Anda di halaman 1dari 41

TUGAS STASE BEDAH SARAF

KOMPLIKASI DI PACU

Oleh :
dr. Muhammad Rizqhan
dr. Tomy Suharsoyo

Pembimbing :
dr. Himawan Sasongko, Sp.An, KNA

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif


Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Semarang , Desember 2021

1
DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN .....................................................................................................................3
II. POST ANESTHESIA CARE UNIT .............................................................................................4
III. PEMANTAUAN PASCA ANESTHESIA ....................................................................................7
IV. KOMPLIKASI PASCA OPERASI PADA PASIEN BEDAH SARAF ................................................10
V. KOMPLIKASI LAIN YANG TERJADI PADA PASCA OPERASI INTRAKRANIAL ............................21
VI. KONDISI KHUSUS NEUROLOGIS ..........................................................................................23
VII.PENUTUP ............................................................................................................................38
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................................................39

2
BAB 25

KOMPLIKASI DI PACU

I. PENDAHULUAN
Pembedahan merupakan salah satu modalitas terapi yang sering dilakukan dengan
perkiraan 234 juta operasi dilakukan setiap tahunnya. Penelitian di negara-negara maju
menunjukkan bahwa tingkat mortalitas perioperatif adalah sebesar 0,4-0,8% dengan
prevalensi kejadian komplikasi mayor adalah sebesar 3-17%. Sebesar 40% komplikasi
yang terjadi di rumah sakit dikaitkan dengan pembedahan dan 15% pasien bedah akan
mengalami setidaknya satu komplikasi.1 Komplikasi perdarahan, jantung, pernapasan,
dan infeksi merupakan beberapa komplikasi yang sering terjadi. Biaya perawatan untuk
pasien bedah yang mengalami komplikasi menjadi jauh lebih tinggi daripada pasien tanpa
komplikasi. Sebagai contoh, pasien yang menderita pneumonia setelah operasi
mengalami kenaikan biaya rumah sakit sebesar 55% dan peningkatan lama rawat inap
sebesar 89%.2
Waktu segera setelah operasi atau prosedur adalah periode kritis untuk pemulihan
pasien. Pengamatan intensif pasien di unit postaneshthesia care unit (PACU) oleh dokter
dan perawat sangat penting dilakukan untuk mendeteksi dini komplikasi dan efek
samping. Komplikasi dan efek samping tersebut meliputi perburukan klinis, nyeri yang
tidak terkontrol, masuk ke unit perawatan intensif (ICU) yang tidak direncanakan, cacat
atau kematian. Komplikasi terkait teknik operasi, infeksi luka, dan perdarahan pasca
operasi ditemukan pada hampir setengah dari semua efek samping bedah. Pengenalan
dini perburukan dan dimulainya terapi di PACU dapat mencegah komplikasi ini atau
mengurangi keparahannya.3 Pengenalan dini adanya komplikasi di PACU menjadi
penting karena periode PACU terus menjadi sumber morbiditas pasien. Survei
sebelumnya yang dilakukan 2 dekade lalu menghitung insiden komplikasi PACU di
antara 18.473 pasien di lingkungan rumah sakit pendidikan menemukan bahwa tingkat
komplikasi PACU sebesar 23,7%. Mual dan muntah (9,8%), kebutuhan akan dukungan
saluran napas bagian atas (6,9%), dan hipotensi yang memerlukan pengobatan (2,7%)
adalah komplikasi PACU yang paling sering ditemui.4

3
Penelitian lainnya yang dilakukan pada tahun 2013 juga masih menunjukkan hal
serupa. Insidensi komplikasi mayor di PACU seperti henti jantung, stroke, infark
miokard, aspirasi pulmonal adalah sebesar 2,1% dan komplikasi minor di PACU seperti
hipertensi, hipoksemia, bronkospasme, mual muntah, hipo atau hiperglikemia,
hipernatremia, dan bradikardia adalah sebesar 35,2%.5 Masih tingginya angka kejadian
komplikasi di PACU mengakibatkan deteksi dini dan tatalaksana komplikasi PACU perlu
diketahui oleh semua klinisi, terutama anestesiologis. Artikel ini akan membahas
mengenai PACU, pemantauan pasca anestesi, dan berbagai komplikasi PACU yang perlu
diwaspadai beserta manajemennya.

II. POST ANESTHESIA CARE UNIT


Post Anesthesia Care Unit (PACU) merupakan ruang tempat pengawasan dan
pengelolaan secara ketat pada pasien yang sebelumnya menjalani operasi dengan
prosedur anesthesia sampai dengan keadaan umum pasien kembali stabil. Istilah lain
yang dapat digunakan adalah ruang pemulihan (recovery room). Tujuan pasien
ditempatkan dalam PACU adalah untuk memantau kondisi periode pulih sadar setelah
pasien meinggalkan ruang operasi yang diawasi oleh ahli operasi sehingga pasien dapat
terhindar dari hal yang tidak diharapkan/ komplikasi misalnya gangguan napas, gangguan
kardiovaskuler, gangguan gastrointestinal dan gangguan lainnya. Apabila pemantauan
tidak memadai dapat menyebabkan insiden PACU dengan morbiditas serius hingga
kematian.6
PACU idealnya terletak dekat dengan kamar operasi untuk memudahkan
mobilisasi pasien, kemudian berdekatan dengan fasilitas lainnya seperti ruang radiologi,
laboratorium, tempat penyimpanan darah dan fasilitas kegawatdaruratan lainnya.
Peralatan yang terdapat didalamnya juga lengkap meliputi peralatan monitoring seperti
pulse oxymetri, EKG, tensimeter otomatis pada setiap pasien, yang akan digunakan pada
fase awal pemulihan. Peralatan lainnya seperti monitor tekanan arteri, vena, dan monitor
tekanan intracranial juga disediakan utamanya untuk memantau pasien dengan kondisi
sakit kritis. Alat-alat kedokteran pokok dan kegawatdaruratan juga harus tersedia pada
PACU.7

4
Dokter anestesi merupakan pimpinan yang mengatur PACU bersama dengan
koordinasi ahli lainnya seperti dokter bedah, perawat dan ahli gizi. Perawatan bersama
dilakukan menurut bidang masing-masing sehingga pasien dapat dikelola dengan baik
dan dapat pulih dengan optimal. Dokter anestesi akan mengelola tentang saluran napas,
kondisi kardiovaskuler, paru dan metabolik. Dokter bedah akan mengelola permasalahan
yang berhubungan langsung dengan prosedur bedah yang dijalankan.6,7
The American Society of Anesthesiologyst (ASA) menetapkan standar untuk
PACU yang dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan pasien tetapi tidak
menjamin secara khusus outcome pasien.7
 Standard I
Semua pasien dengan general anestesi, regional anestesi atau Monitoring
Anestesi Care (MAC) harus mendapatkan penatalaksanaan post anestesi yang
tepat.
 Standard II
Pasien yang dipindahkan ke PACU harus diawasi oleh tim anestesi yang
mengetahui kondisi pasien. Pasien harus dievaluasi secara berkesinambungan
selama pemindahan dengan monitoring dan dukungan yang tepat terhadap kondisi
pasien.
 Standard III
Pada saat tiba di PACU pasien harus di evaluasi ulang dan memberikan
laporan kepada perawat yang bertanggungjawab di PACU.
 Standard IV
Kondisi pasien harus di evaluasi berkesinambungan di PACU
 Standard V
Dokter bertanggung jawab mengeluarkan pasien dari PACU.

Semua pasien akan dievaluasi oleh dokter anestesi untuk melihat apakah pasien
dapat keluar dari PACU berdasarkan kriteria yang sudah ditetapkan oleh anestesiolog dan
staf medis rumah sakit tersebut. Kriteria dapat bervariasitergantung kondisi pasien apakah
akan dipindahkan ke ICU, bangsal biasa,departemen rawat jalan (fase 2 pemulihan), atau
langsung pulang. Sebelum dipulangkan, pasien seharusnya diamati ada tidaknya depresi

5
pernapasan paling tidak selama 20-30 menit setelah dosis terakhir pemberian narkotika
parenteral. Kriteria pemulangan minimal untuk pasien pulih dari anestesi umum biasanya
meliputi:7,8
1) Mudah dibangunkan (easy arousability)
2) Orientasi terkendali penuh (full orientation)
3) Kemampuan untuk mempertahankan dan melindungi jalan napas
4) Tanda-tanda vital stabil selama setidaknya 15-30 menit
5) Kemampuan untuk meminta bantuan jika diperlukan
6) Tidak ada komplikasi bedah yang jelas (seperti perdarahan aktif).

Pengontrolan rasa nyeri pasca operasi, mengendalikan keinginan mual dan


muntah, dan menstabilkan suhu sebelum pemulangan sangat diperlukan. Sistem skor
penilaian pemulihan pasca anestesia Aldrette digunakan. Dalam skor ini diantaranya
menilai kadar SpO2 atau warna kulit, kesadaran, sirkulasi, respirasi, dan aktivitasmotorik.
Pasien dapat dipindahkan ke ruang perawatan apabila skor Aldrette >8.7,8

Kriteria Asli Kriteria Modifikasi Skor


Warna Kulit Oksigenasi
Merah SpO2 >92% pada udara 2
kamar
Coklat SpO2 >90% dengan oksigen 1
Sianotik SpO2 >90% dengan oksigen 0
Pernafasan
Bisa bernafas dalam dan Bernafas dalam dan batuk 2
batuk bebas
Dangkal tapi pertukaran Sesak, dangkal, terbatas 1
adekuat
Apnea atau obstruksi Apnea 0
Sirkulasi
Tensi 20% dibawah normal Tensi ± 20 mmHg dari 2
normal
Tensi 20-50% dibawah Tensi ± 20 – 50 mmHg dari

6
normal normal 1
Deviasi tensi > 50% dari Tensi > 50 mmHg dari
normal normal 0
Kesadaran
Sadar, waspada, berorientasi Sadar penuh 2
Dapat dibangunkan tapi
tertidur lagi Dapat dibangunkan 1
Tidak respon
Tidak respon 0
Aktivitas
Semua ekstremitas bergerak Semua ekstremitas bergerak 2
Dua ekstremitas bergerak Dua ekstremitas bergerak 1
Tidak ada gerak Tidak ada gerak 0

Sebagian besar pasien dapat memenuhi kriteria pemulangan dalam waktu 60menit
di PACU. Selain kriteria di atas, pasien yang menerima anestesi regional harus
menunjukkan tanda-tanda resolusi blokade baik dalam hal sensorik dan motorik. Resolusi
lengkap dari blok saraf diharapkan untuk menghindari kelemahan motor atau defisit
sensorik akibat cidera yang tidak diinginkan. Kegagalan resolusi blok spinalatau epidural
setelah 6 jam meningkatkan kemungkinan hematoma korda spinalis atauepidural, yang
harus disingkirkan dengan pencitraan radiologi.

III. PEMANTAUAN PASCA ANESTHESIA


Pasien yang menjalani operasi dengan anesthesia akan mengalami periode tidak
sadar sehingga setelah prosedur operasi selesai pasien akan dikembalikan dalam periode
sadar. Pasca anestesia merupakan periode kritis setelah pasien menjalani pembedahan dan
anesthesia hingga pasien masuk dalam periode pulih sadar. Periode pulih sadar dimulai
setelah pasien keluar dari meja operasi hingga pasien dapat pulih sadar sepenuhnya,
dimana akan dipantau langsung oleh dokter anestesi. Dalam pemantauannya, pasien dapat
dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan risiko pasca anesthesia yang dapat dijumpai
yakni:7

7
1) Kelompok I
Merupakan pasien-pasien dengan risiko tinggi terjadi gagal napas dan
gangguan hemodinamik lainnya. Pasien ini memerlukan kendali napas dan
langsung dirawat di Intensive Care Unit (ICU) tanpa menunggu pemulihan di
PACU
2) Kelompok II
Merupakan sebagian besar pasien pasca anestesia dengan pemantauan di
PACU untuk menjamin pasien dapat kembali secepatnya pada kondisi
respirasi yang adekuat dan kardiovaskuler yang stabil
3) Kelompok III
Merupakan pasien-pasien yang menjalani operasi kecil, singkat dan rawat
jalan yang memerlukan pemantauan untuk bebas dari rasa kantuk, nyeri,
kelemahan otot, dan ataksia sehingga pasien dapat pulih dan segera kembali
pulang.
Pemulihan pasca anestesi pada pasien dapat bervariasi bergantung pada kondisi
pasien, jenis anestesi yang digunakan dan prosedur operasi yang dijalankan. Umumnya
pasien pasca operasi akan dipindahkan/ transfer dari kamar operasi menuju ruang PACU.
Pasien belum keluar ruang operasi hingga memilikinapas yang stabil, ventilasi dan
oksigenasi yang adekuat, dan hemodinamik stabil. Oksigentambahan harus diberikan
selama transportasi untuk pasien yang beresiko untuk hipoksemia.Oksigen tambahan juga
dianjurkan pada semua pasien jika PACU tidak dekat dengan ruang operasi.Pasien yang
tidak stabil harus dibiarkan terintubasi dan pindahkan dengan sebuah monitor portable
(ECG, SpO2, dan tekanan darah) dan pasokan obat-obatan darurat.7
Setelah pasien sampai pada PACU, segera periksa patensi jalan napas, tanda-tanda
vital (TTV) dan saturasi oksigen. Pemantauan TTV dilakukan tiap 5 menit selama 15
menit atau hingga pasien kembali stabil, kemudian dilakukan tiap 15 menit. Fungsi otot
dan saraf dinilai secara klinis dengan pemantauan tambahan berkala pada rasa nyeri,
mual muntah, adanya perdarahan, drainase dan input output cairan. Semua pasien pulih
dari anestesi umum harus menerima oksigen 30-40% karena hipoksemia transient dapat
berkembang bahkan pada pasien yang sehat. Pasienpada peningkatan risiko hipoksemia,
seperti pasien dengan disfungsi paru atau mereka yang menjalani prosedur pembedahan

8
abdomen bagian atas atau daerah toraks, harus terusdipantau dengan pulse oxymetry
bahkan setelah bahkan setelah emergence dan mungkin perlu suplemenoksigen untuk
waktu yang lebih lama.Pasien yang mengalami sedasi berat atau hemodinamik tidak
stabil setelah anestesi regional juga harus menerima oksigen tambahan di PACU.7
Kontrol rasa nyeri juga dilakukan untuk meningkatkan kenyamanan pasien,
biasnaya pemberian NSAID preoperasi dapat mengurangi kebutuhan antinyeri pasca
operasi. Pengelolaan pada pasien yang memiliki nyeri ringan sampai sedang dapat
diberikan antinyeri oral dengan pilihan obat berupa acetaminophen ditambah kodein,
hydrocodone, atau oxycodone. Atau pilihan lain, opioid agonis-antagonis(butorphanol, 1-
2 mg, atau nalbuphine, 5-10 mg) atau ketorolactromethamine, 30 mg, dapatdigunakan
secara intravena.Pada pasien dengan nyeri sedang sampai berat pasca operasi di PACU
dapat dikelola dengan opioidparenteral atau intraspinal, anestesi regional, atau blok saraf
tertentu. Ketika opioiddigunakan, titrasi dosis intravena kecil umumnya paling aman.
Opioid durasi menengah sampai panjang, seperti meperidine, 10-20 mg(0.25-0.5 mg / kg
pada anak-anak), hidromorfon 0.25-0.5 mg (0,015-0,02 mg / kg pada anak-anak), atau
morfin, 2-4 mg ( 0,025-0,05 mg / kg pada anak-anak), yang paling seringdigunakan.
Biasanya puncak efek analgesik dalam 4-5 menit. Depresi pernafasan maksimal,terutama
dengan morfin dan hidromorfon, mungkin tidak terlihat sampai 20-30 menitkemudian.
Ketika pasien sepenuhnya terjaga, Patient Controlled Analgesia (PCA) dapat digunakan
untuk pasien rawat inap.8,9
Pada pasien yang belum sepenuhnya sadar biasanya perasaan nyeri akan
dimanifestasikan sebagai suatu kegelisahan/ agitasi. Pada pasien yang mengalami agitasi,
mungkin perlu dipertimbangkan pembatasan gerakan ekstremitas untuk menghindari
cidera yang tidak diinginkan. Kegelisahan yang terjadi pada pasien perlu dipantau apakah
disebabkan oleh adanya gangguan hemodinamik misalnya hipoksemia, asidosis atau
hipotensi, atau akibat komplikasi prosedur pembedahan. Obat anestesi seperti
antikolinergik sentral, phenotiazin dan ketamine juga dapat menyebabkan efek samping
berupa kegelisahan pada pasien. Physostigmine, 1-2 mgintravena (0,05 mg / kg pada
anak-anak), efektif dalam mengobatidelirium akibat atropin dan skopolamin, tetapi juga
mungkin berguna dalam kasus lain. Jikagangguan sistemik yang serius dan nyeri dapat

9
disingkirkan, agitasi persisten mungkinmemerlukan sedasi intravena dengan dosis
intermiten yakni dengan midazolam 0,5-1 mg (0,05 mg / kgpada anak-anak).8,9

IV. KOMPLIKASI PASCA OPERASI PADA PASIEN BEDAH SYARAF


A. Manajemen Jalan Nafas dan Ventilasi
Problem manajemen jalan napas dan ventilasi merupakan komplikasi
serius yang paling sering ditemukan di PACU. Kebanyakan kondisi tersebut
berhubungan dengan sumbatan jalan nafas, hipoventilasi dan hipoksemia. Pada
kasus sumbatan jalan nafas biasanya ditemukan pada pasien yang belum pulih
sadar sadar akibat jatuhnya lidah kebelakang, spasme laring, edema glottis,
sumbatan darah atau muntahan dan hambatan pada trakea.Biasanya apabila pasien
mengalami sumbatan sebagaian akan ditandai dengan adanya suara strudor,
sedangkan pada sumbatan total yang mengakibatkan terhentinya aliran udara akan
dittemukan suara napas menghilang, dan nafas paradoksal. Pada kasus sumbatan
jalan napas dapat dilakukan maneuver gerakan jaw thrust dan memiringkan
kepala. Kemudian dapat dilanjutkan dengan pemasangan pipa nasal atau oral
dapat mempertahankan jalan napas tetap terbuka. Penggunaan pipa nasal mungkin
lebih baik karena lebih sedikit trauma apabila pasien mengigit. Apabila dengan
pemberian pipa nasal atau oral tetap pasien mengalami sumbatan jalan napas,
dapat dipikirkan terjadinya spasme laring, yang ditandai dengan suara tinggi keras
dan diam apabila glottis tertutup. Apabila terjadi spasme laring dapat dilakukan
kombinasi maneuver jaw thrust dengan pemberian tekanan positif melalui masker.
Dan apabila terdapat spasme pita suara dapat dilanjutkan pemberian alat abntu
napas oral atau nasal. Penyedotan secret juga dilakukan secara berkala untuk
mencegah terjadinya kekambuhan pada pasien. Pada kondisi spasme laring berat
harus diberikan terapi yang agresif fengan pemberian suksinilkolin (10-20 mg)
dan ventilasi tekanan positif dengan oksigen 100% untuk mencegah terjadinya
hipoksia berat atau udema akibat paru tekanan negatif. Pada beberapa kasus
diperlukan intubasi endotrakea untuk menjaga ventilasi, cricotirotomi atau jet
ventilasi transtrakea dapat diindikasikan apabila intubasi tidak berhasil.Pada
pasien bayi dan anak-anak, setelah pemberian instrument jalan napas dapat terjadi

10
edema glottis yang menyebabkan sumbatan jalan napas. Pada kondisi tersebut
dapat diberikan kortikosteroid i.v (dexamethason 0,5 mg/kg) atau epinephrine (0,5
ml larutan 2,25 % dengan 3 ml NS). Luka hematoma post operasi setelah
prosedur bedah kepala kemungkinan dapat membahayakan fungsi pernapasan.
Dapat terjadi kompresi pada trakea, dan dapat dilakukan pembukaan luka
hematoma tersebut untuk menghilangkan kompresi.8,10,11
Gangguan respirasi lainnnya yang dapat ditemukan adalah hipoventilasi
(PaCO2>45 mmHg). Hipoventilasi bermakna akan tampak bila kadar PaCO2 > 60
mmHg atau pH darah arteri <7,25. Pada hipoventilasi bermakna akan ditandai
dengan perasaan mengantuk, gangguan pernapasan seperti penurunan laju
pernapasan hingga kesulitan bernapas. Apabila terjadi asidosis juga dapat
ditemukan peningkatan denyut jantung dan tekanna darah hingga depresi
sirkulasi.Apabila dicurigai hipoventilasi bermakna, maka dilakukan analisa gas
darah untuk menilai tingkat keparahan dan sebagai pedoman tatalaksana. Jika
curiga hipoventilasi yang bermakna, harus dilakukan analisa gas darah arteri
untuk menilai keparahan dan pemandu tata laksana selanjutnya.10,11
Kejadian hipoventilasi pada PACU sangat sering ditemukan akibat efek
sisa agen anestesi yang mneyebabkan depresi nafas terhadap pusat napas. Apabila
depresi napas diakibatkan oleh agen anestesi opioid biasanya ditandai dengan laju
pernafasan melambat dengan volume tidal besar. Apabila diakibatkan oleh efek
sisa agen pelumpuh otot maka dapat dinilai dengan pemberian stimulator saraf
pada pasien yang tidak sadar atau jika pasien sadar dapat diminta untuk
memiringkan kepala. Kemampuan pasien untuk mengangkat kepala selama 5
detik merupakan penilaian yang cukup baik. Pasien yang menggigil akibat
hipertermia atau sepsis juga akan meningkatkan PaCO2 bahkan pada pasien
normal yang pulih dari anestesi umum sekalipun. Tatalaksana dilakukan secara
langsung pada etiologi yang mendasari. Pemberian antagonis opioid berupa
naloxone dengan dosis 0,04 mg dengan titrasi dilakukan dalam rangka
mengurangi efek samping depresi napas akibat obat anestesi, pasien juga harus
dipantau secara berkala untuk mencegah kekambuhan yang dapat terjadi. Apabila
terdapat efek sisa agen pelumpuh otot maka terapinya dapat diberikan

11
penghambat kolinesterase atau Doxapram 60-100 mg kemudian 1-2mg/mnt
intravena.11,12
Hipoksemia dapat terjadi pada pasien yang sebelumnya diberikan
anestesia dan tanpa diberikan pemberian oksigenasi saat pemulihan. Tanda-tanda
yang dapat dijumpai pada pasien dengan hipoksemia diantaranya takikardia,
kegelisahan/ agitasi dan gangguan fungsi jantung. Pada hipoksemia yang
berkepanjangan dapat ditemukan hipotensi, bradikardia, penurunan kesadaran
hingga henti jantung. Pemantauan/ monitoting rutin dengan oksimeter pada PACU
dapat digunakan sebagai skirining awal adanya hipoksemia, kemudian dilanjutkan
dengan analisa gas darah untuk mengetahui tingkat keparahan dan sebagai
panduan terapi. Hipoksemia di PACU biasanya disebabkan oleh hipoventilasi.
Tatalaksana pasien dengan hipoksemia dapat diberikan terapi oksigenasai dengan
atau tanpa pemberian tekanan positif pada jalan napas. Pemberian oksigenasi 30-
60% secara rutin biasanya memadai untuk mencegah hipoksemia dengan
hipoventilasi dan hiperkapnea. Pada pasien dengan komordid penyakit paru atau
jantung mungkin memerlukan pemberian konsentrasi oksigen yang lebih tinggi.
Pemberian terapi oksigenasi harus barengi dengan pemantauan melalui oksimeter
dan analisa gas darah arteri. Pemantauan tingkat konsentrasi oksigen dibarengi
dengan kontrol ketat pada pasien dengan retensi CO2 untuk mencegah gagal
napas akut.Pemberian oksigenasi 100% melalui masker non-rebreathing atau pipa
endotrakeal/ETT diindikasikan pada pasien dengan hipoksemia berat dan menetap
sampai penyebab pasti diketahui.10,11

B. Manajemen Kardiovaskuler
Komplikasi yang paling sering dijumpai terkait jantung dan pembuluh
darah pada PACU diantaranya hipertensi, hipotensi dan aritmia. Gangguan ini
dapat disebabkan oleh efek pemberian anestesia, efek prosedur operasi dan akibat
sekunder dari gangguan lainnya misalnya gangguan pernapasan.
Terjadinya hipotensi atau tekanan darah yang rendah dapat diakibatkan
oleh beberapa hal misalnya penurunan aliran balik darah dari vena ke jantung,
gangguan kontraktilitas ventrikel kiri atau akibat vasodilatasi arteri yang terlalu

12
tinggi. Penurunan aliran balik darah yang diakibatkan oleh hipovolemia
merupakan penyebab paling sering terjadinya hipotensi setelah efek anestesi dan
akibat prosedur pembedahan, pada pasien di PACU. Hipovolemia dapat terjadi
akibat kurang adekuatnya pergantian cairan saat operasi berlangsung, peningkatan
penyerapan cairan oleh jaringan, adanya perdarahan pasca operasi dan drainase
oleh luka. Hipotensi dapat terjadi akibat hypovolemia relative yang dicetuskan
oleh pemberian anestesi spinal maupun epidural, obat venodilator, dan inhibitor
adrenergik. Meskipun volume intravaskuler normal, tidak menutup kemungkinan
terjadinya hipotensi yang diakibatkan oleh peningkatan kapasitas vena sehingga
mengurangi aliran balik vena. Pada kasus sepsis dan reaksi alergi, hipotensi yang
terjadi dicetuskan oleh keadaan hypovolemia dan vasodilatasi pembuluh darah.
Pada pasien yang tidak terpasang drainase, meskipun biasanya perdarahan
intraoperative akan tampak jelas terlihat, proses perdarahan yang masih terus
terjadi mungkin tidak secara langsung terlihat. Akibatnya, adanya kehilangan
darah akan menyebabkan hipotensi pada pasien di PACU. Pasien pasca
pembedahan juga dapat mengalami edema akibat kerusakan jaringan yang
menyebabkan kehilangan cairan intravaskuler.Pasien yang sebelumnya tidak
memiliki gangguan jantung dapat terjadi disfungsi ventrikel kiri apabila terkait
dengan adanya kelainana metabolik berat misalnya sepsis, asidosis dan
hipoksemia. Tentunya hipotensi yang diakibatkan oleh disfungsi ventrikel lebih
sering dijumpai pada pasien dengan riwayat penyakit jantung sebelumnya
misalnya penyakit katup jantung, penyakit jantung coroner dan penyakit jantung
kongestif ditambah dengan adnaya kelebihan cairan, kondisi iskemia miokard dan
gangguan ritme jantung.8,11
Kejadian hipotensi ringan pada pasien PACU dapat menggambarkan
penurunan tonus simpatik yang terkait dengan efek sisa agen anestesi yang
digunakan atau kondisi tidur, dimana bisanya tidak membutuhkan pengobatan
atau terapi khusus. Namun pada kondisi hipotensi yang signifikan (penurunan
20% hingga 30% tekanan darah dibawah nilai normal pasien biasanya) dan
menyebabkan gejala yang serius, merupakan indikasi pemberian terapi. Prinsip
pengobatan didasarkan pada penilaian volume intravaskuler,apabila terjadi

13
peningkatan tekanan darah setelah pemberian loading cairanbiasanya hipotensi
yang terjadi disebabkan oleh kondisi hypovolemia. Pada hipotensi tak terkontrol
dan membahayakan dapat diberikan obat vasopressor atau inotropic misalnya
dopamin atau epinefrin untuk meningkatkan tekanan darah sambil menunggu
kekurangan volume intravaskuler mampu terkoreksi. Pada pasien dengan riwayat
penyakit jantung dan pasien lansia harus dicari adanya tanda-tanda disfungsi
jantung.Kemudian pada pasientidak merespon terhadap pengobatan yang sudah
diberikan harus dilakukan pemantauan status hemodinamik yang akurat dan
intensif, serta usaha untuk memperbaiki hipotensi melalui perbaikan preload,
afterload dan kontraktilitas jantung.8,11
Terjadinya hipertensi pascaoperasi pada pasien di PACU seringkali terjadi
saat 30 menit pertama pasien masuk PACU. Kejadian hipertensi pada pasien
PACU bisa disebabkan oleh adanya rasa nyeri pasca operasi, tindakan intubasi
endotrakeal serta tindakan lainnya yang memicu respon simpatik. Respon
simpatik pada hipertensi pascaoperasi merupakan bagian dari respon
neuroendokrin pada proses pembedahan itu sendiri maupun sekunder akibat
kejadian asidosis metabolik, hiperkapnia atau hipoksemia. Pasien yang
sebelumnya memiliki riwayat hipertensi akan memiliki risiko lebih tinggi
terjadinya hipertensi pascaoperasi bahkan tanpa penyebab yang jelas. Pasien
dengan hipertensi pasca operasi juga dapat ditemukan adanya kelebihan cairan
maupun peningkatan tekanan intracranial misalnya pada prosedur bedah saraf.
Hipertensi ringan biasanya tidak membutuhkan tatalaksana atau pengobatan
khusus, namun lebih pada mencari faktor pencetus dan menatalaksananya.
Hipertensi yang signifikan (peningkatan tekanna darah 20% hingga 30% dari nilai
normal pasien) biasanya dapat memicu terjadinya perdarahan pascaoperasi, gagal
jantung, perdarahan intracranial dan iskemia miokard. Sehingga pada kasus
hipertensi signifikan merupakan indikasi untuk memberikan tatalaksana dengan
penurunkan tekanan darah pasien secara berkala yang dipantau dengan intensif.
Apabila terjadi peningkatan tekanan darah ringansampai sedang dapat diobati
dengan pemberian obat adrenergic blocker intravena sepertilabetalol, esmolol,
atau propranolol, pemberian kalsium channel blockermisalnya dengan

14
nicardipine, ataunitrogliserin. Pemberian nifedipine sublingual dan hydralazine
mungkin juga dapat efektif namun seringkali dapat menyebabkan refleks
takikardia dan dikaitkan dengan kejadian iskemia dan infarkmiokard pada pasien
PACU. Pada pasien dengan fungsi jantung yang terbatas, diperlukan adanya
pemantauan tekanan intraarterial secara langsung, pemberian nitroprusside
intravena, nitrogliserin, nicardipine, atau fenoldopam. Dengan tujuan akhir tingkat
tekanan darah yang dilihat sesuai kondisi pasien dan konsisten dengan tekanan
darah normal individual pasien itu sendiri.Sekitar 40-90% pasien membutuhkan
obat anti hipertensi untuk terapi selama periode pengembalian kesadaran. Hal
tersebut tidak bergantung pada obat anti hipertensi yang dipergunakan selama
periode operasi. Penggunaan remifentanil tanpa analgesia sebelum ekstubasi
dihubungkan dengan tingginya tekanan darah sistolis selama periode pemulihan,
yang mungkin berhubungan dengan tingkat nyeri yang lebih tinggi selama periode
awal pascabedah. Analgesik dan sebagian narkotik dapat diberikan untuk
mengurangi respon simpatetik dan katekolamin terhadap nyeri dan ekstubasi.
Pada kasus yang dilaporkan, ekstubasi yang berhasil menggunakan sedasi dan
simpatolitik. Resiko perdarahan intrakranial dihubungkan dengan hipertensi
ringan dan sedang saat ini masih dalam perdebatan
Terjadinya aritmia pada pasien di PACU yang dikaitkan dengan adanya
gangguan pernapasan misalnya hipoksemia, hiperkarbia, dan asidosis, seringkali
tidak semuanya dapat dijelaskan. Efek sisa dari pemberian agen
anestesi,peningkatan aktivitas sistem saraf simpatik, kelainan metabolik lainnya,
penyakit jantungatau paru yang sudah ada sebelumnya dapat juga mempengaruhi
kemungkinan terjadinya aritmia pada pasien di PACU. Kondisi bradikardia
seringkali disebabkan oleh efek sisa dari pemberian obat anestesi berupa inhibitor
cholinesterase (neostigmine), opioid sintesis (sufentanil), atau β-adrenergik bloker
(propranolol). Sedangkan kondisi takikardia dapat dipicu oleh adanya demam,
nyeri pascaoperasi, dan anemia, sedangkan penyebab lainnya dapat berupa efek
pemberian agen anestesi antikolinergik (atropin), obat vagolytic (pancuronium
ataumeperidin), β-agonis (albuterol), refleks takikardia (hydralazine).11,12

15
C. Mual dan Muntah Pasca Operasi
Kejadian mual dan muntah pasca operasi merupakan mual dan muntah
pasca operasi (PONV) yang merupakan masalah umum terutama pada
pengguanaan anestesi umum,terjadi pada 20-30% dari semua pasien. Selain itu,
PONV mungkin terjadi di rumah dalam waktu 24 jam dari lepas rawat (discharge)
(postdischarge nausea and vomiting) dalam sejumlah besar pasien. Etiologi
PONV biasanya multifaktorial, melibatkan agen anestesi, jenisprosedur, dan
faktor pasien. Sangat penting untuk mengenali bahwa mual adalah keluhanumum
yang dilaporkan pada awal hipotensi, terutama setelah anestesi spinal atau
epidural.Peningkatankejadian mual dilaporkan setelah pemberian opioid selama
anestesi, bedah intraperitoneal(terutama laparoskopi), dan operasi strabismus.
Insiden tertinggi tampaknya pada wanitamuda, studi menunjukkan mual lebih
umum selama menstruasi. Peningkatan tonus vagaldimanifestasikan sebagai
bradikardia mendadak biasanya mendahului atau bertepatandengan emesis.
Anestesi propofol menurunkan kejadian PONV, seperti halnya sejarahpreoperatif
merokok. Selektif 5-hydroxytryptamine (serotonin) reseptor 3 (5-HT3)
antagonisseperti ondansetron 4 mg (0,1 mg / kg pada anak-anak), granisetron
0,01-0,04 mg / kg, dandolasetron 12,5 mg (0,035 mg / kg pada anak-anak) yang
juga sangat efektif dalammencegah PONV dan mengobati PONV. Obat ini
bekerja di sentral maupun perifer,menghambat reseptor di at reseptor di usus
(aferen vagal) dan di zona pencetus kemoreseptor (CTZ). Perlu dicatat bahwa
tidak seperti ondansetron, yang biasanya segera efektif, dolasetronmembutuhkan
15 menit untuk memulai onset. Persiapan tablet oral disintegrasi
(ODT)ondansetron (8 mg) mungkin berguna untuk pengobatan dan profilaksis
terhadap mual danmuntah postdischarge. Dosis oral biasanya diberikan tiap 8 jam.
Metoclopramide, 0,15 mg /kg intravena, agak kurang efektif, tetapi merupakan
alternatif yang baik untuk 5-HT3antagonis. 5-HT3 antagonis tidak terkait dengan
manifestasi akut reaksi ekstrapiramidal(dystonic) dan dysphoric yang mungkin
timbul pada penggunaan metoclopramide atau antiemetik jenis fenotiazin.
Golongan antagonis dopamin, metaclorpramid dan domperidone bekerja
denganmenghambat reseptor D2 (dopamin) di CTZ. Golongan ini juga memiliki

16
efek prokinetik.Metaclorpramide relatif kurang efektif untuk PONV dan dapat
menimbulkan efek sampingekstrapiramidal. Domperidone memiliki efek samping
yang lebih sedikit sehingga merupakanobat pilihan pada golongan ini. Derivat
phenotiazine seperti prochlorperazine dapatmenghambat reseptor D2 dan 5-HT di
CTZ. Skopolamin Transdermal efektif tetapi dapat dikaitkan dengan efek samping
yangmengganggu pada beberapa pasien, seperti memperburuk glaukoma, retensi
urin, dankesulitan dalam akomodasi visual. Deksametason, 4-10 mg (0,10 mg / kg
pada anak-anak),bila dikombinasikan dengan antiemetik lain sangat efektif untuk
mual dan muntah refraktori.Selain itu, ia efektif untuk sampai 24 jam dan dengan
demikian mungkin berguna untuk mualdan muntah postdischarge.Droperdol
intravena 0,625-1,25 mg (0,05-0,075 mg / kg pada anak-anak), ketika
diberikanintraoperatif, secara signifikan mengurangi kemungkinan mual pasca
operasi tanpa secarasignifikan memperpanjang emergence dan efektif dapat
mengobati PONV. Sayangnya,droperidol sekarang membawa peringatan "kotak
hitam" dari 2001 Food and Drug Administration (FDA) yang mengatakan obat
ini dapat memperpanjang interval QT dandikaitkan dengan aritmia jantung yang
fatal.Walaupun kejadian ini sangat langka danberhubungan dengan dosis yang
sangat tinggi (> 25 mg), peringatan FDA menimbulkankontroversi yang cukup
besar dan banyak dokter tidak lagi menggunakan obat ini.
Profilaksisnonpharmacological terhadap PONV termasuk memastikan hidrasi
yang memadai (20 mL /kg) setelah puasa dan stimulasi titik akupunktur P6
(pergelangan tangan) Ini mungkin termasuk aplikasi tekanan, arus listrik, atau
suntikan. Kontroversi timbul mengenai profilaksis rutin untuk PONV pada semua
pasien. Jelas pasiendengan faktor risiko harus menerima profilaksis. Selain itu,
penggunaan dua atau lebih agenlebih efektif daripada profilaksis agen tunggal.
Hasil penelitian dan survei menunjukkan sedikitatau tidak adaa perbedaan antara
profilaksis rutin dan stratesi pengbatan sesuai dibutuhkanstrategi (treat-as-needed
strategies). Pasien yang diifentifikasi berisiko mengalami PONV harus diberikan
antiemetik sebelum bangundari anestesia karena seringkali lebih mudah untuk
mencegah muntah dibandingkanmenghentikannya begitu sudah terjadu.

17
Kegagalan terapi dapat diatasi di ruang pemulihandengan pemberian obat kedua
atau ketida dari golongan berbeda.11,12

D. Nyeri Pasca Operasi


PACU mencakup transisi dari ruang operasi ke bangsal,dan kebanyakan
pasien menghabiskan beberapa jam pertama setelah operasi di ruang PAC.
Manajemen nyeri yang adekuat di PACU adalah bagian penting untuk mencegah
terjadinya nyeri pasca operasi. Dilaporkan bahwa terdapat sebagian besar yakni
41% pasien di PACU yang melaporkannyeri sedang atau berat yang ditandai
dengan sejumlah gangguan fisiologis yang disebabkan oleh proses anestesi dan
operasi, yang selanjutnya mempengaruhi banyak organ dan sistem. Nyeri pasca
operasi danagitasi biasanya menambah risiko dan kemunngkinan komplikasi,
memperburuk hasil akhir kepuasan pasien.Menurut pedoman oleh American
Society of Anesthesiologist, penilaian rutin dan pemantauannyeri diperlukan untuk
mendeteksi komplikasi dan mengurangi hasil yang merugikan pasien, dimana
pemantauan nyeri harus dilakukan selama kemunculan nyeri dan pemulihan dari
nyeri. Namun, penurunan kesadaran dan/atau gangguan kemampuan verbal yang
jelas menyebabkankesulitan dalam penilaian dan pengobatan untuk nyeri di
PACU.8,9
Nyeri adalah salah satu penentu munculnya faktor stress yang
meningkatkan VO2 pascabedah dan menginduksi pelepasan katekolamin.
Pemberian analgetik yang tepat dapat menumpulkan peningkatan pengeluaran
katekolamin dalam plasma selama dan setelah pembedahan, dengan hubungan
yang erat antara skor nyeri dan konsentrasi adrenalin. Namun
bagaimanapun,sangatlah sulit untuk memisahkan efek analgesik dari efek sedatif
dan antishivering narkotik.
Kebanyakan pasien memiliki pengalaman nyeri sedang sampai berat pada hari
pertama dan kedua setelah operasi besar intrakranial. Perbandingan skala nyeri
diantara beberapa studi yang berbeda membuat pengukuran efek analgesia
terhadap VO2secara akurat menjadi sulit. Biasanya dapat diterima bahwa analgesi
morfin pada pasien-pasien kritis dapat mengurangi VO2 hingga 20%, tetapi

18
penurunannya dapat lebih besar pada pasien yang gelisah. Dibandingkan dengan
bedah abdomen dan thoraks, pembedahan intrakranial tidak akan menimbulkan
nyeri yang sangat setelah operasi. Nyeri pascabedahdapat bergantung pada teknik
anestesi yang dipergunakan. Infus remifentanil intraoperatif tidak memberikan
residu analgesi selama pemulihan. Pasien membutuhkan lebih banyak analgesia
pada periode awal pascabedah.
Untuk pengobatan dan manajemen yang lebih baik, nyeri harus dinilai
secara akurat dan tepat waktu, yang menimbulkan tantangan ketika menyangkut
pasien di PACU. Meskipun deskripsi nyeri yang jelas harus mencakup lokasi,
onset, karakter, faktor eksaserbasi dan pereda nyeri, dan faktor lainnya, biasanya
lebih praktis untuk menilai intensitas nyeri dan mencatat waktu penggunaan
analgesik pertama, jumlah analgesik, efeknya dan efek samping pengobatan,
modulasi strategi analgesik sesuai dengan respon pasien, dan kepuasan mereka di
PACU. Faktor psikologis mempengaruhi persepsi nyeri,sehingga, status mental
harus dipertimbangkan terutama bagi mereka yang memiliki riwayat gangguan
kejiwaan. Mengidentifikasi kecemasan, depresi, gangguan neurotic lainnya, dapat
memfasilitasi penilaian nyeri.Ada banyak metode untuk menilai intensitas nyeri,
termasuk skala pengamat dan laporan diri. Karena rasa sakit adalahterutama
persepsi subjektif, penilaian pelaporan diritetap menjadi standar emas untuk
pasien dengan kesadaran dan pemahaman yang tepat, dan dibantu dengan ekspresi
verbal, termasuk penggunaan Skala Analog Visual (VAS), Skala Peringkat
Numerik (NRS), Skala Penilaian Verbal (VRS), meskipun metode standar masih
menjadi perdebatan. Karena pemulihan yang belum sempurna dari anestesi
atausedasi, hasil metode subjektif dapat tergangguoleh kondisi sementara pasien
di PACU (seperti
seperti dibius, sakit kritis, gangguan kognitif, atau mengalami kesulitan dalam
berkomunikasi). Oleh karena itu, penilaian objektif nyeri dan analgesia dapat
diperlukan di PACU.9
Penilaian berbasis pengamatan (seperti Behavioral Pain Scale) dapat
digunakan untuk penilaian nyeri yang objektif. Baru-baru ini,ada lebih banyak
kemajuan dalam tujuan penilaian yang independen yang potensial dengan

19
partisipasi pasien,seperti photoplethysmography (menilai respons simpatis jantung
danvaskular),analgesia nociception index (menilai respon jantung parasimpatis),
konduktansi kulit (menilairespon simpatis vaskular), dan pupillometry
(berdasarkanpada penilaian dilatasi refleks pupil yang diinduksioleh rangsangan
nosiseptif). Sebagian besar yang disebutkan di atas merupakan metode didasarkan
pada penilaian respon sistem otonom terhadap stimulasi yang menunjukkan
keseimbangan analgesia/nosiseptif. Indeks yang diturunkan dari
elektroensefalogram(seperti qCON dan qNOX) juga telah diselidiki
sebagaikemungkinan prediktor respons pasien terhadap rangsangan berbahaya di
bawah anestesi umum, yang mungkin berpotensi digunakan di PACU namun
diperlukan studi lebih lanjut.9

E. Gangguan Cairan dan Elektrolit Pasca Operasi


Pada kondisi pasca pembedahan saraf pada trauma akut otak, tindakan
kraniotomi maupun komplikasi sistemik pada kondisi lainnya dapat
mengakibatkan terjadinya gangguan homeostasis tubuh yang terdiri dari gangguan
cairan dan elektrolit. Hal ini dikarenakan susunan saraf pusat (SSP) mempunyai
peran yang penting dalam meregulasi homeostasis kadar air dan natrium dalam
darah. Oleh karena itu, pasien dengan permasalahan neurologik ataupun
pascabedah otak akan cenderung mengalami permasalahan keseimbangan cairan
dan elektrolit. Selain karena lesi neurologik yang terjadi pada SSP, penyebab
kelainan elektrolit ini juga disebabkan oleh tindakan pembedahan atau iatrogenik,
tindakan perawatan post operasi di intensive care unit (ICU), akibat tindakan
medik, misal obat-obatan dan pemberian cairan intravena, diuretik, steroid dan
mannitol. Kelainan elektrolit yang sering terjadi pada pasien bedah saraf yaitu
hiponatremia dengan tingkat kejadian sekitar 10–50%. Kondisi ini biasanya
terjadi pada kasus kasus subarachnoid hemorrhage (SAH), cedera otak traumatik
(COT) dan operasi tumor hipofise.13,14
Natrium merupakan kation primer cairan ekstraseluler dan merupakan
komponen yang penting pada gradien elektrokimia yang berperan pada konduksi
saraf dan fungsi seluler. Natrium merupakan osmol utama dalam darah yang

20
berperan penting dalam penentuan volume cairan ekstraseluler. Fungsi elektrolit
natrium merupakan kation dengan konsentrasi yang tinggi di ekstraselular di
dalam tubuh dan memainkan peran yang penting dalam meregulisasi volume
ekstraselular dan intraselular dalam tubuh. Natrium sebagai kation mayor yang
menentukan kadar osmolalitas dalam darah sehingga terjadinya regulasi
pengaliran cairan dari satu kompartmen ke kompartemen yang lain dengan kadar
osmolalitas yang lebih rendah sehingga tercapainya hemostasis. Hiponatremia
dapat terjadi apabila konsentrasi natrium serum kurang dari 135 mmol/L. Gejala
hiponatremia meliputi sakit kepala, mual, muntah, kram otot, letargi, dan kejang.
Hiponatremia berat akut dapat menyebabkan edema serebral dan lebih lanjut
dapat menyebabkan koma serta henti nafas. Syndrome of inappropriate
antidiuretic hormone secretion dan cerebral salt wasting (CSW) merupakan dua
penyebab potensial terjadinya hiponatremia pada pasien dengan gangguan atau
kelainan pada sistim saraf pusat. Penyebab lain hiponatremia pada pasien bedah
saraf seperti penggunaan cairan yang kurang tepat dan adanya defisiensi Adreno
Corticotropic Hormone (ACTH). Pendekatan diagnosis dan manajemen pasien
dengan hiponatremia meliputi evaluasi dari tonisitas serum, melihat osmolalitas
urin dan menilai status volume tubuh dan urin. Pendekatan seperti ini merupakan
pendekatan yang sering digunakan dan mudah untuk dilakukan oleh klinisi.13,14

V. KOMPLIKASI LAIN YANG TERJADI PADA PASCA OPERASI


INTRAKRANIAL
Perluasan kontusio yang dikelola secara konservatif dan perdarahan lainnya
adalah masalah utama yang terjadi lebih awal setelah pembedahan saraf Sebagian besar
perluasan terjadi secara akut setelah pembedahan dan menyebabkan perburukan klinis,
perawatan di rumah sakit yang berkepanjangan, dan bahkan dapat berakibat fatal. Suatu
teori mengemukakan bahwa efek hemostatik (atau tamponade) hilang ketika tulang
dikeluarkan, dan bersama dengan pengurangan TIK memfasilitasi ekspansi sebagian
besar di sisi ipsilateral. Jenis hematoma lain seperti hematoma ekstradural dan hematoma
subdural akut dapat muncul secara de novo atau bertambah besar. Perluasan atau evolusi
hematoma ekstradural baru yang terletak jauh, biasanya terjadi di lokasi fraktur pada

21
pembedahan fraktur dekompresi cranium. Perluasan hematoma kontralateral atau jauh
dari sisi kraniektomi belum sering dilaporkan pada pasien stroke.15,16
Herniasi serebral eksternal muncul selama minggu pertama setelah operasi.
Herniasi serebraldidefinisikan sebagai lebih dari 1,5 cm herniasi jaringan otak melalui
pusat defek kraniektomi dengan tingkat insidensinya mencapai 25%. Diperkirakan
disebabkan oleh edema yang diinduksi oleh re-perfusi serebral dan peningkatan gradien
hidrostatik dari kapiler, setelah dekompresi. Edema otak menyebabkan penonjolan otak
dan kerutan pada vena yang mengalir di tepi kraniektomi yang pada gilirannya
menyebabkan kongesti vena, infark, herniasi lebih lanjut, dan laserasi parenkim otak.
Kraniotomi yang cukup besar dan duraplasti augmentative mungkin dapat menghindari
terjadinya herniasi. Menempatkan dua gelfoam kecil di kedua sisi saluran air di
kraniektomi dapat mencegah oklusi vena.15
Komplikasi luka setelah craniotomi atau cranioplasty diklasifikasikan sebagai
dehiscence, ulserasi, atau nekrosis. Ukuran besar flap kulit kepala dan peningkatan
kemungkinan cedera arteri temporal superfisial selama operasi darurat dapat
mempengaruhi tepi luka untuk sehingga terjadi iskemia di daerah parietal posterior dan
temporal. Tekanan dari tonjolan otak dapat memperburuk iskemia. Bagian otak yang
mendasari, terkena, terluka, atau iskemik sangat rentan terhadap komplikasi infeksi
setelah luka rusak.Menjaga arteri temporal superfisial dengan hati-hati dan membatasi
bagian posterior flap tidak lebih dari 5 cm di belakang telinga dapat mengurangi
kemungkinan kerusakan flap iskemik. Perbandingan retrospektif pasien yang dioperasi
menggunakan sayatan berbentuk “n” dengan mereka yang dioperasi menggunakan flap
“tanda tanya” konvensional menunjukkan bahwa teknik sebelumnya dapat mencapai
dekompresi tulang yang lebih besar, memungkinkan lebih banyak tonjolan otak dan lebih
cepat untuk dilakukan.15
Epilepsi pasca operasi telah didokumentasikan dalam berbagai tingkat pasien
yang telah menjalani prosedur bedah saraf. Mekanisme yang menyebabkan hal ini
termasuk peningkatan bertahap pada hipereksitabilitas dan penurunan ambang
epileptogenik. Creutzfeldt dkk. secara retrospektif menilai 55 pasien yang menjalani
operasi bedah saraf untuk infark medial cerebral artery (MCA). Dari jumlah tersebut,
49% pasien mengalami kejang dalam minggu pertama dan 45% mengembangkan epilepsi

22
dalam 1 tahun operasi (32). Demikian pula, Santamarina et al. mengamati terjadinya
kejang pada 47,5% dari semua pasien dan pada 53,7% pasien yang selamat yang
menjalani DC untuk infark MCA maligna. Mengidentifikasi faktor risiko utama yang
menjadi predisposisi kejang dan efeknya pada hasil klinis membutuhkan penelitian lebih
lanjut. Dalam kasus TBI, Ban et al. melaporkan bahwa hanya sekitar 3% yang mengalami
kejang meskipun telah menggunakan antikonvulsan. Kejang menghilang pada semua
pasien setelah meningkatkan dosis atau setelah menambahkan obat antiepilepsi lain
merupakan pendekatan yang masuk akal untuk diikuti dalam 2 minggu pertama pasca
cedera. Cranioplasty awal mungkin berfungsi untuk mengurangi kejadiannya, namun,
penelitian yang membahas masalah ini saat ini masih kurang. Fenitoin dan levetiracetam
merupakan obat antiepilepsi yang dapat digunakan pada kasus ini.15

VI. KONDISI KHUSUS NEUROLOGIS


A. Pembedahan supratentorial
Pendekatan klinis untuk pembedahan tumor otak beragam dan tergantung
pada lokasi perkembangan tumor dan jenis tumor. Anastesi dalam pembedahan
supratentorial membutuhkan pemahaman: patofisiologi peningkatan tekanan
intrakranial (TIK) lokal ataupun umum, regulasi dan maintenance perfusi
intraserebral, menghindari systemic insult pada otak, dan efek obat-obat anastesi
terhadap TIK, perfusi otak, dan metabolisme serebral. Pengetahuan mengenai
pilihan terapeutik yang tersedia untuk mengurangi TIK, massa otak, dan tekanan
otak perioperatif juga penting. Manajemen tekanan intrakranial sangat penting
untuk menghindari cedera sekunder. Oleh karena itu, pertimbangan secara hati-
hati diperlukan dalam penggunaan obat-obat anastesi, rekativitas karbondioksida,
dan aliran darah serebral.17 Komplikasi yang dapat muncul setelah pembedahan
supratentorial pada PACU terkait dengan adanya edema yang menginduksi
peningkatan TIK, perdarahan masif, dan kejang. Oleh karena itu, kesadaran,
kondisi respirasi, dan ada atau tidaknya paralisis harus diobservasi secara ketat.
Ketika terjadi abnormalitas, pemeriksaan neurologi, imejing, dan diagnosis harus
segera dilakukan.18

23
Komplikasi lain yang dapat terjadi terkait komplikasi respirasi pada
PACU. Anastesi umum dan ventilasi mekanik dapat mengganggu fungsi paru
bahkan pada individu normal, dan mengibatkan penurunan oksigenasi pada
periode pasca anastesi. Kejadian respirasi kritis pada PACU merupakan masalah
ventilasi kompleks yang tidak terduga, bahkan pada semua operasi bedah saraf,
tidak hanya pada pembedahan supratentorial, termasuk hipoksemia (saturasi
oksigen hemoglobin <90%), hipoventilasi (laju pernafasan <8x/menit atau
tekanan karbondioksia arterial >50 mmHg) atau obstruksi saluran nafas atas
(spasme laring atau stridor), membutuhkan intervensi mekanik atau farmakologis
segera (seperti insersi oral/nasal airway, ventilasi, intubasi trakeal, antagonisme
opioid, dan muscle relaxant reversal).19
Pneumocephalus dapat terjadi dalam berbagai pengaturan klinis dan
memiliki implikasi penting dalam anastesi, terutama jika menggunakan N2O.
Salah satu penyebab umum pneumocephalus kraniotomi atau kraniektomi,
termasuk pada pembedahan supratentorial. Oleh karena itu, pasien yang menjalani
prosedur pembedahan supratentorial ini mungkin beresiko tinggi untuk
berkembang menjadi tension pneumocephalus jika menggunakan nitrote oxide
selama anestesi berlanjut. Tetapi, karena tingkat kesembuhan pneumocephalus
pasca operasi belum dijelaskan dengan baik, durasi periode resiko terjadinya
pneumocephalus ini tidak dapat ditentukan.20

B. Operasi Hipofisis
Tumor hipofisis atau adenoma hipofisis adalah jenis neoplasma yang
relatif sering muncul, yaitu antara 10-20% dari semua kejadian tumor intrakranial.
Salah satu penatalaksanaan dari tumor hipofisis adalah pembedahan. Tujuan dari
prosedur pembedahan ini adalah (1) pengangkatan tumor secara total, (2)
dekompresi kiasma optikum dan saraf kranial II (mata), (3) debulking tumor
untuk cytoreduction, (4) menjaga atau memperbaiki fungsi endokrin, dan (5)
konfirmasi histologis. Pembedahan pada kelenjar hipofisis ini mungkin dapat
menyebabkan beberapa kondisi, seperti perubahan fungsi endokrin selama dan
setelah operasi. Komplikasi yang timbul akibat tindakan bedah relatif jarang, yang

24
dapat berupa tersisa tumor pascareseksi adenoma yang besar, diabetes insipidus
(DI) yang bersifat sementara atau permanen, kebocoran cairan otak (rhinorrhea),
defisiensi hormon serta gangguan penglihatan yang menetap.21
Komplikasi lain yang dapat terjadi selama masa post anasthesia care
termasuk prolonged ventilation (lebih dari 12 jam) dimana biasa terjadi pada
pasien yang diekstubasi pada akhir operasi tetapi memerlukan reintubasi,
postoperative nausea/vomiting (PONV), kebocoran cairan otak (rhinorrhea) dari
hidung atau dari faring posterior, meningitis, diselektrolitemia (kadar serum
sodium >150 atau <135, kadar serum potasium >5.5 atau <3.5 mmol/L),
perubahan atau hilangnya visus, defisit atau palsy dari nervus kranialis lain,
perdarahan dan hidrosefalus.22 Selain itu, studi mengenai indikator stres selama
penggunaan anastesia umum pada adenoma hipofisis pada anak-anak
menunjukkan adanya kecenderungan terjadinya badai tiroid. Badai tiroid ini
merupakan manifestasi yang langka pada hipertiroidisme, tetaip mungkin dapat
terjadi selama atau setelah operasi akibat adanya faktor pencetus ataupun stressor.
Tetapi biasanya untuk mengurasi resiko badai tiroid diberikan beta-blocker
bersamaan dengan obat anti tiroid atau analog somatostatin, dan pasien harus
dimonitor secara ketat selama dan pasca operasi adenomektomi hipofiseal.23

C. Operasi infratentorial
Kraniotomi posterior atau biopsi stereotatik dapat menjadi pilihan operasi
untuk diagnosis tumor infratentorial. Tumor infratentorial biasanya membutuhkan
pembedahan untuk ekstirpasi massa, walaupun sifatnya kadang jinak (benigna).
Hal ini terkait struktur-struktur penting yang dapat dikompresi oleh pertumbuhan
abnormal tumor di area infratentorial. Batas-batas fossa posterior dan myriad of
neuronal dan struktur vaskular yang melintasi fossa posterior menciptakan suatu
tantangan untuk anestesiologis. Tujuan anastesi pada prosedur operasi
infratentorial adalah untuk mencegah peningkatan tekanan darah, efek rapid
awakening, mengembalikan kekuatan motorik, meminimalisir batuk, dan
straining pada pipa endotrakeal. Kelayakan ekstubasi post operasi ditentukan oleh
sifat dan luasnya pembedahan (misalnya, manipulasi batang otak yang luas

25
kemungkinan beresiko menyebabkan edema batang otak yang lebih besar pasca
operasi atau cedera batang otak yang disebabkan oleh reseksi tumor yang sulit).
Jika manipulasi ekstensif dari struktur meddular atau edema yang signifikan
terjadi selama PACU, maka jalan nafas harus dipertahankan aman sampai pasien
bangun, diikuti perintah dan demontrasi kembalinya refleks protektif jalan nafas.
Tambahan sedasi mungkin dibutuhkan hingga poin kesembuhan tercapai.
Hipertensi persisten pasca operasi juga dapat terjadi pada pasien yang sebelumnya
normotensif dan perlu dicurigai adanya kemungkinan disebabkan oleh kompresi
batang otak, iskemia, atau hematoma yang terjadi pasca operasi.24
Pemberian diuretik omostik dan loop untuk reseksi tumor dan prosedur
vaskular mungkin memprediposisikan pasien dengan posisi duduk mengalami
gangguan elektrolit atau mengalami ketidakstabilan kardiovaskular akibat
hipovolemia. Resiko peningkatan ukuran pneumocephalus juga meningkat.
Administrasi secara simultan koloid intravena merupakan cara untuk
mempertahankan tekanan perfusi kranial (CPP) dan meminimalisir efek dehidrasi
serebri dari diuretik. Selain itu, obat anastesi juga mempunyai efek pada regulasi
aliran darah serebral. Normalnya aliran darah serebral diautoregulasi pada level
arteriole serebri dan terganung pada gradien tekanan dinding pembuluh darah dan
nilai tekanan oksigen (tergantung dari ventilasi). Pada akhir operasi, pasien harus
dievaluasi secara menyeluruh. Emboli udara serebri, cedera hipoksik-iskemik atau
manimpuasi surgikal berkepanjangan dapat menyebabkan terjadinya defisit
neurologis fokal, stroke, dan koma. Pasien-pasien ini mungkin membutuhkan
dukungan ventilasi pada periode pasca operasi.24
Komplikasi pada PACU yang dapat terjadi lainnya berupa pembengkakan
atau perdarahan yang dapat bermanifestasi sebagai apneu mendadak atau
perubahan status mental. Hiperperfusi atau bekuan darah pada pembuluh darah,
kebocoran LCS, atau gangguan aliran LCS dan pneumochepalus juga dapat
menjadi komplikasi khas pasca operasi infratentorial.24

D. Perdarahan subarachnoid

26
Tujuan utama manajemen anastesi pada kraniotomi perdarahan aneurisma
subarachnoid meliputi:9
1. Memfasilitasi tatalaksana
2. Mencegah perdarahan ulang.
3. Memelihara perfusi serebral
4. Mencegah pembengkakakn otak intraoperatif
5. Memfasilitasi pengawasan neurofisiologis
6. Memfasilitasi clipping
7. Mengoptimisasi fisiologi sistemik dan mengatur flikemia
8. Mengantisipasi dan mengatasi situasi krisis (misalnya: ruptur
aneurisma)
9. Memfasilitasi asesmen

Agen anatesi yang ideal untuk perdarahan subarachoid aneurismal harus


dapat (1) mengurangi tingkat metabolisme otak; (2) menghindari hipertensi
intrakranial; (3) mempertahankan aliran darah otak yang memadai; (4) menjaga
stabilitas hemodinamik; (5) memberikan neuroproteksi; (6) tidak mengganggu
pemantauan neurofisiologia, dan; (7) mudah dititrasi ke kedalaman anastesi yang
diperlukan untuk memunculkan efek cepat. Agen anastesi intravena dan inhalasi
berbeda secara subtansial dalam farmakodinamik dan farmakokinetiknya tetapi
keduanya dapat digunakan secara bijaksana pada perdarahan subarachnoid.9

Komplikasi yang dapat terjadi selama PACU pada perdarahan subarachnoid


aneurismal adalah terjadinya vasospasme serebral. Hal ini dapat terjadi akibat
spasme makro- dan mikrovaskular biasanya antara 3 dan 14 hari post-hemorargik,
meskipun dapat terjadi hingga 21 hari. Sebagian besar aneurisma dapat
ditatalaksana dini sebelum berkembang menjaid vasospasme, namun dapat terjadi
pada saat presentasi perdarahan subarachnoid aneurisma yang terlambat.
Vasospasme angiografik dapat terjadi 70% hingga 90% pasien. Vasospasme
simptomatik hanya mengenai sepertiga pasien. Komplikasi yang paling
mengkhawatirkan dari vasospasme adalah adanya delayed ischaemic serebri yang
mengarah ke infark serebral. Vasospasme serebral terkad akibat

27
ketidakseimbangan dalam ekspresi vasodilator dan vasokonstriktor seperti
endothelin-1 bersama dengan stimulasi terkait kalsium.25

E. Cedera otak traumatis


Tujuan utama dari manajemen anestesi cedera otak traumatis adalah untuk
memfasilitasi dekompresi dini, memberikan analgesia dan amnesia yang
memadai, mengobati hipertensi intrakranial dan mempertahankan perfusi serebral
yang memadai, memberikan kondisi bedah yang optimal, dan menghindari
gangguan sekunder seperti hipoksemia, hiper dan hipokarbia, hipo- dan
hiperglikemia. Agen anestesi intravena termasuk thiopental, propofol dan
etomidate menyebabkan vasokonstriksi serebral dan mengurangi cerebral blood
flow (CBF), volume darah serebral, cerebral metabolic rate for oxygen (CMRO2)
dan tekanan intrakranial. Opioid tidak memiliki efek langsung pada hemodinamik
otak ketika ventilasi dikontrol. Semua agen anestesi volatil (isofluran, sevofluran,
desfluran) menurunkan CMRO2 tetapi dapat menyebabkan vasodilatasi serebral,
yang mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial. Namun, pada konsentrasi
kurang dari 1 konsentrasi alveolar minimum, efek vasodilatasi serebral minimal
dan karenanya anestesi inhalasi dapat digunakan dalam konsentrasi rendah pada
pasien dengan cedera otak traumatis. Nitrous oxide harus dihindari karena
meningkatkan CMRO2 dan menyebabkan vasodilatasi serebral dan peningkatan
tekanan intrakranial.26

F. Operasi serebrovaskular oklusif


Menurut hasil survei praktik anestesi dan sedasi selama terapi
endovaskular untuk stroke iskemik akut, jenis anestesi yang paling sering dipilih
oleh ahli neurointervensi adalah general anesthesia (GA). Dalam studi retrospektif
yang melibatkan 980 pasien dari 12 pusat stroke, 44% pasien menerima GA
selama intervensi stroke endovaskular. Satu studi melaporkan insiden 2,7%
konversi dari sedasi ke GA karena agitasi/emesis dan perubahan tingkat
kesadaran. Pasien yang menerima GA telah dilaporkan memiliki mortalitas yang
lebih tinggi daripada mereka yang menerima sedasi. Hasil neurologis lebih

28
mungkin baik pada pasien yang tidak menerima GA. Pasien yang tidak menerima
sedasi atau sedasi ringan memiliki tingkat keberhasilan reperfusi angiografi yang
lebih tinggi dibandingkan mereka yang menerima GA.27
Risiko pneumonia dan/atau sepsis telah dilaporkan lebih tinggi pada
pasien yang menerima sedasi berat atau GA. Tekanan darah cenderung lebih
rendah pada pasien yang menerima GA dibandingkan dengan mereka yang
menerima anestesi lokal. Penggunaan berbagai agen anestesi/analgesik termasuk
ketamin, propofol, fentanyl, midazolam, dan dexmedetomidine telah dilaporkan
meskipun tanpa banyak detail. Pilihan agen anestesi harus didasarkan pada
kondisi pasien, sifat farmakodinamik dan farmakokinetik obat, potensi efek
samping, dan biaya. Penggunaan anestesi lokal dikaitkan dengan kematian yang
lebih rendah dan hasil neurologis yang lebih baik dibandingkan dengan GA.
Namun, literatur yang ada dibatasi oleh bias seleksi dan kualitas data yang ada
tidak cukup untuk mempengaruhi praktik klinis. Anestesi lokal dengan sedasi
menawarkan keuntungan memungkinkan pemantauan neurologis selama prosedur
dan tidak menunda intervensi karena induksi anestesi tetapi dapat mengekspos
pasien pada risiko aspirasi, depresi pernapasan, gerakan yang tidak diinginkan dan
kemungkinan peningkatan durasi prosedur. GA menawarkan keuntungan dari
kontrol jalan napas dengan menghindari aspirasi intraprosedur, imobilitas pasien,
dan mungkin mengurangi durasi prosedur, tetapi dapat mengekspos pasien pada
risiko fluktuasi tekanan darah, membatasi pemantauan neurologis selama
intervensi, dan membutuhkan penyedia anestesi yang berkualitas; GA juga dapat
dikaitkan dengan pneumonia dan sepsis.27

G. Malformasi arteri
Target utama saat induksi anestesi adalah induksi yang mulus dan
menghindari terjadinya lonjakan hemodinamik yang berlebihan. Risiko pecahnya
arteriovenous malformation (AVM) pada saat induksi umumnya sedikit. Namun
harus diingat bahwa sebagian pasien dengan AVM juga dapat memiliki aneurisma
intrakranial sehingga harus dicegah terjadinya lonjakan kardiovaskular pada saat
induksi. Rentang hemodinamik dipertahankan sama dengan kondisi pasien

29
sebelum operasi. Dosis opioid yang cukup untuk mencegah respon kardiovaskular
yang berlebihan pada saat laringoskopi dan intubasi. Digunakan fentanyl misalnya
dengan dosis 3–7 mcg/kgBB dan lidokain 1–1,5 mg/kgBB. Obat golongan
penghambat beta (esmolol) juga dapat digunakan untuk mencegah terjadinya
lonjakan kardiovaskular. Pilihan regimen anestesi yang digunakan akan
mempengaruhi keberhasilan operasi. Rumatan anestesi dapat menggunakan teknik
inhalasi. Obat-obatan yang digunakan harus yang bersifat stabil terhadap fungsi
kardiovaskuler dan pulih sadar anestesi yang cepat. Dengan proses pulih sadar
yang cepat maka dapat segera dilakukan pemeriksaan neurologis. Kebanyakan
obat anestesi intravena akan menurunkan tingkat metabolisme otak. Penurunan ini
disertai dengan peningkatan resistensi pembuluh darah dan penurunan aliran
darah otak. Sebaliknya kebanyakan anestesi inhalasi akan meningkatkanaliran
darah otak (efek vasodilator) dan menurunkan tingkat metabolisme otak.28
Peningkatan aliran darah otak akan dapat menyebabkan kenaikan tekanan
intrakranial. Terdapat beberapa komplikasi pada masa perioperatif yang harus
dihindari dan wajib dicegah. Perdarahan intrakranial dapat terjadi sebelum
dilakukan terapi definitif AVM pada unsecured vascular malformation. Stroke
iskemik dapat terjadi apabila timbul gangguan perfusi otak intraoperatif.
Komplikasi ini baru dapat disingkirkan apabila pasien sudah tidak dalam
pengaruh obat-obatan anestesi dan dapat dilakukan pemeriksaan neurologis.
Perburukan dapat terjadi akibat kenaikan dan penurunan cepat tekanan
intrakranial. Keadaan ini dapat terjadi karena ketidakstabilan hemodinamik
kardiovaskular yang terlalu cepat (turun-naik tekanan darah).28

H. Prosedur neuroradiologis intervensi


Obat anestesi yang paling sering digunakan selama prosedur radiologi
intervensi di Amerika Serikat adalah midazolam (92%), morfin (42%), dan
diazepam (33%). Mereka melaporkan frekuensi midazolam di Eropa (58%),
diazepam (45%), fentanil (33%), dan morfin (20%). Ada beberapa publikasi yang
melaporkan preferensi sedasi-analgesia pada kelompok pasien yang sama.
Menurut laporan tertulis Amerika dan Eropa, perbedaan dalam pilihan media

30
anestesi mungkin terkait dengan pengalaman departemen radiologi dan anestesi
kami, perlunya menghindari gerakan pasien selama intervensi, dan preferensi
pribadi dokter. Mason dkk. membahas situasi ini dalam laporan mereka dan
menurut protokol umum antara departemen radiologi dan anestesiologi di Rumah
Sakit Anak Boston, mereka membentuk protokol sedasi-analgesia untuk diikuti
oleh dokter dan perawat di departemen radiologi. Mereka menggunakan
glikopirolat, ketamin dan midazolam dalam berbagai kombinasi dalam protokol
ini. Meskipun protokol ini efektif dan aman, protokol ini menekankan perlunya
tim anestesi untuk siap menghadapi potensi risiko henti napas atau komplikasi
lain.29
Missant dan Velde telah melaporkan bahwa prosedur anestesi yang
dilakukan di luar ruang operasi dapat meningkatkan morbiditas dan komplikasi
karena sulitnya menjangkau pasien selama keadaan darurat, bekerja di area yang
kecil, pemantauan yang tidak memadai, dan kurangnya kerjasama antar tim kerja..
Martin dan Lennox juga telah melaporkan bahwa pemantauan yang memadai
dapat mengurangi komplikasi yang terkait dengan prosedur radiologi intervensi.
Kesimpulannya, jenis pemberian anestesi yang digunakan dalam prosedur
radiologi intervensi ditentukan oleh kondisi fisik ruang operasi bersama dengan
pengalaman tim radiologi-anestesi. Ketika membius pasien ini, pemantauan yang
tepat harus digunakan dan kondisi untuk kemungkinan intervensi mendesak dan
perawatan intensif diamati karena kemungkinan komplikasi seperti perdarahan,
oklusi vaskular, atau reaksi anafilaksis. Selain itu, melakukan radiologi intervensi
dengan tim anestesi permanen di departemen radiologi mungkin terbukti sangat
berharga.29

I. Operasi tulang belakang


Anestesi spinal, epidural atau umum telah dilakukan untuk operasi tulang
belakang. McLain et al1 dalam studi case control pada 400 pasien yang menjalani
anestesi spinal atau anestesi umum untuk melakukan dekompresi lumbal,
menunjukkan bahwa spinal anesthesia (SA) sama efektifnya dengan general
anesthesia (GA). Mereka menyimpulkan bahwa SA menyebabkan durasi anestesi

31
yang lebih pendek, penurunan kejadian mual dan kebutuhan analgesik, dan
disertai dengan efek samping yang lebih sedikit. Temuan penelitian McLain dkk
berbeda dengan penelitian Sadrolsadat dkk yang menunjukkan SA tidak memiliki
keunggulan dibandingkan GA. Seperti yang ditunjukkan oleh penelitian
sebelumnya, SA mengurangi kehilangan darah untuk operasi ortopedi dan
vaskular ekstremitas bawah dibandingkan dengan GA. Operasi tulang belakang di
bawah anestesi epidural dikaitkan dengan penurunan kehilangan darah
dibandingkan dengan anestesi umum. SA mungkin menurunkan kehilangan darah
melalui dua mekanisme. Salah satu mekanismenya adalah vasodilatasi dan
hipotensi yang disebabkan oleh blok simpatis. Pasien di bawah SA memiliki
ventilasi spontan yang menyebabkan tekanan intratoraks lebih rendah dan
akibatnya lebih sedikit distensi vena epidural. Beberapa komplikasi anestesi ini
sebagai berikut:30
a. Hipotensi
Hipotensi adalah komplikasi anestesi spinal yang tak terhindarkan yang
terjadi ketika rantai simpatis tersumbat, terutama ketika diperlukan tingkat
dermatom yang lebih tinggi. Penurunan tekanan darah dapat memicu mual
dan muntah, menunjukkan iskemia pada sumsum tulang belakang, yang pada
gilirannya menyebabkan kondisi yang tidak diinginkan untuk pasien dan staf
operasi.30
b. Hipotermia
Penurunan suhu tubuh biasanya ditemui setelah anestesi neuraksial.
Pemberian anestesi lokal subarachnoid memblok semua aferen suhu kulit
sehingga pasien tidak dapat melepaskan penurunan suhu inti. Vasodilatasi
karena blok simpatis meningkatkan aliran darah kulit, yang memungkinkan
untuk menurunkan suhu inti tubuh dengan cara yang dapat diandalkan.
Penurunan suhu inti dapat memicu menggigil, terutama selama periode pasca
operasi, yang meningkatkan konsumsi oksigen. Hipotermia diketahui
menyebabkan hiperkoagulasi dan infeksi. Perhatian khusus harus diberikan
untuk mengurangi stres fisiologis ini, terutama pada pediatrik, obstetrik, dan

32
pasien lanjut usia, karena dapat menyebabkan konsekuensi serius, termasuk
perfusi yang rendah ke organ vital, iskemia koroner, dan infeksi.30
c. Post-Dural-Puncture Headache (PDPH)
PDPH adalah komplikasi yang menyusahkan, sebagian besar diamati pada
wanita paruh baya dan populasi obstetri. Indeks massa tubuh yang lebih
rendah, PDPH sebelumnya dan adanya sakit kepala kronis merupakan faktor
risiko lainnya. Sakit kepala jarang terjadi pada populasi anak-anak, terutama
pada neonatus, tetapi beberapa dokter percaya bahwa ini mungkin karena
ketidakmampuan untuk mengkomunikasikan rasa sakit pada anak usia dini.
PDPH juga menurun seiring bertambahnya usia, yang mungkin terkait dengan
perubahan komposisi konten otak, yang meningkatkan cairan serebrospinal
yang dapat mengkompensasi dan mencegah terjadinya.30
d. Gejala Neurologis Transien
Gejala radikuler, termasuk nyeri, sensasi terbakar pada bokong, disestesia
dan parestesia dapat diamati setelah anestesi spinal. Gejala-gejala ini umumnya
mereda dalam waktu dua hari. Tetapi gambaran klinis ini mengkhawatirkan
untuk kemungkinan konsekuensi serius. Tidak ada gambaran gejala ini pada
radiografi, CT atau MRI. Operasi rawat jalan, posisi litotomi, jenis anestesi
lokal yang digunakan, serta konsentrasi dekstrosa dan osmolaritas telah
disebutkan sebagai faktor yang berkontribusi untuk gejala neurologis
sementara. Penggunaan lidokain spinal merupakan salah satu faktor yang dapat
meningkatkan kejadian gejala neurologis sementara, terutama bila beberapa
faktor digabungkan. Peningkatan konsentrasi anestesi lokal dengan pooling dan
maldistribusi juga dapat meningkatkan kejadian komplikasi ini. Dalam ulasan
oleh Zaric et al., penulis menunjukkan bahwa risiko relatif sekitar tujuh sampai
delapan kali lipat lebih rendah dengan anestesi lokal lainnya seperti
bupivacaine, mepivacaine, dan prilocaine.30
e. Retensi Urin
Distensi kandung kemih selama periode pasca operasi menghasilkan
ketidaknyamanan bagi pasien dan kecuali lega, menyebabkan komplikasi
yang lebih parah, termasuk cedera permanen pada otot detrusor. Anestesi

33
spinal mempengaruhi buang air kecil dengan memblokir semua serabut saraf
aferen, membuat pasien tidak dapat merasakan distensi kandung kemih atau
urgensi kemih. Kateterisasi kandung kemih tidak berbahaya; itu membawa
risiko trauma uretra dan komplikasi yang lebih parah, termasuk infeksi dan
penyebaran hematologis yang dapat mencapai lokasi bedah. Studi urodinamik
menunjukkan bahwa fungsi otot detrusor kembali normal setelah sekitar 100
menit lebih lama dari tingkat regresi sensorial dari tingkat S2 ke S3. Telah
dibuktikan bahwa buang air kecil spontan dapat dipengaruhi oleh anestesi
lokal intratekal; agen long-acting membutuhkan waktu lebih lama untuk pulih
dari fungsi kemih.30
f. Komplikasi Hematologi
Hematoma tulang belakang setelah anestesi spinal adalah komplikasi
parah yang memerlukan intervensi bedah dini untuk mencegah kerusakan
neurologis permanen. Secara klasik, kejadian kondisi ini telah diterima
sebagai 1 dari 220.000 pasien yang menjalani anestesi spinal, tetapi kejadian
sebenarnya tetap tidak diketahui dan diperkirakan meningkat. Usia lanjut,
jenis kelamin perempuan, pasien yang menerima obat yang mempengaruhi
koagulasi, kesulitan dalam melakukan blok dan penempatan kateter epidural
disebut sebagai faktor risiko. Sebuah studi yang menyelidiki komplikasi
neurologis setelah blok neuraksial, dilakukan di Swedia selama sepuluh tahun,
menunjukkan peningkatan insiden pada pasien wanita yang menjalani operasi
patah tulang pinggul – 1 dari 22.000 dibandingkan dengan 1 dari 480.000
ketika semua pasien dilibatkan. Hematoma lebih sering ditemui dengan
anestesi epidural atau penempatan kateter, karena peningkatan vaskularisasi
ruang epidural. Kehadiran hematoma sering dicurigai dalam kasus
peningkatan tak terduga dalam durasi blok motorik atau keterlambatan
pemulihan. Bedah saraf dalam waktu delapan jam setelah hematoma epidural
adalah wajib untuk mendapatkan kembali fungsi motorik tanpa kerusakan
neurologis. Jika kerusakan neurologis dicurigai, studi pencitraan, termasuk
computed tomography atau sebaiknya MRI, harus dilaksanakan sedini
mungkin. Sayangnya, hasil neurologis buruk untuk sebagian besar pasien,

34
bahkan ketika operasi dilakukan dalam waktu delapan jam. Kateter tulang
belakang harus dianggap sebagai kateter epidural, yang penempatan atau
pelepasannya memerlukan kepatuhan yang ketat terhadap pedoman penarikan
untuk menghindari efek pada terapi antikoagulasi.30
g. Infeksi
Meskipun meningitis bakteri setelah anestesi neuraksial adalah komplikasi
yang jarang terjadi, dalam kasus di mana hal itu terjadi dapat mengakibatkan
kerusakan parah, termasuk cacat neurologis permanen dan kematian. Adanya
demam dan gangguan neurologis dapat membedakan dari PDPH. Abses
epidural umumnya disebabkan oleh flora kulit; bakteri yang paling sering
terlibat adalah S. aureus. Oleh karena itu bijaksana untuk memulai pengobatan
dengan penisilin sintetik, bahkan tanpa adanya kultur positif. Penyebab infeksi
lain yang kurang umum adalah streptokokus aerob dan anaerob, dan basil
gram negatif anaerob. Insiden meningitis bervariasi antara 1 dari 50.000 dan
sebagian besar terjadi sebagai akibat dari patogen di udara. Mekanisme pasti
bagaimana mikroorganisme mencapai sumsum tulang belakang masih
kontroversial. Ini mungkin terjadi selama persiapan atau melakukan blok,
dengan tetesan dari tenaga medis adalah sumber utama. Infeksi lebih mungkin
terjadi pada streptokokus di sebagian besar kasus, menekankan perlunya
kepatuhan yang ketat terhadap tindakan pencegahan saat melakukan anestesi
spinal.30
h. Komplikasi Neurologis
Sebuah tinjauan oleh Brull et al., yang mencakup serangkaian besar
komplikasi neurologis, melaporkan bahwa insiden cedera neurologis permanen
setelah anestesi spinal bervariasi antara 0 sampai 4.2 per 10.000 pasien. Dalam
survei Perancis, cedera neurologis permanen selain yang disebabkan oleh
perdarahan lebih umum dan termasuk cedera pada conus medullaris, dan risiko
yang diperkirakan dihitung sebagai 1:78 660 pasien anestesi spinal; insiden
hampir setengah jumlah pada pasien kebidanan dibandingkan dengan populasi
non-kebidanan. Patologi atau penyakit tulang belakang yang sudah ada
sebelumnya meningkatkan insiden komplikasi neurologis pasca operasi setelah

35
blokade neuraksial. Upaya berulang atau posisi pasien yang tidak tepat dapat
memfasilitasi cedera neurologis. Stenosis kanal lumbal merupakan faktor lain
yang berkontribusi untuk hasil neurologis yang merugikan. Adanya skoliosis
dengan atau tanpa pembedahan sebelumnya merupakan kesulitan untuk
melakukan anestesi neuraksial. Jika dibandingkan dengan blok spinal, tingkat
keberhasilan lebih rendah dengan anestesi epidural, karena kesulitan teknis dan
distribusi anestesi lokal yang tidak tepat. Meskipun mekanisme yang tepat
tidak ditentukan, tekanan hidrostatik yang dilakukan selama blok epidural
diindikasikan sebagai kemungkinan sumber cedera. Di sisi lain, trauma jarum
langsung tampaknya menjadi salah satu alasan yang dapat dicegah untuk
komplikasi neurologis. Yang terbaik adalah menarik jarum dalam kasus
parestesia, yang sangat terkait dengan radikulopati pasca operasi dan injeksi
anestesi lokal berulang harus dihindari untuk mencegah konsentrasi toksik di
sumsum tulang belakang.30
i. Penyakit Neurologis
Pasien dengan penyakit neurologis yang sudah ada sebelumnya seperti
multiple sclerosis, amyotrophic lateral sclerosis, atau kondisi pasca-
poliomielitis sebelumnya telah dianggap sebagai kontraindikasi relatif untuk
anestesi neuraksial. Sebuah fenomena naksir ganda dijelaskan untuk
menjelaskan kemunduran penyakit neurologis dalam kasus neuron yang rentan.
Dipercaya bahwa trauma mekanis yang disebabkan oleh jarum atau kateter,
toksisitas yang disebabkan oleh anestesi lokal atau iskemia saraf karena zat
aditif dapat memperburuk status neurologis pasien. Peningkatan stres dapat
menyebabkan peradangan memperburuk perjalanan klinis, yang mungkin
membingungkan dengan cedera saraf karena prosedur.30
j. Henti Jantung dan Kematian Perioperatif
Bradikardia dan henti jantung adalah komplikasi yang paling
mengkhawatirkan terkait anestesi spinal. Insiden kondisi ini telah diamati lebih
tinggi dengan blok tulang belakang dibandingkan dengan anestesi umum.
Pengaruh serat kardio-akselerator yang berasal antara T1 hingga T4
memainkan peran penting dalam menjaga tekanan darah dan detak jantung

36
sesuai dengan tingkat anestesi yang diinduksi oleh blok tulang belakang,
deplesi volume vaskular atau penggantian cairan yang tidak mencukupi, dan
adanya sedasi dalam sangat penting. dianggap sebagai faktor risiko bradikardia
dan henti jantung. Tingkat kelangsungan hidup lebih tinggi pada pasien dengan
henti jantung yang diamati selama anestesi spinal dibandingkan dengan kasus
yang menggunakan anestesi umum. Sebuah studi oleh Chatzmichali dkk
menunjukkan bahwa penilaian variabilitas denyut jantung pada periode pra
operasi dapat membantu untuk menentukan bradikardia parah perioperatif.30
k. Komplikasi Miscellaneous
Mioklonus jarang terjadi sebagai komplikasi anestesi spinal pada periode
pascaoperasi. Ini biasanya dapat diamati dengan adanya penyakit sistemik,
penggunaan obat-obatan atau dengan defisiensi vitamin B yang sudah ada
sebelumnya. Meskipun mekanisme yang mendasari mioklonus dalam hal ini
tidak jelas, kemungkinan neuropati subklinis telah disebutkan. Pengobatan
jangka panjang, termasuk neuroleptik dan benzodiazepin, mungkin diperlukan
untuk meredakan gejala mioklonus.30

37
VII. PENUTUP
Pemantauan pasien pasca bedah pada pasien di PACU merupakan suatu
perawatan yang esensial dalam praktek rumah sakit. Dimana kondisi pasien pasca bedah
biasanya belum stabil sempurna dan memerlukan pemantauan yang ketat dan intensif
untuk mencegah komplikasi-komplikasi yang tidak diinginkan serta memberikan hasil
akhir yang optimal sehingga meningkatkan kualitas hidup pasien. Dalam pelaksanaan
pemantauan pasien di PACU, dapat timbul komplikasi yang tentunya dapat
mengakibatkan morbiditas hingga mortalitas pada pasien. Pada pasien pasca pembedahan
saraf, dimana merupakan suatu prosedur yang rumit dan menyangkut kondisi kendali
tubuh, komplikasi yang dapat terjadi dapat beragam. Dimulai dari gangguan
kardiovaskuler dan sirkulasi, gangguan respirasi, gangguan nyeri pasca operasi, gangguan
gastrointestinal, gangguan hemodinamik tubuh, serta gangguan lainnya. Sehingga dalam
pelaksanaan pemantauan pasien tersebut, harus dilakukan dengan koordinasi dan
kerjasama antar bagian professional. Apabila komplikasi-komplikasi tersebut sudah
terjadi, tatalaksana maupun tindakan koreksi sebaiknya dilakukan dengan tepat dan
tanggap untuk mencegah komplikasi lainnya yang lebih buruk.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Faraj JH, Vegesna ARR, Mudali IN, Khairay MA, Nissar S, Alfarhan M, et al. Survey and
management of anaesthesia related complications in PACU. Qatar Med J. 2013
Nov;2012(2):64–70.

2. Street M, Phillips NM, Kent B, Colgan S, Mohebbi M. Minimising post-operative risk


using a Post-Anaesthetic Care Tool (PACT): protocol for a prospective observational
study and cost-effectiveness analysis. BMJ Open. 2015 May;5(6):e007200.

3. Tarrac SE. A Description of Intraoperative and Postanesthesia Complication Rates. J


PeriAnesthesia Nurs. 2006 Apr;21(2):88–96.

4. Hines R, Barash PG, Watrous G, O’Connor T. Complications occurring in the


postanesthesia care unit: a survey. Anesth Analg. 1992 Apr;74(4):503–9.

5. Belcher AW, Leung S, Cohen B, Yang D, Mascha EJ, Turan A, et al. Incidence of
complications in the post-anesthesia care unit and associated healthcare utilization in
patients undergoing non-cardiac surgery requiring neuromuscular blockade 2005 – 2013 :
A single center study ☆. J Clin Anesth. 2017;43:33–8.

6. Kadry TM, Adnan A, Khamis A, Abdrabalnabi K, Ahmed M, Mohammed A, et al. Post


Anesthesia Care in Intensive Care Unit : A Review. 2021;33:253–61.

7. Sudadi, Sarosa P, Ferry H. Pengelolaan Pasien Di Post Anestesi Care Unit (Pacu). J
Komplikasi Anestesi. 2016;3(3):63–73.

8. Nicholau T. The post anesthesia care unit’, dalam Miller RD, Cohen NH, Eriksson LI,
Fleisher LA, Weiner-Kronich JP dan Young WL (eds.), Miller’s Anesthesia. 8th ed.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2015. 2924–2945 p.

9. Luo J, Min S. Postoperative pain management in the postanesthesia care unit: An update. J
Pain Res. 2017;10:2687–98.

10. Gaus S. Pascaoperasi Bedah Saraf: Kapan Ekstubasi, Kapan Ventilasi? J Neuroanestesi
Indones. 2013;2(2):124–34.

39
11. Butterworth J, Mackey D, Wasnick J. Morgan & Mikhail Clinical Anesthesiology. 5th ed.
New York: McGraw Hill Education; 2013. 1257–1275 p.

12. RK RS, Rathmell J, Flood P, Shafer S. Stoeting’s Handbook of Pharmacology and


Physiology in Anesthetic Practice,. 3rd ed. Philadelphia: Wolters Kluwer Health; 2015.
2924–2945 p.

13. Rahman DRBA. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Buku ajar ilmu penyakit
dalam jilid I. 2010;5.

14. Laksono BH, Oetoro BJ. Gangguan Natrium pada Pasien Bedah Saraf Sodium
Disturbance in Neurosurgical Patient. J Neuroanestesi Indones. 2014;3(1):48–57.

15. Gopalakrishnan MS, Shanbhag NC, Shukla DP, Konar SK, Bhat DI, Devi BI.
Complications of Decompressive Craniectomy [Internet]. Vol. 9, Frontiers in Neurology
. 2018. p. 977. Available from:
https://www.frontiersin.org/article/10.3389/fneur.2018.00977

16. Yoder J, Athiraman U, Tempelhoff R. Hemodynamic Complications After Neurosurgery.


In: Brambrink AM, Kirsch JR, editors. Essentials of Neurosurgical Anesthesia {\&}
Critical Care: Strategies for Prevention, Early Detection, and Successful Management of
Perioperative Complications [Internet]. Cham: Springer International Publishing; 2020. p.
507–13. Available from: https://doi.org/10.1007/978-3-030-17410-1_78

17. Ito K, Suzuki T. Anesthesia for Supratentorial Tumor Surgery. Neuroanesthesia


Cerebrospinal Prot. 2015 Aug;357–70.

18. Karcz M, Papadakos PJ. Respiratory complications in the postanesthesia care unit: A
review of pathophysiological mechanisms. Can J Respir Ther CJRT = Rev Can la
Thérapie Respir RCTR. 2013;49(4):21.

19. Dabdoub CB, Salas G, Silveira E do N, Dabdoub CF. Review of the management of
pneumocephalus. Surg Neurol Int. 2015;6(1):155.

20. Fisicaro MD, Shah A, Audu P. Supratentorial Masses: Anesthetic Considerations.


Anesthesiol A Pract Approach. 2018 Jun;547–54.

40
21. Renindra Ananda Aman SpBS D. DIAGNOSIS DAN MANAJEMEN TUMOR
HIPOFISIS. Med 3. 2019;32(2):2–6.

22. Transsphenoidal Surgery For Pituitary Adenomas; A Patient Guide - MGH


Neuroendocrine and Pituitary Tumor Clinical Center - Massachusetts General Hospital -
Harvard Medical School (HMS).

23. Beatriz Y, Díez M. Clinics in Surgery Anesthetic Management for Resection of TSH-
Secretory Pituitary Adenoma: A Case Report OPEN ACCESS Citation: Molero Díez YB,
Álvarez AD, Dux RS. Anesthetic Management for Resection of TSH-Secretory Pituitary
Adenoma: A Case Report. Clin Surg. 2020;5:2977.

24. Veenith T, Absalom AR. Anaesthetic management of posterior fossa surgery. Core Top
Neuroanaesth Neurointensive Care. 2011 Jan;237–45.

25. Sharma D. Perioperative Management of Aneurysmal Subarachnoid Hemorrhage.


Anesthesiology. 2020;133(6):1283–305.

26. Sharma D, Vavilala MS. Perioperative management of adult traumatic brain injury.
Anesthesiol Clin. 2012 Jun;30(2):333–46.

27. Talke PO, Sharma D, Heyer EJ, Bergese SD, Blackham KA, Stevens RD. Republished:
Society for Neuroscience in Anesthesiology and Critical Care expert consensus statement:
Anesthetic management of endovascular treatment for acute ischemic stroke. Stroke.
2014;45(8).

28. Permatasari E, Oetoro B, Gaus S. Talaksana Perioperatif Pasien dengan Reseksi


Arteriovenous Malformation Intrakranial.

29. Derbent A, Oran I, Parildar M, Yurtseven T, Uyar M, Memis A. Adverse effects of


anesthesia in interventional radiology. Diagn Interv Radiol. 2005 Jul;11:109–12.

30. Apan A, Apan ÖC. Complications in Spinal Anaesthesia. Top Spinal Anaesth. 2014 Sep;

41

Anda mungkin juga menyukai