Anda di halaman 1dari 34

REFERAT

SUBSTANSI P

Pembimbing :

Pembimbing:
dr. Ihyan Amri., Sp.B

Penyusun:
Adisty Dwi Wulandari 201704200185
Afdini Safitri Dwi M.S 201704200186

BAGIAN/SMF ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH
RSUD DR. MOHAMMAD SOEWANDHIE SURABAYA
2019
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
SUBSTANSI P

Referat dengan judul “Substansi P” telah diperiksa dan disetujui


sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan
klinik Dokter Muda di bagian Ilmu Bedah Umum di RSUD Dr. Mohammad
Soewandhie Surabaya.

Surabaya, 10 Desember 2019


Pembimbing

dr.Ihyan Amri., Sp.B

i
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................... i


REFERAT ............................................................................................... i
DAFTAR ISI ............................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ iii
DAFTAR TABEL ....................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................. 1
1.1. Latar Belakang ................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................... 3
2.1. Subtansi Peptida (SP)..................................................... 3
2.1.1. Peran Substansi P dalam persepsi dan transmisi
nyeri dan inflamasi ................................................... 8
2.1.2. Sinyal nyeri melalui Primary Sensory Afferents
(First-Order Neurons) ............................................. 10
2.1.3. Penyampaian pesan dari neuron sensoris ke Kornu
dorsalis ................................................................... 11
2.1.4. Penyampaian pesan nyeri dari Jalur Neuronal ....... 13
2.2. Nyeri ............................................................................. 15
2.2.1. Klasifikasi Nyeri ...................................................... 15
2.2.2. Mekanisme Nyeri.................................................... 16
2.2.3. Jalur Nyeri di Sistem Syaraf Pusat ......................... 17
2.2.4. Patofisiologi Nyeri secara Umum ........................... 21
2.3. Neuroregulator Nyeri..................................................... 24
BAB III KESIMPULAN ............................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 28

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1 Presinaptik dan Postsinaptik pada Rangsangan Nyeri. ......... 3

Gambar 2. 2 Representasi skematis dari biosintesis Substansi P ............. 7

Gambar 2. 3 Representasi diagram kontribusi Substansi P dalam sistem


saraf perifer........................................................................... 8

Gambar 2. 4 Jalur proyeksi transmisi informasi nyeri menuju otak .......... 18

Gambar 2. 5 Pengiriman sinyal nyeri tajam maupun lambat kronis ke


dalam dan melalui medula spinalis dalam perjalanannya
menuju ke otak ................................................................... 20

Gambar 2. 6 Pengiriman sinyal nyeri menuju batang otak, talamus, dan


korteks cerebri melalui jaras nyeri cepat dan lambat .......... 21

Gambar 2. 7 Ilustrasi mengenai teori gerbang untuk modulasi nyeri pada


kornu dorsalis spinal ........................................................... 22

Gambar 2. 8 Proses Nyeri Inflamasi ........................................................ 24

iii
DAFTAR TABEL
Tabel 2. 1 Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Durasi ...................................... 15

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Nyeri menurut International Association for the Study of Pain (IASP)
merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat adanya kerusakan atau ancaman kerusakan pada
jaringan. Nyeri merupakan keluhan utama yang paling sering dialami
pasien dan kegelisahan akibat nyeri akan menimbulkan suatu peringatan
bagi klinisi. Nyeri adalah suatu fenomena perseptual dan sensual serta
penting bagi tubuh untuk terlindung dari cedera sehingga manusia dapat
bertahan hidup. Nyeri sangat mengganggu dan menyulitkan lebih banyak
orang dibanding suatu penyakit manapun (Swleboda et al., 2013).
Reseptor Nyeri adalah free neve ending yang tersebar luas di
lapisan kulit superfisial dan juga di jaringan internal tertentu, seperti
periosteum, dinding arteri, permukaan sendi, dan falx dan tentorium di
brankas tengkorak. Sebagian besar jaringan dalam lainnya hanya diberi
sedikit ujung nyeri. Namun, setiap kerusakan jaringan yang luas dapat
meringkas untuk menyebabkan jenis nyeri kronis di sebagian besar
daerah ini (Guyton dan Hall, 2014).
Nyeri dapat ditimbulkan oleh berbagai jenis rangsangan yang
diklasifikasikan sebagai rangsangan nyeri mekanik, termal, dan kimia.
Secara umum, nyeri akut ditimbulkan oleh jenis rangsangan mekanis dan
termal, sedangkan nyeri lambat dapat ditimbulkan oleh ketiga jenis
(Guyton dan Hall, 2014).
Beberapa bahan kimia yang membangkitkan rasa sakit jenis kimia
adalah bradikinin, serotonin, histamin, ion kalium, asam, asetilkolin, dan
enzim proteolitik. Selain itu, prostaglandin dan substansi P meningkatkan
sensitivitas ujung rasa sakit tetapi tidak secara langsung merangsang
mereka. Zat kimia ini sangat penting dalam menstimulasi jenis nyeri yang

1
lambat dan menderita yang terjadi setelah cedera jaringan (Howard et al,
2007).
Tachykinins adalah bagian terpenting dalam jalur neurotransmitter
yang melibatkan beberapa neuropeptida dan reseptor. Jalur utama
dianggap memiliki substansi P (SP) dan reseptor dengan afinitas tinggi
(NK1) (Howard et al, 2007).
Takikinin tersebar luas dalam tubuh melalui central nervous system
(CNS) dan the peripheral nervous system (PNS) dengan banyak fungsi di
setiap sistem. Takikinin disintesis terutama dalam neuron dari CNS dan
PNS lalu disimpan dalam vesikel padat. Setelah eksitasi neuron, takikinin
dilepas dan bekerja sesuai reseptor pada sel target untuk menimbulkan
berbagai respon (Howard et al, 2007).
Takikinin merupakan kelompok dari neuropeptida yang
menyebarkan terminal sequence dari carboxyl, squence ini berfungsi
berinteraksi dan mengaktifasi reseptor takikinin dengan sifat aromatic dan
asam amino hydrifobik. Takikinin pada tubuh manusia dibagi menjadi
Substansi P, Neurokinin A Neuropeptida K, Neuropeptide-g, dan
Neurokinin B (Howard et al, 2007). Oleh karena itu penulis tertarik untuk
membahas tentang pengaruh substansi P terhadap nyeri.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Subtansi Peptida (SP)


substansi P merupakan neuropeptida yang bekerja untuk menatur
nyeri di Hipotalamus, struktur limbic, otak tengah, batang otak, thalamus,
basal ganglia dan medulla spinalis. Ditemukan juga pada traktus
gastrointestinal dan kelenjar saliva. Neuropeptida merupakan kelompok
transmitter yang sangat berbeda dan biasanya bekerja lambat dan dalam
hal lain sedikit berbeda dengan yang terdapat pada transmitter molekul
kecil (Howard et all, 2007).

Gambar 2. 1 Presinaptik dan Postsinaptik pada Rangsangan Nyeri


(Howard et all, 2007).
Substansi P menurut Lembeck adalah sensor saraf yang terkait
dengan transmisi rasa sakit yang terletak diakar dorsal sumsum tulang

3
belakang. Ekspresi substansi p terbatas pada sistem saraf pusat (CNS)
dan sistem saraf tepi (PNS) (Harrison S, et all, 2001).
Substansi P dilepaskan dari ujung neuron sistem saraf pusat dan
periferal merupakan fungsi utama aferen primer sebagai neurotransmitter.
Lokasi substansi P di PNS terbanyak berada pada saraf sensorik dan
neuron intrinsik usus. Substansi P berperan sebagai proinflamasi yang
dilepaskan ujung perifer dari saraf sensorik primer (Harrison S, et all,
2001).
Struktur asam amino undecapeptide ini sebagai H-Arg-Pro-Lys-Pro-
Gln-Gln-Phe-Phe-Gly-Leu-Met-NH2 (Mr 1347.6), dalam hipotalamus
kemudian dikenal sebagai tachykinin, bersama dengan neurokinin A
(NKA) dan neurokinin B (NKB) yang terbagi dalam terminal karboksil yang
sama, Phe-X-Gly-Leu-Met-NH2 (X adalah Phe atau Val) (Harrison S, et
all, 2001).
Substansi P berasal dari Gen preprotachykinin-A (PPT-A). Gen
PPT-A juga mengkodekan untuk tachykinins, termasuk neurokinin A,
neuropeptide K (NPK) dan neuropeptideγ(NPγ). Penyambungan RNA dari
transkrip gen PPT-A menghasilkan tiga asam ribonukleat messenger
(mRNAs) yang berbeda (αPPT-A, βPPT-A dan γPPT-A). Ketiga mRNA
PPT-A mengkodekan untuk prekusor substansi P, sedangkan urutan
prekursor NKA hanya ada pada αPPT-A dan βPPT-A mRNA, NPK dan
NPγ merupakan N-terminal panjang turunan dari NKA menjadi produk
akhir dalam pemrosesan pasca terjemahan dari αPPT-A dan βPPT-A
(Harrison S, et all, 2001).
Ekspresi dari substansi P dan mRNA-nya banyak terdapat di CNS
dan PNS. Ekspresi mRNA αPPT-A lebih banyak terdapat diotak,
sementara mRNA βPPT-A dan γPPT-A sebagian besar diekspresikan
dalam jaringan perifer. Tingkat ekspresi untuk PPT-A mRNA sekitar 10
pg/ng β-actin di daerah CNS. Immunoreaktivitas substansi P telah
dibuktikan dalam rhinencephalon, telencephalon, basal ganglia,
hippocampus, amygdala, area septum, diencephalon, hipotalamus,

4
mesencephalon, metencephalon, pons, myelencephalon dan sumsum
tulang belakang. Di perifer antisense poliklonal, hibridisasi in situ dan
analisis Northern blot telah menunjukkan ekspresi PPT-A mRNA dalam
nodosa, trigeminal, dan dorsal root ganglia (DRG). lebih lanjut substansi P
telah diamati pada trigeminal, dan dorsal root ganglia dan neuron intrinsik
usus. Inflamasi perifer dapat menyebabkan peningkatan imunoreaktivitas
Substansi P pada superficial sumsum tulang belakang dan peningkatan
pelepasan substansi P. Ekspresi PPT mRNA dan substansi P (NK1)
reseptor mRNA diregulasi di perifer selama stimulasi berbahaya atau pada
inflamasi neurogenic (Harrison S, et all, 2001).
Substansi P dilepaskan dari prekursornya oleh protease yang
disebut convertases. Poin pembelahan untuk konversi pada gen PPT
adalah doublet residu kationik. Ini diikuti oleh pemanjangan terminal
COOH, yang diperoleh dari peptidyl-Gly - pengentalan monoksigenase
menggunakan Gly sebagai donor amida setelah pembelahan situs
pematangan Arg1-Lys. Sintesis Substansi P terjadi dalam ribosom dan
terbatas pada perikaryon. Substansi P kemudian dimasukkan ke dalam
vesikel penyimpanan dan diangkut secara akson ke ujung terminal untuk
pemrosesan enzimatik akhir. Studi biokimia dan imunohistokimia
menunjukkan bahwa Substansi P diangkut ke cabang sentral dan perifer
neuron sensorik primer. Namun, empat kali lipat imunoreaktivitas
Substansi P menumpuk di cabang perifer dibandingkan dengan dorsal
root. Sebagian besar Substansi P diproduksi dalam sel ganglion sensorik
dan diekspor menuju daerah terminal cabang perifer, pada kecepatan
rata-rata 5-6 mm / jam oleh mekanisme transportasi aksonal. Sebagian
besar immunoreaktivitas Substansi P pada saraf tidak bergerak.
Mikroskopi elektron dan imunohistokimia telah menunjukkan bahwa
immunoreaktivitas Substansi P dikaitkan dengan berbagai vesikel di
terminal di dalam otak dan sumsum tulang belakang (Harrison S, et all,
2001).

5
Serabut saraf yang mengandung immunoreaktivitas Substansi P
sebagian besar terdapat di ganglion otonom, dengan konsentrasi tertinggi
ditemukan di mesenterika inferior dan ganglion mesenterika superior
celiac, diikuti oleh ganglion toraks dan serviks. Bahkan, substansi P juga
terdapat komponen central dan perifer dari sistem kontrol otonom.
Ekspresi reseptor substansi P dalam celiac dan ganglia mesenterika
inferior hampir seluruhnya terbatas pada neuron noradrenergik yang
mengandung imunoreaktivitas somatostatin dan diproyeksikan ke pleksus
enterik. Dalam ganglia otonom Substansi P memainkan peran modulasi,
dimana respon terbaik ditandai oleh Substansi P terlihat pada guinea pig
(pigmen) inferior ganglion mesenterika. Pada neuron substansi P meniru
depolarisasi lambat yang dapat ditimbulkan oleh saraf aferen berulang
(Harrison S, et all, 2001).
Sejumlah enzim terlibat dalam metabolisme Substansi P, termasuk:
netral endopeptidase (NEP: metalloendopeptidase EC.-3.4.24.11); enzim
pendegradasi zat-P (SP-DE: EC.3.4.24); angiotensin-converting Enzim
(ACE: EC.3.4.15.1) dipeptidyl aminopeptide IV (DPIV: EC.3.4.14.5);
postproline endopeptidase (PEP: EC.3.4.21.26) cathepsin-D (EC.3.4.3.23)
and cathepsin-E (EC.3.4.23.34). Meskipun semua enzim ini membelah
substansi P dalam model in vitro, karena lokalisasi seluler tertentu,
mungkin NEP dan / atau ACE yang paling sering terlibat pembelahan
substansi P di perifer. NEP terlibat dalammetabolisme substansi P di otak,
sumsum tulang belakang dan di jaringan perifer. ACE menurunkan
substansi P dalam plasma, cairan serebrospinal, dan substantia nigra
yang berpartisipasi dalam mendegradasi fragmen yang dirilis dari NEP.
NEP dan ACE mengkatalisis hidrolisis ikatan Phe8-Gly9 atau Gly9-Leu10
dari substansi P, meninggalkan peptida yang kekurangan terminal
karboksildaerah yang dibutuhkan untuk mengikat reseptor tachykinin
(Harrison S, et all, 2001).
Substansi P dimediasi oleh reseptor tachykinin (neurokinin: NK),
yang termasuk dalam struktur membran seperti rhodopsin, terdiri dari

6
tujuh transmembran hidrofobik domain, terhubung dengan ekstra dan loop
intraseluler dan digabungkan dengan protein G. Ada tiga jenis reseptor
tachykinin, NK1, NK2 dan NK3 menunjukkan preferensi untuk substansi P,
neurokinin A dan neurokinin B. Namun, tachykinins endogen sangat tidak
selektif untuk setiap reseptor yang diberikan, dan semua dapat bertindak
atas ketiga reseptor di bawah kondisi tertentu seperti ketersediaan
reseptor atau pada konsentrasi peptida yang tinggi. Substansi P tidak
hanya mengaktifkan reseptor NK1, tetapi juga NK2 dan reseptor NK3 di
sejumlah jaringan. Substansi P terutama bertindak atas reseptor NK1
(Harrison S, et all, 2001).

Gambar 2. 2 Representasi skematis dari biosintesis Substansi P


(Harrison S, et all, 2001)

7
Gambar 2. 3 Representasi diagram kontribusi Substansi P dalam
sistem saraf perifer (Harrison S, et all, 2001).

2.1.1. Peran Substansi P dalam persepsi dan transmisi nyeri dan


inflamasi
Nosisepsi adalah deteksi rasa sakit dan dapat dibagi menjadi dua
kategori yang berbeda tergantung pada durasi: nyeri akut dan kronis.
Nyeri akut adalah nyeri jangka pendek tajam dan menyediakan 'sistem
peringatan' bahwa ada yang tidak baik dalam tubuh. Nyeri kronis adalah
nyeri yang menetap untuk jangka panjang yang dapat dikaitkan dengan
rangsangan yang tidak beracun (tidak menyakitkan) (allodynia) atau
mungkin karena peningkatan sensitivitas terhadap rangsangan yang
berbahaya (menyakitkan) (hiperalgesia) (Howard et al, 2007).
Rasa sakit dapat dibagi lagi menjadi tiga kategori tergantung pada
lokasi atau titik asal(Howard et al, 2007):
8
1. Nyeri viscerosomatik, atau nyeri yang dideteksi secara internal,
misalnya, Nyeri perut. Nyeri viscerosomatik memiliki berbagai
jalur, dengan penyebaran reseptor sehingga tidak dapat
menunjukkan titik pusat nyeri.
2. Nyeri inflamasi karena iritasi atau rangsangan nonspesifik,
dimediasi oleh sistem kekebalan tubuh dan biasanya terkait
dengan pelepasan mediator kimia, termasuk histamin dan
Substansi P.
3. Nyeri neurologis atau nyeri yang diinduksi setelah aktivasi saraf
perifer yang lama atau lesi saraf perifer / sentral (axotomy / crush
saraf). Nyeri inflamasi dan neurologis sering berupa nyeri kronis
dengan allodynia yang terkait (rangsangan tidak beracun
menyebabkan nosisepsi) atau hiperalgesia (rangsangan
berbahaya dirasakan dengan intensitas yang lebih besar). SP
dianggap sebagai modulator utama dari neurotransmisi nyeri,
sebagian, bersama dengan aktivasi glutamatergik reseptor NMDA,
penyebab utama dari allodynia dan hyperalgesia.
Pensinyalan takykinergik, khususnya yang dimediasi NK1-SP,
sebelumnya telah terlibat sebagai pemancar saraf untuk nyeri.
Thermal, mekanik, dan bahan kimia (capsaicin) yang di stimulasi dari
kulit, semua mengeluarkan SP dari sensorik. aferen, meningkatkan
konsentrasi SP di Kornu (Kornus) dorsal pada grey matters. Selain
itu, stimulasi listrik langsung dari serat C juga meningkatkan
konsentrasi SP di Kornu dorsal.
SP disintesis oleh neuron nosiseptif berdiameter kecil yang terminal
sentralnya melepaskan peptida di Kornu dorsal medula spinalis
setelah stimulasi perifer yang intens. Ini dianggap mempromosikan
hipereksitabilitas sentral dan peningkatan sensitivitas nyeri.
Nociceptor 'diam' direkrut ke dalam tindakan setelah lesi inflamasi
pada kulit atau jaringan dalam atau setelah ligasi saraf parsial.
Memungkinan terjadinya peran SP dalam penyakit radang kronis

9
sebagai neuromodulator dari rangsangan yang menyakitkan didukung
oleh demonstrasi bahwa rangsangan termal berbahaya durasi
pendek tidak menyebabkan pelepasan SP di Kornu dorsal. Hanya
stimuli termal yang intens dan berkepanjangan yang menghasilkan
pelepasan SP. EPS (exitatory post synaptic) lambat yang dimediasi
oleh SP sebagai respons terhadap rangsangan berbahaya adalah
generasi yang awalnya cepat tanggap (dimediasi glutamat) diikuti
oleh pengisian lambat yang berlangsung selama durasi stimulus.
Respon cepat awal ini tidak dihapuskan dengan aplikasi antagonis
NK1, sedangkan respons lama yang lambat dihapuskan baik oleh
antagonis reseptor NK1 atau dengan menipisnya SP dengan
pengobatan capsaicin. Primary Sensory Afferents or ‘‘First‐Order
Neurons’’

2.1.2. Sinyal nyeri melalui Primary Sensory Afferents (First-Order


Neurons)
Reseptor aferen sensorik primer mendeteksi rangsangan yang
berbahaya dan tidak beracun dan menyampaikan impuls dari titik asal di
perifer ke thalamus melalui lamina I dan interneuron di Kornu dorsal
medula spinalis. Seperti disebutkan sebelumnya, aferen sensorik primer
terdiri dari dua jenis serat, serat Ad myelinasi, nonpeptidergik dan serat C
yang tidak terminasi, sebagian besar peptidergik serat C, yang badan
selnya ditemukan dalam DRG (dorsal root ganglia) dari (peripheral
nervous system) PNS dan akson sentralnya berakhir di Kornu dorsal
tulang belakang dan ganglion trigeminal SSP (Howard et al, 2007).
Mayoritas aferen Iklan (proprioseptif) berakhir di daerah bagian
dalam lamina II dari Kornu dorsal dan pada tingkat yang lebih rendah di
lamina V. Sebaliknya, sebagian besar serat C (nosiseptor) berakhir pada
lamina I dan daerah luar lamina II (substantia gelatinosa) dari Kornu
dorsal dan pada tingkat yang lebih rendah pada lamina III, VI, dan X dan
juga di ganglion trigeminal SSP. Dalam kondisi fisiologis normal, serat Ad

10
mengirimkan impuls yang dihasilkan oleh rangsangan tidak beracun
seperti tekanan dan panas, sementara serat C mentransmisikan impuls
yang dihasilkan oleh rangsangan berbahaya dan termal (masing-masing
peptidergik dan nonpeptidergik) (Howard et al, 2007).

2.1.3. Penyampaian pesan dari neuron sensoris ke Kornu dorsalis


Neuron secara dinamis merespons rangsangan tidak berbahaya
dengan intensitas berbeda (awalnya dimediasi sebagian besar melalui
serat Ad), sedangkan neuron nosiseptif merespons rangsangan
berbahaya (dimediasi sebagian besar oleh serat C sebelumnya). Serat Ad
bersinaps secara langsung dengan interneuron (sel islet) dalam lamina II
Kornu dorsal. Namun, serat C yang tidak disandingkan dengan
interneuron dalam lamina II membentuk hubungan dekat dengan neuron
proyeksi lamina I. Pada stimulasi mekanik atau termal (tidak beracun) dari
aferen sensorik, glutamat dilepaskan dari terminal Ad di mana ia terikat
dengan alfa-amino α-amino ‐ 3 hydro hidroksi ‐ 5 ‐ metilisoksazol ‐ 4 ‐
propionat asam (AMPA) dan reseptor NMDA (N-methyl D-aspartat) dalam
reseptor interneuron Kornu dorsal atau proyeksi neuron. Ikatan glutamat
pada reseptor AMPA memfasilitasi masuknya ion Na into ke dalam
terminal postsinaptik, menghasilkan depolarisasi (Howard et al, 2007).
Reseptor NMDA adalah saluran ion Ca2+ yang bergantung pada
ligan. Pada awal depolarisasi yang dimediasi AMPA dan pengikatan
glutamat, blokade Mg2+ dari pori saluran NMDA dihilangkan,
memungkinkan masuknya Ca2+ ke dalam neuron orde kedua yang
menghasilkan depolarisasi dan penyebaran impuls. Pada stimulasi
berintensitas tinggi, baik glutamat dan SP dilepaskan dari serat C. Seperti
disebutkan di atas, pengikatan glutamat pada reseptornya menghasilkan
EPSP cepat; namun, rilis SP yang bersamaan juga menghasilkan EPSP
lambat fase kedua. Pengikatan SP pada reseptor NK1 pada membran
pasca sinaptik dari proyeksi neuron menghasilkan aktivasi PLCˠ
(phospholipase C-gamma), yang menghasilkan DAG (dyacilglyserol) dan

11
IP3 (inosito-1,4,5-triphosphate), memulai pelepasan kalsium dari
penyimpanan internal yang mengarah pada depolarisasi lebih lanjut dan
propagasi impuls ke pusat-pusat otak yang lebih tinggi (Howard et al,
2007).
DAG mengaktifkan PKC (protein Kinesae C) yang secara tidak
langsung memodulasi respons neuron postsinaptik terhadap glutamat
melalui fosforilasi reseptor NMDA. Fosforilasi reseptor NMDA
meningkatkan waktu pembukaan saluran yang menyebabkan masuknya
Ca2+ dan Na+ yang berkepanjangan, sehingga memperpanjang
depolarisasi neuron orde kedua. DAG juga berkontribusi pada
pembentukan asam arakidonat, suatu peristiwa dalam pembentukan
prostagladin, PGE2 dan PI2(phosphatidylinoditol 4-phosphate) yang
membuat peka membran sel untuk depolarisasi lebih lanjut. IP3 memicu
pelepasan kalsium intraseluler dari penyimpanan internal (retikulum
endoplasma) yang menghasilkan peningkatan lebih lanjut dalam kadar
kalsium intraseluler, sehingga memperpanjang depolarisasi neuron orde
kedua (Howard et al, 2007).
Singkatnya, pelepasan glutamat dari serat Ad setelah stimulasi
mekanik atau termal menghasilkan depolarisasi interneuron orde dua di
lamina II Kornu dorsal. Namun, intensitas stimulus berbahaya dapat
mengakibatkan corelease glutamat dan SP dari terminal C-fiber. SP
berdifusi dari tempat pelepasannya ke interneuron (sel islet) lamina II dan
neuron proyeksi lamina I dan III, sehingga menyebarkan nosisepsi.
Setelah stimulasi berbahaya berpotensial tinggi atau selama peradangan,
pelepasan SP meningkat dan pengikatan reseptor NK1 diperpanjang
melampaui lamina I dan III ke lapisan lamina IV dan VI yang lebih dalam.
Pelepasan SP ini menghasilkan rekrutmen dan aktivasi neuron tingkat
kedua yang berkepanjangan. Ini adalah tindakan SP yang bertanggung
jawab untuk allodynia dan hyperalgesia. Depolarisasi neuron tingkat
kedua diperpanjang sebagai respons terhadap rangsangan berbahaya
intensitas rendah (hiperalgesia) atau rangsangan termal dan mekanik

12
(allodynia), menghasilkan persepsi nyeri hebat (nyeri kronis) karena jalur
neuron menjadi hipersensitif. Studi internalisasi reseptor NK1 telah
mendukung peran SP dalam hiperalgesia / allodynia. SP berperan dalam
memodulasi respons terhadap nyeri hebat kronis dan dalam menambah
keadaan nyeri persisten, sementara nyeri akut dimediasi oleh NMDA
kaskade (Howard et al, 2007).
Baik glutamat dan SP memediasi respons rangsang terhadap
rangsangan sensorik; Namun, juga dimungkinkan bahwa SP dan glutamat
dapat berfungsi sebagai feedback loop positif secara langsung atau tidak
langsung untuk memodulasi rilis mereka sendiri. Peningkatan Ca2+
intraseluler setelah reseptor NMDA atau pengikatan reseptor NK1 dapat
mengaktifkan enzim NOS (nitrit oxide system) dalam neuron postinaptik.
NOS mengkatalisasi produksi gas radikal bebas NO dari substrat L-
arginin. NO berdifusi dari neuron postsinaptik dan mengaktifkan guanylyl
cyclase (sGC) terlarut dalam neuron presinaptik untuk meningkatkan
GMP(guanosin mono fosfat) siklik intraseluler (cGMP). Di hilir cGMP, PKG
diaktifkan, yang dapat menyebabkan modifikasi ekspresi gen dan
modulasi pelepasan pemancar atau dapat memodulasi saluran ion.
Selanjutnya, pengikatan glutamat pada reseptor NMDA presinaptik dan
reseptor kainate pada terminal sentral neuron DRG dapat meningkatkan
depolarisasi yang mengakibatkan pelepasan glutamat dan SP lebih lanjut.
Adanya reseptor NK1 presinaptik menunjukkan bahwa SP itu sendiri
dapat secara langsung meningkatkan pelepasannya sendiri dengan
meningkatkan depolarisasi aferen sensorik primer (Howard et al, 2007).

2.1.4. Penyampaian pesan nyeri dari Jalur Neuronal


Deteksi rangsangan yang menyakitkan, tekanan, dan suhu
dikoordinasikan oleh tiga jalur nyeri utama: spinoreticular, spinothalamic,
dan jalur parabrachial (Howard et al, 2007).
Jalur spinoreticular, berpusat pada lamina yang dalam dari Kornu
dorsal medula spinalis dan sistem reticular di batang otak. Sistem

13
spinoreticular terlibat dalam memediasi respons motorik somatik dan
perilaku emosional yang terkait dengan rasa sakit. Selain itu, jalur ini
menawarkan regulasi umpan balik nosisepsi melalui jalur desenden, loop
retikulospinal. Jalur kedua, jalur spinothalamic, berasal dari lapisan
superfisiall lamina I dan memproyeksikan ke daerah thalamik dan
bertanggung jawab untuk sensasi nyeri yang berasal dari sentuhan taktil.
Jalur spinobrachial juga berasal dari lapisan superfisial lamina I Kornu
dorsal tetapi akson berakhir di area parabrachial antara lain. Jalur ini
berkaitan dengan aspek emosional, otonom, dan neuroendookrin dari
pengalaman nyeri. Sebagian besar pesan nosiseptif bertemu pada area
parabrachial dan kemudian dihubungkan ke daerah otak yang lebih tinggi
yang bertanggung jawab untuk emosi (amygdala), perilaku emosional
(periaqueductal gray), dan adaptasi homeostatik otonom (hipotalamus dan
medula ventrolateral) sebagai respons terhadap nyeri. Kemungkinan
neuromodulasi jalur nyeri oleh SP terjadi tidak hanya pada tingkat
sumsum tulang belakang tetapi juga di wilayah otak. Misalnya, NK1 yang
mengekspresikan neuron proyeksi Kornu dorsal menyampaikan informasi
nosiseptif, langsung atau tidak langsung, ke area otak seperti amigdala,
inti ventromedial dari hipotalamus, dan PAG. Area otak ini terlibat dalam
mediasi antinosisepsi yang disebabkan oleh opioid, stimulasi otak listrik,
atau analgesia yang diinduksi oleh stres. Ada kemungkinan bahwa
reseptor SP dan NK1 memainkan peran penting dalam mengatur
antinociception endogen yang dimediasi oleh pelepasan opioid di sinapsis
(Howard et al, 2007).

14
2.2. Nyeri
2.2.1. Klasifikasi Nyeri
2.2.1.1 Berdasarkan Durasi
Tabel 2. 1 Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Durasi (Swieboda et all.,
2013).

Nyeri Akut Nyeri Kronis

Penyebab berupa kerusakan Penyebab multiple (keganasan,


jaringan yang nyata jinak)

Onset jelas Onset gradual atau jelas

Durasi pendek dan jelas Menetap setelah 3-6 bulan setelah


penyembuhan

Hilang dengan hilangnya sumber Dapat merupakan gejala atau


nyeri diagnosis

Berfungsi sebagai proteksi Tidak ada tujuan adaptif

Memiliki terapi efektif Dapat refrakter terhadap


pengobatan.

2.2.1.2 Berdasarkan Etiologi


1) Nyeri Nosiseptif
Nyeri Nosiseptif merupakan nyeri yang diakibatkan oleh aktivitas
atau sensivitas nosiseptor perifer yang merupakan respetor khusus yang
mengantarkan stimulus noxious. (Maradina, 2014).

2) Nyeri Neuropatik
Nyeri neuropatik merupakan hasil suatu cedera atau abnormalitas
yang di dapat pada struktur saraf perifer maupun sentral, Nyeri neuropatik
adalah nyeri yang disebabkan oleh lesi atau disfungsi patologi pada
sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi (Maradina, 2014) .

15
2.2.1.3 Berdasarkan Lokasi (Khonsary, 2017)
a. Nyeri superficial
b. Nyeri viseral
c. Nyeri alih (referred pain)
d. Nyeri radiasi

2.2.2. Mekanisme Nyeri


Antara stimulus cedera jaringan dan pengalaman subjektif nyeri
terdapat empat proses tersendiri : tranduksi, transmisi, modulasi, dan
persepsi (Mochamad Bahrudin, 2017).
Transduksi adalah proses perubahan rangsang nyeri menjadi suatu
aktivitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf. Proses ini suatu
proses dimana akhiran saraf aferen menerjemahkan stimulus (misalnya
tusukan jarum) ke dalam impuls nosiseptif. Ada tiga tipe serabut saraf
yang terlibat dalam proses ini, yaitu serabut A-beta, A-delta, dan C.
Serabut yang berespon secara maksimal terhadap stimulasi non noksius
dikelompokkan sebagai serabut penghantar nyeri, atau nosiseptor.
Serabut ini adalah A-delta dan C. Silent nociceptor, juga terlibat dalam
proses transduksi, merupakan serabut saraf aferen yang tidak bersepon
terhadap stimulasi eksternal tanpa adanya mediator inflamasi (Mochamad
Bahrudin, 2017).
Transmisi adalah suatu proses dimana impuls disalurkan menuju
kornu dorsalis medula spinalis, kemudian sepanjang traktus sensorik
menuju otak. Neuron aferen primer merupakan pengirim dan penerima
aktif dari sinyal elektrik dan kimiawi. Aksonnya berakhir di kornu dorsalis
medula spinalis dan selanjutnya berhubungan dengan banyak neuron
spinal (Mochamad Bahrudin, 2017).
Modulasi adalah proses amplifikasi sinyal neural terkait nyeri (pain
related neural signals). Modulasi juga merupakan proses modifikasi
terhadap rangsang. Modifikasi ini dapat terjadi pada sepanjang titik dari
sejak transmisi pertama sampai ke korteks cerebri. Modifikasi ini dapat

16
berupa augmentasi (peningkatan) ataupun inhibisi (penghambatan).
Proses ini terutama terjadi di kornu dorsalis medula spinalis, dan mungkin
juga terjadi di level lainnya. Serangkaian reseptor opioid seperti mu,
kappa, dan delta dapat ditemukan di kornu dorsalis. Sistem nosiseptif juga
mempunyai jalur desending berasal dari korteks frontalis, hipotalamus,
dan area otak lainnya ke otak tengah (midbrain) dan medula oblongata,
selanjutnya menuju medula spinalis. Hasil dari proses inhibisi desendens
ini adalah penguatan, atau bahkan penghambatan (blok) sinyal nosiseptif
di kornu dorsalis (Mochamad Bahrudin, 2017).
Persepsi adalah penerimaan informasi untuk ditafsirkan dan
diinterpretasikan sebagai pemahaman terhadap lingkungan. Persepsi
nyeri adalah kesadaran akan pengalaman nyeri. Persepsi merupakan
hasil dari interaksi proses transduksi, transmisi, modulasi, aspek
psikologis, dan karakteristik individu lainnya. Reseptor nyeri adalah organ
tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang
berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit
yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secaara potensial
merusak. Reseptor nyeri disebut juga Nociseptor. Secara anatomis,
reseptor nyeri (nociseptor) ada yang bermiyelin dan ada juga yang tidak
bermiyelin dari syaraf aferen (Mochamad Bahrudin, 2017)

2.2.3. Jalur Nyeri di Sistem Syaraf Pusat


Jalur ascending dari tulang belakang ke lokasi di batang otak dan
talamus merupakan hal yang penting untuk persepsi dan integrasi dari
informasi nosiseptif. Jalur ascending utama yang penting untuk nyeri
meliputi traktus spinotalamikus (STT, poyeksi langsung ke talamus),
proyeksi spinomedular dan spinobulbar (proyeksi langsung ke wilayah
kontrol homeostasis pada medula dan batang otak), dan traktus
spinohipotalamikus (SHT, proyeksi langsung ke hipotalamus dan otak
depan ventral). Beberapa proyeksi tidak langsung, misalnya sistem kolom
dorsalis dan jalur spinoservikotalamik, juga ada untuk meneruskan

17
informasi nosiseptif ke otak depan melalui batang otak. Jalur yang sama
muncul dari nukleus sensoris dari trigeminal medulla yang juga ada untuk
memproses informasi nosiseptif dari struktur wajah.

Gambar 2. 4 Jalur proyeksi transmisi informasi nyeri menuju otak


Jalur proyeksi transmisi informasi nyeri menuju otak
Nosiseptor aferen primer menyampaikan informasi berbahaya terhadap
neuron-neuron proyeksi dalam kornu dorsalis saraf tulang belakang. Bagian
dari proyeksi ini menghantarkan informasi menuju korteks somatosensoris
melalui talamus, menyediakan informasi seputar lokasi dan intensitas
rangsangan yang menyakitkan. Proyeksi neuron lainnya mengikutsertakan
korteks cingulate dan insular melalui hubungan dalam batang otak (nukleus
parabrakialis) dan amigdala, berkontribusi terhadap komponen afektif pada

18
pengalaman nyeri. Informasi yang naik ini juga mengakses neuron-neuron
pada rostral ventral medulla dan lapisan abu-abu periaqueductal otak tengah
untuk melibatkan sistem umpan balik menurun yang memodulasi transmisi
informasi nosiseptif melalui saraf tulang belakang (Janasuta, 2017).

Jaras spinotalamikus merupakan sistem yang mengirimkan nyeri


terutama dari serat nyeri lambat kronis tipe C perifer, walaupun jaras ini
juga mengirimkan beberapa sinyal dari serat tipe Aδ. Dalam jaras ini,
serat-serat perifer berakhir di dalam medula spinalis hampir seluruhnya di
lamina II dan III kornu dorsalis, yang bersama-sama disebut substansia
gelatinosa. Sebagian besar sinyal kemudian melewati satu atau lebih
neuron serat pendek tambahan di dalam kornu dorsalisnya sendiri
sebelum terutama memasuki lamina V, juga di kornu dorsalis. Disini,
neuron-neuron terakhir dalam rangkaian ini membentuk akson-akson
panjang yang sebagian besar bergabung dengan serat-serat dari jaras
nyeri cepat, mula-mula melewati komisura anterior ke sisi berlawanan
medula spinalis, kemudian naik ke otak dalam jaras anterolateral (Guyton,
AC 2006).
Substansi P, kemungkinan neurotransmitter ujung-ujung saraf
lambat kronis tipe C. Penelitian menunjukkan bahwa ujung serat nyeri tipe
C yang memasuki medula spinalis melepaskan transmitter glutamat dan
substansi P. Transmiter glutamat bekerja secara cepat dan hanya
berlangsung beberapa milidetik. Substansi P dilepaskan dengan jauh lebih
lambat, meningkat konsentrasinya dalam waktu beberapa detik atau
bahkan beberapa menit. Walaupun mekanisme detail masih belum
diketahui, sepertinya telah jelas bahwa glutamat adalah neurotransmitter
yang paling berperan dalam mengirimkan nyeri cepat ke dalam sistem
saraf pusat dan substansi P berhubungan dengan nyeri lambat-kronis
(Guyton, AC 2006).
Proyeksi jaras spinotalamikus berakhir secara luas dalam batang
otak, dalam daerah yang diarsir besar pada Gambar 5. Hanya

19
sepersepuluh sampai seperempat seat yang berakhir di talamus. sebagian
besar serat-serat ini berakhir di talamus. Sebagian besar serat-serat ini
berakhir di satu dari tiga daerah berikut: (1) nukleus retikularis medula,
pons, dan mesensefalon; (2) area tektal mesensefalon di dalam kolikuli
superior dan inferior, atau (3) daerah periaquaductal grisea, yang
mengelilingi auaductut sylvii (Guyton, AC 2006).

Gambar 2. 5 Pengiriman sinyal nyeri tajam maupun lambat kronis


ke dalam dan melalui medula spinalis dalam perjalanannya menuju ke
otak (Guyton, AC 2006)

20
Gambar 2. 6 Pengiriman sinyal nyeri menuju batang otak, talamus,
dan korteks cerebri melalui jaras nyeri cepat dan lambat (Guyton, AC
2006)

2.2.4. Patofisiologi Nyeri secara Umum


Teori nyeri tentang kontrol gerbang pertama kali diajukan oleh
Ronald Melzack dan Patrick Wall pada tahun 1965 untuk menggambarkan
jaringan persarafan pada modulasi nyeri (“gerbang” neurologis) pada
kornu dorsalis korda spinalis. Menurut teori ini, informasi mengenai rasa
sakit dihantarkan ke daerah otak supraspinal jika gerbangnya terbuka,
dimana stimulus nyeri tidak dirasakan jika gerbang tersebut terututup oleh
impuls penghambat yang bersamaan. Berikut adalah contoh yang umum
digunakan untuk menggambarkan bagaimana jaringan neuron ini
memodulasi transmisi nyeri. Biasanya, menggosok kulit pada daerah yang
menyakitkan nampaknya entah bagaimana dapat menghilangkan rasa
sakit yang terkait dengan benturan siku. Dalam kasus ini, menggosok kulit
mengaktifkan aferen termielinisasi berdiameter besar (Aβ), yang “lebih
cepat” daripada serat A atau serat C dalam menyampaikan informasi

21
yang rasa sakit. Serat Aβ ini memberikan informasi tentang tekanan dan
sentuhan pada kornu dorsalis dan melalui beberapa pesan rasa sakit
(“menutup gerbang”) yang dibawa oleh serat A dan C dengan
mengaktifkan interneuron penghambat di kornu dorsalis. Hipotesis ini
memberikan dasar teoretis praktis untuk beberapa pendekatan seperti
pijat, stimulasi saraf transkutaneous, dan akupunktur untuk mengobati
rasa sakit secara efektif pada pasien klinis (Janasuta 2017).

Gambar 2. 7 Ilustrasi mengenai teori gerbang untuk modulasi nyeri


pada kornu dorsalis spinal (Janasuta 2017)

Menggosok kulit secara perlahan pada area yang nyeri dan terluka
tampaknya dapat meredakan sensasi nyeri. Aferen termyelinisasi
berdiameter besar (Ab) meneruskan informasi tekanan sentuhan memiliki
kecepatan konduksi yang lebih besar dibandingkan serabut A atau C
dalam menyampaikan informasi nyeri ke kornu dorsalis. Sehingga,
penggunaan stimulus mekanis yang ringan pada daerah perifer akan
menyebabkan eksitasi pada serat Ab dan mengaktifkan interneuron
penghambat pada kornu dorsalis dan akan menutup “gerbang” untuk

22
sinyal nyeri yang datang secara bersamaan yang dibawa oleh serat A
dan C. Ketika teori kontrol gerbang dianggap terlalu simple, teori ini masih
menjadi kerangka konsep yang valid untuk memahami nyeri dan
pengalaman yang terkait dengan nyeri.

Rangsangan nyeri diterima oleh nociceptors pada kulit bisa


intesitas tinggi maupun rendah seperti perenggangan dan suhu serta oleh
lesi jaringan. Sel yang mengalami nekrotik akan merilis K+ dan protein
intraseluler. Peningkatan kadar K+ ekstraseluler akan menyebabkan
depolarisasi nociceptor, sedangkan protein pada beberapa keadaan akan
menginfiltrasi mikroorganisme sehingga menyebabkan
peradangan/inflamasi. Akibatnya, mediator nyeri dilepaskan seperti
leukotrien, prostaglandin E2, dan histamin yang akan merangasng
nosiseptor sehingga rangsangan berbahaya dan tidak berbahaya dapat
menyebabkan nyeri (hiperalgesia atau allodynia). Selain itu lesi juga
mengaktifkan faktor pembekuan darah sehingga bradikinin dan serotonin
akan terstimulasi dan merangsang nosiseptor. Jika terjadi oklusi pembuluh
darah maka akan terjadi iskemia yang akan menyebabkan akumulasi K+
ekstraseluler dan H+ yang selanjutnya mengaktifkan nosiseptor. Histamin,
bradikinin, dan prostaglandin E2 memiliki efek vasodilator dan
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. Hal ini menyebabkan
edema lokal, tekanan jaringan meningkat dan juga terjadi Perangsangan
nosiseptor. Bila nosiseptor terangsang maka mereka melepaskan
substansi peptida P (SP) dan kalsitonin gen terkait peptida (CGRP), yang
akan merangsang proses inflamasi dan juga menghasilkan vasodilatasi
dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. Vasokonstriksi (oleh
serotonin), diikuti oleh vasodilatasi, mungkin juga bertanggung jawab
untuk serangan migrain. Peransangan nosiseptor inilah yang
menyebabkan nyeri (Silbernagl et all., 2000).

23
Gambar 2. 8 Proses Nyeri Inflamasi (Silbernagl et all., 2000)

2.3. Neuroregulator Nyeri


Neuroregulator atau substansi yang berperan dalam transmisi
stimulus saraf dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu neurotransmitter
dan neuromodulator. Neurotransmitter mengirimkan impuls-impuls elektrik
melewati rongga sinaps antara dua serabut saraf, dan dapat bersifat
sebagai penghambat atau dapat pula mengeksitasi. Sedangkan
neuromodulator dipercaya bekerja secara tidak langsung dengan
meningkatkan atau menurunkan efek partokular neurotransmitter (Anas
Tamsuri, 2006).
Beberapa neuroregulator yang berperan dalam penghantaran
impuls nyeri antara lain adalah:
1. Neurotransmiter
a. Substansi P (Peptida)
Ditemukan pada neuron nyeri di kornu dorsalis (peptide eksitator)
berfungsi untuk mentransmisi impuls nyeri dari perifer ke otak dan dapat

24
menyebabkan vasodilatasi dan edema.
b. Serotonin
Dilepaskan oleh batang otak dan kornu dorsalis untuk menghambat
transmisi nyeri.
c. Prostaglandin
Dibangkitkan dari pemecahan pospolipid di membran sel dipercaya
dapat meningkatkan sensitivitas terhadap sel.
2. Neuromodulator
a. Endorfin (morfin endogen)
Merupakan substansi sejenis morfin yang disuplai oleh tubuh.
Diaktivasi oleh daya stress dan nyeri. Terdapat pada otak, spinal, dan
traktus gastrointestinal. Berfungsi memberi efek analgesic
b. Bradikinin
Dilepaskan dari plasma dan pecah disekitar pembuluh darah pada
daerah yang mengalami cedera. Bekerja pada reseptor saraf perifer,
menyebabkan peningkatan stimulus nyeri.Bekerja pada sel, menyebabkan
reaksi berantai sehingga terjadi pelepasan prostaglandin.
.

25
BAB III
KESIMPULAN

Substansi P berperan dalam nyeri inflamasi dan nyeri neurologis.


Nyeri inflamasi dan neurologis sering berupa nyeri kronis dengan allodynia
yang terkait (rangsangan tidak beracun menyebabkan nosisepsi) atau
hiperalgesia (rangsangan berbahaya dirasakan dengan intensitas yang
lebih besar). SP dianggap sebagai modulator utama dari neurotransmisi
nyeri, sebagian, bersama dengan aktivasi glutamatergik reseptor NMDA,
penyebab utama dari allodynia dan hyperalgesia.
Substansi P menurut Lembeck adalah sensor saraf yang terkait
dengan transmisi rasa sakit yang terletak diakar dorsal sumsum tulang
belakang. Ekspresi substansi p terbatas pada sistem saraf pusat (CNS)
dan sistem saraf tepi (PNS). Substansi P dilepaskan dari ujung neuron
sistem saraf pusat dan periferal merupakan fungsi utama aferen primer
sebagai neurotransmitter. Lokasi substansi P di PNS terbanyak berada
pada saraf sensorik dan neuron intrinsik usus.
Neuroregulator atau substansi yang berperan dalam transmisi
stimulus saraf dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu neurotransmitter
dan neuromodulator. Substansi P (Peptida) merupakan salah satu
neurotransmitter, dimana ditemukan pada neuron nyeri di kornu dorsalis
(peptide eksitator) berfungsi untuk mentransmisi impuls nyeri dari perifer
ke otak dan dapat menyebabkan vasodilatasi dan edema.
Jaras spinotalamikus merupakan sistem yang mengirimkan nyeri
terutama dari serat nyeri lambat kronis tipe C perifer. Substansi P,
kemungkinan neurotransmitter ujung-ujung saraf lambat kronis tipe C.
Penelitian menunjukkan bahwa ujung serat nyeri tipe C yang memasuki
medula spinalis melepaskan transmitter glutamat dan substansi P.
Transmiter glutamat bekerja secara cepat dan hanya berlangsung
beberapa milidetik. Substansi P dilepaskan dengan jauh lebih lambat,
meningkat konsentrasinya dalam waktu beberapa detik atau bahkan

26
beberapa menit. Walaupun mekanisme detail masih belum diketahui,
sepertinya telah jelas bahwa glutamat adalah neurotransmitter yang paling
berperan dalam mengirimkan nyeri cepat ke dalam sistem saraf pusat dan
substansi P berhubungan dengan nyeri lambat-kronis.
Thermal, mekanik, dan bahan kimia (capsaicin) yang di stimulasi
dari kulit, semua mengeluarkan SP dari sensorik. aferen, meningkatkan
konsentrasi SP di Kornu (Kornus) dorsal pada grey matters. Selain itu,
stimulasi listrik langsung dari serat C juga meningkatkan konsentrasi SP
di Kornu dorsal. SP disintesis oleh neuron nosiseptif berdiameter kecil
yang terminal sentralnya melepaskan peptida di Kornu dorsal medula
spinalis setelah stimulasi perifer yang intens. Ini dianggap
mempromosikan hipereksitabilitas sentral dan peningkatan sensitivitas
nyeri. Nociceptor 'diam' direkrut ke dalam tindakan setelah lesi inflamasi
pada kulit atau jaringan dalam atau setelah ligasi saraf parsial.
Memungkinan terjadinya peran SP dalam penyakit radang kronis.
SP berdifusi dari tempat pelepasannya ke interneuron (sel islet)
lamina II dan neuron proyeksi lamina I dan III, sehingga menyebarkan
nosisepsi. Setelah stimulasi berbahaya berpotensial tinggi atau selama
peradangan, pelepasan SP meningkat dan pengikatan reseptor NK1
diperpanjang melampaui lamina I dan III ke lapisan lamina IV dan VI yang
lebih dalam. Pelepasan SP ini menghasilkan rekrutmen dan aktivasi
neuron tingkat kedua yang berkepanjangan. Ini adalah tindakan SP yang
bertanggung jawab untuk allodynia dan hyperalgesia. Depolarisasi neuron
tingkat kedua diperpanjang sebagai respons terhadap rangsangan
berbahaya intensitas rendah (hiperalgesia) atau rangsangan termal dan
mekanik (allodynia), menghasilkan persepsi nyeri hebat (nyeri kronis)
karena jalur neuron menjadi hipersensitif. Studi internalisasi reseptor NK1
telah mendukung peran SP dalam hiperalgesia / allodynia. SP berperan
dalam memodulasi respons terhadap nyeri hebat kronis dan dalam
menambah keadaan nyeri persisten

27
DAFTAR PUSTAKA
Guyton, A C & Hall, J E.2014. Buku Ajar Fisiologi dan Kedokteran. Edisi
12. Saunders Elsevier.
Harker J et al. 2012. Epidemiology of Chronic Pain in Denmark and
Sweden. P 1-30
Harrison, Selena. Geppetti, Pierangelo. Substance P. Department of
Experimental and Clinical Medicine, Section of Pharmacology,
Uniersity of Ferrara, Via Fossato Di Mortara 19, 44100 Ferrara, Italy.
The International Journal of Biochemistry & Cell Biology 33 (2001)
555–576.
Hawkes, C.H., 1992. Endorphins: The basis of pleasure? Journal of
Neurology Neurosurgery and Psychiatry, 55(4), pp.247–250.
Howard, M. R . Haddley, K. Thippeswamy, T. S. Vasiliou . Quinn J.P.
2007. Substance P and the Tachykinins. Springer-Verlag Berlin
Heidelberg. https://www.researchgate.net/publication/226851099
Indah, M., 2004. Mekanisme Kerja Hormon. USU digital library, pp.1–26.
Janasuta, P.B.R., 2017. Fisiologi Nyeri. Universitas Udayana.
Khonsary, S., 2017. Guyton and Hall: Textbook of Medical Physiology.
Surgical Neurology International, 8(1), p.275.
Koneru, A., Satyanarayana, S. & Rizwan, S., 2009. Endogenous opioids:
their physiological role and receptors. Global J Pharmacol, 3(3),
pp.149–153.
Mangku, G. & TGA, S., 2010. Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Reanimasi,
Jakarta Barat.
Maradina, A.., 2014. Pengkajian Skala Nyeri di Ruang Perawatan
Intensive. , 1, pp.18–26.
Mochamad Bahrudin, 2017. Patofisiologi nyeri. Simposium nyeri, 13,
pp.11–29.
Pradnyawati, N.P.W., 2017. Neurofisiologi. Universitas Udayana.
Rokade, P.B., 2011. Release of Endomorphin Hormone and Its Effects on
Our Body and Moods : A Review. Internationa Conference on

28
Chemical, Biological and Environment Sciences, 431127(215),
pp.436–438. Available at:
http://psrcentre.org/images/extraimages/1211916.pdf.
Sharma, A. & Verma, D., 2014. Endorphins: Endogenous Opioid in Human
Cells. World Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences, 4(1),
pp.357–374. Available at:
http://www.wjpps.com/download/article/1420030565.pdf.
Silbernagl, S., Lang, F. & Publishers, T.M., 2000. Color atlas of
pathophysiology / Stefan Silbernagl, Florian Lang,
Swieboda, P. et al., 2013. Assessment of pain: types, mechanism and
treatment. Annals of agricultural and environmental medicine : AAEM,
. 1, pp.2–7.
Tribolet, N., 2010. A. R. Crossman, D. Neary, Neuroanatomy. An
illustrated colour text. Acta Neurochirurgica, 152(11), pp.2009–2009.
Veening, J.G. & Barendregt, H.P., 2015. The effects of Beta-Endorphin:
State change modification. Fluids and Barriers of the CNS, 12(1).
Widyastuti, K. & Dwitasari, M.A.D., 2017. Neurofisiologi Batang Otak.
Universitas Udayana.

29

Anda mungkin juga menyukai