Anda di halaman 1dari 24

CLINICAL SCIENCE SESSION

* Kepaniteraan Klinik Senior/G1A220027/M e i 2 0 2 2


**Pembimbing: dr. Andi Hutarius, Sp. An

Pulih Sadar
Andi Samsi Alam, S.Ked* dr. Andi Hutarius, Sp. An**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ANESTESI RSUD RADEN MATTAHER JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2022

i
LEMBAR PENGESAHAN

CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)

Pulih Sadar

Oleh:
Andi Samsi Alam, S.Ked

G1A220027

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU ANESTESI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI / RSUD RADEN MATTAHER PROV.JAMBI

Jambi, Mei 2033

dr. Andi Hutarius, Sp.An

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas rahmat yang diberikan Allah SWT, dan atas segala kemudahan yang
diberikannya sehingga laporan refrat ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Tidak lupa shalawat dan salam kepada junjungan dan teladan kita nabi Muhammad
SAW.
Refrat dengan judul “Pulih Sadar” dibuat sebagai salah satu syarat pada
kepaniteraan klinik senior di Bagian Anestesi RSUD Raden Mattaher Jambi. Ucapan
terima kasih yang tulus dan penghargaan yang setingi-tingginya saya berikan kepada
dr. Andi Hutarius, Sp. An selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan
kepada penulis saat mengikuti kepaniteraan klinik senior di Bagian Anestesi RSUD
Raden Mattaher Jambi.
Penulis menyadari bahwa refrat ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih
terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dapat
diharapakan untuk kesempurnaan di masa yang akan datang. Saya berharap semoga
refrat ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.

Jambi, Mei 2022

Penulis

iii
DAFTRAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................................ ii


KATA PENGANTAR ............................................................................................... iii
DAFTAR ISI .............................................................................................................. iv
BAB I ........................................................................................................................... 1
BAB II .......................................................................................................................... 3
2.1. Pulih Sadar ....................................................................................................... 3
2.1.1 Waktu Pulih Sadar ..................................................................................... 3
2.2 Anestesi Inhalasi ............................................................................................... 7
2.2.1 Konsep Uap ................................................................................................ 8
2.2.2 Status Fisik ................................................................................................. 8
2.2.3 Stadium Anestesi ....................................................................................... 8
2.2.4 Jenis Anestesi Inhalasi............................................................................9
2.3 Isofluran ........................................................................................................... 10
2.3.1 Farmakokinetik ........................................................................................ 12
2.3.2 Efek Samping ........................................................................................... 14
2.3.3 Keuntungan .............................................................................................. 14
2.3.4 Kelemahan .................................................................................................15
2.3.5 Dosis .........................................................................................................15
2.4. Sevofluran....................................................................................................... 15
2.4.1 Efek Samping ........................................................................................... 17
2.4.2 Keuntungan .............................................................................................. 17
2.4.3 Kelemahan ............................................................................................... 17
2.4.4 Dosis ........................................................................................................ 17
BAB III KESIMPULAN .......................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 19
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pulih dari anestesi umum atau dari analgesia regional secara rutin dikelola di

ruang pemulihan (Recovery Room) atau disebut juga Post Anesthesia Care Unit (PACU).

Idealnya adalah bangun dari anestesi secara bertahap, tanpa keluhan dan mulus dengan

pengawasan dan pengelolaan secara ketat sampai dengan keadaan stabil.1

Prosedur pembedahan harus menjalani anestesi dan melalui tahap pasca bedah,

maka setiap pasien yang selesai menjalani operasi dengan anestesi umum ataupun

anestesi regional terlebih dahulu dirawat di ruang pemulihan sebelum pindah keruang

perawatan atau langsung dirawat di ruang intensif. 1

Ruang pemulihan adalah ruangan yang berdekatan dengan kamar operasi untuk

merawat pasien pasca operasi yang masih dibawah pengaruh anestesi. Di ruang ini dokter

bedah, anestesi dan perawat memantau keadaan pasien setelah menjalani operasi.

Fase pasca operatif dapat terjadi kegawatan, sehingga perlu pengamatan serius

dan harus mendapat bantuan fisik dan psikologis sampai pengaruh anestesi berkurang dan

kondisi umum stabil. Perawatan di ruang pemulihan bertanggung jawab memberikan

perawatan pada pasien pasca operatif. Peranan perawat pada pasien di ruang pemulihan

sangat diperlukan dalam memberikan bantuan keperawatan dan mengontrol komplikasi

dan evaluasi kembalinya fungsi-fungsi tubuh yang optimal.1

Studi prospektif yang baru juga mengatakan bahwa lebih dari 12.000 pasien yang

telah dilaporkan, ternyata 7% dari komplikasi yang bermakna terjadi di ruang pulih

1
sadar. Pasca operasi anestesi umum dapat terjadi komplikasi ringan sampai dengan

berakibat fatal, yang berupa hipovolemia, kegagalan napas, pengelolaan pasca bedah

yang tidak kuat bahkan bisa terjadi kematian.2

Potensi komplikasi yang mengancam jiwa biasanya terjadi dalam beberapa jam

pertama setelah anestesi atau operasi. Ini didukung oleh hasil analisis ASA. Mekanisme

yang paling umum dari cedera ini adalah peristiwa pernapasan pada periode pasca

operasi. Selanjutnya, peristiwa ini dianggap dapat dicegah dengan melihat denyut nadi

dalam periode pemulihan. Oleh karena itu, yang mengenai semua pasien dari jenis

anestesi setelah selesainya operasi harus dirawat diruang pemulihan. Setelah efek anestesi

mulai hilang, pasien kemudian dapat dipindahkan keluar dari ruang pemulihan atau ke

bangsal. Menurut Direktorat Jenderal Pelayanan Medikdan Keperawatan Departemen

Kesehatan tahun 2009 bahwa ketergantungan pasien di ruang pemulihan adalah 60

menit.2

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pulih Sadar

2.1.1 Waktu pulih sadar


Pulih sadar merupakan periode di mana pasien masih mendapatkan
pengawasan dari ahli anestesi setelah pasien meninggalkan meja operasi. 3
Pengawasan tersebut ditangani di Recovery Room. Ruangan tersebut
diperkenalkan pada tahun 1923 sebagai lokasi pilihan untuk pemulihan
segera pasien paska operasi.3
Pada masa transisi, kesadaran pasien masih belum sempurna
sehingga cenderung terjadi komplikasi serius seperti terjadinya aspirasi
dikarenakan sumbatan jalan napas yang lebih besar ditambah lagi dengan
reflek batuk, muntah, dan menelan juga belum kembali normal. 3
2.1.1.1 Tujuan pemeriksaan waktu pulih sadar

Tujuan dari pemeriksaan waktu pulih sadar adalah untuk


memulihkan kesehatan fisiologi dan psikologi dari pasien, antara lain:3,4
1) Mempertahankan jalan napas.
2) Mempertahankan ventilasi/oksigenasi.
3) Mempertahankan sirkulasi darah.
4) Observasi keadaan umum, observasi vomitus dan drainase.
5) Keseimbangan cairan input dan output juga perlu diperhatikan.
6) Mempertahankan kenyamanan dan mencegah risiko luka

University of Pittsburgh Medical Center (UPMC) mengatakan


bahwa kriteria pasien dapat dipulangkan tergantung pada jenis operasi
dan prosedurnya, sehingga dapat dinilai apakah pasien dapat keluar dari
Recovery Room ke ruang rawat inap yang sesuai atau kembali ke Unit
Bedah Harian. Berikut merupakan beberapa kondisi yang dapat mendasari
keputusan tersebut di atas :

3
a) Pemulihan dari anestesi:3,4
1) Pada anestesi umum, pasien harus terjaga dan keadaan
mentalnya kembali normal.
2) Pada anestesi spinal, pasien harus mampu merasakan dan
menggerakkan kaki sebagaimana pasien dapat menggerakkan
kakinya sebelum operasi.
b) Tanda-tanda vital harus stabil dan suhu dasar harus normal.
c) Rasa nyeri harus terkontrol.
d) Jika terjadi mual atau muntah, maka pasien butuh untuk tinggal
lebih lama di Recovery Room.
e) Menggigil berlebihan dan hilangnya panas tubuh karena anestesi
juga membutuhkan waktu untuk tinggal lebih lama di Recovery
Room.
f) Tergantung pada operasi dan jenis anestesinya, pasien mungkin
membutuhkan obat yang membantu mengontrol detak jantung,
tekanan darah, pernapasan, atau gangguan seperti diabetes, dan
membutuhkan waktu tinggal lebih lama di Recovery Room.
Jika semua kriteria terpenuhi, pasien dapat ke Ruang Rawat Inap
atau Unit Bedah Harian.

2.1.2 Penilaian waktu pulih sadar


Sampai saat ini tidak ada kesepakatan bersama mengenai penilaian yang
digunakan untuk menilai kesiapan pasien meninggalkan Recovery Room.
Umumnya rumah sakit menggunakan penilaiannya dengan sistem
penilaian Aldrete Score dalam menentukan kondisi umum, tingkat
kesadaran dan kesiapan pasien setelah anestesi untuk bisa keluar dengan
aman dari Recovery Room.4

a. Aldrete score

Aldrete score adalah skor pemulihan paska anestesi yang


dikembangkan oleh J. Antonio Aldrete, MD dan diterbitkan pertama kali
pada tahun 1979 dan diperbaharui pada tahun 1995. Aldrete score
merupakan kriteria yang menyatakan stabil atau tidaknya pasien setelah
anestesi yang diukur meliputi pengukuran kesadaran, aktivitas, respirasi,
sirkulasi (tekanan darah, laju pernafasan), dan warna kulit. Penggunaannya
didukung oleh Joint Commision on Accredition of Healthcare

4
Organizations (JCAHO), khususnya untuk menilai kemampuan
mengevaluasi kondisi pasien yang telah menjalani anestesi umum.5

Skor yang diperoleh dari kriteria Aldrete score ini berkisar 1- 10


(Tabel 2.1.1). Pasien akan dinilai saat masuk ke Recovery Room, setelah itu
dinilai kembali setiap 15 menit sekali secara berkala selama 4 kali
kemudian skor total akan dihitung dan dicatat pada catatan penilaian (Tabel
2.1.2). Pasien dengan skor kurang dari 7 harus tetap berada di Recovery
Room sampai kondisi membaik atau bisa juga dipindahkan ke bagian
perawatan intensif, tergantung pada nilai dasar pra-operasi pasien (Brunner
et al., 2010). International Anestesia Research Society (2010) menyebutkan
apabila pasien yang mendapatkan nilai skor 8 atau lebih dapat dibawa
pulang ke rumah.

Lamanya pasien tinggal di Recovery Room tergantung dari teknik


anestesi yang diguncaokmamn it.5 Pasien dikirim ke Intensive Care Unit
(ICU) apabila hemodinamik tidak stabil perlu bantuan inotropik dan
membutuhkan ventilator (Mechanical Respiratory Support).

5
Tabel 2.1.1 Aldrete Scoring System6

RECOVERY SCORE
KRITERIA
In 15 30 45 60 Out

2 2 2 2 2 2
Dapat bergerak 4 anggota gerak
Aktifitas volunter atau atas 2 anggota gerak 1 1 1 1 1 1
perintah
0 0 0 0 0 0
0 anggota gerak
Mampu bernapas dan batuk secara 2
2 2 2 2 2
bebas
Respirasi 1 1 1 1 1 1
Dyspnea, nafas dangkal atau terbatas
0 0 0 0 0 0
Apnea
Tensi 20 mmHg 2
2 2 2 2 2
preop
Tensi 20 – 50
Tensi pre-op …. 1
Sirkulasi mmHg dari 1 1 1 1 1
mmHg
preop
Tensi 50 mmHg 0
0 0 0 0 0
preop
Sadar penuh 2 2 2 2 2 2

Kesadaran Bangun waktu dipanggil 1 1 1 1 1 1

Tidak ada respons 0 0 0 0 0 0

Normal 2 2 2 2 2 2
Warna 1
Pucat kelabu 1 1 1 1 1
kulit
Sianotik 0 0 0 0 0 0

6
2.2 Anestesi Inhalasi
Anestesi inhalasi cukup banyak digunakan sebagai pilihan
anestesi saat ini dikarenakan cukup aman, meskipun peralatannya
rumit dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit 6. Keunggulan
anestesi inhalasi adalah konsentrasi obat anestesi yang
dapat lebih tinggi pada darah arteri karena obatnya masuk melalui
sirkulasi paru6. Selain itu, potensinya juga tinggi dan konsentrasinya
dapat dikendalikan melalui mesin sehingga memungkinkan titrasi
dosis sesuai respon yang diinginkan. Campuran dari obat anestesi
dan oksigen melalui jalur pernafasan masuk ke dalam paru-paru dan
akan berdifusi dari alveoli ke pembuluh-pembuluh kapiler sesuai
sifat masing-masing obat anestesi inhalasi itu sendiri, kemudian
akan beredar dalam darah menuju jaringan atau organ dimana obat
anestesi itu bekerja, seperti ke otak, jantung, serta otot. Dalamnya
anestesi tergantung pada kadarnya di sistem saraf pusat. Kadar
tersebut ditentukan oleh faktor yang memengaruhi transfer
anestesi dari alveoli paru ke darah dan dari darah ke jaringan otak.
Faktor yang menentukan kecepatan transfer anestesi di jaringan otak
ditentukan oleh (1) kelarutan zat anestesi, (2) kadar anestesi dalam
udara yang dihirup pasien atau disebut tekanan parsial anestesi, (3)
ventilasi paru, (4) aliran darah paru, dan (5) perbedaan antara
tekanan parsial anestesi di darah arteri dan di darah vena. 6,7
Dalam praktek, kelarutan zat inhalasi dalam darah merupakan
faktor utama yang penting dalam menentukan kecepatan induksi dan
pemulihannya. Induksi dan pemulihan berlangsung cepat pada zat
yang tidak larut dan lambat pada yang larut. Kadar Alveolus
Minimal (KAM) atau Minimum alveoli concentration
(MAC) adalah kadar minimal zat tersebut dalam alveolus pada
tekanan satu atmosfir yang diperlukan untuk mencegah gerakan pada
50% pasien yang dilakukan insisi standar. 6,7
Pada umumnya imobilisasi tercapai pada 95% pasien, jika
kadarnya dinaikkan di atas 30% nilai KAM. Dalam keadaan
seimbang, tekanan parsial zat anestestik dalam alveoli sama dengan
tekanan zat dalam darah dan otak tempat kerja obat.

7
2.2.1 Konsentrasi uap anestesi dalam alveoli selama induksi
ditentukan oleh:8
a. Konsentrasi inspirasi
Secara teoritis apabila saturasi uap anestesi di dalam jaringan
sudah penuh, maka ambilan paru berhenti dan konsentrasi uap
inspirasi sama dengan alveoli. Berbeda dengan prakteknya,
induksi akan semakin cepat jika konsentrasi semakin tinggi,
tetapi jika tidak terjadi depresi napas atau kejang laring.
b. Ventilasi alveoli
Ventilasi alveoli meningkat, konsentrasi alveoli semakin tingi
dan sebaliknya.
c. Koefisien darah/gas
Semakin tinggi angkanya, semakin cepat larut dalam darah,
semakin rendah konsentrasi dalam alveoli dan sebaliknya.
d. Curah jantung atau aliran darah paru
Semakin tinggi curah jantung, semakin cepat uap diambil.
e. Hubungan ventilasi perfusi
Gangguan hubungan ini memperlambat ambilan gas anestesi.
Jumlah uap dalam mesin anestesi bukan merupakan gambaran
yang sebenarnya, karena sebagian uap tersebut hilang dalam
tabung sirkuit anestesi atau ke atmosfir sekitar sebelum
mencapai pernafasan.

2.2.2 Status Fisik


Penentuan status fisik pasien dalam perencanaan tindakan anestesi
berdasarkan klasifikasi American Society of Anesthesiologist (ASA)
dibagi dalam 6 kelompok sebagai berikut: 6,8

1. ASA 1 : pasien dalam keadaan sehat yang memerlukan


operasi.
2. ASA 2 : pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai
sedang, baik karena penyakit bedah maupun penyakit lain.
3. ASA 3 : pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat
yang disebabkan oleh berbagai penyebab.
4. ASA 4 : pasien dengan penyakit berat dan mengancam
kehidupannya.

8
5. ASA 5 : pasien yang tidak diharapkan hidup setelah 24 jam
meski dioperasi atau tidak.
6. ASA 6 : pasien dengan kematian batang otak dan organnya
dapat diambil.

2.2.3 Stadium Anestesi


Berikut ini merupakan tahap yang penting untuk diperhatikan
dalam anestesi eter yang awitan kerja sentralnya lambat akibat
kelarutannya yang tinggi dalam darah sehingga tiap tahap dapat
dilihat dengan jelas:
a. Tahap I, stadium analgesi.
Awalnya pasien mengalami analgesi tanpa disertai amnesia
(hilangnya kesadaran) dan di akhir stadium I baru didapatkan
amnesia dan analgesi
b. Tahap II, stadium eksitasi (delirium).
Mulai dari hilangnya kesadaran (amnesia) sampai permulaan
tahap bedah. Tahap I dan II bersama-sama disebut tahap induksi.
c. Tahap III, stadium operasi (Surgical Stage).
Mulai dari berakhirnya tahap II sampai berhentinya napas
spontan (apnea). Pada tahap ini pembedahan dapat dilakukan.
Tahap ini dibagi menjadi 4 bidang (plane).
d. Tahap IV, stadium depresi medula oblongata (medullary
paralysis).
Mulai dari berhentinya napas spontan sampai gagalnya sirkulasi
(henti jantung). Tahap ini disebabkan oleh kelebihan dosis
(overdose, terlalu dalam, keracunan) sehingga terjadi kelumpuhan
pada pusat pernapasan dan sirkulasi yang letaknya di medula
oblongata. Empat tujuan stadium ini dapat dilihat dengan
pergerakan bola mata, reflek mata, dan ukuran pupil, yang dalam
keadaan tertentu menandai peningkatan kedalaman anestesi.

2.2.4 Jenis anestesi inhalasi

Obat anestesi inhalasi yang paling banyak digunakan adalah


isofluran, desfluran dan sevofluran (Tabel 2.2). Senyawa-senyawa ini
merupakan cairan volatil yang memiliki beberapa perbedaan efek pada
bidang farmakologinya (Tabel 2.3) Dari semua anestesi inhalasi yang
9
tersedia, N₂O, sevofluran, isofluran dan desfluran merupakan jenis
anestesi inhalasi yang paling banyak digunakan di Amerika Serikat.
Dari penelitian sebelumnya didapatkan waktu ekstubasi dan
waktu tinggal pasien di Recovery Room secara signifikan lebih lama
pada kelompok isofluran dibanding dengan sevofluran (Barash et
al., 2013). Perhatian utama bidang anestesi selain keamanan dan
keselamatan pasien adalah pemulihan kesadaran penuh pada pasien
dengan menggunakan kriteria aldrete score.

Tabel 2.2 Fisik dan Kimia Anestesi Inhalasi8

Nitrous
Oxide
Anestesi Inhalasi
(N₂O) Halotan Enfluran Isofluran Desfluran Sevofluran
Berat molekul 44 197 184 184 168 200
Titik didih (°C) -68 50.2 56.6 48.5 22.8 58.5
Tekanan uap 5200 243-244 172-174.5 238-240 669-673 160-170
(mmHg; 20°C)
Bau Manis Organik Eter Eter Eter Eter
Pengawet - Perlu - - - -
Turunan eter Bukan Bukan Ya Ya Ya Ya
Koefisien partisi 0.46 2.54 1.90 1.46 0.42 0.65
darah/gas

Anestesi inhalasi paling banyak dipakai untuk induksi pada pediatri atau pasien
anak-anak dimana cukup sulit apabila dilakukan lewat jalur intravena. Di sisi lain,
bagi pasien dewasa biasanya dokter anestesi lebih menyukai induksi cepat dengan
agen intravena. Meskipun demikian, sevofluran masih menjadi obat induksi pilihan.
Perbandingan anestesi inhalasi secara fisik-kimia maupun secara klinik farmakologi
dapat dilihat pada tabel berikut.8
2.3 Isofluran
a. Sifat umum
Isofluran yang memiliki nama kimia 1-chloro- 2,2.trifluoroethyl difluoromethyl ether
merupakan eter metil etil terhalogenasi eter yang dikemas dalam bentuk cairan, tidak
berwarna, tidak eksplosif, tidak mengandung zat pengawet dan relatif tidak larut
dalam darah, namun baunya relatif tajam sehingga kadar obat yang tinggi dalam udara
inspirasi cukup iritatif sehingga membuat pasien menahan nafas dan batuk. Sifatnya tidak

10
mudah meledak/terbakar, stabil, mendidih pada 48,5°C pada 760 mmHg tekanan atmosfer,
batas keamanan yang cukup lebar dan kemampuan relaksasi otot yang baik membuatnya
digunakan secara luas dan banyak menjadi pilihan bagi kalangan medis.
Penelitian oleh Frink dkk, pasien yang dianestesi dengan isofluran kurang dari 1 jam,
dapat membuka mata dengan perintah kira – kira 7 menit setelah anestesi dihentikan.
Pemberian yang lebih lama, yaitu selama 5 – 6 jam, munculnya respon dengan perintah
relatif cepat, kira – kira 11 menit setelah isofluran dihentikan.

b. Indikasi dan kontraindikasi


Isofluran diindikasikan untuk induksi dan pemeliharaan anestesi umum. Selain itu,
isofluran merupakan pilihan untuk anestesi kraniotomi karena terjadi penurunan konsumsi
oksigen pada otak saat di induksi sehingga tidak berpengaruh pada tekanan intrakranial.
Isofluran juga memiliki efek proteksi serebral dan efek metabolik yang menguntungkan
pada tekhnik hipotensikendali.8
Penggunaan isofluran dikontraindikasikan pada pasien yang rentan terhadap
hipertermia maligna dan pasien dengan gangguan kejang. Walaupun penggunaan isofluran
secara umum aman, namun terdapat beberapa tipe pasien yang memerlukan perhatian
khusus, antara lain: hipovolemik berat, riwayat penyakit hati, hamil, dan menyusui. 6 , 9

11
Tabel 2.3 Farmakologi klinik anestesi inhalasi8

Nitrous
Anestesi Inhalasi Oxide
(N₂O) Halotan Enfluran Isofluran Desfluran Sevofluran

Kardiovaskuler
Tekanan Darah TB ↓↓ ↓↓ ↓↓ ↓↓ ↓
Laju nadi TB ↓ ↑ ↑ TB atau ↑ TB
Respirasi
Volume tidal ↓ ↓↓ ↓↓ ↓↓ ↓ ↓
Laju napas ↑ ↑↑ ↑↑ ↑ ↑ ↑
PaCO2 istirahat TB ↑ ↑↑ ↓ ↓↓ ↓

Serebral
Aliran darah ↑ ↑↑ ↑ ↑ ↑ ↑
Tekanan ↑ ↑↑ ↑↑ ↑ ↑ ↑
Intrakranial
Seizure ↓↓ ↓ ↑ ↓ ↓ ↓
Blokade
Pelumpuh otot non- ↑↑ ↑ ↑ ↑ ↑

depolarisasi
Ginjal
Aliran darah ↓↓ ↓↓ ↓↓ ↓↓ ↓ ↓
Laju filtrasi ↓↓ ↓↓ ↓↓ ↓↓ ? ?
glomerulus
Hepar
Aliran darah ↓ ↓↓ ↓↓ ↓ ↓ ↓
Metabolisme 0,04% 15-20% 2-5% 0,2% <0,1% 2-3%

2.3.1 Farmakokinetik dan Farmakodinamik


1. Farmakokinetik
Dalam tindakan pembedahan, 1,5% - 3,0% isofluran akan menimbulkan efek anestesi
dalam waktu 7-10 menit. Setelah diinduksi oleh tiopental, N₂O 60% dan ditambah isofluran
dengan MAC 0,65 didapatkan waktu bangkitannya (respon terhadap peintah)
adalah 15,6 menit. Sama seperti volatil anestesi

12
lainnya, kelarutan gas darah isofluran sangat bergantung pada konsentrasinya alveoli.
Isofluran memiliki kelarutan yang sangat rendah di dalam darah dan jaringan dibandingkan
jenis anestesi inhalasi lainnya. Konsentrasinya dalam alveolus dan darah arterial mencapai
50% konsentrasi yang diberikan pada 4-8 menit pertama, dan 60% dalam 15 menit.10,11

Isofluran dieliminasi melalui paru-paru, hati dan ginjal. Sehubungan dengan


kelarutannya yang rendah dalam darah dan jaringan, maka proses pemulihan isofluran pada
manusia dapat digolongkan cepat. Biotransformasi isofluran termasuk rendah dibanding
enfluran dan halothan. Pada manusia, hanya sekitar 0,2% isofluran yang dimetabolisme
menjadi fluorida dan fluor organik dengan asumsi 50% dari sisa metabolit ini diekskresi
melalui urin, maka dapat disimpulkan bahwa metabolisme isofluran sangat rendah dan tidak
menimbulkan nefrotoksik maupun hepatotoksik karena metabolitnya flourida dalam jumlah
minimal.10,11
2. Farmakodinamik
Minimum Alveoli Concentration (MAC) adalah konsentrasi minimal zat tersebut
dalam gas alveoli yang menyebabkan imobilitas 50% pasien ketika terpajan rangsangan
yang merugikan seperti insisi bedah (noxious). Isofluran memiliki nilai MAC 1,4. Dari
nilai MAC ini dapat dilihat distribusi frekuensi dosis obat yang diperlukan untuk
menghasilkan efek tertentu pada pasien. Umumnya untuk anestesi, setiap individu
memerlukan 0,5-1,5 MAC.
Isofluran menimbulkan penurunan tekanan darah terkait dengan dosis, jadi
semakin tinggi dosisnya maka semakin tinggi juga penurunannya sehingga bisa membuat
takikardia, tetapi penurunan tekanan darah ini merupakan hal penting untuk melihat
kedalaman dari anestesia. Selain penurunan tekanan darah, tanda yang digunakan untuk
melihat kedalaman anestesia dapat meliputi volume, dan frekuensi tekanan darah kecuali
bila ventilasi dikendalikan, dan meningkatnya frekuensi Isofluran dapat menyebabkan
iskemia denyut jantung miokardium melalui fenomena coronary steal yaitu : pengalihan
aliran darah dari daerah yang perfusinya buruk ke daerah yang perfusinya baik.
Kecenderungan timbulnya aritmia amat kecil, sebab isofluran tidak menyebabkan
sensitasi jantung terhadap katekolamin.11

13
1. Sistem saraf pusat
Apabila isofluran diberikan sesuai dengan dosisnya, maka
tidak menimbulkan kelainan EEG, vasodilatasi dan perubahan
serebral serta mekanisme autoregulasi aliran darah otak tetap stabil.
2. Kardiovaskular
Efek depresinya pada otot jantung dan pembuluh darah lebih
ringan dibanding dengan obat anestesi inhalasi yang lain.
3. Respirasi

Menimbulkan depresi pernafasan yang derajatnya sebanding


dengan dosis yang diberikan.

4. Otot rangka

Melalui mekanisme depresi pusat motoris pada serebrum,


isofluran dapat menurunkan otot tonus rangka skelet. Meskipun
demikian, isofluran masih memerlukan obat pelumpuh otot untuk
mendapatkan keadaan relaksasi otot yang optimal terutama pada
operasi laparotomi.
5. Ginjal
Isofluran dapat menurunkan aliran darah ginjal dan laju filtrasi
glomerulus sehingga produksi urin berkurang, namun dalam batas
normal sesuai dengan dosis anestesinya.9

2.3.2 Efek samping


Keluhan yang sering ditimbulkan pada pemakaian isofluran adalah hipotensi,
depresi pernapasan, aritmia, peningkatan sel darah putih, menggigil, mual dan
muntah.11
2.3.3 Keuntungan
Induksi pada isofluran ini cepat dan lancar, pemulihannya juga lebih cepat
dibanding dengan halotan dan enfluran, tidak menimbulkan mual-muntah, dan tidak
menimbulkan menggigil paska anestesia. Isofluran juga tidak mengubah sensitivitas
otot jantung terhadap katekolamin, tidak menimbulkan guncangan terhadap fungsi

14
kardiovaskuler, dan tidak menimbulkan efek eksitasi SSP .11

2.3.4 Kelemahan
Isofluran memerlukan kombinasi degan obat lain, dikarenakan analgesi dan
relaksasinya yang kurang. Memiliki batas keamanan yang sempit sehingga membuat
mudah terjadi kelebihan dosis dan cukup iritatif terhadap mukosa jalan nafas.13

2.3.5 Dosis
1. Untuk induksi, konsentrasi yang diberikan pada udara inspirasi adalah 2.0 –
3.0% bersama-sama dengan N₂O

2. Untuk pemeliharaan dengan pola nafas spontan, konsentrasinya berkisar 1.0 –


2.5 %, sedangkan untuk nafas kendali, berkisar antara 0.5 – 1.0%.

2.4 Sevofluran
a. Sifat Umum
Sama halnya dengan isofluran, sevofluran juga merupakan halogenasi eter
dalam bentuk cairan, yang tidak berbau, tidak berwarna dan tidak iritatif sehingga
baik untuk induksi inhalasi. Agen inhalasi ini, paling cepat dalam induksi dan
proses pemulihannya, bila dibandingkan dengan agen inhalasi lain. 6,13

Koefisien partisi darah/gas pada 37°C adalah 0,59. Dimana semakin kecil
nilainya maka semakin zat tersebut tidak larut dalam darah. Kelarutan yang
rendah ini menimbulkan induksi anestesi yang cepat dan lebih cepat juga pasien
untuk sadar karna zat tersebut cepat dieliminasi di dalam darah.

Sevofluran sering digunakan untuk induksi pada anak karena berbau enak,
tidak merangsang jalan nafas dan tidak meningkatkan sekresi saluran nafas.
Sevofluran mungkin paling tidak iritasi pada saluran nafas dibanding jenis
anestesi inhalasi lain yang dipakai saat ini. Sevofluran hampir mempunyai semua
sifat yang membuatnya ideal sebagai anestesi inhalasi.
b. Indikasi dan kontraindikasi
Sevofluran diindikasikan untuk induksi dan komponen hipnotik dalam
pemeliharaan anestesi umum. Pada bayi dan anak-anak yang tidak kooperatif,

15
sevofluran sangat baik digunakan untuk induksi.

Penggunaan sevofluran di kontraindikasikan pada pasien yang sensitif


terhadap “drug induced hyperthermia”, hipovolemik berat dan hipertensi
intrakranial.13

c. Famakokinetik dan farmakodinamik


(1) Farmakokinetik
Sama dengan isofluran, evofluran juga dieliminasi melalui paru, hati dan
ginjal. Soda lime dan baralyme dapat mendegradasi sevofluran menjadi
produk akhir yang nefrotoksik, sehingga sevofluran tidak dapat digunakan
dalam anestesi sistem terutup atau aliran rendah. Terkait dosis yang digunakan,
sevofluran dapat menimbulkan vasodilatasi uterus dan penurunan aliran
darah. Efek puncak yang ditimbulkan oleh isofluran pun juga tergantung
dari dosis yang digunakan. Waktu bangkitan (respon terhadap perintah)
setelah diinduksi oleh tiopental, N₂O 66% dan sevofluran dengan MAC 0,9
adalah 14,3 menit, dimana waktu yang diperoleh lebih cepat dibandingkan
isofluran. Biotransformasi sevofluran yaitu hampir seluruhnya dikeluarkan
melalui udara ekspirasi, dan hanya sebagian kecil 2-3% dimetabolisme dalam
tubuh.Maka dapat disimpulkan bahwa metabolisme sevofluran sangat rendah,
tidak cukup untuk menimbulkan gangguan fungsi ginjal. 1 1 , 1 2

(2) Farmakodinamik
Sevofluran memiliki nilai MAC sebesar 2,0. Koefisien partisi darah/gas
pada 37°C adalah 0,59. Kelarutannya yang menengah dalam darah ini
menimbulkan induksi anestesi yang cepat dan juga recovery yang cepat.

Berbeda dengan isofluran, sevofluran tidak menyebabkan vasodilatasi


pada arteria koronaria yang dapat menyebabkan fenomena coronary steal.
Sevofluran dapat menyebabkan penurunan tekanan darah arteri melalui
vasodilatasi primer, namun kejadian ini dapat terjadi terkait dengan dosis yang
digunakan. Sama halnya dengan isofluran, sevofluran juga menimbulkan
penurunan tekanan darah terkait dengan dosis dan memiliki efek yang sama.

16
i. Sistem saraf pusat
Hampir sama dengan isofluran. Aliran darah ke otak sedikit meningkat
sehingga meningkatkan tekanan intrakranial. Laju metabolisme otak
juga menurun cukup bermakna, sama seperti isofluran.
ii. Kardiovaskular
Relatif stabil dan tidak menimbulkan aritmia selama induksi. Tahan
vaskular dan curah jantung sedikit menurun sehingga tekanan darah
sedikit menurun.
iii. Respirasi
Sama dengan anestesi inhalasi yang lain, sevofluran juga menimbulkan
depresi pernapasan terkait dengan dosis yang diberikan sehingga
volume tidal tidak akan menurun, tapi frekuensi napas sedikit
meningkat.
iv. Otot rangka
Efeknya terhadap tonus otot rangka lebih lemah dibandingkan dengan
isofluran.
v. Ginjal
Aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus lebih ringan dibanding
dengan isofluran terkait dengandosis yang diberikan.
vi. Hati
Aliran darah hati sedikit menurun.

2.4.1 Efek samping


Efek yang utama yang terjadi pada induksi sevofluran adalah mual,
muntah, gangguan fungsi ginjal, hipotensi, aritmia, depresi pernapasan,
apneu, pusing, peningkatan aliran darah menuju otak dan tekanan
intracranial.12

2.4.2 Keuntungan
Induksi sevofluran cepat dan lancer, tidak iritatif terhadap mukosa
jalan nafas, dan pemulihannya paling cepat dibandingkan dengan agen
volatil yang lain.

17
2.4.3 Kelemahan
Sevofluran memiliki kelemahan yang sama seperti isofluran, yaitu
memiliki batas keamanan yang sempit sehingga mudah terjadi kelebihan
dosis.

2.4.4 Dosis
(1) Untuk induksi, konsentrasi yang diberikan pada udara inspirasi adalah
3.0 – 5.0% bersama-sama dengan N₂O
(2) Untuk pemeliharaan dengan pola nafas spontan, konsentrasinya
berkisar 2.0 – 3.0 %, sedangkan untuk nafas kendali, berkisar antara
0.5 – 1.0%.12

18
BAB III

KESIMPULAN

Pulih sadar merupakan bangun dari efek obat anestesi setelah proses pembedahan
dilakukan. Lamanya waktu yang dihabiskan pasien di recovery room tergantung kepada
berbagai faktor termasuk durasi dan jenis pembedahan, teknik anestesi, jenis obat dan
dosis yang diberikan dan kondisi umum pasien.

Penilaian dilakukan saat masuk recovery room, selanjutnya dinilai dan dicatat
setiap 5 menit sampai tercapai nilai minimal 8. Pasien bisa dipindahkan ke ruang
perawatan jika nilai pengkajian pasca anestesi adalah 8-10. Lama tinggal di ruang
pemulihan tergantung dari teknik anestesi yang digunakan

Cara mencegah agar tidak terjadi komplikasi-komplikasi selama tindakan


anestesi maka diperlukan monitoring secara ketat sebagai bentuk tanggung jawab kita
sebagai petugas anestesi. Monitoring pasien selama tindakan anestesi bisa
menggunakan panca indera kita maupun dengan menggunakan alat monitor pasien yang
bisa digunakan sekarang.

Studi prospektif yang baru juga mengatakan bahwa lebih dari 12.000 pasien yang
telah dilaporkan, ternyata 7% dari komplikasi yang bermakna terjadi di ruang pulih
sadar. Pasca operasi anestesi umum dapat terjadi komplikasi ringan sampai dengan
berakibat fatal, yang berupa hipovolemia, kegagalan napas, pengelolaan pasca bedah
yang tidak kuat bahkan bisa terjadi kematian.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Kiekkas, P, et al (2007). Effects of Hypothermia and Shivering on Standard PACU


Monitoring of Patients. AANA J. Vol. 73(1):47–53.
2. Depkes RI. (2009). Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta.
3. Dinata, D. A. (2015). Waktu Pulih Sadar pada Pasien Pediatrik yang Menjalani Anestesi
Umum di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. Jurnal Anestesi Perioperatif Vol.
3(1), No: 100-8.
4. Fauzi, N. A. (2014). Gambaran Kejadian Menggigil (Shivering) pada Pasian dengan
Tindakan Operasi yang Menggunakan Anestesi Spinal di RSUD Karawang Periode Juni
2014. Jurnal Prosiding Pendidikan Dokter.
5. Slee et al 2008. Clinical Complications, Monitoring And Management Of Perioperative
Mild Hypothermia: Anesthesiological Features.
6. Gwinnutt, C. L. (2012). Catatan Kuliah Anestesi Klinis Edisi 3. Jakarta: EGC.
7. Katzung, Bertram G., dkk. (2014). Farmakologi Dasar & Klinik. Diterjemahkan oleh
Ricky Soeharsono. Edisi 12 Vol 1. Jakarta: EGC.
8. Kiekkas, P, et al (2007). Effects of Hypothermia and Shivering on Standard PACU
Monitoring of Patients. AANA J. Vol. 73(1):47–53.
9. Andisa, R. (2014). Hubungan Indeks Massa tubuh dan Lama Anestesi dengan Waktu
Pulih Sadar pada Anak Pasca General Anestesi di RSUD Kebumen Jawa Tengah. Skripsi
D4 Poltekkes Kemenkes Yogyakarta (tidak dipublikasikan).
10. Koeshardiandi, M. (2011). Efektifitas Ketamin Dosis 0,25mg/kg Berat Badan Intravena
sebagai Terapi Menggigil Selama Anestesi Spinal Pada Pembedahan Sectio Caesaria.
Journal Anestheia of Emergency: Volume 2, No 3.
11. Mangku, G dan Senapathi, T. G. A. (2010). Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta: PT.
Indeks.
12. Omoigui, S. 2009. Buku Saku Obat-obatan. Edisi 11. Jakarta: EGC.
13. Putzu, M. (2007). Clinical Complications, Monitoring And Management Of Perioperative
Mild Hypothermia: Anesthesiological Features. Acta Biomed. Vol 78:163–169.

20

Anda mungkin juga menyukai