan


neutrofil didalam darah sebagai respon inflamasi utama. Keadaan shift to the left
dapat digambarkan melalui neutrofil to limfosit ratio. NLR menyediakan informasi
berdasarkan 2 jalur sistem imunitas dan inflamasi sehingga NLR dapat menjadi
penanda potensial untuk memprediksi Appendicitis dan tingkat keparahannya.

24
Hitung Neutrofil menggambarkan adanya inflmasi aktif sedangkan hitung limfosit
menggambarkan jalur regulasi (Salim MA, 2021)

Neutrophil Lymphocyte Ratio (NLR) sudah dibuktikan sebagai indikator


simpel terhadap respon inflamasi. NLR dikatakan lebih sensitiv dan superior untuk
mendiagnosis Appendicitis jika dibandingkan dengan nilai leukosit. Appendicitis
perforasi memiliki nilai NLR yang lebih tinggi dibandingkan dengan Appendicitis
akut (Salim MA, 2021)

Leukosit (neutrofil, limfosit, eosinofil dan monosit) serta trombosit


merupakan petanda yang efektif terhadap adanya proses inflamasi. Proses
aterogenesis merupakan proses inflamasi dimana neutrofil mempunyai peranan
dalam pembentukan agregat lekosit trombosit dan reperfusi pada sindrom koroner
akut. Limfosit juga berperan penting dalam modulasi respon inflamasi pada proses
ateroskerosis. Neutrofil merupakan petanda inflamasi non spesifik dan limfosit
sebagai petanda pengaturan.

Neutrophil Lymphocyte Ratio (NLR) merupakan pemeriksaan yang mudah,


murah dan tersedia secara universal pada laboratorium sebagai petanda yang
digunakan untuk evaluasi inflamasi sistemik. Studi sebelumnya menunjukkan peran
NLR sebagai petanda inflamasi sistemik pada pasien dengan bakteriemia dan
sepsis, pneumonia, pasien End stage renal disease, hipertensi, diabetes melitus,
sindrom metabolik, pasien dengan kanker dan preeklamsi. Nilai NLR didapatkan
dari jumlah neutrofil dibagi dengan jumlah limfosit

Neutrophil Lymphocyte Ratio (NLR) didefinisikan sebagai perbandingan


antara jumlah netrofil dibagi jumlah limfosit yang didapatkan dari pemeriksaan
hitung jenis lekosit. Data diambil dari catatan medis pasien yaitu anamnesis
penyakit, pemeriksaan fisik dan hasil pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan
hitung darah lengkap menggunakan sampel darah vena dengan antikoagulan EDTA
sebanyak 3 ml, pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan analiser hematologi
Beckman Coulter Hmx-1 (Beckman Coulter, Brea, CA), perhitungan NLR
dilakukan secara manual dari hasil pemeriksaan hitung jenis.

25
Diagnosis Appendicitis dapat dibuat berdasarkan beberapa temuan, baik
berupa temuan fisik, pemeriksaan laboratorium maupun pemeriksaan radiografi.
Salah satu pemeriksaan laboratorium yang sering digunakan adalah pemeriksaan
jumlah leukosit darah. Pemeriksaan ini biasanya digunakan dalam membantu
mendiagnosis Appendicitis. Pasien dengan Appendicitis pada umumnya mengalami
leukositosis, yaitu peningkatan jumlah leukosit diatas 10.000 sel/mm³. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan Andi Baso (2015) dengan menganalisis leukosit pada
pada panedisits akut dan perforasi, memperoleh hasil jumlah leukosit 10.0000-
18.0000 sel/mm³ banyak ditemukan pada pasien apendisits akut sebesar (75.7%)
dan jumlah leukosit >18.000 sel/mm³.

Jumlah leukosit darah akan meningkat dan terjadi leukositosis ringan pada
pasien dengan Appendicitis akut dan bahkan leukositosis akan semakin berat pada
pasien yang telah mengalami perforasi. Nyeri hilang timbul dan tumpul pada regio
epigastrium adalah tanda gejala yang timbul pada Appendicitis akut. Lokasi nyeri
berpindah pada titik McBurney, disertai mual, muntah dan anoreksia. Jika
diabaikan dalam waktu lama akan menimbulkan komplikasi. Penegakan diagnosis
dan penanganan yang lama akan berakibatkan fatal dan meningkatkan terjadinya
Appendicitis perforasi. Salah satu pemeriksaan laboratorium yang cepat dan murah
adalah pemeriksaan jumlah leukosit darah. Hal ini digunakan untuk mendukung
diagnosa Appendicitis akut. Keterlambatan dalam mendiagnosis Appendicitis akut
dapat meningkatkan jumlah leukosit darah Peningkatan leukosit dalam darah
menujukkan adanya proses infeksi atau peradangan dalam tubuh. Appendicitis
menandakan adanya proses peradangan pada apendiks. Sesuai dengan fungsinya
dalam pertahanan tubuh, leukosit akan bermigrasi dari lumen pembuluh darah ke
tempat yang mengalami radang untuk mefagosit kan, sehingga saat proses
peradangan berlangsung terjadi peningkatan jumlah semakin tinggi jumlah leukosit
menandakan proses peradangan yang hebat dan semakin luas daerah
peradangannya. Selain itu, usia dan onset peradangan juga mempengaruhi jumlah
leokosit di dalam tubuh (Wijaya, 2021).

26
BAB III
KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP
3.1 Kerangka Teori

Hiperplasia Neoplasma Infeksi dan


Fekalit
Jatringan Limfe Appendiks Peradangan

Obstruksi lumen appendiks

Mukus yang diproduksi mengalami Aktivasi mediator


bendungan dan invasi bakteri inflamasi (histamin,
komplemen dan
prostaglandin)
Edema dan ulserasi mukosa

Aktivasi Monosit,
Infeksi dan reaksi inflamasi di Neutrofil dan Limfosit
appendiks

Peningkatan NLR/
Derajat Keparahan Appendicitis Leukositosis

1. Appendicitis Akut
2. Appendicitis Perforasi
3. Appendicitis Gangrenosa
4. Appendicitis Kronik

27
3.2 Kerangka Konsep

Variabel dependen pada penelitian ini adalah nilai neutrophil lymphocyte


ratio (NLR) pada pasien ppendicitis di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo Kota
Makassar dan variabel independen pada penelitian ini adalah derajat keparahan
appendicitis pada pasien appendicitis di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo Kota
Makassar .

Derajat
keparahan
appendicitis
di RSWS Nilai
Makassar Neutrophil
lymphocyte
ratio (NLR)

- Gangguan
hematologi
- Infeksi lain
- Keganasan di organ
lain

28
Keterangan :

: Variabel Independen

: Variabel Dependen

: Variabel Perancu

3.3 Hipotesis

Berdasarkan uraian yang dikemukakan pada bagian pendahuluan dan tinjauan


pustaka maka hipotesis dalam penelitian ini yaitu

1. Terdapat hubungan nilai neutrophil lymphocyte ratio (NLR) dengan


derajat keparahan pada pasien Appendicitis di Rumah Sakit Wahidin
Sudirohusodo Kota Makassar.

2. Terdapat peran dari nilai Neutrophil Lymphocyte Ratio (NLR) dalam


memprediksi keparahan Appendicitis pada penderita Appendicitis di
Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo Kota Makassar.

29
BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Tipe dan Desain Penelitian

Penelitian dengan judul “Hubugan antara Neutrophil Lymphocyte Ratio


(NLR) dengan Derajat Keparahan Appendicitis di RSUP Wahidin Sudirohusodo
Kota Makassar” bersifat observasional analitik dengan pendekatan cross sectional
dengan menganalisis hubungan nilai NLR dengan pasien yang didiagnosis
Appendicitis di RSUP Wahidin Sudirohusodo Kota Makassar. Penelitian ini juga
menggunakan metode prospektif, dimana dengan menilai variable yang akan diteliti
menggunakan informed consent langsung mengenai kesediaan untuk menjadi
sampel penelitian yang telah disetujui oleh komite etik Fakultas Kedokteran Unhas.

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di RSUP Wahidin Sudirohusodo Kota Makassar.


Penelitian ini berupa pengumpulan data laporan operasi pasien mencantumkan
pemeriksaan darah rutin dan hasil pemeriksaan histopatologi Appendicitis dengan
spesifikasi pemeriksaan Laboratorium yang merujuk terhadap pemeriksaan darah
untuk melihat Neutrophil Lymphocyte Ratio (NLR). Adapun waktu penelitian ini
dilaksanakan pada September-November tahun 2022.

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian

4.3.1 Populasi Penelitian

Populasi yang dijadikan sebagai target penelitian berdasarkan data primer


berupa laporan operasi pasien mencantumkan pemeriksaan darah rutin dan hasil
pemeriksaan histopatologi yang terdiagnosis Appendicitis di Rumah Sakit Wahidin
Sudirohusodo.

4.3.2 Sampel Penelitian

Sampel penelitian ini diperoleh dengan menggunakan teknik total sampling


yaitu semua laporan operasi pasien mencantumkan pemeriksaan darah rutin dan
hasil pemeriksaan histopatologi yang pasien appendicitis di Rumah Sakit Wahidin

30
Sudirohusodo yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Adapun kriteria inklusi
dan ekslusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Kriteria Inklusi
1. Data laporan operasi pasien mencantumkan pemeriksaan darah rutin
dan hasil pemeriksaan histopatologi pasien yang terkonfirmasi
appendicitis di RSUP Wahidin Sudrohusodo.
2. Pasien penderita appendicitis di RSUP Wahidin Sudirohusodo yang
telah melakukan pengukuran laboratorium NLR.
3. Pasien yang memiliki laporan operasi yang konklusif dan informatif.

b. Kriteria Eksklusi
1. Pasien penderita appendicitis tidak mempunyai data atau menolak
melakukan tindakan operasi
2. Data dalam laporan operasi pasien mencantumkan pemeriksaan
darah rutin dan hasil pemeriksaan histopatologi tidak lengkap,
terutama data NLR dan derajat keparahan appendicitis.
3. Pasien dengan gangguan hemotologi.
4. Pasien appendicitis yang mengalami infeksi lain sehingga dapat
menyebabkan peningkatan kadar NLR pada saat pengambilan
sampel.

31
4.4 Besar Sampel

Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan cross sectional study,


maka dalam penelitian ini, jumlah minimal ditentukan dengan menggunakan tabe
Isaac dan michael, yaitu :

Pada Tabel Isaac dan Michael ini peneliti mengambil tingkat kepercayaan 5
persen. Dengan jumah populasi 30 maka sampel yang digunakan adalah 23
sampel.

4.5 Teknik Pengumpulan Data

Instrumen yang akan digunakan dalam penelitian data primer hasil


pencatatan inform consent dan hasil dari laporan operasi pasien mencantumkan
pemeriksaan darah rutin dan hasil pemeriksaan histopatologi di Rumah sakit
Wahidin Sudirohusodo Kota Makassar. .

32
4.6 Teknik Pengolahan dan Analisis Data

1. Editing, yaitu melakukan pengoreksian atau pengecekan terhadap data


pasien Appendicitis dari laporan operasi pasien mencantumkan pemeriksaan
darah rutin dan hasil pemeriksaan histopatologi yang bertujuan untuk
melihat apakah terdapat kesalahan-kesalahan pada pencatatan dan bersifat
koreksi.
2. Coding, yaitu cara pengolahan data dengan data yang sudah dikumpulkan
diubah kedalam bentuk huruf atau angka.
3. Tabulating, yaitu melakukan proses pemasukan data yang telah diubah
menjadi kode kedalam bentuk tabel distribusi dan frekuensi dengan
menggunakan aplikasi di Microsoft pada computer.
4. Cleaning, yaitu melakukan pengecekan kembali data yang sudah di
tabulating apakah terdapat kesalahan atau tidak. Pemeriksaan semua data ke
komputer yang telah dimasukkan kedalam komputer guna untuk
menghindari terjadinya kesalahan dalam pemasukan data.

4.7 Etika Penelitian

Hal-hal yang terkait dengan etika penelitian dalam penelitian ini adalah:

1. Pengurusan perizinan sebelum penelitian pada berbagai instansi terkait dan


mengurus izin etik dari Komisi Etik Penelitian Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin.
2. Kerahasiaan identitas pasien yang terdapat pada data rekam medis dijaga
sehingga diharapkan tidak ada pihak yang merasa dirugikan atas penelitian
yang dilakukan.
3. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada semua pihak
yang terkait sesuai dengan manfaat penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya.

33
4.8 Defenisi Operasional

Variabel Defenisi Operasional Kriteria Data


Identitas seksual yang dibawa
pasien sejak lahir. Informasi ini
Jenis Laki-Laki
dapat diketahui dari hasil Kategorik
Kelamin Perempuan
wawancara dengan penderita.

Lama hidup penderita


a. ≥17–30
dari lahir sampai saat
tahun
penelitian. Informasi ini dapat
b. 41–60
Kelompok diketahui dari hasil wawancara
tahun Kategorik
Umur dengan penderita, dan melihat
c. 31–40
kartu tanda penduduk
tahun
penderita.

Derajat Appendicitis akut terjadi disaat Appendisistis Kategorik


keparahan obstruksi lumen appendiks Akut (+)
Appendisitis menyebabkan edema mukosa,
berdsarkan ulserasi mukosa, diapedesis
pemeriksaan bakteri, distensi appendiks karena
Histopatolgi akumulasi cairan dan peningkatan
tekanan intraluminal. Memiliki
manifetasi nyeri visceral yang
samar dan tumpul di area
epigastrium sekitar umbilicus,
dalam beberapa jam berupa nyeri
somatik yang tajam dan letaknya
jelas serta kadang disertai mual
muntah dan anoreksia.
Pecahnya apendiks yang sudah Appendicitis Kategorik
gangren yang menyebabkan pus Perforasi (+)

34
masuk ke dalam rongga perut
sehingga terjadi peritonitis umum.
Penderita yang didiagnosa
penyakit apendisitis perforasi oleh
seorang konsultan dengan temuan
klinis demam tinggi, nyeri hebat
di seluruh perut, perut tegang dan
kembung, defans muscular di
seluruh perut, peristalsis usus
menurun sampai menghilang.
Appendicitis Gangrenosa terjadi Appendisitis Kategotik
bila tekanan dalam lumen terus Gangrenosa
bertambah, aliran darah arteri (+)
mulai
terganggu sehingga terjadi infark
dan gangren. Selain didapatkan
tanda
tanda supuratif, apendiks
mengalami gangren pada bagian
tertentu.
Dinding apendiks berwarna ungu,
hijau keabuan atau merah
kehitaman.
Pada apendisitis akut gangrenosa
terdapat mikroperforasidan
kenaikan
cairan peritoneal yang purulent

Appendisitis kronik dapat Appendicitis


ditegakkan apabila ditemukan kronik (+)

35
riwayat nyeri pada perut kuadran
kanan bawah lebih dari 2 minggu
yang terjadi dengan disertai
radang kronik appendiks secara
makroskopik maupun
mikroskopik. Adapun kriteria
mikroskopik penyakit ini yaitu
fibrosis menyeluruh pada dinding
appendiks, adanya sumbatan
parsial atau total di lumen
appendiks, adanya jaringan parut
dan ulkus lama dimukosa serta sel
inflamasi kronik
NLR NLR (Neutrophil Lymphocyte Pemeriksaan Kategorik
Ratio) merupakan hasil bagi Darah rutin
jumlah neutrophil terhadap a. > 3 mg/L
lymphocyte secara manual dalam b. < 3 mg/L
pemeriksaan hitung jumlah
leukosit. NLR biasanya menjadi
marker dari proses terjadinya
subklinis inflamasi

36
4.8 Alur Penelitian

Surat izin penelitian dan persetujuan


etik dari Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin

Surat Izin Penelitian dari Rumah


Sakit Wahidin Sudirohusodo Kota
Makassar

Pasien baru di IGD RSWS (Setuju


menjadi sampel penelitian)
Data yang
sesuai kriteria
Pengambilan sampel yang sesuai kriteria ( eksklusi
NLR dan Derajat keparahan Appendicitis)
dinilai berdasarkan hasil pemeriksaan
histopatologi di Laboratorium Patologi
Anatomi RSWS

Pengolahan dan analisis data

Hasil dan Kesimpulan Penelitian

Penyajian Hasil Penelitian

37
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian mengenai hubungan nilai NLR dan Keparahan AppendicitisPada


Pasien Appendicitis dengan metode observasional analitik ini dilakukan di bagian
Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo Kota Makassardiperoleh hasil sebagai berikut

Tabel 1. Distribusi data pasien appendicitis berdasarkan jenis kelamin


Frequency Percent

Laki-Laki 24 53,3 %

Perempuan 21 46,7%

Total 45 100 %
Sumber : Data Primer; Rumah sakit wahidin sudirohoso

Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa pada pasien yang terkonfirmasi
Appendicitis di RSUP Wahidin Sudirohusodo Kota Makassar pada sebanyak 45
orang, dari total sampel didapatkan 24 pasien laki-laki dan 21 pasien perempuan.

Dari data diatas, data yang didapatkan selaras dengan penelitian yang tercantum
dalam pustaka. Laki-laki memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk terkena
Appendicitis akut dibandingkan dengan perempuan, dengan insiden seumur hidup
8,6% untuk laki-laki dan 6,7% untuk perempuan. (Bhangu. 2020)

Prevalensi Appendicitis akut di Indonesia berkisar 24,9 kasus per 10.000 populasi.
Appendicitis ini bisa menimpa pada laki-laki maupun perempuan dengan risiko
menderita Appendicitis selama hidupnya mencapai 7-8%. Prevalensi tertinggi
terjadi pada usia 20-30 tahun. Appendicitis perforasi memiliki prevalensi antara 20-
30% dan meningkat 32-72% pada usia lebih dari 60 tahun dari semua kasus
Appendicitis (Gunawan, 2018).

38
Tabel 2. Distribusi Klasifikasi Pasien Appendicitis berdasarkan Jenis
Kelamin
Derajat Keparahan Appendicitis Total Percent
Appendicitis Appendicitis Appendicitis Appendicitis
Perforasi Akut Kronik Gangrenosa

Laki-Laki 11 5 3 5 24 53,3 %
Perempuan 9 5 6 1 21 46,7 %
Total 20 10 9 6 45 100 %
Percent 44 % 22 % 20% 14 % 100%

Sumber : Data Primer; Rumah sakit wahidin sudirohoso

Berdasarkan data diatas, maka didapatkan jumlah terbanyak dari data pasien
appendicitis berdasarkan usia adalah pada pasien appendicitis perforasi sebanyak
20 orang. Appendicitis perforasi ini terbagi atas 11 orang laki-laki dan 9 orang
perempuan.

Data terbanyak selanjutnya ialah appendicitis akut dengan jumlah 10 orang,


dengan klasifikasi masing masing 5 orang antara perempuan dan laki-laki. Disusul
oleh appendicitis kronik sebanyak 3 orang laki-laki dan 6 orang perempuan.
Terakhir, appendicitis gangrenosa sebanyak 5 orang laki-laki dan 1 orang
perempuan.

Berdasarkan tabel diatas, maka dapat disimpulan bahwa pasien appendicitis


perforasi memiliki distribusi terbanyak dengan jumlah sampel sebanyak 20 orang.
Hal ini juga didukung oleh jurnal yang diambil sebagai pustaka pana penelitian
ini.

Appendicitis perforasi merupakan kejadian dimana pecahnya apendiks yang sudah


gangren yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi
peritonitis umum. Penderita yang didiagnosa penyakit apendisitis perforasi oleh
seorang konsultan dengan temuan klinis demam tinggi, nyeri hebat di seluruh perut,
perut tegang dan kembung, defans muscular di seluruh perut, peristalsis usus
menurun sampai menghilang.Hal ini tidak lepas dari peran RSUP Wahidin

39
Sudirohusodo yang menjadi rumah sakit rujukan terbesar di Indonesia bagian
timur. Artinya, Pasien-pasien yang tingkat keparahannya lebih tinggi bahkan yang
telah komplikasi menjadi peritonitis menjadi pasien rujukan ke RSUP Wahidin
Sudirohusodo, maka dari itu appendicitisperforasi menjadi jumlah terbanyak dari
populasi dan sampel pasien yang terkonfirmasi appendicitis.

Tabel 3. Distribusi Klasifikasi Pasien Appendicitis berdasarkan Umur


Frequency Percent

< 17 Tahun 11 24.4 %

17 – 30 Tahun 17 37.8 %

31 – 40 Tahun 6 13.3 %

41 – 60 Tahun 6 13.3 %

>60 Tahun 5 11.1 %

Total 45 100.0 %
Sumber : Data Primer; Rumah sakit wahidin sudirohoso
Berdasarkan Tabel diatas, maka dapat dilihat persebaran pasien appendicitis di
RSUP Wahidin Sudirohusodo Kota Makassar tahun 2021 berdasarkan tingkat
umur. Terdapat variasi umur berdasarkan klasifikasi appendicitis.

Berdasarkan tabel diatas, 17-30 tahun memiliki prevalensi terbanyak sebanyak 17


orang. kemudian pada umur kurang dari 17 tahun sebanyak 11 orang. Hal ini
sesuai dengan tinjauan pustaka yang terkait dengan prevalensi pasien appendicitis
berdasarkan umur.

Berdsarkan data, Prevalensi appendicitis secara bertahap meningkat sejak lahir,


memuncak pada akhir tahun remaja, dan secara bertahap menurun pada tahun-tahun
lanjut usia.hal ini sesuai berdsarkan data yang telah didapatkan pada data laporan
operasi pasien mencantumkan pemeriksaan darah rutin dan hasil pemeriksaan
histopatologi pasien appendicitis di RSUP Wahidin Sudirohusodo Kota Makassar
tahun 2021.

40
Tabel 4. Distribusi Pasien Appendicitis berdasarkan Nilai Neutrophil
Lymphocyte Ratio
Frequency Percent

> 3mg/dL 19 42.2 %

< 3 mg/dL 26 57.8 %

Total 45 100 %
Sumber : Data Primer; Rumah sakit wahidin sudirohoso

Pada tabel 4 disajikan prevalensi appendicitis dan diklasifikasikan berdasarkan nilai


normal dari Neutrophil Lymphocyte ratio (Nlr). NLR merupakan jumlah neutrofil
dibagi dengan jumlah limfosit. Di bawah tekanan fisiologis, jumlah neutrofil
meningkat, sedangkan jumlah limfosit menurun. NLR merupakan gabungan kedua
perubahan limfosit dan netrofil.

Neutrophil Lymphocyte Ratio (NLR) merupakan pemeriksaan yang mudah, murah


dan tersedia secara universal pada laboratorium sebagai petanda yang digunakan
untuk evaluasi inflamasi sistemik. Studi sebelumnya menunjukkan peran NLR
sebagai petanda inflamasi sistemik pada pasien dengan bakteriemia dan sepsis,
pneumonia, pasien End stage renal disease, hipertensi, diabetes melitus, sindrom
metabolik, pasien dengan kanker dan preeklamsi. Nilai NLR didapatkan dari
jumlah neutrofil dibagi dengan jumlah limfosit

Pada sampel penelitian ini, didapatkan pasien dengan diagnosis appendicitis


sebanyak 45 orang. 26 diantaranya memiliki nilai NLR > 3 mg/dL atau sekitar 54
persen dari jumlah keseluruhan sampel. Dan 19 diantaranya memiliki nilai NLR <
3 mg/dL atau sekitar 46 persen dari keseluruhan total sampel. Hal ini menunjukkan
bahwa nilai NLR yang > 3 mg/dL memiliki jumlah yang lebih banyak.

41
Tabel 5. Distribusi Klasifikasi Pasien Appendicitis berdasarkan Nilai
Neutrophil Lymphocyte Ratio
Derajat Keparahan Appendicitis Total Percent
Appendicitis Appendicitis Appendicitis Appendicitis
Perforasi Akut Kronik Gangrenosa

>3 mg/dL 26 42,2 %


16 (35,5%) 8 (17,8%) 0 (0%) 2(4.44%)
(57,8%)
< 3 mg/dL 19 57,8 %
4 (8,9%) 2 (4,44%) 9 (20%) 4 (8,9%)
(42,2%)
Total 20 10 9 6 45 100 %
Percent 44 % 22 % 20% 14 % 100%

Sumber : Data Primer; Rumah sakit wahidin sudirohoso

Pada Tabel 4 disajikan tabel dengan nilai NLR pada masing-masing jenis
appendicitis. Jumlah leukosit darah akan meningkat dan terjadi leukositosis ringan
pada pasien dengan Appendicitis akut dan bahkan leukositosis akan semakin berat
pada pasien yang telah mengalami perforasi. Pada data pasien appendicitis di RSUP
Wahidin Sudirohusodo Kota Makassar tahun 2021 didapatkan pasien appendicitis
perforasi yang memiliki NLR > 3 mg/dL sebanyak 16 orang Angka tersebut
menunjukkan bahwa pada pasien appendicitis perforasi yang sudah terjadi
komplikasi peritonitis memiliki jumlah nlr yang lebih tingi.

Angka selanjutnya pada pasien yang memiliki NLR > 3 mg/dL adalah pasien yang
terkonfirmasi appendicitis akut sebanyak 8 orang. 2 orang pada pasien appendicitis
kronik dan 1 pada pasien appendicitis gangrenosa. Berdasarkan data tersebut,
sesuai dengan teori yang disajikan pada tinjauan pustaka yang menyatakan bahwa
pada pasien appendicitis perforas dan akut appendicitis memiliki jumlah kenaikan
NLR yang lebih signifikan.

Berdasarkan data diatas, pasien appendicitis RSUP Wahidin Sudirohusodo, untuk


pasien yang memiliki nilai NLR < 3 mg/dL, terbanyak pada pasien dengan
diagnosis appendicitis kronik, dengan jumlah 9 orang, Selanjutnya, oleh appendicitis
gangrenosa sebanyak 4 orang atau. Selanjutnya oleh appendicitis akut 2 orang dan
appendicitis perforasi 4 orang.

42
Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa appendicitis di tandai dengan adanya
shift to left yaitu adanya peningkatan neutrofil didalam darah sebagai respon
inflamasi utama. Keadaan shift to the left dapat digambarkan melalui neutrofil to
limfosit ratio.

NLR menyediakan informasi berdasarkan 2 jalur sistem imunitas dan inflamasi


sehingga NLR dapat menjadi penanda potensial untuk memprediksi Appendicitis
dan tingkat keparahannya. Hitung Neutrofil menggambarkan adanya inflmasi aktif
sedangkan hitung limfosit menggambarkan jalur regulasi. Pasien yang memiliki <
3 mg/dL terbanyak pada pasien appendicitis kronis.

Hal ini disebabkan reaksi neutrophil dan lymphocyte sudah tidak terlalu
berpengaruh pada keadaan kronis, maka dari itu nilai nlr pada pasien ini kurang
sebab minim nya peran neutrophil maupun lymphocyte dalam keadaan kronik
Tabel 6. Hubungan antara nilai NLR dengan derajat keparahan appendicitis
dengan uji chi-square

Derajat Keparahan Appendicitis


Appendicitis Appendicitis Appendicitis Appendicitis
Total P value
Perforasi Akut Kronik Gangrenosa

<3 mg/dL Count 4 2 9 4 19


Expected
8.4 4.2 3.8 2.5 19.0
Count
Percent
8.9% 4.4% 20.0% 8.9% 42.2%
of Total
>3 Count 16 8 0 2 26
mg/dL
Expected 0,000
11.6 5.8 5.2 3.5 26.0
Count
Percent
35.6% 17.8% 0.0% 4.4% 57.8%
of Total
Total Count 20 10 9 6 45
Expected
20.0 10.0 9.0 6.0 45.0
Count
Percent
44.4% 22.2% 20.0% 14% 100.0%
of Total

43
Pada tabel di atas menggambarkan hubungan antara nilai NLR dengan derajat
keparahan appendicitis. Nilai NLR diklasifikasikan menjadi 2 bagian, diantaranya
ialah > 3 mg/dL dan < 3 mg/dL. Kemudian derajat keparahan diberikan kode 1 – 4
berturut-turut diantaranya ialah, appendicitis perforasi, appendicitis akut,
appendicitis kronis dan appendicitis gangrenosa.

Berdasarkan penelitian ini, didapatkan n sebanyak 45, kemudian pada uji chi-square
didapatkan nilai expected count kurang dari 5 atau > 20 persen. Nilai ini tidak
memenuhi syarat sehingga harus diganti menggunakan uji Kolmogorov smirnov.

Tabel 7. Hubungan antara nilai NLR dengan derajat keparahan appendicitis


dengan uji Kolomogorov Smirnov

Derajat Keparahan Appendicitis Total P value


Appendicitis Appendicitis Appendicitis Appendicitis
Perforasi Akut Kronik Gangrenosa

>3 mg/dL 26
16 (35,5%) 8 (17,8%) 0 (0%) 2(4.44%)
(57,8%)
< 3 mg/dL 19
4 (8,9%) 2 (4,44%) 9 (20%) 4 (8,9%) 0,001
(42,2%)
Total 20 (44%) 10 (22%) 9 (20%) 6 (14%) 45
(100%)

Berdasarkan tabel diatas, menggambarkan uji kolomogorov Smirnov dengan


menghubungkan antara nilai NLR dengan derajat keparahan appendicitis. Hasil
analisis statistic dengan menggunakan metode uji kolomogotov smirnov
menunjukkan nilai p value = 0,0001 ( < 0.05). Hasil tersebut menunjukkan adanya
hubungan yang signifikan antara nilai NLR dengan derajat keparahan appendicitis.

Selama terjadi respon inflamasi di dalam tubuh, ratio dari leukosit yang beredar
dalam tubuh mengalami perubahan, terjadi peningkatan neutrofil diikuti dengan
penurunan limfosit. Neutrofil/ limfosit ratio (NLR) sudah dibuktikan sebagai
indikator simpel terhadap respon inflamasi. NLR dikatakan lebih sensitiv dan
superior untuk mendiagnosis apendisitis jika dibandingkan dengan nilai leukosit.
Apendisitis perforasi memiliki nilai NLR yang lebih tinggi dibandingkan dengan
apendisitis akut. Hasil skripsi ini sejalan dengan penelitian oleh Akyuz dkk pada

44
tahun 2020 yang menyatakan bahwa penurunan limfosit dapat menjadi penanda
apendisitis akut dan perforasi.

45
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 KESIMPULAN
Dari hasil penelitian hubugan antara nilai neutrophil lymphocyte ratio (nlr)
dengan derajat keparahan appendicitis pada penderita appendicitis di rsup wahidin
sudirohusodo kota makassar
1. Berdasarkan usia pasien appendicitis terbanyak ditemukan pada kelompok usia17
– 30 tahun.
2. Berdasarkan jenis kelamin, pasien appendicitis terbanyak ditemukan pada laki
laki dibandingkan pada perempuan.
3. Berdasarkan derajat keparahannya, appendicitis perforasi memiliki prevalensi
terbanyak dengan 20 sampel
4. Nilai NLR > 3 mg/dL ditemukan terbanyak pada pasien appendicitis perforasi
dan appendicitis akut
5. Nilai NLR < 3 mg/dL ditemukan terbanyak pada pasien appendicitis kronik
6. Terdapat hubungan yang signifikan antara NLR dengan derajat keparahan
appendicitis dengan nilai p = 0,001.
6.2 Saran

a. Bagi Rumah Sakit

Diharapkan kepada pihak rumah sakit, terkhusus kepada pihak paramedis, dokter
dan pelayan kesehatan lainnya, untuk melengkapi data-data yang akan disimpan pada
rekam medik. Selain itu, tetap mengutamakan profesionalitas dalam hal pelayanan pasien.

b. Bagi Masyarakat

Masyarakat hendaknya meningkatkan kewaspadaan dan pemahaman serta peduli


akan cara pencegahan, pengobatan dari penyakit appendicitis sehingga angka prevalensi
ataupun insidensi dari appendicitis dapat dikurangi

c. Bagi Peneliti

Masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut terkait nlr dan derajat keparahan
appendicitis dengan jumlah sampel yang lebih besar dan lebih beragam sehingga dapat
lebih menambah informasi dan pengetahuan terkait hubungan antara ke dua variable ini.

46
Daftar Pustaka
1. Sartelli et al. Prospective Observational Study on Acute Appendicitis
Worlwide (POSAW). Department of Surgery, Macerata Hospital,
Macerata, Italy Juni, 2018.

2. Bhangu, Evaluation of Appendicitis risk prediction models in adults with


suspected appendicitis. Academic Department of Surgery, University of
Birmingham, Jan 2020.

3. Gunawan.. Hubungan Rasio Neutrofil dan Limfosit dengan Appendicitis


akut di RSUD Pasar Minggu Tahun 2018-2019.

4. Goulart et al, Main Findings in Laboratory test diagnosis of acute


appendicitis : a prospective evaluation, June 2012.

5. Muslim T, Karakteristik Penderita Appendicitis Akut Pada Berbagai Rumah


Sakit Di Indonesia Periode Tahun 2010 sampai dengan Tahun 2019,
Fakultas Kedokteran Universitas Bosowa, 2020.

6. Tariani, Ni Made (2021) ASUHAN KEPERAWATAN NYERI AKUT


PADA PASIEN ANAK YANG MENGALAMI APPENDICITIS AKUT DI
IGD RSUD SANJIWANI GIANYAR TAHUN 2021. Diploma thesis,
Poltekkes Kemenkes Denpasar Jurusan Keperawatan 2021.

7. Bintang A, KARAKTERISTIK APPENDICITIS PADA PASIEN DI


RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN PADA JANUARI 2017 –
DESEMBER 2019, Fakultas Kedokteran, Universitas Muhammadiyah
Sumatera Utara, 2020

8. Mwachaka P, Variations in the position and length of the vermiformix


appendix in a Black Kenyan populations. Department of Human Anatomy,
University of Nairobi April 2014.

9. Huda N Claresta, Perbedaan Jumlah Leukosit pada PAsien Appendicitis


Non-perforasi dan Appendicitis Perforasi di RSD dr. Soebandi Jember,
Fakultas Kedokteran Universitas Jember, 2019

10. Putra HA, Wahid TOR, Fidiawati WA. Hubungan Mulai Nyeri Perut
dengan Tingkat Keparahan Appendicitis Akut Anak Berdasarkan
Klasifikasi Cloud di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau. 2015.

46
11. Sandy Craig, MD Residency Program Director, Carolinas Medical Center;
Associate Professor, Department of Emergency Medicine, University of
North Carolina at Chapel Hill School of Medicine, 2018.

12. Atikasari H, Hubungan Kebiasaan Makan dan Status Gizi Terhadap


Kejadian Appendicitis pada Anak di Yogyakarta, Departemen Kesehatan
Gizi, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Agustus 2015.

13. Sifri, C.D., & Madoff, L.C. 2019, ‘Appendicitis’ in Mandell, Douglas, and
Bennett’s Principle and Practice of Infectious Disease, 8th edn, eds. J.E Bennett,
R. Dolin & M. J. Blaser, Elsevier, Inc., Philadelphia

14. Richmond, B. 2017, ‘The Appendix’ in Sabiston Textbook of Surgery : Biological


Basis Modern Surgical Practice, 20th edn, eds. C. M. Townsend, R. D. Beauchamp,
B. M. Evers & K. L. Mattox, Elsevier, Inc., Philadelphian,

15. Alder Ac, 2019 The Effect of Environmental Factors on the Incidence of
Complicated Appendicitis in Mongolian Paediatric Population.

16. Nouri et Al, 2017, The risk factors for infected and perforated appendicitis.
Chemical Injuries Research Center, Baqiyatallah University of Medical
Sciences, Tehran, Iran 2017.

17. Arifuudin A, 2017. Faktor Risiko Kejadian Appendicitis di Bagian Rawat


Inap di Rumah Sakit Umum Anutapura Palu, Universitas Tadulako, 2017.

18. Warsinggih DI. Bahan Ajar Appendicitis Akut. Nusantara Medical Science.
2010

19. Sallinen A, 2016, Meta-Analysis of Antibiotics versus appendectomy for


non-perforated acute appendicitis, Departments of Abdominal Surgery and
Transplantation and Liver Surgery and Urology and Public Health,
Helsinki University Hospital and University of Helsinki, Findland 2016.

20. Sarosi, G.A. 2016, ‘Appendicitis’ in Sleisenger and Fordtran’s


Gastrointestinal and Liver Disease, 10th edn, eds. M. Feldman, L.S.
Friedman & L.J. Brandt, Saunders, United States of America

21. Brunicardi, 2015. Laparoscopy Assisted Appendectomy with extra-coporeal


ligation for acute appendicitis.

22. Salim MA dkk, 2021. HUBUNGAN HITUNG JENIS LEUKOSIT


DENGAN TINGKAT KEPARAHAN APPENDICITIS. Program Studi
Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran, Universitas Lambung Mangkurat,
Banjarmasin.

47
23. Wijaya dkk, 2021. Neutropil to lymphocyte ratio on admission to predict
the severity and mortality of Covid-19 patients. Universitas Indonesia,
2021.

48

Anda mungkin juga menyukai