Anda di halaman 1dari 34

PANDUAN PELAYANAN SEDASI

RUMAH SAKIT BUDI KEMULIAAN BATAM

JL. BUDI KEMULIAAN NO.1 SERAYA BATAM


PANDUAN PELAYANAN SEDASI
RUMAH SAKIT BUDI KEMULIAAN BATAM

Penyusun:

dr.Irdhon Husni SpAn.MKes.


dr.Sugeng Purnomo SpAn.

SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


RUMAH SAKIT BUDI KEMULIAAN BATAM
2016

2
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga Panduan Pelayanan Sedasi RS Budi Kemuliaan Batam
telah berhasil kami susun. Panduan ini disusun Tim dari Departemen/Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif dan diharapkan dapat menjadi dasar dalam
membuat Standar Prosedur Operasional pelayanan sedasi.
Seiring dengan perkembangan waktu dan semakin dengan meningkatnya
kesadaran masyarakat akan kesehatan, maka profesi seorang dokter dituntut untuk
dapat memberikan pelayanan kesehatan yang prima. Hal ini sesuai dengan visi RS
Budi Kemuliaan Batam.
Kami ucapkan banyak terima kasih pada pihak-pihak yang telah membantu
dalam penyusunan Panduan Pelayanan Sedasi ini. Kritik dan saran demi perbaikan
Panduan ini sangat kami harapkan.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Mengetahui,
Direktur RS Budi Kemuliaan Batam Ka.SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif

drg. M. Arsjad Effendy, MM dr. Sugeng Purnomo , SpAn


NIK. P.2016.04.08061953.1496 NIK. 2004.10.05071966.0641

3
DAFTAR ISI

TIM PENYUSU i
KATA PENGANTAR............................................................................................ ii
DAFTAR ISI......................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL.................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1
BAB II RUANG LINGKUP.................................................................................... 3
2.1. Definisi.................................................................................................. 3
2.2. Skala Sedasi......................................................................................... 4
2.3. Persiapan .............................................................................................. 5
2.4. Monitoring.............................................................................................. 7
BAB III FARMAKOLOGI OBAT SEDATIF-HIPNOTIK....................................... 11
3.1. Agen Inhalasi............................................................................................... 11
3.2. Agen Non Volatil.......................................................................................... 12
3.2.1. Benzodiazepin......................................................................................... 12
3.2.2. Opioid...................................................................................................... 14
3.2.3. Ketamin.................................................................................................... 15
3.2.4. Propofol.................................................................................................... 16
3.2.5. Dexmedetomidin....................................................................................... 16
3.2.6. Kloral hidrat............................................................................................... 17
BAB IV DOKUMENTASI.................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 26

4
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Perubahan Fisiologis Tubuh Terhadap Kedalaman Sedasi................. 4


Tabel 2. Skala Sedasi Ramsay........................................................................... 5
Tabel 3. Prosedur Penilaian Jalan Nafas Untuk Sedasi..................................... 5
Tabel 4. Persiapan Puasa................................................................................... 6
Tabel 5. Peralatan Emergensi Untuk Sedasi...................................................... 7
Tabel 6. Kriteria Pemulihan dan Pengeluaran Setelah Sedasi........................... 8
Tabel 7. Aldrete Score......................................................................................... 8
Tabel 8. PADSS................................................................................................... 10
Tabel 9. Farmakologi Anestetik Inhalasi............................................................. 12
Tabel.10 Benzodiazepin Intravena...................................................................... 13
Tabel 11. Propofol dan Dexmedetomidin............................................................ 17
Tabel 12. Agen Sedatif-Hipnotik........................................................................ 18

5
BAB I
PENDAHULUAN

Saat ini, keamanan dan kenyamanan pasien menjadi salah satu


prioritas utama pelayanan kesehatan di Rumah Sakit. Semakin
berkembangnya prosedur diagnostik dan intervensi menyebabkan
diperlukannya suatu pelayanan sedasi, terutama untuk pasien yang tidak
kooperatif atau pediatri. Keberhasilan dari pelayanan sedasi adalah
pasien merasa nyaman, tanpa rasa sakit, dan aman.Pelayanan sedasi
adalah pelayanan yang diberikan oleh dokter spesialis anestesiologi dan
terapi intensif atau dokter lain yang mempunyai kompetensi berupa
tindakan memberikan obat-obatan golongan sedatif-hipnotik dengan
tujuan untuk membuat pasien dalam kondisi turun kesadaran sampai
suatu kedalaman tertentu.
Pemilihan atau target sedasi tergantung dari jenis prosedur yang
akan dilakukan. AmericanSociety of Anesthesiologist (ASA)
mengklasifikasikan sedasi menjadi 4 tingkat, yaitu sedasi minimal
(anxiolysis), sedasi moderat (conscious sedation), sedasi dalam, dan
anestesi. Saat ini terdapat banyak skala sedasi yang dibuat oleh beberapa
institusi. Skala sedasi tersebut diantaranya MSAT (Minnesota Sedation
Assessment Tool), SAS (Sedation Agitation Scale), MAAS (Motor Activity
Assessment Scale) UMSS (Univesity of Michigan Sedation Scale), ATICE
(Adaptation to Intensive Care Environment), VICS (Vancouver Interactive
and Calmness Scale), RSS (Ramsay Sedation Scale) dan RASS
(Richmond Agitation Sedation Scale). Skala Ramsay sering dipakai di
rumah sakit sebagai suatu standar sedasi.
Dengan diperkenalkannya obat-obatan sedatif-hipnotik, opioid, dan
antidotumnya,serta ketersediaan peralatan pemantauan intensif, maka
pelayanan sedasi sekarang dapat diberikan dengan amandalam
pelayanan kesehatan.

1
Pelayanan sedasi merupakan suatu proses berkelanjutan karena
respon pasien terhadap obat-obat sedatif-hipnotik yang diberikan tidak
sama dan tidak bisa diperkirakan. Dalam pelaksanaannya prosedur sedasi
memerlukan berbagai persiapan. Persiapan ini dimulai dari persiapan
pasien, pemilihan obat-obatan yang akan dipakai, sampai monitoring
selama dan setelah tindakan sedasi, agar dapat mencegah atau
meminimalisir terjadinya komplikasi.
Tujuan untuk dibuat pedoman sedasi pada pelayanan Rumah Sakit
adalah keselamatan pasien, meminimalkan rasa sakit dan kecemasan
terkait dengan prosedur, meminimalkan gerakan pasien selama prosedur,
memaksimalkan kemungkinan keberhasilan dari prosedur, dan pasien
dapat kembali sadar setelah prosedur selesai.

2
BAB II
RUANG LINGKUP

2.1. Definisi
Pengertian sedasi adalah penurunan kesadaran dimana terjadi
penurunan kecemasan, stres, iritabilitas, atau rangsangan yang
disebabkan oleh pemberian obat-obatan sedatif.
Menurut American Society of Anesthesiologist (ASA), sedasi dibagi
menjadi 4 tingkat, yaitu:
1. Sedasi minimal (anxiolysis): pasien respon normal terhadap
perintah verbal. Pasien tidak mengalami gangguan pada sistem
respirasi dan kardiovaskuler, sedangkan fungsi kognitif dan
koordinasi dapat terganggu.
2. Sedasi moderat (conscious sedation): pasien memberikan respon
yang bertujuan, terhadap perintah verbal atau stimulasi taktil
ringan. Fungsi kardiovaskuler tidak terganggu. Biasanya tidak
diperlukan intervensi untuk menjaga patensi jalan nafas.
Pernafasan spontan adekuat. Keadaan ini merupakan tingkat
sedasi yang paling sering dipakai untuk berbagai prosedur sedasi.
3. Sedasi dalam: pasien tidak mudah untuk dibangunkan, tetapi
memberikan respon yang bertujuan terhadap stimulasi berulang
atau nyeri. Fungsi kardiovaskuler terjaga. Kemampuan untuk
menjaga fungsi ventilasi dapat terganggu. Ventilasi spontan dapat
inadekuat. Pasien memerlukan bantuan untuk menjaga patensi
jalan nafas.
4. Anestesi: merupakan anestesi umum, dimana terjadi penumpulan
atau eliminasi refleks protektif jalan nafas. Pasien tidak dapat
dibangunkan, bahkan dengan stimulasi nyeri. Pasien memerlukan
bantuan untuk menjaga patensi jalan nafas. Tekanan positif
mungkin diperlukan karena terjadi depresi ventilasi spontan. Fungsi
kardiovaskuler dapat tergangg
Tabel 1. Perubahan Fisiologis Tubuh Terhadap Kedalaman Sedasi

3
Sedasi Sedasi Sedasi Anestesi
minimal moderat dalam
(ansiolisis)
Tingkat Respon Memberikan Respon Tidak dapat
responsivita normal respon bertujuan dibangunka
s hingga bertujuan setelah n, bahkan
stimulasi terhadap stimulasi dengan
verbal stimulasi berulang stimulasinye
verbal atau atau nyeri ri
taktil
Jalan nafas Tidak Tidak Mungkin Memerlukan
terpengaruh memerlukan memerlukan intervensi
i intervensi intervensi
Ventilasi Tidak adekuat Mungkin inadekuat
spontan terpengaruh inadekuat
i
Fungsi Tidak Tidak Biasanya Dapat
kardiovaskul terpengaruh tepengaruhi dapat terganggu
er i dipertahank
an
Sumber:Practice Guidelines for sedation and analgesia by Non-
anesthesiologists; 2002.

Prosedur sedasisedang dan dalam di luar kamar operasi diantaranya:


1. Prosedur radiologis, misalnya CT Scan; yang biasanya pada pasien
yang kurang kooperatif.
2. Kateterisasi jantung, kardioversi.
3. Extracorporeal shock-wave lithotripsy(ESWL)
4. Endoskopi
5. Radiasi terapeutik
6. Beberapa prosedur pada pediatrik
7. Prosedur invasif di luar kamar operasi, diantaranya pemasangan
jalur vena sentral, trakeostomi perkutaneus, tube thoracotomy,
vena seksi, dan bronkoskopi.
8. Manajemen jalan nafas emergensi
2.2. Skala Sedasi
Skala sedasi yang sering dipakai adalah skala sedasi Ramsay.Pada
tahun 1974, Ramsay dkk mempublikasikan RSS, yang didesain untuk
menilai tingkat sedasi sacara subjektif pada uji klinis agen-agen

4
sedasi. Sampai saat ini, RSS sering dipakai di rumah sakit sebagai
suatu standar sedasi.

Tabel 2. Skala Sedasi Ramsay


Score Description
1 Anxious and agitated or restless, or both
2 Co-operative, oriented, and calm
3 responsive to commands only
4 exhibiting brisk response to light glabellar tap or loud
auditory stimulus
5 exhibiting a sluggish response to light glabellar tap or
loud auditory stimulus
6 unresponsive
Sumber:Evaluating and Monitoring Analgesia and Sedation in the
Intensive Care Unit; 2008

2.3. Persiapan
Dokter yang memberikan sedasi mengevaluasi aspek orientasi
sedasi meliputi riwayat medis pasien dan bagaimana hal-hal tersebut
mempengaruhi respon pasien terhadap pemberian sedasi. Hal ini
meliputi:
1. Kelainan system organ utama
2. Riwayat efek samping terhadap pemberian sedasi atau anestesi
regional dan epidural
3. Alergi obat, pengobatan yang saat ini dijalani, dan interaksi obat
4. Waktu dan jenis intake oral terakhir
5. Riwayat pemakaian tembakau, alkohol atau obat-obat terlarang

Pasien yang akan mendapatkan sedasi harus menjalani


pemeriksaan fisik seksama, meliputi tanda-tanda vital, auskultasi
jantung dan paru dan evaluasi jalan nafas. Pemeriksaan laboratorium
penunjang sesuai indikasi berdasarkan kondisi medis pasien dan
kemungkinan bahwa hasil ini akan mempengaruhi penatalaksanaan
sedasi.

Tabel 3. Prosedur Penilaian Jalan Nafas Untuk Sedasi


Ventilasi tekanan positif, dengan atau tanpa intubasi trakea,

5
mungkin diperlukan jika terjadi gangguan respirasi selama
sedasi. Hal ini mungkin sulit pada pasien anatomi jalan
nafas atipikial. Sebagai tambahan, beberapa kelainan jalan
nafas dapat meningkatkan kemungkinan obstruksi jalan
nafas selama ventilasi spontan.
Beberapa faktor yang berhubungan dengan kesulitan
penatalaksanaan jalan nafas meliputi:
Riwayat:
Masalah sebelumnya dengan anestesi atau sedasi
Stridor, snoring atau apnea saat tidur
Artritis rheumatoid lanjut
Kelainan kromosom
Pemeriksaan Fisik:
Habitus
Obesitas yang signifikan (terutama yang melibatkan leher
dan struktur wajah)
Kepala dan leher
Leher pendek, terbatasnya ekstensi leher, jarak hyoid-
mental yang pendek (<3 cm pada dewasa), masa leher,
penyakit spinal servikal atau trauma, deviasi trakea,
dismorfik wajah (missal: Sindrom Pierre-Robin)
Mulut
Buka kecil (<3 cm pada dewasa); edentulous; insisivus
menonjol; gigi longgar atau capped teeth; dental
appliances; palatum melengkung, tinggi; makroglossia;
hipertrofi tonsilar; uvula tidak terlihat.
Rahang
Micrognathia, retrognathia, trismus, maloklusi yang
signifikan
Sumber: Practice Guidelines for sedation and analgesia by Non-
anesthesiologists; 2002

Tabel 4. Persiapan Puasa

6
Jenis makanan Waktu minimum
puasa
Cairan jernih 2 jam
ASI 4 jam
Susu Formula 6 jam
Makanan ringan 6 jam
Sumber: Practice Guidelines for sedation and analgesia by Non-
anesthesiologists; 2002

Pemilihan obat sedasi disesuaikan dengan tingkat sedasi


yang ingin dicapai. Pada prosedur sedasi minimal dan moderat,
dapat dipakai golongan benzodiazepin atau opioid atau kombinasi
keduanya dengan dosis bertahap Selain itu, perlu disediakan
antidotumnya. Pada prosedur sedasi dalam dan anestesi, dapat
digunakan propofol atau ketamin.
2.4. Monitoring
Respon pasien terhadap perintah selama prosedur yang difasilitasi
sedasi bertindak sebagai panduan terhadap tingkat kesadarannya.
Skala sedasi dapat digunakan untuk memonitoring kedalaman sedasi
selama prosedur berlangsung. Peralatan emergensi harus selalu
tersedia karena respon masing-masing individu terhadap obat sedatif-
hipnotik berbeda. Dokter yang memberikan sedasi harus dapat
mengantisipasi bila pasien tersedasi lebih dalam dari pada yang
diharapkan.
ASA merekomendasikan sedasi dalam hanya boleh dilakukan oleh
dokter yang kompeten untuk melakukan anestesi umum, karena
kemungkinan pasien dapat masuk ke tingkat sedasi yang lebih dalam.

Tabel 5. Peralatan Emergensi Untuk Sedasi


Peralatan emergensi yang harus tersedia jika
tindakan sedasi mengakibatkan depresi
kardiorespirasi. Daftar berikut harus digunakan

7
sebagai panduan, yang dapat dimodifikasi
tergantung pada keadaan individu.
Peralatan intravena:
Sarung tangan
Tourniquet
Swap alcohol
Kateter intravena
Infus makro/mikro
Cairan intravena
Plester
Peralatan penatalaksana jalan nafas dasar:
Sumber oksigen (tabung/sentral)
Sumber suction
Kateter suction
Sungkup wajah
Ambu bag
Jalan nafas oral dan nasal
Lubricant/jelly
Peralatan penatalaksanaan jalan nafas
lanjut:
Laryngeal mask airway
Gagang laryngoskop
Blade laryngoskop (0-4)
Endotracheal tube (2,5.0/3-8.0)
Mandrin/stylet
Antagonis:
Naloxon
Pengobatan emergensi:
Epinefrin
Vasopresin
Atropin
Amiodaron

8
Lidokain
Glukosa40%
Difenhidramin
Metilprednisolon atau deksametason
Diazepam atau midazolam
Sumber: Practice Guidelines for sedation and analgesia by Non-
anesthesiologists; 2002

Kebutuhan alat-alat monitoring disesuaikan dengan tingkat


kedalaman sedasi yang dicapai.
1. Sedasi minimal: pulse oximetry
2. Sedasi moderat (conscious sedation): ECG, NIBP, pulse oxymetry.
3. Sedasi dalam: ECG, NIBP, pulse oxymetry, gas inhalasi (oksigen,
agen volatil), temperatur.
4. Anestesi: ECG, NIBP, pulse oxymetry, gas inhalasi (oksigen, agen
volatil), temperatur.

Setelah tindakan sedasi, pasien harus diobservasi oleh staf


(dokter/perawat) khusus. Pasien masih berisiko untuk mengalami
komplikasi setelah selesai prosedur. Berkurangnya stimulasi prosedur,
absorbsi dan eliminasi obat yang lambat dapat menyebabkan residu
sedasi dan depresi kardiorespirasi selama periode pemulihan.Kriteria
pengeluaran/dischargedidesain untuk meminimalkan depresi system
saraf pusat dan kardiorespirasi.

Tabel 6. Kriteria Pemulihan dan Pengeluaran Setelah Sedasi

9
Tiap-tiap fasilitas pelayanan pasien dimana
Sumber:
dilakukan pemberian sedasi harus menetapkan
Practice Guidelines
for kriteria pemulihan dan pemulangan yang cocok sedation
and analgesia
untuk pasien dan prosedur tertentu.
by Non-
Prinsip umum:
Supervisi medis pemulihandan pengeluaran setelah
sedasi moderat atau dalam merupakan tanggung
jawab praktisi yang melakukanan atau klinisi yang
berlisensi
Area pemulihan harus dilengkapi dengan, atau
memiliki akses langsung ke, monitoring yang tepat
dan perlatan resusitasi
Pasien yang mendapat sedasi moderat atau dalam
harus dimonitor hingga kriteria pengeluaran
terpenuhi.
anesthesiologists; 2002

Kriteria pemulangan pasien dari ruang pemulihan menggunakan Aldrete


Score.
Tabel 7. Aldrete Score

10
1. Activity
2 = able to move 4 extremities voluntary or on
command
1 = able to move 2 extremities
0 = unable to move extemities
2. Respiration
2 = Able to take deep breath and cough
1 = Dypnea/ shallow breath
0 = Apnea
3. Circulation
2 = BP + 20 mmHg of pre operative
1 = BP + 20-50 mmHg of pre operative
0 = BP + 50 mmHg of pre operative
4. Consciousness
2 = fully awake arousable on calling
1 = arousable on calling
0 = No responding
5. Colour
2 = Normal
1 = Pale or dusky
0 = Cyanotic
Score > 8 for discharge
Sumber: Clinical Anesthesia, 6th edition; 2009

Pemulangan pada pasien rawat jalan dapat menggunakan Post


Anesthetic Discharge Scoring System (PADSS).

Tabel 8. PADSS

11
1. Vital Signs
2 = BP + pulse within 20% preoperative baseline
1 = BP + pulse within 20% to 40% preoperative baseline
0 = BP + pulse >40% of preoperative baseline
2. Activity
2 = stedy gait, no dizziness or meets preoperative level
1 = require assistance
0 = unable to ambulate
3. Nausea and vomiting
2 = minimal/treated with PO medication
1 = moderate/treated with parenteral medication
0 = severe/continues despite treatment
4.Pain
Controlled with oral analgesics and acceptable to patient:
2 = yes
1 = no
5. Surgical bleeding
2 = minimal/no dressing changes
1 = moderate/up to two dessing changes required
0 = severe/more than three dressing changes required
Score > 9 for discharge
Sumber: Clinical Anesthesia, 6th edition; 2009

BAB III
FARMAKOLOGI OBAT SEDATIF-HIPNOTIK

3.1. Agen Inhalasi

12
Agen anestetik inhalasi diberikan bersamaan dengan oksigen
sehingga menghasilkan efek sedasi. Lima agen inhalasi yang masih
digunakan dalam anestesiologi klinis diantaranya nitro oxida, halotan,
isofluran, desfluran, dan sevofluran.
Tujuan pemberian anestetik inhalasi adalah untuk
menghasilkan keadaan anestetik dengan menghasilkan konsentrasi
spesifik molekul anestetik di sistem saraf pusat. Hal ini dapat dicapai
dengan memberikan tekanan parsial spesifik agen anestetik pada
paru-paru yang akhirnya mencapai keadaan kesetimbangan di otak.
Keadaan kesetimbangan dihasilkan dari 3 faktor:
1. Anestetik inhalasi adalah gas yang secara cepat ditransfer dua
arah melalui paru ke dan dari aliran darah dan seterusnya ke dan
dari jaringan SSP sampai terbentuk kesetimbangan tekanan
parsial.
2. Plasma dan jaringan memiliki kapasitas yang rendah untuk
menyerap anestetik inhalasi, sehingga dengan cepat terbentuk
konsentrasi anestetik di aliran darah dan SSP.
3. Metabolisme, ekskresi, dan redistribusi anestetik inhalasi relatif
minimal. Hal ini memudahkan pemeliharaan konsentrasi agen
anestetik di darah dan SSP.
Minimum alveolar consentration (MAC) anestetik inhalasi
adalah konsentrasi alveolar yang mencegah timbulnya gerakan pada
50% pasien terhadap stimulus standar (misalnya insisi pembedahan).
MAC bermanfaat karena menggambarkan tekanan parsial di otak,
dapat membandingkan potensi antar agen anestetik, dan memberikan
standar untuk evaluasi eksperimen.

Tabel 9. Farmakologi Anestetik Inhalasi


Nitro Halota Isoflura Desflura Sevoflura
oksida n n n n
MAC% 105 0,75 1,2 6,0 2,0

13
Kardiovaskular
Tekanan darah -
Laju nadi - -/ -
Systemic vascular - -
resistance - - -/
Cardiac output
Respirasi
Volume tidal
Laju respirasi
PaCO2 -/
Serebral
Aliran darah
Tekanan
intrakranial
Laju metabolik
serebral
Kejang
Neuromuskular
Blok non
depolarisasi
Renal
Aliran darah renal
Laju filtrasi
glomerulus
Urine output
Hepar
Aliran darah
Metabolisme 0,004% 15- 0,2% <0,1% 5%
20%
Sumber:Inhalation Anesthetics. Dalam: Morgans Clinical
Anesthesiology; 2006

3.2. Agen non volatil


3.2.1. Benzodiazepin
Struktur kimia benzodiazepin terdiri dari cincin benzen dan
cincin diazepin. Subtitusi cincin ini pada posisi tertentu

14
mempengaruhi potensi dan biotransformasi. Cincin imidazol
midazolam menyebabkan sifatnya mudah larut air pada pH
rendah. Diazepam dan lorazepam yang tidak larut dalam air
memerlukan preparat parenteral mengandung propilen glikol,
yang berhubungan dengan iritasi vena.
Golongan benzodiazepin diantaranya diazepam, clobazam,
alprazolam, midazolam, lorazepam. Semua obat benzodiazepin
larut dalam lipid, dimetabolisme di hati, dan diekskresikan di urin.
a. Mekanisme kerja
Benzodiazepin berinteraksi dengan reseptor spesifik di
sistem saraf pusat terutama di korteks serebri. Ikatan
reseptor-benzodiazepin meningkatkan efek inhibisi
beberapa neurotransmiter seperti reseptor GABA.
b. Efek terhadap sistem organ
Kardiovaskuler: benzodiazepin memiliki efek depresan
minimal terhadap jantung. Tekanan darah, curah jantung,
dan resistensi vaskuler perifer sedikit menurun.
Respirasi: menekan respon ventilasi terhadap CO 2. Depresi
ini tidak signifikan bila obat tidak diberikan secara intravena
atau bersamaan dengan depresan lain.
Serebral: mengurangi konsumsi oksigen serebral, aliran
darah otak, dan tekanan intrakranial. Benzodiazepin sangat
efektif dalam mencegah dan mengontrol kejang grand mal.
Mempunyai efek amnesia.
c. Dosis:
- Midazolam peroral 0,5 mg/kg, maksimal 15 mg
- Clobazam peroral 5-15 mg/hari, maksimal 60 mg/hari
- Diazepam peroral 5 mg, 2x sehari
- Alprazolam peroral 0,25-0,5 mg, 2-3x sehari
- Lorazepam peroral 1-2 mg, 1-2x sehari

15
Tabel.10 Benzodiazepin Intravena
Midazolam Diazepam
Loading dose (IV) 0,02-0,1 mg/kg 0,05-0,2 mg/kg
Onset 1-5 menit 2-5 menit
Durasi (setelah 1-2 jam 2-4 jam
bolus)
Infus pemeliharaan 0,04-0,2 Jarang
mg/kg/jam digunakan
Potensi 3x X
Solubilitas lipid 1,5 x X
Metabolit aktif + +
Penyesuaian dosis Menurun 0-50% -
untuk GFR <10
ml/menit
Sumber:Analgesia dan Sedation. Dalam: The ICU Book; 2007
3.2.2. Opioid
a. Klasifikasi
Berdasarkan kerja obat, opioid dibagi menjadi:
- Agonis, obat berikatan dan menstimulasi reseptor
hingga batas maksimal. Contoh: morfin, kodein,
hidromorfin, heroin, meperidin, fentanil.
- Antagonis, obat yang berikatan dengan reseptor namun
gagal menstimulasinya. Contoh: nalokson, naltrekson.
- Agonis parsial: obat yang berikatan dengan reseptor
namun tidak dapat menstimulasi reseptor hingga
ambang maksimal. Contoh: buprenorfin, pentazosin.
- Campuran agonis antagonis: obat yang berikatan
dengan berbagai subtipe reseptor dan menghasilkan
stimulasi subtipe reseptor yang berbeda-beda (bisa
agonis atau antagonis). Contoh: nalbufin.
b. Mekanisme kerja
Opioid berikatan dengan reseptor spesifik (mu, kappa,
delta, sigma) yang teletak di sepanjang sistem saraf pusat

16
dan jaringan lain. Aktivasi reseptor opioid menghambat
pelepasan presinaptik dan respon postsinaptik terhadap
neurotransmiter eksitasi (misalnya asetilkolin, substansi P)
dari neuron nosiseptif. Mekanisme seluler dari
neuromodulasi ini melibatkan perubahan konduksi ion
potasium dan kalsium. Walaupun memiliki efek sedasi,
opioid sangat efektif dalam menghasilkan analgesia.
c. Efek terhadap sistem organ
Kardiovaskuler: opioid tidak banyak mempengaruhi fungsi
kardiovaskuler, vagus mediated bradicardia, penurunan
tekanan darah.
Respirasi: depresi ventilasi, terutama laju respirasi, hypoxic
drive menurun.
Serebral: mengurangi konsumsi oksigen serebral, aliran
darah serebral, dan tekanan intrakranial.
Gastrointestinal: memperlambat pengosongan lambung
dengan mengurangi peristaltik, spasme bilier, mual dan
muntah.
Morfin dan meperidin dapat menyebabkan pelepasan
histamindan menghasilkan metabolit yang aktif.
d. Dosis
Efek sedasi timbul pada dosis analgetik untuk manajemen
nyeri sedang sampai berat. Morfin memiliki onset yang
lebih lambat dan durasi yang lebih panjang (4-5 jam).
Morfin: bolus 0,01-0,2 mg/kg iv, infus 10-50 g/kg/jam
Meperidin: bolus 0,1-1 mg/kg iv
Fentanil: bolus 1-3 g/kg iv, infus 0,01-0,05 g/kg/menit
Sufentanil: bolus 0.1-0,3 g/kg, infus 0,0015-0,01
g/kg/menit
Kodein peroral 15-60 mg dapat diulang setiap 4 jam,
maksimal 360 mg/hari

17
Tramadol peroral 25-100mg setiap 4-6 jam, maksimal 400
mg/hari.
e. Naloxon
Naloxon merupakan antagonis opioid murni. Naloxon
berikatan dengan reseptor opioid namun tidak mengaktivasi
reseptor tersebut. Dosis intravena (vial 0,4 mg/ml
diencerkan menjadi 0,04 mg/ml) dititrasi 0,5-1 g/kg setiap
3-5 menit sampai tercapai ventilasi yang adekuat dan sadar
penuh.

3.2.3. Ketamin
a. Mekanisme kerja
Ketamin memiliki banyak efek terhadap sistem saraf pusat,
diantaranya memblok refleks polisinaptik pada corda
spinalis dan menghambat efek neurotransmiter eksitasi
pada daerah tertentu di otak. Ketamin mendisosiasi
talamus (yang menghantarkan impuls sensorik dari reticular
activating system ke korteks serebri) dari korteks limbik
(termasuk sensorik).
b. Efek terhadap sistem organ
Kardiovaskuler: stimulasi sentral terhadap sistem saraf
simpatis, meningkatkan tekanan darah, laju nadi, dan curah
jantung.
Respirasi: sedikit mempengaruhi respirasi, bronkodilator
poten.
Serebral: meningkatkan konsumsi oksigen serebral, aliran
darah serebral, dan tekanan intrakranial
c. Ketamin mempunyai onset 45-60 detik dan durasi 10-20
menit
d. Dosis subanestetik: 0,1-0,5 mg/kg iv

18
3.2.4. Propofol
Propofol merupakan obat sedasi kerja cepat (< 1 menit)
yang digunakan untuk induksi dan pemeliharaan anestesi serta
sedasi kerja singkat (10-15 menit). Propofol sangat larut pada
lipid dengan sediaan emulsi lipid 10%.
a. Mekanisme kerja
Propofol bekerja pada neurotransmisi inhibisi yang
dimediasi oleh GABA.
b. Efek terhadap sistem organ
Kardiovaskuler: hipotensi akibat penurunan resistensi
vaskuler perifer (inhibisi aktivitas vasokonstriksi simpatis),
kontraktilitas jantung dan preload. Perubahan terhadap laju
nadi dan curah jantung biasanya transien dan tidak
signifikan.
Respirasi: Pada dosis induksi biasanya menyebabkan
apnu. Pada dosis subanestetik, infus propofol menghambat
hypoxic ventilatory drive dan mendepresi respon terhadap
hiperkarbia.
Serebral: menurunkan konsumsi oksigen serebral, aliran
darah serebral, dan tekanan intrakranial. Mempunyai efek
antiemetik.
c. Dosis propofol bolus 0,25-1 mg/kg iv, infus 25-75
g/kg/menit
3.2.5. Dexmedetomidin
a. Mekanisme kerja
Dexmedetomidin merupakan 2 adrenergik agonis selektif
yang bekerja secara sentral yang mempunyai efek sedasi
dan analgetik. Dexmedetomidin mempunyai onset yang
cepat (1-3 menit) dan waktu paruh terminal 2 jam. Obat ini
dimetabolisme di hati dan dieliminasi di urin. Dapat
digunakan untuk sedasi jangka pendek (<24 jam)

19
b. Efek terhadap sistem organ
Kardiovaskuler: bradikardi, hipotensi
Respirasi: tidak signifikan mendepresi ventilatory drive
Serebral: sedasi, amnesia
c. Dosis dexmedetomidin bolus 1 g/kg iv dalam 10 menit,
infus 0,2-0,7 g/kg/jam

Tabel 11. Propofol dan Dexmedetomidin


Propofol Dexmedetomidin
Loading dosis 0,25-1 mg/kg 1 ug/kg dalam 10
menit
Onset <1 menit 1-3 menit
Waktu untuk 10-15 menit 6-10 menit
bangun
Infus 25-75 ug/kg/menit 0,2-0,7 mg/kg/jam
pemeliharaan
Metabolit aktif - -
Depresi + -
respirasi
Efek samping Hipotensi Hipotensi
Hiperlipidemia Bradikardi
Kontaminasi/sepsis Sympathetic
Rhabdomiolisis rebound pada
Propofol Infusion infus 24 jam
Syndrome
Sumber: Analgesia dan Sedation. Dalam: The ICU Book;
2007

3.2.6. Kloral hidrat


Kloral hidrat sering digunakan pada anak-anak untuk sedasi
atau hipnotik jangka pendek. Pada dosis terapeutik, kloral hidrat
mempunyai efek minimal terhadap respirasi dan kardiovaskuler.
a. Mekanisme kerja

20
Kloral hidrat dimetabolisme menjadi trikloroetanol yang
mempunyai sifat farmakologis. Mekanisme depresi SSP
yaitu dengan potensiasi fungsi reseptor GABA,
menghambat eksitasi yang dimediasi N-metil-D-aspartat,
yang bekerja mirip dengan benzodiazepin dan barbiturat.
b. Efek terhadap sistem organ
Kardiovaskular: dosis tinggi dapat menyebabkan hipotensi,
aritmia atrial atau ventrikel, torsades de pointes, depresi
kontraktilitas miokard dan memperpendek periode
refraktori.
Respirasi: dosis sedasi tidak mempengaruhi respirasi dan
refleks batuk
Serebral: efek samping akibat depresi SSP yaitu ataxia,
mimpi buruk, vertigo, sakit kepala, malaise. Reaksi
idiosinkratik jarang terjadi (halusinasi, delirium, disorientasi,
inkoheren, paranoid)
Gastrointestinal: iritatif, menyebabkan mual, muntah diare,
nyeri perut
Hematologi:leukopenia dan eosinofilia
c. Dosis kloral hidrat per oral/per rektal 50 mg/kg.
Efek sedasi timbul dalam 10 sampai 15 menit dan tertidur
biasanya selama 30 sampai 60 menit.
Tabel 12. Agen Sedatif-Hipnotik
Agen Dosis Rut Keterangan
e
Benzodiazepin
Midazolam 0,02-0,1 mg/kg IV
Lorazepam 1-2 mg PO
Diazepam 0,05-0,2 mg/kg IV
Midazolam 0,5 mg/kg PO Maksimal 15 mg/hari
Clobazam 5-15 mg* PO Maksimal 60 mg/hari
Diazepam 5 mg* PO
Alprazolam 0,25-0,5 mg* PO

21
Opioid
Morfin 0,01-0,2 mg/kg IV
10-50 g/kg/jam IV
Meperidin 0,1-1 mg/kg IV
Fentanil bolus 1-3 g/kg IV
0,01-0,05 IV
g/kg/menit
Sufentanil 0.1-0,3 g/kg IV
0,0015-0,01 IV
g/kg/menit
Kodein 15-60 mg* PO
Tramadol 25-100 mg* PO

Naloxon 0,5-1 g/kg IV maksimal 360


mg/hari
maksimal 400
mg/hari
vial 0,4 mg/ml
diencerkan
menjadi 0,04
mg/ml, dapat
diulang setiap 5
menit, maksimal 4
gr
Ketamin 0,1-0,5 mg/kg IV
Propofol 0,25-1 mg/kg IV
25-75 IV
g/kg/menit
Dexmedetomidi 1 g/kg iv IV
n 0,2-0,7 IV
g/kg/jam
Kloral hidrat 50 mg/kg PO/
PR
*Dosis dewasa

22
BAB IV
DOKUMENTASI

Ramsay Sedation Scale(RSS)


Score Description
1 Anxious and agitated or restless, or both
2 Co-operative, oriented, and calm
3 responsive to commands only
4 exhibiting brisk response to light glabellar tap or loud
auditory stimulus
5 exhibiting a sluggish response to light glabellar tap or loud
auditory stimulus

23
6 unresponsive

Aldrete Score
1. Activity
2 = able to move 4 extremities voluntary or on
command
1 = able to move 2 extremities
0 = unable to move extemities
2. Respiration
Post 2 = Able to take deep breath and cough
1 = Dypnea/ shallow breath
0 = Apnea
3. Circulation
2 = BP + 20 mmHg of pre operative
1 = BP + 20-50 mmHg of pre operative
0 = BP + 50 mmHg of pre operative
4. Consciousness
2 = fully awake arousable on calling
1 = arousable on calling
0 = No responding
5. Colour
2 = Normal
1 = Pale or dusky
0 = Cyanotic
Score > 9 for discharge
Anesthetic Discharge Scoring System PADSS

24
1. Vital Signs
2 = BP + pulse within 20% preoperative baseline
1 = BP + pulse within 20% to 40% preoperative baseline
0 = BP + pulse >40% of preoperative baseline
2. Activity
2 = stedy gait, no dizziness or meets preoperative level
1 = require assistance
0 = unable to ambulate
3. Nausea and vomiting
2 = minimal/treated with PO medication
1 = moderate/treated with parenteral medication
0 = severe/continues despite treatment
4.Pain
Controlled with oral analgesics and acceptable to patient:
2 = yes
1 = no
5. Surgical bleeding
2 = minimal/no dressing changes
1 = moderate/up to two dessing changes required
0 = severe/more than three dressing changes required
Score > 9 for discharge
Informed Consent

RS BUDI KEMULIAAN BATAM


SURAT PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN

25
Form Sedasi

RS BUDI KEMULIAAN BATAM

26
Form Sedasi

27
DAFTAR PUSTAKA

The Royal College of Anaesthetists and The College of Emergency


Medicine. Safe Sedation of Adults in the Emergency Department; 2012.
Schneider PJ. Sedation Therapy: Improving Safety and Quality of Care.
Sixth Conference Center for Safety and Clinical Excellence. San Diego;
2005
American Society of Anesthesiologists. Practice Guidelines for sedation
and analgesia by Non-anesthesiologists. Anesthesiology; 2002.
Barash et al. Post Anesthesia Recovery. Clinical Anesthesia. Dalam:
Clinical Anesthesia. Edisi ke-6. Lippincott; 2009.
Sessler CN, Grap MJ, Ramsay MAE. Evaluating and Monitoring Analgesia
and Sedation in the Intensive Care Unit. BioMed Central; 2008.
Marino PL. Analgesia dan Sedation. Dalam: The ICU Book. Edisi ke-3.
Lippincott Williams & Wilkins; 2007.
Malviya S, Lewis TV, Tail AR. A Comparison of Observational and
Objective Measures to Differentiate Depth of Sedation in Children from
Birth to 18 Years of Age. Anesth Analg; 2006; 102:389-94.
Khan et al. Comparison and Agreement Between the Richmond Agitation-
Sedation Scale and the Riker Sedation-Agitation Scale in Evaluating
Patients Eligibility for Delirium Assesment in the ICU. Chest; 2012; 48-54.
Elliot D, Aitken L, Chaboyer W. Psychological Care. Dalam: ACCCNs
Critical Care Nursing. Edisi ke-2. Elsevier Australia; 2012.
Schweickert WD, Kress JP. Strategies to Optimize Analgesia and
Sedation. Critical Care; 2008.
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Inhalation Anesthetics. Dalam:
Morgans Clinical Anesthesiology. Edisi ke-4. Appleton & Lange; 2006.
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Nonvolatile Anesthetic Agents.
Dalam: Morgans Clinical Anesthesiology. Edisi ke-4. Appleton & Lange;
2006.
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Adjuncts to Anesthesia. Dalam:
Morgans Clinical Anesthesiology. Edisi ke-4. Appleton & Lange; 2006.
Barash PG, dkk. Intravenous Anesthetics. Dalam: Clinical Anesthesia.
Edisi ke-6. Lippincott Williams & Wilkins; 2009.

28
Miller RD, dkk. Intravenous Anesthetics. Dalam: Millers Anesthesia. Edisi
ke-7. Elsevier; 2010.
Wathen JE, Upshaw G. Procedural Sedation and Analgesia of the
Pediatric Patient. Dalam: Anesthesia Secrets. Edisi ke-4. Elsevier; 2011;
463.
Concise International Chemical Assessment Document. Chloralhydrate.
World Health Organization; Geneva; 2000.

29

Anda mungkin juga menyukai