Disusun Oleh:
Mutiara Rizki
G1A219021
Dosen Pembimbing:
Disusun Oleh :
Mutiara Rizki
G1A219021
Pembimbing
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas segala limpahan kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan
Case Report Session (CRS) ini dengan judul “General Anestesi Pada Tindakan
Laparatomi Appendiktomi Atas Indikasi Appendisitis Perforasi “.
Laporan ini merupakan bagian dari tugas Kepaniteraan Klinik Senior di
Bagian Anestesi RSUD Raden Mattaher Jambi.
Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan
dorongan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan
terima kasih kepada dr. Andi Hutariyus, Sp.An selaku pembimbing yang telah
memberikan arahan sehingga laporan Case Report Session ini dapat terselesaikan
dengan baik dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian
laporan ini.
Penulis menyadari laporan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu
saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis.
Sebagai penutup semoga kiranya laporan Case Report Session ini dapat
bermanfaat bagi kita khususnya dan bagi dunia kesehatan pada umumnya.
Penulis
iii
iv
DAFTAR ISI
v
3.2.7 Macam-macam obat Keseimbangan anestesi................................
31
3.2.8 Rumatan anestesi..........................................................................
35
BAB IV ANALISA KASUS .......................................................................... 39
BAB V KESIMPULAN................................................................................ 45
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
46
vi
BAB I
PENDAHULUAN
1
penatalaksanaan anestesi yang terdiri dari premedikasi, masa anestesi dan
pemeliharaan. Serta tahap pemulihan dan perawatan pasca anestesi.
Apendisitis merupakan peradangan pada appendiks. Bila diagnosis sudah
pasti, maka terapi yang paling tepat dengan tindakan operatif, yang disebut
apendiktomi. Penundaan operasi dapat menimbulkan bahaya, antara lain abses
atau perforasi. Berdasarkan latar belakang diatas menjadi dasar penulis untuk
mengulas lebih dalam mengenai general anestesi pada tindakan laparatomi
appendiktomi pada pasien appendisitis perforasi.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. A
Jenis : Perempuan
kelamin
Umur : 56 Tahun
NO RM : 953475
Alamat : Komp. Kejora, Kel Suka Karya, Kec.Kota Baru,
Jambi
Ruangan : Kelas I
Diagnosis : Appendisitis Perforasi
Tindakan : Laparatomi Apendiktomi
Masuk RS : 15 Oktober 2020
B. HASIL KUNJUNGAN PRA ANESTESI
1. ANAMNESIS
Keluhan utama:
Nyeri perut yang sejak 7 hari SMRS
3
aktivitas. Pasien tidak BAB selama 5 hari , tidak flatus, BAK normal. Pola
makan pasien tidak teratur dan jarang mengkonsumsi serat.
± 12 jam SMRS pasien dibawa ke rs. Baiturrahim. Pasien
mengeluh muntah sebanyak 10 kali, muntah berisi apa yang dimakan.
Pasien juga mengeluh mual(+), nyeri ulu hati (+), Nyeri seluruh lapangan
perut (+).
Pasien dirujuk dan direncanakan dilakukan tindakan laparatomi
apendiktomi pada tanggal 15 Oktober 2020 di OKE RSUD Raden Mattaher
Provinsi Jambi.
Anamnesis Pre-Operasi :
- A (Alergy) : tidak ada riwayat alergi terhadap obat-obatan, alergi
makanan, maupun asma
- M (Medication) : tidak sedang menjalani pengobatan apapun
- P (Post Medical History) : tidak didapatkan riwayat hipertensi, diabetes
mellitus, mengorok saat tidur, kejang, nyeri dada, keterbatasan aktifitas
akibat sesak dan tidak ada gangguan pada aktifitas sehari-hari. Pasien
memiliki riwayat BAB tidak lancar, frekuensi 1x dalam 3-7 hari. Riwayat
anastesi sebelumnya belum ada. Operasi ini merupakan pengalaman
pertama pasien mengalami pembedahan anestesi. Merokok (-), konsumsi
minuman alkohol (-), keadaan psikis: kesan tenang.
- L (last Meal) : pasien terakhir makan pukul 12.00 WIB
- E (Elicity History) : Pasien mengeluh nyeri perut sejak ± 7 hari. Nyeri
perut terasa pada bagian kanan bawah hingga sekarang nyeri pada seluruh
perut. Pasien mengeluh tidak BAB sejak 5 hari yang lalu. BAK dalam
batas normal.
4
- Riwayat Batuk Lama : (-)
- Riwayat Gastritis : (-)
- Riwayat Asma : (-)
- Riwayat Operasi : (-)
- Riwayat Sakit jantung : (-)
- Riwayat Alergi Obat : (-)
5
- Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid
(-)
-
Thorax
Paru-paru
- Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris,skar (-)
- Palpasi : Nyeri tekan (-), krepitasi (-), fremitus
taktil kanan dan kiri sama
Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis teraba di ICS V linea
Midclavicularis Sinistra
- Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V linea
Midclavicula Sinistra
- Perkusi : Batas jantung dbn
- Auskultasi : BJ I dan II reguler, Murmur (-), Gallop (-)
Abdomen
- Inspeksi : Datar, sikatrik (-)
- Auskultasi : Bising usus (-)
Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (+), Nyeri tekan
kanan bawah (+), mc. Burney’s (+)
- Perkusi : Hipertimpani
Ekstremitas
- Superior : Akral hangat, CRT<2 detik, edema
(-)
- Inferior : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema
(-)
6
3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium
Darah Rutin
Jenis Pemeriksaan Hasil Normal Satuan
WBC 12,4 4,0 – 10,0 m3/mm3 10 m3/mm3
RBC 4,84 4,0 – 5,0 10 m6/mm3
HGB 14,4 11,0 – 16,5 g/dL
HCT 44,1 34,5 – 54 %
PLT 252 150 – 450 103/mm3
Kesan : Leukositosis
Faal Ginjal
Jenis Pemeriksaan Hasil Normal Satuan
Ureum 19 15 - 39 mg/dL
Kreatinin 1,1 0,55 – 1,3 mg/dL
Kesan : Dalam batas normal
Faal Hati
Jenis Pemeriksaan Hasil Normal Satuan
SGOT 27 15 - 37 u/l
SGPT 39 14 - 63 u/l
Albumin 3,6 3,4 – 5,0 g/dl
Kesan : Dalam batas normal
Elektrolit
Jenis Pemeriksaan Hasil Normal Satuan
Natrium 138,3 136 – 146 mmol/L
Kalium 3,77 3,34 – 5,10 mmol/L
Chlorida 103,5 98 – 106 mmol/L
Kesan : Dalam batas normal
7
SARS – CoV – 2 antibodi Non
Reactive
b. Pencitraan
X-Ray Thoraks :
Cor dan Pulmo dalam batas normal
USG : Di RS . Baiturrahim (cairan bebas di rongga pelvis dan fossa
hepatorenal)
4. PRA ANESTESI
Status Fisik ASA I/ II / III / IV / V / E
Persiapan pra anastesi :
a. Pasien telah diberikan Informed Consent
b. Persiapan operasi :
- Puasa 8 jam pre op
- Surat persetujuan tindakan operasi
- Surat persetujuan anestesi
8
LAPORAN ANESTESI
9
- Maintenance : Sevoflurans + N2O :
O2
10
= 2cc x 65 kg/jam
= 130cc/jam
EBV : 75 X BB = 4875 cc
EBV : 75 x 65 4875 cc
EBL : 20% x EBV
EBL : 20% x 4875 cc 975 cc
C. Monitoring
Jam TD Nadi RR SpO2 Keterangan
19.15 120/80 80 20 100% Pasien masuk ke kamar operasi, dan
dipindahkan ke meja operasi
Pemasangan alat monitoring, tekanan
darah, saturasi, nadi, oksigen 2L
11
Diberikan cairan RL dan obat
premedikasi
(ondansentron 4 mg, dan dexamethason 5
mg)
19:20 120/70 70 22 100% Pasien dipersiapkan untuk induksi
Pasien di berikan analgesik fentanil 100
mcg, induksi dengan propofol 150 mg, cek
refleks bulu mata. Kemudian pasien
dipasangkan sungkup dan mulai di
bagging, lalu diberikan relaksan yaitu
atracurium 30 mg.
12
20.15 120/80 72 18 100%
Pasien napas spontan
Dilakukan suction
Refleks batuk ada
20.30 120/75 72 18 100% Pasien di ekstubasi
Diberikan oksigen kemudian cek saturasi.
20.45 110/80 68 18 100% Pasien sadar
D. Ruang Pemulihan
Masuk Jam : 21.00 WIB
Keadaan :
Umum
- Kesadaran : Compos mentis
- GCS : 15
Tanda vital :
- TD : 120/80 mmHg
- Nadi : 81 x/menit
- RR : 20 x/menit
- SpO2 : 99%
Pernafasan : Baik
Scoring Aldrete:
1. Aktifitas :
2
2. Pernafasan :
2
3. Sirkulasi :
2
4. Kesadaran :
2
5. Warna :
2
Jumlah :
13
1
0
Instruksi Post Operasi
• Diagnosa Post-op
Post. op Laparatomi ec Appendisitis perforasi
Prognosis
Quo ad vitam : Ad bonam
Quo ad
: Dubia ad bonam
fungsionam
Quo ad
Sanationam : Ad bonam
14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Appendisitis
3.1.1 Anatomi dan Fisiologi
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm
dan berpangkal di sekum. Lumennya menyempit di bagian proksimal dan
melebar di bagian distal. Namun demikian pada bayi apendiks berbentuk
kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Apendiks
terletak di ileosekum dan merupakan pertemuan ketiga tinea koli.4
3.1.2 Etiologi dan Epidemiologi
Apendisitis merupakan infeksi bakteri. Faktor-faktor yang dapat menjadi
pencetus apendisitis:5
15
3.1.3 Patofisiologi
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks oleh
hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma.6
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian
proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa
appendiks yang distensi. Obstruksi tersebut menyebabkan mucus yang
diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mucus tersebut makin
banyak, namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan peningkatan intralumen. Kapasitas lumen appendiks normal hanya
sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen
sekitar 60 cmH2O. Manusia merupakan salah satu dari sedikit makhluk hidup
yang dapat mengkompensasi peningkatan sekresi yang cukup tinggi sehingga
menjadi gangrene atau terjadi
perforasi.6,7
16
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding appendiks yang
diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan appendiks gangrenosa. Bila
dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi appendiks perforasi.
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak kearah appendiks hingga timbul suatu massa local
yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan appendiks tersebut dapat
menjadi abses atau menghilang.
Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi appendiks yang dimulai
dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding appendiks dalam waktu 24-48
jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses
radang dengan menutup appendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa
sehingga terbentuk massa periapendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis
jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk
abses, appendiks akan sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang
untuk selanjutnya akan mengurai diri secara lambat. 6,7
Proses inflamasi lambat laun melibatkan serosa appendiks dan peritoneum
parietale pada regio tersebut sehingga nyeri dirasa berpindah ke kanan bawah.
Pada distensi yang hebat, daerah dengan suplai darah terburuk akan lebih
menderita sehingga akan terjadi infark. Distensi, invasi bakteri, kelainan
vaksular dan infark dapat menyebabkan terjadinya perforasi. Akan tetapi, proses
tersebut tidak selalu terjadi, pada beberapa kasus dapat sembuh spontan.1
3.1.4 Diagnosis
a. Anamnesis
Gejala klasik dari appendisitis adalah nyeri samar-samar atau tumpul yang
merupakan nyeri visceral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan
sering disertai dengan mual muntah, penurunan nafsu makan. Dalam beberapa
jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah titik McBurney.5 b. Pemeriksaan Fisik
Tanda vital tidak berubah terlalu mencolok pada appendisitis. Kenaikan suhu
jarang lebih dari 1°C, tetapi perbedaan suhu rektal dan aksilar lebih dari 1°C,
nadi normal atau naik sedikit. Perubahan tanda vital yang mencolok
menunjukkan terjadinya komplikasi atau diagnosa lain.5
17
Pasien lebih memilih tidur terlentang atau miring ke kanan, dan pergerakan
sangat minim karena dapat mencetuskan nyeri. Kadang sudah terlihat waktu
penderita berjalan sambil bungkuk dan memegang perut kanan bawah. Penderita
tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik.
Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan
perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses appendikuler.5
Pada palpasi didapatkan nyeri terbatas pada iliaka kanan, bisa disertai nyeri
lepas. Defence muscular menunjukan adanya tanda rangsangan peritoneum
parietal, hal ini berarti proses peradangan sudah mengenai peritoneum. Palpasi
dimulai dari kuadran kiri bawah yang dilanjutkan ke kuadran kiri atas, kuadran
kanan atau dan diakhiri dengan pemeriksaan kuadran kanan bawah.6,7
Beberapa test yang dapat dilakukan untuk pasien yang dicurigai appendisitis,
tetapi perlu diingat bahwa uji-uji tersebut tidak selalu positif pada semua kasus
karena seringkali tergantung dari letak appendiks.
a. Mc. Burney’s Sign
Dengan penekanan ujung jari pada regio iliaka kanan didapatkan nyeri tekan
positif, maksimum pada titik Mc. Burney.
b. Blumbeg’s Sign
Dengan menekan pelan-pelan sisi kiri abdomen kemudian dilepaskan secara
tibatiba, penderita merasa nyeri di daerah appendiks.
c. Rovsing’s Sign
Nyeri dijalarkan ke bagian kuadran kanan bawah sewaktu dilakukan
penekanan di daerah kuadran kiri bawah. 5,6
d. Tenhorn Sign
Pada penderita laki-laki bila testis ditarik pelan-pelan maka akan timbul
nyeri sebab testis ada hubungan dengan peritoneum. 5,6
18
f. Obturator Sign
Biasanya positif pada appendisistis dengan appendiks letak pelvika
dilakukan dengan cara penderita tidur terlentang, tungkai kanan difleksi ke
atas, pemeriksa mamutar sendi panggul ke dalam (endorotasi) untuk
meregangkan M. obturator internus, jika terasa nyeri daerah apendiks
berarti positif. 5,6
3.1.5 Tatalaksana
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan
satusatunya pilihan yang baik adalah appendektomi. Pada appendisitis tanpa
komplikasi, biasanya tidak perlu diberikan antibiotik, kecuali pada appendisitis
gangrenosa atau appendisitis perforata. Apendektomi bisa dilakukan seacra
19
terbuka atau laparoskopi. Bila apendektomi terbuka, insisi McBurney paling
banyak dipilih oleh ahli bedah. Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas,
sebaiknya dilakukan observasi terlebih dahulu. Pemeriksaan laboratorium dan
ultrasonografi dapat dilakukan bila dalam observasi masih terdapat keraguan.
Bila tersedia laparoskop, tindakan laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan
dapat segera menentukan akan dilakukan operasi
atau tidak.5,6,7
3.2 Anestesi
Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri. Anestesi umum
ialah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi terhadap semua
sensasi akibat induksi obat. Dalam hal ini, selain hilangnya rasa nyeri, kesadaran
juga hilang. Obat anestesi umum terdiri atas golongan senyawa kimia yang
heterogen, yang mendepresi SSP secara reversibel dengan spektrum yang
hampir sama dan dapat dikontrol. Obat anestesi umum dapat diberikan secara
inhalasi dan secara intravena.8
20
Kerugian Anestesia Umum8
1. Sangat mempengaruhi fisiologi. Hampir semua regulasi tubuh menjadi
tumpul dibawah anestesia umum.
2. Memerlukan pemantauan yang lebih holistik dan rumit.
3. Tidak dapat mendeteksi gangguan susunan saraf pusat, misalnya perubahan
kesadaran.
4. Risiko komplikasi pasca bedah lebih besar.
5. Memerlukan persiapan pasien yang lebih lama.
21
Plana 4 : Kelumpuhan otot interkostal, pernafasan menjadi abdominal
dan dangkal. Pada stadium ini otot-otot skeletal akan relaks,
pernafasan menjadi teratur. Pembedahan dapat dimulai.
- Stadium 4 merupakan stadium overdosis obat anestesi. Anestesi menjadi
terlalu dalam. Terjadi depresi berat semua sistem tubuh, termasuk batang
otak. Stadium ini letal. Potensi bahaya yang begitu besar mendorong
usaha-usaha untuk memperbaiki teknik anestesia. Anestesia modern kini
berkembang menjadi prosedur yang mengutamakan keselamatan pasien.
Obat induksi masa kini bekerja cepat dan melampaui stadium 2, sekarang
hanya dikenal tiga stadium dalam anestesia umum, yaitu induksi,
rumatan dan emergensi. 8,9
22
7. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum,
pernafasan, kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi,
neurologi, endokrin, psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.11
Pemeriksaan Fisik12
23
8. Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis,
adanya jari tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat pungsi
vena atau daerah blok saraf regional
24
ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi
hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24
jam tanpa operasi / dengan operasi. Angka mortalitas
98%.
ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil
(didonorkan)
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari
kegawatan otak, jantung, paru, ibu dan anak.
Masukan Oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan risiko
utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan
risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan
anestesia harus dipantangkan dari masukan oral selama periode tertentu
sebelum induksi anestesi.14
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan
bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi
anestesia. Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk
keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum
induksi anestesi.14
3.2.4 Premedikasi
Merupakan pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia, diantaranya:
a. Meredakan kecemasan
b. Memperlancar induksi anestesi
c. Mengurangi seksresi kelenjar ludah dan bronkus
d. Meminimalkan jumlah obat-obat anestetik
e. Mengurangi mual-muntah pasca bedah
f. Menciptakan amnesia
g. Mengurangi isi cairan lambung
h. Mengurangi refleks yang berlebihan
25
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien
yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan demikian maka
pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan
mempertimbangkan umur pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan,
riwayat pemakaian obat anestesi sebelumnya, riwayat hospitalisasi sebelumnya,
riwayat penggunaan obat tertentu yang berpengaruh terhadap jalannya anestesi,
perkiraan lamanya operasi, macam operasi, dan rencana anestesi yang akan
digunakan14
26
diserap secara terkontrol dan cepat, karena diserap serta dikeluarkan melalui
paru-paru (alveoli). Mekanisme kerja obat inhalasi ditentukan oleh ambilan paru,
difusi gas dari paru ke darah dan distribusi ke organ. Sedangkan konsentrasi uap
obat anestetik dalam alveoli ditentukan oleh konsentrasi inspirasi, ventilasi
alveolar, koefisien gas darah, curah jantung, dan perfusi.15
a. N2O. Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak
iritatif, tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah
terbakar/meledak, dan tidak bereaksi dengan soda lime absorber
(pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi dapat
melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut dalam
darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh karena itu
pada operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi
otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas
terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous Oksida
mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat
dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa menit
sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya dipakai perbandingan
atau kombinasi dengan oksigen. Penggunaan dalam anestesi umumnya
dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% : 40% ;
70% : 30% atau 50% : 50%.15
b. Halotan: Pada nafas spontan rumatan anestesia sekitar 1-2 vol % dan
pada nafas kendali sekitar 0,5 – 1 vol % yang tentunya disesuaikan
dengan respon klinis pasien. Halotan menyebabkan vasodilatasi
serebral, meninggikan aliran darah otak yang sulit dikendalikan dengan
teknik anestesia hiperventilasi, sehingga tidak disukai untuk bedah otak.
Kebalikan dari N2O, halotan analgesinya lemah, anestesinya kuat,
sehingga kombinasi keduanya ideal sepanjang tidak ada
kontraindikasi.12
c. Enfluran: Induksi dan pulih anestesi lebih cepat dibandingkan
halotan.Efek depresi nafas lebih kuat, depresi terhadap sirkulasi lebih
kuat, dan lebih iritatif dibandingkan halotan, tetapi jarang menimbulkan
27
aritmia.Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik dibandingkan
halotan.
d. Isofluran: Dapat menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen,
tetapi meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial, namun
hal ini dapat dikurangi dengan teknik anestesia hiperventilasi, sehingga
banyak digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap depresi jantung dan
curah jantung minimal, sehingga digemari untuk anesthesia teknik
hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan gangguan koroner.
15
28
nafas meninggi dihambat oleh barbiturate tetapi tonus vascular meninggi
dan kebutuhan oksigen badan berkurang, curah jantung sedikit menurun.
Barbiturate tidak menimbulkan sensitisasi jantung terhadap
katekolamin.2,16
29
gangguan kemampuan dalam memetabolisme obat-obat anestesi sedati
yang lainnya. Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah
ke otak, metabolisme otak dan tekanan intrakranial akan menurun.
Keuntungan propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan
konvulsi pasca operasi yang minimal. Propofol merupakan obat
induksi anestesi cepat. Obat ini didistribusikan cepat dan dieliminasi
secara cepat. Hipotensi terjadi sebagai akibat depresi langsung pada otot
jantung dan menurunnya tahanan vaskuler sistemik. Propofol tidak
mempunyai efek analgesik. Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih
sadar lebih cepat dan jarang terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang
rendah propofol memiliki efek antiemetik.
Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi
pernafasan, apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem
kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi,
hipertensi. Pada susunan syaraf pusat adanya sakit kepala, pusing,
euforia, kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri
sehingga saat pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50 mg).
c. Ketamin: Derivat fensiklidin yang menghasilkan anestesi disosiatif yang
menyerupai keadaan kataleptik dimana mata pasien tetap terbuka dengan
nistagmus lambat. Pada saat yang sama pasien tidak dapat
berkomunikasi, terjadi amnesia dan analgesia yang sangat baik. Ketamin
meningkatkan tekanan darah sistolik 23% dari baseline, denyut jantung
meningkat, kadangkadang timbul aritmia, serta menimbulkan
hipersekresi. Mula kerja 30 detik pada IV, 2-4 menit pada IM. Lama
kerja pada IV 10-20 menit, tetapi memerlukan waktu 60-90 menit untuk
berorientasi penuh. Waktu paruh 7-11 menit. Kadar plasma tertinggi
pada IV 1 menit, pada IM 5 menit. 6 Dosis bolus untuk induksi intravena
ialah 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg. Efek analgesik
dicapai dengan dosis sub anestetik 0,2-0,5 mg/kg IV. Ketamin dikemas
dalam cairan bening kepekatan 1% (1 ml= 10mg), 5% (1 ml = 50 mg)
dan 10% (1 ml = 100 mg).16
30
d. Opioid: Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi
diberikan dosis tinggi. Opioid tidak mengganggu kardiovaskular,
sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan
jantung. Untuk anestesia opioid digunakan fentanil dosis induksi 20-50
mg/kg dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.
e. Benzodiazepin: yang digunakan sebagai anestetik ialah diazepam,
lorazepam, dan midazolam. Benzodiazepine juga digunakan untuk
medikasi pra-anestetik (sebagai neurolepanalgesia) dan untuk mengatasi
konvulsi yang disebabkan oleh anestetik lokal dalam anestetik regional.
Digunakan untuk induksi anesthesia, kelompok obat ini menyebabkan
tidur, mengurangi, cemas, dan menimbulkan amnesia anterograd
(setelah pemberian midazolam IM, IV), tetapi tidak berefek analgesic.
Efek pada SSP ini dapat diatasi dengan antagonisnya, flumazenil.
1.) Midazolam: Obat induksi jangka pendek atau premedikasi,
pemeliharaan anestesi, bekerja cepat dan karena transformasi
metaboliknya cepat dan lama kerjanya singkat, bekerja kuat
menimbulkan sedasi dan induksi tidur. Kemasan suntik 1 mg/ml, 5
mg/ml. Mula kerja 30 detik-1 menit IV, 15 menit IM. Efek puncak
pada IV 3-5 menit, IM 15-30 menit. Lama kerja 15-80 menit IV/IM.
Konsentrasi plasma maksimum dicapai dalam 30 menit. Midazolam
menyebabkan tekanan darah menurun, lebih rendah dari diazepam,
penurunan sistolik maksimal 15%, yang disebabkan oleh vasodilatasi
perifer.Efek depresi pernafasan minimal.Juga menurunkan
metabolisme O2 di otak dan aliran darah ke otak. Dosis pre medikasi
0,03-0,04 mg/kg IV, sedasi 0,5-5 mg/kg IV, induksi 0,1-0,4 mg/kgbb
IV.17
2.) Diazepam: obat yang berkhasiat ansiolitik, sedatif, relaksasi otot,
antikonvulsi dan amnesia..Waktu paruh 20-50 jam, tergantung fungsi
liver. Dibandingkan dengan barbiturate, efek anestesi diazepam kurang
memuaskan karena mula kerjanya lambat dan masa pemulihannya lama.
Diazepam digunakan untuk berbagai macam intervensi (menimbulkan
31
sedasi basal sebelum dilakukan pengobatan utama), meringankan
kecemasan, anxietas atau stress akut, dan prosedur seperti berkurangnya
ingatan, juga untuk induksi anestesia terutama pada penderita dengan
penyakit kardiovaskular.Diazepam juga digunakan untuk medikasi
preanestetik dan untuk mengatasi konvulsi. Menyebabkan tidur dan
penurunan kesadaran yang disertai nistagmus dan bicara lambat, tetapi
tidak berefek analgesik.9 Dosis premedikasi 10-20 mg IM, induksi 0,3-0,6
mg/kgBB IV. Anak-anak 0,1-0,2 mg/kgBB 1 jam sebelum induksi.
Dewasa dan remaja 2-20 mg/kg IM/IV tergantung indikasi dan beratnya
gejala. Kemasan suntik 5 mg/ml. Injeksi dilakukan secara lambat ± 0,5-1
ml/menit, karena pemberian terlalu cepat dapat menimbulkan apnoe. 18 3.)
32
a. Morfin: Morfin paling mudah larut dalam air dibandingkan golongan opioid
lain dan kerja analgesinya cukup panjang (long acting).
b. Petidin: Petidin (meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya
sangat berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek
samping yang mendekati sama. Perbedaannya dengan morfin sebagai berikut:
1. Petidin lebih larut dalam lemak, morfin lebih larut dalam air.
2. Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam
meperidinat dan asam normeperidinat. Normeperidin ialah metabolit yang
masih aktif memiliki sifat konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek
analgesinya sudah berkurang 50%. Kurang dari 10% petidin bentuk asli
ditemukan dalam urin.
33
ug/kgBB analgesinya kira-kira hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya
dipergunakan untuk anestesi pembedahan dan tidak untuk pasca bedah. Dosis
besar 50-15- ug/kgBB digunakan untuk induksi anesthesia dan pemeliharaan
anesthesia dengan kombinasi bensodiasepin dan anestetik kekakuan otot
punggung yang sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh otot.18,19
d. Sufentanil: Sifat sufentanil kira-kira sama dengan fentanil. Efek pulihnya
lebih cepat dari fentanil.Kekuatan analgesinya kira-kira 5-10 kali fentanil.
Dosisnya 0,10,3 mg/kgBB.
e. Alfentanil: Kekuatan analgesinya 1/5-1/3 fentanil. Insiden mual-muntahnya
sangat besar.Mula kerjanya cepat.Dosis analegesinya 10-20 ug/kgBB.
f. Tramadol: Analgetik sentral dengan afinitas rendah pada reseptor mu dan
kelamahan analgesinya 10-20% dibanding morfin. Tramadol dapat diberikan
dengan dosis maksimal 400 mg per hari.
34
dimetabolisme oleh kolinesterase plasma,pseudokolinesterase menjadi
suksinil-monokolin. Obat anti kolinesterase (prostigmin)
dikontraindikasikan karena menghambat kerja pseudokolinesterase. 20
1. Suksinilkolin (diasetilkolin, suxamethonium)
Suksinilkolin terdiri dari 2 molekul asetilkolin yang bergabung. obat
ini memiliki onset yang cepat (30-60 detik) dan duration of action yang
pendek (kurang dari 10 menit). Ketika suksinilkolin memasuki sirkulasi,
sebagian besar dimetabolisme oleh pseudokolinesterase menjadi
suksinilmonokolin. Proses ini sangat efisien, sehingga hanya fraksi kecil
dari dosis yang dinjeksikan yang mencapai neuromuscular junction.
Duration of action akan memanjang pada dosis besar atau dengan
metabolisme abnormal, seperti hipotermia atau rendanya level
pseudokolinesterase. Rendahnya level pseudokolinesterase ini ditemukan
pada kehamilan, penyakit hati, gagal ginjal dan beberapa terapi obat. Pada
beberapa orang juga ditemukan gen pseudokolinesterase abnormal yang
menyebabkan blokade yang memanjang. 20
2. Muscle Relaxant Golongan Non Depolarizing
Bekerja berikatan dengan reseptor kolinergik nikotinik tanpa
menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin menempatinya,
sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja. Farmakokinetik obat pelumpuh
otot nondepolarisasi dihitung setelah pemberian cepat intravena. Rerata obat
pelumpuh otot yang hilang dari plasma dicirikan dengan penurunan inisial
cepat (distribusi ke jaringan) diikuti penurunan yang lebih lambat (klirens).
Meskipun terdapat perubahan distribusi dalam aliran darah' anestesi inhalasi
memiliki sedikit efek atau tidak sama sekali pada farmakokinetik obat
pelumpuh otot. Peningkatan blok saraf-otot oleh anestesi volatil
mencerminkan aksi farmakodinamik' seperti dimanifestasikan oleh
penurunan konsentrasi plasma obat pelumpuh otot yang dibutuhkan untuk
menghasilkan tingkat blokade saraf tertentu dengan adanya anestesi volatile.
Bila volume distribusi menurun akibat peningkatan ikatan protein' dehidrasi'
atau perdarahan akut' dosis obat yang sama menghasilkan konsentrasi
35
plasma yang lebih tinggi dan potensi nyata akumulasi obat. Waktu paruh
eliminasi obat pelumpuh otot tidak dapat dihubungkan dengan durasi kerja
obat-obat ini saat diberikan sebagai injeksi cepat intravena. 20
Berdasarkan susunan molekul, maka pelumpuh otot non depolarisasi
digolongkan menjadi:
1. Bensiliso-kuinolinum : d-tubokurarin, metokurium, atrakurium, doksakurium,
mivakurium.
2. Steroid: pankuronium, vekuronium, pipekuronium, ropakuronium,
rokuronium.
3. Eter-fenolik : gallamin.
4. Nortoksiferin : alkuronium.
Penawar Pelumpuh Otot
Antikolinesterase bekerja dengan menghambat kolinesterase sehingga
asetilkolin dapat bekerja. Antikolinesterase yang paling sering digunakan adalah
neostigmin (dosis 0,04-0,08 mg/kg), piridostigmin (dosis 0,1-0,4 mg/kg) dan
edrophonium (dosis 0,5-1,0 mg/kg), dan fisostigmin yang hanya untuk
penggunaan oral (dosis 0,01-0,03 mg/kg). Penawar pelumpuh otot bersifat
muskarinik sehingga menyebabkan hipersalivasi, keringatan, bradikardi, kejang
bronkus, hipermotilitas usus dan pandangan kabur sehingga pemberiannya harus
disertai vagolitik seperti atropine (dosis 0,01-0,02mg/kg) atau glikopirolat (dosis
0,005-0,01 mg/kg sampai 0,2-0,3 mg pada dewasa).
36
ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien
selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang
cukup.Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi,
fentanil 10-50 ug/kgBB. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid
dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam.
Bedah lama dengan anesthesia total intravena menggunakan opioid, pelumpuh
otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan
udara+O2 atau N20+O2.21 Rumatan inhalasi biasanya menggunakan
campuran N2O dan O2 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol%
atau isofluran 2-4 vol% atau sovofluran 24 vol% bergantung apakah pasien
bernapas spontan, dibantu (assisted) atau
dikendalikan (controlled).2,4
37
5. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
6. Gerak verteba servikal terbatas.
Komplikasi intubasi
Selama intubasi,
meliputi: a. Trauma
gigi geligi
b. Laserasi bibir, gusi , laring
c. Merangsang saraf simpatis
d. Intubasi bronkus
e. Intubasi esophagus
f. Aspirasi
g. Spasme bronkus
Ekstubasi
1. Ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika :
- Intubasi kembali menimbulkan kesulitan
- Adanya resiko aspirasi
2. Ekstubasi umumnya dikerjakan pada keadaan anestesia sudah ringan
dengan catatan tidak terjadi spasme laring
3. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut, laring, faring, dari sekret dan
cairan lainnya.
38
3.2.10 Terapi Cairan
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati
jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan
untuk.8
a. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama
operasi.
b. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang
diberikan.
3.2.11 Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan
anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu
ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar
39
merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih
memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi
atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi
atau pengaruh anestesinya.15
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan perlu
dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan pembedahan.
Beberapa cara skoring yang biasa dipakai untuk anestesi umum yaitu cara
Aldrete dan Steward, dimana cara Steward mula-mula diterapkan untuk pasien
anak-anak, tetapi sekarang sangat luas pemakaiannya, termasuk untuk orang
dewasa. Sedangkan untuk regional anestesi digunakan skor Bromage.15
BAB IV
PEMBAHASAN
Pembahasan:
a. Pra Anestesi
Di ketahui bahwa pasien usia 56 tahun mengalami appendisitis perforasi,
penatalaksanaan yang dilakukakan adalah tindakan laparotomi yang dilakukan
pada tanggal 15 Oktober 2020. Sebelum tindakan pembedahan dilaksanakan,
sehari sebelumnya pada tanggal 15 Oktober 2020 telah dilakukan kunjungan pra
40
anestesi. Berdasarkan penilaian hasil pemeriksaan preoperative tersebut dan
berdasarkan pemeriksaan status anestesi pasien, pasien digolongkan pada ASA I
E sesuai dengan klasifikasi penilaian status fisik menurut The American Society
of Anesthesiologist.
b. Kebutuhan cairan
Pada pasien ini kebutuhan cairan telah dihitung dan didapatkan :
Jam I: ½ PP + O + M = cc
c. Tindakan premedikasi
Lima belas menit sebelum di lakukan induksi anestesi, pasien diberikan
obat ondansentron 4 mg (IV), dan dexamethason 10 mg (IV). Tujuan pemberian
ondansteron diberikan untuk mengurangi rasa mual muntah pasca bedah.
Deksametason diberikan untuk mengurangi histamin release, sehingga dapat
mengurangi alergi pada pasien.
41
Induksi dengan cara intravena lebih mudah dikerjakan karena pada pasien
yang dilakukan tindakan pembedahan telah terpasang jalur intravena. Obat
induksi yang dibolus disuntikkan dalam kecepatan 30-60 detik.
Sebagai obat premedikasi pada pasien ini yaitu: Ondansetron 4 mg (IV),
Dexametason 10 mg (IV), dan Ketorolac 30 mg (IV). Ondansetron 4 mg
(Golongan Antiemetik) diberikan bertujuan untuk mengurangi rasa mual muntah
pasca pembedahan, mekanisme kerja obat ondansetron adalah mengantagonisasi
reseptor 5HT-2 yang terdapat pada Chemoreseptor Triger Zone di area postrema
otak dan pada aferen vagal saluran cerna. Dexametason 10 mg diberikan untuk
mengurangi histamin release, sehingga dapat mengurangi alergi pada pasien.
Ketorolac 30 mg (Golongan NSAID) diberikan untuk meredakan nyeri dan
peradangan pada pasien sebelum dilakukan operasi. Pada pasien ini diberikan
obat premedikasi sekitar 15 menit sebelum dilakukan operasi. Berdasarkan teori,
tindakan premedikasi yaitu pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi bertujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia diantaranya untuk
meredakan kecemasan dan ketakutan, memperlancar induksi anestesia,
mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus, meminimalkan jumlah obat
anestetik, mengurangi mual-muntah pasca bedah, menciptakan amnesia,
mengurangi isi cairan lambung, mengurangi refleks yang membahayakan.
Tindakan anestesia pada kasus ini adalah dengan menggunakan general
anestesi menggunakan teknik anestesia secara induksi intravena dan rumatan
inhalasi. Induksi pada pasien ini dengan injeksi Fentanil 100 mcg, Propofol 150
mg, dan atrakurium 30mg, serta pemasangan ETT no 7 dengan dosis
pemeliharaan menggunakan anestesi inhalasi: sevoflurans + N2O: O2.
Berdasarkan teori, induksi anestesi merupakan tindakan untuk membuat
pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya
anestesi. Obat-obatan yang sering digunakan untuk induksi antar lain tiopental,
propofol dan ketamin. Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat, yang
didistribusikan dan dieliminasikan dengan cepat. Propofol diberikan dengan dosis
bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi intravena total 412
mg/Kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0,2 mg/Kg. Efek samping
42
propofol pada sistem pernafasan adanya depresi pernapasan, apneu,
bronkospasme, dan laringospasme. Pada susunan saraf pusat adanya sakit kepala,
pusing, euforia, kebingungan, gerakan klonik-mioklonik, epistotonus, mual,
muntah. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri. Pada pasien ini dosis
propofol sudah tepat.4
Pada pasien ini diberikan fentanil 100 mcg, dimana berdasarkan teori
golongan opioid (morfin, petidin, fentanyl dan sufentanil) untuk induksi diberikan
dalam dosis tinggi. Opioid tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga banyak
digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan jantung. Untuk anestsia opioid
digunakan fentanyl dosis induksi 2-20 mcg/kgbb. Dosis pada pasien ini sudah
tepat.4
e. Rumatan anestesi
Rumatan anestesi (maintenance) dapat dilakukan secara intravena, atau dengan
inhalasi atau campuran intravena inhalasi. Pada pasien ini rumatan anestesi
diberikan secara inhalasi sevoflurans + N2O : O2.
Oksigen diberikan untuk mencukupi oksigen jaringan. Pemberian anestesi
dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%, gas ini bersifat sebagai anestetik
lemah tetapi analgetiknya kuat. Sevoflurane merupakan halogenasi eter. Induksi
dan pulih anestesi lebih cepat dibandingkan isoflurane. Efek terhadap
kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia. Setelah pemberian
dihentikan, sevoflurane cepat dikeluarkan oleh tubuh.
f. Tindakan intubasi
Sebelum dilakukan intubasi, pasien diberikan obat pelumpuh otot. Pada
kasus ini, atracurium di berikan sebanyak 30 mg. Dosis atracurium berdasarkan
berat badan adalah 0,5-0,6 mg/kgBB/IV pada pasien ini yaitu 25-30 mg.
Atracurium besilat (Tracium) yang merupakan obat pelumpuh otot non
depolarisasi yang relative baru yang mempunyai struktur benzilisoquinolon yang
berasal dari tanaman. Kelebihan obat ini dari yang lain adalah tidak mempunyai
efek akumulasi pada pemberian berulang, tidak menyebabkan perubahan fungsi
kardiovaskular secara bermakna.
43
Pada pasien ini dilakukan intubasi karena diperkirakan waktu yang
dibutuhkan untuk melakukan tindakan pembedahan lebih dari 20 menit. Pada
pasien ini intubasi berjalan sempurna tanpa ada faktor penyulit (leher tidak
pendek, gigi depan tidak menonjol, dan mallampati I karena terlihat sebagian
uvula, palatum mole, serta arkus faring).
h. Ekstubasi
Sejalan dengan berkurangnya efek anestesi, dilakukan suction pada pasien.
Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika intubasi kembali
menimbulkan kesulitan dan adanya resiko aspirasi. Ekstubasi umumnya
dikerjakan pada keadaan anestesia sudah ringan dengan catatan tidak terjadi
44
spasme laring. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut, laring, faring, dari
sekret dan cairan lainnya. Pada pasien ini, ekstubasi secara tepat telah dilakukan
dimana ekstubasi dilakukan ketika efek anestesi sudah ringan dan pasien sudah
mulai bernafas spontan, serta tidak ditemukan kesulitan saat ekstubasi.
Pasien dapat keluar dari RR apabila sudah mencapai skor Aldrete lebih dari 8.
Skoring Alderate pada pasien ini
Aktifitas :2
Pernafasan :2
Warna Kulit :2
Sirkulasi :2
Kesadaran :2
Jumlah : 10
45
BAB V
KESIMPULAN
46
DAFTAR PUSTAKA
47
16. Brash, P.G., Cullen, B.F., Stoelting, R.K., Cahalan, M.K., Stock, M.C.
Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. USA : Lippincott Williams
& Wilkins; 2009.
17. Mahmoud, M., & Mason, K. P. Recent advances in intravenous anesthesia
and anesthetics; 2018.
18. International Journal of Anesthesiology & Pain Medicine. MedPub; 2015.
19. Serreira, J. P., Dzikit, T. B., Zeiler, G. E., Buck, R., Nevill, B., Gummow,
B., & Bester, L. Anaesthetic induction and recovery characteristics of a
diazepamketamine combination compared with propofol in dogs. Journal
of the South African Veterinary Association; 2015.
20. Bellini, L., & De Benedictis, G. M. Neuromuscular blockade of
atracurium in permissive hypercapnic versus normocapnic swine
undergoing laparoscopy; 2018.
21. Tsim, P. Howatson, A. Basic science breathing systems in anesthesia.
World Federation of Society of Anaesthesiologists; 2016.
22. Ramachandra. Anaesthesia for Laparoscopy. IAGES journal; 2015.
23. Sood J, Kumra VP. Anaesthesia for Laparoscopy. Indian Journal Surgery
2003;65;232 – 40
24. Adnyana IGN, Pryambodo. Anestesia pada Prosedur Laparoskopi.
Majalah Anestesi dan Critical Care 2008; 26; 2; 225 – 39.
25. Morgan GE, et al. Laparoscopic Surgery. Lange Clinical Anesthesia third
Edition 2002;23;522 – 24
26. Boddy AP., Mehta S., Rhodes M. The effect of Intraperitoneal Lokal
Anaesthesia in Laparoscopic Cholecystectomy: A Systematic Review and
Meta – Analysis. International Anesthesia Research Society
2006;103;3;682 - 87
27. Thangavelu, R. Laparoscopy and anesthesia: A clinical review.
Department of Anaesthesiology, Pondicherry Institute of Medical
Sciences, Puducherry, India; 2018.
28. Kulshrestha, K. Anaesthesia for laparoscopic surgery: General vs regional
anaesthesia. Department of Anaesthesiology and Intensive Care, Gian
Sagar Medical College and Hospital, Patiala, Punjab, India; 2016.
48