Anda di halaman 1dari 41

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN Nn DZ DENGAN ASD POST TEE

KIV ASO DI RUANG PEMULIHAN CATH LAB PJT RSUPN Dr CIPTO

MANGUNKUSUMO JAKARTA

Disusun Oleh
Kelompok III

Ari Yansyah
Aulia Ramadhani
Ratih Wardaningsih
Moh Asrori
Tiurmaida M.T.N
Acep Supriatna
Usman

PELATIHAN KEPERAWATAN PERIOPERATIF ANESTESIA

PERIODE 11 APRIL – 22 JULI 2022


KATA PENGANTAR

Puji syukur kelompok ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan

karunia-Nya, sehingga kelompok dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Asuhan

Keperawatan Pada Pasien Nn DZ di Ruang Pemulihan Cath Lab PJTRSUPN Dr CIPTO

MANGUNKUSUMO JAKARTA”

Makalah ini disusun dan diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk

menyelesaikan Pelatihan Keperawatan Perioperatif Anestesia. Dalam pembuatan makalah

ini, kelompok menyadari banyak bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena

itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada kepada:

1. Direktur Utama RSUPN dr Cipto Mangunkusumo yang telah memberikan izin

bagi kami untuk dapat belajar dirumah sakit ini

2. Ketua Panitia Pelatihan Keperawatan Perioperatif Anastesi dan jajarannya

3. Pembimbing Kelompok Firomatin S.Kep.Ners

4. Kepala Ruangan dan Pembimbing Ruangan (PJT, ICU, IPBT, PESC, KENCANA)

Bantuan tersebut dibalas oleh Allah SWT dengan pahala yang berlimpah, Amin.

Akhir kata kelompok mohon maaf atas segala kekurangan yang ada dengan harapan

semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Kelompok

mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sehingga dapat

menyempurnakan makalah ini.

Jakarta, 22 Juni 2022


Kelompok III

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DALAM…………………………………… i

KATA PENGANTAR........................................................................... ii

DAFTAR ISI.......................................................................................... iii

DAFTAR LAMPIRAN......................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang............................................................................

B. Tujuan..........................................................................................

C. Ruang Lingkup Masalah.............................................................

BAB II PENJELASAN MATERI


A. PEMANTAUAN DIRUANG PEMULIHAN

1. Pemindahan Pasien dari kamar operasi

2. Serah Terima Pasien di Ruang Pemulihan

3. Tatalaksana Pasca Operasi

4. Ruang Pemulihan

5. Tujuan Perawatan Pasca Anestesia

6. Kriteria Pengeluaran

7. Faktor Faktor yang perlu dipertihan

8. Yang Tidak Perlu Pemantauan

9. Kriteria Kembali kebangsal

B. ATRIAL SEPTAL DEFECT (ASD)

1. Defenisi

2. Klasifikasi

3. Etiologic
4. Manifestasi Klinis

5. Patofisiologi

6. Komplikasi

7. Gambaran Klinis

8. Penatalaksanaan

BAB III PENJELASAN KASUS


1. Pengkajian………………………………………………….

2. Diagnosa Keperawatan……………………………………..

3. Intervensi Keperawatan…………………………………….

4. Implementasi Keperawatan………………………………...

5. Evaluasi Keperawatan……………………………………...

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemulihan kesadaran dari anestesi memerlukan waktu dan dapat terjadi

stres fisiologi pasien. Pemulihan kesadaran pasien pasca general anestesi

sebaiknya secara pelan-pelan dalam lingkungan yang terkontrol di ruang

perawatan pasca anestesi Recovery Room dengan tujuan memulihkan kesadaran

pasien semaksimal mungkin tanpa komplikasi pada system pernafasan serta

mempertahankan hemodinamik dan membantu proses penyembuhan. Sering

dijumpai pasien mengalami berbagai masalah diruangan recovery room dalam

proses lama pulih sadar, seperti adanya kejadian sumbatan jalan nafas, thrombosis

dan tromboemboli yang bisa menyebabkan kematian. (Kunto, 2012)

Berdasarkan penelitian Heru Setiyanto tahun (2011) tentang berapa lama

waktu yang dibutuhkan pasien di ruang pulih sadar setelah operasi dengan general

anastesi menggunakan discharged criteria modified aldrete score menyatakan

responden yang mengalami terlambat pindah 313 (93,4%) sedangkan yang tidak

mengalami terlambat pindah 22 (6,6%). Dengan waktu rata-rata lama tinggal

responden yang terlambat pindah berdasarkan kriteria pindah modified aldrete

score adalah 35,8 menit dan pada saat di ruang pulih sadar adalah 169,4 menit.

Fenomena yang ditemukan di lapangan bahwa ada beberapa pasien di Recovery

Room yang dengan masa pemulihan bermacam- macam, ada yang kurang dari

120 menit (2 jam) dan ada yang lebih dari 120 menit (Priyanto 2014). Menurut

teori Matthew Gwinnutt 2012 dibukunya mengatakan bahwa membutuhkan

waktu 30 menit pasien post operasi dengan general anestesi bisa dipindah ke
ruangan itupun harus memenuhi kriteria pengeluaran sesuai observasi modified

aldrete score.

Pasien pasca bedah dengan anestesi akan dirawat di recovery room dengan

memonitoring hemodinamika, memberikan oksigen, melakukan balance cairan

pasien dan menjaga posisi pasien ditidurkan tanpa bantal di kepala. Posisi ini

dilakukan untuk mempertahankan jalan napas terbuka dan bebas serta

memungkinkan drainase mucus atau muntah. Jika pasien dibiarkan tidur dengan

posisi yang sama dalam jangka waktu tersebut, tentunya akan berdampak pada

proses pemulihan semakin lama. Terdapat 2 (dua) kriteria yang dapat digunakan

di ruang pulih sadar yaitu modified aldrete score dan Post Anesthesia Discharged

Scoring Sysyem (PADSS). Modified aldrete score merupakan kriteria untuk

memindahkan penderita dari ruang pulih sadar ke ruangan asal di rawat. Post

Anesthesia Discharged Scoring Sysyem adalah kriteria yang dikembangkan dari

modified aldrete score untuk memindahkan penderita dari ruang pulih sadar

langsung pulang ke rumahnya, sehingga score ini dapat digunakan sebagai alat

ukur pemulangan pasien. Dengan menggunakan sistim Post Anesthesia

Discharged Scoring Sysyem dan menggunakan discharged criteria modified

aldrete score akan diketahui lama tinggal (length of stay) penderita yang

menjalani operasi di ruang pulih sadar. Meskipun tidak ada literatur yang

menyebutkan lama tinggal ideal di ruang pulih sadar, akan tetapi hal tersebut akan

lebih baik diketahui sebagai bahan pertimbangan dalam mengatur penderita di

tempat tersebut. (Larson, M 2014).

Pemulihan dari anestesi umum atau anestesi regional secara rutin dikelola

di ruang pemulihan (Recovery Room) atau disebut juga Post Anesthesia Care

Unit (PACU). Idealnya adalah bangun dari anestesi secara bertahap, tanpa

keluhan dan mulus dengan pengawasan dan pengelolaan secara ketat sampai

dengan keadaan stabil. Efek fisiologis yang ditimbulkan tubuh seseorang dalam
menjalani operasi berbeda - beda, tergantung dari kondisi fisik pasien, jenis bedah

yang dilakukan, jenis anestesi yang dipakai, jenis obat yang diberikan, dan juga

banyaknya dosis obat yang diberikan. Semua hal itu dapat berpengaruh terhadap

waktu pulih sadar pasien post operasi (Matthew Gwinnutt, 2012).

B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Peserta pelatihan mampu melakukan observasi/pemantauan pasien post operasi

diruang pemulihan

2. Tujuan Khusus

a. Peserta pelatihan mampu melakukan pengkajian secara komprehensif pada

pasien post tindakan TEE KIV ASO off ASD diruang pemulihan

b. Peserta pelatihan mampu merumuskan masalah dan menetapkan diagnosa

keperawatan pasien post tindakan TEE KIV ASO off ASD diruang

pemulihan

c. Peserta pelatihan mampu meyusun intervensi keperawatan pada pasien post

tindakan TEE KIV ASO off ASD diruang pemulihan

d. Peserta pelatihan mampu melakukan implementasi keperawatan pada

pasien post tindakan TEE KIV ASO off ASD diruang pemulihan

e. Peserta pelatihan mampu mengevaluasi tindakan keperawatan pada pasien

post tindakan TEE KIV ASO off ASD diruang pemulihan dan kapan pasien

boleh dipindahkan

C. Ruang lingkup masalah

Bagaimana proses pemantauan diruang pemulihan pada pasien post operasi yang

dilakukan tindakan pembisuan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo ?


BAB II

PENJELASAN MATERI

A. Pemantauan Ruang Pemulihan

1. Pemindahan pasien dari kamar operasi

Pemindahan pasien dilaksanakan dengan hati-hati mengingat :

a. Pasien yang belum sadar baik atau belum pulih dari pengaruh

anestesia, posisi kepala diatur sedemikian rupa agar kelapangan

jalan napas tetap adekuat sehingga ventilasi terjamin.

b. Apabila dianggap perlu, pada pasien yang belum bernapas spontan,

diberikan napas buatan.

c. Gerakan pada saat memindahkan pasien dapat menimbulkan atau

menambah rasa nyeri akibat tindakan pembedahan dan bisa terjadi

dislokasi sendi.

d. Pada pasien yang sirkulasinya belum stabil bisa terjadi syok atau

hipotensi.

e. Pasien yang dilakukan blok spinal, posisi penderita dibuat

sedemikian rupa agar aliran darah dari daerah tungkai ke proksimal

lancar.

f. Yakinkan bahwa infus, pipa nasogastrik dan kateter urin tetap

berfungsi dengan baik atau tidak lepas.


g. Tidak perlu mendorong kereta tergesa-gesa karena hal tersebut dapat

mengakibatkan rasa nyeri dari daerah bekas operasi, perubahan posisi

kepala, sehingga dapat menimbulkan masalah ventilasi, muntah atau

regurgitasi, dan kegoncangan sirkulasi

2. Serah terima pasien di ruang pulih

Menurut Brunner dan Suddarth bahwa dalam serah terima pasien

pasca operatif meliputi diagnosis medis dan jenis pembedahan, usia,

kondisi umum, tanda-tanda vital, jalan napas, obat-obat yang digunakan,

masalah yang terjadi selama pembedahan, cairan yang diberikan, jumlah

perdarahan, informasi tentang dokter bedah dan anesthesia.

Hal-hal yang perlu disampaikan pada saat serah terima adalah:

a. Masalah-masalah tatalaksana anestesia, penyulit selama

anetesia/pembedahan, pengobatan dan reaksi alergi yang mungkin

terjadi.

b. Tindakan pembedahan yang dikerjakan, penyulit-penyulit saat

pembedahan, termasuk jumlah perdarahan.

c. Jenis anestesia yang diberikan dan masalah-masalah yang terjadi,

termasuk cairan elektrolit yang diberikan selama operasi, diuresis

serta gambaran sirkulasi dan respirasi.

d. Posisi pasien di tempat tidur.

e. Hal-hal lain yang perlu mendapatkan pengawasan khusus sesuai

dengan permaslaahan yang terjadi selama anestesi/operasi.

f. Dan apakah pasien perlu mendapatkan penanganan khusus di

ruangan terapi intensif (sesuai dengan instruksi dokter).


3. Tatalaksana pasca operatif

Pasca anestesia merupakan periode kritis, yang segera dimulai

setelah pembedahan dan anestesia diakhiri sampai pasien pulih dari

pengaruh anestesia.12 Risiko pasca anestesi dapat di bedakan berdasarkan

masalah-masalah yang akan dijumpai pasca anestesia/bedah dapat

dikelompokkan menjadi 3 kelompok :

a. Kelompok I

Pasien yang mempunyai risiko tinggi gagal napas dan gangguan

hemodinamik pasca anestesia/bedah, sehingga perlu napas kendali

pasca anestesia/bedah. Pasien yang termasuk dalam kelompok ini

langsung dirawat di Unit Terapi Intensif pasca anestesia/bedah

tanpa menunggu pemulihan di ruang pulih.

b. Kelompok II

Sebagian besar pasien pasca anestesia/bedah termasuk dalam

kelompok ini, tujuan perawatan pasca anestesia/bedah adalah

menjamin agar pasien secepatnya mampu menjaga keadekuatan

respirasinya dan kestabilan kardiovascular.

c. Kelompok III

Pasien yang menjalani operasi kecil, singkat dan rawat jalan. Pasien

pada kelompok ini bukan hanya fungsi respirasinya tetapi harus bebas

dari rasa ngantuk, ataksia, nyeri dan kelemahan otot, sehingga pasien

bisa kembali pulang.

4. Ruang Pemulihan
Periode pulih sadar dimulai segera setelah pasien meninggalkan

meja operasi dan langsung diawasi oleh ahli anestesi. Semua komplikasi

dapat terjadi setiap saat, termasuk pada waktu pemindahan pasien dari

kamar operasi ke ruang pemulihan.

Ruang pemulihan (Recovery Room) atau disebut juga Post

Anesthesia Care Unit (PACU) adalah ruangan tempat pengawasan dan

pengelolaan secara ketat pada pasien yang baru saja menjalani operasi

sampai dengan keadaan umum pasien stabil.

Pasien operasi yang ditempatkan di ruang pemulihan secara terus

menerus dipantau. Letak ruangan pemulihan yang ideal adalah

berdekatan dengan ruang operasi dan mudah di jangkau oleh dokter ahli

anestesi atau ahli bedah sehingga mudah dibawa kembalikan ke ruang

operasi bila diperlukan, serta mudah dijangkau bagian radiologi atau

ruangan harus cukup dan dilengkapi dengan lampu cadangan bila

sewaktu-waktu terjadi pemadaman aliran listrik.

Kamar pulih sadar merupakan perluasan kamar operasi, harus

terbuka sepanjang hari dan pengamatan secara intensif yang dilakukan

didalamnya. Hal ini dapat diartikan karena pada masa transisi tersebut

kesadaran penderita belum pulih secara sempurna sehingga

kecenderungan terjadinya sumbatan jalan napas lebih besar dan

ditambah lagi reflek perlindungan seperti reflek batuk, muntah

maupun menelan belum kembali normal, kemungkinan terjadi aspirasi

yang sangat di rasakan dimana pengaruh obat anestesi dan trauma pasca

operasi masih belum hilang dan masih mengancam status respirasi dan

kardiovaskuler penderita. Upaya pengamatan yang amat cermat terhadap

tanda-tanda vital penderita merupakan modal dasar yang amat ampuh


dalam mencegah penyulit yang tidak diinginkan.

Dalam syarat ruang pemulihan harus memiliki pintu lebar,

penerangan cahaya cukup, dan Jumlah tempat tidur sesuai dengan jumlah

ruang operasi. Ruang pemulihan minimal mempunyai kapasitas tempat

tidur 1,5 kali jumlah 2 ruang operasi. Area yang digunakan per tempat

tidur sekurang-kurangnya 15 m. Jarak antara tempat tidur pemulihan

sekurang-kurangnya 1,50 m.

Infrastruktur dalam ruang pemulihan harus dibawah pengawasan

dokter anestesi yaitu:

a. Perawat terlatih khusus dan trampil dalam pengawasan

keadaan darurat

b. Rasio : Pasien yaitu 3:1 (Ideal), 2:1 (Gawat), 1:1 (Sangat

gawat)

c. Peralatan :

1) Satu tempat punya 1 sumber O2

2) Suction, stetoskop, tensimeter, thermometer

3) Monitor : ECG dan SaO2

4) Resusitasi set

5) Obat-obat emergency / cairan

5. Tujuan perawatan pasca anestesia/pembedahan di ruang pemulihan

Tujuan perawatan pasca anestesia yaitu untuk memulihkan kesehatan

fisiologi dan psikologi antara lain:

a. Mempertahankan jalan napas, dengan mengatur posisi,memasang

sunction dan pemasangan opa/gudel.

b. Mempertahankan ventilasi/oksigenasi, dengan pemberiam bantuan

napas melalui ventilator mekanik atau nasal kanul.


c. Mempertahankan sirkulasi darah, dapat dilakukan dengan

pemberian cairan plasma ekspander.

d. Observasi keadaan umum, observasi vomitus dan drainase

e. Balance cairan

Harus diperhatikan untuk mengetahui input dan output cairan. Cairan

harus balance untuk mencegah komplikasi lanjutan, seperti dehidrasi

akibat perdarahan atau justru kelebihan cairan yang mengakibatkan

menjadi beban bagi jantung dan juga mungkin terkait dengan fungsi

eleminasi pasien.

f. Mempertahankan kenyamanan dan mencegah resiko injuri

Pasien post anestesi biasanya akan mengalami kecemasan,

disorientasi dan beresiko besar untuk jatuh. Tempatkan pasien pada

tempat tidur yang nyaman dan pasang side railnya. Nyeri biasanya

sangat dirasakan pasien, diperlukan intervensi keperawatan yang

tepat juga kolaborasi dengan medis terkait dengan agen pemblok

nyerinya.

6. Pemantauan pasca anestesi dan kriteria pengeluaran

Penilaian Skor Aldrete Pasca Anestesia di Ruang Pulih

Skor Aldrete

No. Kriteria Motorik Nilai


1. Aktivitas motorik:
o Mampu menggerakkan 2
empat ekstremitas
o Mampu menggerakkan 1
dua ekstremitas
o Tidak mampu 0
menggerakkan ekstremitas
2. Respirasi:
o Mampu napas dalam, batuk dan 2
tangis kuat
o Sesak atau pernapasan terbatas 1
o Henti napas 0
3. Tekana darah:
o Berubah sampai 20% dari prabedah 2
o Berubah 20%-50% dari prabedah 1
o Berbubah > 50% dari prabedah 0
4. Kesadaran:
o Sadar baik dan orientasi baik 2
o Sadar setelah dipanggil 1
o Tak ada tanggapan terhadap 0
rangsangan
5. Warna kulit:
o Kemerahan 2
o Pucat agak suram 1
o Sianosis 0

Penilaian dilakukan :

a. Saat masuk

b. Selanjutnya dilakukan penilaian setiap saat dan dicatat setiap 5 menit

sampai tercapai nilai total 10. Nilai untuk pengiriman pasien adalah

10.

7. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan sebelum mengirim ke ruangan

adalah:

a. Observasi minimal 30 menit setelah pemberian narkotik atau obat

penawarnya (nalokson) secara intervena.

b. Observasi minimal 60 menit setelah pemberian antibiotik,

antiemetik atau narkotik secara intramuskular.

c. Observasi minimal setelah oksigen dihentikan.

d. Observasi 60 menit setelah ekstubasi

e. Tindakan lain akan ditentukan kemudian oleh Dokter Spesialis

Anestesiologi dan Dokter Spesialis Bedah.


Pasien bisa dipindahkan ke ruang perawatan dari ruang pemulihan jika

nilai pengkajian post anestesi adalah >7-8. Lama tinggal di ruang pulih

tergantung dari teknik anestesi yang digunakan. Pasien dikirim ke ICU

(Intensive Care Unit) apabila hemodinaik tak stabil perlu support

inotropik dan membutuhkan ventilator (mechanical respiratory

support).

8. Pasien yang tidak memerlukan perawatan pasca anestesia/bedah di

ruang pemulihan

a. Pasien dengan analgesik lokal yang kondisinya normal / stabil.

b. Pasien dengan risiko tinggi tertular infeksi sedangkan di ruang

pemulihan tidak ada ruang isolasi.

c. Pasien yang memerlukan terapi intensif.

d. Pasien yang akan dilakukan tindakan khusus di ruangan (atas

kesepakatan Dokter Spesialis Bedah dan Spesialis Anestesiologi.

9. Kriteria kembali ke bangsal

a. Hemodinamik stabil

b. Ventilasi spontan adekuat

c. Nyeri terkontrol

d. Suhu normal

e. Mual / muntah minimal dan pasien dapat menjaga dirinya sendiri.


B. Atrial septal defeck ( ASD )

1. Definisi

Atrial septal defeck ( ASD ) adalah penyakit jantung bawaan lubang (defek)

pada septum interatrial (sekat antar serambi) yang terjadi karena kegagalan

fungsi interatrial semasa janin, atrial septal defect adalah suatu lubang pada

dinding (septum) yang memisahkan jantung bagian atas ( atrium kiri dan

kanan ).

Atrial Septal Defect (ASD) adalah terdapatnya hubungan atrium kanan

dengan atrium kiri yang tidak ditutup oleh katup ( Markum, 1991).

ASD adalah defek pada sekat yang memisahkan atrium kiri dan kanan.

(Sudigdo Sastroasmoro, 1994).

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

Atrial Septal Defect ( ASD ) penyakit jantung bawaan dimana terdapat lubang

( defek ) pada sekat atau septum interatrial yang memisahkan atrium kiri dan

kanan yang terjadi karena kegagalan fusi septum interatial semasa janin.

2. Klasifikasi

Tiga macam variasi yang terdapat pada ASD, yaitu :

a. Ostium primum ( ASD I ), letak lubang dibagian bawah septum, disertai

kelainan katub mitral

b. Ostium secundum (ASD 2 ), letak lubang di tengah septum

c. Sinus venosus defek, lubang berada di antara vena kava superior dan

atrium kanan
3. Etiologi

Penyebabnya belum dapat diketahui secara pasti, tetapi ada beberapa faktor

yang diduga mempunyai pengaruh pada peningkatan angka kejadian ASD.

Faktor-faktor tersebut diantaranya :

a. Faktor Prenatal

1) Ibu menderita penyakit infeksi rubella

2) Ibu alkoholisme

3) Umur ibu lebih dari 40 tahun

4) Ibu meminum obat-obatan penenang atau jamu

b. Faktor Genetik

1) Anak yang lahir sebelumnya menderita PJB

2) Ayah atau ibu menderita PJB

3) Kelainan kromosom misalnya Sindroma Down

4) Lahir dengan kelainan bawaan lain

5) Faktor Hemodinamik

Tekanan di atrium kiri lebih tinggi dari pada tekanan di natrium kanan

sehingga memungkinkan aliran darah dari atrium kiri ke atrium kanan

4. Manifestasi Klinis

Sebagian besar penderita ASD tidak menampakkan gejala

(asimptomatik) pada masa kecilnya, kecuali pada ASD besar yang dapat

menyebabkan kondisi gagal jantung di tahunpertama kehidupan pada sekitar

5% penderita. Kejadian gagal jantung meningkat pada dekade ke-4 dan ke-5,

dengan disertai adanya gangguan aktivitas listrik jantung (aritmia). Gejala

yang muncul pada masa bayi dan kanak-kanak adalah adanya infeksi saluran
nafasbagian bawah berulang, yang ditandai dengan keluhan batuk dan panas hilang timbul

(tanpapilek). Selain itu gejala gagal jantung (pada ASD besar) dapat berupa

sesak napas, kesulitanmenyusu, gagal tumbuh kembang pada bayi atau cepat

capai saat aktivitas fisik pada anak yang lebih besar. Selanjutnya dengan

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti elektro-kardiografi

(EKG), rontgent dada dan echo-cardiografi, diagnosis ASD dapat ditegakkan.

Gejalanya bisa berupa :

a. Sering mengalami infeksi saluran pernafasan.

b. Dispneu (kesulitan dalam bernafas)

c. Sesak nafas ketika melakukan aktivitas

d. Jantung berdebar-debar (palpitasi)

e. Pada kelainan yang sifatnya ringan sampai sedang, mungkin sama sekali

f. Tidak ditemukangejala atau gejalanya baru timbul pada usia pertengahan

Aritmia.

5. Patofisiologi

Penyakit dari penyakit jantung kongentinal ASD ini belum dapat

dipastikan banyak kasus mungkin terjadi akibat aksi trotogen yang tidak

diketahui dalam trisemester pertama kehamilan saat terjadi perkembangan

jantung janin. Pertama kehidupan status, saat struktur kardiovaskuler

terbentuk kecuali duktus arteriosis paten yaitu saluran normal untuk status

yang harus menututp dalam beberapa hari pertama.

Darah artenal dari atrium kiri dapat masuk ke atrium kanan melalui

defek sekat ini. Aliran ini tidak deras karena perbedaan tekanan pada atrium

kiri dan kanan tidak begitu besar (tekanan pada atrium kiri 6 mmHg sedang
pada atrium kanan 5 mmHg) . Adanya aliran darah menyebabkan penambahan

beban pada ventrikel kanan, arteri pulmonalis, kapiler paru-paru dan atrium

kiri. Bila shunt besar, maka volume darah yang melalui arteri pulmonalis

dapat 3-5 kali dari darah yang melalui aorta.

Dengan bertambahnya volume aliran darah pada ventrikel kanan dan

arteri pulmonalis. Maka tekanan pada alat–alat tersebut naik., dengan adanya

kenaikan tekanan, maka tahanan katup arteri pulmonalis naik, sehingga

adanya perbedaan tekanan sekitar 15 -25 mmHg. Akibat adanya perbedaan

tekanan ini, timbul suatu bising sistolik ( jadi bising sistolik pada ASD

merupakan bising dari stenosis relatif katup pulmonal ). Pada valvula

trikuspidalis juga ada perbedaan tekanan, sehingga disini juga terjadi stenosis

relatif katup trikuspidalis sehingga terdengar bising diastolik.

Karena adanya penambahan beban yang terus menerus pada arteri

pulmonalis, maka lama kelamaan akan terjadi kenaikan tahanan pada arteri

pulmunalis dan akibatnya akan terjadi kenaikan tekanan ventrikel kanan yang

permanen. Tapi kejadian ini pada ASD terjadinya sangat lambat ASD I

sebagian sama dengan ASD II. Hanya bila ada defek pada katup mitral atau

katup trikuspidal, sehingga darah dari ventrikel kiri atau ventrikel kanan

mengalir kembali ke atrium kiri dan atrium kanan pada waktu systole.

Keadaan ini tidak pernah terjadi pada ASD II.

Arah shunt pun bisa berubah menjadi dari kanan kekiri sehingga

sirkulasi darah sistemik banyak mengandung darah yang rendah oksigen

akibatnya terjadi hipoksemi dan sianosis.


6. Komplikasi

a. Endokarditis

b. Obtruksi pembuluh darah pulmonal (Hipertensi Pulmonal)

c. Aritmia

d. Henti jantung

7. Gambaran Klinik

Sebagian besar penderita ASD tidak menampakkan gejala

(asimptomatik) pada masa kecilnya, kecuali pada ASD besar yang dapat

menyebabkan kondisi gagal jantung di tahunpertama kehidupan pada sekitar

5% penderita. Kejadian gagal jantung meningkat pada dekade ke-4 dan ke-5,

dengan disertai adanya gangguan aktivitas listrik jantung (aritmia). Gejala

yang muncul pada masa bayi dan kanak-kanak adalah adanya infeksi saluran

nafasbagian bawah berulang, yang ditandai dengan keluhan batuk dan panas

hilang timbul (tanpapilek). Selain itu gejala gagal jantung (pada ASD besar)

dapat berupa sesak napas, kesulitanmenyusu, gagal tumbuh kembang pada

bayi atau cepat capai saat aktivitas fisik pada anak yang lebih besar.

Selanjutnya dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti

elektro-kardiografi (EKG), rontgent dada dan echo-cardiografi, diagnosis

ASD dapat ditegakkan.

Gejalanya bisa berupa :

a. Sering mengalami infeksi saluran pernafasan.

b. Dispneu (kesulitan dalam bernafas)

c. Sesak nafas ketika melakukan aktivitas

d. Jantung berdebar-debar (palpitasi)


e. Pada kelainan yang sifatnya ringan sampai sedang, mungkin sama sekali

f. Tidak ditemukangejala atau gejalanya baru timbul pada usia pertengahan

Aritmia.

8. Penatalaksanaan

a. ASD kecil (diameter < 5 mm) karena tidak menyebabkan gangguan

hemodinamik dan bahaya endokarditis infeksi, tidak perlu dilakukan

operasi.

b. ASD besar (diameter > 5 mm s/d beberapa centimeter), perlu tindaklan

pembedahan dianjurkan < 6 tahun, karena dapat menyebabkan hipertensi

pulmonal (walaupun lambat)

1. Pembedahan : menutup defek dengan kateterisasi jantung

Untuk tujuan praktis, penderita dengan defek sekat atrium dirujuk ke

ahli bedah untuk penutupan bila diagnosis pasti. Berdalih tentang

pembedahan jantung yang didasarkan pada ukuran shunt menempatkan

lebih pada kepercayaan terhadap data dari pada alasan yang diberikan.

Dengan terbuktinya defek sekat atrium dengan shunt dari kiri ke kanan

pada anak yang umurnya lebih dari 3 tahun, penutupan adalah beralasan.

Agar terdeteksi, shunt dari kiri ke kanan harus memungkinkan rasio

QP/QS sekurang-kurangnya 1,5 : 1 ; karenanya mencatat adanya shunt

merupakan bukti cukup untuk maju terus. Dalam tahun pertama atau

kedua, ada beberapa manfaat menunda sampai pasti bahwa defek tidak

akan menutup secara spontan. Sesudah umur 3 tahun, penundaan lebih

lanjut jarang dibenarkan. Indikasi utama penutupan defek sekat atrium


adalah mencegah penyakit vascular pulmonal abstruktif. Pencegahan

masalah irama di kemudian hari dan terjadinya gagal jantung kongesif

nantinya mungkin jadi dipertimbangkan, tetapi sebenarnya defek dapat

ditutup kemudian jika masalah ini terjadi. Sekarang resiko pembedahan

jantung untuk defek sekat atrium varietas sekundum benar-benar nol.

Dari 430 penderita yang dioperasi di Rumah Sakit Anak Boston, tidak

ada mortalitas kecuali untuk satu bayi kecil yang amat sakit yang

mengalami pengikatan duktus arteriosus paten. Kemungkinan penutupan

tidak sempurna pada pembedahan jarang. Komplikasi kemudian sesudah

pembedahan jarang dan terutama adalah masalah dengan irama atrium.

Berlawanan dengan pengalaman ini adalah masalah obstruksi vaskular

pulmonal yang sangat menghancurkan pada 5–10 persen penderita, yang

menderita penyakit ini. Penyakit vaskular pulmonal obstruktif hampir

selalu mematikan dalam beberapa tahun dan dengan sendirinya cukup

alasan untuk mempertimbangkan perbaikan bedah semua defek sekat

atrium

2. Penutupan Defek Sekat Atrium dengan kateter.

Alat payung ganda yang dimasukan dengan kateter jantung sekarang

digunakan untuk menutup banyak defek sekat atrium. Defek yang lebih

kecil dan terletak lebih sentral terutama cocok untuk pendekatan ini.

Kesukaran yang nyata yaitu dekatnya katup atrioventrikular dan

bangunan lain, seperti orifisium vena kava, adalah nyata dan hingga

sekarang, sistem untuk memasukkan alat cukup besar menutup defek

yang besar tidak tersedia. Keinginan untuk menghindari pemotongan

intratorak dan membuka jantung jelas. Langkah yang paling penting


pada penutupan defek sekat atrium transkateter adalah penilaian yang

tepat mengenai jumlah, ukuran dan lokasi defek. Defek yang lebih besar

dari pada diameter 25 mm, defek multipel termasuk defek di luar fosa

ovalis, defek sinus venosus yang meluas ke dalam vena kava, dan defek

dengan tepi jaringan kurang dari 3-6 mm dari katup trikuspidal atau

vena pulmonalis kanan dihindari.

3. Penderita dengan defek yang letaknya sesuai

Ukuran ditentukan dengan menggembungkan balon dan mengukur

diameter yang direntangkan. Payung dipilih yang 80% lebih besar

daripada diameter terentang dari defek. Lengan distal payung dibuka

pada atrium kiri dan ditarik perlahan-lahan tetapi dengan kuat

melengkungkan sekat ke arah kanan. Kemudian, lengan sisi kanan

dibuka dan payung didorong ke posisi netral. Lokasi yang tepat

dikonfirmasikan dan payung dilepaskan. Penderita dimonitor semalam,

besoknya pulang dan dirumat dengan profilaksi antibiotik selama 6-9

bulan. Seluruh penderita dengan ASD harus menjalani tindakan

penutupan pada defek tersebut, karena ASD tidak dapat menutup secara

spontan, dan bila tidak ditutup akan menimbulkan berbagai penyulit di

masa dewasa. Namun kapan terapi dan tindakan perlu dilakukan sangat

tergantung pada besar kecilnya aliran darah (pirau) dan ada tidaknya

gagal jantung kongestif, peningkatan tekanan pembuluh darah paru

(hipertensi pulmonal) serta penyulit lain. Sampai 5 tahun yang lalu,

semua ASD hanya dapat ditangani dengan operasi bedah jantung

terbuka. Operasi penutupan ASD baik dengan jahitan langsung ataupun


menggunakan patch sudah dilakukan lebih dari 40 tahun, pertama kali

dilakukan tahun 1953 oleh dr. Gibbson di Amerika Serikat, menyusul

ditemukannya mesin bantu pompa jantung-paru (cardio-pulmonary

bypass) setahun sebelumnya.

Tindakan operasi ini sendiri, bila dilakukan pada saat yang tepat (tidak

terlambat) memberikan hasil yang memuaskan, dengan risiko minimal

(angka kematian operasi 0-1%, angka kesakitan rendah). Murphy JG,

et.al melaporkan survival (ketahanan hidup) paska opearsi mencapai

98% dalam follow up 27 tahun setelah tindakan bedah, pada penderita

yang menjalani operasi di usia kurang dari 11 tahun. Semakin tua usia

saat dioperasi maka survival akan semakin menurun, berkaitan dengan

sudah terjadinya komplikasi seperti peningkatan tekanan pada pembuluh

darah paru

4. Terapi intervensi non bedah

Aso adalah alat khusus yang dibuat untuk menutup ASD tipe sekundum

secara non bedah yang dipasang melalui kateter secara perkutaneus

lewat pembuluh darah di lipat paha (arteri femoralis). Alat ini terdiri dari

2 buah cakram yang dihubungkan dengan pinggang pendek dan terbuat

dari anyaman kawat nitinol yang dapat teregang menyesuaikan diri

dengan ukuran ASD.


\

BAB III

PENJELASAN KASUS

RUANGAN : Cath Lab PJT..............................


RS : RSCM
TGL PENGKAJIAN : 23-5-2022
JAM : 08.30 WIB

1. PENGKAJIAN KLIEN
a. IDENTITAS KLIEN

Nama : Nn. DZ

No. RM : 4544591

Umur : 18 thn

Jenis Kelamin : Perempiuan

Agama : Islam

Alamat : Grama Puri Blok H 12 No 3

Pendidikan : SMP

Suku Bangsa : Jawa

Penanggung : BPJS

b. RIWAYAT KEPERAWATAN
1. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG (RPS)
a. Keluhan utama
Lemes, agak sesak, nyeri selangkangan kanan
b. Alasan masuk RS
Pasien mengatakan punya penyakit SLE, kemudian dikonsulkan ke
spesialis jantung dan dilakukan ECHO, dan hasilnya terdapat ASD

2. Riwayat Perawatan

Sejak April tahun 2021 pasien didiagnosa penyakit SLE. Pasien mengatakan
badan lemah, nyeri-nyeri dan kadang-kadang sesak nafas bila banyak
beraktivitas.

3. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


a. Riwayat penyakit dahulu: SLE
b. Riwayat Alergi: Tidak ada
c. Kebiasaan: Tidak ada kebiasaan khusus

4. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA

a. Riwayat penyakit : Sejak April tahun 2021 menderita SLE


b. Riwayat Penyakit keluarga: Tidak ada
c. Penyakit keturunan : Orang tua maupun saudara tidak ada yang memiliki
penyakit SLE dan Riwayat sakit jantung

c. OBSERVASI DAN PEMERIKSAAN FISIK


1. Keadaan Umum

Penampilan umum : Pasien tampak sakit sedang, post Tindakan TEE KIV ASO

Tingkat kesadaran : Apatis

Tanda Tanda Vital : Blood Presure 118/ 67 mm/Hg Respiratory Rate :


20-24 X/mnt

Temperature : 36 °C Pulse Rate :


78 X/mnt

Berat badan : 60 Kg
Tinggi Badan : 150 cm

Orientasi : Waktu : Dapat menyebutkan dengan benar tanggal saat


pengkajian

Tempat : Dapat menyebutkan dengan benar dimana


pasien saat ini berada

Orang : mampu mengenali perawat dan dokter

Keluhan : Kesadaran masih apatis post Tindakan. Saat diruang pulih pasien kompos
mentis, mengeluh sedikit sesak, nyeri pada selangkangan kanan skala nyeri 6

2. Pemeriksaan Head to Toe


a. Kepala
Rambut : Hitam, Panjang sedikit berminyak
Telinga : Simetris tidak ada kelainan dan mampu mendengar dengan
baik
Mata : Tidak ada kelainan, sklera putih, konjungtiva merah muda,
pupil isokor diameter 2/2 reflek cahaya +/+
Hidung : Tidak ada kelainan, lubang hidung tidak ada sumbatan dan
tidak ada nafas cuping hidung
Mulut : Terdapat saliva, terdengar suara stridor, psien mampu menelan
saliva
Wajah : Bentuk bulat, tidak ada kelainan, Ekpresi menahan nyeri
sedikit meringis terutama saat di mobilisasi mika miki
b. Leher: Tidak tampak adanya pembesaran vena jugularis
c. Payudara dan ketiak : Tidak ada kelainan
d. Dada
Inspeksi : Ekspansi paru baik dan simetris, Pulsasi apical tidak terlihat
Palpasi : Pulsasi apical teraba, tidak ada nyeri tekan, tidak ada masa
Perkusi : Resonan pada batas lapamg paru dan jantung
Auskultasi : Bunyi jantung I, II Normal, tidak ada gallop maupun murmur
e. Abdomen : Perut supel, tidak ada asites, bising usus 15 x/m
f. Genital : Pasien Wanita mengatakan personal hygiene baik
g. Rectal : Tidak terkaji
h. Muskuloskeletal : Ekstermitas tidak ada kelainan. Kekuatan otot : 5/5/5/5.
CRT 2 detik, akral hangat. Imobilisasi untuk 2 jam kedepan
i. Integumen : Post tindakan terdapat balutan tekan yang tebal di inguinalis
kanan untuk fiksasi daerah insersi
j. Neurologi : GCS : E 3 V: 4 M : 6. Refleks patologis tdk ada

3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan laboratorium
b. Pemeriksaan Radiologi

c. EKG
4. THERAPY MEDIS

IVFD : RL 20 tts/mnt

Injeksi : Fentanyl 50 mcg IV, Ketamin 10 mg IV, Propofol 80 mg IV, Roculak 30 mg,
SA 0,5 mg IV + Neostigmin 1 mg IV, Paracetamol 1 gr IV, Metoclopramide 10 mg IV

Per Oral : Tidak ada obat oral

5. ANALISA DATA DI RUANG PULIH

No Data Fokus Penyebab Masalah

1 DS: Pasien mengeluh agak sesak Hipersekesi jalan Bersihan jalan napas
DO: napas tidak efektif
KU post tindakan tampak sakit sedang.
Kesadaran masih apatis dalam
pengaruh obat dengan GCS 13.
Suara terdengar sedikit stridor
Produksi saliva ada
RR 24- 26 x/m
Saturasi 98 %
CRT 2 detik
Akral hangat
Saat ekstubasi dapat reverse

DS : Klien mengeluh nyeri bila


Agen pencedera fisik
2 bergerak , rasa perih seperti tersusuk, Nyeri
menyebar dari selangkangan kepaha
kanan, skala nyeri 6, nyeri terasa
hilang timbul
DO:
KU post tindakan tampak sakit sedang
Ekpresi menahan nyeri sedikit
meringis terutama saat di mobilisasi
mika miki
TD 118/ 67 mmHg - Resiko perdarahan
3 HR 78 x/m

DS: -
DO
KU tampak sakit sedang
Post dilakukan tindakan TEE KIV
ASO
Hasil PT 10,3 APTT 43,7
Jumlah pendarahan 50 ml
Daerah insersi di femoralis kanan,
terdapat balutan tekan yang tebal
Kaki kanan tidak boleh mobilisasi
selama 2 jam

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN PRIORITAS DIAGNOSA KEPERAWATAN

a. Bersihan jalan napas tidak efektif b/d Hipersekesi jalan napas


b. Nyeri akut b/d Agen pencedera fisik
c. Risiko Perdarahan
INTERVENSI KEPERAWATAN

No SDKI SLKI SIKI

1 Bersihan jalan Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama Manajemen Jalan Napas (I.01011)
napas tidak efektif 60menit Tindakan:
b/d Hipersekesi jalan maka diharapkan bersihan jalan napas membaik dengan Observasi:
napas kriteria hasil: 1. Monitor pola napas (frekuensi,
1. Bersihan jalan napas (L.01001) kedalaman, usaha napas)
2. Batuk efektif meningkat (5) 2. Monitor bunyi napas tambahan (mis.
3. Produksi sputum menurum (5) gurgling, mengi, wheezing, ronchi
4. Dispnea menurun (5) kering)
5. Frekuensi napas membaik (5) 3. Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
6. Pola napas membaik (5)
Terapeutik:
1. Pertahankan kepatenan jalan napas
dengan head- tilt dan chin-lift (jaw-
thrust jika curiga trauma servical)
2. Posisikan semi-fowler atau fowler
3. Lakukan fisioterapi dada,
jika perlu
4. Lakukan penghisapan lendir kurang
dari 15 detik
5. Keluarkan sumbatan

6. Berikan oksigen, jika perlu

Edukasi:
1. Ajarkan tehnik batuk efektif
Kolaborasi:
1. Kolaborasi pemberian bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik, jika perlu

2 Nyeri akut b/d Agen SLKI: Manajemen nyeri


pencedera fisik
   Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 60 Observasi
menit diharapkan nyeri pada pasien berkurang dengan 1. Identifikasi lokasi, karakteristik,
kriteria hasil : durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
Tingkat Nyeri nyeri
1. Nyeri berkurang dengan skala 2 2. Identifikasi skala nyeri
2. Pasien tidak mengeluh nyeri 3. Identifikasi respon nyeri nonverbal
3. Pasien tampak tenang 4. Identifikasi factor yang memperingan
4. Pasien dapat tidur dengan tenang dan memperberat nyeri
5. Frekuensi nadi dalam batas normal (60-100 x/menit) 5. Identifikasi pengetahuan dan
6. Tekanan darah dalam batas normal (90/60 mmHg – 120/80 keyakinan tentang nyeri
mmHg) 6. Identifikasi budaya terhadap respon
7. RR dalam batas normal (16-20 x/menit) nyeri
Kontrol Nyeri 7. Identifikasi pengaruh nyeri terhadap
1. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan kualitas hidup pasien
manajemen nyeri 8. Monitor efek samping penggunaan
2. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan analgetik
tanda nyeri) 9. Monitor keberhasilan terapi
Status Kenyamanan komplementer yang sudah diberikan
1. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang Terapeutik
1. Fasilitasi istirahat tidur
2. Kontrol lingkungan yang memperberat
nyeri ( missal: suhu ruangan,
pencahayaan dan kebisingan).
3. Beri teknik non farmakologis untuk
meredakan nyeri (aromaterapi, terapi
pijat, hypnosis, biofeedback, teknik
imajinasi terbimbimbing, teknik tarik
napas dalam dan kompres hangat/
dingin)
Edukasi
1. Jelaskan penyebab, periode dan
pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
3. Anjurkan menggunakan analgetik
secara tepat
4. Anjurkan monitor nyeri secara
mandiri
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian analgetik, jika
perlu

3 Risiko Perdarahan Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 60 menit Setelah diberikan asuhan keperawatan selama
diharapkan Tingkat perdarahan menurun dengan kriteria 60 menit diharapkan Tingkat perdarahan
hasil : menurun dengan kriteria hasil :
1. Kelembapan membarane mukosa meningkat 1. Kelembapan membarane mukosa
2. Kelembapan kulit meningkat meningkat
3. Kognitif meningkat 2. Kelembapan kulit meningkat
4. Perdarahan pasca operasi menurun 3. Kognitif meningkat
5. Hemoglobin membaik 4. Hemoptisis menurun
6. Hematokrit membaik 5. Hematemesis menurun
7. Tekanan darah membaik 6. Hematuri menurun
8. Denyut nadi apikal membaik 7. Perdarahan anus menurun
9. Suhu tubuh membaik 8. Distensi abdomen menurun
9. Perdarahan vagina menurun
10. Perdarahan pasca operasi menurun
11. Hemoglobin membaik
12. Hematokrit membaik
13. Tekanan darah membaik
14. Denyut nadi apikal membaik
15. Suhu tubuh membaik

Edukasi
1. Ajarkan meminimalkan penekanan
pada area insisi
2. Ajarkan cara merawat area insisi.

1. IMPLEMENTASI DAN EVALUASI


Hari/ tanggal : Senin/ 23 Mei 2022

NO SDKI IMPLEMENTASI Ttd EVALUASI Ttd


1. Bersihan jalan Observasi: S : Mengatakan sesak berkyrang, ludah
napas tidak 1. Memonitor pola napas (frekuensi
efektif b/d menurun bertahap, kedalaman berkurang
Hipersekesi jalan
nafas normal, usaha napas tidak
napas O:
ada)
2. Memonitor bunyi napas Kondisi umum sakit sedang
tambahan ( Stidor berkurang)
3. Memonitor saturasi, CRT dan Kesadaran Kompos Mentis
ektermitas
4. Memonitor saliva (jumlah RR 18 x/m, saturasi 100%
berkurang, warna jernih)
Akral hangat, CRT 2 detik
Terapeutik:
A : Masalah teratasi
1. Mempertahankan kepatenan jalan
napas dengan head- tilt dan chin- P : Intervensi stop, boleh pindah ke ruang
lift , terutama saat transfer ke
ruang pemulihan perawatan
2. Memposisikan pasien semi-fowler
3. Memberikan oksigen nasal kanul 2
lpm

Edukasi:
Ajarkan tehnik batuk efektif dan
memiringkan kepala saat saliva banyak

2 Nyeri akut b/d Manajemen nyeri S : Nyeri berkurang, skala 2


Agen pencedera
fisik Observasi O:
1. Identifikasi lokasi,
Kondisi umum sakit sedang
karakteristik, durasi, frekuensi,
Kesadaran Kompos Mentis
kualitas, intensitas nyeri
2. Identifikasi skala nyeri Ekspresi relaks tidak meringis
3. Identifikasi respon nyeri
Dapat kistirahat
nonverbal
TD 110/ 68 mmHg
4. Identifikasi factor yang
memperingan dan memperberat HR 68 x/m
nyeri
A : Masalah teratasi
5. Identifikasi pengetahuan dan
P : Intervensi dihentikan
keyakinan tentang nyeri
6. Identifikasi budaya terhadap
respon nyeri
7. Identifikasi pengaruh nyeri
terhadap kualitas hidup pasien
8. Monitor efek samping
penggunaan analgetik
9. Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah
diberikan
Terapeutik
1. Fasilitasi istirahat tidur
2. Kontrol lingkungan yang
memperberat nyeri ( missal:
suhu ruangan, pencahayaan dan
kebisingan).
3. Beri teknik non farmakologis
untuk meredakan nyeri
(aromaterapi, terapi pijat,
hypnosis, biofeedback, teknik
imajinasi terbimbimbing, teknik
tarik napas dalam dan kompres
hangat/ dingin)
Edukasi
1. Jelaskan penyebab, periode dan
pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan
nyeri
3. Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat
4. Anjurkan monitor nyeri secara
mandiri
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian analgetik, jika
perlu

3 Resiko Tingkat perdarahan menurun dengan S:-


kriteria hasil :
Pendarahan 1. Kelembapan membarane O:
mukosa meningkat
Kondisi umum sakit sedang
2. Kelembapan kulit meningkat
Kesadaran Kompos Mentis
3. Kognitif meningkat
4. Perdarahan pasca operasi Pasien mampu ikut instruksi utk
menurun
imobilisasi kaki kanan
5. Hemoglobin membaik
Balutan luka masih terpasang, kasa
6. Hematokrit membaik
7. Tekanan darah membaik bersih tidak ada rembesan darah
8. Denyut nadi apikal membaik
A : Masalah resiko perdarahan tidak
9. Suhu tubuh membaik
terjadi
Edukasi
P : Intervensi dihentikan
1. Ajarkan meminimalkan
penekanan pada area insisi
2. Ajarkan cara merawat area

insisi.

Anda mungkin juga menyukai