Anda di halaman 1dari 37

CASE REPORT

ILMU KESEHATAN KELAUTAN


HUBUNGAN TERAPI HIPERBARIK OKSIGEN DENGAN SPINAL CORD
INJURY

PEMBIMBING :

dr. Ni Komang Sri Dwi U., M.Kes, Sp.S

PENYUSUN :

Endah Dita Wahyuni 2017.04.2.00238


Ferro Pratama 2017.04.2.00247

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH


LEMBAGA KESEHATAN KELAUTAN TNI AL DRS. MED. R. RIJADI
SASTROPANOLA., PHYS
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Case Report dengan judul “Pengaruh Terapi Oksigen Hiperbarik

Terhadap Spinal Cord Injury” telah diperiksa dan disetujui sebagai salah

satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan Dokter Muda

di bagian LAKESLA TNI AL DRS. MED. R. Rijadi Sastropanola., PHYS

Surabaya.

Surabaya, 12 Desember 2018


Pembimbing

dr. Ni Komang Sri Dwi U., M.Kes, Sp.S

2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
karena atas berkah dan rahmat-NYA, saya bisa menyelesaikan case
report dengan judul “Hubungan Terapi Hiperbarik Oksigen Dengan Spinal
Cord Injury” dengan baik. Case Report ini disusun sebagai salah satu
tugas untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik di bagian LAKESLA TNI
AL DRS. MED. R. Rijadi Sastropanola., PHYS Surabaya, dengan harapan
dapat dijadikan sebagai tambahan ilmu yang bermanfaat bagi
pengetahuan penulis maupun pembaca.
Dalam penulisan dan penyusunan referat ini tidak lepas dari
bantuan dan dukungan berbagai pihak, untuk itu saya mengucapkan
terima kasih kepada :
1. dr. Ni Komang Sri Dwi U., M.Kes, Sp.S selaku pembimbing.
2. Para dokter di bagian LAKESLA TNI AL DRS. MED. R. Rijadi
Sastropanola., PHYS Surabaya.
3. Para perawat dan pegawai di LAKESLA TNI AL DRS. MED. R.
Rijadi Sastropanola., PHYS Surabaya.
Saya menyadari bahwa case report yang saya buat ini masih jauh
dari kesempurnaan, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun dari
semua pihak sangat diharapkan. Semoga referat ini dapat memberi
manfaat dan berguna bagi perkembangan terapi oksigen hiperbarik.

Surabaya, 12 Desember 2018

Penyusun

3
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... 2


KATA PENGANTAR ........................................................................................... 3
DAFTAR ISI .................................................................................................. 4
BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................................ 6
1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 6
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 7
2.1 Terapi Oksigen Hiperbarik ...................................................................... 7
2.1.1 Definisi ........................................................................................... 7
2.1.2 Sejarah Terapi Oksigen Hiperbarik ................................................ 9
2.1.3 Dasar Fisiologis Terapi Oksigen Hiperbarik ................................... 9
2.1.4 Fase Normal Penyembuhan Luka .................................................. 10
2.1.5 Cara Kerja Terapi Oksigen Hiperbarik ........................................... 12
2.1.6 Indikasi Terapi Oksigen Hiperbarik................................................ 14
2.1.7 Kontraindikasi Terapi Oksigen Hiperbarik ..................................... 15
2.1.8 Komplikasi Terapi Oksigen Hiperbarik ………………………………………. 16
2.2 Spinal Cord Injury ..................................................... …………………………… 17
2.2.1 Penelitian Tentang Hubungan HBOT dengan Spinal Cord Injury .. 18
2.2.2 HBOT Meningkatkan Fungsi Motorik Hindlimb Pada Tikus Dengan
Cedera Medulla Spinalis ............................................................... 18
2.2.3 HBOT Mengurangi Apoptosis Pada Jaringan Sumsum Tulang Belakang
Tikus Dengan Cedera Medulla Spinalis ……. .................................. 19
2.2.4 HBOT Mengurangi Ekspresi AQP4 / 9 Mrna Dan Protein Dalam Kabel
Tulang Belakang Tikus Dengan Cedera Tulang Belakang……. ....... 21
2.2.5 HBOT Meningkatkan Perubahan Patologis Pada Sumsum Tulang
Belakang Tikus Dengan Cedera Medulla Spinalis……. ................... 22
2.2.6 HBOT Meningkatkan Fungsi Neurologis Pada Tikus Dengan Cedera
Medulla Spinalis……. ...................................................................... 23
4
BAB 3. HUBUNGAN TERAPI HIPERBARIK OKSIGEN DENGAN SPINAL CORD INJURY
……………………………………………………………………………………………………. 19
BAB 4. KESIMPULAN ..................................................................................... 22
BAB 5. STATUS PASIEN ................................................................................. 23
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 26

5
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pemulihan fungsi motorik adalah tujuan utama rehabilitasi klinis
setelah cedera sumsum tulang belakang. Metode yang digunakan untuk
memicu regenerasi saraf dan memulihkan fungsi neurologis telah banyak
diteliti di klinik dan dalam penelitian medis. Saat ini, perawatan klinis
cedera medulla spinalis meliputi penggunaan faktor neurotropik dan
rehabilitasi fisik, yang berkontribusi pada perbaikan jaringan nekrotik,
mengurangi iskemia dan hipoksia sumsum tulang belakang, dan
meningkatkan pemulihan fungsi neuronal. Namun, perawatan semacam
itu tetap tidak memuaskan karena biayanya yang tinggi, efek samping,
dan komplikasi yang sering terjadi. Terapi oksigen hiperbarik adalah
strategi baru yang menjanjikan dalam proses rehabilitasi setelah cedera
otak atau sumsum tulang belakang. Perawatan ini melibatkan menghirup
oksigen murni dalam ruang tertutup yang bertekanan hingga 1-3 kali
tekanan atmosfer normal. Ini memicu proliferasi dan diferensiasi sel-sel
induk endogen, meningkatkan tekanan parsial oksigen arteri,
meningkatkan kandungan oksigen darah dalam sistem saraf pusat,
meningkatkan metabolisme aerobik dalam sistem saraf pusat, dan
memperbaiki sekunder kerusakan pada cedera sumsum tulang belakang.
Selain itu, terapi oksigen hiperbarik mengurangi kandungan ion
malondialdehid dan kalsium, menghambat peroksidasi lipid, meningkatkan
kapasitas antioksidan dari membran sel, mengurangi konsentrasi ion
kalsium intraseluler, melindungi sel-sel saraf dan meningkatkan
regenerasi. Kendala utama dalam pengobatan klinis cedera sumsum
tulang belakang adalah ketidakmampuan akson yang rusak untuk
beregenerasi. Ini mungkin karena pelepasan faktor penghambat yang
tidak kondusif untuk pertumbuhan neurit di lingkungan mikro sumsum
tulang belakang. Peningkatan bukti dari studi klinis telah menunjukkan
bahwa terapi oksigen hiperbarik secara signifikan meningkatkan
6
lingkungan mikro di sekitar sumsum tulang belakang yang terluka dan
mengurangi kerusakan saraf sekunder.

7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Terapi Oksigen Hiperbarik


2.1.1 Definisi
Hyperbaric Oxygen Therapy digambarkan sebagai inhalasi dari
oksigen 100% di dalam sebuah chamber bertekanan tinggi dengan
tekanan lebih dari 1 atmosphere (atm). HBOT pada umumnya
menggunakan tekanan sebesar 1,5 atm sampai 2,5 atm dengan durasi 30
sampai 90 menit, dan diulang beberapa kali (Sahriari, 2014).
Dengan terapi HBO, pasien dapat terbebas dari infeksi-infeksi
oportunistik, rasa lelah berkurang, dan dapat mempertahankan berat
badannya. Jika dulunya HBO dibuat untuk primary therapy pada beberapa
kelainan medis seperti keracunan gas CO dan gangren, maka saat ini
digunakan juga untuk terapi tambahan pada bermacam-macam kondisi
seperti untuk kecantikan, kebugaran, dan spa related therapeutic
aplications (Wadhawan, 2014).
Terapi oksigen hiperbarik (HBOT) adalah pengobatan di mana
pasien menghirup oksigen 100% saat berada di dalam ruang hiperbarik
bertekanan lebih dari tekanan permukaan laut (1 atmosfer absolut [ATA]).
Untuk kemanjuran klinis, The Undersea and Hyperbaric Medical Society
(UHMS) menetapkan bahwa tekanan harus lebih besar daripada atau
sama dengan 1,4 ATA, dalam praktek klinis, tekanan biasanya diterapkan
berkisar 2 hingga 3 ATA. Terapi diberikan di dalam multiplace chambers
atau di dalam monoplace chambers, di dalam ruang monoplace pasien
tunggal bernafas murni oksigen. Di dalam ruang multiplace, ada beberapa
pasien dan mereka masing-masing menghirup oksigen murni melalui
masker wajah, tudung, atau tabung endotrakeal. Tergantung pada
indikasinya pasien dapat diobati hingga 3 sesi HBOT setiap harinya.
Dalam perawatan luka, HBOT digunakan sebagai terapi tambahan untuk
perawatan luka standar. Protokol biasanya melibatkan terapi HBO 1,5

8
hingga 2 jam per pengobatanya selama 20 hingga 40 terapi, bahkan bisa
sampai 60x terapi (Lam G, Fontaine R, Ross FL, 2017).
Karena pasien harus mengalami peningkatan tekanan (> 1 ATA)
selama perawatan HBOT yang benar, penting untuk dicatat bahwa
bernapas 100% oksigen pada 1 ATA bukan merupakan HBOT (Lam G,
Fontaine R, Ross FL, 2017).

Gambar 2. 1 Multiplace Chamber


(Alertdiver.com)

Gambar 2. 2 Monoplace Chamber (Lam


G, Fontaine R, Ross FL, 2017)

2.1.2 Sejarah Terapi Oksigen Hiperbarik


Terapi oksigen hiperbarik pertama kali digunakan oleh Behnke
pada tahun 1930 untuk menghilangkan simptom penyakit dekompresi
9
(Caisson’s disease) setelah menyelam. Penyakit dekompresi adalah
penyakit yang terjadi karena perubahan tekanan, misalnya saat menyelam
atau naik pesawat terbang, yakni terjadi pelepasan dan mengembangnya
gelembung gas dalam organ. Jika kita kembali ke tekanan awal, maka
akan terjadi perubahan tekanan yang dapat menganggu fungsi beberapa
organ tubuh/penyakit dekompresi. Pemakaian oksigen hiperbarik juga
dikembangkan sebagai komplemen terhadap efek radiasi pada perawatan
kanker oleh Churchill Davidson pada tahun 1950, selain sebagai
perawatan penunjang selama pembedahan jantung, perawatan gas
gangrene klostridial, dan perawatan terhadap keracunan karbon
monoksida (Wibowo, 2015).
Oksigen hiperbarik mulai dikenal untuk menunjang penyembuhan
luka pada tahun 1965 pada korban luka akibat ledakan pada tambang
minyak dengan keracunan karbon monoksida (Wibowo, 2015).

2.1.3 Dasar Fisiologis Terapi Oksigen Hiperbarik


Sebagian besar penerapan terapi HBO diperoleh secara langsung
dari prinsip-prinsip dan hukum-hukum fisika yang berkembang dari abad
ke abad, yaitu:
1. Hukum Boyle
Hukum Boyle, suatu teori pemampatan, menyatakan bahwa pada
temperatur tetap, volume suatu gas sebanding dengan tekanannya.
2. Hukum Dalton
Hukum Dalton, teori tekanan parsial, menyatakan bahwa tekanan
suatu campuran gas dapat dianggap sebagai jumlah dari tekanan parsial
masing-masing gas. John Dalton adalah seorang kimiawan dan fisikawan
Inggris yang merumuskan hukum, dimana John Dalton menyatakan
bahwa campuran suatu gas, merupakan jumlah tekanan parsial dari gas
tersebut. Jadi, apabila dikaitkan dengan udara, maka tekanan oksigen
adalah 160 mmHg dan tekanan nitrogen adalah 600 mmHg di permukaan
laut. Menggabungkan dua tekanan ini sama dengan 760 mmHg yang
berarti sama dengan tekanan atmosfer.
10
3. Hukum Henry
Hukum Henry menjelaskan patogenesis decompresion sickness
dan peran dari terapi HBO sebagai pengobatannya (Raveenthiraraja, T,
2013).
Mekanisme aksi terapi HBO adalah mekanisme ganda yang terdiri
dari mekanisme fisika dan fisiologis. Pengaruh mekanisme fisika
digunakan berdasarkan adanya peningkatan kelarutan oksigen di dalam
plasma sesuai dengan hukum Henry, yang dapat menyebabkan
peningkatan supply oksigen seluler dengan meningkatkan gradien difusi
jaringan-seluler. Sedangkan pada pengaruh fisiologis, terapi HBO dapat
melawan infeksi anaerob akibat produksi radikal bebas dan inhibisi secara
langsung terhadap clostridial alpha toxin. Serta secara tidak langsung,
terapi HBO juga dapat melawan infeksi aerob dengan berperan pada
proses “oxidative burst”. HBO dapat menyebabkan vasokonstriksi melalui
respon yang diperantarai Nitric Oxide Synthase (NOS), sehingga dapat
mengurangi edema, membantu pembentukan kolagen yang mempercepat
penyembuhan luka dan angiogenesis, serta mencegah aktivitas radikal
bebas dengan menginhibisi ICAM1 dan CD18. Mekanisme-mekanisme
tersebut membuat terapi HBO sangatlah berguna pada infeksi campuran,
clostridial myonecrosis, infeksi dengan nekrosis jaringan lunak, dan
refractory osteomyelitis (Raveenthiraraja, T, 2013).

2.1.4 Fase Normal Penyembuhan Luka


Sebelum membahas bagaimana mekanisme HBOT dalam
mempercepat penyembuhan luka, penting untuk mengetahui terlebih
dahulu fase normal dari penyembuhan luka. Fase-fase ini adalah
hemostasis, inflamasi, proliferasi, dan maturasi. Segera setelah cedera,
trombosit menempel pada endothelium yang cedera, dan kaskade
koagulasi berikutnya memicu pembentukan matriks luka sementara untuk
mencapai hemostasis. Proses ini juga mengaktifkan respon inflamasi,
yang termasuk migrasi dan aktivasi leukosit, neutrofil, dan makrofag. Fase
inflamasi berakhir beberapa hari setelah cedera awal, dengan apoptosis
11
sel respon inflamasi yang disebutkan sebelumnya (Lam G, Fontaine R,
Ross FL, 2017).
Fase proliferasi dimulai ketika fase inflamasi mereda. Selama fase
proliferasi, neovaskularisasi terjadi melalui vasculogenesis, perekrutan sel
progenitor endotel dari sumsum tulang yang berdiferensiasi menjadi sel
endotel kapiler, dan melalui angiogenesis, pembentukan pembuluh darah
baru dari sel endotel yang ada di jaringan kapiler luka. Neovaskularisasi
sangat penting untuk pembentukan jaringan granulasi karena memasok
sel-sel dermal dan epidermal yang bermigrasi dan berkembang biak di
luka dengan oksigen dan nutrisi. Sel-sel yang berproliferasi utama adalah
fibroblast, yang menciptakan matriks baru dari jaringan ikat untuk menutup
celah-celah luka dan mengembalikan kekuatan mekanik ke luka (Lam G,
Fontaine R, Ross FL, 2017).
Pada fase akhir, kontraksi luka dan remodeling matriks terjadi,
menghasilkan jaringan parut dengan 80% kekuatan kulit yang tidak
terluka. Luka kronis ditandai dengan fase inflamasi berkepanjangan,
dengan ketidakmampuan untuk maju ke fase proliferatif atau membentuk
jaringan granulasi baru (Lam G, Fontaine R, Ross FL, 2017).

Gambar 2. 3 Gambar 2.3 4 Fase Normal dari Penyembuhan Luka (Lam G,


Fontaine R, Ross FL, 2017)

2.1.5 Cara Kerja Terapi Oksigen Hiperbarik


Pengobatan oksigen hiperbarik secara umum didasarkan pada
pemikiran-pemikiran/alasan-alasan sebagai berikut (Leach et al, 2012) :

12
1. Hiperoksigenasi
Bernapas dengan oksigen murni 100% pada tekanan 2-3
atm memberikan 20 kali lebih banyak oksigen ke jaringan
daripada dalam kondisi normal (21%). Hal ini memberikan
manfaat bagi jaringan iskemik lewat aliran darah marginal.
2. Tekanan Langsung
Oksigen pada tekanan rendah akan memperkecil volume
gelembung gas yang mengarah ke reabsorbsi. Hal ini berguna
pada arteri yang mengalami emboli gas dan nitrogen dalam
jaringan, yang disebabkan karena kecelakaan menyelam
3. Bakterial dan Bakterisidal
Hiperoksigenasi dari jaringan akan meningkatkan
pembunuhan bakteri terutama yang bersifat anaerob, dan
penting dalam menyembuhkan infeksi yang resisten. HBOT
memfasilitasi system peroksidase oksigen sesuai dengan
tempat leukosit membunuh bakteri tersebut.
4. Vasokonstriksi
Terapi HBO dapat menyebabkan penyempitan dari lumen
pembuluh darah, terutama di jaringan yang terluka, sehingga
mengurangi edema dan penting dalam pengobatan luka bakar,
crush injury dan injury tissue.
5. Angiogenesis
HBOT memicu aliran darah kolateral yang diproduksi oleh
peningkatan fibroblast pada jaringan yang terluka, sehingga
menyebabkan peningkatan kolagen. Oleh karena itu, di daerah
yang iskemik, oksigen hiperbarik mendorong atau merangsang
pembentukan pembuluh darah kapiler baru sehingga dapat
meningkatkan kecepatan penyembuhan luka.
6. Stimulasi Superoksida Dismutase
Superoksida dismustase merupakan salah satu antioksidan
utama tubuh dan melawan radikal bebas. HBOT merangsang

13
antioksidan yang baik untuk perbaikan jaringan yang terjadi
peradangan akibat produk radikal bebas.
7. Antibiotik Sinergi
HBOT bersinergi dengan antibiotic berikut : floroquinolones,
aminoglikosida, dan amfoterisin B. Antibiotik ini menggunakan
oksigen untuk melintasi membrane sel.
8. Penurunan Lactic Acid
HBOT menurunkan akumulasi laktat pada jaringan iskemik,
yang sangat membantu pada fase penyembuhan.
9. Leucocyte Oxidative Killing
Dalam lingkungan anaerobic, kapasitas leukosit berkurang.
Dengan memberikan oksigen tambahan, kapasitas dekstruktif
leukosit lebih meningkat.
10. Menurunkan Inflamasi
HBOT mengurangi peradangan dengan beberapa
mekanisme. Sitokin dan mediator inflamasi lainnya, termasuk
asam laktat yang dibersihkan dengan HBOT. HBOT
merangsang antioksidan dalam tubuh untuk mengurangi
inflamasi.
11. Meningkatkan Stem sel
HBOT memicu delapan kali lebih tinggi dari tingkat normal
agar stem sel keluar dari bone marrow dan mengatasi daerah
inflamasi.

14
2.1.6 Indikasi Terapi Oksigen Hiperbarik (Gill & Bell, 2004)
 Emboli gas atau udara
 Keracunan Karbon monoksida, Sianida, Inhalasi asap
 Clostridial myositis dan myonecrosis (gas gangrene)
 Crush Injury, Compartmen syndromes dan iskemia perifer
akut traumatik lainnya
 Penyakit Dekompresi
 Peningkatan penyembuhan dalam masalah luka tertentu
 Anemia kehilangan darah yang luar biasa
 Abses intracranial
 Infeksi jaringan lunak nekrotik
 Osteomielitis refrakter
 Flaps dan Graft kulit
 Osteoradionekrosis
 Radionekrosis jaringan lunak
 Luka bakar

15
2.1.7 Kontraindikasi Terapi Oksigen Hiperbarik

Gambar 2. 4 Mekanisme Terapi Hiperbarik Oksigen dalam Penyembuhan Luka


(Lam G, Fontaine R, Ross FL, 2017)

Kontraindikasi yang muncul pada terapi oksigenasi hiperbarik


adalah pada kasus asma, penyakit paru obstruksi kronis (PPOK),
klaustrofobia, penggunaan kemoterapi pada keganasan paru, kehamilan,
demam tinggi, kejang, infeksi saluran pernafasan, dan gangguan tuba
eustachius. Tetapi tentunya jika kontraindikasi ini bisa ditatalaksana
terlebih dahulu, maka terapi oksigenasi sudah bisa dilakukan (Wibowo,
2015).
Kemungkinan efek samping dan kontraindikasi terapi oksigen
hiperbarik (Lam G, Fontaine R, Ross FL, 2017) :
1. Efek samping minor :
a. Barotrauma telinga dan sinus
b. Myopia

16
c. Accelerated cataract maturation
2. Efek samping mayor :
a. Kejang
b. Gagal jantung kongestif eksaserbasi
c. Edema paru
d. Perubahan retina
3. Kontraindikasi relative
a. Demam
b. Penyakit kejang
c. Hipertirodisme
d. CHF
e. Penyakit paru (ex : PPOK)
f. Claustrophobia berat
4. Kontraindikasi absolut :
a. Untreated Pneumothorax

2.1.8 Komplikasi Terapi Oksigen Hiperbarik


Oksigen hiperbarik relatif aman walaupun ada beberapa resiko
yang disebabkan oleh peningkatan tekanan dan hiperoksia. Efek yang
paling sering adalah myopia yang progresif dan reversible yang
disebabkan karena deformasi fisik lensa. Toksisitas pada CNS berupa
kejang mungkin terjadi dan telah dibuktikan oleh Paul Bert pada tahun
1878. Barotrauma sinus dan middle ear dapat dicegah dengan ekualisasi
tekanan atau menggunakan tympanostomy tubes dan otitis media dapat
dicegah dengan pseudoephedrine. Barotrauma telinga dalam jarang
terjadi tetapi ruptur pada timpani dapat menyebabkan kehilangan
pendengaran yang permanen, tinnitus dan vertigo. Barotrauma paru dan
pneumothorax jarang terjadi, terutama disebabkan sebelumnya ada
riwayat penyakit paru. Selain itu efek samping psikologis seperti
claustrophobia sering terjadi (Gill & Bell, 2004).

17
2.2 Spinal Cord Injury
2.2.1 Penelitian Tentang Hubungan HBOT dengan Spinal Cord Injury
Terapi oksigen hiperbarik meningkatkan fungsi motorik pada pasien
dengan cedera medulla spinalis. Dalam penelitian Wang Y, dkk.,
mekanisme yang terkait dengan pemulihan fungsi neurologis setelah
terapi oksigen hiperbarik dalam model tikus cedera tulang belakang.
Model cedera sumsum tulang belakang akut menggunakan modifikasi
metode objek jatuh bebas, dan memperlakukan hewan dengan oksigen
pada 0,2 MPa selama 45 menit, 4 jam setelah cedera. Perawatan
diberikan empat kali per hari, selama 3 hari.

2.2.2 HBOT Meningkatkan Fungsi Motorik Hindlimb Pada Tikus


Dengan Cedera Medulla Spinalis
Sebelum cedera medulla spinalis, skor BBB, sudut bidang miring
dan skor Tarlov yang dimodifikasi tidak berbeda secara signifikan antara
ketiga kelompok. Setelah cedera tulang belakang, semua tindakan secara
signifikan lebih rendah dalam model dan kelompok oksigen hiperbarik
daripada di kelompok palsu (P <0,05), dan 2-4 minggu setelah cedera,
tikus dalam kelompok oksigen hiperbarik menunjukkan peningkatan yang
signifikan dalam semua ukuran dibandingkan dengan mereka dalam
kelompok model (P <0,05), meskipun skor tetap lebih rendah daripada di
kelompok palsu untuk durasi periode observasi (P <0,05; Gambar 1).

Gambar 2. 5 Pengaruh terapi oksigen hiperbarik pada fungsi motorik pada


tikus dengan cedera sumsum tulang belakang.

18
Tikus yang terpapar oksigen hiperbarik memiliki skor BBB yang
lebih tinggi (A), mencapai sudut yang lebih besar pada uji bidang miring
(B) dan memiliki skor Tarlov yang dimodifikasi lebih tinggi (C) daripada
tikus model, menunjukkan fungsi motorik yang lebih baik. Data dinyatakan
sebagai mean ± SD (n = 8 tikus per kelompok). * P <0,05, vs. kelompok
palsu; # P <0,05, vs. kelompok model (pengukuran ulang analisis varians
dan tes Student-Newman-Keuls). I: Sebelum pemodelan; II – VII: 1 hari, 3
hari, 1, 2, 3, 4 minggu setelah pemodelan; BBB: skala Basso-Beattie-
Bresnahan.

2.2.3 HBOT Mengurangi Apoptosis Pada Jaringan Sumsum Tulang


Belakang Tikus Dengan Cedera Medulla Spinalis
Dalam kelompok model, sel TUNEL-positif tersebar di seluruh
jaringan sumsum tulang belakang yang cedera dan di tepi lokasi cedera.
Dalam kelompok yang menerima terapi oksigen hiperbarik,
bagaimanapun, secara signifikan lebih sedikit sel apoptosis yang diamati
daripada pada kelompok model (P <0,05). Tidak ada sel apoptosis yang
diamati pada kelompok palsu (Gambar 2).

19
Gambar 2. 6 Pengaruh terapi oksigen hiperbarik (HBO) pada apoptosis
pada jaringan sumsum tulang belakang tikus dengan cedera medulla
spinalis.

(A) Sel apoptosis pada jaringan sumsum tulang belakang tikus


(pewarnaan TUNEL, x 200); (A1) kelompok sham, (A2) kelompok model,
(A3) kelompok HBO. Butiran coklat terlihat pada inti sel apoptosis (arows).
(B) Kuantifikasi sel-sel apoptosis di jaringan sumsum tulang belakang.
Data dinyatakan sebagai mean ± SD (n = 5 tikus per kelompok). * P <0,05,
vs. kelompok palsu; # P <0,05, vs. kelompok model (pengukuran ulang
analisis varians dan tes Student-Newman-Keuls).

2.2.4 HBOT Mengurangi Ekspresi AQP4 / 9 Mrna Dan Protein Dalam


Kabel Tulang Belakang Tikus Dengan Cedera Tulang Belakang
Sebaliknya transkripsi PCR dan analisis western blot menunjukkan
bahwa tingkat ekspresi AQP4 / 9 mRNA dan protein secara signifikan
lebih besar pada kelompok model daripada di kelompok palsu 72 jam
setelah cedera sumsum tulang belakang (P <0,05). Namun, ekspresi
tinggi ini dilemahkan dalam kelompok terapi oksigen hiperbarik (P <0,05;
Gambar 3).

20
Gambar 2. 7 Pengaruh terapi oksigen hiperbarik pada aquaporin (AQP)
4/9 mRNA (A) dan protein (B) tingkat ekspresi pada sumsum tulang
belakang tikus dengan cedera medulla spinalis.

(A) Rasio densitas optik terintegrasi dari gen target ke β-aktin


dihitung untuk setiap sampel mRNA. (B) Rasio densitas optik terintegrasi
dari protein target ke β-aktin dihitung untuk setiap sampel protein. Data
dinyatakan sebagai mean ± SD (n = 9 tikus per kelompok). * P <0,05, vs.
kelompok palsu; # P <0,05, vs. kelompok model (pengukuran ulang
analisis varians dan tes Student-Newman-Keuls). I: Model grup; II:
kelompok terapi oksigen hiperbarik; III: kelompok sham.

2.2.5 HBOT Meningkatkan Perubahan Patologis Pada Sumsum


Tulang Belakang Tikus Dengan Cedera Medulla Spinalis
Pewarnaan Hematoxylin-eosin menunjukkan bahwa struktur jaringan
tulang belakang utuh dan bersih 4 minggu setelah cedera, tanpa
syringomyelia atau apoptosis neuronal pada tikus yang palsu. Dalam
kelompok model, struktur sumsum tulang belakang longgar dan
syringomyelia diamati, dengan sejumlah besar neuron nekrotik. Pada
kelompok terapi oksigen hiperbarik, struktur saraf tulang belakang longgar,
dengan rongga yang lebih kecil dan neuron nekrotik lebih sedikit daripada
di kelompok model (Gambar 4). Pewarnaan Immunohistokimia
mengungkapkan serabut saraf NF-200-positif yang tersusun rapi di
21
sumsum tulang belakang tikus dari kelompok palsu. Sebagai
perbandingan, ada lebih sedikit serabut saraf NF-200-positif pada sumsum
tulang belakang tikus dalam kelompok model (P <0,05), dan serabut saraf
pendek dan jarang disusun. Setelah terapi oksigen hiperbarik, jumlah
serabut saraf NF-200-positif lebih besar dari pada kelompok model (P
<0,05; Gambar 4).

Gambar 2. 8 Pengaruh terapi oksigen hiperbarik (HBO) pada serabut saraf


positif NF-200 di sumsum tulang belakang tikus dengan cedera medulla
spinalis.

(A) Pengaruh terapi oksigen hiperbarik pada perubahan patologis


sumsum tulang belakang. Syringomyelia (panah biru) dan hilangnya serat
NF-200-positif (panah merah) dilemahkan setelah terapi oksigen
hiperbarik. (B) Kuantifikasi serabut saraf NF-200-positif di sumsum tulang

22
belakang. Terapi oksigen hiperbarik mengurangi kehilangan serat NF-200
positif setelah cedera medulla spinalis. Data dinyatakan sebagai mean ±
SD (n = 5 tikus per kelompok). * P <0,05, vs. kelompok palsu; # P <0,05,
vs. kelompok model (pengukuran ulang analisis varians dan tes Student-
Newman-Keuls).

2.2.6 HBOT Meningkatkan Fungsi Neurologis Pada Tikus Dengan


Cedera Medulla Spinalis
Empat minggu setelah cedera medulla spinalis, hindlimb
membangkitkan bentuk gelombang potensial yang sama sekali tidak ada
dalam model dan kelompok oksigen hiperbarik. Empat minggu setelah
cedera sumsum tulang belakang, potensi somatosensori yang ditimbulkan
dan potensi motorik yang ditimbulkan telah pulih ke tingkat yang lebih
besar pada kelompok oksigen hiperbarik daripada di kelompok model (P
<0,05; Gambar 5).

Gambar 2. 9 Pengaruh terapi oksigen hiperbarik (HBO) pada fungsi


neurologis pada tikus dengan cedera sumsum tulang belakang.

Data dinyatakan sebagai mean ± SD (n = 7 tikus per kelompok). * P


<0,05, vs. kelompok palsu; # P <0,05, vs. kelompok model (pengukuran

23
ulang analisis varians dan tes Student-Newman-Keuls). I: Model grup; II:
kelompok HBO; III: kelompok sham.

24
BAB 3
HUBUNGAN TERAPI HIPERBARIK OKSIGEN DENGAN SPINAL CORD
INJURY
Peradangan yang berlebihan mempromosikan apoptosis
oligodendrocyte, cedera sumsum tulang belakang yang diperburuk, dan
menghambat pemulihan fungsi neurologis setelah cedera sumsum tulang
belakang. Pada tahap awal setelah cedera sumsum tulang belakang akut,
gangguan mikrosirkulasi dapat memicu hipoksia dan iskemia lokal, dan
menyebabkan peradangan kekebalan. Selama periode ini, tumor necrosis
factor-α, interleukin-1 dan faktor inflamasi lainnya dilepaskan, dan aktivasi,
proliferasi dan migrasi mikroglia dan astrosit terjadi, berkontribusi terhadap
sitotoksisitas sekunder dan pembentukan bekas luka. Saraf iskemia /
hipoksia sumsum tulang belakang yang berkelanjutan dan gangguan
metabolisme tidak kondusif untuk regenerasi saraf dan aksonal, yang
mengakibatkan cedera tulang belakang sekunder lebih lanjut.
Penelitian Wang Y dkk., menunjukkan bahwa terapi oksigen hiperbarik
diberikan segera setelah cedera sumsum tulang belakang meningkatkan
pemulihan pada tikus dengan mengurangi ekspresi gen dan protein yang
berhubungan dengan edema di sumsum tulang belakang yang cedera,
menipiskan apoptosis di lokasi cedera, memperpendek latensi dan
meningkatkan amplitudo potensial yang ditimbulkan, dan meningkatkan
fungsi motor belakang. Mekanisme untuk tindakan terapi oksigen
hiperbarik dalam memperbaiki lingkungan mikro di sumsum tulang
belakang yang cedera: (1) Cedera medula spinalis menyebabkan edema
lokal dan hipoksia, dan terapi oksigen hiperbarik mengurangi apoptosis
neuronal hipoksia yang diinduksi oleh peningkatan konsentrasi oksigen
darah. di sumsum tulang belakang yang terluka. (2) Oksigen hiperbarik
menurunkan regulasi gen AQP4 / 9 dan ekspresi protein, mengurangi
peradangan pada sumsum tulang belakang yang cedera. (3) Perawatan
juga memperbaiki asidosis pada sumsum tulang belakang yang cedera,
meningkatkan mikrosirkulasi, berkontribusi pada pemeliharaan
metabolisme energi, dan meningkatkan pemulihan fungsi saraf setelah
25
cedera reversibel. Singkatnya, terapi oksigen hiperbarik membantu
mengurangi apoptosis neuronal, menurunkan tingkat kecacatan, dan
mencegah kerusakan setelah cedera tulang belakang. Kemanjuran jangka
panjang, keamanan dan keandalan perawatan ini, dan komplikasi terkait
yang minimal, menjadikan terapi oksigen hiperbarik sebagai pengobatan
baru yang menjanjikan untuk cedera sumsum tulang belakang.

26
BAB 4
KESIMPULAN
Terapi oksigen hiperbarik meningkatkan fungsi motorik pada pasien
dengan cedera medulla spinalis. Model cedera sumsum tulang belakang
akut menggunakan modifikasi metode objek jatuh bebas, dan
memperlakukan hewan dengan oksigen pada 0,2 MPa selama 45 menit, 4
jam setelah cedera. Perawatan diberikan empat kali per hari, selama 3
hari. Dibandingkan dengan tikus model yang tidak menerima pengobatan,
tikus yang terpapar oksigen hiperbarik memiliki lebih sedikit sel apoptosis
di jaringan sumsum tulang belakang, tingkat ekspresi yang lebih rendah
dari aquaporin 4/9 mRNA dan protein, dan lebih banyak serabut saraf
positif NF-200. Selanjutnya, mereka memiliki rongga sumsum tulang
belakang yang lebih kecil, pemulihan cepat dari somatosensori dan motor
yang membangkitkan potensi, dan terutama pemulihan fungsi motor
belakang belakang yang lebih baik daripada tikus model. Temuan kami
menunjukkan bahwa terapi oksigen hiperbarik mengurangi apoptosis,
menurunkan regulasi aquaporin 4/9 mRNA dan ekspresi protein pada
jaringan sumsum tulang belakang yang cedera, meningkatkan lingkungan
mikro lokal untuk regenerasi saraf, dan melindungi dan memperbaiki
sumsum tulang belakang setelah cedera. Untuk itu dapat kami simpulkan
dari penelitian Wang Y, dkk., bahwa terapi oksigen hiperbarik memberikan
perbaikan terhadap spinal cord injury.

27
BAB 5
STATUS PASIEN
5.1 IDENTITAS
Nama : Tn. AY
Usia/ Tanggal Lahir : 37 tahun/ 29 Januari 1981
Alamat : Jl. S. Parman, No. 06, Waru, Sidoarjo
Agama : Islam
Status : Belum menikah
Pekerjaan : PNS BKN
Terapi HBO : 14 kali

5.2 SUBJEKTIF
1. Keluhan utama : Kedua kaki tidak bisa digerakkan
2. Keluhan tambahan : Kebas (-), geringgingan (-), mual (-), muntah (-)
3. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang dengan keluhan tidak bisa menggerakkan kedua
kakinya, ± sejak 3 bulan yang lalu, dimana awalnya pasien pada tanggal
25 september 2018 sempat jatuh terduduk (split) saat setelah pasien
mandi. Pasien awalnya merasakan bahwa ada sengatan listrik pada saat
jatuh terduduk di daerah punggung (dari pantat menjalar ke punggung).
Kemudian kakinya merasa lemas, dan dicoba untuk berdiri, tetapi pasien
tidak bisa berdiri. Pasien masih bisa merasa sensasi raba pada kedua
kakinya. Nyeri punggung disangkal. Otot kaki pada bagian belakang
merasa kayak seperti ditarik. Kemudian pasien dibantu oleh temannya
untuk tidur rebahan selama satu jam, tetapi kaki masih tidak bisa
digerakkan dan badan terasa sakit semua.
Pasien sempat dirawat di RSUD Sidoarjo selama 4 hari dan
diberikan obat secara suntikan, dan pasien merasa bahwa badannya agak
enakan (sakitnya hilang) dan kakinya sempat bisa untuk diangkat. Setelah
pasien pulang pasien sempat berlatih untuk berdiri, dimana kaki kirinya
lebih kuat dibanding yang kanan. Kalau pasien batuk/ bersin, badan
terasa sakit. Kemudian pasien control ke poli spesialis saraf di RSUD
28
Sidoarjo dan dirujuk ke RSAL Dr. Ramelan Surabaya. Pasien sempat
merasa bahwa kaki kirinya semakin kuat sedangkan kaki kanannya
semkin kuat, tetapi agak nyeri apabila digerakkan.
Pasien melakukan operasi HNP pada tanggal 23 oktober 2018.
Setelah operasi, pasien merasa tidak bisa sama sekali untuk
menggerakkan kakinya selama 2 hari. Setelah 7 hari opname, pasien
pulang. Kemudian pasien kontrol dan dikonsulkan untuk melakukan
fisioterapi. Pasien disarankan oleh dokter untuk menjalani terapi HBO di
Lakesla Surabaya.
4. Riwayat penyakit dahulu : HT(-) ; DM(-); asma(-); penyakit jantung(-)
5. Riwayat penyakit keluarga : HT(-) ; DM(-); asma(-)
6. Riwayat penggunaan obat :
7. Fisioterapi : 7x, dua kali seminggu
8. Akupuntur : 6x
9. HBOT : 14x

5.3 OBJEKTIF
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
GCS l : 4-5-6
TD : 150/90
RR : 22 br/min
Nadi : 84 b/min reguler
Suhu : 37ºC
HBOT : 14x
BB : 90 Kg
TB : 176 cm

5.4 PEMERIKSAAN FISIK


1. Kepala
A/I/D/C = -/-/-/-
Nomochepal
29
Pupil isokor, reflex cahaya (+)
Telinga = membrane tympani intak (+), Serumen (-)
2. Leher
Deviasi trachea (-), Pembesaran KGB (-), Bendungan vena (-)
3. Thorax
 Jantung
o Inspeksi = normochest, ictus cordis tak tampak
o Palpasi = ictus cordis tak teraba
o Perkusi = batas jantung jelas, ada pelebaran
o Auskultasi = S1S2 Tunggal, murmur (-), Gallop (-)
 Paru
o Inspeksi = gerak nafas normal
o Palpasi = Fremitus raba normal
o Perkusi = Sonor
o Auskultasi = Wheezing (-), Rhonki (-)
4. Abdomen
o Inspeksi = dalam batas normal
o Auskultasi = Bising usus (-)
o Palpasi = Nyeri tekan (-), Hepar, ginjal, lien tidak teraba
o Perkusi = Timpani
5. Extremitas
o AKHM (+)
o Edema (-)
6. Pemeriksaan motoric
55
33
7. Pemeriksaan sensoris
NN
NN
8. Autonom
BAB lancar
BAk lancar
30
Pemeriksaa Penunjang
Foto Thorax

31
32
33
34
35
Daftar Pustaka
1. Calvert, J. W., Cahill, J., & Zhang, J. H. 2007. Hyperbaric
oxygen and cerebral physiology. Neurological Research, 29(2),
132–141. https://doi.org/10.1179/016164107X174156.
2. Fatimah, Restyana Noor. 2015. Diabetes Melitus Tipe 2
3. Gill, A. L., & Bell, C. N. A. 2004. Hyperbaric oxygen: Its uses,
mechanisms of action and outcomes. QJM - Monthly Journal of
the Association of Physicians, 97(7), 385–395.
https://doi.org/10.1093/qjmed/hch074
4. Lam G, Fontaine R, Ross FL, C. E. 2017. Hyperbaric oxygen
therapy: Exploring the clinical evidence. Advances in Skin &
Wound Care, 30(40), 181–190. https://doi.org/10.1094/PDIS-92-
9-1364A.
5. Leach et al, B. 2012. Indications for Hyperbaric Oxygen
Therapy. DVM.
6. Li, H., Zhao, D., Diao, M., Yang, C., Zhang, Y., Lv, Y., … Pan, S.
2015. Hyperbaric Oxygen Treatments Attenuate the Neutrophil-
to-Lymphocyte Ratio in Patients with Idiopathic Sudden
Sensorineural Hearing Loss. Otolaryngology-Head and Neck
Surgery, 153(4), 606–612.
https://doi.org/10.1177/0194599815589072
7. Liu, W., Zhang, J., Ma, C., Liu, Y., Li, R., Sun, X., & Xu, W. G.
2009. Dual effects of hyperbaric oxygen on proliferation and
cytotoxic T lymphocyte activity of rat splenic lymphocytes.
Undersea Hyperb Med, 36(3), 155–160. Retrieved from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi?cmd=Retrieve&db
=PubMed&dopt=Citation&list_uids=19860137
8. Mahdi. 1999.Pengaruh Oksigen Hiperbarik Terhadap Sel
Jaringan Tubuh, Proses Penyembuhan Luka, Ilmu Kesehatan
Penyelaman dan Hiperbarik,h 351-355.
9. Noori S., Al-Waili., Glenn J. Butler. 2006. Effects of Hyperbaric
Oxygen on Inflammatory Response to Wound and Trauma:
36
Possible Mechanism of Action.
10. Raveenthiraraja, T., Subha, M. 2013. Hyperbaric Oxygen
Therapy: A Review. Int J Pharm Pharm Sci, vol. 5, issue 4, pp.
52-54.
https://innovareacademics.in/journal/ijpps/Vol5Issue4/7741.pdf
11. Shahriari, A., Khoosideh, M., Heidari, M. 2014. Diseases
Treated With Hyperbaric Oxygen Therapy: A Literature Review.
Med Hypothesis Discov Innov Interdisciplinary, 1(2).
https://www.researchgate.net/publication/269280137_-
_Diseases_Treated_With_Hyperbaric_Oxygen_Therapy_a_Liter
ature_Review
12. Wadhawan, R. et al. 2014. Hyperbaric Oxygen Therapy: Utility
in Medical & Dental Fields a Review. Journal of Science, vol. 4,
issue 10, pp. 604-614.
13. Wibowo, A. 2015. Oksigen Hiperbarik: Terapi Percepatan
Penyembuhan Luka.
14. Zhao, LL., Wu, L., Pierce, GF., Landin, DA. 1995.” Effect of
oxygenon wound responses to growth factors ; Kaposi’s FGF
, but not Basic FGF Stimulates in Ischaemic Wound ”, 12 ( 1 )
: 29-35.

37

Anda mungkin juga menyukai