Anda di halaman 1dari 20

ABSES GINJAL

Endang Sri Rahayu, Metrila Harwati

I. Pendahuluan

Abses ginjal merupakan infeksi supuratif akut parenkim ginjal mulai

dari korteks menyebar melalui hematogen. Abses ini dibedakan dalam 2

macam, yaitu abses korteks ginjal dan abses kortiko-meduler. Abses korteks

ginjal atau disebut karbunkel ginjal pada umumnya disebabkan oleh

penyebaran infeksi kuman Stafilokokus aureus yang menjalar secara

hematogen dari fokus infeksi di luar sistem saluran kemih (antara lain kulit).

Abses kortiko medulare merupakan penjalaran infeksi secara asending oleh

bakteri E.coli, Proteus, atau Klebsiella sp. Abses kortikomedulare ini

seringkali merupakan penyulit dari pielonefritis akut. (1,2)

Abses ginjal paling umum terjadi sebagai komplikasi dari infeksi

saluran kemih (ISK). Keterlambatan dalam mendiagnosis abses ginjal dapat

menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi. Dengan

ketersediaan computed tomography (CT) scanning dan magnetic resonance

imaging (MRI) dalam diagnosis abses ginjal, angka kematian telah berkurang

menjadi 12%. (3)

II. Insidens dan Epidemiologi

Dalam penelitian pasien dengan abses ginjal memiliki tingkat lebih

tinggi dari infeksi E. coli pada kultur urine. Angka kematian terakhir

dilaporkan berkisar 1% sampai 14%. Amerika Serikat insiden abses ginjal

berkisar 1-10 kasus per 10.000 penerimaan rumah sakit. Lebih dari 75%

1
abses ginjal timbul dari infeksi saluran kemih, yang naik dari kandung kemih

ke ginjal dengan pielonefritis. Sekitar 75% dari abses kortikal ginjal terjadi

pada laki-laki, abses corticomedullary ginjal umumnya sama pada laki-laki

dan perempuan. Namun, abses corticomedullary ginjal jarang dengan tidak

adanya faktor risiko. Dengan demikian, infeksi dipengaruhi oleh faktor

predisposisi. (3,4)

Batu ginjal merupakan faktor risiko penting pada abses ginjal. Selain

itu pengobatan antibiotik intravena yang tidak lengkap pada pielonefritis

akut, diabetes mellitus dan kelainan saluran kemih mengakibatkan

pembentukan abses ginjal. Peningkatan insiden abses ginjal juga dapat

disebabkan oleh jamur, terutama candida, dan pada pasien imunosupresi. (4,5)

III. Etiologi dan Pathofisiologi

Abses ginjal bisa disebabkan oleh bakteri yang berasal dari suatu

infeksi yang terbawa ke ginjal melalui aliran darah atau akibat suatu infeksi

saluran kemih yang terbawa ke ginjal dan menyebar ke dalam jaringan ginjal.

Abses kortikal ginjal akibat penyebaran hematogen bakteri dari fokus infeksi

utama di luar ginjal, disebabkan karena bakteri gram negatif atau basil

anaerob, yaitu staphylococcus aureus dan terkait pada tempat lain (fokus kulit

atau rongga hidung, penyalahgunaan obat intravena) atau gangguan

kekebalan, termasuk diabetes. Sedangkan Infeksi secara asending oleh E.

coli, Proteus spp., dan Klebsiella spp merupakan organisme yang paling

sering ditemui dalam abses perinefrik dan ginjal. (4,7)

2
Penelitian terbaru akibat peningkatan penggunakan antimikroba,

organisme gram negatif E. coli dan Klebsiella pneumonia menjadi patogen

paling umum penyebab abses ginjal dan abses perirenal (terbaru)

Jika bakteri masuk kedalam jaringan yang sehat, maka akan terjadi

suatu infeksi. Sebagian sel mati dan hancur, meninggalkan rongga yang berisi

jaringan dan sel-sel yang terinfeksi. Sel-sel darah putih yang merupakan

pertahanan tubuh dalam melawan infeksi, bergerak kedalam rongga tersebut

dan setelah menelan bakteri, sel darah putih akan mati, sel darah putih yang

mati inilah yang membentuk nanah yang mengisi rongga tersebut. Akibat

penimbunan nanah ini, maka jaringan disekitarnya akan terdorong. Jaringan

pada akhirnya tumbuh disekeliling abses dan menjadi dinding pembatas.

Abses dalam hal ini merupakan mekanisme tubuh mencegah penyebaran

infeksi lebih lanjut. Abses besar tunggal dapat menyebabkan tonjolan

terlokalisasi pada garis ginjal dan dapat merusak kalises yang berdekatan,

serta menunjukkan lesi massa. Keterlibatan parenkim ginjal dengan abses

corticomedullary lebih cenderung meluas ke kapsul dan melubangi ginjal,

sehingga membentuk abses perinefrik. Infeksi corticomedullary ginjal

termasuk proses infeksi ginjal bawah akut dan kronis. (9)

IV. Anatomi dan Fisiologi

A. Ginjal

Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di

rongga retroperitoneal bagian atas. Bentuknya menyerupai kacang

dengan sisi cekungnya menghadap ke medial. Cekungan ini sebagai

3
hilus renalis, yang didalamnya terdapat apeks pelvis renalis dan struktur

yang merawat ginjal, yakni pembuluh darah, sistem limfatik, dan sistem

saraf. Ginjal laki-laki relatif lebih besar ukurannya dari pada perempuan.

Pada autopsi klinis didapatkan bahwa ukuran rerata ginjal orang dewasa

adalah 11,5 cm (panjang) x 6 cm (lebar) x 3,5 cm (tebal). Beratnya

bervariasi antara 120-170 gram, atau kurang lebih 0,4% dari berat badan.

Ginjal kiri letaknya lebih tinggi dari ginjal kanan, berwarna merah

keunguan.(1)

Secara anatomi, ginjal dibagi menjadi 2 bagian, yaitu korteks dan

medula ginjal. Korteks ginjal terletak lebih superfisial dan di dalamnya

terdapat berjuta-juta nefron. Medula ginjal yang terletak lebih profundus

banyak terdapat duktuli atau saluran kecil yang mengalirkan hasil

ultrafiltrasi berupa urine.(1)

Gambar 1. Anatomi Ginjal, Ren [10]

4
1. Fungsi Ginjal

Menurut Sherwood, ginjal memiliki fungsi yaitu:

a. Pembentukan urin

b. Penghasil hormon eritropoietin, renin,dan prostaglandin

c. Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh

d. Memelihara volume plasma yang sesuai sehingga sangat

berperan dalam pengaturan jangka panjang tekanan darah arteri

e. Membantu memelihara keseimbangan asam basa pada tubuh

f. Mengekskresikan produk-produk sisa metabolisme tubuh

g. Mengekskresikan senyawa asing seperti obat-obatan. (11)

2. Proses Pembentukan Urin

Ada tiga tahap pembentukan urin :

a. Proses Filtrasi

Proses filtrasi terjadi di glomerulus. Proses ini terjadi

karena permukaan aferen lebih besar dari permukaan eferen

sehingga terjadi penyerapan darah. Molekul yang berukuran kecil

(air, elektrolit, dan sisa metabolisme tubuh, diantaranya kreatinin

dan ureum) akan difiltrasi dari darah kecuali protein karena

memiliki molekul yang lebih besar yang kemudian diteruskan ke

tubulus ginjal. Setiap hari tidak kurang 180 liter cairan tubuh

difiltrasi di glomerulus dan menghasilkan urine sebanyak 1-2

liter.(12)

5
b. Proses Reabsorpsi

Proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar

bahan – bahan yang masih berguna bagi tubuh, diantaranya

adalah glukosa, natrium, klorida, fosfat, dan ion bikarbonat.

Hormon yang berperan dalam proses reabsorpsi adalah anti

diuretic hormone (ADH).(12)

c. Proses Sekresi

Beberapa elektrolit akan disekresi di tubulus ginjal, yang

kemudian menghasilkan urin yang disalurkan melalui duktus

koligentes. Cairan urin disalurkan ke dalam sistem kalises hingga

pelvis ginjal.(12)

B. Ureter

Ureter adalah organ berbentuk tabung kecil yang berfungsi

mengalirkan urine dari pelvis ginjal ke dalam buli-buli. Pada orang

dewasa panjangnya lebih kurang 25-30 cm, dan diameternya 3-4 mm.

Dindingnya terdiri atas mukosa yang dilapisi sel transisional, otot polos

sirkuler, dan otot polos longitudinal. Kontraksi dan relaksasi kedua otot

polos yang memungkinkan terjadinya gerakan peristaltik ureter guna

mengalirkan urine ke dalam buli-buli.[1]

C. Buli-Buli

Purnomo mengungkapkan buli-buli atau vesica urinaria adalah

organ berongga yang terdiri atas 3 lapis otot detrusor yang saling

beranyaman, yakni terletak paling dalam adalah otot longitudinal, di

6
tengah merupakan otot sirkuler, dan paling luar merupakan otot

longitudinal. Buli-buli berfungsi menampung urine dari ureter dan

kemudian mengeluarkannya melalui uretra dalam mekanisme miksi

(berkemih). Dalam menampung urine, buli-buli mempunyai kapasitas

maksimal, untuk orang dewasa lebih kurang adalah 300-450 ml.[1]

D. Uretra

Secara anatomis uretra dibagi menjadi 2 bagian, yaitu uretra

posterior dan uretra anterior. Uretra dilengkapi dengan sfingter uretra

interna yang terletak pada perbatasan buli-buli dan uretra, serta sfingter

uretra eksterna yang terletak pada perbatasan uretra anterior dan

posterior. Panjang uretra wanita kurang lebih 3-5 cm, sedangkan uretra

pria dewasa kurang lebih 23-25 cm.[1]

V. Diagnosis

A. Gambaran Klinik

Gambaran klinik abses ginjal pasien mengeluh nyeri pinggang di

sudut kostovertebral, demam, disertai mengigil, teraba massa di

pinggang (pada abses peri atau pararenal), keluhan miksi (disuria,

polakisuria) jika fokus infeksinya berasal dari saluran kemih, anoreksi,

malas, dan lemah. Gejala ini sering didiagnosis banding dengan

pielonefritis akut. Nyeri dapat dirasakan pula di daerah (1) pleura karena

pleurutis akibat penyebaran infeksi ke subprenik dan intrathorakal, (2)

inguinal, dan (3) abdominal akibat iritasi pada peritoneum posterior.

Nyeri pada saat hiperekstensi pada sendi panggul adalah tanda dari

7
penajalaran infeksi ke otot psoas. Piuria, hematuria kadang–kadang

ditemukan pada urin penderita. [1]

Gambar 2. Abses renal, perirenal, dan pararenal[1]

B. Gambaran Radiologi

Pasien yang diduga abses ginjal didiagnosis pasti dengan

menggunakan radiologi. Abses ≤ 3 cm didefinisikan sebagai abses kecil,

menengah 3-5 cm, dan besar > 5 cm. Ultrasonografi adalah pilihan

pertama modalitas, akan tetapi kontras CT atau MRI diperlukan untuk

penegasan abses. IVU biasanya hanya menunjukkan massa non spesifik.

Kondisi ini lebih baik dengan menggunakan USG atau CT, yang akan

menunjukkan massa yang heterogen yang berisi satu atau beberapa

nekrosis fibrosis pada area sentral. USG digunakan untuk evaluasi

primer dan dilanjutkan ke CT- Scan untuk konfirmasi. (6,8)

8
1. Foto Polos Abdomen

Pada pemeriksaan foto polos abdomen didapatkan kekaburan

pada daerah pinggang, bayangan psoas menjadi kabur, terdapat

bayangan gas pada jaringan lunak, skoliosis, atau bayangan opak dari

suatu batu di saluran kemih. Jika terjadi satu atau lebih abses kecil

dalam parenkim, maka biasanya tidak ditemukan gambaran rontgen

yang khas. Tapi jika abses kecil ini bersatu membentuk suatu abses

besar atau karbunkel, maka pada foto polos akan tampak pembesaran

ginjal, dengan gambaran lemak perirenal di daerah tersebut suram.


(1,2)

Gambar 3. fluoroskopik-dibantu dengan penempatan kateter kedalam


lesi yang menunjukkan hubungan antara lesi kistik dan sistem
pengumpulan ginjal[13]

2. Intravenous Urethrography (IVU)

Pemeriksaan IVU pada abses ginjal baru berarti jika fungsi

ginjal cukup untuk memperlihatkan sistem kalik. Ditemukan

kompresi perpindahan letak atau obliterasi kalik-kalik yang

9
disebabkan oleh abses. IVU biasanya hanya menunjukkan massa non

spesifik. (2)

Gambar 4. Abses di ginjal kanan pada IVU[2]

3. Ultrasonography (USG)

USG sebagai modalitas pencitraan awal digunakan untuk

mengukur ukuran ginjal, membedakan lesi fokal, dan massa

fluidcontaining dan obstruksi dari sistem pengumpulan. USG tidak

terpengaruh oleh fungsi ginjal yang buruk atau alergi terhadap bahan

kontras. Pemeriksaan ultrasonografi menunjukkan adanya cairan

abses. Biasanya abses ginjal menunjukkan gambaran hipoekoik pada

daerah korteks atau parenkim kortiko-meduler. Gambaran ekoik dan

hipoekoik pada ginjal diffus karena pyelonefritis akut dapat terlihat.


(8)

10
Gambar 5. Abses ginjal pada wanita 57 tahun dengan pielonefritis
akut. (A) USG longitudinal dari ginjal kiri menunjukkan daerah
hipoekoik di bagian tengah dan atas (panah)[13]

Gambar 6. USG longitudinal dari ginjal kanan menunjukkan massa


(panah) dengan gambaran echoic[13]

4. CT – Scan

CT adalah metode pencitraan yang paling spesifik, karena

ada perbandingan kontras yang lebih baik. CT memiliki kemampuan

untuk mendeteksi abses berukuran kecil dan membantu membedakan

11
abses dari lesi massa lainnya. Pada abses ginjal tampak bercak-

bercak daerah segitiga pada fungsi ginjal yang menurun memancar

ke dalam zona (daerah) fungsi ginjal yang normal. Beberapa dari

daerah parenkim ginjal yang hipofungsi tersebut muncul sebagai

daerah-daerah seperti garis yang memancar. Abses ginjal yang fokal,

besar, dan terlihat berupa massa berdensitas rendah. (2,8,14)

Gambar 7. Pembesaran ginjal kanan sesuai kepadatan focal rendah


(panah tipis) dan cairan perinefrik (panah tebal)[13]

Gambar 8. (a) Pada ginjal kanan 2 cm dan 1 cm daerah postcontrast


hipodens (b) cairan bebas di sekitar ginjal[5]

12
5. MRI

MRI lebih sensitif dan spesifik dibandingkan CT untuk

mensurvei lesi ginjal. MRI terutama digunakan untuk menyingkirkan

keganasan ginjal pada pasien yang kemungkinan memiliki abses

ginjal atau perirenal. [14]

Gambar 9. Suspek penonjolan abses ke kista[6]

C. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan urinalisis menunjukkan adanya piuria dan hematuria, kultur

untuk urin menunjukkan kuman infeksi; sedangkan pada pemeriksaan

darah terdapat leukositosis dan laju endap darah yang meningkat. [1]

VI. Differensial Diagnosis

1. Abses Perinefrik

Abses perinefrik adalah kumpulan materi supuratif di ruang

perinefrik. Abses perinefrik bisa terjadi akibat pielonefritis atau ruptura

abses ginjal, atau dapat sekunder terhadap penyebaran hematogen infeksi

dari bagian tubuh lain. Mekanisme paling umum abses perinefrik sekunder

13
untuk urosepsis gram negative adalah pecahnya abses berlokasi di bagian

corticomedullary ginjal. Abses perinefrik sering terlihat pada pasien

dengan infeksi traktus urinarius menahun atau diabetes mellitus. Pasien

lazim tampil dengan demam, nyeri abdomen atau panggul, dan nyeri tekan

pada panggul. [15,16]

Gambar 10. USG menunjukkan pengumpulan


cairan besar anechoic di abses perinefrik (panah)[16]

Gambar 11.Abses perinefrik meluas melalui dinding perut menjadi


lemak subkutan. Density dari korteks ginjal tertunda terlihat
menunjukkan kumpulan obstruksi sistem. Ada juga kekaburan
lemak di sekitar abses dari peradangan [16]

14
2. Pielonefritis Akut

Pielonefritis akut adalah reaksi inflamasi akibat infeksi yang terjadi

pada pielum dan parenkim ginjal. Pada umumnya kuman yang

menyebabkan infeksi berasal dari saluran kemih bagian bawah yang naik

ke ginjal melalui ureter. Gambaran klinis adalah demam tinggi disertai

menggigil, nyeri daerah perut dan pinggang, disertai mual dan muntah.

Kadang-kadang terdapat gejala iritasi pada buli-buli, yaitu berupa disuri,

frekuensi, atau urgensi. [1]

Gambar 12. USG longitudinal ginjal kiri menunjukkan pembesaran


difus dengan echogenicity menurun dan hilangnya diferensiasi
corticomedullary [13]

15
Gambar 13. Kontras koronal ditingkatkan pada computed
tomography menunjukkan beberapa abses dalam
pielonefritis[16]

VII. Komplikasi

Komplikasi mayor dari abses adalah penyebaran abses ke jaringan

sekitar atau jaringan yang jauh dan kematian jaringan setempat yang

ekstensif. Pada sebagian besar bagian tubuh, abses jarang dapat sembuh

dengan sendirinya, sehingga tindakan medis secepatnya diindikasikan ketika

terdapat kecurigaan akan adanya abses. Suatu abses dapat menimbulkan

konsekuensi yang fatal. Pecahnya abses kortikal ginjal atau carbuncle ginjal

dapat mengakibatkan pembentukan PNA. [8]

VIII. Penatalaksanaan

Pada prinsipnya jika dijumpai suatu abses harus dilakukan drainase,

dan sumber infeksi diberantas dengan pemberian antibiotika yang adekuat.

Drainase abses dapat dilakukan melalui pembedahan terbuka ataupun

perkutan, melalui insisi kecil di kulit. [1]

16
Pengobatan yang dibagi ke dalam dua kelompok: pengobatan

konservatif dan pengobatan intervensi. Manajemen utama dengan antibiotik

direkomendasikan pada abses kecil diameter <3 cm, dan drainase (perkutan

atau bedah) pada abses besar diameter > 5 cm. Kedua pendekatan bisa

diterapkan pada abses sedang (3-5 cm). Abses ginjal sedang serta berukuran

kecil bisa diobati dengan sukses dengan antibiotik IV yang memadai tanpa

drainase bedah. EAU, pendekatan konservatif dengan pengobatan antibiotik

hanya diindikasikan pada abses dengan diameter hingga 3 cm. Terapi

empiris dengan antibiotik spektrum luas (ampisilin atau vankomisin dalam

kombinasi dengan aminoglikosida atau generasi ketiga cephalosporin atau

fluorokuinolon) biasanya dianjurkan karena sering sangat sulit untuk

mengidentifikasi organisme penyebab yang benar dari urin atau darah.

Terapi antimikroba intravena mungkin pengobatan alternatif yang baik jika

terapi drainase diyakini memiliki risiko yang cukup besar. Pengobatan

antibiotik harus dilanjutkan minimal 2 sampai 3 minggu. Total durasi

pengobatan dikondisikan oleh respon klinis sekitar satu sampai dua bulan

pada kebanyakan pasien. Nefrostomi perkutan harus dipertimbangkan ketika

ada abses besar atau uropati obstruktif, dan tidak ada perbaikan klinis setelah

48 sampai 72 jam terapi antibiotik yang tepat. Abses ginjal kecil secara

efektif diobati dengan antibiotik intravena. [4,7,8,9]

Kriteria penyembuhan penilaian abses termasuk tidak adanya rasa

sakit, pengurangan demam, normalisasi ESR atau CRP, hilangnya abses

pada USG atau CT scan yang biasanya mengungkapkan bekas luka kortikal.

17
Indikator terbaik penyembuhan adalah tidak adanya kekambuhan tanda dan

gejala klinis infeksi. Jika parameter klinis dan laboratorium datang dalam

batas normal, maka pengobatan antibiotik dapat dihentikan 10 hari

kemudian. Pasien harus ditindaklanjuti lebih selang waktu dua minggu, dua

atau tiga bulan setelah akhir pengobatan. [14]

IX. Prognosis

Abses ginjal berpotensi mematikan dan prognosis dapat buruk,

terutama pada pasien imunosupresi dan kurus.[8]

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Purnomo, B.D. 2011. Dasar-dasar Urologi. Edisi 3. Jakarta: CV Sagung


Seto
2. Rasad, S. 2015. Radiologi Diagnostik. Jakarta: Badan Penerbit FKUI
3. Lee, S.H. Et al. 2010. Renal Abscesses Measuring 5 cm or Less: Outcome
of Medical Treatment without Therapeutik Drainage. Yonsei Medical
Journal. Volume 1. No.4. Hal.569-573
4. Hao, L.J. Et al. 2014. Proper Diagnosis and Treatment of Renal Abscrss :
A Case Report. International Journal of Case Reports and Images
(IJCRI). Volume 5. No.12. Hal. 854-858
5. Eren, Z. Et al. 2014. A Rare Intraabdominal Infection; Renal Abcess.
Journal of Academic Emergency Medicine. Volume 5. Hal.84-86
6. Novac, J. Et al. 2016. Renal Abscess Caused by Extended-Spectrum Beta-
Lactamase-Producing Bacteria and Complicated by the Perforation to a
Cyst and to the Renal Pelvis. Journal of Endourology Case Reports.
Volume 2.1. Hal. 123-126
7. Liu,Q.L, Et al. 2016. Renal and Perinephric Abscesses in West China
Hospital: 10-Year Retrospective-Descriptive Study. Word Journal of
Nephrology. Volume 5. Hal.108-114
8. Putz,R. Et al. 2006. Sobotta: Atlas Anatomi Manusia Jilid 2. Jakarta: EGC
9. Sherwood, L., 2011. Fisiologi Manusia : dari sel ke sistem. Ed. 6. Alih
Bahasa, Brahm U. Pendit. Editor edisi Bahasa Indonesia, Nella Yesdelita.
Jakarta : EGC
10. Prabowo, E., 2014. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan.
Yogyakarta: Nuha Medika
11. Kao, H.W. Et al. 2008. Ultrasound of Renal Infectious Disease. Journal
Medical Ultrasound. Volume 16. No. 2. Hal. 113-122

19
12. Lee, B.E. Et al. 2008. Recent Clinical Overview of Renal and Perirenal
Abscesses in 56 Consecutive Cases. The Korean Journal of Internal
Medicine. Volume 23. No.3. Hal. 140-148
13. Sabiston, D.C. 2012. Buku Ajar Bedah Bagian 2. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC

20

Anda mungkin juga menyukai