Anda di halaman 1dari 53

RESPONSI

ILMU KEDOKTERAN BEDAH

Cholelithiasis

Pembimbing:

dr. Ihyan Amri., Sp.B.

Penyusun :

Adisty Dwi Wulandari

2017.04.200.185

DEPARTEMEN BEDAH

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOHAMMAD SOEWANDHIE

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH

SURABAYA

2019
LEMBAR PENGESAHAN

RESPONSI

RESPONSI ILMU KEDOKTERAN BEDAH

Cholelithiasis

Disusun oleh :

Adisty Dwi Wulandari 2017.04.200.185

Responsi Cholelithiasis ini telah diperiksa, disetujuim dan diterima


sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan
klinik di bagian Ilmu Kedokteran Bedah RSUD dr. Mohammad Soewandhie,
Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah Surabaya.

Surabaya, 27 Desember 2019

Mengesahkan,

Dokter Pembimbing

dr. Ihyan Amri., Sp. B

i
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................ii

BAB I STATUS PASIEN ..................................................................... 1

1.1 IDENTITAS PENDERITA ......................................................... 1

1.2 ANAMNESIS ............................................................................ 1

1.2.1 Keluhan Utama : ............................................................... 1

1.2.2 Keluhan Tambahan : ......................................................... 1

1.2.3 Riwayat Penyakit Sekarang: ............................................. 1

1.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu. ................................................. 2

1.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga ............................................... 2

1.2.6 Riwayat Psikososial .......................................................... 3

1.3 PEMERIKSAAN FISIK ............................................................. 3

1.4 Pemeriksaan penunjang .......................................................... 4

1.5 RESUME .................................................................................. 6

1.6 DIAGNOSIS ............................................................................. 7

1.7 PENATALAKSANAAN ............................................................. 7

1.7.1 Planning Terapi ................................................................. 7

1.7.2 Planning Monitoring .......................................................... 7

1.7.3 Planning Edukasi .............................................................. 8

1.8 PROGNOSIS ........................................................................... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 9

2.1 Latar Belakang ......................................................................... 9

2.2 Definisi ................................................................................... 10

ii
2.3 Anatomi Kandung Empedu .................................................... 11

2.4 Fisiologi Pembentukan Empedu ............................................ 13

2.5 Pembentukan bilirubin............................................................ 16

2.6 Epidemiologi .......................................................................... 19

2.7 Faktor Risiko .......................................................................... 20

2.8 Tipe Batu................................................................................ 21

2.9 Patogenesis ........................................................................... 22

2.10 Diagnosa ................................................................................ 26

2.11 Komplikasi .............................................................................. 35

2.12 Tatalaksana ........................................................................... 38

BAB III ANALISIS KASUS .............................................................. 46

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 48

iii
RESPONSI

ILMU KEDOKTERAN BEDAH

Nama : Adisty Dwi Wulandari

NIM : 2017.04.200.185

BAB I
STATUS PASIEN

1.1 IDENTITAS PENDERITA

Nama : Ny. S
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 55 tahun
Alamat : Dupak Jaya 4/40
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status Pernikahan : Menikah
Agama : Islam
Suku/Bangsa : Jawa / Indonesia
Tanggal Pemeriksaan : 10/12/2019
1.2 ANAMNESIS

1.2.1 Keluhan Utama :

Nyeri pada perut kanan atas

1.2.2 Keluhan Tambahan :

Mual, muntah

1.2.3 Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang ke poli bedah umum RSUD dr. Mohammad


Soewandhie dengan keluhan nyeri pada perut kanan atas. Nyeri
dirasakan sejak 1 bulan SMRS. Nyeri dirasakan pada perut kanan
atas hingga ke ulu hati, nyeri hilang timbul. Pasien juga mengeluhkan
mual dan muntah. Nyeri tidak membaik setelah penggunaan antasida.

1
Pasien muntah 2 kali, isi makanan, darah (-). Setiap kali makan pasien
mengaku sering merasa mual. Nafsu makan menjadi menurun
semenjak sakit.
Pasien juga mengatakan bahwa buang air besar berwarna
putih sejak 4 hari SMRS. Terakhir pasien buang air besar tadi pagi,
dan warnanya putih pucat. Frekuensi buang air besar 2 kali/hari,
padat, nyeri saat BAB (-), darah/ kehitaman (-). Selain itu, menurut
pasien warna kencing menjadi kuning kecoklatan (gelap) sejak 4 hari
SMRS hingga saat ini dengan frekuensi BAK 2-3x/hari, nyeri saat BAK
(-), kencing berpasir (-). Demam (-)
Sebelumnya pasien pernah berobat di Klinik dengan keluhan
yang sama dan disarankan untuk di lakukan USG. Pada tanggal 22
November 2019 pasien melakukan tes USG dengan hasil terdapat
batu pada kantung empedu.

1.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu.

 Riwayat penyakit seperti ini : disangkal


 Riwayat diabetes mellitus : disangkal
 Riwayat hipertensi : (+) sejak tahun 2017
 Riwayat penyakit jantung : disangkal
 Riwayat asma : disangkal
 Riwayat alergi obat : disangkal
 Riwayat alergi makanan : disangkal
 Riwayat pengobatan : Amlodipin 5mg
 Riwayat trauma : disangkal

1.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga

 Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama : disangkal


 Riwayat keluarga diabetes mellitus : (+) Ayah
 Riwayat keluarga hipertensi : (+) Ibu
 Riwayat keluarga alergi makanan/obat : disangkal

2
1.2.6 Riwayat Psikososial

 Pasien merupakan ibu rumah tangga


 Pasien mengaku tidak pernah minum alkohol

1.3 PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : Cukup


Kesadaran : Compos mentis
GCS : 4-5-6
Berat Badan : 84 kg
Tinggi Badan : 160 cm
Status Gizi : Gizi lebih (IMT = 32,8 kg/m2)
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 80 kali/menit, regular
Laju Respirasi : 19 kali/menit, regular
Suhu Axillar : 36,8oC
Status Generalis
Kepala : A/I/C/D = -/-/-/-
Leher : Pembesaran KGB (-)
Pembesaran Kelenjar tiroid (-)
Thorax : I : Cor : Ictus cordis tidak terlihat
Pulmo: Normochest, gerak nafas simeris
P: Cor: Ictus cordis tidak kuat angkat
Pulmo: Gerak nafas simetris, fremitus raba
simetris
P : Cor: Batas dextra dan sinistra normal
Pulmo: Sonor/Sonor
A : Cor: S1S2 tunggal, Murmur (-), Gallop (-)
Pulmo: Ves/ves, Ronkhi (-), Wheezing (-)
Abdomen : I : Cembung, jaringan parut (-)
A : Bising usus (+) normal

3
P : Supel, Nyeri tekan (+) di epigastrik dan
hipokondrium dextra , Hepar dan Lien
tidak teraba, Murphy sign (+)

P : Timpani pada seluruh lapang abdomen

Ekstremitas : Akral Hangat Edema CRT <2 detik

+ + - -

+ + - -

1.4 Pemeriksaan penunjang

Tanggal 24/11/2019 Nilai Rujukan


Pemeriksaan

Hemoglobin (g/dl) 12,0 12 – 16

Hematokrit (%) 35,1 35 – 45

Leukosit ribu/uL 9.660 4000 – 11000

Tombosit (ribu/uL) 297 150 – 440

Eritrosit (juta/uL) 3,7 4 – 5,5

Hitung jenis

Basofil (%) 1 0–1

Eosinofil (%) 2 2–4

Netrofil (%) 59 54 – 73

4
Limfosit (%) 30 18 – 34

Monosit (%) 8 2 – 18

Bilirubin total 0,74 0,1 – 1,0


(mg/dl)

Bilirubin direk 0,21 <0,2


(mg/dl)

Bilirubin indirek 0,53 <0,6


(mg/dl)

BUN (mg/dl) 6 7 – 21

Creatinin (mg/dl) 1,13 0,6 – 1,1

GDA (mg/dl) 155 0 – 179

Na (mmol/l) 131,35 135,37 – 145

K (mmol/l) 3,53 3,48 – 5,50

Cl (mmol/l) 92,88 96 – 106

5
USG 22 November 2019

 Di dapatkan batu multiple di dalam kandung empedu


 Di dapatkan hydrops GB

1.5 RESUME

Anamnesis

Pasien datang ke poli bedah umum RSUD dr. Mohammad


Soewandhie dengan keluhan nyeri pada perut kanan atas. Nyeri dirasakan

6
sejak 1 bulan SMRS. Nyeri dirasakan pada perut kanan. Pasien juga
mengeluhkan mual dan muntah.

BAB berwarna putih sejak 4 hari SMRS. Terakhir pasien buang air
besar tadi pagi, dan warnanya putih pucat. Warna kencing menjadi kuning
kecoklatan (gelap) sejak 4 hari SMRS. Demam (-)

Sebelumnya pasien pernah berobat di Klinik dengan keluhan yang


sama dan disarankan untuk di lakukan USG. Pada tanggal 22 November
2019 pasien melakukan tes USG dengan hasil terdapat batu pada kantung
empedu

Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : cukup


TTV : dbn
GCS : 4-5-6

Status Gizi : Gizi lebih (IMT = 32,8 kg/m2)

Status Generalis
Kepala/Leher : dbn
Thorax : dbn
Abdomen : Nyeri tekan (+) di epigastrik dan hipokondrium dextra,
Murphy sign (+)
Ekstremitas : dbn

1.6 DIAGNOSIS

Cholelithiasis + Cholesistisis

1.7 PENATALAKSANAAN

1.7.1 Planning Terapi

Operatif : Cholecystectomy
Medikamentosa : asam mefenamat 500mg 3dd1

1.7.2 Planning Monitoring

 Keadaan umum

7
 Tanda – tanda vital
 Keluhan pasien
 Nutrisi rendah lemak

1.7.3 Planning Edukasi

 Menjelaskan pada pasien tentang penyakit yang diderita serta faktor


resiko
 Menjelaskan tentang operasi yang akan dilakukan
 Perlunya kontrol poli bedah umum setelah operasi

1.8 PROGNOSIS

Dubia ad bonam

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Latar Belakang

Penyakit batu empedu sudah merupakan masalah kesehatan yang


penting di negara barat. Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% dan
banyak menyerang orang dewasa dan lanjut usia. Angka kejadian di
Indonesia diduga tidak jauh berbeda dengan angka di negara lain di Asia
Tenggara.

Istilah koleltiasis dimaksudkan untuk penyakit batu empedu yang


terdapat dalam kandung empedu (cholecystolithiasis) atau dalam ductus
choledochus (choledocholithiasis) atau pada kedua-duanya. Kolelitiasis
umumnya berada di kandung empedu, tetapi kolelitiasis dapat juga berada
di saluran empedu ketika batu di kandung empedu bermigrasi (batu saluran
empedu sekunder). Batu di saluran empedu juga dapat terbentuk tanpa
melibatkan kandung empedu (batu saluran empedu primer).

Sebagian besar pasien dengan batu empedu tidak menunjukkan


gejala klinis (asimtomatik) dan seringkali ditemukan secara kebetulan pada
saat pemeriksaan Ultrasonograpfty (USG) atau pada saat pemeriksaan
karena keluhan lain. Pasien dapat mengalami nyeri abdomen (kolik biliaris)
atau ditemukan gejala yang disebabkan komplikasi akibat obstnrksi oleh
batu atau akibat proses inflamasi, seperti kolesistitis, kolangitis, jaundice,
koledokolitiasis dan lain-lain.

Hasil pemeriksaan laboratorium pada penderita batu empedu


biasanya dalam batas normal. Pada 10-20% kasus, dapat terjadi
peningkatan ringan dari bilirubin serum, fosfatase alkali, enzim
aminotansferase (Aspartate transaminase [AST] dan Alanine transaminase
(ALT) atau y-glutamyl transferase (GGT). Diagnosis batu empedu
ditegakkan secara radiologis (X-ray abdomen polos, USG, Computed
tomography (CT), Magnetic resonance cholangiography (MRCP)

9
2.2 Definisi

Sinonimnya adalah batu empedu, gallstones, biliary calculus. Istilah


koleltiasis dimaksudkan untuk penyakit batu empedu yang terdapat dalam
kandung empedu (cholecystolithiasis) atau dalam ductus choledochus
(choledocholithiasis) atau pada kedua-duanya. Terdapat beberapa istilah
dalam penyakit batu empedu, yaitu : (1) Kolelitiasis, berarti Batu Empedu
(secara umum), (2) Kolesistolitiasis, berarti batu yang berada di kandung
empedu, (3) Koledokolitiasis, berarti batu yang berada di duktus koledokus,
(4) kolangiolitiasis berarti batu yang berada pada cabang duktus hepatikus,
dan cabang lain di hati.1

Kolelitiasis umumnya berada di kandung empedu, tetapi kolelitiasis


dapat juga berada di saluran empedu ketika batu di kandung empedu
bermigrasi (batu saluran empedu sekunder). Batu di saluran empedu juga
dapat terbentuk tanpa melibatkan kandung empedu (batu saluran empedu
primer). Batu primer di saluran empedu harus memenuhi kriteria sebagai
berikut : ada massa asimptomatik setelah kolesistektomi, morfologi cocok
dengan batu empedu primer (bentuk ovoid, lunak, rapuh, seperti
lumpur/tanah, dan berwarna coklat muda sampai coklat gelap atau batu
pigmen coklat), tidak striktur pada duktus koledokus, atau tidak ada sisa
duktus sistikus yang panjang. Batu empedu yang berasal dari proses
metabolisme bilirubin akibat penyakit hemolisis darah akan berwarna hitam
(batu pigmen hitam) dan hanya berada di dalam kandung empedu. 1

10
Gambar 2. 1 Batu pada kandung empedu15

Gambar 2. 2 Lokasi koleltiasis15


2.3 Anatomi Kandung Empedu

Kandung empedu merupakan kantong berongga berbentuk bulat


lonjong seperti buah advokat dengan panjang sekitar 4-6 cm tepat di bawah
lobus dextra hepar dan berisi 30-60 mL empedu. Kandung empedu
mempunyai fundus, korpus, dan kolum. (1) fundus, berbentuk bulat dan

11
terletak pada margo inferior hepar. Sebagian besar tersusun atas otot polos
dan jaringan elastik, merupakan tempat penampungan empedu. (2) corpus,
bagian paling besar, terletak di depan kolon transversum dan pars superior
duodeni dan ujungnya akan membentuk leher (neck) dari kandung empedu.
(3) collum (leher), bentuknya dapat konveks, dan membentuk infundibulum
atau kantong Hartmann. Apabila kandung empedu mengalami distensi
akibat bendungan oleh batu, bagian infundibulum menonjol seperti kantong
(kantong Hartmann). 2,3

Duktus sistikus panjangnya 1-2 cm dengan diameternya 2-3 mm.


Dinding lumennya mengandung katup berbentuk spiral disebut katup spiral
Heister, yang memudahkan cairan empedu mengalir masuk ke dalam
kandung empedu, tetapi menahan aliran keluarnya.1

Panjang duktus hepatikus kanan dan kiri masing-masing antara 1-4 cm.
Panjang duktus hepatikus komunis sangat bervariasi, bergantung pada
letak muara duktus sistikus. Duktus koledokus berjalan di belakang
duodenum, menembus jaringan pankreas dan dinding duodenum,
membentuk papila vater yang terletak di sebelah medial dinding duodenum.
Duktus pankreatikus umumnya bermuara di tempat yang sama dengan
duktus koledokus di dalam papila Vater, tetapi dapat juga terpisah. 1

Gambar 2. 3 Anatomi Vesica Biliaris beserta duktusnya2

12
Suplai arteri untuk vesica felea adalah arteria sistica cabang dari
arteria hepatica dextra (ramus dexter arteria hepatica propria). Pembuluh
limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak dekat collum
vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi lymphatici
hepaticum sepanjang perjalanan arteri hepatica menuju ke nodi lymphatici
coeliacus. Persarafannya berasal dari vagus dan cabang simpatik yang
melewati plexus coeliacus (preganglionik T8-T9). Impuls dari liver, kandung
empedu, dan bile duct melewati aferen simpatik melalui nerves splanknik
dan menyebabkan nyeri kolik. Sensasi nyeri diperantarai oleh serat visceral,
simpatis. Rangsangan motoris untuk kontraksi kandung empedu dibawa
melalui cabang vagus dan ganglion seliaka. 2,3

2.4 Fisiologi Pembentukan Empedu

Sekresi Empedu

Empedu dibentuk oleh sel-sel hati ditampung di dalam kanalikuli.


Kemudian disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam
septum interlobaris. Saluran ini kemudian keluar dari hati sebagai duktus
hepatikus kanan dan kiri. Kemudian keduanya membentuk duktus biliaris
komunis. Pada saluran ini sebelum mencapai doudenum terdapat cabang
ke kandung empedu yaitu duktus sistikus yang berfungsi sebagai tempat
penyimpanan empedu sebelum disalurkan ke duodenum. Empedu
melakukan dua fungsi penting yaitu :4

a. Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi


lemak karena asam empedu yang melakukan dua hal antara lain: asam
empedu membantu mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar
menjadi partikel yang lebih kecil dengan bantuan enzim lipase yang
disekresikan dalam getah pankreas, Asam empedu membantu transpor
dan absorpsi produk akhir lemak yang dicerna menuju dan melalui
membran mukosa intestinal.
b. Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa
produk buangan yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu

13
produk akhir dari penghancuran hemoglobin, dan kelebihan kolesterol
yang di bentuk oleh sel- sel hati.5

Empedu mengandung beberapa konstituen organik, yaitu garam


empedu, kolesterol, lesitin dan bilirubin, dalam suatu cairan encer alkalis.
Garam empedu merupakan turunan kolesterol. Zat lainnya dalam empedu
adalah bilirubin. Bilirubin merupakan pigmen empedu utama, berasar dari
produk akhir penguraian heme pada hemoglobin dalam sel darah merah
yang sudah tua. Bilirubin berwarna kuning dan menjadi warna coklat seperti
tinja karena pengaruh enzim enzim bakteri usus. 8

Tabel 2. 1 Komposisi Empedu5

Empedu Empedu
Komponen
Hati Kandung Empedu

Air 97,5 gr/dl 92 gr/dl

Garam Empedu 1,1 gr/dl 6 gr/dl

Bilirubin 0,04 gr/dl 0,3 gr/dl

Kolesterol 0,1 gr/dl 0,3 – 0,9 gr/dl

Asam Lemak 0,12 gr/dl 0,3 – 1,2 gr/dl

Lecithin 0,04 gr/dl 0,3 gr/dl

Na+ 145 mEq/L 130 mEq/L

K+ 5 mEq/L 12 mEq/L

Ca+ 5 mEq/L 23 mEq/L

Cl- 100 mEq/L 25 mEq/L

HCO3- 28 mEq/L 10 mEq/L

14
Garam empedu ini di daur ulang melalui mekanisme yang disebut
sirkulasi enterohepatik, dimana garam empedu diekskresikan dalam
empedu masuk ke duodenum, yang nantinya akan diserap oleh ileum
melalui mekanisme transport aktif khusus di ileum terminal, setelah diserap
garam empedu dikembalikan ke sistem porta hati, untuk diekskresikan
kembali dalam empedu. 8

Pengosongan Kandung Empedu

Pengaliran cairan empedu diatur oleh tiga faktor, yaitu sekresi empedu
oleh hati, kontraksi kandung empedu, dan tahanan sfingter koledokus.
Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial
kandung empedu. Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan
berlemak ke dalam duodenum. Lemak menyebabkan pengeluaran hormon
kolesistokinin (CCK) dari mukosa duodenum, kemudian masuk kedalam
darah, hormon ini merangsang nervus vagus sehingga terjadi kontraksi
kandung empedu. Dengan demikian, CCK berperan besar dalam terjadinya
kontraksi kandung dan saluran empedu setelah makan. Ketika dirangsang,
kandung empedu mengeluarkan 50-70% isinya dalam waktu 60-90 menit. 5

Pada saat yang sama, otot polos yang terletak pada ujung distal duktus
koledokus dan sfingter Oddi mengalami relaksasi, sehingga memungkinkan
masuknya empedu yang kental ke dalam duodenum. Relaksasi terjadi bila
terdapat peningkatan CCK, yang menyebabkan berkurangnya amplitude
kontraksi fasik dan mengurangi tekanan basal, sehingga terjadi
peningkatan aliran empedu ke duodenum. 5

Secara normal pengosongan kandung empedu secara menyeluruh


berlangsung selama sekitar 1 jam. Pengosongan empedu yang lambat
akibat gangguan neurologis maupun hormonal memegang peran penting
dalam perkembangan inti batu.5

15
Gambar 2. 4 Fisiologi sekresi cairan empedu ke duodenum1

2.5 Pembentukan bilirubin

Bilirubin merupakan produk akhir dari degradasi heme. Heme yang di


produksi tiap hari (0,2g – 0,3g) berasal dari degradasi eritrosit tua yang mati
di dalam sel fagosit mononukleus dan sisanya berasal dari daur ulang
hemoprotein hati. Heme akan teroksidasi oleh enzim heme oxygenase
menjadi biliverdin yang kemudian oleh enzim biliverdin reduktase akan
tereduksi menjadi bilirubin. Bilirubin bersifat lipofilik dan terikat dengan
hidrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut. Pembentukan
bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial, selanjutnya dilepaskan
ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bilirubin yang terikat
dengan albumin serum ini tidak larut dalam air dan kemudian akan
ditransportasikan ke sel hepar.

8.Fungsi hati sebagai fagositosis dan imunitas Sel kupfer merupakan


saringan penting bakteri, pigmen dan berbagai bahan melalui proses
fagositosis. Selain itu sel kupfer juga ikut memproduksi ∂ -globulin sbg imun
livers mechanism9.Fungsi hati sebagai hemodinamik Hati menerima ±
25% dari cardiac output Jantung mengeluarkan darah = STROKE

16
VOLUME. Cardiac output = Stroke Volume x Frekuensi (1 menit) Aliran
darah hati yang normal ± 1500 cc/ menit atau 1000 –1800 cc/ menit Darah
yang mengalir di dlm a.hepatica ± 25% dan di dalam v.porta 75%
dari seluruh aliran darah ke hati Tekanan darah v.porta ± 10 mmHg.
Tekanan darah a.hepatica = tekanan darah arteri sistemik Tekanan
darah sinusoid (kapiler-kapiler, endotel mudah ditembus oleh sel
dengan molekul besar) ± 8,5 mmHg sedangkan v.hepatica 6,5
mmHg Tekanan darah vena cava inferior di level diafragma ± 5
mmHg O2yg terkandung di dlm v.porta lebih tinggi dari O2di dalam vena-
vena biasa Aliran darah ke hepar dipengaruhi oleh antibodi mekanis,
pengaruh persarafan dan hormonal Aliran darah berubah cepat pada
waktu exercise, terik matahari, shock Hepar merupakan organ penting
untuk mempertahankan aliran darah.METABOLISME BILIRUBINBilirubin
adalah pigmen kristal berbentuk jingga ikterus yang merupakan
bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme melalui proses
reaksi oksidasi-reduksi. Bilirubin berasal dari katabolisme protein
heme, dimana 75% berasal dari penghancuran eritrosit dan 25%
berasal dari penghancuran eritrosit yang imatur dan protein heme lainnya
seperti mioglobin, sitokrom, katalase dan peroksidase. Metabolisme
bilirubin meliputi pembentukan bilirubin, transportasi bilirubin, asupan
bilirubin, konjugasi bilirubin, dan ekskresi bilirubin. Langkah oksidase
pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari hemedengan bantuan
enzim heme oksigenase yaitu enzim yang sebagian besar terdapat
dalam sel hati, dan organ lain. Biliverdin yang larut dalam air
kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin
reduktase. Bilirubin bersifat lipofilik dan terikat dengan hidrogen serta
pada pH normal bersifat tidak larut. Pembentukan bilirubin yang
terjadi di sistem retikuloendotelial, selanjutnya dilepaskan ke sirkulasi
yang akan berikatan dengan albumin. Bilirubin yang terikat dengan
albumin serum ini tidak larut dalam air dan kemudian akan
ditransportasikan ke sel hepar. Bilirubin yang terikat pada albumin bersifat
nontoksik.

17
Pada saat kompleks bilirubin-albumin mencapai membran plasma
hepatosit, albumin akan terikat ke reseptor permukaan sel.
Kemudianbilirubin, ditransfer melalui sel membran yang berikatan
dengan ligandin (protein Y), mungkin juga dengan protein ikatan
sitotoksik lainnya.

Bilirubin yang tak terkonjugasi dikonversikan ke bentuk bilirubin


konjugasi yang larut dalam air di retikulum endoplasma dengan bantuan
enzim uridine diphosphate glucoronosyl transferase (UDPG-T). Bilirubin ini
kemudian diekskresikan ke dalam kanalikulus empedu. Sedangkan satu
molekul bilirubin yang tak terkonjugasi akan kembali ke retikulum
endoplasmik untuk rekonjugasi berikutnya. Setelah mengalami proses
konjugasi, bilirubin akan diekskresikan ke dalam kandung empedu,
kemudian memasuki saluran cerna dan diekskresikan melalui feces.
Setelah berada dalam usus halus, bilirubin yang terkonjugasi tidak
langsung dapat diresorbsi, kecuali dikonversikan kembali menjadi
bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim beta-glukoronidase yang berasal
dari bakteri saluran cerna dan didegradasi menjadi urobilinogen yang tidak
berwarna. Urobilinogen dan sisa pigmen yang masih utuh sebgian besar
akan di eksresi lewat tinja. Kurang lebih 20% urobilinogen akan direabsorsi
di ileum dan kolon kemudian selanjutnya dikembalikan ke hati, akan di
eksresi kembali sebagai empedu. Asam empedu yang terkonjugasi maupun
yang tidak terkonjugasi akan di reabsorbsi oleh ileum kembali ke hati
untuk dikonjugasi disebut sirkulasi enterohepatik.

18
Gambar 2. 5 Metabolisme bilirubin
2.6 Epidemiologi

Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% dan banyak


menyerang orang dewasa dan lanjut usia. Kebanyakan kolelitiasis tidak
bergejala atau bertanda. Angka kejadian di Indonesia diduga tidak jauh
berbeda dengan angka di negara lain di Asia Tenggara dan sejak tahun
1980-an berkaitan dengan cara diagnosis dengan ultrasonografi.1

Dikenal tiga jenis batu empedu, yaitu batu kolesterol, batu pigmen
atau batu bilirubin (terdiri atas kalsium bilirubinat), dan batu campuran. Di
negara barat, 80% batu empedu adalah batu kolesterol, tetapi angka
kejadian batu pigmen meningkat akhir-akhir ini. Sebaliknya, ini negara Asia
Timur, lebih banyak batu pigmen dibanding dengan batu kolesterol.
Sementara ini, di dapatkan kesan bahwa meskipun batu kolesterol di
Indonesia lebih umum, angka kejadian batu pigmen lebih tinggi
dibandingkan dengan angka yang terdapat di negara Barat. 1

19
Di negara Barat, batu empedu banyak ditemukan mulai pada usia
muda di bawah 30 tahun, meskipun rata-rata tersering ialah 40-50 tahun.
Pada usia diatas 60 tahun, insidens batu saluran empedu meningkat.
Jumlah penderita perempuan lebih banyak daripada jumlah lelaki. 1

2.7 Faktor Risiko

Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko. Namun,


semakin banyak faktor resiko, semakin besar pula kemungkinan untuk
terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut terdiri atas:16

a. Jenis Kelamin

Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis


dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen
berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung
empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen juga
meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan
terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung
empedu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu.

b. Usia

Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan


bertambahnya usia. Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk
terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang yang usia yang lebih muda.

c. Berat badan (BMI)

Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih
tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka
kadar kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga menguras
garam empedu serta mengurangi kontraksi atau pengosongan kandung
empedu.

d. Makanan

Konsumsi makanan yang mengandung lemak terutama lemak hewani


berisiko untuk menderita kolelitiasis. Kolesterol merupakan komponen dari

20
lemak. Jika kadar kolesterol yang terdapat dalam cairan empedu melebihi
batas normal, cairan empedu dapat mengendap dan lama kelamaan
menjadi batu. Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat
(seperti setelah operasi gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap
unsur kimia dari empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi
kandung empedu.

e. Riwayat keluarga

Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar


dibanding dengan tanpa riwayat keluarga.

2.8 Tipe Batu

Batu Kolesterol

Batu kolesterol mengandung paling sedikit 70% kristal kolesterol, dan


sisanya adalah kalsiumkarbonat, kalsiumpalmitat, dan kalsium bilirubinat.
Bentuknya lebih bervariasi dibandingkan dengan bentuk batu pigmen.
Terbentuknya hampir selalu di dalam kandung empedu, dapat berupa batu
soliter atau multiple. Permukaannya mungkin licin atau multifaset, bulat,
berduri, dan ada yang seperti buah marbel.1

Gambar 2. 6 Batu Kolesterol9


Batu Pigmen / Batu Bilirubin

Batu pigmen adalah batu empedu yang kadar kolesterolnya kurang


dari 25%. Penampilan batu bilirubin yang sebenarnya berisi kalsium
bilirubinat dan disebut juga batu lumpur atau batu pigmen, tidak banyak
bervariasi. Batu ini sering ditemukan dalam bentuk tidak teratur, kecil-kecil,
dapat berjumlah banyak, warnanya bervariasi antara cokelat, kemerahan,

21
sampi hitam, dan berbentuk seperti lumpur atau tanah yang rapuh. Batu ini
sering bersatu membentuk batu yang lebih besar. Batu pigmen yang sangat
besar dapat ditemukan dalam saluran empedu. Batu pigmen hitam
terbentuk di dalam kandung empedu terutama terbentuk pada gangguan
keseimbangan metabolik seperti anemia hemolitik, dan sirosis hati tanpa
didahului infeksi.1

Gambar 2. 7 Batu pigmen11


Batu Campuran

Batu ini adalah jenis yang paling banyak dijumpai (±80%) dan terdiri
atas kolesterol (mengandung 20-50%), pigmen empedu, dan berbagai
garam kalsium. Batu ini sering ditemukan hampir sekitar 90 % pada
penderita kolelitiasis. batu ini bersifat majemuk, berwarna coklat tua.
Sebagian besar dari batu campuran mempunyai dasar metabolisme yang
sama dengan batu kolesterol. Biasanya berganda dan sedikit mengandung
kalsium sehingga bersifat radioopaque.11

2.9 Patogenesis

Penyakit kolelitiasis berasal dari interaksi yang kompleks antara faktor


genetik dan linkungan. Batu empedu kolesterol terbentuk karena 4 faktor
utama :13,14

1) Pembentukan empedu yang supersaturasi


Supersaturasi empedu dengan kolesterol terjadi bila perbandingan
asam empedu dan fosfolipid (terutama lesitin) dengan kolesterol turun
di bawah harga tertentu. Secara normal kolesterol tidak larut dalam
media yang mengandung air. Empedu dipertahankan dalam bentuk

22
cair oleh pembentukan koloid yang mempunyai inti sentral kolesterol,
dikelilingi oleh mantel yang hidrofilik dari garam empedu dan lesitin.
Jadi sekresi kolesterol yang berlebihan, atau kadar asam empedu
rendah, atau terjadi sekresi lesitin, merupakan keadaan yang
litogenik.
2) Nukleasi atau pembentukan inti batu dan kristalisasi
Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal kolesterol keluar dari
larutan membentuk suatu nidus, dan membentuk suatu pengendapan.
Pada tingkat saturasi yang lebih rendah, mungkin bakteri, fragmen
parasit, epitel sel yang lepas, atau partikel debris yang lain diperlukan
untuk dipakai sebagai benih pengkristalan.
3) Berkurangngnya motilitas kandung empedu
Pasien yang memiliki presentasi tinggi terkena batu empedu
menunjukan abnormalitas pengosongan kandung empedu. Suatu
studi menunjukkan pada batu empedu terjadi peningkatan volume
kandung empedu selama puasa dan juga setelah makan (volume
residu), dan karena stimulasi kandung empedu tersebut maka terjadi
penurunan pengosongan empedu tersebut. Selain itu, kelainan
pengosongan kandung empedu dapat juga terjadi karena
berkurangnya sekresi kolesistokinin (CCK) yang dibebaskan sehingga
mengakibatkan berkurangnya asam lemak bebas yang dihasilkan,
menyebabkan stimulus kontraksi kandung empedu melemah
4) Perubahan absorbsi dan sekresi kandung empedu.

Kelarutan kolesterol dalam kandung empedu dipengaruhi oleh


konsentrasi kolesterol, garam empedu, dan fosfolipid (lesitin), seperti pada
skema segitiga Small.1 Peningkatan konsentrasi kolesterol dapat
disebabkan oleh obesitas, diet tinggi kalori dan kolesterol, pemberian
estrogen (kontrasepsi) dan juga kehamilan (Pada kehamilan terutama
trimester 3 terjadi peningkatan saturasi kolesterol).

23
Gambar 2. 8 Skema segitiga Small; perbandingan kolestrol, lesithin, dan
garam empedu dalam hal kelarutan1

Garam empedu dieksresi dari kandung empedu masuk ke usus, 90%


akan diserap kembali lewat vena porta kembali kehepar dan kandung
empedu (siklus enterohepatik). Hambatan dalam siklus enterohepatik akan
mengurangi kadar garam empedu sehingga terbentuk batu empedu. Hal ini
terjadi pada penyakit Chron (ileitis terminalis) atau setelah tindakan reseksi
ileum.1

Selain batu kolesterol, batu pigmen juga berperan dalam penyakit


kolelitiasis. Adanya gangguan hepar, penyakit anemia hemolitik, dan
peningkatan enzim glukoronidase akan meningkatkan kadar bilirubin tak
terkonjugasi, sehingga terjadi pengendapan dan pembentukan batu
pigmen. Di sisi lain, adanya radang pada kandung maupun saluran empedu
menyebabkan gangguan pembentukan cairan micellar, sehingga bersama-
sama dengan adanya lemak bebas memudahkan pembentukan batu
pigmen dari bilirubin tak terkonjugasi.1

24
Gambar 2. 9 Patogenesis Kolelitiasis di Kandung Empedu12

Gambar 2. 10 Pembentukan batu empedu11

Batu kandung empedu dapat berpindah ke dalam duktus koledokus


melalui duktus sistikus. Di dalam perjalanannya melalui duktus sistikus,
batu tersebut dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial
atau kompleks sehingga menimbulkan gejala kolik empedu. Pasase batu
empedu berulang melalui duktus sistikus yang sempit dapat menimbulkan
iritasi dan perlukaan sehingga dapat menimbulkan peradangan dinding
duktus sistikus dan striktur. Kalau batu berhenti di dalam duktus sistikus
karena diameternya terlalu besar atau tertahan oleh striktur, batu akan tetap
berada disana sebagai duktus sistikus.1

25
2.10 Diagnosa

Anamnesis

Setengah sampai dua pertiga penderita kandung empedu adalah


asimptomatik. Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang
disertai intoleran terhadap makanan berlemak. Pada yang simptomatis,
pasien biasanya datang dengan keluhan utama berupa nyeri di daerah
epigastrium atau nyeri/kolik pada perut kanan atas atau perikondrium yang
mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang beberapa jam.
Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada sepertiga kasus
muncul tiba-tiba. Nyeri kolik bilier ini disebabkan karena batu yang
menyumbat duktus sistikus atau duktus biliaris komunis. Dimana sumbatan
ini akan mengakibatkan peningkatan tekanan intraluminal, dan juga
peningkatan kontraksi peristaltik dari saluran empedu. Dua hal inilah yang
akan menstimulasi persarafan sehingga menyebabkan nyeri visceral di
daerah Penyebaran nyeri dapat ke punggung bagian tengah, skapula atau
ke puncak bahu, disertai mual dan muntah.1

Batu empedu yang berbentuk beraneka ragam (kecil maupun besar,


halus maupun kasar), terutama yang berbentuk kasar dan tajam, hal ini
dapat menimbulkan iritasi atau trauma pada epitel kandung atau saluran
empedu. Iritasi ini mengakibatkan pelepasan prostaglandin dan fosfolipase
A2 oleh epitel kandung atau saluran empedu. Fosfolipase ini akan
mengakibatkan pemecahan fosfotidilkolin menjadi lisolesitin. Prostaglandin
yang dilepaskan ini akan menstimulasi set point hipotalamus yang akan
mengakibatkan timbulnya gejala demam pada pasien batu empedu. (20)
Iritasi yang berkepanjangan pada kandung empedu ini dapat
mengakibatkan perforasi kandung empedu, dan juga dapat mengakibatkan
inflamasi yang dapat disebut oleh kolesistitis akut. Penyebab kolesistitis
akut ini biasanya karena terdapat infeksi bakteri, seperti Escherichia coli,
Klebsiella, Streptococcus spp., dan Clostridium spp. Gejala dari kolesistits
akut adalah nyeri memberat dan memanjang lebih dari 5 jam di perut kanan
atas, dapat disertai demam, mual, dan muntah.1

26
Pada batu duktus koledokus, riwayat nyeri atau kolik di epigastrium
dan perut kanan atas akan disertai tanda sepsis, seperti demam dan
menggigil bila terjadi kolangitis. Biasanya terdapat ikterus dan urin
berwarna gelap yang hilang timbul. Pruritus ditemukan pada ikterus
obstruktif yang berkepanjangan dan lebih banyak ditemukan di daerah
tungkai daripada di badan. 1

Pada kolangitis dengan sepsis yang berat, dapat terjadi kegawatan


disertai syok dan gangguan kesadaran. 1

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum


maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu. Tanda Murphy
positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas
panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari
tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas. 1

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium

Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak


menunjukkan kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi
peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma
mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan
duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin
disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali
serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang
setiap setiap kali terjadi serangan akut. 1
Penyaringan bagi penyakit saluran empedu melibatkan penggunaan
banyak tes biokimia yang menunjukkan disfungsi sel hati yaitu yang
dinamai tes fungsi hati. Peningkatan bilirubin serum menunjukkan kelainan
hepatobiliaris, peningkatan bilirubin serum timbul sekunder terhadap
kolestatis intrahepatik, yang menunjukkan disfungsi parenkim hati atau
kolestatis ekstrahepatik sekunder terhadap obstruksi saluran empedu
akibat batu empedu, keganasan, atau pankreas jinak. 1

27
Alanin aminotransferase (dulu dinamai SGOT, serum glutamat-
oksalat transaminase) dan Aspartat aminotransferase (dulu SGPT, serum
glutamat-piruvat transaminase) merupakan enzim yang disintesisi dalam
konstelasi tinggi di dalam hepatosit. Peningkatan dalam aktivitas serum
sering menunjukkan kelainan sel hati, tetapi peningkatan enzim ini ( 1-3 kali
normal atau kadang-kadang cukup tinggi tetapi sepintas) bisa timbul
bersamaan dengan penyakit saluran empedu, terutama obstruksi saluran
empedu. 1
Fosfatase alkali merupakan enzim yang disintesisi dalam sel epitel
saluran empedu. Pada obstruksi saluran empedu, aktivitas serum
meningkat karena sel duktus meningkatkan sintesis enzim ini. Kadar yang
sangat tinggi, sangat menggambarkan obstruksi saluran empedu. 1

2. Pemeriksaan Radiologis

Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas


karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat
radioopak. Kadang kandung empedu yang mengandung cairan empedu
berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. 14

Gambar 2. 11 Gambaran Foto Polos Abdomen15

28
3. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)

Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang


tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran
empedu intrahepatik maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat
dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem
yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Dengan USG
punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren
lebih jelas daripada dengan palpasi biasa.1

Gambar 2. 12 Gambaran USG15


4. Kolesistografi

Kolesistografi digunakan bila USG tidak tersedia atau bila hasil USG
meragukan. Kolangiografi oral dapat dilakukan untuk mendeteksi batu
empedu dan mengkaji kemampuan kandung empedu untuk melakukan
pengisian, memekatkan isinya, berkontraksi serta mengosongkan isinya.
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena
relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen
sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan
gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2
mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan
tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesistografi oral
lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu.1

29
Batu kandung empedu non opaque misalnya batu kolesterol yang
besar tidak dapat terdiagnosa dengan sinar x biasa maka akan
membutuhkan zat kontras di dalam pemeriksaan dengan cara di minum di
sore hari sebelum pemeriksaan. Pasien tetap melakukan diet bebas lemak
sampai dilakukan pemeriksaan sinar x kira-kira 16 jam kemudian setelah
minum kontras. Pada tingkat ini kandung empedu biasanya terisi dengan
baik dengan zat kontras. Pada pemeriksaan ini akan menimbulkan
bayangan filling defect yang radiolusen.15

Gambar 2. 7 Gambaran Foto kolesistografi15

5. CT-Scan

CT – Scan abdomen berada di bawah USG dalam mendiagnosis batu


kandung empedu. CT – Scan digunakan untuk menentukan kondisi dari
saluran bilier ekstrahepatik dan struktur sekitarnya. Pemeriksaan ini
dilakukan paada pasien yang dicurigai keganasan pada kandung empedu,
sitem bilier ekstrahepatik, dan kaput pankres.9

30
Gambar 2. 8 CT – Scan pada abdomen kuadran atas terhadap pasien
dengan kanker pada distal CBD
Kanker mengobstruksi CBD dan duktus pankreatikus. 1. Vena porta.
2. Duktus intrahepatik yang berdilatasi. 3. Dilatasi duktus sistikus dan
leher kandung empedu. 4. Dilatasi duktus hepatikus komunis. 5. Bifurkasi
aarteri hepatic komunis ke dalam arteri gastroduodenal dan. 6. Dilatasi
duktus pankreatikus. 7. Vena spllenikus9

6. Percutaneous Transhepatic Cholangiograph (PTC)

Duktus bilier intrahepatik dapat dijangkau secara perkutaneus dengan


menggunakan jarum kecil dengan panduan fluoroskopik. Bila posisi dari
duktus bilier telah dipastikan, kateter dapat dimasukkan. Melalui kateter,
kolangiogram dapat dilakukan dan terapi dapat dilakukan, seperti drainase
dan pemasangan sten. PTC dapat berperan dalam penatalaksanaan bbatu
kandung empedu tanpa komplikasi, tetapi paling bermanfaat dalam
memberi tatalaksana pada striktur dan tumor duktus bilier. PTC dapat
menyebabkan kolangitis akibat perdarahan, kebocoran bilier, dan masalah
lainnya akibat penggunaan kateter.9

31
Gambar 2. 9 Diagram skematik PTC dan drainase untuk obstruksi
proksimal kolangiokarsinoma
A. Dilatasi duktus bilier intrahepatik dimasuki oleh jarum secara
perkutan. B. Kawat kecil dimasukkan melalui jarum ke duktus. C. Kateter
yang masukkan bersama kawat, kawat lalu dilepaskan. Kolangiogram
dilakukan melalui kateter. D. kateter drainaase eksternal dipasang. E.
kawat panjang dipasang melalui kateter dan melewati tumor ke
duodenum. F. sten internal dipasang9

7. Magnetic Resonance Colangiopancreatography (MRCP)

Teknik pencitraan ini dengan gema magnet tanpa menggunakan zat


kontras, instrument dan radiasi ion. Pada pemeriksaan ini saluran empedu
akan terlihat jelas sebagai struktur yang terang karena mempunyai
intensitas sinyal tinggi, sedangkan batu saluran empedu akan terlihat
sebagai intensitas sinyal rendah yang dikelilingi empedu dengan intensitas

32
sinyal tinggi, sehingga metode ini cocok untuk mendiagnosa batu saluran
empedu.9
Studi terkini MRCP menujukan nilai sensitifitas antara 91% sampai
100%, nilai spesifitas antara 92% sampai 100% dan nilai prediktif positif
antara 93% sampai dengan 100% pada keadaan dengan dugaan batu
saluran empedu. Nilai diagnosis MRCP yang tinggi mengakibatkan teknik
ini sering dikerjakan untuk diagnosis atau eksklusi batu saluran empedu
khususnya pada pasien dengan kemungkinan kecil mengandung batu. 9
MRCP memiliki beberapa kelebihan dibandingkan ERCP. Salah satu
manfaat yang besar adalah pencitraan saluran empedu tanpa resiko yang
berhubungan dengan instrumentasi, zat kontras dan radiasi. 9
Sebaliknya MRCP juga mempunyai limitasi mayor yaitu bukan
merupakan modalitas terapi dan juga aplikasinya bergantung pada
operator, sedangkan ERCP dapat berfungsi sebagai sarana diagnostik dan
terapi yang sama. 9

33
Gambar 2. 10 Gambaran MRCP
menunjukkan penebalan pada duktus bilier ekstrahepatik (garis) dan
duktus pankreatikus (garis berkepala). 9

8. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)

ERCP mapu memberikan informasi mengenai kondisi saluran bilier


dan duktus pankreatikus serta melihat ampuula dari papilla Vateri. Tidak
hanya sebagai diagnostik, ERCP juga mampu menjadi salah satu teknik
terapetik. 9

34
Gambar 2. 11 Gambaran ERCP
endoskop masuk ke duodenum dan kateter pada duktus koledokus

2.11 Komplikasi

a. Kolesistitis Akut

Hampir semua kolesistitis akut terjadi akibat sumbatan duktus sistikus


oleh batu yang terjebak dalam kantong Hartmann. Komplikasi ini terdapat
pada lima persen penderita kolesistitis. Kolesistitis akut tanpa batu empedu
disebut kolesistitis akalkulosa, dapat ditemukan pasca bedah.1

Pada kolesistitis akut, faktor trauma mukosa kandung empedu oleh


batu dapat menyebabkan pelepasan fosfolipase yang mengubah lesitin di
dalam empedu menjadi lisolesitin, yaitu senyawa toksik yang memperberat
proses peradangan. Pada awal penyakit, peran bakteria agaknya kecil saja
meskipun kemudian dapat terjadi supurasi (nanah/pernanahan).
Komplikasi kolesistitis akut adalah empiema, gangrene, dan perforasi. 1

Perjalanan kolesistitis akut bergantung pada apakah obstruksi dapat


hilang sendiri atau tidak, derajat infeksi sekunder, usia penderita, dan
penyakit lain yang memperberat keadaan, seperti diabetes mellitus. 1

Perubahan patologik di dalam kandung empedu mengikuti pola yang


khas. Proses awal berupa udem subserosa, lalu perdarahan mukosa dn
bercak-bercak nekrosis dan akhirnya fibrosis. Gangren dan perforasi dapat
terjadi pada hari ketiga setelah serangan penyakit., tetapi kebanyakan pada

35
minggu kedua. Pada penderita yang mengalami resolusi spontan, tanda
radang akut baru menghilang setelah empat minggu, tetapi sampai
berbulan-bulan kemudian sisa peradangan dan nanah masih tetap ada.
Hampir 90% kandung empedu yang diangkat dengan kolesistektomi
menunjukan jaringan parut lama, yang berarti pada masa lalu pernah
menderita kolesistitis, tetapi umumnya penderita menyangkal tidak pernah
merasa ada keluhan. 1

b. Kolesistitis Kronik

Kolesistitis kronik merupakan kelainan kandung empedu yang paling


umum ditemukan. Penyebabnya hampir selalu batu empedu. Penentu
penting untuk membuat diagnosa adalah kolik bilier, dispepsia, dan
ditemukannya batu empedu pada pemeriksaan ultrasonografi atau
kolesistografi oral. Keluhan dispepsia dicetuskan oleh makanan “berat”
seperti gorengan, yang mengandung banyak lemak, tetapi dapat juga
timbul setelah makan bermacam jenis kol. Kolik bilier yang khas dapat juga
dicetuskan oleh makanan berlemak dank has kolik bilier dirasakan di perut
kanan atas. 1

c. Kolangitis Akut

Kolangitis akut dapat terjadi pada pasien dengan batu saluran empedu
karena adanya obstruksi dan invasi bakteri empedu. Gambaran klinis
kolangitis akut yang klasik adalah trias charcot yang meliputi nyeri abdomen
kuadran kanan atas, ikterus dan demam yang didapatkan pad 50% kasus.
Kolangitis akut supuratif adalah trias charcot yang disertai hipotensi,
oliguria, dan gangguan kesadaran.7

Penatalaksanaan kolangitis akut ditujukan untuk: a) Memperbaiki


keadaan umum pasien dengan pemberian cairan dan elektrolit serta koreksi
gangguan elektrolit, b) Terapi antibiotic parenteral, dan c) Drainase empedu
yang tersumbat.7

36
d. Pankreatitis bilier akut atau pankreatitis batu empedu

Pankreatitis bilier akut atau pancreatitis batu empedu baru akan terjadi
bila ada obtruksi transien atau persisten di papilla Vater oleh sebuah batu.
Batu empedu yang terjepit dapat menyebabkan sepsis bilier atau
menambah beratnya pankreatitis.7

Sejumlah studi memperlihatkan pasien dengan pancreatitis bilier akut


yang ringan menyalurkan batunya secara spontan dari saluran empedu ke
dalam duodenum pada lebih dari 80% dan sebagian besar pasien akan
sembuh hanya dengan terapi suportif kolangiografi. Sesudah sembuh pada
pasien ini didaptkan insidensi yang rendah kejadian batu saluran empedu
sehingga tidak dibenarkan untuk dilakukan ERCP rutin.7

Sebaliknya, sejumlah studi menunjukan bahwa pasien dengan


pancreatitis bilier akut yang berat akan mempunyai resiko yang tinggi untuk
mempunyai batu saluran empedu yang tertinggal bila kolngiografi dilakkan
pada tahap dini sesudah serangan. Beberapa studi terbuka tanpa control
memperlihatkan sfingteretomi endoskopik pada keadan ini tampaknya
aman dan disertai penurunan angka kesaikitan dan kematian.7

37
Gambar 2. 12 Gambaran Komplikasi pada Batu Empedu dan Saluran
Empedu1
2.12 Tatalaksana

Tindakan Operatif

Indikasi pembedahan1,6

 Kolelitiasis asimtomatik

Apabila disertai diabetes mellitus, sikle cell anemia, dan calcified or


porcelain gall bladder; batu tunggal berukuran >2 cm; serta batu multipel
yang total berukuran >2 cm.

 Kolelitiasis simtomatik

Seluruh kasus kolelitiasis simtomatik merupakan indikasi pembedahan


karena berhubungan dengan komplikasi, seperti kolesistitis akut, kolangitis,
pankreatitis, dan sebagainya.

38
1) Kolesistektomi

Terapi terbanyak pada penderita batu kandung empedu adalah


dengan operasi. Kolesistektomi dengan atau tanpa eksplorasi duktus
komunis tetap merupakan tindakan pengobatan untuk penderita dengan
batu empedu simptomatik.15

Pembedahan untuk batu empedu tanpa gejala masih diperdebatkan,


banyak ahli menganjurkan terapi konservatif. Sebagian ahli lainnya
berpendapat lain mengingat “silent stone” pada akhirnya akan
menimbulkan gejala-gejala bahkan komplikasi, maka mereka sepakat
bahwa pembedahan adalah pengobatan yang paling tepat yaitu
kolesistektomi efektif dan berlaku pada setiap kasus batu kandung empedu
kalau keadaan umum penderita baik. Indikasi kolesistektomi adalah
sebagai berikut : 15

- Adanya keluhan bilier yang mengganggu atau semakin sering atau


berat.

- Adanya komplikasi atau pernah ada komplikasi batu kandung


empedu.

- Adanya penyakit lain yang mempermudah timbulnya komplikasi


misalnya Diabetes Mellitus, kandung empedu yang tidak tampak pada
foto kontras dan sebagainya

a) Kolesistektomi terbuka

Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien


dengan kolelitiasis simptomatik. Indikasi yang paling umum untuk
kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis
akut.16

b) Kolesistektomi laparaskopi

Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa


adanya kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman,
banyak ahli bedah mulai melakukan prosedur ini pada pasien dengan
kolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus koledokus. 16

39
Kelebihan tindakan ini meliputi nyeri pasca operasi lebih minimal,
pemulihan lebih cepat, hasil kosmetik lebih baik, menyingkatkan
perawatan di rumah sakit dan biaya yang lebih murah. Indikasi
tersering adalah nyeri bilier yang berulang. Kontraindikasi absolut
serupa dengan tindakan terbuka yaitu tidak dapat mentoleransi
tindakan anestesi umum dan koagulopati yang tidak dapat dikoreksi.
Dengan menggunakan teknik laparoskopi, kualitas pemulihan lebih
baik, tidak terdapat nyeri, kembali menjalankan aktifitas normal dalam
10 hari, cepat bekerja kembali, dan semua otot abdomen utuh
sehingga dapat digunakan untuk aktifitas olahraga.

Gambar 2. 13 Gambaran Kolesistektomi Laparoskopi dan Open


Kolesistektomi16

Komplikasi kolesistektomi

Saat ini hampir semua melakukan operasi laparoskopi atau


menggunakan key-hole surgery. Dengan menggunakan insisi kecil, batu
empedu dan kantong empedu dibuang. Kantong empedu adalah tempat
penyimpanan empedu, dan organ ini dapat dibuang tanpa berpengaruh
terhadap kesehatan. Setelah pengangkatan kantong empedu, empedu
dapat mengalir langsung dari hati ke usus.18

40
Proses pemulihan biasanya berlangsung selama 1 sampai 3 hari di
rumah sakit dan pasien dapat beraktivitas normal kembali setelah 1 minggu.
Apabila ada peradangan yang parah, luka atau infeksi kandung empedu,
key-hole surgery mungkin tidak dapat dilakukan sehingga perlu dilakukan
operasi terbuka. Prosedur ini dilakukan dengan membuat insisi 5-6 inchi
pada sisi kanan abdomen dan kantong empedu dapat dibuang. Proses
pemulihannya lebih panjang dibandingkan metode key-hole karena rasa
sakit akibat insisi. Operasi terbuka dilakukan pada 5-8% operasi
kolesistektomi. 18

Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi adalah cedera duktus


empedu, empedu bocor, pembentukan abses, infeksi pada luka dan
pendarahan. 18

2) Kolesistostomi

Beberapa ahli bedah menganjurkan kolesistostomi dan dekompresi


cabang-cabang saluran empedu sebagai tindakan awal pilihan pada
penderita kolesistitis dengan resiko tinggi yang mungkin tidak dapat diatasi
kolesistektomi dini. Indikasi dari kolesistostomi adalah:17

- Kolesistitis akut berat dengan kandung empedu membesar yang


terancam rupture

- Keadaan umum sangat buruk misalnya karena sepsis

- Penderita yang berumur lanjut, karena ada penyakit lain yang berat
yang menyertai, kesulitan teknik operasi

- Tersangka adanya pankreatitis

Kerugian dari kolesistostomi mungkin terselipnya batu sehingga sukar


dikeluarkan dan kemungkinan besar terjadinya batu lagi kalau tidak diikuti
dengan kolesistektomi.17

41
1 2 3

4
5

Gambar 2. 14 Gambaran Kolesistostomi

Tindakan Non-Operatif

1) Terapi Disolusi medis

Oral Dissolution Therapy adalah cara penghancuran batu dengan


pemberian obat-obatan oral (sediaan garam empedu kolelitolitik).
Ursodeoxycholic acid lebih dipilih dalam pengobatan kolelitiasis daripada
chenodeoxycholic acid karena efek samping yang lebih berat pada
penggunaan chenodeoxycholic acid, seperti terjadinya diare, mual/muntah,
peningkatan enzim aminotransfrase, dan hiperkolesterolemia.(5)

Pemberian Ursodeoxycholic acid oral berindikasi pada pasien dengan


batu empedu radiolusen tanpa kalsifikasi (diameter < 20 mm) sebelum
dilakukannya tindakan cholecystectomy elektif. Dosis umum: 8–10 mg/kg
BB/hari dalam 2 dosis terbagi. Umumnya dosis 250 mg diberikan pada pagi
dan malam hari. Batu kolesterol yang mengalami kalsifikasi, batu pigmen
empedu yg radiolusen dan radioopak, kolesistitis akut, kolangitis, obstruksi
bilier, pankreatitis, fistula gastrointestinal bilier, alergi asam empedu,
kehamilan, gangguan fungsi ginjal. Observasi keluhan, hasil laboratorium
dan pencitraan dilakukan setelah 6-8 minggu terapi, untuk mengevaluasi
apakah diperlukan tindakan lain atau tidak.

42
2) Terapi Disolusi Kontak

Terapi contact dissolution adalah suatu cara untuk menghancurkan


batu kolesterol dengan memasukan suatu cairan pelarut ke dalam kandung
empedu melalui kateter perkutaneus melalui hepar atau alternatif lain
melalui kateter nasobilier. Larutan yang dipakai adalah methyl terbutyl eter.
Larutan ini dimasukkan dengan suatu alat khusus ke dalam kandung
empedu dan biasanya mampu menghancurkan batu kandung empedu
dalam 24 jam.

Gambar 2. 15 Dilusi Kontak10

3) Extracorporeal Shock Wave Lithotripsi (ESWL)

ESWL merupakan litotripsi untuk batu empedu dimana dasar


terapinya adalah disintegrasi batu dengan gelombang kejut sehingga
menjadi partikel yang lebih kecil. Pemecahan batu menjadi partikel kecil
bertujuan agar kelarutannya dalam asam empedu menjadi meningkat serta
pengeluarannya melalui duktus sistikus dengan kontraksi kandung empedu
juga menjadi lebih mudah. Setelah terapi ESWL kemudian dilanjutkan
dengan terapi disolusi untuk membantu melarutkan batu kolesterol.
Kombinasi dari terapi ini agar berhasil baik harus memenuhi beberapa
kriteria mengingat faktor efektifitas dan keamanannya. 10

a) Kriteria Munich :

43
- Terdapat riwayat akibat batu tersebut (simptomatik).

- Penderita tidak sedang hamil.

- Batu radiolusen

- Tidak ada obstruksi dari saluran empedu

- Tidak terdapat jaringan paru pada jalur transmisi gelombang kejut


ke arah batu.

b) Kriteria Dublin :

- Riwayat keluhan batu empedu

- Batu radiolusen

- Batu radioopak dengan diameter kurang dari 3 cm untuk batu


tunggal atau bila multiple diameter total kurang dari 3 cm dengan
jumlah maksimal 3.

- Fungsi konsentrasi dan kontraksi kandung empedu baik

Terapi ESWL sangatlah menguntungkan bila dipandang dari sudut


penderita karena dapat dilakukan secara rawat jalan, sehingga tidak
mengganggu aktifitas penderita. Demikian juga halnya dengan pembiusan
dan tindakan pembedahan yang umumnya ditakutkan penderita dapat
dihindarkan. Namun tidak semua penderita dapat dilakukan terapi ini
karena hanya dilakukan pada kasus selektif. Di samping itu penderita harus
menjalankan diet ketat, waktu pengobatan lama dan memerlukan biaya
yang tidak sedikit, serta dapat timbul rekurensi setelah pengobatan
dihentikan. Faal hati yang baik juga merupakan salah satu syarat bentuk
terapi gabungan ini , karena gangguan faal hati akan diperberat dengan
pemberian asam empedu dalam jangka panjang. 10

ESWL dapat dikatakan sangat aman serta selektif dan tidak infasif
namun dalam kenyataannya masih terdapat beberapa komplikasi yang
dapat terjadi misalnya rasa sakit di hipokondrium kanan, kolik bilier,
pankreatitis, ikterus, pendarahan subkapsuler hati, penebalan dinding dan
atropi kandung empedu. 19

44
Gambar 2. 16 extracorporeal shock wave lithotripsy19
3) Dietik

Prinsip perawatan dietetik pada penderita batu kandung empedu


adalah memberi istirahat pada kandung empedu dan mengurangi rasa
sakit, juga untuk memperkecil kemungkinan batu memasuki duktus sistikus.
Di samping itu untuk memberi makanan secukupnya untuk memelihara
berat badan dan keseimbangan cairan tubuh.10

Pembatasan kalori juga perlu dilakukan karena pada umumnya batu


kandung empedu tergolong juga ke dalam penderita obesitas. Bahan
makanan yang dapat menyebabkan gangguan pencernaan makanan juga
harus dihindarkan.7

Kadang-kadang penderita batu kandung empedu sering menderita


konstipasi, maka diet dengan menggunakan buah-buahan dan sayuran
yang tidak mengeluarkan gas akan sangat membantu. Syarat-syarat diet
pada penyakit kandung empedu yaitu :

- Rendah lemak dan lemak diberikan dalam bentuk yang mudah


dicerna.

- Cukup kalori, protein dan hidrat arang. Bila terlalu gemuk jumlah kalori
dikurangi.

- Cukup mineral dan vitamin, terutama vitamin yang larut dalam lemak.

- Tinggi cairan untuk mencegah dehidrasi.

45
BAB III
ANALISIS KASUS

Pada kasus ini, seorang wanita berusia 55 tahun datatang ke poli


bedah umum RSUD Mohammad Soewandhie dengan keluhan nyeri pada
perut kanan atas hingga ke ulu hati. Nyeri ini disebut nyeri kolik bilier yang
disebabkan oleh batu yang menyumbat duktus sistikus atau duktus biliaris
komunis. Dimana sumbatan ini akan mengakibatkan peningkatan tekanan
intraluminal, dan juga peningkatan kontraksi peristaltik dari saluran
empedu. Dua hal inilah yang akan menstimulasi persarafan sehingga
menyebabkan nyeri visceral di daerah penyebaran nyeri dapat ke
punggung bagian tengah, skapula atau ke puncak bahu, disertai mual dan
muntah.

Pasien juga mengeluh adanya BAK yang berwarna kuning kecoklatan


(gelap). Keluhan ini khas ditemukan pada gangguan sistem bilier. Namun
gangguan yang sifatnya intra atau ekstrahepatik belum dapat diketahui.
Untuk gangguan prehepatik dapat disingkirkan karena pada gangguan
prehepatik tidak dapat menyebabkan keluhan ini yang mana unconjugated
bilirubin tidak memberikan warna pada urin.

Pasien juga mengeluhkan adanya BAB yang berwarna putih.


Umumnya pada kondisi ikterus obstruktif, dapat ditemukan BAB berwarna
seperti dempul. Obstruksi saluran empedu di CBD dapat menghambat
bilirubin yang memberi warna pada feses sehingga bila terhambat
menyebabkan warna dempul pada feses.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan status gizi lebih dengan obesitas


yang secara epidemiologis merupakan faktor risiko dari batu empedu. Pada
pemeriksaan mata ditemukan tidak sclera ikterik meski terdapat
peningkatan kadar bilirubin. Hal ini mungkin disebabkan oleh peningkatan
kadar bilirubin belum signifikan sehingga bersifat asimtomatik. Ditemukan
nyeri tekan pada kuadran hipokondrium kanan dan epigastrium. Pada
kolelitiasis didapatkan nyeri tekan dengan punktum maksimum di daerah
letak anatomis kandung empedu. Murphy sign ditemukan positif pada

46
pasien ini. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu
penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang meradang
tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas.

Pemeriksaan laboratorium didapatkan bilirubin total 0,74 mg/dL,


bilirubin direct 0,21 mg/dL dan bilirubin indirect 0,53 mg/dL, hal ini
menunjukkan mulai terjadinya peningkatan kadar bilirubin direct dalam
darah yang dapat disebabkan oleh stasis bilirubin akibat obstruksi biliaris,
namun belum menyebabkan ikterik pada pasien.

Pada hasil pemeriksaan USG didapatkan kesan berupa kolelithiasis.


Gambaran batu pada empedu dengan pemeriksaan USG ditunjukkan
dengan adanya batu, penebalan dinding kandung empedu, cairan
perikolesistikus dan Murphy sign positif akibat kontak dengan probe USG

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan


penunjang, terdapat kesenjangan antara hasil anamnesa, pemeriksaan fisik
dan secara teori. Mungkin terdapat kesalahan informasi yang di dapat saat
anamnesa.

47
DAFTAR PUSTAKA

1. Syamsuhidajat R. Buku Ajar Ilmu Bedah De Jong. Jakarta: EGC; 2016.

2. Drake RL. Gray: Dasar-dasar Anatomi. Singapore: Elsevier; 2013

3. Marijata. Sistem Bilier. 2018

4. Snell, RS. 2002. Anatomi Klinik. Bag. 1. Edisi 3. Jakarta: Penerbit EGC.
265–6.

5. Guyton, AC, Hall, JE. 1997. Sistem Saluran Empedu. Dalam: Buku Ajar
Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-9. Jakarta: EGC. 1028-32.

6. Brunicardi, F. Charles, Andersen, Dana K., et al. Gallbladder and the


Extrahepatic Biliary System. In : Schwartz’s Principles of Surgery. 8 th
Edition. The McGraw – Hill Companies. 2007

7. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar


Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV 2006, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

8. Lauralee S. Fisiologi Manusia : Dari sel ke sistem. Jakarta: EGC; 2013.

9. Joseph, N. Radiography of the Biliary System. Online Radiology


Continuing Education for Radiology Professionals. Available from:
http://www.ceessentials.net/article41.html

10. Devid,C., Sabiston, Jr. 1994. Sistem Empedu. Sars MG, L John
Cameron, Dalam: Buku Ajar Bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit EGC. 121

11. Price, SA, Wilson, LM. 1995. Kolelitiasis dan Kolesistisis. Dalam :
Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta :
EGC. 502-3

12. Silbernagl S. Atlas Patofisiologi. Jakarta: EGC; 2009

13. Garden, J.2007. Gallstone.In: Garden, J. editor. Principle and Practice


of Surgery. China: Elseiver.p. 23-28.

14. Hunter, J.G. 2007.Gallstones Diseases. Gallbladder and the


Extrahepatic Biliary System. In : Brunicardi, F.C., editor. Schwart’s

48
Principles of Surgery. 8 th.Ed. New York: McGraw-Hill.p.578-598

15. Anonim. Kolelitiasis. Available from:


http://medlinux.blogspot.com/2008/12/kolelitiasis.html

16. Zukmana, A.D., dkk. Kolelitiasis. Available from:


http://www.scribd.com/doc/22649909/Kolelitiasis

17. Anonim. The Laparascopic Gallbladder Surgery Procedure. Available


from: http://www.laparoscopicsurgeryinfo.com/procedure.htm

18. Anonim. Vein & General Surgery Clinic. Available from:


http://drsanjay.com.sg/other_services_b.html

19. Mansjoer, A. et al. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I. Ed.3.


Jakarta: Penerbit Media Aesculapius, FKUI. 510-2.

49

Anda mungkin juga menyukai