PENDAHULUAN
recovery room dalam proses lama pulih sadar, seperti adanya kejadian
lama waktu yang dibutuhkan pasien di ruang pulih sadar setelah operasi
pindah modified aldrete score adalah 35,8 menit dan pada saat di ruang pulih
sadar adalah 169,4 menit. Fenomena yang ditemukan di lapangan bahwa ada
macam, ada yang kurang dari 120 menit (2 jam) dan ada yang lebih dari 120
balance cairan pasien dan menjaga posisi pasien ditidurkan tanpa bantal di
kepala. Posisi ini dilakukan untuk mempertahankan jalan napas terbuka dan
bebas serta memungkinkan drainase mucus atau muntah. Jika pasien dibiarkan
tidur dengan posisi yang sama dalam jangka waktu tersebut, tentunya akan
yang
dapat digunakan di ruang pulih sadar yaitu modified aldrete score dan Post
penderita dari ruang pulih sadar langsung pulang ke rumahnya, sehingga score
tinggal (length of stay) penderita yang menjalani operasi di ruang pulih sadar.
Meskipun tidak ada literatur yang menyebutkan lama tinggal ideal di ruang
pulih sadar, akan tetapi hal tersebut akan lebih baik diketahui sebagai bahan
Anesthesia Care Unit (PACU). Idealnya adalah bangun dari anestesi secara
secara ketat sampai dengan keadaan stabil. Efek fisiologis yang ditimbulkan
tubuh seseorang dalam menjalani operasi berbeda - beda, tergantung dari
kondisi fisik pasien, jenis bedah yang dilakukan, jenis anestesi yang dipakai,
jenis obat yang diberikan, dan juga banyaknya dosis obat yang diberikan.
Semua hal itu dapat berpengaruh terhadap waktu pulih sadar pasien post
Study referensi ilmiah tentang lama waktu pencapaian tujuan pada pasien
Cipto Mangunkusumo
1. Bagi Peneliti
3. Bagi Profesi
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Ruang Pemulihan
operasi dan langsung diawasi oleh ahli anestesi. Semua komplikasi dapat terjadi
setiap saat, termasuk pada waktu pemindahan pasien dari kamar operasi ke ruang
pemulihan.
Ruang pemulihan (Recovery Room) atau disebut juga Post Anesthesia Care
Unit (PACU) adalah ruangan tempat pengawasan dan pengelolaan secara ketat
pada pasien yang baru saja menjalani operasi sampai dengan keadaan umum
pasien stabil.4
dipantau. Letak ruangan pemulihan yang ideal adalah berdekatan dengan ruang
operasi dan mudah di jangkau oleh dokter ahli anestesi atau ahli bedah sehingga
dijangkau bagian radiologi atau ruangan harus cukup dan dilengkapi dengan
sepanjang hari dan pengamatan secara intensif yang dilakukan didalamnya. Hal
ini dapat diartikan karena pada masa transisi tersebut kesadaran penderita belum
lebih besar dan ditambah lagi reflek perlindungan seperti reflek batuk, muntah
5
6
sangat di rasakan dimana pengaruh obat anestesi dan trauma pasca operasi masih
belum hilang dan masih mengancam status respirasi dan kardiovaskuler penderita.
merupakan modal dasar yang amat ampuh dalam mencegah penyulit yang tidak
diinginkan.13
cahaya cukup, dan Jumlah tempat tidur sesuai dengan jumlah ruang operasi.
Ruang pemulihan minimal mempunyai kapasitas tempat tidur 1,5 kali jumlah
2
ruang operasi. Area yang digunakan per tempat tidur sekurang-kurangnya 15 m .
anestesi yaitu:
darurat
2) Rasio : Pasien yaitu 3:1 (Ideal), 2:1 (Gawat), 1:1 (Sangat gawat)
3) Peralatan :
o Resusitasi set
pembedahan dan anestesia diakhiri sampai pasien pulih dari pengaruh anestesia. 12
1) Kelompok I
2) Kelompok II
kardiovascular.
3) Kelompok III
Pasien yang menjalani operasi kecil, singkat dan rawat jalan. Pasien pada
kelompok ini bukan hanya fungsi respirasinya tetapi harus bebas dari rasa
ngantuk, ataksia, nyeri dan kelemahan otot, sehingga pasien bisa kembali
pulang.12
8
yang dimulai ketika pasien diterima masuk di ruang terima pasien dan
tindakan pembedahan.
Fase Post operatif merupakan tahap lanjutan dari perawatan pre operatif
dan intra operatif yang dimulai ketika klien diterima di ruang pemulihan
pasca anaestesi dan berakhir sampai evaluasi tindak lanjut pada tatanan
mencakup rentang aktivitas yang luas selama periode ini. Pada fase ini
fokus pengkajian meliputi efek agen anestesi dan memantau fungsi vital
perawatan tindak lanjut dan rujukan yang penting untuk penyembuhan dan
1) Pasien yang belum sadar baik atau belum pulih dari pengaruh anestesia,
posisi kepala diatur sedemikian rupa agar kelapangan jalan napas tetap
dislokasi sendi.
4) Pada pasien yang sirkulasinya belum stabil bisa terjadi syok atau
hipotensi.
5) Pasien yang dilakukan blok spinal, posisi penderita dibuat sedemikian rupa
6) Yakinkan bahwa infus, pipa nasogastrik dan kateter urin tetap berfungsi
Menurut Brunner dan Suddarth bahwa dalam serah terima pasien pasca
operatif meliputi diagnosis medis dan jenis pembedahan, usia, kondisi umum,
tanda-tanda vital, jalan napas, obat-obat yang digunakan, masalah yang terjadi
5) Balance cairan
menjadi beban bagi jantung dan juga mungkin terkait dengan fungsi
eleminasi pasien.
beresiko besar untuk jatuh. Tempatkan pasien pada tempat tidur yang
nyaman dan pasang side railnya. Nyeri biasanya sangat dirasakan pasien,
12
pemulihan
1) Hemodinamik stabil
3) Nyeri terkontrol
4) Suhu normal
2.3.1 Kesadaran
sering dihadapi di ruang pulih. Banyak faktor penyulit yang sering dihadapi di
ruang pulih. Banyak faktor yang terlibat dalam penyulit ini. Apabila hal ini terjadi
diusahakan memantau tanda vital yang lain dan mempertahankan fungsinya agar
13
tetap adekuat. Disamping itu pasien belum sadar tidak merasakan adanya tekanan,
jepitan atau rangsangan pada anggota gerak, mata atau pada kulitnya sehingga
mudah mengalami cedera, oleh karena itu posisi pasien diatur sedemikian rupa,
mata ditutup dengan plester atau kasa yang basah sehingga terhindar dari cedera
bahkan bisa membahayakan dirinya sendiri. Penyebab gaduh gelisah pasca bedah
adalah :
3) Hipoksia
Komplikasi pasien post anestesia seperti tanda lambat bangun yaitu yang
terjadi bila ketidaksadaran selama 60 – 90 menit setelah anestesi umum. Hal ini
bisa diakibatkan :
2) Sedatif
3) Obat analgetik
o Hipoproteinemia
14
o Umur
o Hipotermia
2.3.2 Respirasi
fungsinya.12
Pasien tidak sadar sangat mudah mengalami sumbatan jalan napas akibat
dari jatuhnya lidah ke hipofaring, timbunan air liur atau sekret, bekuan darah, gigi
suara
Depresi sentral adalah yang paling sering akibat dari efek sisa opiat,
disamping itu bisa juga disebabkan oleh keadaan hipokapnea, hipotermia dan
hipoperfusi. Depresi perifer yaitu karena efek sisa pelupuh otot, nyeri, distensi
penyebabnya.
2.3.3 Sirkulasi
1. Tekanan darah
cairan. Dan ada pula sebab-sebab hipotensi / syok pasca bedah adalah perdarahan,
defisit cairan, depresi otot jantung dan dilatasi pembuluh darah yang berlebihan.
2. Dernyut Jantung
reflek vagal.
hipoksia.
Apabila sangat mengganggu dapat diberikan obat anti disritmia seperti lidokain.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian pasca bedah yang termasuk dalam
sirkulasi adalah:
kembali.
Perhatikan produksi urin, terutama pada pasien yang dicurigai risiko tinggi
mencapai > 0,5 cc/KgBB/jam, bila terjadi oliguria atau anuria, segera dicari
daripada menangani kejadian tersebut. Akan tetapi bila terjadi penyulit seperti ini
maka tindakan yang cepat dan tepat sangat diperlukan untuk mengatasi jalan
mengancam. Bila hal ini terjadi, pasien dirawat secara intensif di Unit Terapi
berhubungan erat dengan fungsi respirasi. Bila masih ada efek sisa pelumpuh otot,
18
pasien mengalami hipoventilasi dan aktivitas motorik yang lain juga belum
kembali normal.
menggerakkan anggota gerak terutama pada pasien menjelang sadar. Kalau sarana
memadai, dapat dilakukan uji kemampuan otot rangka dengan alat perangsang
saraf.
Penyulit hipotermi pasca bedah, tidak bisa dihindari terutama pada pasien
bayi/anak dan usia tua. Beberapa penyebab hipotermi di kamar operasi adalah:
2) Penggunaan desinfektan
3) Oksigenasi adekuat
Trauma akibat luka operasi sudah pasti akan menimbulkan nyeri. Hal ini
harus disadari sejak awal dan bila pasien mengeluh rasa nyeri atau ada tanda-tanda
napas, denyut nadi dan tekanan darah, serta pemeriksaan laboraturium yaitu kadar
gula darah. Intensitas nyeri dinilai dengan “visual analog scale” (VAS) dengan
preparat atau obat yaitu analgesia lokal atau analgetik non steroid atau anti
blok epidural.
ventilasi alveolar berkurang. Disamping itu kamampuan batuk pasca bedah untuk
mengeluarkan sputum berkurang sehingga timbul retensi sputum. Oleh karena itu
pada pasien pasca laparotomi tinggi yang insisinya mencapai prosesus sifoideus
dilakukan ventilasi mekanik selama 1 x 24 jam, selanjutnya pada saat yang sama
opiat (morfin).
2.3.9 Posisi
Posisi pasien perlu diatur di tempat tidur ruang pulih. Hal ini perlu
3) Posisi terlentang dengan elevansi kedua tungkai dan bahu (kepala) pada
Penilaian dilakukan :
1. Saat masuk
sampai tercapai nilai total 10. Nilai untuk pengiriman pasien adalah 10.
23
adalah:
Pasien bisa dipindahkan ke ruang perawatan dari ruang pemulihan jika nilai
pengkajian post anestesi adalah >7-8. Lama tinggal di ruang pulih tergantung dari
teknik anestesi yang digunakan. Pasien dikirim ke ICU (Intensive Care Unit) apabila
A. Definisi
Atrial septal defeck ( ASD ) adalah penyakit jantung bawaan lubang (defek) pada septum
interatrial (sekat antar serambi) yang terjadi karena kegagalan fungsi interatrial semasa janin, atrial
septal defect adalah suatu lubang pada dinding (septum) yang memisahkan jantung bagian atas
( atrium kiri dan kanan ).
Atrial Septal Defect (ASD) adalah terdapatnya hubungan atrium kanan dengan atrium kiri
yang tidak ditutup oleh katup ( Markum, 1991).
ASD adalah defek pada sekat yang memisahkan atrium kiri dan kanan. (Sudigdo
Sastroasmoro, 1994).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Atrial Septal Defect
24
( ASD ) penyakit jantung bawaan dimana terdapat lubang ( defek ) pada sekat atau septum interatrial
yang memisahkan atrium kiri dan kanan yang terjadi karena kegagalan fusi septum interatial semasa
janin.
B. Klasifikasi
Tiga macam variasi yang terdapat pada ASD, yaitu :
a. Ostium primum ( ASD I ), letak lubang dibagian bawah septum, disertai kelainan katub
mitral
b. Ostium secundum (ASD 2 ), letak lubang di tengah septum
c. Sinus venosus defek, lubang berada di antara vena kava superior dan atrium kanan
C. Etiologi
Penyebabnya belum dapat diketahui secara pasti, tetapi ada beberapa faktor yang diduga
mempunyai pengaruh pada peningkatan angka kejadian ASD.
Faktor-faktor tersebut diantaranya :
1. Faktor Prenatal
1) Ibu menderita penyakit infeksi rubella
2) Ibu alkoholisme
3) Umur ibu lebih dari 40 tahun
4) Ibu meminum obat-obatan penenang atau jamu
2. Faktor Genetik
1) Anak yang lahir sebelumnya menderita PJB
2) Ayah atau ibu menderita PJB
3) Kelainan kromosom misalnya Sindroma Down
4) Lahir dengan kelainan bawaan lain
5) Faktor Hemodinamik
Tekanan di atrium kiri lebih tinggi dari pada tekanan di natrium kanan sehingga memungkinkan
aliran darah dari atrium kiri ke atrium kanan
D. Manifestasi Klinis
Sebagian besar penderita ASD tidak menampakkan gejala (asimptomatik) pada masa
kecilnya, kecuali pada ASD besar yang dapat menyebabkan kondisi gagal jantung di tahunpertama
kehidupan pada sekitar 5% penderita. Kejadian gagal jantung meningkat pada dekade ke-4 dan ke-5,
dengan disertai adanya gangguan aktivitas listrik jantung (aritmia). Gejala yang muncul pada masa
bayi dan kanak-kanak adalah adanya infeksi saluran nafasbagian bawah berulang, yang ditandai dengan
keluhan batuk dan panas hilang timbul (tanpapilek). Selain itu gejala gagal jantung (pada ASD besar) dapat
berupa sesak napas, kesulitanmenyusu, gagal tumbuh kembang pada bayi atau cepat capai saat
aktivitas fisik pada anak yang lebih besar. Selanjutnya dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
25
penunjang seperti elektro-kardiografi (EKG), rontgent dada dan echo-cardiografi, diagnosis ASD
dapat ditegakkan.
Gejalanya bisa berupa :
1) Sering mengalami infeksi saluran pernafasan.
2) Dispneu (kesulitan dalam bernafas)
3) Sesak nafas ketika melakukan aktivitas
4) Jantung berdebar-debar (palpitasi)
5) Pada kelainan yang sifatnya ringan sampai sedang, mungkin sama sekali
6) Tidak ditemukangejala atau gejalanya baru timbul pada usia pertengahan Aritmia.
E. Patofisiologi
Penyakit dari penyakit jantung kongentinal ASD ini belum dapat dipastikan banyak kasus
mungkin terjadi akibat aksi trotogen yang tidak diketahui dalam trisemester pertama kehamilan saat
terjadi perkembangan jantung janin. Pertama kehidupan status, saat struktur kardiovaskuler terbentuk
kecuali duktus arteriosis paten yaitu saluran normal untuk status yang harus menututp dalam beberapa
hari pertama.
Darah artenal dari atrium kiri dapat masuk ke atrium kanan melalui defek sekat ini. Aliran ini
tidak deras karena perbedaan tekanan pada atrium kiri dan kanan tidak begitu besar (tekanan pada
atrium kiri 6 mmHg sedang pada atrium kanan 5 mmHg) . Adanya aliran darah menyebabkan
penambahan beban pada ventrikel kanan, arteri pulmonalis, kapiler paru-paru dan atrium kiri. Bila
shunt besar, maka volume darah yang melalui arteri pulmonalis dapat 3-5 kali dari darah yang melalui
aorta.
Dengan bertambahnya volume aliran darah pada ventrikel kanan dan arteri pulmonalis. Maka
tekanan pada alat–alat tersebut naik., dengan adanya kenaikan tekanan, maka tahanan katup arteri
pulmonalis naik, sehingga adanya perbedaan tekanan sekitar 15 -25 mmHg. Akibat adanya perbedaan
tekanan ini, timbul suatu bising sistolik ( jadi bising sistolik pada ASD merupakan bising dari stenosis
relatif katup pulmonal ). Pada valvula trikuspidalis juga ada perbedaan tekanan, sehingga disini juga
terjadi stenosis relatif katup trikuspidalis sehingga terdengar bising diastolik.
Karena adanya penambahan beban yang terus menerus pada arteri pulmonalis, maka lama
kelamaan akan terjadi kenaikan tahanan pada arteri pulmunalis dan akibatnya akan terjadi kenaikan
tekanan ventrikel kanan yang permanen. Tapi kejadian ini pada ASD terjadinya sangat lambat ASD I
sebagian sama dengan ASD II. Hanya bila ada defek pada katup mitral atau katup trikuspidal,
sehingga darah dari ventrikel kiri atau ventrikel kanan mengalir kembali ke atrium kiri dan atrium
kanan pada waktu systole. Keadaan ini tidak pernah terjadi pada ASD II.
Arah shunt pun bisa berubah menjadi dari kanan kekiri sehingga sirkulasi darah sistemik
banyak mengandung darah yang rendah oksigen akibatnya terjadi hipoksemi dan sianosis.
F. Komplikasi
26
1) Endokarditis
2) Obtruksi pembuluh darah pulmonal (Hipertensi Pulmonal)
3) Aritmia
4) Henti jantung
G. Gambaran Klinik
Sebagian besar penderita ASD tidak menampakkan gejala (asimptomatik) pada masa
kecilnya, kecuali pada ASD besar yang dapat menyebabkan kondisi gagal jantung di
tahunpertama kehidupan pada sekitar 5% penderita. Kejadian gagal jantung meningkat pada
dekade ke-4 dan ke-5, dengan disertai adanya gangguan aktivitas listrik jantung (aritmia). Gejala
yang muncul pada masa bayi dan kanak-kanak adalah adanya infeksi saluran nafasbagian bawah
berulang, yang ditandai dengan keluhan batuk dan panas hilang timbul (tanpapilek). Selain itu
gejala gagal jantung (pada ASD besar) dapat berupa sesak napas, kesulitanmenyusu, gagal
tumbuh kembang pada bayi atau cepat capai saat aktivitas fisik pada anak yang lebih besar.
Selanjutnya dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti elektro-kardiografi
(EKG), rontgent dada dan echo-cardiografi, diagnosis ASD dapat ditegakkan.
Gejalanya bisa berupa :
1. Sering mengalami infeksi saluran pernafasan.
2. Dispneu (kesulitan dalam bernafas)
3. Sesak nafas ketika melakukan aktivitas
4. Jantung berdebar-debar (palpitasi)
5. Pada kelainan yang sifatnya ringan sampai sedang, mungkin sama sekali
6. Tidak ditemukangejala atau gejalanya baru timbul pada usia pertengahan Aritmia.
H. Penatalaksanaan
1. ASD kecil (diameter < 5 mm) karena tidak menyebabkan gangguan hemodinamik dan
bahaya endokarditis infeksi, tidak perlu dilakukan operasi.
2. ASD besar (diameter > 5 mm s/d beberapa centimeter), perlu tindaklan pembedahan
dianjurkan < 6 tahun, karena dapat menyebabkan hipertensi pulmonal (walaupun
lambat)
1. Pembedahan : menutup defek dengan kateterisasi jantung
Untuk tujuan praktis, penderita dengan defek sekat atrium dirujuk ke ahli bedah
untuk penutupan bila diagnosis pasti. Berdalih tentang pembedahan jantung yang didasarkan
pada ukuran shunt menempatkan lebih pada kepercayaan terhadap data dari pada alasan yang
diberikan. Dengan terbuktinya defek sekat atrium dengan shunt dari kiri ke kanan pada anak
yang umurnya lebih dari 3 tahun, penutupan adalah beralasan. Agar terdeteksi, shunt dari kiri
ke kanan harus memungkinkan rasio QP/QS sekurang-kurangnya 1,5 : 1 ; karenanya mencatat
adanya shunt merupakan bukti cukup untuk maju terus. Dalam tahun pertama atau kedua, ada
27
beberapa manfaat menunda sampai pasti bahwa defek tidak akan menutup secara spontan.
Sesudah umur 3 tahun, penundaan lebih lanjut jarang dibenarkan. Indikasi utama penutupan
defek sekat atrium adalah mencegah penyakit vascular pulmonal abstruktif. Pencegahan
masalah irama di kemudian hari dan terjadinya gagal jantung kongesif nantinya mungkin jadi
dipertimbangkan, tetapi sebenarnya defek dapat ditutup kemudian jika masalah ini terjadi.
Sekarang resiko pembedahan jantung untuk defek sekat atrium varietas sekundum benar-
benar nol. Dari 430 penderita yang dioperasi di Rumah Sakit Anak Boston, tidak ada
mortalitas kecuali untuk satu bayi kecil yang amat sakit yang mengalami pengikatan duktus
arteriosus paten. Kemungkinan penutupan tidak sempurna pada pembedahan jarang.
Komplikasi kemudian sesudah pembedahan jarang dan terutama adalah masalah dengan
irama atrium. Berlawanan dengan pengalaman ini adalah masalah obstruksi vaskular
pulmonal yang sangat menghancurkan pada 5–10 persen penderita, yang menderita penyakit
ini. Penyakit vaskular pulmonal obstruktif hampir selalu mematikan dalam beberapa tahun
dan dengan sendirinya cukup alasan untuk mempertimbangkan perbaikan bedah semua defek
sekat atrium
2. Penutupan Defek Sekat Atrium dengan kateter.
Alat payung ganda yang dimasukan dengan kateter jantung sekarang digunakan
untuk menutup banyak defek sekat atrium. Defek yang lebih kecil dan terletak lebih sentral
terutama cocok untuk pendekatan ini. Kesukaran yang nyata yaitu dekatnya katup
atrioventrikular dan bangunan lain, seperti orifisium vena kava, adalah nyata dan hingga
sekarang, sistem untuk memasukkan alat cukup besar menutup defek yang besar tidak
tersedia. Keinginan untuk menghindari pemotongan intratorak dan membuka jantung jelas.
Langkah yang paling penting pada penutupan defek sekat atrium transkateter adalah penilaian
yang tepat mengenai jumlah, ukuran dan lokasi defek. Defek yang lebih besar dari pada
diameter 25 mm, defek multipel termasuk defek di luar fosa ovalis, defek sinus venosus yang
meluas ke dalam vena kava, dan defek dengan tepi jaringan kurang dari 3-6 mm dari katup
trikuspidal atau vena pulmonalis kanan dihindari.
menimbulkan berbagai penyulit di masa dewasa. Namun kapan terapi dan tindakan perlu
dilakukan sangat tergantung pada besar kecilnya aliran darah (pirau) dan ada tidaknya gagal
jantung kongestif, peningkatan tekanan pembuluh darah paru (hipertensi pulmonal) serta
penyulit lain. Sampai 5 tahun yang lalu, semua ASD hanya dapat ditangani dengan operasi
bedah jantung terbuka. Operasi penutupan ASD baik dengan jahitan langsung ataupun
menggunakan patch sudah dilakukan lebih dari 40 tahun, pertama kali dilakukan tahun 1953
oleh dr. Gibbson di Amerika Serikat, menyusul ditemukannya mesin bantu pompa jantung-
paru (cardio-pulmonary bypass) setahun sebelumnya.
Tindakan operasi ini sendiri, bila dilakukan pada saat yang tepat (tidak terlambat)
memberikan hasil yang memuaskan, dengan risiko minimal (angka kematian operasi 0-1%,
angka kesakitan rendah). Murphy JG, et.al melaporkan survival (ketahanan hidup) paska
opearsi mencapai 98% dalam follow up 27 tahun setelah tindakan bedah, pada penderita yang
menjalani operasi di usia kurang dari 11 tahun. Semakin tua usia saat dioperasi maka survival
akan semakin menurun, berkaitan dengan sudah terjadinya komplikasi seperti peningkatan
tekanan pada pembuluh darah paru
4. Terapi intervensi non bedah
Aso adalah alat khusus yang dibuat untuk menutup ASD tipe sekundum secara non
bedah yang dipasang melalui kateter secara perkutaneus lewat pembuluh darah di lipat paha
(arteri femoralis). Alat ini terdiri dari 2 buah cakram yang dihubungkan dengan pinggang
pendek dan terbuat dari anyaman kawat nitinol yang dapat teregang menyesuaikan diri
dengan ukuran ASD.
DAFTAR PUSTAKA
Behrman et al. (1996). Nelson Textbook of Pediatrics. 15 th ed. United States: WB Saunders Company
Brunner&Studdart. (2002). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
Carpenito. (2000). Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC
Gray et al. (2002). Lecturer Notes: Kardiologi. Jakarta: 2005
Wong et al. (2003). Nursing Care of Infants and Children. Missouri: Mosby
Woods et al. (2005). Cardiac Nursing. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins
29