Anda di halaman 1dari 29

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemulihan kesadaran dari anestesi memerlukan waktu dan dapat

terjadi stres fisiologi pasien. Pemulihan kesadaran pasien pasca general

anestesi sebaiknya secara pelan-pelan dalam lingkungan yang terkontrol di

ruang perawatan pasca anestesi Recovery Room dengan tujuan memulihkan

kesadaran pasien semaksimal mungkin tanpa komplikasi pada system

pernafasan serta mempertahankan hemodinamik dan membantu proses

penyembuhan. Sering dijumpai pasien mengalami berbagai masalah diruangan

recovery room dalam proses lama pulih sadar, seperti adanya kejadian

sumbatan jalan nafas, thrombosis dan tromboemboli yang bisa menyebabkan

kematian. (Kunto, 2012)

Berdasarkan penelitian Heru Setiyanto tahun (2011) tentang berapa

lama waktu yang dibutuhkan pasien di ruang pulih sadar setelah operasi

dengan general anastesi menggunakan discharged criteria modified aldrete

score menyatakan responden yang mengalami terlambat pindah 313 (93,4%)

sedangkan yang tidak mengalami terlambat pindah 22 (6,6%). Dengan waktu

rata-rata lama tinggal responden yang terlambat pindah berdasarkan kriteria

pindah modified aldrete score adalah 35,8 menit dan pada saat di ruang pulih

sadar adalah 169,4 menit. Fenomena yang ditemukan di lapangan bahwa ada

beberapa pasien di Recovery Room yang dengan masa pemulihan bermacam-

macam, ada yang kurang dari 120 menit (2 jam) dan ada yang lebih dari 120

menit (Priyanto 2014). Menurut teori Matthew Gwinnutt 2012 dibukunya

mengatakan bahwa membutuhkan waktu 30 menit pasien post operasi dengan

general anestesi bisa dipindah ke ruangan itupun harus memenuhi kriteria


pengeluaran sesuai observasi modified aldrete score.

Pasien pasca bedah dengan anestesi akan dirawat di recovery room

dengan memonitoring hemodinamika, memberikan oksigen, melakukan

balance cairan pasien dan menjaga posisi pasien ditidurkan tanpa bantal di

kepala. Posisi ini dilakukan untuk mempertahankan jalan napas terbuka dan

bebas serta memungkinkan drainase mucus atau muntah. Jika pasien dibiarkan

tidur dengan posisi yang sama dalam jangka waktu tersebut, tentunya akan

berdampak pada proses pemulihan semakin lama. Terdapat 2 (dua) kriteria

yang

dapat digunakan di ruang pulih sadar yaitu modified aldrete score dan Post

Anesthesia Discharged Scoring Sysyem (PADSS). Modified aldrete score

merupakan kriteria untuk memindahkan penderita dari ruang pulih sadar ke

ruangan asal di rawat. Post Anesthesia Discharged Scoring Sysyem adalah

kriteria yang dikembangkan dari modified aldrete score untuk memindahkan

penderita dari ruang pulih sadar langsung pulang ke rumahnya, sehingga score

ini dapat digunakan sebagai alat ukur pemulangan pasien. Dengan

menggunakan sistim Post Anesthesia Discharged Scoring Sysyem dan

menggunakan discharged criteria modified aldrete score akan diketahui lama

tinggal (length of stay) penderita yang menjalani operasi di ruang pulih sadar.

Meskipun tidak ada literatur yang menyebutkan lama tinggal ideal di ruang

pulih sadar, akan tetapi hal tersebut akan lebih baik diketahui sebagai bahan

pertimbangan dalam mengatur penderita di tempat tersebut. (Larson, M 2014)

Pemulihan dari anestesi umum atau anestesi regional secara rutin

dikelola di ruang pemulihan (Recovery Room) atau disebut juga Post

Anesthesia Care Unit (PACU). Idealnya adalah bangun dari anestesi secara

bertahap, tanpa keluhan dan mulus dengan pengawasan dan pengelolaan

secara ketat sampai dengan keadaan stabil. Efek fisiologis yang ditimbulkan
tubuh seseorang dalam menjalani operasi berbeda - beda, tergantung dari

kondisi fisik pasien, jenis bedah yang dilakukan, jenis anestesi yang dipakai,

jenis obat yang diberikan, dan juga banyaknya dosis obat yang diberikan.

Semua hal itu dapat berpengaruh terhadap waktu pulih sadar pasien post

operasi (Matthew Gwinnutt, 2012). Rumusan Masalah

Bagaimana tentang proses pemulihan kesadaran pada pasien post operasi di


ruang Recovery Room di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo ?

1.2 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Study referensi ilmiah tentang lama waktu pencapaian tujuan pada pasien

post operasi dengan general anestesi pada masalah keperawatan resiko


perlambatan pemulihan pasca bedah di Recovery Room RSUPN Dr.

Cipto Mangunkusumo

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Bagi Peneliti

Meningkatkan atau mengembangkan pengalaman dalam melakukan

intervensi keperawatan khususnya keperawatan kegawatdaruratan

tentang lama waktu pencapaian tujuan pada pasien post operasi

dengan general anestesi pada masalah keperawatan resiko

perlambatan pemulihan pasca bedah di Recovery Room

2. Bagi Ilmu Keperawatan

Sebagai panduan atau pertimbangan untuk lebih meningkatkan

kemampuan dalam memberikan intervensi keperawatan kegawat

daruratan pada lama waktu pencapaian tujuan pada pasien post

operasi dengan general anestesi pada masalah keperawatan resiko


perlambatan pemulihan pasca bedah di Recovery Room

3. Bagi Profesi

Menambah dan meningkatkan wawasan bagi perawat dalam memberikan


asuhan keperawatan kegawatdaruratan sesuai standart asuahan keperawatan
(pengkajian, diagnose keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi
keperawatan dan evaluasi).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Ruang Pemulihan

Periode pulih sadar dimulai segera setelah pasien meninggalkan meja

operasi dan langsung diawasi oleh ahli anestesi. Semua komplikasi dapat terjadi

setiap saat, termasuk pada waktu pemindahan pasien dari kamar operasi ke ruang

pemulihan.

Ruang pemulihan (Recovery Room) atau disebut juga Post Anesthesia Care

Unit (PACU) adalah ruangan tempat pengawasan dan pengelolaan secara ketat

pada pasien yang baru saja menjalani operasi sampai dengan keadaan umum

pasien stabil.4

Pasien operasi yang ditempatkan di ruang pemulihan secara terus menerus

dipantau. Letak ruangan pemulihan yang ideal adalah berdekatan dengan ruang

operasi dan mudah di jangkau oleh dokter ahli anestesi atau ahli bedah sehingga

mudah dibawa kembalikan ke ruang operasi bila diperlukan, serta mudah

dijangkau bagian radiologi atau ruangan harus cukup dan dilengkapi dengan

lampu cadangan bila sewaktu-waktu terjadi pemadaman aliran listrik.

Kamar pulih sadar merupakan perluasan kamar operasi, harus terbuka

sepanjang hari dan pengamatan secara intensif yang dilakukan didalamnya. Hal

ini dapat diartikan karena pada masa transisi tersebut kesadaran penderita belum

pulih secara sempurna sehingga kecenderungan terjadinya sumbatan jalan napas

lebih besar dan ditambah lagi reflek perlindungan seperti reflek batuk, muntah

5
6

maupun menelan belum kembali normal, kemungkinan terjadi aspirasi yang

sangat di rasakan dimana pengaruh obat anestesi dan trauma pasca operasi masih

belum hilang dan masih mengancam status respirasi dan kardiovaskuler penderita.

Upaya pengamatan yang amat cermat terhadap tanda-tanda vital penderita

merupakan modal dasar yang amat ampuh dalam mencegah penyulit yang tidak

diinginkan.13

Dalam syarat ruang pemulihan harus memiliki pintu lebar, penerangan

cahaya cukup, dan Jumlah tempat tidur sesuai dengan jumlah ruang operasi.

Ruang pemulihan minimal mempunyai kapasitas tempat tidur 1,5 kali jumlah
2
ruang operasi. Area yang digunakan per tempat tidur sekurang-kurangnya 15 m .

Jarak antara tempat tidur pemulihan sekurang-kurangnya 1,50 m.18

Infrastruktur dalam ruang pemulihan harus dibawah pengawasan dokter

anestesi yaitu:

1) Perawat terlatih khusus dan trampil dalam pengawasan keadaan

darurat

2) Rasio : Pasien yaitu 3:1 (Ideal), 2:1 (Gawat), 1:1 (Sangat gawat)

3) Peralatan :

o Satu tempat punya 1 sumber O2

o Suction, stetoskop, tensimeter, termometer

o Monitor : ECG dan SaO2

o Resusitasi set

o Obat-obat emergency / cairan


7

2.2 Tatalaksana pasca operatif

Pasca anestesia merupakan periode kritis, yang segera dimulai setelah

pembedahan dan anestesia diakhiri sampai pasien pulih dari pengaruh anestesia. 12

Risiko pasca anestesi dapat di bedakan berdasarkan masalah-masalah yang akan

dijumpai pasca anestesia/bedah dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok :

1) Kelompok I

Pasien yang mempunyai risiko tinggi gagal napas dan gangguan

hemodinamik pasca anestesia/bedah, sehingga perlu napas kendali pasca

anestesia/bedah. Pasien yang termasuk dalam kelompok ini langsung

dirawat di Unit Terapi Intensif pasca anestesia/bedah tanpa menunggu

pemulihan di ruang pulih.

2) Kelompok II

Sebagian besar pasien pasca anestesia/bedah termasuk dalam kelompok

ini, tujuan perawatan pasca anestesia/bedah adalah menjamin agar pasien

secepatnya mampu menjaga keadekuatan respirasinya dan kestabilan

kardiovascular.

3) Kelompok III

Pasien yang menjalani operasi kecil, singkat dan rawat jalan. Pasien pada

kelompok ini bukan hanya fungsi respirasinya tetapi harus bebas dari rasa

ngantuk, ataksia, nyeri dan kelemahan otot, sehingga pasien bisa kembali

pulang.12
8

Terdapat 3 tahap dalam keperawatan periopertif :16

1) Fase pre operatif

Fase pre operatif merupakan tahap pertama dari perawatan perioperatif

yang dimulai ketika pasien diterima masuk di ruang terima pasien dan

berakhir ketika pasien dipindahkan ke meja operasi untuk dilakukan

tindakan pembedahan.

2) Fase intar operatif

Fase intra operatif dimulai ketika pasien masuk atau dipindahkan ke

instalasi bedah dan berakhir saat pasien dipindahkan ke ruang pemulihan.

Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan mencakup pemasangan IV

cath, pemberian medikasi intaravena, melakukan pemantauan kondisi

fisiologis menyeluruh sepanjang prosedur pembedahan dan menjaga

keselamatan pasien. Contoh : memberikan dukungan psikologis selama

induksi anestesi, atau membantu mengatur posisi pasien di atas meja

operasi dengan menggunakan prinsip - prinsip dasar kesimetrisan tubuh.

3) Fase post operatif

Fase Post operatif merupakan tahap lanjutan dari perawatan pre operatif

dan intra operatif yang dimulai ketika klien diterima di ruang pemulihan

pasca anaestesi dan berakhir sampai evaluasi tindak lanjut pada tatanan

klinik atau di rumah. Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan

mencakup rentang aktivitas yang luas selama periode ini. Pada fase ini

fokus pengkajian meliputi efek agen anestesi dan memantau fungsi vital

serta mencegah komplikasi. Aktivitas keperawatan kemudian berfokus


9

pada peningkatan penyembuhan pasien dan melakukan penyuluhan,

perawatan tindak lanjut dan rujukan yang penting untuk penyembuhan dan

rehabilitasi serta pemulangan ke rumah.

2.2.1 Pemindahan pasien dari kamar operasi

Pemindahan pasien dilaksanakan dengan hati-hati mengingat :

1) Pasien yang belum sadar baik atau belum pulih dari pengaruh anestesia,

posisi kepala diatur sedemikian rupa agar kelapangan jalan napas tetap

adekuat sehingga ventilasi terjamin.

2) Apabila dianggap perlu, pada pasien yang belum bernapas spontan,

diberikan napas buatan.

3) Gerakan pada saat memindahkan pasien dapat menimbulkan atau

menambah rasa nyeri akibat tindakan pembedahan dan bisa terjadi

dislokasi sendi.

4) Pada pasien yang sirkulasinya belum stabil bisa terjadi syok atau

hipotensi.

5) Pasien yang dilakukan blok spinal, posisi penderita dibuat sedemikian rupa

agar aliran darah dari daerah tungkai ke proksimal lancar.

6) Yakinkan bahwa infus, pipa nasogastrik dan kateter urin tetap berfungsi

dengan baik atau tidak lepas.

7) Tidak perlu mendorong kereta tergesa-gesa karena hal tersebut dapat

mengakibatkan rasa nyeri dari daerah bekas operasi, perubahan posisi

kepala, sehingga dapat menimbulkan masalah ventilasi, muntah atau

regurgitasi, dan kegoncangan sirkulasi12.


10

2.2.2 Serah terima pasien di ruang pulih

Menurut Brunner dan Suddarth bahwa dalam serah terima pasien pasca

operatif meliputi diagnosis medis dan jenis pembedahan, usia, kondisi umum,

tanda-tanda vital, jalan napas, obat-obat yang digunakan, masalah yang terjadi

selama pembedahan, cairan yang diberikan, jumlah perdarahan, informasi tentang

dokter bedah dan anesthesia.17

Hal-hal yang perlu disampaikan pada saat serah terima adalah:

1) Masalah-masalah tatalaksana anestesia, penyulit selama

anetesia/pembedahan, pengobatan dan reaksi alergi yang mungkin terjadi.

2) Tindakan pembedahan yang dikerjakan, penyulit-penyulit saat

pembedahan, termasuk jumlah perdarahan.

3) Jenis anestesia yang diberikan dan masalah-masalah yang terjadi,

termasuk cairan elektrolit yang diberikan selama operasi, diuresis serta

gambaran sirkulasi dan respirasi.

4) Posisi pasien di tempat tidur.

5) Hal-hal lain yang perlu mendapatkan pengawasan khusus sesuai dengan

permaslaahan yang terjadi selama anestesi/operasi.

6) Dan apakah pasien perlu mendapatkan penanganan khusus di ruangan

terapi intensif (sesuai dengan instruksi dokter).12

2.2.3 Tujuan perawatan pasca anestesia/pembedahan di ruang pemulihan

Tujuan perawatan pasca anestesia yaitu untuk memulihkan kesehatan

fisiologi dan psikologi antara lain:


11

1) Mempertahankan jalan napas, dengan mengatur posisi, memasang

sunction dan pemasangan mayo/gudel.

2) Mempertahankan ventilasi/oksigenasi, dengan pemberiam bantuan napas

melalui ventilator mekanik atau nasal kanul.

3) Mempertahankan sirkulasi darah, dapat dilakukan dengan pemberian

cairan plasma ekspander.

4) Observasi keadaan umum, observasi vomitus dan drainase

Keadaan umum dari pasien harus diobservasi untuk mengetahui keadaan

pasien, seperti kesadaran. Vomitus atau muntahan mungkin saja terjadi

akibat pengaruh anestesia sehingga perlu dipantau kondisi vomitusnya.

Selain itu drainase sangat penting untuk dilakukan observasi terkait

dengan kondisi perdarahan yang dialami pasien.

5) Balance cairan

Harus diperhatikan untuk mengetahui input dan output cairan. Cairan

harus balance untuk mencegah komplikasi lanjutan, seperti dehidrasi

akibat perdarahan atau justru kelebihan cairan yang mengakibatkan

menjadi beban bagi jantung dan juga mungkin terkait dengan fungsi

eleminasi pasien.

6) Mempertahankan kenyamanan dan mencegah resiko injuri

Pasien post anestesi biasanya akan mengalami kecemasan, disorientasi dan

beresiko besar untuk jatuh. Tempatkan pasien pada tempat tidur yang

nyaman dan pasang side railnya. Nyeri biasanya sangat dirasakan pasien,
12

diperlukan intervensi keperawatan yang tepat juga kolaborasi dengan

medis terkait dengan agen pemblok nyerinya.

2.2.4 Pasien yang tidak memerlukan perawatan pasca anestesia/bedah di ruang

pemulihan

1) Pasien dengan analgesik lokal yang kondisinya normal / stabil.

2) Pasien dengan risiko tinggi tertular infeksi sedangkan di ruang pemulihan

tidak ada ruang isolasi.

3) Pasien yang memerlukan terapi intensif.

4) Pasien yang akan dilakukan tindakan khusus di ruangan (atas kesepakatan

Dokter Spesialis Bedah dan Spesialis Anestesiologi.

2.2.5 Kriteria kembali ke bangsal

1) Hemodinamik stabil

2) Ventilasi spontan adekuat

3) Nyeri terkontrol

4) Suhu normal

5) Mual / muntah minimal dan pasien dapat menjaga dirinya sendiri

2.3 Pemantauan dan penanggulangan kedaruratan medik

2.3.1 Kesadaran

Pemanjangan pemulihan kesadaran, merupakan salah satu penyulit yang

sering dihadapi di ruang pulih. Banyak faktor penyulit yang sering dihadapi di

ruang pulih. Banyak faktor yang terlibat dalam penyulit ini. Apabila hal ini terjadi

diusahakan memantau tanda vital yang lain dan mempertahankan fungsinya agar
13

tetap adekuat. Disamping itu pasien belum sadar tidak merasakan adanya tekanan,

jepitan atau rangsangan pada anggota gerak, mata atau pada kulitnya sehingga

mudah mengalami cedera, oleh karena itu posisi pasien diatur sedemikian rupa,

mata ditutup dengan plester atau kasa yang basah sehingga terhindar dari cedera

sekunder selama durasi operasi12

Masalah gelisah dan berontak, seringkali mengganggu suasana ruang pulih

bahkan bisa membahayakan dirinya sendiri. Penyebab gaduh gelisah pasca bedah

adalah :

1) Pemakaian ketamin sebagai obat anestesia

2) Nyeri yang hebat

3) Hipoksia

4) Buli-buli yang penuh

5) Stres yang berlebihan prabedah

6) Pasien anak-anak, seringkali mengalami hal ini

Komplikasi pasien post anestesia seperti tanda lambat bangun yaitu yang

terjadi bila ketidaksadaran selama 60 – 90 menit setelah anestesi umum. Hal ini

bisa diakibatkan :

1) Sisa obat anestesi

2) Sedatif

3) Obat analgetik

4) Penderita dengan kegagalan organ, misalnya:

o Disfusi hati, ginjal

o Hipoproteinemia
14

o Umur

o Hipotermia

Ada beberapa obat untuk menetralisir obat anestesi, yaitu

a. Nalokson (0,2 mg), terhadap efek opiat.

b. Flumazenil (0,5 mg) terhadap efek benzodiazepine.

c. Phisostigmin (1-2 mg) terhadap efek obat pelumpuh otot.

2.3.2 Respirasi

Parameter respirasi yang harus dinilai pasca anestesia adalah

Tabel 2. Nilai parameter respirasi

No. Parameter Normal


1. Suara Napas paru Sama dengan kedua paru
2. Frekuensi napas 10 – 35 x/menit (tergantung usia)
3. Irama napas Teratur
4. Volume tidal Minimal 4 – 5 ml/kgbb
5. Kapasitas vital 20 – 40 ml/kgbb
6. Inspirasi paksa -40 cmH2O
7. PaO2pada FiO2 30% 100 mmHg
8. PaCO2 30 – 45 mmHg

Penilaian tersebut diatas dijumpai tanda-tanda insufisiensi respirasi, segera

dicari penyebabnya sehingga cepat dilakukan usaha untuk memulihkan

fungsinya.12

2.3.2.1 Sumbatan jalan napas

Pasien tidak sadar sangat mudah mengalami sumbatan jalan napas akibat

dari jatuhnya lidah ke hipofaring, timbunan air liur atau sekret, bekuan darah, gigi

yang lepas dan isi lambung akibat muntah atau regurgitasi.

Sumbatan bisa terjadi pada daerah:


15

o Supra laring : lidah jatuh ke hipofaring, air liur, bekuan

darah dan isi lambung akibat muntah atau regurgitasi

o Laring : benda asing, spasme, edema dan kelumpuhan pita

suara

o Infra laring : trakeo-malasea, aspirasi benda asing, dan spasme bronkus

Usaha penanggulangannya disesuaikan dengan penyebabnya.

Tabel 3. Usaha penanggulanan jalan napas

No. Tanpa alat Dengan alat


1. Tiga langkah jalan napas Pipa oro/nasofaring
2. Posisi miring stabil Pipa orotrakea
3. Sapuan pada rongga mulut Alat hisap
Atau kalau diperlukan bronkoskopi atau trakeostomi.

2.3.2.2 Depresi napas

Depresi sentral adalah yang paling sering akibat dari efek sisa opiat,

disamping itu bisa juga disebabkan oleh keadaan hipokapnea, hipotermia dan

hipoperfusi. Depresi perifer yaitu karena efek sisa pelupuh otot, nyeri, distensi

abdomen dan rigiditas otot. Usaha penanggulangannya disesuaikan dengan

penyebabnya.

2.3.3 Sirkulasi

Parameter hemodinamik yang perlu diperhatikan adalah :

1. Tekanan darah

Tekanan darah normal berkisar 90/50 – 160/100. Aldreta menilai

perubahan tekanan darah pasca anestesia dengan kriteria sebagai berikut:

 Perubahan sampai 20 % dari nilai prabedah = 2

 Perubahan antara 20-50 % dari nilai prabedah = 1


16

 Perbubahan melebihi 50 % dari nilai prabedah = 0

Sebab-sebab hipertensi pasca bedah adalah hipertensi yang diderita

prabedah, nyeri hipoksia dan hiperkarbia, penggunaan vasopresor, dan kelebihan

cairan. Dan ada pula sebab-sebab hipotensi / syok pasca bedah adalah perdarahan,

defisit cairan, depresi otot jantung dan dilatasi pembuluh darah yang berlebihan.

Penanggulangannya, dapat disesuaikan dengan penyebabnya.

2. Dernyut Jantung

Denyut jantung normal berkisar 55 – 120 x/menit (tergantung usia) dengan

irama yang teratur. Sebab-sebab gangguan irama jantung :

1) Takikardia, disebabkan oleh hipoksia, hipovolumia, akibat obat

simpatomimetik, demam, dan nyeri.

2) Brakikardia, disebabkan oleh blok subarakhnoid, hipoksia (pada bayi) dan

reflek vagal.

3) Distrimia (diketahui dengan EKG), paling sering disebabkan karena

hipoksia.

Penanggualangannya adalah memperbaiki ventilasi dan oksigenasi.

Apabila sangat mengganggu dapat diberikan obat anti disritmia seperti lidokain.

Hal lain yang perlu mendapat perhatian pasca bedah yang termasuk dalam

sirkulasi adalah:

1) Perdarahan dari luka operasi yaitu kemungkinan adanya perdarahan dari

luka operasi, selalu harus diperhatikan. Adanya perembesan dari luka

operasi atau bertambahnya jumlah darah dalam botol penampungan


17

drainase luka operasi, perlu dipertimbangkan untuk tindakan eksplorasi

kembali.

2) Bendungan di sebelah distal dari tempat bekas luka operasi bisa

menimbulkan udema dan nyeri di daerah tersebut.

2.3.4 Fungsi ginjal dan saluran kencing

Perhatikan produksi urin, terutama pada pasien yang dicurigai risiko tinggi

gagal ginjal akut pasca bedah/anestesia.Pada keadaan normal produksi urin

mencapai > 0,5 cc/KgBB/jam, bila terjadi oliguria atau anuria, segera dicari

penyebabnya, apakah pre renal, renal atau salurannya.

2.3.5 Fungsi saluran cerna

Kemungkinan terjadi regurgitasi atau muntah pada periode pasca

anestesia/bedah, terutama pada kasus bedah akut, senantiasa harus diantisipasi.

Untuk mengatisipasi hal ini, pencegahan regurgitasi/muntah lebih penting artinya

daripada menangani kejadian tersebut. Akan tetapi bila terjadi penyulit seperti ini

maka tindakan yang cepat dan tepat sangat diperlukan untuk mengatasi jalan

napas. Walaupun demikian kemungkinan terjadi aspirasi asam lambung senantiasa

mengancam. Bila hal ini terjadi, pasien dirawat secara intensif di Unit Terapi

Intensif karena pasien akan mengalami ancaman gagal napas akut.

2.3.6 Aktivitas motorik

Pemulihan aktivitas motorik pada penggunaan obat pelumpuh otot,

berhubungan erat dengan fungsi respirasi. Bila masih ada efek sisa pelumpuh otot,
18

pasien mengalami hipoventilasi dan aktivitas motorik yang lain juga belum

kembali normal.

Petunjuk yang sangat sederhana untuk menilai pemulihan otot adalah

menilai kemampuan pasien untuk membuka mata atau kemampuan untuk

menggerakkan anggota gerak terutama pada pasien menjelang sadar. Kalau sarana

memadai, dapat dilakukan uji kemampuan otot rangka dengan alat perangsang

saraf.

2.3.7 Suhu tubuh

Penyulit hipotermi pasca bedah, tidak bisa dihindari terutama pada pasien

bayi/anak dan usia tua. Beberapa penyebab hipotermi di kamar operasi adalah:

1) Suhu kamar operasi yang dingin

2) Penggunaan desinfektan

3) Cairan infus dan transfusi darah

4) Cairan pencuci rongga-rongga pada daerah operasi

5) Kondisi pasien (bayi dan orang tua)

6) Penggunaan halotan sebagai obat anestesia

Usaha-usaha untuk meghangatkan kembali diruang pulih adalah dengan cara:

1) Pada bayi, segera dimasukkan dalam inkubator

2) Pasang selimut penghangat

3) Lakukan penyinaran dengan lampu

Hipertermi pun harus diwaspadai terutama menjurus pada hipertermia

malignan. Beberapa hal yang bisa menimbulkan hipertermi adalah:


19

1) Septikhemia, terutama pada pasien yang menderita infeksi pembedahan.

2) Penggunaan obat-obatan, seperti: atropin, suksinil, kholin dan halotan.

Usaha penanggulangannya adalah:

1) Pasien didinginkan secara konduksi menggunakan es

2) Infus dengan cairan infus dingin

3) Oksigenasi adekuat

4) Antibiotika, bila diduga sepsis

5) Bila dianggap perlu, rawat di Unit Terapi Intensif

2.3.8 Masalah nyeri

Trauma akibat luka operasi sudah pasti akan menimbulkan nyeri. Hal ini

harus disadari sejak awal dan bila pasien mengeluh rasa nyeri atau ada tanda-tanda

pasien menderita nyeri, segera berikan analgetika.

Diagnosis nyeri ditegakkan melalui pemeriksaan klinis berdasarkan

pengamatan perubahan perangai, psikologis, perubahan fisik antara lain pola

napas, denyut nadi dan tekanan darah, serta pemeriksaan laboraturium yaitu kadar

gula darah. Intensitas nyeri dinilai dengan “visual analog scale” (VAS) dengan

rentang nilai dari 1-10 yang dibagi menjadi :

1) Nyeri ringan ada pada skala 1-3

2) Nyeri sedang ada pada skala 4-7

3) Nyeri berat ada pada skala 8-10

Pedoman penanggulangan nyeri pasca bedah mempergunakan konsep

analgesia preemptif, melalui pendekatan trimodal dengan analgesia balans yaitu:


20

1) Menekan pada proses transduksi di daerah cedera, mempergunakan

preparat atau obat yaitu analgesia lokal atau analgetik non steroid atau anti

prostaglandin, misalnya : asam mefenamik, ketoprofen dan ketorolak.

2) Menekan pada proses transmisi, mempergunakan obat analgesia lokal

dengan teknik analgesia regional, seperti misalnya blok interkostal dan

blok epidural.

3) Menekan pada proses modulasi mempergunakan preparat narkotika secara

sistemik yang diberikan secara intermiten atau tetes kontinyu atau

diberikan secara regional melalui kateter epidural.

Nyeri luka operasi laparotomi, menimbulkan pengaruh yang serius

terhadap fungsi respirasi. Pengambangan diafragma kearah rongga abdomen akan

menurun, menyebabkan kapasitas residu fungsional akan menurun sehingga

ventilasi alveolar berkurang. Disamping itu kamampuan batuk pasca bedah untuk

mengeluarkan sputum berkurang sehingga timbul retensi sputum. Oleh karena itu

pada pasien pasca laparotomi tinggi yang insisinya mencapai prosesus sifoideus

dilakukan ventilasi mekanik selama 1 x 24 jam, selanjutnya pada saat yang sama

dipasang kateter epidural untuk mengendalikan nyeri mempergunakan preparat

opiat (morfin).

2.3.9 Posisi

Posisi pasien perlu diatur di tempat tidur ruang pulih. Hal ini perlu

diperhatikan untuk mencegah kemungkinan :

1) Sumbatan jalan napas, pada pasien belum sadar


21

2) Tertindihnya/terjepitnya satu bagian anggota tubuh

3) Terjadinya dislokasi sendi-sedi anggota gerak

4) Hipotensi, pada pasien dengan analgesia regional

5) Gangguan kelancaran aliran infus

Posisi pasien diatur sedemikian rupa tergantung kebutuhan sehingga

nyaman dan aman bagi pasien, antara lain:

1) Posisi miring stabil pada pasien operasi tonsil

2) Ekstensi kepal, pada pasien yang belum sadar

3) Posisi terlentang dengan elevansi kedua tungkai dan bahu (kepala) pada

pasien blok spinal dan bedah otak


22

2.4 Pemantauan pasca anestesi dan kriteria pengeluaran

Mempergunakan Skor Aldrete Pasca Anestesia di Ruang Pulih

Tabel 4. Skor Aldrete

No. Kriteria Motorik Nilai


1. Aktivitas motorik:
o Mampu menggerakkan empat 2
ekstremitas
o Mampu menggerakkan dua 1
ekstremitas
o Tidak mampu menggerakkan 0
ekstremitas
2. Respirasi:
o Mampu napas dalam, batuk dan tangis 2
kuat
o Sesak atau pernapasan terbatas 1
o Henti napas 0
3. Tekana darah:
o Berubah sampai 20% dari prabedah 2
o Berubah 20%-50% dari prabedah 1
o Berbubah > 50% dari prabedah 0
4. Kesadaran:
o Sadar baik dan orientasi baik 2
o Sadar setelah dipanggil 1
o Tak ada tanggapan terhadap 0
rangsangan
5. Warna kulit:
o Kemerahan 2
o Pucat agak suram 1
o Sianosis 0

Penilaian dilakukan :

1. Saat masuk

2. Selanjutnya dilakukan penilaian setiap saat dan dicatat setiap 5 menit

sampai tercapai nilai total 10. Nilai untuk pengiriman pasien adalah 10.
23

Faktor-faktor yang perlu diperhatikan sebelum mengirim ke ruangan

adalah:

1. Observasi minimal 30 menit setelah pemberian narkotik atau obat

penawarnya (nalokson) secara intervena.

2. Observasi minimal 60 menit setelah pemberian antibiotik, antiemetik atau

narkotik secara intramuskular.

3. Observasi minimal setelah oksigen dihentikan.

4. Observasi 60 menit setelah ekstubasi

5. Tindakan lain akan ditentukan kemudian oleh Dokter Spesialis Anestesiologi

dan Dokter Spesialis Bedah.

Pasien bisa dipindahkan ke ruang perawatan dari ruang pemulihan jika nilai

pengkajian post anestesi adalah >7-8. Lama tinggal di ruang pulih tergantung dari

teknik anestesi yang digunakan. Pasien dikirim ke ICU (Intensive Care Unit) apabila

hemodinaik tak stabil perlu support inotropik dan membutuhkan ventilator

(mechanical respiratory support).

A. Definisi
Atrial septal defeck ( ASD ) adalah penyakit jantung bawaan lubang (defek) pada septum
interatrial (sekat antar serambi) yang terjadi karena kegagalan fungsi interatrial semasa janin, atrial
septal defect adalah suatu lubang pada dinding (septum) yang memisahkan jantung bagian atas
( atrium kiri dan kanan ).
Atrial Septal Defect (ASD) adalah terdapatnya hubungan atrium kanan dengan atrium kiri
yang tidak ditutup oleh katup ( Markum, 1991).
ASD adalah defek pada sekat yang memisahkan atrium kiri dan kanan. (Sudigdo
Sastroasmoro, 1994).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Atrial Septal Defect
24

( ASD ) penyakit jantung bawaan dimana terdapat lubang ( defek ) pada sekat atau septum interatrial
yang memisahkan atrium kiri dan kanan yang terjadi karena kegagalan fusi septum interatial semasa
janin.

B. Klasifikasi
Tiga macam variasi yang terdapat pada ASD, yaitu :
a. Ostium primum ( ASD I ), letak lubang dibagian bawah septum, disertai kelainan katub
mitral
b. Ostium secundum (ASD 2 ), letak lubang di tengah septum
c. Sinus venosus defek, lubang berada di antara vena kava superior dan atrium kanan
C. Etiologi
Penyebabnya belum dapat diketahui secara pasti, tetapi ada beberapa faktor yang diduga
mempunyai pengaruh pada peningkatan angka kejadian ASD.
Faktor-faktor tersebut diantaranya :
1. Faktor Prenatal
1) Ibu menderita penyakit infeksi rubella
2) Ibu alkoholisme
3) Umur ibu lebih dari 40 tahun
4) Ibu meminum obat-obatan penenang atau jamu
2. Faktor Genetik
1) Anak yang lahir sebelumnya menderita PJB
2) Ayah atau ibu menderita PJB
3) Kelainan kromosom misalnya Sindroma Down
4) Lahir dengan kelainan bawaan lain
5) Faktor Hemodinamik
Tekanan di atrium kiri lebih tinggi dari pada tekanan di natrium kanan sehingga memungkinkan
aliran darah dari atrium kiri ke atrium kanan

D. Manifestasi Klinis
Sebagian besar penderita ASD tidak menampakkan gejala (asimptomatik) pada masa
kecilnya, kecuali pada ASD besar yang dapat menyebabkan kondisi gagal jantung di tahunpertama
kehidupan pada sekitar 5% penderita. Kejadian gagal jantung meningkat pada dekade ke-4 dan ke-5,
dengan disertai adanya gangguan aktivitas listrik jantung (aritmia). Gejala yang muncul pada masa
bayi dan kanak-kanak adalah adanya infeksi saluran nafasbagian bawah berulang, yang ditandai dengan
keluhan batuk dan panas hilang timbul (tanpapilek). Selain itu gejala gagal jantung (pada ASD besar) dapat
berupa sesak napas, kesulitanmenyusu, gagal tumbuh kembang pada bayi atau cepat capai saat
aktivitas fisik pada anak yang lebih besar. Selanjutnya dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
25

penunjang seperti elektro-kardiografi (EKG), rontgent dada dan echo-cardiografi, diagnosis ASD
dapat ditegakkan.
Gejalanya bisa berupa :
1) Sering mengalami infeksi saluran pernafasan.
2) Dispneu (kesulitan dalam bernafas)
3) Sesak nafas ketika melakukan aktivitas
4) Jantung berdebar-debar (palpitasi)
5) Pada kelainan yang sifatnya ringan sampai sedang, mungkin sama sekali
6) Tidak ditemukangejala atau gejalanya baru timbul pada usia pertengahan Aritmia.

E. Patofisiologi
Penyakit dari penyakit jantung kongentinal ASD ini belum dapat dipastikan banyak kasus
mungkin terjadi akibat aksi trotogen yang tidak diketahui dalam trisemester pertama kehamilan saat
terjadi perkembangan jantung janin. Pertama kehidupan status, saat struktur kardiovaskuler terbentuk
kecuali duktus arteriosis paten yaitu saluran normal untuk status yang harus menututp dalam beberapa
hari pertama.
Darah artenal dari atrium kiri dapat masuk ke atrium kanan melalui defek sekat ini. Aliran ini
tidak deras karena perbedaan tekanan pada atrium kiri dan kanan tidak begitu besar (tekanan pada
atrium kiri 6 mmHg sedang pada atrium kanan 5 mmHg) . Adanya aliran darah menyebabkan
penambahan beban pada ventrikel kanan, arteri pulmonalis, kapiler paru-paru dan atrium kiri. Bila
shunt besar, maka volume darah yang melalui arteri pulmonalis dapat 3-5 kali dari darah yang melalui
aorta.
Dengan bertambahnya volume aliran darah pada ventrikel kanan dan arteri pulmonalis. Maka
tekanan pada alat–alat tersebut naik., dengan adanya kenaikan tekanan, maka tahanan katup arteri
pulmonalis naik, sehingga adanya perbedaan tekanan sekitar 15 -25 mmHg. Akibat adanya perbedaan
tekanan ini, timbul suatu bising sistolik ( jadi bising sistolik pada ASD merupakan bising dari stenosis
relatif katup pulmonal ). Pada valvula trikuspidalis juga ada perbedaan tekanan, sehingga disini juga
terjadi stenosis relatif katup trikuspidalis sehingga terdengar bising diastolik.
Karena adanya penambahan beban yang terus menerus pada arteri pulmonalis, maka lama
kelamaan akan terjadi kenaikan tahanan pada arteri pulmunalis dan akibatnya akan terjadi kenaikan
tekanan ventrikel kanan yang permanen. Tapi kejadian ini pada ASD terjadinya sangat lambat ASD I
sebagian sama dengan ASD II. Hanya bila ada defek pada katup mitral atau katup trikuspidal,
sehingga darah dari ventrikel kiri atau ventrikel kanan mengalir kembali ke atrium kiri dan atrium
kanan pada waktu systole. Keadaan ini tidak pernah terjadi pada ASD II.
Arah shunt pun bisa berubah menjadi dari kanan kekiri sehingga sirkulasi darah sistemik
banyak mengandung darah yang rendah oksigen akibatnya terjadi hipoksemi dan sianosis.
F. Komplikasi
26

1) Endokarditis
2) Obtruksi pembuluh darah pulmonal (Hipertensi Pulmonal)
3) Aritmia
4) Henti jantung
G. Gambaran Klinik
Sebagian besar penderita ASD tidak menampakkan gejala (asimptomatik) pada masa
kecilnya, kecuali pada ASD besar yang dapat menyebabkan kondisi gagal jantung di
tahunpertama kehidupan pada sekitar 5% penderita. Kejadian gagal jantung meningkat pada
dekade ke-4 dan ke-5, dengan disertai adanya gangguan aktivitas listrik jantung (aritmia). Gejala
yang muncul pada masa bayi dan kanak-kanak adalah adanya infeksi saluran nafasbagian bawah
berulang, yang ditandai dengan keluhan batuk dan panas hilang timbul (tanpapilek). Selain itu
gejala gagal jantung (pada ASD besar) dapat berupa sesak napas, kesulitanmenyusu, gagal
tumbuh kembang pada bayi atau cepat capai saat aktivitas fisik pada anak yang lebih besar.
Selanjutnya dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti elektro-kardiografi
(EKG), rontgent dada dan echo-cardiografi, diagnosis ASD dapat ditegakkan.
Gejalanya bisa berupa :
1.      Sering mengalami infeksi saluran pernafasan.
2.      Dispneu (kesulitan dalam bernafas)
3.      Sesak nafas ketika melakukan aktivitas
4.      Jantung berdebar-debar (palpitasi)
5.      Pada kelainan yang sifatnya ringan sampai sedang, mungkin sama sekali
6.      Tidak ditemukangejala atau gejalanya baru timbul pada usia pertengahan Aritmia.
H. Penatalaksanaan
1. ASD kecil (diameter < 5 mm) karena tidak menyebabkan gangguan hemodinamik dan
bahaya endokarditis infeksi, tidak perlu dilakukan operasi.
2. ASD besar (diameter > 5 mm s/d beberapa centimeter), perlu tindaklan pembedahan
dianjurkan < 6 tahun, karena dapat menyebabkan hipertensi pulmonal (walaupun
lambat)
1. Pembedahan : menutup defek dengan kateterisasi jantung
Untuk tujuan praktis, penderita dengan defek sekat atrium dirujuk ke ahli bedah
untuk penutupan bila diagnosis pasti. Berdalih tentang pembedahan jantung yang didasarkan
pada ukuran shunt menempatkan lebih pada kepercayaan terhadap data dari pada alasan yang
diberikan. Dengan terbuktinya defek sekat atrium dengan shunt dari kiri ke kanan pada anak
yang umurnya lebih dari 3 tahun, penutupan adalah beralasan. Agar terdeteksi, shunt dari kiri
ke kanan harus memungkinkan rasio QP/QS sekurang-kurangnya 1,5 : 1 ; karenanya mencatat
adanya shunt merupakan bukti cukup untuk maju terus. Dalam tahun pertama atau kedua, ada
27

beberapa manfaat menunda sampai pasti bahwa defek tidak akan menutup secara spontan.
Sesudah umur 3 tahun, penundaan lebih lanjut jarang dibenarkan. Indikasi utama penutupan
defek sekat atrium adalah mencegah penyakit vascular pulmonal abstruktif. Pencegahan
masalah irama di kemudian hari dan terjadinya gagal jantung kongesif nantinya mungkin jadi
dipertimbangkan, tetapi sebenarnya defek dapat ditutup kemudian jika masalah ini terjadi.
Sekarang resiko pembedahan jantung untuk defek sekat atrium varietas sekundum benar-
benar nol. Dari 430 penderita yang dioperasi di Rumah Sakit Anak Boston, tidak ada
mortalitas kecuali untuk satu bayi kecil yang amat sakit yang mengalami pengikatan duktus
arteriosus paten. Kemungkinan penutupan tidak sempurna pada pembedahan jarang.
Komplikasi kemudian sesudah pembedahan jarang dan terutama adalah masalah dengan
irama atrium. Berlawanan dengan pengalaman ini adalah masalah obstruksi vaskular
pulmonal yang sangat menghancurkan pada 5–10 persen penderita, yang menderita penyakit
ini. Penyakit vaskular pulmonal obstruktif hampir selalu mematikan dalam beberapa tahun
dan dengan sendirinya cukup alasan untuk mempertimbangkan perbaikan bedah semua defek
sekat atrium
2. Penutupan Defek Sekat Atrium dengan kateter.
Alat payung ganda yang dimasukan dengan kateter jantung sekarang digunakan
untuk menutup banyak defek sekat atrium. Defek yang lebih kecil dan terletak lebih sentral
terutama cocok untuk pendekatan ini. Kesukaran yang nyata yaitu dekatnya katup
atrioventrikular dan bangunan lain, seperti orifisium vena kava, adalah nyata dan hingga
sekarang, sistem untuk memasukkan alat cukup besar menutup defek yang besar tidak
tersedia. Keinginan untuk menghindari pemotongan intratorak dan membuka jantung jelas.
Langkah yang paling penting pada penutupan defek sekat atrium transkateter adalah penilaian
yang tepat mengenai jumlah, ukuran dan lokasi defek. Defek yang lebih besar dari pada
diameter 25 mm, defek multipel termasuk defek di luar fosa ovalis, defek sinus venosus yang
meluas ke dalam vena kava, dan defek dengan tepi jaringan kurang dari 3-6 mm dari katup
trikuspidal atau vena pulmonalis kanan dihindari.

3. Penderita dengan defek yang letaknya sesuai


Ukuran ditentukan dengan menggembungkan balon dan mengukur diameter yang
direntangkan. Payung dipilih yang 80% lebih besar daripada diameter terentang dari defek.
Lengan distal payung dibuka pada atrium kiri dan ditarik perlahan-lahan tetapi dengan kuat
melengkungkan sekat ke arah kanan. Kemudian, lengan sisi kanan dibuka dan payung
didorong ke posisi netral. Lokasi yang tepat dikonfirmasikan dan payung dilepaskan.
Penderita dimonitor semalam, besoknya pulang dan dirumat dengan profilaksi antibiotik
selama 6-9 bulan. Seluruh penderita dengan ASD harus menjalani tindakan penutupan pada
defek tersebut, karena ASD tidak dapat menutup secara spontan, dan bila tidak ditutup akan
28

menimbulkan berbagai penyulit di masa dewasa. Namun kapan terapi dan tindakan perlu
dilakukan sangat tergantung pada besar kecilnya aliran darah (pirau) dan ada tidaknya gagal
jantung kongestif, peningkatan tekanan pembuluh darah paru (hipertensi pulmonal) serta
penyulit lain. Sampai 5 tahun yang lalu, semua ASD hanya dapat ditangani dengan operasi
bedah jantung terbuka. Operasi penutupan ASD baik dengan jahitan langsung ataupun
menggunakan patch sudah dilakukan lebih dari 40 tahun, pertama kali dilakukan tahun 1953
oleh dr. Gibbson di Amerika Serikat, menyusul ditemukannya mesin bantu pompa jantung-
paru (cardio-pulmonary bypass) setahun sebelumnya.

Tindakan operasi ini sendiri, bila dilakukan pada saat yang tepat (tidak terlambat)
memberikan hasil yang memuaskan, dengan risiko minimal (angka kematian operasi 0-1%,
angka kesakitan rendah). Murphy JG, et.al melaporkan survival (ketahanan hidup) paska
opearsi mencapai 98% dalam follow up 27 tahun setelah tindakan bedah, pada penderita yang
menjalani operasi di usia kurang dari 11 tahun. Semakin tua usia saat dioperasi maka survival
akan semakin menurun, berkaitan dengan sudah terjadinya komplikasi seperti peningkatan
tekanan pada pembuluh darah paru
4. Terapi intervensi non bedah
Aso adalah alat khusus yang dibuat untuk menutup ASD tipe sekundum secara non
bedah yang dipasang melalui kateter secara perkutaneus lewat pembuluh darah di lipat paha
(arteri femoralis). Alat ini terdiri dari 2 buah cakram yang dihubungkan dengan pinggang
pendek dan terbuat dari anyaman kawat nitinol yang dapat teregang menyesuaikan diri
dengan ukuran ASD.

DAFTAR PUSTAKA

Behrman et al. (1996). Nelson Textbook of Pediatrics. 15 th ed. United States: WB Saunders Company
Brunner&Studdart. (2002). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
Carpenito. (2000). Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC
Gray et al. (2002). Lecturer Notes: Kardiologi. Jakarta: 2005
Wong et al. (2003). Nursing Care of Infants and Children. Missouri: Mosby
Woods et al. (2005). Cardiac Nursing. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins
29

Anda mungkin juga menyukai