Anda di halaman 1dari 27

BAGIAN ANASTESIOLOGI REFERAT

DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO

PEMANTAUAN PASIEN DI RUANG PEMULIHAN (RECOVERY ROOM)

OLEH :

ERSHANTY RAHAYU SAFITRINAS YASIN

K1A1 10 046

PEMBIMBING

dr. AHMAD SAFARI, M.Kes, Sp. An

BAGIAN ANASTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


RUMAH SAKIT UMUM BAHTERAMAS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
Ruang Pemulihan
Ershanty R.S Yasin, Ahmad Safari

I. Pendahuluan

Ruang pemulihan (Recovery room) atau post-anesthesia care unit

(PACU) adalah bagian vital dari sebuah rumah sakit, pusat perawatan

gawat darurat dan fasilitas medis lain. RR atau PACU merupakan tempat

yang dirancang seperti kamar operasi dan bertujuan untuk menyediakan

perawatan pasca anestesi, baik anestesi umum, anestesi regional ataupun

anestesi lokal. RR adalah suatu ruangan yang terletak didekat kamar

bedah, dekat dengan perawat bedah, ahli anestesi dan ahli bedah, sehingga

apabila timbul keadaan gawat pasca bedah, pasien dapat segera diberi

pertolongan. Idealnya adalah bangun dari anestesi secara bertahap tanpa

keluhan dengan pengawasan dan pengelolaan secara ketat sampai keadaan

kembali stabil.

Eksistensi ruang pemulihan sudah bertahan hingga 50 tahun di

pusat-pusat kesehatan. Pada masa-masa itu, banyak sekali kejadian

kematian dini yang terjadi tiba-tiba setelah tindakan bedah dan anestesia.

Oleh karena itu untuk mencegah hal tersebut diperlukan suatu perawatan

khusus segera setelah tindakan pembedahan. Seiring dengan waktu, ruang

pemulihan berevolusi mendapatkan status mirip dengan intensive care unit

(ICU) dan disebut sebagai PACU. Di beberapa pusat kesehatan PACU

berfungsi sebagai ICU (pasien bermalam di ruang PACU) ketika kamar

ICU penuh

1
Prosedur pembedahan harus menjalani anestesi dan melalui tahap

pasca bedah, maka setiap pasien yang selesai menjalani operasi dengan

anestesi umum ataupun regional terlebih dahulu dirawat diruang

pemulihan sebelum pindah keruang perawatan atau langsung dirawat

diruang intensif.

Fase pasca operatif dapat terjadi kegawatan, sehingga perlu

pengamatan serius dan harus mendapat bantuan fisik dan psikologis

sampai pengaruh anestesi berkurang dan kondisi umum kembali stabil.

Perawatan diruang pemulihan (RR) sangat diperlukan dalam memberikan

bantuan keperawatan dan mengontrol komplikasi dan evaluasi kembalinya

fungsi-fungsi tubuh yang optimal. Periode pemulihan pasca anestesi

sangat tergantung pada perawatan pasca operatif diruang pemulihan,

resiko buruknya berkurang jika perawatan pasca operatif di RR dilakukan

secara optimal sampai pasien sadar sepenuhnya. Penatalaksanaan pasca

operatif dan pemulihan dari anestesi sangat memerlukam pengetahuan dan

keterampilan keperawatan yang professional.

II. Tinjauan Pustaka

II.1 Ruang pemulihan

Periode pulih sadar dimulai segera setelah pasien meninggalkan

meja operasi dan langsung diawasi oleh ahli anestesi. Semua komplikasi

dapat terjadi setiap saat, termasuk pada waktu pemindahan pasien dari

kamar operaso keruang pemulihan.

2
Ruang pemulihan (Recovery Room) atau disebut juga Phost

Anesthesia Care Unit (PACU) adalah ruangan tempat pengawasan dan

pengelolaan secara ketat pada pasien yang baru saja menjalani operasi

sampai dengan keadaan umum pasien kembali stabil.

Pasien operasi ditempatkan diruang pemulihan secara terus

menerus dipantau. Letak ruangan pemulihan yang ideal adalah yang dekat

dari meja operasi dan mudah dijangkau oleh ahli anestesi atau ahli bedah

sehingga mudah dikembalikan ke meja operasi bila diperlukan. Serta

mudah dijangkau bagian radiologi atau ruangan harus cukup dan

dilengkapi lampu cadangan bila sewaktu-waktu terjadi pemadaman arus

listrik.

Kamar pulih sadar merupakan perluasan kamar operasi, harus

terbuka sepnajang hari dan pengamatan secara intensif yang dilakukan

didalamnya. Hal ini dapat diartikan karena pada masa transisi tersebut

kesadaran penderita belum pulih secara sempurna sehingga sempurna

sehingga kecenderungan terjadinya sumbatan jalan napas lebih besar dan

ditambah lagi reflek perlindungan seperti reflek batuk, muntah maupun

menelan belum kembali normal, kemungkina terjadi aspirasi yang sangat

dirasakan dimana pengaruh obat anestesi dan pasca trauma operasi masih

belum hilang dan masih mengancam status respirasi dan kardiovaskuler

penderita. Upaya pengamatan yang amat cermat terhadap tanda-tanda vital

penderita merupakan modal dasar yang amat ampuh dalm mecegah

penyulit yang tidak diinginkan.

3
Dalam syarat ruang pemulihan harus memiliki pintu lebar,

penerangan cahaya cukup, dan jumlah tidur sesuai dengan jumlah ruang

operasi. Ruang pemulihan minimal mempunyai kapasitas tempat tidur 1,5

kali jumah ruang operasi. Area yang digunakan pertempat tidur sekurang-

kurangnya 15 m. Jarak antara tempat tidur pemulihan sekurang-kurangya

1,50 m.

II.2 Fasilitas yang harus tersedia

Besar ruangan dan fasilitas tergantung pada kemampuan kerja

kamar bedah. Kondisi ruangan yang membutuhkan suhu yang dapat diatur

dan warna yang tidak mempengaruhi warna kulit dan mukosa sangat

membantu untuk membuat diagnosa dari adanya kegawatan nafas dan

sirkulasi. Ruang pulih sadar yang terletak di dekat kamar bedah akan

mempercepat atau memudahkan bila diperlukan tindakan bedah kembali.

Monitor Pulse oximetry (SpO2), elektrokardiogram (EKG) dan

pengukur tekanan darah otomatis noninvasif (NIBP) sangat diperlukan

tetapi tidak wajib. Walaupun begitu, ketiga monitor tersebut harus segera

tersedia untuk setiap pasien. Dari beberapa monitor tersebut, hanya SpO2

dan NIBP yang harus ada untuk setiap pasien pada fase awal pemulihan

dari anestesiaa (perawatan fase 1). EKG hanya digunakan untuk

memonitor pasien dengan masalah jantung atau menunjukkan kelainan

EKG selama periode intraoperatif. Kebanyakan insiden yang terjadi di

ruang PACU berlanjut menjadi kecacatan yang serius atau kematian

4
dikarenakan monitoring yang tidak adekuat. Kapnografi berguna untuk

pasien dengan intubasi. Pengukuran suhu dengan menggunakan strip

temperatur biasanya tidak akurat untuk memantau hipotermia maupun

hipertermia. Termometer elektronik maupun air raksa harus digunakan

jika curiga terdapat kelainan suhu. Peralatan penghangat udara, lampu

penghangat dan selimut penghangat ataupun pendingin juga harus tersedia.

PACU juga harus mempunyai peralatan kegawatdaruratan dasar

sendiri yang terpisah dari ruang operasi. Diantaranya adalah kanula

oksigen, sungkup muka, pipa oro/nasofaring, laringoskop, pipa

endotrakeal, LMA, dan balon mengembang sendiri (BVM) untuk ventilasi.

Kateter untuk kanulasi vaskular (vena, arteri, vena sentral dan arteri

pulmoner) wajib ada. Kateter pacing transvena dan sebuah generator juga

harus tersedia. Peralatan defibrilasi dengan kapasitas pacing

transkutaneous dan troley emergensi lengkap dengan obat dan peralatan

untuk bantuan hidup tingkat lanjut dan pompa infus harus ada dan secara

berkala di periksa. Trakeostomi, chest tube, baki untuk kateter vaskular

juga penting. Peralatan untuk terapi pernafasan, bronkodilator aerosol,

CPAP dan ventilator yang terletak dekat dengan ruang pemulihan.

Bronkoskopi bagus jika ada tetapi tidak wajib.

5
Menurut European Society of Anestesiology 2009 membagi

peralatan monitoring diruang PACU menjadi 6 kategori :

a. Monitor yang harus ada disamping tempat tidur (bedside

monitoring) :

1. Pulse oxymeter

2. EKG

3. Monitor NIBP

b. Monitor yang harus segera tersedia jika diperlukan :

1. Perekam EKG

2. Kapnografi

3. Pengukur suhu

c. Monitor tambahan khusus (misalnya : tekanan intracranial atau

vaskuler, curah jantung dan variabel-variabel biokimia) :

dibutuhkan dan dilakukan pada pasien tertentu atau untuk

prosedur tertentu.

d. Monitor yang bisa dipindah-pindah (mobile monitoring) : Hal

ini dilakukan jika PACU tidak terletak dekat dengan ruang

operaso atau jika kondisi pasien tidak stabil, maka mobile

monitoring yang adekuat diperlukan saat transfer pasien. Hal

tersebut merupakan tanggung jawab ahli anestesi untuk

memastikan pasien aman saat transfer

e. Monitor sentral (central monitoring station)

6
Untuk mengontrol dan merekam semua peringatan dari

bedside monitori dan menyediakan sema dokumentasi dalam

bentuk hardcopy.

f. Fasilitas- fasilitas yang dibutuhkan :

1. Defibrillator dan trolley resusitasi

2. Peralatan untuk tatakelola jalan nafas sulit

3. Akses segera untuk analisis gas darah dan uji laboratorium

4. Akses untuk radiografi mobile dan USG serta endoskopi

5. Selimut penghangat

6. Sistem pelembab udara yang tepat

7. Obat-obatan diruang PACU harus tersedia obat-obatan

bantuan hidup tingkat lanjut.

II.3 Tatalaksana pasca operatif

Pasca anestheshia merupakan periode kritis, yang segera dimulai

setelah pembedahan dan anestesi diakhiri sampai pasien pulih dari

pengaruh anestesi. Risiko pasca anestesi dapat dibedakan berdasarkan

masalah-masalah yang akan dijumpai pasaca anestesi/bedah dapat

dikelompokkan menjadi 3 kelompok :

1. Kelompok 1

Pasien yang mempunyai risiko tinggi gagal napas dan gangguan

hemodinamik pasca anestesi/bedah, sehingga perlu napas kendali pasca

anestesi/bedah. Pasien yang termasuk dalam kelompok ini langsung

7
dirawat di Unit terapi Intensif pasaca anestesi/bedah tanpa menunggu

pemulihan diruang pulih (RR).

2. Kelompok II

Sebagian besar pasien pasca anestesi/bedah termasuk dalam kelompok

ini, tujuan perawatan pasca anestesi/bedah adalah menjamin agar

pasien secepatnya mampu menjaga keadekuatan respirasinya dan

kestabilan kardiovaskular.

3. Kelompok III

Pasien yang menjalani operasi kecil, singkat dan rawat jalan. Pasien

pada kelompok ini bukan hanya fungsi respirasinya, tetapi harus bebas

dari rasa ngantuk, ataksia, nyeri dan kelemahan otot sehingga pasien

bisa kembali pulang.

Terdapat 3 tahap dalam keperawatan perioperatif :

1. Fase pre operatif

Pasien pre operatif merupakan tahap pertama dari perawatan

perioperatif yang dimulai ketika pasien diterima masuk diruang terima

pasien dan berakhir ketika pasien dipindahkan kemeja operasi untuk

dilakukan tindakan pembedahan.

2. Fase intra operatif

Fase intra operatif dimulai ketika pasien masuk atau dipindahkan ke

instalasi bedah dan berakhir saat pasien dipindahkan keruang

pemulihan. Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan mencakup

pemasangan IV cath, pemberian medikasi intravena, melakukan

8
pemantauan kondisi fisiologis menyekuruh sepanjang prosedur

pembedahan dan menjaga keselamatan pasien. Contoh : memberikan

dukungan fisiologis selama periode ini. Aktivitas ini berfokus pada

peningkatan penyembuhan pasien dan melakukan penyuluhan,

perawatan tingkat lanjut dan rujukan yang penting untuk penyembuhan

dan rehabilitasi serta pemulangan kerumah.

3. Fase post operatif

Fase post operatif merupakan tahap lanjutan dari perawatan pre

operatif dan intra operatif yang dimulai ketika klien diterima dari

ruang pemulihan pasca anestesi dan berakhir sampai evaluasi tindak

lanjut pada tatanan klinik atau dirumah. Pada fase ini lingkup aktivitas

keperawatan mencakup rentang aktivitas yang luas selama periode ini.

Pada fase ini fokus pengkajian meliputi efek agen anestesi dan

memantau fungsi vital serta mencegah komplikasi. Aktivitas

keperawatan kemudia berfokus pada peningkatan penyembujan pasien

dan melakukan penyuluhan perawatan tindak lanjut rujukan yang

penting untuk penyembuhan dan rehabilitasi serta pemulangan

kerumah.

II.4 Pemindahan pasien dari kamar operasi

Pemindahan pasien dilaksanakan dengan hati-hati mengingat :

1. Pasien belum sadar baik atau belum pulih dari pengaruh

anestesi, posisi kepala diatur sedemikian rupa agar kelapangan

jalan napas tetap adekuat sehingga ventilasi terjamin

9
2. Apabila dianggap perlu, pada pasien yang belum bernapas

spontan, diberikan napas buatan

3. Gerakan saat memindahkan pasien dapat menimbulkan atau

menambah rasa nyeri akibat tindakan pembedahan dan bisa

terjadi dislokasi sendiri

4. Pada pasien yang sirkulasinya belum stabil bisa terjadi syok

atau hipotensi

5. Pasien yang dilakukan blok spinal, posisi penderita dibuat

sedemikian rupa agar aliran darah dari daerah tungkai

keproksimal lancer

6. Yakinkan bahwa infuse, pipa NGT dan kateter urin tetap

berfungsi dengan baik atau tidak lepas

II.5 Tenaga medis di ruang pemulihan

Staff PACU adalah perawat-perawat yang terlatih secara khusus

dalam merawat pasien-pasien kritis paska anestesiaa. Mereka harus

mempunyai keahlian dalam tatalaksana jalan nafas dan advanced cardiac

life support sebaik penanganan pada masalah-masalah yang sering terjadi

pada pasien bedah terkait perawatan luka, kateter drainase, dan pendarahan

paska operasi.

PACU harus dipimpin oleh seorang ahli anestesiaa (ahli

anestesiaa). Penatalaksanaan pasien di ruang PACU tidak harus dibedakan

dengan penatalaksanaan di dalam ruang bedah dan tetap harus ada

koordinasi diantara ahli anestesiaa, dokter bedah dan beberapa konsultan.

10
Ahli anestesiaa menangani analgesia, masalah-masalah jalan nafas,

jantung, paru dan permasalahan metabolik dimana dokter bedah

menangani permasalahan yang terkait dengan prosedur bedah itu sendiri.

Rasio 1 perawat di ruang pemulihan dibandingkan dengan 2 pasien sudah

cukup memuaskan. Pada kondisi-kondisi tertentu diperlukan 1 perawat

pemulihan untuk mengawasi satu pasien (satu perawat satu pasien).

II.6 Pengelolaan pasien diruang pemulihan

Setelah dilakukan pembedahan pasien dirawat diruang pulih sadar.

Pasien yang dikelola adalah pasien pasca anestesi umum ataupun anestesi

regional. Di ruang pulih sadar dilakukan monitor jalan nafasnya apakah

bebas atau tidak, ventilasinya cukup atau tidak dan sirkulasinya sudah baik

atau tidak. Pasien dengan gangguan jalan nafas dan ventilasi harus

ditangani secara dini. Selain obstruksi jalan nafas karena lidah yang jatuh

kebelakang atau spasme laryng, pasca bedah dini kemungkinan terjadi

muntah yang dapat berakibat aspirasi. Anestesi yang masih dalam, dan sisa

pengaruh obat pelumpuh otot akan berakibat penurunan ventilasi.

Pasien yang belum sadar diberikan oksigen dengan kanul nasal

atau masker sampai pasien sadar betul. Pasien yang sudah keluar dari

pengaruh obat anestesi akan sadar kembali. Kartu observasi selama di

ruang pulih sadar harus ditulis dengan jelas, sehingga dapat dibaca bila

pasien sudah kembali ke bangsal. Bila keadaan umum dan tanda-tanda

11
vital pasien normal dan stabil, maka pasien dapat dipindahkan ke ruangan

dengan pemberian instruksi pasca operasi.

Tingkat perawatan pasca anestesi pada setiap pasien tidak selalu

sama, bergantung pada kondisi fisik pasien, teknik anestesi, dan jenis

operasi, monitoring lebih ketat dilakukan pada pasien dengan risiko tinggi

seperti: kelainan organ, syok yang lama, dehidrasi berat, sepsis, trauma

multiple, trauma kapitis, ataupun gangguan organ penting misalnya otak.

Pada saat melakukan observasu diruang pulih, agar lebih sistematis dan

lebih mudah dapat dilakukan monitoring B6 yaitu :

1. Breath (nafas) : sistem respirasi

Bagi pasien yang belum sadar dilakukan evaluasi meliputi :

pola nafas, tanda-tanda obstruksi, pernapasan cuping hidung, frekuensi

napas, pergerakan rongga dada apakah simetris /tidak, adanya suara

napas tambahan : tidak ada pada obstruksi total, udara nafas yang

keluar dari hidung, sianosis, jika tidak ada keluhan cukup diberikan

terapi oksigen tetapi jika terdapat tanda-tanda obstruksi maka

dilakukan terapi sesuai kondisi (aminofilin, kortikosteroid, tindakan

triple manual airway)

2. Blood (darah)

Merupakan pemantauan pasien diruang RR pada sistem

kardiovaskuler pasien seperti : tekanan darah, nadi, perfusi perifer,

status hidrasi, kadar HB.

12
3. Brain (otak)

Menilai kesadaran pasien dengan menggunakan skor GCS dan

perhatikan gejalan kenaikan tekana intra kranial (TIK).

4. Bladder

Dalam hal ini pasien dipantau mengenai sistem urogenitalisnya

seperti kualitas, warna, kepekatan urin untuk menilai apakah masih

masih dehidrasi, apakah ada kerusakan ginjal saat operasi.

5. Bowel

Pasien diruang pemulihan dipantau sistem gastrointestinalisnya

seperti dilatasi lambung, tanda-tanda cairan bebas, distensi abdoen,

perdarahan lambung post operasi, obstruksi atau hipoperistaltik dan

lainnya mengenai sistem gastrointestinalis pasien.

6. Bone (tulang)

Periksa apakah ada tanda-tanda sianosis, warna kuku,

perdarahan post operasi. Bila didapatkan gangguan neurologis maka

didapatkan gangguan gerakan pada ekstremitas.

Salah satu dari banyaknya gangguan yang dialami pasien post

operasi yaitu Gangguan sirkulasi terjadi pada pasien dengan terapi cairan

yang diberikan selama pembedahan belum sadar dapat terjadi gangguan

jalan nafas. Pasien yang belum sadar diberikan oksigen dengan kanula

nasal atau masker sampai pasien sadar betul. Pasien yang sudah keluar dari

pengaruh obat anestesi akan sadar kembali. Hipoksia dan hiperkardia

13
terjadi pada pasien dengan gangguan jalan nafas dan ventilasi. Menggigil

akan menambah beban jantung dan sangat berbahaya pada pasien dengan

penyakit jantung. Kartu observasi selama diruang pulih sadar harus ditulis

dengan jelas sehingga dapat dibaca bila pasien sudah kembali ke bangsal.

Bila keadaan umum dan tanda vital pasien normal dan stabil, maka pasien

dapat dipindahkan ke ruangan dengan pemberian instruksi pasca operasi

Kriteria yang digunakan dan umunya yang dinilai adalah warna

kulit, kesadaran, sirkulasi, pernafasan, dan aktivitas motorik, seperti skor

Aldrete (lihat tabe l). Idealnya pasien baru boleh dikeluarkan bila jumlah

skor total adalah 10. Namun bila skor total minimal 8 , pasien boleh keluar

ruang pemulihan. Pasien juga dapat dipindah diruang ICU jika score <8

dan telah dirawat selama 2 hari

14
Tabel Skor pemulihan pasca-anestesi
ALDRETTE SCORE
NO PENILAIAN Skor
WARNA KULIT
Merah muda 2
1
Pucat 1
Sianotik 0
PERNAFASAN
Dapat bernafas dalam dan batuk 2
2
Dangkal namun pertukaran udara adekuat 1
Apnea atau obstruksi 0
SIRKULASI
Tekanan darah menyimpang < 20 % dari normal 2
3
Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normal 1
Tekanan darah menyimpang < 50 % dari normal 0
KESADARAN
Sadar, siaga, dan orientasi 2
4
Bangun namun cepat kembali tertidur 1
Tidak berespons 0
AKTIFITAS
Seluruh ekstremitas dapat digerakkan 2
5
Dua ekstremitas dapat digerakkan 1
Tidak bergerak 0
Sumber : Aldrete JA, Kronik D: A postanesthetic recovery score. Anesth Analg 1970;49-924

Namun bila pasien tersebut anak-anak kriteria pemulihannyang digunakan

adalah skor steward dengan penilaian yang meliputi pergerakan, pernapasan dan

kesadaran. Bila skor total diatas 5, maka pasien boleh keluar dari ruang

pemulihan. Berikut dibawah ini tabel STEWARD SCORE :

15
Tabel Skor Pasien Anak
STEWARD SCORE
NO KRITERIA Skor
KESADARAN
Bangun 2
1
Respon terhadap rangsangan 1
Tidak ada respon 0
PERNAFASAN
Batuk/menangis 2
2
Pertahankan jalan napas 1
Perlu bantuan napas 0
MOTORIK
Gerak bertujuan 2
3
Gerak tanpa tujuan 1
Tidak bergerak 0

Khusus kriteria yang digunakan untuk menilai pasien yang mendapatkan

regional anestesi digunakan BROMAGE SCORE :

16
Kriteria yang digunakan pada pasien dewasa pasca anestesi umum

Tabel Post Anesthesia Discharge Score System

NO KRITERIA Skor
TANDA VITAL
20% dari nilai prabedah 2
1
20% - 4 % dari nilai prabedah 1
40% dari nilai prabedah 0
PERGERAKAN
Mampu berdiri / tidak ada pusing 2
2
Dengan bantuan 1
Tidak ada pergerakan/pusing 0
MUAL / MUNTAH
Minimal 2
3
Sedang 1
Berat 0
NYERI
Minimal 2
4
Sedang 1
Berat 0
PERDARAHAN AKIBAT PEMBEDAHAN
Minimal 2
5
Sedang 1
Berat 0
Keterangan : bila nilai >/= 9 pasien dinyatakan bisa dipulangkan

17
II.7 Transportasi pasien keluar dari ruang pemulihan (RR)

Setelah pasien sadar dan memenuhi kriteria untuk dilakukan

pengeluaran dari ruang pulih sadar dikembalikan ke bangsal atau

keluar rumah sakit untuk pasien operasi rawat jalan. Pasien sadar,

dapat melakukan orientasi sekitar, dapat mempertahankan jalan nafas

selalu bebas, fungsi vital yang stabil dalam 1 jam, dapat meminta

pertolongan pada orang sekitar dan tidak ada penyulit pembedahan,

pasien dapat dikeluarkan dari ruang pulih sadar.

II.8 Komplikasi pasca anestesi dan penanganannya

a. Komplikasi respirasi

1. Mengatasi sumbatan pernapasan

Prinsip dalam mengatasi sumbatan mekanik dalam sistem

anestesi adalah dengan menghilangkan penyebabnya. Diagnosis

banding antara sumbatan mekanik dan bronkospasme harus dibuat

sedini mungkin. Sumbatan mekanik lebih sering terjadi, dan

mungkin dapat menjadi total, dimana wheezing akibat

bronkospasme biasanya dapat terdengar tanpa atau dengan

stetoskop. Penyebab sumbatan bisa nyata sebagai contoh, keadaan

ini dapat diatasi dengan meluruskan pipa yang terpuntir dibalik

rongga mulut. Jika pipa ditempatkan terlalu jauh ke dalam trakea,

maka pipa tersebut biasanya memasuki bronkus utama jika kadar

tinggi oksigen yang dipakai, sampai terjadi tanda-tanda hipoksia,

18
hiperkardi atau sumbatan pernafasan menjadi nyata. Komplikasi

dapat dihindarkan jika ahli anestesi memeriksa kedudukan pipa

setelah dipasang dengan mendengarkan melalui stetoskop di atas

setiap sisi dada sementara secara manual paru-paru dikembangkan,

jika suara pernafasan tidak terdengar atau pengembangan pada satu

sisi dada telah didiagnosis, maka harus secara lambat laun ditarik

sampai udara terdengar memasuki kedua sisi toraks secara

seimbang. Penggunaan pipa yang telah dipotong sampai sepanjang

bronkus kanan dapat mengurangi bahaya.

Ahli anestesi tidak boleh melupakan bahwa, jika

dihadapkan pada sumbatan mekanik yang tidak dapat dijelaskan,

segera setelah intubasi, maka anjuran terbaik adalah: bila

meragukan, pipa ditarik keluar.

Sumbatan mekanik pada penderita yang tidak diintubasi,

apakah dapat bernafas dengan spontan atau dikembangkan, paling

sering disebabkan oleh lidah yang jatuh ke belakang. Biasanya

keadaan ini dapat ditolong dengan mengekstensikan kepala ,

mendorong dagu ke muka dan memasang pipa udara anestetik

peroral atau nasal.

Sumbatan mekanik pada penderita yang di intubasi

mungkin bersifat samar-samar. Paling penting disadari bahwa

adanya pipa trakea tidak menjamin saluran pernafasan yang lancar.

Pipa dapat menjadi terpuntir, bagian yang melengkung dapat

19
tertumbuk pada dinding trakea, atau dapat terlalu menjorok jauh

dan memasuki bronkus utama kanan atau manset dapat menyebul

keluar menutupi bagian ujung.

2. Mengatasi bronkospasme

Bronkospame dapat diatasi secara terapi medik, tetapi yang

paling penting adalah memastikan bahwa tidak terjadi sumbatan

mekanik, baik secara anatomis, akibat lidah yang terjatuh ke

belakang pada penderita yang tidak diintubasi, atau akibat defek

peralatan seperti yang telah dijelaskan di atas.

Efedrin intravena setiap kali dapat ditambah 5 mg, atau 30

mg intramuskular sehingga dapat menolong, tetapi dapat

menyebabkan takikardi dan meningatkan tekanan darah. Secara

bergantian, suntikan lambat 5 mg/kg aminofilin intravena

3. Intubasi endobronkial

Pada intubasi endotrakea, pipa endotrakea dapat masuk

terlalu dalam hanya masuk dalam salah satu bronkus, biasanya

mencapai bronkus kanan.Ventilasi dengan satu paru untuk waktu

lama dapat berakibat atelektase paru dan hipoksia. Komplikasi

dapat dicegah dengan selalu mendengarkan bunyi napas dengan

stetoskop setiap kali selesai intubasi.

4. Batuk

Batuk sering terjadi pada anestesia yang belum dalam

apalagi menggunakan anestetika inhalasi yang berbau ( eter,

20
isofluran, enfluran ). Pemberian tiopental pun kadang-kadang juga

memberikan komplikasi ini terutama kalau dilanjutkan dengan

anestetika yang merangsang jalan napas seperti eter. Batuk dapat

dihilangkan dengan mendalamkan anestesia secara pelan-pelan

atau dengan obat anestetika yang tidak merangsaang jalan napas

atau dangan memberikan obat pelumpuh otot. Batuk juga dapat

terjadi karena laring dirangsang oleh lendir atau sisa makanan yang

termuntahkan.

5. Cekukan

Disebabkan spasme diafragma yang intermiten disertai

penutupan glotis secara mendadak. Spasma terjadi karena rangsang

saraf sendoris frenikus yang berhubungan dengan ganglion

soeliaka atau oleh refleks autonom intraabdomen lain. Saraf vagus

mungkin juga merupakan salah satu serabut aferen dari refleks ini.

Cekukan jarang terjadi kalau premedikasi atropin sudah diberikan

sebelumnya. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada operasi perut

atas terutama kalau disertai juga hipokapnia, anestesia yang kurang

dalam atau dosis obat pelumpuh otot nondepolarisasi yang kurang

cukup.

Cekukan dapat dihilangkan dengan mendalamkan stadium

anestesia, atau menambah dosis obat pelumpuh otot, atau

menyuntikkan HCL ephedrin 5-10 mg I.V. atau klorpromazin 20-

25 mg I.V.Jika cara tersebut belum berhasil dapat dicoba dengan

21
menuangkan sedikit air dingin kedalam salah satu lubang hidung

atau merangsang faring dengan kateter.

6. Apneu

Apneu dapat timbul karena pemberian obat induksi terlalu

cepat (tiopental), obstruksi jalan napas total, obat pelumpuh

ataupun karena depresi pusat pernapasan (opiat). Terapi sesuai

etiologi. Bantuan pernapasan harus dilakukan lebih dahulu sampai

pasien dapat bernapas spontan.

7. Atelektasis

Atelektasis timbul akibat obstruksi jalan napas sehingga

terjadi absorpsi udara pada bagian distal paru. Komplikasi ini dapat

terjadi baik pada analgesia lokal maupun anestesia umum terutama

kalau aspirasi yang menyumbat salah satu bronkus. Gejala-gejala

atelektasis luas, pergerakan dada simetris, retraksi dada dan tidak

terdengar suara napas pada daerah yang terkena, takipneu,

takikardi, sianosis dan demam. Foto torak terlihat daerah

perselubungan.

Terapi untuk atelektasis dilakukan dengan melakukan

pengisapan kedalam bronkus kalau perlu mempergunakan

bronkoskop, fisioterapi dangan mempergunakan alat bantu napas.

Obat ekspektoran, mukolitik, bronkodilator dan antibiotik

diberikan atas indikasi.

22
8. Pneumotoraks

N2O dapat berdifusi kedalam rongga-rongga tubuh yang

dapat menambah tekanan. Pneumotoraks dapat bertambah hebat

menjadi tension pneumothorak yang mengganggu sirkulasi. Gejala

klinik pneumotoraks sering tidak khas, kadang-kadang terdapat

takikardia, dispneu, bronkospasme, sianosis dan hipotensi.

Diagnosis pasti dapat ditegakkan setelah dibuat foto toraks. Kalau

kita menghadapi kasus ini selama anestesia, maka segera

dihentikan pemberian N2O dan diganti dengan O2 100%.

9. Muntah dan regurgitasi

Komplikasi yang sering terjadi pada anestesi dan pasien

tidak sadar. Muntah adalah keluarnya isi lambung secara aktif

karena kontraksi otot saluran cerna (gastrointestinal). Dapat terjadi

pada induksi yang tidak mulus atau pada waktu stadium anestesi

ringan. Bahan muntahan dapat masuk trakea dan paru (aspirasi).

Bila banyak dan bersifat asam terjadi pneumonitis aspirasi yang

sering berakibat buruk dan fatal.

b. Komplikasi kardiovaskuler

1. Hipotensi

2. Hipertensi

3. Aritmia jantung

4. Payah jantung

c. Komplikasi pada mata

23
d. Perubahan cairan tubuh

1. Hipovolemia

2. Hipervolemia

e. Komplikasi Neurologi

1. Konvulsi

2. Terlambat sadar

3. Cidera saraf tepi (perifer)

f. Komplikasi lain-lain

1. Menggigil

2. Gelisah setelah anestesi

3. Mimpi buruk

4. Sadar selama operasi

5. Kenaikan suhu tubuh

III. Kesimpulan

Ruang pulih sadar adalah sarana yang penting untuk keberhasilan

dari suatu proses pembedahan dan anestasi. Ruang pulih sadar diperlukan

untuk menangani masalah jalan napas, ventilasi dan sirkulasi pasca bedah

dini.Observasi yang dilakukan di ruang pulih sadar harus dilakukan

dengan jelas sehingga penelaahan kembali dapat dilakukan dengan mudah.

Penyulit (komplikasi) yang terjadi pada periode preoperatif dapat

dicetuskan oleh tindakan anestesia sendiri atau kondisi pasien. Penyulit

segera dapat timbul pada waktu pembedahan atau kemudian segera

24
ataupun setelah operasi. Penyulit anestesia dapat berakhir dengan kematian

atau cacat menetap jika tidak dideteksi dan ditolong segera dengan tepat.

Gejala-gejala komplikasi kadang-kadang datangnya tidak diduga

kendatipun tindakan anestesia sudah dilaksanakan dengan baik.

Keberhasilan dalam mengatasi komplikasi anestesia tergantung dari

deteksi gejala dini dan kecepatan dilakukan tindakan koreksi untuk

mencegah keadaan yang lebih buruk.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Ali Dabbagh. Post operative critical care for cardiac surgeon. 2014
2. Ian Calder. Adrian Pearce. Core Topics in Airway Management.2013
3. Piwowar P dan Gajda J. Identification of the Human Respiratory System
during Experiment with Negative Preasure Impulse Excitation. Metrol.
Meas. Syst.,2009;16(4):h570-582
4. Tortora GJ dan Derrickson B. Principle of Anatomy and Physiology.
United States of America: John Wiley & Sons Inc, 2009:h874-917.
5. Gesek DJ. Respiratory Anesthetic Emergencies in Oral and Maxillofacial
Surgery. Oral Maxillofacial Surg Clin N Am, 2013;25:h479-486
6. Davison R dan Cottle D. The Effects of Anesthesia on Respiratory
Function. 2010:h1-8
7. Degani-Costa LH, Faresin SM, Fulcao LFR. Preoperative Evaluation of
the Patient with Pulmonary Disease. Rev Bras Anestesiol, 2014;64(1):22-
34
8. Azam. dr. Azam’s Note in Anesthesiology. 2013:h7-37
9. Mills GH. Respiratory Physiology and Anesthesia. British Journal of
Anaesthesia, 2001;1(2):h35-9
10. Lin T dan Appadu B. Respiratory Physiology. Dalam: Lin T, Smith T dan
Pinnock C, editor. Fundamentals of Anaesthesia Fourth Editiom. United
Kingdom: Cambridge University Press, 2016:h.371-403
11. Chen C dan Hsu R. Anatomy of the Human Airway. Dalam: Aglio LS,
Lekowski RW dan Urman RD, editor. Essential Clinical Anesthesia
Review. United Kingdom: Cambridge University Press, 2015:h.61-3
12. Kundra, P dan Krishnan H. Airway Management in Children. Indian J.
Anaesth, 2005;49(4):h300-7
13. Epstein A. Effect of General Anestesia on Respiratory System. Israel
Journal of VeterinaryMedicine, 2011;66(1):9-13

26

Anda mungkin juga menyukai