Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

TATALAKSANA PASCA ANESTESI

Disusun Oleh :

Yuni Inri Yanti (112016056)

Pembimbing :

dr. Susana Sitaresmi K.W, M,sc Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK

SMF ILMU ANESTESI

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

RUMAH SAKIT MARDI WALUYO METRO LAMPUNG

PERIODE 11 SEPTEMBER 2017 30 SEPTEMBER 2017

1
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Masa pulih sadar dimulai sejak pasien selesai ditangani secara bedah, dibawa dalam keadaan
tidak sadar atau setengah sadar ke ruang pemulihan, sampai ketika kesadarannya pulih sempurna
dan pasien dapat dipindahkan ke ruang rawat. Ini merupakan sebagian dari masa pascabedah. Masa
pascabedahnya sendiri berakhir saat berakhirnya katabolisme pascabedah. Pasien diangkut dari
ruang bedah dalam keadaan berbaring tanpa bantal dan kepala dimiringkan untuk mencegah
terjadinya aspirasi cairan regurgitasi dari lambung. Aspirasi dari sekret dapat menyebabkan
atelektasis paru pascabedah atau pneumonia. Tabung Mayo dipasang agar jalan nafas tetap
terbuka. Pulih dari anestesia umum atau dari analgesia regional secara rutin dikelola di kamar pulih
atau unit perawatan pasca anestesi ( RR = Recovery room atau PACU = Post Anestesia Care Unit).
Idealnya bangun dari anestesi secara bertahap, tanpa keluhan. Kenyataannya sering dijumpai hal-
hal yang tidak menyenangkan akibat stres pascabedah atau pasca anestasia yang berupa gangguan
napas, gangguan kardiovaskuler, gelisah, kesakitan, mual-muntah, menggigil, dan kadang-kadang
perdarahan. Unit Perawatan Pasca Anestesia (UPPA) harus berada dalam satu lantai dan dekat
kamar bedah, supaya kalau timbul kegawatan dan perlu segera diadakan pembedahan ulang tidak
akan banyak mengalami hambatan. Selain itu karena segera setelah selesai pembedahan dan
anestesia dihentikan, pasien sebenarnya masih dalam keadaan anestesia dan perlu diawasi dengan
ketat seperti masih berada di kamar bedah. Pengawasan ketat di UPPA harus seperti sewaktu
berada di kamar bedah sampai pasien bebas dari bahaya, karena itu peralatan monitor yang baik
harus disediakan. Tensimeter, oksimeter denyut (pulse oxymeter), EKG, peralatan resusitasi
jantung-paru, dan obatnya harus disediakan tersendiri, terpisah dari kamar bedah. Personil dalam
UPPA sebaiknya sudah terlatih dalam penanganan pasien gawat, mahir menjaga jalan napas tetap
paten, tanggap terhadap perubahan dini tanda vital yang membahayakan pasien. Keberhasilan
tindakan pembedahan pengelolaan pasien bedah dini merupakan hal yang penting selain dari
pembedahan dan anestesi. Kegawatan napas, sirkulasi, otak dan fungsi renal pascabedah dini akan
berpengaruh pada hasil dari pembedahan tersebut. Pengumpulan pasien pascabedah dini dalam
satu ruangan akan meningkatkan efisiensi dari perawat terdidik, alat monitor dan alat resusitasi.
Hasil yang diharapkan dari adanya ruang pulih sadar adalah keselamatan pasien menjadi
maksimal, problem yang terjadi pascabedah dini dapat segera ditangani, ahli bedah dan ahli

2
anestesi masih dapat menangani secara tepat dan daerah ruang pulih sadar yang didekat kamar
bedah memudahkan bila diperlukan tindakan segera.2,3

TINJAUAN PUSTAKA

Ruangan dan Fasilitas

Besar ruangan dan fasilitas tergantung pada kemampuan kerja kamar bedah. Kondisi
ruangan yang membutuhkan suhu yang dapat diatur dan warna yang tidak mempengaruhi warna
kulit dan mukosa sangat membantu untuk membuat diagnosa dari adanya kegawatan nafas dan
sirkulasi. Ruang pulih sadar yang terletak di dekat kamar bedah akan mempercepat atau
memudahkan bila diperlukan tindakan bedah kembali. Alat untuk mengatasi gangguan nafas dan
jalan nafas harus tersedia misalnya jalan nafas oropharyng, jalan nafas orotrakheal, laryngoscope,
alat tracheostomi, dalam segala ukuran. Oksigen dapat diberikan dengan FIO2 25 % - 100 %.
Pemberian oksigen pasca bedah untuk mencapai 25 % - 100 % dibutuhkan kanula nasal, masker
oksigen dan masker dengan kantung udara yang dapat untuk pemberian nafas buatan. Pulse
oxymeter (SpO2), fiberoptic laryngoscope dan mesin nafas buatan bila memungkinkan harus di
sediakan, apabila tidak disediakan maka pasien yang membutuhkan dapat dilanjutkan perawatan
di ruang perawatan intensif. Untuk menanggulangi sirkulasi harus disiapkan cairan NaCl 0,9 %,
Dextrose 5 %, infus, set jarum infus. Untuk monitor sistem sirkulasi dibutuhkan tensimeter dengan
stetoskop, EKG, tekanan vena sentral dan tekanan arteri pulmonalis. Monitor suhu pasca bedah
sangat penting sehingga dapat diketahui secara dini adanya hipotermi ataupun hipotermi yang
segera harus diatasi. Untuk penyimpanan darah dan obat yang harus ada ditempat dingin
disediakan refrigator. Fasilitas untuk pemasangan pipa lambung, kateter dan vena seksi harus
disediakan pengelolaan pembuangan cairan gaster, urine dan cairan yang lain dirancang didaerah
ruang pulih sadar. Obat-obatan yang disediakan diruangan pulih sadar merupakan obat untuk
mengatasi keadaan gawat.3,4,5

3
Pengelolaan Pasien Di ruang Pulih Sadar

Setelah dilakukan pembedahan pasien dirawat diruang pulih sadar. Pasien yang dikelola
adalah pasien pasca anestesi umum ataupun anestesi regional. Di ruang pulih sadar dimonitor jalan
nafasnya apakah bebas atau tidak, ventilasinya cukup atau tidak dan sirkulasinya sudah baik atau
tidak. Pasien dengan gangguan jalan nafas dan ventilasi harus ditangani secara dini. Selain
obstruksi jalan nafas karena lidah yang jatuh kebelakang atau spasme laryng, pasca bedah dini
kemungkinan terjadi muntah yang dapat berakibat aspirasi. Anestesi yang masih dalam, dan sisa
pengaruh obat pelumpuh otot akan berakibat penurunan ventilasi . Gangguan sirkulasi terjadi pada
pasien yang terapi cairan yang diberikan selama pembedahan belum sadar dapat terjadi gangguan
jalan nafas. Pasien yang belum sadar diberikan oksigen dengan kanula nasal atau masker sampai
pasien sadar betul. Pasien yang sudah keluar dari pengaruh obat anestesi akan sadar kembali.
Hipoksia dan hiperkardia terjadi pada pasien dengan gangguan jalan nafas dan ventilasi. Menggigil
akan menambah beban jantung dan sangat berbahaya pada pasien dengan penyakit jantung. Kartu
observasi selama diruang pulih sadar harus ditulis dengan jelas sehingga dapat dibaca bila pasien
sudah kembali ke bangsal. Bila keadaan umum dan tanda vital pasien normal dan stabil, maka
pasien dapat dipindahkan ke ruangan dengan pemberian instruksi pasca operasi. Kriteria yang
digunakan dan umunya yang dinilai adalah warna kulit, kesadaran, sirkulasi, pernafasan, dan
aktivitas motorik, seperti skor Aldrete (lihat tabel). Idealnya pasien baru boleh dikeluarkan bila
jumlah skor total adalah 10. Namun bila skor total telah di atas 8, pasien boleh keluar ruang
pemulihan.3,5

4
5
Pada saat melakukan observasi di ruang pulih, agar lebih sistematis dan lebih mudah dilakukan
monitoring B6 yaitu :

Breath (Nafas) : Sistem Respirasi

Pasien belum sadar dilakukan evaluasi :

Pola nafas

Tanda-tanda obstruksi
Pernafasan cuping hidung
Frekuensi nafas
Pergerakan rongga dada : simetris/tidak
Suara nafas tambahan : tidak ada pada obstruksi total
Udara nafas yang keluar dari hidung
Auskultasi : wheezing, ronki

Pasien sadar : tanyakan adakah keluhan pernafasan

Jika tidak ada keluhan : cukup berikan O2


Jika terdapat tanda-tanda obstruksi : terapi sesuai kondisi (aminofilin, kortikosteroid, tindakan
tri ple manuver airway)

Blood (Darah) : Sistem Kardiovaskuler

Tekanan darah
Nadi
Perfusi perifer
Status hidrasi (hipotermi -/+ syok)
Kadar Hb

Brain (Otak) : Sistem SSP

Menilai kesadaran pasien dengan GCS (Glasgow Coma Scale)


Perhatikan gejala kenaikan TIK 4.

6
Bladder (Kandung Kencing) : Sistem Urogenital

Periksa kualitas, kuantitas, warna, kepekatan urine


Untuk menilai : apakah pasien masih dehidrasi, apakah ada kerusakan ginjal saat operasi, acute
renal failure

Bowel (Usus) : Sistem Gastrointestinal

Periksa :

Dilatasi lambung
Tanda-tanda cairan bebas
Distensi abdomen
Perdarahan lambung post operasi
Obstruksi atau hipoperistaltik, gangguan organ lain, misal : hepar, lien, pancreas
Dilatasi usus halus

Hati-hati pasien operasi mayor sering mengalami kembung yang mengganggu pernafasan, karena
dia bernafas dengan diafragma.

Bone (Tulang) : Sistem Musculoskeletal

Periksa :

Tanda-tanda sianosis
Warna kuku
Perdarahan post operasi

Komplikasi Pasca Anestesi dan Penanganannya

A. Komplikasi Respirasi

7
1. Obstruksi Jalan Nafas

Prinsip dalam mengatasi sumbatan mekanik dalam sistem anestesi adalah dengan
menghilangkan penyebabnya. Diagnosis banding antara sumbatan mekanik dan bronkospasme
harus dibuat sedini mungkin. Sumbatan mekanik lebih sering terjadi, dan mungkin dapat menjadi
total, dimana wheezing akibat bronkospasme biasanya dapat terdengar tanpa atau dengan
stetoskop. Penyebab sumbatan bisa nyata sebagai contoh, keadaan ini dapat diatasi dengan
meluruskan pipa yang terpuntir dibalik rongga mulut. Jika pipa ditempatkan terlalu jauh ke dalam
trakea, maka pipa tersebut biasanya memasuki bronkus utama jika kadar tinggi oksigen yang
dipakai, sampai terjadi tanda-tanda hipoksia, hiperkardi atau sumbatan pernafasan menjadi nyata.
Komplikasi dapat dihindarkan jika ahli anestesi memeriksa kedudukan pipa setelah dipasang
dengan mendengarkan melalui stetoskop di atas setiap sisi dada sementara secara manual paru-
paru dikembangkan, jika suara pernafasan tidak terdengar atau pengembangan pada satu sisi dada
telah didiagnosis, maka harus secara lambat laun ditarik sampai udara terdengar memasuki kedua
sisi toraks secara seimbang. Penggunaan pipa yang telah dipotong sampai sepanjang bronkus
kanan dapat mengurangi bahaya. Ahli anestesi tidak boleh melupakan bahwa, jika dihadapkan
pada sumbatan mekanik yang tidak dapat dijelaskan, segera setelah intubasi, maka anjuran terbaik
adalah: bila meragukan, pipa ditarik keluar. Sumbatan mekanik pada penderita yang tidak
diintubasi, apakah dapat bernafas dengan spontan atau dikembangkan, paling sering disebabkan
oleh lidah yang jatuh ke belakang. Biasanya keadaan ini dapat ditolong dengan mengekstensikan
kepala, mendorong dagu ke muka dan memasang pipa udara anestetik peroral atau nasal. Sumbatan
mekanik pada penderita yang di intubasi mungkin bersifat samar-samar. Paling penting disadari
bahwa adanya pipa trakea tidak menjamin saluran pernafasan yang lancar. Pipa dapat menjadi
terpuntir, bagian yang melengkung dapat tertumbuk pada dinding trakea, atau dapat terlalu
menjorok jauh dan memasuki bronkus utama kanan atau manset dapat menyebul keluar menutupi
bagian ujung.3

2. Bronkospasme

Bronkospame dapat diatasi secara terapi medik, tetapi yang paling penting adalah memastikan
bahwa tidak terjadi sumbatan mekanik, baik secara anatomis, akibat lidah yang terjatuh ke
belakang pada penderita yang tidak diintubasi, atau akibat defek peralatan seperti yang telah
dijelaskan di atas. Efedrin intravena setiap kali dapat ditambah 5 mg, atau 30 mg intramuskular

8
sehingga dapat menolong, tetapi dapat menyebabkan takikardi dan meningatkan tekanan darah.
Secara bergantian, suntikan lambat 5 mg/kg aminofilin intravena.5

3. Hipoventilasi

Pada hipoventilasi, rangsang hipoxia dan hipercarbia mempertahankan penderita tetap bernafas.
Pada hipoventilasi berat, pC02 naik > 90 mmHg sehingga menimbulkan coma dengan pemberian
O2, hipoksia berkurang (p02 naik) tetapi pCO2 tetap atau naik. Pada hipoventilasi ringan
pemberian O2 bermanfaat. Sedangkan pada hipoventilasi berat jusrtu mengakibatkan paradoxical
apnea penderita jadi apnea setelah diberi oksigen.

Terapi yang benar pada hipoventilasi adalah:4

a) Membebaskan jalan nafas

b) Memberikan oksigen

c) Menyiapkan nafas buatan

d) Terapi causal penyebabnya

4. Hiperventilasi

Hiperventilasi dengan hipokapnia akan merangsang kalium ekstraselular mengalir ke


intraselular hingga terjadi hipokalemia. Aritmia berupa bradikardia relatif dapat terjadi pada
hipokalemia.4

B. Komplikasi Kardiovaskular

1. Hipotensi :

Hipotensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistole kurang dari 90 mmHg atau lebih dari 25%
dari sebelumnya.

Etiologi hipotensi selama anestesi

a. Hipovolemia : hipovolemia pra anestesi, perdarahan bedah.

9
b. Obat induksi : overdosis relatif pada bayi atau orang tua atau penderita dengan keadaan umum
yang kurang baik.

c. Anestetik : halotan, enfluran, isofluran

d. Obat pelumpuh otot : d-tubukurin dll.

e. Penyakit kardiovaskular : infark miokard, aritmia, hipertensi.

f. Penyakit pernafasan : pneumotorak

g. Reaksi hipersensitivitas : obat induksi, obat pelumpuh otot, reaksi transfusi.

Hipovolemia dapat ditemukan pada pasien yang kekurangan cairan seperti pada ileus obstruksi,
perdarahan banyak faktor multipel tulang besar dan lain-lain. Pemberian anestesi dapat
menghiasilkan vasodilatasi pembuluh darah dan menghilangkan reaksi kompensasi vasokonstriksi
tubuh yang berakibat hipotensi. Jumlah perdarahan selama pembedahan harus dihitung baik
volume darah dari di botol penghisap dan atau dengan menimbang kasa operasi. Selama
perdarahan masih kurang dari 15 % gejala syok hipovolemik belum tampak. Transfusi darah atau
komponennya dipertimbangkan jika perdarahan melebihi 20% volume darah penderita dewasa.5

Semua obat induksi intravena, dapat mendepresi miokard dan curah jantung tergantung dosis
yang diberikan. Terjadi terutama pada pasien usia lanjut, bila ada penyakit miokard ataupun
hipertensi yang tidak diobati sebelumnya.

Anestesi halotan, enfluran dan isofluran mempunyai efek inotropik negatif dan menurunkan
resistensi pembuluh darah yang proporsional dengan konsentrasi yang diberikan. Hipotensi dan
bradikardia yang terjadi dapat diperbaiki dengan menurunkan konsentrasi pemberian atropin atau
cairan infus untuk meningkatkan curah jantung. Analgesia spinal atau peridural menyebabkan
hipotensi karena blokade susunan saraf simpatiskus. Penyulit ini dapat di atasi dengan
mempercepat infus, pemberian obat antikolinergik (seperti atropin) atau vasopresor (seperti
efedrin).

Manipulasi (tarikan, tekanan) pada operasi yang berlebihan seperti pemasangan refraktor yang
terlalu besar atau tampon intraabdomen pada waktu laparatomi dapat menghambat aliran darah
vena kava inferior curah jantung menurun dan hipotensi. Penyulit mekanis ini di atasi dengan
menghilang semua penyebabnya.

10
2. Hipertensi :

Umumnya tekanan darah dapat meningkatkan pada periode induksi dan pemulihan anestesi.
Komplikasi ini dapat membahayakan khusus pada pasien dengan panyakit jantung karena jantung
harus bekarja lebih berat, dengan kebutuhan O2 miokard yang meningkat. Kalau tidak dapat
dicukupi dapat timbul iskemia atau infark miokard.3,5

Fisiologi hipertensi selama anestesi :

a. Anestesi ringan : analgesi dan hipnosis tidak adekuat, batuk, tahan nafas dll.

b. Penyakit hipertensi : tidak diterima, terapi tidak adekuat atau tidak terdiagnosis.

c. Hiperkapnia : ventilasi tidak adekuat, pengikat CO2 tidak bekerja dll.

d. Obat : adrenalin, ergometrin, ketamin dll

Hipertensi karena anestesi tidak adekuat dapat dihilangkan dengan menambah dosis anestetika.
Bila persisten dapat diberi obat penghambat beta adrenergik seperti propanolol atau obat
vasodilator seperti nitrogliserin yang juga bermanfaat untuk memperbaiki perfusi miokard. Reaksi
hipertensi pada waktu laringoskopi dapat dicegah antara lain dengan terlabih dahulu memberi
semprotan lidokain topikal kedalam faring dan laring, obat seperti opiat dan lain-lain.3

Hipertensi karena kesakitan yang terjadi pada akhir anestesi dapat diobati dengaan analgetika
narkotik seperti pethidin 10 mg I.V atau morfin 2-3 mg I.V dengan memperhatikan pernafasan
(depresi).

3. Aritmia jantung :

Pada anestesia, aritmia terjadi kira-kira 15-30 %. Tidak semua aritmia harus dapat pengobatan.
Terapi harus dilaksanakan jika aritmia tersebut diikuti atau menjadi :

a. Perubahan curah jantung dan perfusi jaringan yang nyata, misalnya hipotensi.

b. Bradikardia hebat atau fibrilasi ventrikel predisposisi henti jantung.

c. Gejala iskemia miokard yang nyata.

11
Terapi tergantung pada berat dan macam aritmia. Jenis pengobatan bervariasi antara lidokain,
propanolol, sedilanid, quinidin, DC syok dan resusitasi jantung paru (RJP) tergantung gejala dan
penyebabnya.

Etiologi aritmia selama anestesia :

a. Tindakan bedah : Bedah mata, hidung, gigi, traksimesenterium, dilatasi anus.

b. Pengaruh metabolisme : hipertiroid, hiperkapnia, hipokelmia, hiperkalemia.

c. Penyakit tertentu : penyakit jantung bawaan, penyakit jantung koroner.

d. Pengaruh obat tertentu : atropine, Halotan, adrenalin dll.

Hipoksia atau hiperkapnia merangsang pengeluaran katekolalamin endogen yang dapat


menyebabkan aritmia ventrikel terutama pada pasien dengan anestesia halotan, interaksi halotan
juga terjadi dengan katekolamin (adrenalin) eksogen yang sering disuntikan oleh dokter bedah
untuk mengurangi perdarahan lapangan operasi. Sebaliknya selama anestesi halotan suntikan
infiltrasi adrenalin hanya diberikan maksimum 100 ug (10 ml larutan 1:100.000) dalam 10 menit.
Terhadap anestetika enfluran atau isofluran permaslahan ini tidak terlihat.

Anestesia ringan yang disertai manipulasi operasi dapat merangsang saraf simpatikus dapat
menyebabkan aritmia. Bradikardia yang terjadi dapat diobati dengan atropin.3

C. Komplikasi Pada Mata

Selama anestesia umumnya mata penderita tidak tertutup rapat terutama jika mempergunakan
obat pelumpuh otot. Karena itu mata harus dilindungi dari trauma langsung, kekeringan kornea
atau iritasi dari obat obatan atau alat yang dipergunakan selama anestesia.

Laserasi kornea akan menyebabkan penderita mengeluh nyeri pada mata pasca bedah, lakrimasi
bertambah dan blefarospasme. Untuk mencegah komplikasi ini selama operasi mata ditutup
dengan plester atau dibasahi dengan air garam fisiologis atau diberi salap mata.

Penekanan bola mata yang terlalu kuat misalnya karena pemasangan sungkup muka yang
terlampau besar akan menekan aliran darah mata. Hal ini dapat menyebabkan kebutaan, yang
kadang-kadang terjadi pada tindakan anestesia dangan hipotensi kendali. Penekanan bola mata

12
dapat pula menimbulkan refleks okulokardiak pada anestesia yang ringan berupa perangsangan
vagal bradikardi, syok dan henti jantung.2

D. Komplikasi Neurologi

1. Konvulsi Beberapa jenis kontraksi abnormal otot dapat terjadi selama anestesia, seperti:

a. Konvulsi pada anestesia dengan eter yang dalam

b. Klonus pada anestesia ringan, terutama pada anak-anak

c. Konvulsi karena hipoksia

d. Konvulsi karena obat analgetika lokal misalnya lidokain

e. Beberapa obat anestetika tertentu kadang-kadang memberikan gejala epilepsi, misalnya enfluran
dan altesin.

Terapi:

a. Hentikan pemberian eter atau enfluran dan O2 ditinggikan

b. Berikan obat antikonvulsi seperti valium dan tiopental

c. Jika suhu tubuh naik, kompres dengan es atau alkohol.

2. Terlambat sadar

Penyulit ini dapat disebabkan oleh:

a. Kelebihan dosis premedikasi atau obat-obat lain selama anestesia misalnya fenotiazin,
narkotika, anestetika.

b. Gangguan fisiologi selama anestesia, misalnya hipoksia.

c. Gangguan akibat pembedahan, misalnya syok dan emboli lemak.

d. Akibat manifestasi penyakit tertentu misalnya hipoglikemia

e. Obat tertentu yang berinteraksi dengan obat yang dipergunakan selama anestesia, misalnya
monoamin oksidase inhibitor.

13
E. Komplikasi Lain-lain

1. Mengigil :

Pada akhir anestesi dengan tiopental, halotan atau enfluran kadang-kadang timbul mengigil
seluruh tubuh disertai bahu dan tangan bergetar. Hal ini mungkin terjadi karena reaksi tubuh
terhadap suhu kamar operasi yang rendah. Faktor lain yang menjadi pertimbangan ialah
kemungkinan waktu anestesi aliran gas diberikan terlalu tinggi hingga pengeluaran panas tubuh
melalui ventilasi meningkat.2

Terapi :

a. Pasang selimut tebal.

b. Petidin 15-25 mg I.V.

c. Klorpromazin 5-10 mg I.V

2. Gelisah setelah anestesi :

Gelisah pasca anestesi dapat disebabkan karena hipoksia, asidosis, hipotensi, kesakitan.
Penyulit ini sering terjadi pada pemberian premedikasi dengan sedatif tanpa anelgetika, hingga
pada akhir operasi penderita masih belum sadar tetapi nyeri sudah mulai terasa. Komplikasi ini
sering didapatkan pada anak dan penderita usia lanjut. Setelah disingkirkan sebab-sebab tersebut
di atas, pasien dapat diberikan midazolam 0,05-0,1mg/kgBB atau terapi dengan analgetika /
narkotika (petidin 15-25 mg I.V ).2

3. Mimpi buruk:

Obat-obat seperti memberi komplikasi mimpi yang tidak enak. Dapat dicegah dengan
premedikasi diazepam, dehidrobenzo peridol.5

4. Kenaikan suhu tubuh :

Kenaikan suhu tubuh harus kita bedakan apakah demam (fever) atau hipertermia
(hiperpireksia). Demam adalah kenaikan suhu tubuh diatas 38 derajat Celcius dan masih dapat
diturunkan dengan pemberian salisilat. Sedangkan hipertermia ialah kenaikan suhu tubuh diatas
40 derajat Celcius dan tidak dapat diturunkan dengan hanya memberikan salisilat.4

14
Beberapa hal yang dapat mencetuskan kenaikan suhu tubuh ialah:

a. Puasa terlalu lama

b. Suhu kamar operasi terlalu panas (suhu ideal 23-24 derajat Celcius)

c. Penutup kain operasi yang terlalu tebal

d. Dosis premedikasi sulfas atropin terlalu besar

e. Infeksi

f. Kelainan herediter Kelainan ini biasanya menjurus pada komplikasi hipertermia maligna

Hipertermia Maligna

Merupakan krisis hipermetabolik dimana suhu tubuh naik lebih dari 2 derajat Celcius dalam
waktu satu jam. Walaupun angka kajadian komplikasi ini jarang, yaitu 1:50.000 pada penderita
dewasa dan 1:25.000 pada anak-anak, tetapi jika terjadi angka kematiannya cukup tinggi yaitu
60%.

Etiologi komplikasi ini masih diperdebatkan, tetapi telah banyak dikemukakan bahwa kelainan
herediter ini karena adanya cacat pada ikatan kalsium dalam retikulum sarkoplasma otot atau
jantung. Adanya pacuan tertentu akan meyebabkan keluarnya kalsium tersebut dan masuk kedalam
sitoplasma hingga menghasilkan kontraksi miofibril hebat, penumpukan asam laktat dan
karbondioksida, meningkatkan kebutuhan oksigen, asidosis metabolik, dan pembentukan panas.

Kebanyakan obat anestetika akan menjadi triger pada penderita yang berbakat hipertermia
maligna herediter ini. Halotan dan suksinilkolin adalah obat-obat yang sering dilaporkan sebagai
pencetus penyulit ini. Akan tetapi tidak berarti obat-obat lain aman terhadap komplikasi ini.4

Gejala klinis selain kenaikan suhu mendadak, tonus otot bertambah, takikardi, tetani,
mioglobinuria, gagal ginjal dan gagal jantung.

Penanggulangan komplikasi dilakukan dengan langkah-langkah:

1. Hentikan pemberian anestetika dan berikan O2 100%

2. Seluruh tubuh dikompres es atau alkohol, kalau perlu lambung dibilas dengan larutan NaCl
fisiologis dingin

15
3. Pemeriksaan gas darah segera dilakukan

4. Koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat

5. Koreksi hiperkalemia dengan glukosa dan insulin

6. Oradekson dosis tinggi diberikan i.v.

7. Dantrolene i.v. 1-2 mg/ kgBB dapat diulang tiap 5-10 menit dan maksimum 10 mg/kgBB. Obat
ini merupakan satu-satunya obat spesifik untuk hipertermia maligna.

5. Hipersensitif

Reaksi hipersensitif adalah reaksi abnormal terhadap obat karena terbentuknya mediator kimia
endogen seperti histamin dan serotonin dan lainnya. Reaksi dapat saja terjadi pada tiap pemberian
obat termasuk obat yang digunakan dalam anestesia. Komplikasi sering terjadi pada pemberian
induksi intravena dan obat pelumpuh otot.

Gejala klinis hipersensitif :

a. Kulit kemerahan dan timbul urtikaria

b. Muka menjadi sembab

c. Vasodilatasi, tetapi nadi kecil dan sering tak teraba, sampai henti jantung.

d. Bronkospasme

e. Sakit perut, mual dan muntah kadang diare

Pengobatan:

1. Hentikan pemberian obat anestetika

2. Dilakukan napas buatan dan kompresi jantung luar kalau terjadi henti jantung

3. Adrenalin 0,3-0,5 cc (1:1000) i.v. atau intratrakea

4. Steroid, aminofilin atau vasopresor dipertimbangkan pada keadaan tertentu

5. Percepat cairan infus kristaloid

6. Operasi dihentikan dulu sampai gejala- gejala hilang.

16
PENUTUPAN

Kesimpulan

Ruang pulih sadar adalah sarana yang penting untuk keberhasilan dari suatu proses
pembedahan dan anestasi. Ruang pulih sadar diperlukan untuk menangani masalah jalan napas,
ventilasi dan sirkulasi pasca bedah dini. Observasi yang dilakukan di ruang pulih sadar harus
dilakukan dengan jelas sehingga penelaahan kembali dapat dilakukan dengan mudah. Penyulit
(komplikasi) yang terjadi pada periode preoperatif dapat dicetuskan oleh tindakan anestesia sendiri
atau kondisi pasien. Penyulit segera dapat timbul pada waktu pembedahan atau kemudian segera
ataupun setelah operasi. Penyulit anestesia dapat berakhir dengan kematian atau cacat menetap
jika tidak dideteksi dan ditolong segera dengan tepat. Gejala-gejala komplikasi kadang-kadang
datangnya tidak diduga kendatipun tindakan anestesia sudah dilaksanakan dengan baik.
Keberhasilan dalam mengatasi komplikasi anestesia tergantung dari deteksi gejala dini dan
kecepatan dilakukan tindakan koreksi untuk mencegah keadaan yang lebih buruk.

DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Tatalaksana pasca anestesia dalam petunjuk praktis
anestesiologi. Edisi kedua. Penerbit : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. Jakarta;
2002.h.253-256.
2. Manjoer A, Sprahaita, Wardani IK, dkk, Anestesia umum dalam kapita selekta kedokteran,
Edisi III. Penerbit : Media Aesculapius FKUI. Jakarta; 2002.h.253-256.
3. Boulton TB, Biogg CE, Hewers CL, Alih Bahasa Jonatan Oswari ; editor, Widayanti D
Wulandari. Komplikasi dan bahaya anestesi dalam anestesiologi. Penerbit : Buku Kedokteran
EGC. Jakarta; 1994.h.213-237.
4. Thalib MR. Komplikasi anestesia dalam anestesiologi. Penerbit : FKUI. Jakarta; 1989.h.146-
156.
5. Umar N. Sistem Pernafasan dan Suctioning Pada Jalan Nafas. Penerbit : Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatra Utara; 2004.

17

Anda mungkin juga menyukai