PROPOSAL PENELITIAN
RADIT NOUVAL
1507601020016
LEMBAR PERSETUJUAN
Untuk diuji pada sidang terbuka di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Pembimbing I
Pembimbing II
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan proposal ini dengan judul Korelasi antara Neutrofil Limfosit Rasio
terhadap kematian pada pasien Gagal Ginjal Akut, ketertarikan untuk meneliti ini
karena data korelasi NLR dengan GGA terhadap kematian sangat jarang di Indonesia.
Proposal ini merupakan persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan dokter ahli
dibidang Ilmu Penyakit Dalam pada Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan rasa
hormat serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Prof. Dr. dr. Maimun Syukri, Sp.PD., KGH., FINASIM selaku Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh yang telah
memberikan motivasi, kesempatan, masukan dan memberikan semangat
serta dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan tulisan ini.
2. dr. Muhammad Riswan, Sp.PD., KHOM., FINASIM selaku Kepala
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas KedokteranUniversitas Syiah
Kuala/RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh yang telah memberikan
wawasan, kemudahan dan dorongan bagi penulis dalam menyelesaikan
tulisan ini.
3. dr. Abdullah, Sp.PD., KGH., FINASIM selaku Ketua Program Studi Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh
yang telah memberikan motivasi, arahan, kesempatan dan kemudahan bagi
penulis sampai selesainya proposal ini.
4. dr. Masralena Siregar, Sp.PD., FINASIM selaku Sekretaris Program Ilmu
Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Syiah KualaBanda Aceh
yang telah memberikan motivasi untuk menyelesaikan selesainya proposal
ini.
5. dr. Krishna Wardhana Sucipto, Sp.PD., KEMD., FINASIM selaku Chief of
the Clinic Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/ RSUD dr. Zainoel AbidinBanda Aceh yang tidak
henti-hentinya memberikan arahan, motivasi, kepercayaan dan ilmu yang
bermanfaat kepada penulis dalam menyelesaikan proposal.
iv
6. Prof. Dr. dr. Maimun Syukri, Sp.PD., KGH., FINASIM, dr. Abdullah.,
SpPD., KGH., FINASIM, dr. Desi Salwani, SpPD., FINASIM selaku
kepala divisi dan staff Ginjal Hipertensi, Program Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh yang telah
memberikan kesempatan melakukan penelitian didivisi Ginjal Hipertensi.
7. Seluruh staf Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/RSUD dr.Zainoel AbidinBanda Aceh yang
merupakan guru-guru saya yang telah banyak memberikan arahan,
bimbingan kepada saya selama mengikuti pendidikan.
8. Keluarga tercinta dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu yang telah banyak memberikan dorongan moral dalam penyelesaian
proposal penelitian ini.
DAFTAR ISI
v
DAFTAR TABEL ii
Gambar 2.2 Proses GGA yang disebabkan oleh proses infeksi dan non infeksi
Gambar 2.7. Mekanisme aksi limfosit pada gangguan perfusi ginjal…….. ...….16
DAFTAR SINGKATAN
BAB I
PENDAHULUAN
Insidensi Gagal Ginjal Akut (GGA) mencapai 400 per 100.000 orang
pertahun, angka mortalitas GGA di rumah sakit mencapai 24%, Perkiraan beban
global GGA menunjukkan bahwa lebih dari 13 juta orang terkena dampak setiap
tahun dan GGA menyumbang sebanyak 1,7 juta angka kematian per tahun.1
merupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi pada pasien kritis dan
berkaitan dengan lama rawatan di intensive care unit (ICU). Insidensi GGA pada
pasien yang dirawat di ICUsekitar 20 hingga 50% di seluruh dunia. Dari data Acute
Kidney Injury - Epidemiologic Prospective Investigation (AKI-EPI), GGA terjadi
pada lebih dari setengah pasien di ICU yaitu 57,3% dengan angka mortalitas sebesar
26,9%. Jumlah pasien GGAdi ICU yang harus menjalani Renal Replacement
Therapy (RRT) adalah sekitar 4% hingga 6%.2
Penyebab terjadinya GGA pada pasien yang dirawat di ICU seperti sepsis,
syok sepsis, obat-obatan nefrotoksik dan pembedahan besar, sepsis dan syok sepsis
merupakan penyebab yang paling umum dengan kejadian lebih dari 50% kasus
GGA di ICU.2
Neutrofil Limfosit Rasio (NLR) merupakan rasio dari jalur sistem imunologi
yang menjadi indikator respon inflamasi, neutrofil sebagai penanda reaksi inflamasi
nonspesifik dan limfosit sebagai penanda jalur regulator. NLR mengintegrasikan
dua subtipe leukosit menjadi satu prediktor yang dapat diaplikasikan untuk
menentukan tingkat luaran pasien GGA. NLR memiliki nilai prediksi akurat, low
cost dan berpotensi menjadi parameter prognostik yang efisien dan bermanfaat
peneliti NLR terhadap prognosis kejadian kardiovaskuler, post tindakan operasi
pada appendicitis, keganasan hingga kejadian sepsis banyak diteliti dalam 1 dekade
ini diseluruh dunia. Beberapa penelitian telah dilakukan diantaranya oleh Joanna
Gamaeeiro,dkk (2018) di Portugal yang meneliti skor baru kombinasi NLR dan
MELD Score sebagai prediktor GGA pada pasien sirosis, sejalan dengan penelitian
Alexander fisher,dkk (2016) di Australia, meneliti tentang pasien ortogeriatri
10
dengan NLR yang meningkat, dengan hasil NLR merupakan marker inflamasi
independen dalam memprediksi kematian. Penelitian terkait NLR juga telah
dilakukan di Indonesia oleh darmawan dkk, (2016) sebagai prediktor major adverse
kejadian SKA dalam rawatan 7 hari, dimana nilai NLR 3.5 merupakan prediktor
independen.
Korelasi NLR terhadap gangguan fungsi ginjal masih terbatas seluruh dunia,
terutama di Asia secara umum dan Indonesia secara khusus. Berdasarkan latar
belakang diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang korelasi antara
nilai NLR dan pasien GGA terhadap angka kematian.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah korelasi antara nilai NLR terhadap kematian pasien GGA yang
dirawat di ruang rawat inap Penyakit Dalam RSUDZA?
2. Berapakah tingkat korelasi antara nilai NLR terhadap kematian pasien GGA
yang diruang rawat Penyakit Dalam RSUDZA?
1. Mengetahui korelasi antara nilai NLR terhadap kematian pada pasien GGA
yang dirawat di ruang rawat inap Penyakit Dalam RSUDZA.
2. Mengetahui tingkat korelasi antara nilai NLR terhadap kematian pasien GGA
yang dirawat di ruang rawat Penyakit Dalam RSUDZA.
Pasien ortogeriatri
Pasien GGA >
dengan NLR yang
stadium 3,
meningkat
Alexander orthogeriatric,
Potong merupakan marker
1. fisher,dkk Australia pasien denga
Lintang inflamasi
2016 pemeriksaan NLR
independen dalam
dan penyebab
memprediksi
lain
kematian
Kombinasi skor
baruSCr, MELD
Joanna dan NLR
Potong Pasien Sirosis
2 Gamaeeiro,dkk Portugal menunjukkan
Lintang dengan GGA
2018 diskriminatif yang
kuat memprediksi
GGA pada Sirosis
Perubahan Nilai
NLR pada pasien
Potong
3 Devrim Bozkurt Turki Pasien GGA GGA signifikan
Lintang
sebagai prediktor
kematian
NLR lebih superior
dibandingkan
Pasien GGA dengan CRP dan
4 Hakki Yilmez Turki Kohort dengan sepsis Leukosit untuk
berat menilai prognosis
GGA pada Sepsis
berat
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Insiden GGA diseluruh dunia tidak diketahui secara pasti. Penelitian terbaru
di Amerika Serikat melaporkan setiap tahunnya yaitu sekitar 700.000 kematian di
Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang. Faktor rasio terjadi akibat usia tua, paparan
obat nefrotoksik, serta peningkatan tindakan pembedahan di rumah sakit. Tahun
1992–2001 rata-rata 23,8 kasus per 1.000 pasien dengan insidensi GGA sebesar
11% setiap tahunnya. Pada tahun 1998–2002 terjadi peningkatan kejadian dari 61
menjadi 2.888 kasus per 100.000 populasi.13
2.1.3 Patogenesis
Faktor pre renal ketika semua faktor yang menyebabkan peredaran darah ke
ginjal berkurang yang menyebabkan terdapatnya hipovolemia, misalnya: karena
perdarahan karena trauma operasi, Dehidrasi atau berkurangnya volume cairan
ekstraselluler (dehidrasi pada diare), Berkumpulnya cairan insterstitial di suatu
daerah luka. Bila faktor prarenal dapat diatasi, faal ginjal akan menjadi normal
kembali, tetapi jika hipovolemia berlangsung lama, maka akan terjadi kerusakan
pada parenkim ginjal. Faktor intrarenal ini merupakan penyebab terjadinya gagal
ginjal akut terbanyak. Kerusakan yang timbul di glomerulus atau tubulus
menyebabkan faal ginjal langsung terganggu. Prosesnya dapat berlangsung secara
cepat atau mendadak atau dapat juga berlangsung perlahan-lahan dan akhirnya
mencapai stadium uremia. Kelainan di ginjal ini dapat merupakan kelanjutan dari
hipoperfusi prarenal dan iskemia yang kemudian menyebabkan nekrosis jaringan
ginjal. Semua faktor post renal yang menyebabkan obstruksi pada saluran kemih
seperti kelainan bawaan, tumor, nefrolitiasis, dan keracunan jengkol harus bersifat
bilateral. Sistem klasifikasi yang telah ditetapkan menyederhanakan tumpang tindih
mekanisme yang patologis yang mendasari terjadinya GGA. Hipoperfusi jaringan
parenkim pada ginjal akibat hipovolemia atau hipotensi awalnya menyebabkan
peningkatan scara reversibel pada SCr. Oleh karena disfungsi sel secara terus
menerus, sel tubulus ginjal mengalami cedera iskemik yang dapat bertahan setelah
koreksi awal hipoperfusi. Pada pasien Intensive Care Unit (ICU) dengan GGA dan
rasio Blood Ureum Nitrogen (BUN) : Cr lebih besar dari 20:1 mengalami
peningkatan mortalitas lebih signifikan.
14
Gambar 2.2. Proses GGA yang disebabkan oleh proses infeksi dan non
infeksi akibat inisiasi oleh sel-sel imun dan faktor humoral
15
Sistem imun bawaan dan adaptif memiliki peran penting dalam patologi
terjadinya proses iskemik. Komponen sistem imun bawaan bertanggung jawab pada
respon awal terjadinya kerusakan terdiri dari neutrofil, monosit/makrofag, DC, sel
NK, dan sel natural killer T (NKT). Inisiasi komponen adaptif yang diaktivasi oleh
antigen spesifik, terjadi dalam beberapa jam dan bertahan hingga beberapa hari
setelah terjadinya cedera. Respon adaptif meliputi maturasi DC dan presentasi
antigen, proliferasi dan aktivasi limfosit T serta interaksi limfosit T dan B.28
Pada tahap awal, kematian sel tubular akan menginisiasi respon imun
bawaan. Sel nekrotik akan melepaskan molekul intraseluler dan kemudian
mengaktivasi Toll-like receptors (TLR) pada tissue-resident cells (sel dendritik,
fibroblas dan sel tubular) dan mengerahkan leukosit, yang akan menyebabkan
sekresi sitokin pro-inflamasi dan kemokin. Respon ini selanjutnya menyebabkan
berbagai jenis sel inflamasi untuk memasuki lokasi kematian sel, dan menambah
jumlah kematian sel. Respon inflamasi terkait molekul intraseluler ini merupakan
tahap paling awal setelah terjadinya cedera, dan sitokin yang dihasilkan oleh sel
imunitas bawaan mempengaruhi aktivasi respon imun adaptif, yang juga
meningkatkan dan mempertahankan respon ini.28
Gambar 2.4. GGA dapat memiliki efek mendalam pada sistem kekebalan
tubuh dan respon inflamasi, seperti yang disarankan oleh tingkat infeksi
yang diamati pada pasien dengan GGA. Secara khusus, GGA dapat
menyebabkan disfungsi sel imun (gangguan migrasi sel, membunuh bakteri
yang dilemahkan), serta mengubah homeostasis sitokin.
Pasien rawat inap, terutama pasien sakit kritis sering terpapar dengan bahan
neprotoksik dan kontras. Antimikroba, NSAID dan PPI merupakan obat-obat
umum yang diberikan pada populasi ini. GGA umumnya terjadi pada pasien setelah
mengalami operasi jantung. Selain itu faktor-faktor terkait operasi seperti waktu
yang dihabiskan untuk menggunakan mesin paru dan jantung, penggunaan Intra-
aortic ballon pump, kebutuhan transfusi darah dan hemodilusi berhubungan dengan
17
GGA. Sedangkan sepsis merupakan suatu faktor resiko umum untuk GGA dan
dapat menyebabkan keadaan semakin berat hingga meningkatkan resiko
kematian.16,17
2.1.6 Klasifikasi
Sistem klasifikasi GGA dengan kriteria RIFLE yang terdiri dari 3 kategori
yaitu berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau penurunan GFR atau kriteria
urine output yang menggambarkan beratnya penurunan fungsi ginjal dan 2 kategori
yang menggambarkan prognosis gangguan ginjal. Pada tahun 2005, AKIN
mengajukan modifikasi atas kriteria RIFLE. Modifikasi dilakukan untuk
mengupayakan peningkatan sensitivitas klasifikasi dengan merekomendasikan
beberapa modifikasi, kategori R, I, dan F pada kriteria RIFLE secara berurutan
sesuai dengan kriteria AKIN tahap 1, 2, dan 3. Kategori L dan E pada kriteria
RIFLE menggambarkan hasil klinis (outcome) sehingga tidak dimasukkan dalam
tahapan. Kemudian kriteria ini dimodifikasi lagi KDIGO, dimana kriteria ini
menggabungkan kriteria RIFLE dan AKIN.19
2.1.7 Diagnosis
Pemeriksaan klinis pada GGA meliputi pemeriksaan secara menyeluruh dari
semua sistem organ, sehingga dapat membantu diagnosis dan manajemen GGA.
Tanda-tanda klinis seperti artropati, ruam-ruam dikulit, murmur jantung, gejala
pada mata (skleritis, episkleritis) dan neuropati dapat memberikan informasi
diagnosis lebih lanjut. Balance cairan sangat penting, karena dapat memberikan
informasi penyebab penyakit ginjal dan penatalaksanaannya. Pemeriksaan klinis
pada pasien mencakup denyut nadi, tekanan darah (termasuk perubahan postural),
tekanan vena jugularis, perfusi perifer dan pengisian kapiler, turgor kulit serta
penilaian ada tidaknya edema paru ataupun perifer.18
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada GGA antara lain
pemeriksaan darah yang digunakan untuk memeriksa urea dan elektrolit termasuk
kreatinin serum, hitung darah lengkap, kimia tulang termasuk uji fungsi kalsium,
bikarbonat dan fungsi hati termasuk albumin. Dipstik urin wajib dilakukan, untuk
menilai darah, protein, leukosit, nitrit dan glukosa. Sedimen urin aktif diindikasikan
oleh hematuria atau proteinuria jika tidak ada infeksi saluran kemih dan dapat
menunjukkan glomerulonefritis yang mendasarinya. Ultrasonografi saluran ginjal
18
diperlukan untuk menyelidiki obstruksi potensial dan jika tidak ada kecurigaan
klinis obstruksi, diperlukan untuk mengkorfirmasi sistem anatomi saluran urin.
Investigasi lebih lanjut tergantung dari temuan pemeriksaan. Penanda inflamasi
seperti C-reactive protein (CRP) akan diperlukan jika ada kemungkinan sepsis.
Investigasi definitis pada GGA yang parah dan tidak dapat dijelaskan adalah
dengan melakukan biopsi ginjal. Tes ini mungkin diindikasikan untuk tujuan
diagnostik dan atau prognostik, tetapi mengingat resiko komplikasi yang signifikan
seperti perdarahan, maka pemeriksaan tersebut harus dilakukan dengan input dari
tim nefrologi.18
Kreatinin serum merupakan metabolit dari kreatinin yang merupakan sebuah
molekul yang disintesis dari asam amino glisin dan arginin di hati, pankreas dan
ginjal dan berfungsi sebagai cadangan fosfat berenergi tinggi pada otot skeletal.
Kadar kreatinin ditentukan oleh jumlah kreatinin yang dihasilkan di hati, pankreas,
ginjal, kreatinin pada diet (asupan daging merah), aktivitas otot dan status
kesehatan. Dengan berat molekul 113 Da, kreatinin secara bebas disaring oleh
glomeruli.4, 20
Diagnosis awal GGA sangat penting, karena GGA dapat reversible jika tidak
diobati segera dan durasi serta tingkat keparahan GGA juga berkorelasi dengan
luaran klinis. Kreatinin serum banyak digunakan sebagai biomarker untuk GGA
dan merupakan komponen inti dari kriteria KDIGO. Namun keterbatasannya harus
diperhitungkan ketika menilai pasien di IGD. Kisaran normal yang disediakan
laboratorium dapat memberikan infrmasi yang tidak sesuai, seperti tingkat kreatinin
yang dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti usia, jenis kelamin, massa otot dan
asupan makanan, tidak menunjukkan perubahan dinamis dalam tingkat filtrasi
glomerulus. Karena itu nilai mutlak harus dipertimbangkan dalam konteks klinis.
Sebagai contoh kreatinin 110 µmol/l tampak meningkat secara signifikan pada
wanita tua yang beratnya 50 kg, tetapi normal pada pria muda 100 kg.18
Panduan NICE (The National Institute for Health and Care Excellence)
terbaru menyarankan ambang rendah untuk kecurigaan GGA, merekomendasikan
bahwa serum kreatinin diperiksa dan dibandingkan dengan baseline untuk semua
pasien penyakit akut, terutama jika ditemukan salah satu kondisi berikut; GGK
(eGFR < 60 ml/min/1.73 m2), gagal jantung, penyakit hati, diabetes, riwayat GGA
sebelumnya, oliguri dimana output urine <0,5 ml/kg/jam, gangguan atau
ketidakmampuan neurologis atau kognitif, hipovolemia, obat nefrotoksik yang
diresepkan, agen kontras beryodium yang diberikan pada minggu sebelumnya,
gejala atau riwayat obstruksi urologi atau kondisi yang dapat menyebabkan
obstruksi, sepsis, dan usia ≥ 65 tahun.
Urine output merupakan tes yang paling cepat untuk mengetahui fungsi
ginjal. Penurunan urine output merupakan penanda biologis tertua untuk diagnosis
GGA. Penurunan urine GGA berdasarkan kriteria AKIN didasarkan pada
pengukuran urine output atau serum kreatinin. Menurut AKIN, kriteria urine output
untuk diagnosis GGA yaitu urin = 0,5 ml/kg/jam dalam waktu > 6 jam dan
perubahan kreatinin serum dari sekecil 26,5 umol/L (0,3 mg/dl), dianggap GGA
Stadium 1 dalam klasifikasi AKIN. Urine output menjadi kriteria valid dengan nilai
prognostik pada pasien GGA.22
2.1.8 Komplikasi
Komplikasi GGA muncul seiring derajat keparahannya. Komplikasi tersebut
mulai dari kelebihan cairan, hiponatremia, hiperkalemia, asidosis metabolik,
21
2.1.9 Prognosis
Kelangsungan hidup untuk keseluruhanpasien GGA relatif terbatas, sebanyak
55-60% pasien GGA yang memerlukan pengobatan dialisis dapat bertahan hidup,
tetapi sebagian menunjukkan hasil yang sangat buruk pada pasien dengan Tubular
Nekrosis Akut yang mengalami kegagalan multi organ dan dirawat di ICU. Data
registrasi menunjukkan resiko dialisis peritonial lebih rendah dibandingkan
hemodialis selama tahun pengobatan pertama pada pasien GGA. Angka
kelangsungan hidup pada pasien bergantung pada penyebab sakit ginjal stadium
akhir, usia dan terkait komorbiditas. Prognosis untuk pemulihan ginjal bervariasi
sesuai dengan kondisi penyebab. Pada Tubular Nekrosis Akut, fungsi ginjal akan
kembali normal mencapai 60%, meskipun 30% akan tersisa dengan GGA dan 10%
akan memerlukan dialisis.26
menghalangi aliran darah medula renal. Puncak perekrutan neutrofil pada renal,
termasuk transmigrasi, terjadi dalam 24 jam setelah cedera. Degranulasi neutrofil
akan melepas protease, myeoloperoxidase dan sitokin yang akan memperparah
cedera dan merusak sel endotelial dan epitelial pada medula luar.
Subset dari CD4+, sel Th17, melepaskan IL17 dan memediasi GGA setelah
syok sepsis. IL17 merupakan kemokin proinflamatori yang menstimulasi migrasi
neutrofil. Sel Th17 menjadi hiperaktif pada pasien dengan syok sepsis, dan
meningkatkan sirkulasi IL17 pada syok sepsis yang berhubungan dengan tingkat
luaran yang buruk. Sel T juga muncul sebagai mediator yang kuat pada GGA
nefrotoksik. Perekrutan sel T pada renal dimulai dalam 1 jam setelah administrasi
cisplatin, mencapai puncak dalam 12 jam dan menurun dalam 24 jam. Limfosit
CD4 muncul sebagai sel predominan yang menyebabkan cedera.27
miokardium. Selain itu pada ACS terjadi limfositopenia akibat peningkatan kortisol
endogen dan disregulasi faktor inflamasi sehingga limfosit tersupresi.31
Isaac dkk juga meneliti peningkatan NLR pada berbagai kondisi kronik.
Hasilnya didapatkan bahwa peningkatan NLR berhubungan dengan peningkatan
mortalitas pada pasien dengan penyakit hati dan kanker, namun tidak pada pasien
hemodialisis, diabetes dan hipertensi. NLR preoperasi pada pasien kanker menjadi
prediktor mortalitas yang kuat. Hal ini mencakup pada pasien dengan kanker
kolorektal, gastrik, hepatoselular, paru-paru, dan pankreas. Jumlah sub populasi sel
darah putih dapat berubah sebagai respons terhadap inflamasi yang terjadi di dalam
microenvironment tumor yang dipengaruhi oleh baik inflamasi lokal maupun
sistemik.32
Pada pasien tiroiditis hashimoto terdapat peningkatan NLR yang signifikan
dibandingkan dengan subjek kontrol (p=0,04). Tiroiditis hashimoto ditandai
dengan inflamasi prominen yang konsisten dengan inflamasi limfositik pada
kelenjar titroid. Peningkatan T3 intraseluler dapat menstimulasi produksi limfosit
yang menyebabkan peningkatan hitung limfosit pada pemeriksaan darah rutin.
Serum TSH yang lebih rendah berdampak pada penurunan T3 intraseluler di dalam
limfosit, yang berakhir pada peningkatan NLR.33
Rasio neutrofil-limfosit merupakan suatu parameter yang potensial terhadap
bakteremia terutama pada pasien yang dicurigai infeksi paru komuniti. Nilai rasio
neutrofil-limfosit dapat membedakan diagnostik pneumonia komuniti dengan TB
paru. Didapatkan nilai NLR lebih tinggi secara signifikan pada pasien pneumonia
komuniti bakteri ( 14.64±9.72 ) dibandingkan TB paru (3.67±2.12) P <0.001). Nilai
rasio >7 merupakan nilai cut-off yang optimal dalam diskriminasi pasien.
(sensitifitas 91.1%, spesifisitas 81.9%).
Nilai NLR juga secara signifikan lebih tinggi pada Systemic Lupus
Eritematous (SLE) dibandingkan dengan subjek kontrol (median 2.52 (range 1.01-
10.92) vs median 1.65 (range 0.77-4.59): p=0.007). Tidak ditemukan adanya
perbedaan jumlah neutrofil yang signifikan pada kedua grup, namun nilai NLR
yang tinggi SLE disebabkan oleh jumlah limfosit yang rendah. NLR dengan cut-
off value >1.93 dapat digunakan sebagai marker inflamasi pada subjek SLE dengan
sensitivitas 70% dan spesifisitas 67%. Komplikasi hematologi sering muncul pada
26
dan 90%. NLR yang tinggi pada awal fase sepsis berhubungan dengan outcome
yang buruk. Penurunan NLR yang signifikan pada fase akhir menunjukan bahwa
penurunan NLR berhubungan dengan survival rate.40
Nilai NLR memiliki hubungan yang signifikan dengan sepsis dan sepsis berat
dibandingkan dengan marker infeksi bakteri konvensional seperti CRP, hitung
leukosit, serum laktat, netrofilia dan limfositopenia saja. Nilai prediktif positif dan
nilai prediktif negatif juga tertinggi para parameter NLR. Nilai NLR terbukti dapat
menjadi marker infeksi yang sederhana dengan kapasitas diskriminasi yang baik
sebagai prediktor bakteremia pada kasus emergensi dengan infeksi dengan berbagai
keuntungan diantaranya murah dan tidak diperlukan pengambilan sampel
tambahan.42
dan memicu pelepasan sitokin proinfamasi baik lokal maupun sistemik. GGA
aseptik dapat disebabkan oleh nefrotoxin atau IRI pada renal. Invasi patogen selama
sepsis atau kerusakan organ karena selama aseptik mengaktivasi sistem imunitas
bawaan. DAMPs menggambarkan pelepasan komponen intraseluler dari sel
nekrotik. PAMPs merupakan conserved molecular yang yang diekspresikan pada
invasi mikroorganisme. Baik DAMPs maupun PAMPs akan melekat pada Toll-like
receptors, memprovokasi kaskade host spesific selama fase pertahanan awal dari
sistem imunitas bawaan. Kaskade ini meliputi transkripsi pro-IL18 dan proIL1β,
berperan sebagai sinyal awal dalam complex signaling process, yaitu inflamasom.
Inflamasom akan memperkuat aktivasi pro-IL18 dan IL1β.27
biomarker lain diteliti untuk digunakan sebagai marker diagnostik GGA, seperti
kidney injury molecule-1 (KIM-1), Neutrophil Gelatinase-Associated Lipocalin
(NGAL), interleukin 18 (IL-18), liver fatty acid binding protein (L-FABP) dan ɑ-
dan π-glutathione-S-transferase (GST).43
Penyebab GGA harus dapat ditentukan secepat mungkin dan stratifikasi
risiko pasien terhadap berdasarkan pajanan dan kerentanannya. Konsensus KDIGO
merekomendasikan beberapa langkah saat GGA telah diidentifikasi seperti
menghentikan semua agen nefrotoksik jika memungkinkan, koreksi hipovolemia,
monitoring fungsi hemodinamik, serum kreatinin dan urin outoput. Pada pasien
dengan GGA yang berat, RRT merupakan salah satu manajemen suportif.14
Mortalitas pasien GGA di ICU sangat tinggi. Hal ini berhubungan dengan
tingginya kebutuhan dialisis. Angka kematian pasien dialisis dengan GGA yang
berat dan kegagalan multi organ mencapai 80%. Level kreatinin dan urea yang
tinggi bersamaan dengan penggunaan ventilasi mekanik yang invasif selama
perawatan ICU menjadi faktor risiko independen terhadap kejadian GGA. Lebih
spesifik, faktor resiko untuk dialisis pada pasien GGA adalah adanya morbiditas,
kebutuhan ventilasi mekanik, sepsis selama perawatan, nilai GCS yang rendah,
tingginya APACHE II dan skor SOFA serta lamanya perawatan di ICU.14
Studi terbaru menunjukkan bahwa NLR berhubungan dengan fungsi ginjal
dan perkembangan GGA dengan septik, dan juga dapat digunakan sebagai
prediktor pada pasien yang menjalani hemodialisis dan dialisis peritoneal. NLR
juga berhubungan signifikan dengan lama rawatan di ICU dan mortalitas pada
pasien dengan GGA denganseptik. Studi ini menunjukkan nilai NLR pada pasien
GGAsecara signifikan lebih tinggi dibandingkan pasien Non GGA yang dirawat di
ICU (p<0.001) dengan kesimpulan bahwa NLR dapat digunakan sebagai prediktor
independen terhadap GGA dengan septik (OR=1.047, p=0.026) dengan cut-off
point 17,11 (sensitifitas 62,1% dan spesifisitas 68,9%). NLR lebih unggul di
dibandingakan C-reactive protein (CRP) sebagai prediktor kejadian GGA pada
pasien sepsis berat.28, 44
Peningkatan NLR juga ditemukan pada pasien GGA pasca pembedahan
abdomen yang dirawat di ICU dengan cut-off>4.86 (p<0.001). Pelepasan
endotoksin dari iskemia saluran cerna, gangguan perfusi viseral dan endotoksemia
34
Hipoperfusi jaringan
Peningkatan koagulasi
Penurunan antikoagulasi Penurunan oksigenasi
jaringan
Disfungsi organ
Gangguan fungsi barrier
pembuluh darah
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS
Keterangan :
Subjek Penelitian
3.2 Hipotesis
1. Kadar NLR serum berkorelasi positif terhadap angka kematian di ruang rawat
inap penyakit dalam RSUDZA.
2. Penilaian kadar NLR berkorelasi kuat terhadap angka kematian di ruang
rawat inap penyakit dalam RSUDZA.
37
No Variabel Definisi Alat ukur Metode ukur Hasil ukur Skala ukur
1. Nilai NLR Pengukuran nilai NLR penanda inflamasi Laboratorium Secara immunofloresensi Perbandingan nilai Rasio
subklinis dengan cara membagi dari total dengan metode enzyme neutrofil dengan
jumlah absolut Neutrofil dengan jumlah linked immunosorbant assay limfosit
absolut limfosit rawatan bangsal ilmu (ELISA) dengan teknik
penyakit dalam di Rumah Sakit Umum Double Antibody Sandwich
Zainoel Abidin.
2. Gagal Ginjal Diagnosa yang ditegakkan berdasarkan Laboratorium Enzimatik Diagnosis GGA Ordinal
Akut Kriteria KDIGO
3 Luaran Kondisi berupa status hidup pasien selama Observasi Melakukan pengamatan Hidup Nominal
perawatan di rumah sakit terhadap diagnosis selama pasien dirawat Meninggal
suatu penyakit rumah sakit hingga 3 bulan
38
BAB IV
METODE PENELITIAN
72
𝑛=
1 + 72(0,05)2
𝑛 = 61 Orang
Selain menilai korelasi antara NLR dan Luaran pasien dengan GGA,
peneliti juga akan menilai resiko relatif. Resiko relatif adalah istilah statistik yang
menggambarkan risiko terjadinya peristiwa tertentu pada satu kelompok
dibandingkan pada kelompok lain. Penilaian resiko relatif dinilai menggunakan
tabel 2 x 2 berikut:
42
Luaran
Total
Meninggal Hidup
Meningkat A B A+B
NLR
Normal C D C+D
Total A+C B+D A+B+C+D
𝐴/𝐴+𝐵
Resiko relatif =
𝐶/𝐶+𝐷
Jika angka risiko relatif = 1, maka tidak ada perbedaan risiko antara kedua
kelompok.
Jika angka risiko relatif < 1, berarti kelompok yang kelompok yang memiliki NLR
tinggi lebih kecil resikonya untuk meninggal dibandingkan yang memiliki NLR
normal.
Jika angka risiko relatif > 1, berarti kelompok yang kelompok yang memiliki NLR
tinggi lebih besar resikonya untuk meninggal dibandingkan yang memiliki NLR
normal.
Kriteria Inklusi
Luaran Pasien
Hidup Meninggal
1 Persiapan proposal X
2 Sidang Proposal X
3 Pengumpulan data X
4 Analisa data X
5 Seminar hasil X
4.9 Personalia
1. Peneliti utama : dr.Radit Nouval
NIM : 1507601020003
2. Pembimbing I : Prof.Dr.dr.Maimun Syukri., SpPD.,KGH.,FINASIM
NIP : 19611225 199002 1 001
3. Pembimbing II : dr. Abdullah, Sp.PD., KGH., FINASIM
NIP : 19620206 198910 1 001
4. Peneliti Pembantu : Peserta PPDS Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala yang bertugas di ruang
rawat inap Penyakit Dalam RSUDZA Banda Aceh.
DAFTAR PUSTAKA
14. Flood L, Nichol A. Acute kidney injury and the critically ill. Anaesthesia &
Intensive Care Medicine. 2018;19(3):113-8.
15. Amelia P, Lubis M, Trisnawati Y. Gangguan ginjal akut pada keadaan kritis.
Majalah Kedokteran Nusantara The Journal Of Medical School. 2014;47(2).
16. Hertzberg D, Rydén L, Pickering JW, Sartipy U, Holzmann MJ. Acute kidney
injury—an overview of diagnostic methods and clinical management. Clinical
kidney journal. 2017;10(3):323-31.
17. Awdishu L, Wu S. Acute Kidney Injury. CCSAP; 2017.
18. Duthie FA, Hughes J. Management of Acute Kidney Injury: Advice for the
Acute Receiving Unit. Scottish Universities Medical Journal. 2014;3(2).
19. Dennen P, Douglas IS, Anderson R. Acute kidney injury in the intensive care
unit: an update and primer for the intensivist. Critical care medicine.
2010;38(1):261-75.
20. Verdiansyah. Pemeriksaan Fungsi Ginjal. CDK. 2016;43(2):149-51.
21. Makris K, Spanou L. Acute kidney injury: diagnostic approaches and
controversies. The Clinical Biochemist Reviews. 2016;37(4):153.
22. Utami R. Angka Kejadian Acute Kidney Injury Berdasarkan Kriteria Akin di
Ruang Icu di RSU Dr. soedarso Tahun 2013. Jurnal Mahasiswa PSPD FK
Universitas Tanjungpura. 2015;3(1).
23. Melyda. Diagnosis dan Tatalaksana Acute Kidney Injury (AKI) pada Syok
Septik. CKD. 2017;44(12):908-9.
24. Ftouh S, Lewington A. Prevention, detection and management of acute kidney
injury: concise guideline. Clinical Medicine. 2014;14(1):61-5.
25. Suardana IK, Kandarini Y, Suwitra K. Korelasi stadium acute kidney injury
dengan kadar fosfat serum. Medicina. 2016;47(3):17.
26. Nazar CMJ, Bashir F, Izhar S, Anderson J. Overview of management of acute
renal failure and its evaluation; a case analysis. Journal of
nephropharmacology. 2015;4(1):17-21.
27. Singbartl K, Formeck CL, Kellum JA, editors. Kidney-immune system
crosstalk in AKI. Seminars in nephrology; 2019: Elsevier.
28. Bu X, Zhang L, Chen P, Wu X. Relation of neutrophil-to-lymphocyte ratio to
acute kidney injury in patients with sepsis and septic shock: A retrospective
study. International immunopharmacology. 2019;70:372-7.
29. Alfeilat MA, Slotki I, Shavit L. Single emergency room measurement of
neutrophil/lymphocyte ratio for early detection of acute kidney injury (AKI).
Internal and emergency medicine. 2018;13(5):717-25.
46