Anda di halaman 1dari 27

Bagian Ilmu Bedah REFARAT

Fakultas Kedokteran Agustus 2018

Universitas Halu Oleo

SPONDILITIS TUBERKULOSA

Oleh :

Ershanty Rahayu Safitrinas Yasin, S.Ked


K1A1 10 046

Pembimbing :
dr. Beny Murtaza, Sp.OT, M.Kes

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik

Bagian Ilmu Bedah RSU Bahteramas Provinsi Sulawesi Tenggara

Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo

Kendari

2018
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Spondilitis tuberkulosis (TB) atau dikenal dengan Pott’s disease adalah

penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang

mengenai tulang belakang. Infeksi Mycobacterium tuberculosis pada tulang belakang

terbanyak disebarkan melalui infeksi dari diskus. Mekanisme infeksi terutama oleh

penyebaran melalui hematogen (Hidalgo, 2006).

Tahun 1995, hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan

bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit

kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok usia, dan nomor

satu dari golongan penyakit infeksi. Secara epidemiologi tuberkulosis merupakan

penyakit infeksi pembunuh nomor satu di dunia, 95% kasus berada di negara

berkembang. Organisasi kesehatan dunia (WHO) pada tahun 2000 memperkirakan 2

juta penduduk terserang dan 3 juta penduduk di seluruh dunia meninggal oleh karena

TB (Batra, 2009). Insiden spondilitis TB masih sulit ditetapkan, sekitar 10% dari kasus

TB ekstrapulmonar merupakan spondilitis TB dan 1,8% dari total kasus TB (Herchline,

2007).

Pada kasus-kasus pasien dengan tuberkulosa, keterlibatan tulang dan sendi

terjadi pada kurang lebih 10% kasus. Walaupun setiap tulang atau sendi dapat

terkena, akan tetapi tulang yang mempunyai fungsi untuk menahan beban (weight

bearing) dan mempunyai pergerakan yang cukup besar (mobile) lebih sering

terkena dibandingkan dengan bagian yang lain. Dari seluruh kasus tersebut, tulang

belakang merupakan tempat yang paling sering terkena tuberkulosa tulang (kurang

2
lebih 50% kasus) (Gorse et al. 1983), diikuti kemudian oleh tulang panggul, lutut

dan tulang-tulang lain di kaki, sedangkan tulang di lengan dan tangan jarang

terkena. Area torako-lumbal terutama torakal bagian bawah (umumnya T 10) dan

lumbal bagian atas merupakan tempat yang paling sering

terlibat karena pada area ini pergerakan dan tekanan dari weight bearing mencapai

maksimum, lalu dikuti dengan area servikal dan sakral.

Komplikasi spondilitis TB dapat mengakibatkan morbiditas yang cukup tinggi

yang dapat timbul secara cepat ataupun lambat. Paralisis dapat timbul secara cepat

disebabkan oleh abses, sedangkan secara lambat oleh karena perkembangan dari

kifosis, kolap vertebra dengan retropulsi dari tulang dan debris (Batra, 2009).

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Spondilitis tuberkulosis atau Pott’s disease adalah infeksi tuberkulosis (TB)

ekstrapulmonal yang mengenai satu atau lebih ruas tulang belakang (Moore et al,

2005). Spondilitis tuberkulosis disebabkan oleh infeksi kuman Mycobacterium

tuberculosis (Batra, 2009).

2. Etiologi

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman

Mycobacterium tuberculosis yang merupakan anggota ordo Actinomicetales dan

famili Mycobacteriase. Basil tuberkel berbentuk batang lengkung, gram positif lemah

yaitu sulit untuk diwarnai tetapi sekali berhasil diwarnai sulit untuk dihapus walaupun

dengan zat asam, sehingga disebut sebagai kuman batang tahan asam. Hal ini

disebabkan oleh karena kuman bakterium memiliki dinding sel yang tebal yang terdiri

dari lapisan lilin dan lemak (asam lemak mikolat). Selain itu bersifat pleimorfk, tidak

bergerak dan tidak membentuk spora serta memiliki panjang sekitar 2-4 µm (Utji et

al, 2005).

3. Anatomi

Vertebrae terdiri dari 33 ruas yaitu : 7 ruas vertebra cervicalis, 12 ruas vertebra

thoracalis, 5 ruas vertebra lumbalis, 5 ruas vertebra sakralis dan 4 os coccigeus.

Secara anatomis setiap ruas vertebra akan terdiri dari 2 bagian :

a) Bagian anterior

Bagian ini struktur utamanya adalah corpus vertebrae. Bagian ini fungsi

utamanya adalah untuk menyangga berat badan. Di antara dua corpus vertebra

4
yang berdekatan dihubungkan oleh struktur yang disebut diskus intervertebralis

yang bentuknya seperti cakram, konsistensinya kenyal dan berfungsi sebagai

peredam kejut (shock absorber).

b) Bagian posterior

Bagian posterior dari ruas tulang belakang ini berfungsi untuk :

 Memungkinkan terjadinya pergerakan tulang belakang itu sendiri. Hal ini

dimungkinkan oleh karena di bagian ini terdapat dua persendian.

 Fungsi proteksi, oleh karena bagian ini bentuknya seperti cincin dari tulang

yang amat kuat dimana di dalam lubang di tengahnya terdapat medulla

spinalis.

 Fungsi stabilisasi. Fungsi ini didapat oleh kuatnya persendian di bagian

belakang yang diperkuat oleh adanya ligamen dan otot-otot yang sangat kuat.

Kedua struktur terakhir ini menghubungkan vertebrae baik dari ruas ke ruas

yang berdekatan maupun sepanjang vertebrae mulai dari cervicalis sampai os

coccigeus.

5
4. Patogenesis

Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB, karena ukuran

bakteri sangat kecil 1-5 μ, kuman TB yang terhirup mencapai alveolus dan segera

diatasi oleh mekanisme imunologis nonspesifik. Makrofag alveolus akan memfagosit

kuman TB dan sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Pada sebagian

kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan

bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang-

biak, akhirnya akan menyebabkan makrofag mengalami lisis, dan kuman TB

membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan

paru disebut fokus primer Ghon (Utji R,1994).

Diawali dari fokus primer kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju

ke kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke

lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran

limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer

terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar

limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat

adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus

primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang

meradang (limfangitis) (Batra,2005.,Raharjoe,2005).

Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan

rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh

hingga mencapai jumlah 104 yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons

imunitas selular (Raharjoe,2005.,Munoz,2004). Pada saat terbentuk kompleks primer,

infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuk

hipersensitivitas terhadap protein tuberkulosis, yaitu timbulnya respons positif

6
terhadap uji tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Setelah

kompleks primer terbentuk, imunitas selular tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada

sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, begitu sistem imun

selular berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman

TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular telah terbentuk, kuman

TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan (Salim,2005.,

Raharjoe,2005)

Setelah imunitas selular terbentuk fokus primer di jaringan paru biasanya

mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah

mengalami nekrosis perkejuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan

mengalami fibrosis dan enkapsulasi tetapi penyembuhannya biasanya tidak

sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap

selama bertahun-tahun dalam kelenjar tersebut (Munoz,2004)

Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi

pertumbuhannya oleh imunitas selular, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman.

Fokus tersebut umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi

untuk menjadi fokus reaktivasi, disebut sebagai fokus Simon. Bertahun-tahun

kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, fokus Simon ini dapat mengalami

reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang

dan lain-lain (Herchline,2005)

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi

penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke

kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer sedangkan pada penyebaran

hematogen kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh

7
tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai

penyakit sistemik (Raharjoe,2005)

Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk

penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread), kuman TB menyebar

secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis.

Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang

dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal,

dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Bagian pada tulang

belakang yang sering terserang adalah peridiskal terjadi pada 33% kasus spondilitis

TB dan dimulai dari bagian metafisis tulang, dengan penyebaran melalui ligamentum

longitudinal. Anterior terjadi sekitar 2,1% kasus spondilitis TB. Penyakit dimulai dan

menyebar dari ligamentum anterior longitudinal. Radiologi menunjukkan adanya

skaloping vertebra anterior, sentral terjadi sekitar 11,6% kasus spondilitis TB.

Penyakit terbatas pada bagian tengah dari badan vertebra tunggal, sehingga dapat

menyebabkan kolap vertebra yang menghasilkan deformitas kiposis. Di berbagai

lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum

terbentuk imunitas selular yang akan membatasi pertumbuhan

(Munoz,2004.,Raharjoe,2005).

Perjalanan penyakit ini dibagi dalam 5 stadium yaitu :

a. Stadium implantasi.

Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita

menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama

6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak-

anak umumnya pada daerah sentral vertebra.

8
b. Stadium destruksi awal.

Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra

serta penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3-6

minggu.

c. Stadium destruksi lanjut.

Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps vertebra dan

terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses , yang tejadi 2-3

bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum

serta kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji

terutama di sebelah depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus vertebra,

yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibbus.

d. Stadium gangguan neurologis.

Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang

terjadi, tetapi terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis.

Gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa.

Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga

gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini. Bila terjadi gangguan

neurologis, maka perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia, yaitu :

Derajat I : kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan

aktivitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf

sensoris.

Derajat II : terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita masih

dapat melakukan pekerjaannya.

Derajat III : terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi

gerak/aktivitas penderita serta hipoestesia/anesthesia.

9
Derajat IV : terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan

defekasi dan miksi. Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi

secara dini atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya.

Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan

ekstradural dari abses paravertebral atau akibat kerusakan langsung sumsum

tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang

sudah tidak aktif/sembuh terjadi oleh karena tekanan pada jembatan tulang kanalis

spinalis atau oleh pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan

granulasi tuberkulosa. Tuberkulosis paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat

terjadi destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vaskuler vertebra.

e. Stadium deformitas residual

Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah timbulnya stadium

implantasi. Kifosis atau gibbus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra

yang masif di sebelah depan.(Hidalgo, 2006)

5. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pasien TB pada umumnya, pasien mengalami keadaan

sebagai berikut, berat badan menurun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang

jelas, demam lama tanpa sebab yang jelas, pembesaran kelenjar limfe superfisial

yang tidak sakit, batuk lebih dari 30 hari, terjadi diare berulang yang tidak sembuh

dengan pengobatan diare (Hidalgo,2005.,Munoz,2004.,Salim,2005).

Gejala pertama biasanya dikeluhkan adanya benjolan pada tulang belakang

yang disertai oleh nyeri. Untuk mengurangi rasa nyeri, pasien akan enggan

menggerakkan punggungnya, sehingga seakan-akan kaku. Pasien akan menolak jika

diperintahkan untuk membungkuk atau mengangkat barang dari lantai. Nyeri tersebut

akan berkurang jika pasien beristirahat. Keluhan deformitas pada tulang belakang

10
(kyphosis) terjadi pada 80% kasus disertai oleh timbulnya gibbus yaitu punggung

yang membungkuk dan membentuk sudut, merupakan lesi yang tidak stabil serta

dapat berkembang secara progresif. Terdapat 2 tipe klinis kiposis yaitu mobile dan

rigid. Pada 80% kasus, terjadi kiposis 100, 20% kasus memiliki kiposis lebih dari 100

dan hanya 4% kasus lebih dari 300. Abses dapat terjadi pada tulang belakang yang

dapat menjalar ke rongga dada bagian bawah atau ke bawah ligamen inguinal

(Hidalgo,2005).

Paraplegia pada pasien spondilitis TB dengan penyakit aktif atau yang dikenal

dengan istilah Pott’s paraplegi, terdapat 2 tipe deisit neurologi ditemukan pada

stadium awal dari penyakit yaitu dikenal dengan onset awal, dan paraplegia pada

pasien yang telah sembuh yang biasanya berkembang beberapa tahun setelah

penyakit primer sembuh yaitu dikenal dengan onset lambat (Hidalgo,2005).

6. Klasifikasi

Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra, dikenal 3 bentuk

spondilitis TB:

1) Bentuk paradiskus, merupakan bentuk yang paling sering ditemukan pada orang

dewasa, lebih dari separuh jumlah kasus.

2) Bentuk sentral, infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra. Dapat

menyebabkan kolaps vertebra dan sering dijumpai pada anak.

3) Bentuk anterior, adalah merupakan perambatan perkontinuitatum dari vertebra di

atasnya dengan lokus awal di korpus vertebra bagian anterior (Moesbar, 2006)

7. Pemeriksaan

a. Anamnesis dan Inspeksi :

1) Gambaran adanya penyakit sistemik : kehilangan berat badan, keringat

malam, demam yang berlangsung secara intermitten terutama sore dan malam

11
hari dan sakit (kaku) pada punggung. Pada pasien anak-anak, dapat juga

terlihat berkurangnya keinginan bermain di luar rumah. Demam (terkadang

demam tinggi), hilangnya berat badan dan berkurangnya nafsu makan akan

terlihat dengan jelas.

2) Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau berdarah

disertai nyeri dada. Pada beberapa kasus terjadi pembesaran dari nodus

limfatikus, tuberkel di subkutan, dan pembesaran hati dan limpa.

3) Pada awal dijumpai nyeri interkostal, berupa nyeri yang menjalar dari tulang

belakang ke garis tengah atas dada melalui ruang interkostal. Infeksi yang

mengenai tulang servikal akan tampak sebagai nyeri di daerah telingan atau

nyeri yang menjalar ke tangan. Lesi di torakal atas akan menampakkan nyeri

yang terasa di dada dan intercostal. Pada lesi di bagian torakal bawah maka

nyeri dapat berupa nyeri menjalar ke bagian perut. Rasa nyeri ini hanya

menghilang dengan beristirahat. Untuk mengurangi nyeri pasien akan

menahan punggungnya menjadi kaku.

4) Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkah

kaki pendek, karena mencoba menghindari nyeri di punggung.

5) Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat menolehkan

kepalanya, mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi dan duduk dalam

posisi dagu disangga oleh satu tangannya, sementara tangan lainnya di

oksipital. Rigiditas pada leher dapat bersifat asimetris sehingga menyebabkan

timbulnya gejala klinis torticollis. Pasien juga mungkin mengeluhkan rasa

nyeri di leher atau bahunya. Jika terdapat abses, maka tampak pembengkakan

di kedua sisi leher. Abses yang besar, terutama pada anak, akan mendorong

trakhea ke sternal notch sehingga akan menyebabkan kesulitan menelan dan

12
adanya stridor respiratoar, sementara kompresi medulla spinalis pada orang

dewasa akan menyebabkan tetraparesis. Dislokasi atlantoaksial karena

tuberkulosa jarang terjadi dan merupakan salah satu penyebab kompresi

cervicomedullary di negara yang sedang berkembang. Hal ini perlu

diperhatikan karena gambaran klinisnya serupa dengan tuberkulosa di regio

servikal.

6) Infeksi di regio torakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi kaku.

Bila berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan mengayunkan dari sendi

panggulnya. Saat mengambil sesuatu dari lantai ia menekuk lututnya

sementara tetap mempertahankan punggungnya tetap kaku mengelilingi

rongga dada dan tampak sebagai pembengkakan lunak dinding dada. Jika

menekan abses ini berjalan ke bagian belakang maka dapat menekan korda

spinalis dan menyebabkan paralisis.

7) Di regio lumbal : abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan lunak yang

terjadi di atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar melalui

fistel dalam pelvis dan mencapai permukaan di belakang sendi panggul.

Pasien tampak berjalan dengan lutut dan hip dalam posisi fleksi dan

menyokong tulang belakangnya dengan meletakkan tangannya diatas paha.

Adanya kontraktur otot psoas akan menimbulkan deformitas fleksi sendi

panggul.

8) Tampak adanya deformitas, dapat berupa : kifosis (gibbus/angulasi tulan

belakang, skoliosis, bayonet deformity, spondilolistesis, dan dislokasi.

9) Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis (defisit neurologis).

Terjadi pada kurang lebih 10-47% kasus. Insidensi paraplegia pada

spondilitis lebih banyak di temukan pada infeksi di area torakal dan servikal.

13
b. Palpasi :

Sesuai dengan inspeksi, keadaan tulang belakang terdapat adanya gibbus

pada area tulang yang mengalami infeksi. Bila terdapat abses maka akan

teraba massa yang berfluktuasi dan kulit diatasnya terasa sedikit hangat

(disebut cold abcess, yang membedakan dengan abses piogenik yang teraba

panas). Dapat dipalpasi di daerah lipat paha, fossa iliaka, retropharynx, atau

di sisi leher (di belakang otot sternokleidomastoideus), tergantung dari level

lesi. Dapat juga teraba di sekitar dinding dada. Perlu diingat bahwa tidak ada

hubungan antara ukuran lesi destruktif dan kuantitas pus dalam cold abscess.

Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang

terkena.

c. Perkusi :

Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan diatas prosesus spinosus

vertebrae yang terkena, sering tampak tenderness. (Vitriana, 2002)

8. Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium

1) Pemeriksaan darah lengkap didapatkan leukositosis. Laju endap darah

meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari 100mm/jam.

2) Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein Derivative

(PPD) positif. Tuberculin skin test ini dikatakan positif jika tampak area

berindurasi, kemerahan dengan diameter ≥ 10mm di sekitar tempat suntikan

48-72 jam setelah suntikan.

3) Uji kultur biakan bakteri dan BTA ditemukan Mycobacterium tuberculosis.

4) Apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang

bersifat relative

14
5) Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis

tuberkulosa). Normalnya cairan serebrospinal tidak mengeksklusikan

kemungkinan infeksi TBC. Pemeriksaan cairan serebrospinal secara serial

akan memberikan hasil yang lebih baik. Cairan serebrospinal akan tampak:

 Xantokrom

 Bila dibiarkan pada suhu ruangan akan menggumpal.

 Pleositosis (dengan dominasi limfosit dan mononuklear). Pada tahap akut

responnya bisa berupa neutrofilik seperti pada meningitis piogenik

 Kandungan protein meningkat.

 Kandungan gula normal pada tahap awal tetapi jika gambaran klinis

sangat kuat mendukung diagnosis, ulangi pemeriksaan.

 Pada keadaan arachnoiditis tuberkulosa (radiculomyelitis), punksi lumbal

akan menunjukkan genuine dry tap. Pada pasien ini adanya peningkatan

bertahap kandungan protein menggambarkan suatu blok spinal yang

mengancam dan sering diikuti dengan kejadian paralisis. Pemberian

steroid akan mencegah timbulnya hal ini.

Kandungan protein cairan serebrospinal dalam kondisi spinal terblok

spinal dapat mencapai 1-4g/100ml. Kultur cairan serebrospinal. Adanya basil

tuberkel merupakan tes konfirmasi yang absolut tetapi hal ini tergantung dari

pengalaman pemeriksa dan tahap infeksi. (Vitriana, 2002)

b. Radiologi

a. Sinar Rontgen

Diperlukan pengambilan gambar dua arah ,antero-posterior (AP) dan lateral

(L). Pada fase awal, akan tampak lesi osteolitik pada bagian anterior korpus

15
vertebra dan osteoporosis regional. Penyempitan ruang diskus

intervertebralis, menujukkan terjadinya kerusakan diskus. Pembengkakan

jaringan lunak di sekitar vertebra menimbulkan bayangan fusiform.

Pada fase lanjut, kerusakan bagian anterior semakin parah. Korpus menjadi

kolaps dan terjadi fusi anterior yang menghasilkan angulasi yang khas disebut

gibbus. Bayangan opaque pada sisi lateral vertebra, memanjang kearah distal,

merupakan gambaran abses psoas pada torakal bawah dan torakolumbal yang

berbentuk fusiform.

b. Mielografi

Melalui punksi lumbal dimasukkan zat kontras kedalam ruang

subdural. Pemeriksaan ini dapat memberikan gambaran adanya penyempitan

pada kanal spinalis dan atau tekanan terhadap medulla spinalis.

c. CT-Scan

Dapat memperlihatkan bagian-bagian vertebra secara rinci dan melihat

kalsifikasi jaringan lunak. Membantu mencari fokus yang lebih kecil,

menentukan lokasi biopsi dan menetukan luas kerusakan.

d. MRI

Memiliki kelebihan dalam menggambarkan jaringan lunak dan aman

digunakan. MRI juga memiliki kelebihan dalam mendiagnosa penyakit pada

masa dini atau lesi multipel dibandingkan CT dan pemeriksaan radiologik

konvensional. Gambaran lesi pada T1 weighted image adalah hypointense

sedangkan pada T2 weighted image adalah hiperintens. Lesi juga dapat

menjadi lebih jelas dengan injeksi Gadolinium DTPA intravena.

Pada spondilitis tuberkulosa akan didapat gambaran dengan lingkaran

inflamasi dibagian luar dan sekuester ditengah yang hipointens ; tetapi

16
gambaran ini mirip dengan infeksi piogenik dan neoplasma sehingga tidak

spesifik untuk spondilitis tuberkulosa.

9. Diagnosis

Diagnosis dibuat berdasarkan temuan klinis dengan tingkat kecurigaan yang

tinggi di daerah endemis, dengan keluhan nyeri dan tanda-tanda infeksi sistemik

lainnya disertai dengan hasil pemeriksaan hematologis, radiologis, bakteriologis dan

histopatologis. Diagnosa untuk tuberkulosis di luar paru (extra pulmonal tuberculosis)

termasuk spondilitis tuberkulosa dapat dikatakan pasti bila secara klinis, dan hasil

pemeriksaan penunjang menunjukkan hasil positif. Jika hasil pemeriksaan

bakteriologis dan histopatologis negatif maka disebut sebgai kasus tuberkulosis ekstra

paru tersangka.

10. Diagnosis Banding

Spodilitis tuberkulosa harus dibedakan dari penyebab destruksi vertebra dan

kifosis angular lainnya, yaitu infeksi piogenik non-spesifik dan keganasan Pada

infeksi piogenik akut, manifestasi klinik umumnya lebih berat dibandingkan dengan

spondilitis tuberkulosa. Pada infeksi, diskus biasanya kolaps sedangkan pada

keganasan biasanya masih baik.

Diagnosis banding pada spondilitis tuberkulosa yaitu:

a. Fraktur kompresi traumatik akibat tumor medulla spinalis.

b. Osteitis piogen dengan demam yang lebih cepat timbul.

c. Poliomielitis dengan paresis atau paralisis tungkai dan skoliosis bukan

kifosis.

d. Skoliosis idiopatik tanpa gibbus dan tanda paralisis.

e. Kifosis senilis berupa kifosis tidak lokal dan osteoporosis seluruh kerangka.

17
f. Penyakit paru dengan bekas empiema tulang belakang bebas penyakit.

i. Infeksi piogenik (contoh : karena staphylococcal/suppurative spondylitis).

Adanya sklerosis atau pembentukan tulangbaru pada foto rontgen

menunjukkan adanya infeksi piogenik. Selain itu keterlibatan dua atau lebih

corpus vertebra yang berdekatan lebih menunjukkan adanya infeksi

tuberkulosa daripada infeksi bakterial lain.

(Currier, 2004)

11. Penatalaksanaan

Kuman tuberkulosa pada umumnya dapat dibunuh atau dihambat dengan

pemberian obat-obat anti tuberkulosa, misalnya kombinasi INH, ethambutol,

pyrazinamid dan rifampicin. Namun karena vertebra yang terinfeksi mengalami

destruksi dengan pembentukan sekuester dan perkejuan, maka tindakan bedah

menjadi penting untuk dapat mengevakuasi sumber infeksi dan jaringan nekrotik.

Destruksi korpus vertebra dapat menyebabkan kompresi terhadap medulla spinalis

dan menyebabkan defisit neurologik, sehingga memerlukan tindakan bedah. Dasar

penatalaksanaan spondilitis tuberkulosa adalah mengistirahatkan vertebra yang sakit,

obat-oabat anti tuberkulosa dan pengeluaran abses.

a. Terapi Konservatif

Pengobatan konservatif yang ketat dapat memberikan hasil yang cukup baik.

1) Tirah baring (bed rest)

Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips terutama pada keadaan

akut atau fase aktif. Istirahat ditempat tidur dapat berlangsung 3 – 4 minggu,

sampai dicapai keadaan yang tenang secara klinis, radiologis dan laboratoris.

Nyeri akan berkurang, spasme otot-otot paravertebral menghilang, nafsu

makan pulih dan berat badan meningkat., suhu tubuh normal. Secara

18
laboratoris, laju endap darah menurun, tes mantoux diameter < 10 mm. Pada

pemeriksaan radiologis tidak dijumpai penambahan destruksi tulang, kavitasi

ataupun sekuester.

b. Anti Tuberkulosa

Obat anti tuberkulosa yang utama adalah isoniazid (INH),

rifamipicin (RMP), pyrazinamide (PZA), streptomycin (SM) dan

ethambutol (EMB).

Di bawah adalah penjelasan singkat dari obat anti tuberkulosa

yang primer:

I. Isoniazid (INH)

 Bersifat bakterisidal baik di intra ataupun ekstraseluler

 Tersedia dalam sediaan oral, intramuskuler dan intravena.

 Bekerja untuk basil tuberkulosa yang berkembang cepat.

 Berpenetrasi baik pada seluruh cairan tubuh termasuk cairan

serebrospinal.

 Efek samping : hepatitis pada 1% kasus yang mengenai lebih

banyak pasien berusia lanjut usia, peripheral neuropathy karena

defisiensi piridoksin secara relatif (bersifat reversibel dengan

pemberian suplemen piridoksin).

 Relatif aman untuk kehamilan

 Dosis INH adalah 5 mg/kg/hari – 300 mg/hari

II. Rifampin (RMP)

 Bersifat bakterisidal, efektif pada fase multiplikasi cepat ataupun

lambat dari basil, baik di intra ataupun ekstraseluler.

19
 Keuntungan : melawan basil dengan aktivitas metabolik yang

paling rendah (seperti pada nekrosis perkijuan).

 Lebih baik diabsorbsi dalam kondisi lambung kosong dan tersedia

dalam bentuk sediaan oral dan intravena.

 Didistribusikan dengan baik di seluruh cairan tubuh termasuk cairan

serebrospinal.

 Efek samping yang paling sering terjadi : perdarahan pada traktus

gastrointestinal, cholestatic jaundice, trombositopenia dan dose

dependent peripheral neuritis. Hepatotoksisitas meningkat bila

dikombinasi dengan INH.

 Relatif aman untuk kehamilan

 Dosisnya : 10 mg/kg/hari – 600 mg/hari.

III. Pyrazinamide (PZA)

 Bekerja secara aktif melawan basil tuberkulosa dalam lingkungan

yang bersifat asam dan paling efektif di intraseluler (dalam

makrofag) atau dalam lesi perkijuan.

 Berpenetrasi baik ke dalam cairan serebrospinalis.

 Efek samping :

1. Hepatotoksisitas dapat timbul akibat dosis tinggi obat ini yang

dipergunakan dalam jangka yang panjang tetapi bukan suatu masalah

bila diberikan dalam jangka pendek.

2. Asam urat akan meningkat, akan tetapi kondisi gout jarang

tampak. Arthralgia dapat timbul tetapi tidak berhubungan dengan

kadar asam urat.

20
 Dosis : 15-30mg/kg/hari

IV. Ethambutol (EMB)

 Bersifat bakteriostatik intraseluler dan ekstraseluler

 Tidak berpenetrasi ke dalam meningen yang normal

 Efek samping : toksisitas okular (optic neuritis) dengan timbulnya

kondisi buta warna, berkurangnya ketajaman penglihatan dan adanya

central scotoma.

 Relatif aman untuk kehamilan

 Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal

 Dosis : 15-25 mg/kg/hari

V. Streptomycin (STM)

 Bersifat bakterisidal

 Efektif dalam lingkungan ekstraseluler yang bersifat basa sehingga

dipergunakan untuk melengkapi pemberian PZA.

 Tidak berpenetrasi ke dalam meningen yang normal

 Efek samping : ototoksisitas (kerusakan syaraf VIII), nausea dan

vertigo (terutama sering mengenai pasien lanjut usia)

 Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal

 Dosis : 15 mg/kg/hari – 1 g/kg/hari

OAT berdasarkan berat ringannya penyakit;

1) Kategori I adalah tuberkulosis yang berat, termasuk tuberkulosis paru yang

luas, tuberkulosis milier, tuberkulosis disseminata, tuberkulosis disertai

diabetes mellitus dan tuberkulosis ekstrapulmonal termasuk spondilitis

tuberkulosa.

21
2) Kategori II adalah tuberkulosis paru yang kambuh atau gagal dalam

pengobatan.

3) Kategori III adalah tuberkulosis paru tersangka aktif.

Paduan OAT untuk spondilitis tuberkulosa sesuai dengan Kategori I

seperti dalam Tabel 1. INH diberikan sampai 12 bulan. Streptomycin hanya

sebagai kombinasi terakhir atau tambahan pada regimen yang ada. Di samping

itu ada OAT tambahan tetapi kemampuannya lemah misalnya kanamycin,

PAS, thiazetazone, ethionamide, dan quinolone.

c. Immobilisasi

Pemasangan gips bergantung pada level lesi, pada daerah servikal dapat

dilakukan immobilisasi dengan jaket minerva , pada daerah torakal, torakolumbal

dan lumbal atas immobilisasi dengan body jacket atau gips korset disertai fiksasi

pada salah satu panggul. Immobilisasi pada umumnya berlangsung 6 bulan,

dimulai sejak penderita diizinkan berobat jalan. Selama pengobatan penderita

menjalani kontrol berkala dan dilakukan pemeriksaan klinis, radiologis dan

laboratoris. Bila dalam pengamatan tidak tampak kemajuan, maka perlu difikirkan

kemungkinan resistensi obat, adanya jaringan kaseonekrotik dan sekuester, nutrisi

yang kurang baik, makan obat tidak berdisiplin.

22
d. Terapi Operatif

Tujuan terapi operatif adalah menghilangkan sumber infeksi, mengkoreksi

deformitas, menghilangkan komplikasi neurologik dan kerusakan lebih lanjut.

Salah satu tindakan bedah yang penting adalah debridement yang bertujuan

menghilangkan sumber infeksi dengan cara menbuang semua debri dan jaringan

nekrotik, benda asing dan mikro-organisme.

Indikasi operasi:

1) Jika terapi konservatif tidak memberikan hasil yang memuaskan, secara klinis

dan radiologis memburuk.

2) Deformitas bertambah, terjadi destruksi korpus multipel.

3) Terjadinya kompresi pada medula spinalis dengan atau tidak dengan defisit

neurologik, terdapat abses paravertebral

4) Lesi terletak torakolumbal, torakal tengah dan bawah pada penderita anak.

Lesi pada daerah ini akan menimbulkan deformitas berat pada anak dan tidak

dapat ditanggulangi hanya dengan OAT.

5) Radiologis menunjukkan adanya sekuester, kavitasi dan kaseonekrotik dalam

jumlah banyak. (Moesbar, 2006)

12. Komplikasi

a) Pott’s paraplegia

 Muncul pada stadium awal disebabkan tekanan ekstradural oleh pus maupun

sequester atau invasi jaringan granulasi pada medula spinalis. Paraplegia ini

membutuhkan tindakan operatif dengan cara dekompresi medula spinalis dan

saraf.

 Muncul pada stadium lanjut disebabkan oleh terbentuknya fibrosis dari

jaringan granulasi atau perlekatan tulang (ankilosing) di atas kanalis spinalis.

23
b) Ruptur abses paravertebra

 Pada vertebra torakal maka nanah akan turun ke dalam pleura sehingga

menyebabkan empiema tuberkulosis

 Pada vertebra lumbal maka nanah akan turun ke otot iliopsoas membentuk

psoas abses yang merupakan cold absces.

c) Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya tekanan

ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari

diskus intervertebralis (contoh : Pott’s paraplegia “ prognosa baik) atau dapat juga

langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa

(contoh :menigomyelitis, prognosa buruk).

a. Mortalitas

Mortalitas pasien spondilitis tuberkulosa mengalami penurunan seiring

dengan ditemukannya kemoterapi (menjadi kurang dari 5%, jika pasien

didiagnosa dini dan patuh dengan regimen terapi dan pengawasan ketat).

b. Relaps

Angka kemungkinan kekambuhan pasien yang diterapi antibiotik dengan

regimen medis saat ini dan pengawasan yang ketat hampir mencapai 0%.

c. Kifosis

Kifosis progresif selain merupakan deformitas yang mempengaruhi

kosmetis secara signifikan, tetapi juga dapat menyebabkan timbulnya defisit

neurologis atau kegagalan pernafasan dan jantung karena keterbatasan fungsi

paru.

d. Defisit neurologis

24
Defisit neurologis pada pasien spondilitis tuberkulosa dapat membaik

secara spontan tanpa operasi atau kemoterapi. Tetapi secara umum, prognosis

membaik dengan dilakukannya operasi dini.

e. Usia

Pada anak-anak, prognosis lebih baik dibandingkan dengan orang dewasa.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Batra V. 2009. Tuberculosis. Didapat dari http://


www.emedicine.com/ped/topic2321.htm Diakses tanggal 2 Februari 2013.
2. Harisinghani MG, at al. 2000. Tuberculosis from head to toe1.
Radiographics: pp; 20:449-70.
3. Harsono, 2003. Spondilitis Tuberkulosa dalam Kapita Selekta Neurologi.
Ed. II. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. P. 195-197
4. Herchline T. 2007. Tuberculosis. Didapat dari http://
www.emedicine.com/med/topic2324.htm Diakses tanggal 1 Juli 2012
5. Hidalgo A. 2006. Pott disease (tuberculous spondylitis). Didapat dari
http:// www.emedicine.com/med/topic1902.htm Diakses tanggal 2
Februari 2013.
6. Moesbar, N. 2006. Infeksi Tuberkulosa pada Tulang Belakang. Majalah
Kedokteran Nusantara 39(3) pp. 279-89.
7. Moore KL, et al. 2005. Anatomi Klinis Dasar. Vivi S & Virgi S, editor.
Jakarta: Penerbit Hipokrates. p: 191-216.
8. Munoz FM, Starke JR. 2004. Tuberculosis. Dalam: Berhman, RE,
Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson Textbook of Pediatric.
Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunders Company; h. 958-72.
9. Rahajoe NN, Basir D, Makmuri MS. 2005. Pedoman nasional TB anak.
Edisi ke 1. Jakarta: UKK Pulmunologi PP IDAI; h. 17-28.
10. Rasjad C, 2003. Spondilitis Tuberkulosa dalam Pengantar Ilmu Bedah
Ortopedi. Ed.II. Makassar: Bintang Lamumpatue. P. 144-149
11. Salim Samuel S, Hsu L. Tuberculous spondylitis. Didapat dari: URL:
http://www.gentili.net/frame. asp?ID= 823& URLID =313541. Diakses
tanggal 9 Maret 2005
12. Tachdijan, M.O, 2005. Tuberculosis of the spine. In : Pediatric
Orthopedics.2nd ed. Philadelphia: W.B Saunders pp: 1449-1454
13. Utji R, et al. 2004. Kuman tahan asam. Dalam: Syarurahman A, Chatim
A, Soebandrio AWK. penyunting. Buku ajar mikrobiologi Kedokteran.
Edisi revisi. Jakarta: Binarupa Aksara. h. 191-9.
14. Vitriana. 2002. Spondilitis Tuberkulosa. Bandung: FK Unpad.

26
15. Wim de Jong, 2002. Spondilitis TB, dalam Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. p. 1226-1229

27

Anda mungkin juga menyukai