Pembimbing :
NRP 11774/P
Penyusun :
2019
LEMBAR PENGESAHAN
Dokter Pembimbing
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
anugerahNya, sehingga kami bisa menyelesaikan tugas referat tentang
“HUBUNGAN TERAPI HIPERBARIK OKSIGEN DENGAN
NEOVASKULARISASI MELALUI JALUR SDF1, TGF-B1, VEGF. PADA
DECOMPRESION SICKNESS” dengan lancar Alhamdulillah. Referat ini
disusun sebagai salah satu tugas wajib untuk menyelesaikan
kepaniteraan klinik di Lembaga Kesehatan Kelautan TNI Angkatan Laut
Drs. Med. R. Rijadi S., Phys., dengan harapan dapat dijadikan sebagai
tambahan ilmu yang bermanfaat bagi penulis maupun pembaca.
penulis
3
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. 2
KATA PENGANTAR ..................................................................................... 3
DAFTAR ISI .................................................................................................. 4
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... 5
DAFTAR TABEL ........................................................................................... 6
BAB I ............................................................................................................. 1
BAB II ............................................................................................................ 2
2.1. Decompression Sickness................................................................ 9
2.1.1. Definisi.......................................................................................... 9
2.1.2. Epidemiologi................................................................................. 9
2.1.3. Klasifikasi ................................................................................... 10
2.1.4. Patogenesis ............................................................................... 10
2.1.5. Manifestasi Klinis ....................................................................... 13
2.1.6. Faktor Resiko ............................................................................. 13
2.1.7. Pencegahan ............................................................................... 14
2.1.8. Penatalakasanaan ..................................................................... 15
2.2. Terapi Oksigen Hiperbarik .............................................................. 9
2.2.1. Definisi.......................................................................................... 1
2.2.2. Prinsip Terapi Oksigen Hiperbarik ............................................ 18
2.2.3. Mekanisme Kerja Terapi Oksigen Hiperbarik ........................... 18
2.2.4. Manfaat Terapi Oksigen Hiperbarik .......................................... 21
2.2.5. Indikasi Terapi Oksigen Hiperbarik ........................................... 23
2.2.6. Kontraindikasi Terapi Oksigen Hiperbarik................................. 26
2.2.7. Komplikasi Terapi Oksigen Hiperbarik ...................................... 26
2.2.8 Hubungan HBOT dengan Neovasklarisasi melalui jalur VEGF
dan TGF beta 1…………………………………………………………….27
2.2.6 KESIMPULAN ………………………………………………………33
BAB III ......................................................................................................... 23
BAB IV ......................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 25
4
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2. 1 Penatalaksanaan Decompression Illness (Tetzlaff et al,
2003) ........................................................................................................... 17
5
DAFTAR TABEL
Tabel 2. 1 Indikasi Terapi Oksigen Hiperbarik (James and Jain 2017) .... 24
Tabel 2. 2 Indikasi Terapi Oksigen Hiperbarik (James and Jain, 2017) ... 25
Tabel 2. 3 Kontraindikasi Terapi Oksigen Hiperbarik (James and Jain,
2017) ........................................................................................................... 26
Tabel 2. 4 Komplikasi Terapi Oksigen Hiperbarik (James and Jain, 2017)
..................................................................................................................... 27
Tabel 2. 5 Komplikasi Terapi Oksigen Hiperbarik (James and Jain, 2017)
..................................................................................................................... 27
6
BAB I
PENDAHULUAN
Decompression illness atau penyakit dekompresi merupakan suatu
penyakit yang disebabkan oleh gelembung-gelembung gas baik di
intravaskular maupun ekstravaskular yang terbentuk karena adanya
pengurangan tekanan di lingkungan sekitar (Vann et al, 2014).
Istilah ini mencakup emboli udara arteri, dimana gas alveolar atau
emboli gas vena (melalui cardiac shunt atau pembuluh darah pulmonal)
masuk ke sirkulasi arteri, dan penyakit dekompresi yang disebabkan
karena pembentukan gelembung-gelembung gas dari gas inert terlarut.
Kedua sindrom ini dapat terjadi pada penyelam, pekerja udara
terkompresi, penerbang, dan astronot, tetapi emboli gas arteri dapat juga
terjadi karena penyebab-penyebab iatrogenik yang tidak berhubungan
dengan dekompresi (Vann et al, 2014).
7
2010) didapatkan hasil bahwa jumlah makrofag yang banyak diikuti dengan
jumlah angiogenesis yang juga meningkat.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DCS pertama kali ditemukan pada abad ke-19 pada pekerja udara
terkompresi (caisson) sehingga pertama kali disebut dengan nama caisson
disease, the bends karena karakteristik cara berjalan pada penderita DCS
yang membungkuk ke depan. DCS kemudian ditemukan pada penyelam,
pilot, dan juga stronor. DCS merupakan bagian dari penyakit yang
berhubungan dengan gelembung gas, selain dari emboli gas arteri atau
arterial gas embolism (AGE). Kedua kondisi ini disebut dengan nama
decompression illness (Moon, 2016).
2.1.2. Epidemiologi
Apabila prosedur dekompresi diikuti dengan benar, maka penyakit
dekompresi jarang terjadi. Tingkat kejadian (per penyelaman) pada
penyelaman operasional terbuka dalam durasi menit sampai beberapa
jam bervariasi pada populasi penyelaman: biasanya 0,015% untuk
penyelam penelitian, 0,01-0,019% untuk penyelam wisata, 0,030% untuk
penyelam US Navy, dan 0,095% untuk penyelam komersial. Jumlah
penyelam wisata aktif di seluruh dunia tidak diketahui tetapi diperkirakan
ada jutaan (Vann et al, 2014).
9
2.1.3. Klasifikasi
Klasifikasi DCS yang paling umum ada dua, yaitu tipe I dan tipe II.
Gejala DCS tipe I meliputi nyeri sendi (gejala muskuloskeletal dan gejala
pain-only) dan gejala yang melibatkan kulit (gejala cutaneus) atau
pembengkakakan dan nyeri di lymph node. Gejala DCS tipe II meliputi
gejala neurologis, gejala telinga bagian dalam, dan gejala cardiopulmonary
(chokes) (Moon, 2016).
2.1.4. Patogenesis
DCS dimulai dengan pembentukan dan peningkatan ukuran dari
gelembung gas di ekstravaskular maupun intravaskular ketika jumlah dari
tekanan gas terlarut (oksigen, karbon dioksida, nitrogen, helium) dan uap
air melebihi tekanan absolut lokal. Pada penyelaman, compressed-air
tunnel dan kerja caisson, kondisi supersturasi dapat terjadi karena
peningkatan tekanan parsial gas inert di jaringan yang terjadi ketika gas
tersebut (biasanya nitrogen, terkadang helium) terhirup pada tekanan
tinggi. Supersaturasi terjadi ketika dekompresi jika tingkat reduksi tekanan
sekitar melebihi tingkat pembuangan gas inert dari jaringan. (Vann et al,
2014).
10
tidak larut, yaitu berupa gelembung gas. Gelembung-gelmbung gas ada
yang terbentuk dalam darah (intravaskular), jaringan (ekstravaskular) dan
dalam sel (intraseluler) (Hariyanto et al, 2018).
11
reactions) bertanggung jawab atas terjadinya fenomena hipoksia
seluler pada penyakit dekompresi
Ada dua macam gelembung gas intravaskular, yaitu;
12
a. Hemokonsentrasi dan hypovolemia
b. Oedema paru
2. Stasis pada kapiler-kapiler karena adanya hemokonsentrasi
3. Hiperkoagubilitas dalam darah
4. Gangguan difusi gas-gas dalam alveoli
13
Wanita memiliki resiko lebih tinggi untuk mengalami DCS yang
berhubungan dengan ketinggian terutama pada saat mereka
mengalami menstruasi.
3. Sensitivitas terhadap Aktivasi Komplemen
Individu yang lebih sensitif terhadap aktivasi komplemen melalui jalur
alternatif lebih beresiko terkena DCS.
4. Kadar Kolesterol dan Hemokonsentrasi
Kadar kolesterol serum yang tinggi dan hemokonsentrasi yang tinggi
merupakan predisposisi pembentukan gelembung-gelembung gas.
5. Foramen Ovale
Adanya foramen ovale merupakan faktor resiko terjadinya DCS
karena foramen ovale dapat menyebabkan emboli vena masuk ke
sirkulasi sistemik. Fetus pada penyelam yang sedang hamil dapat
terancam terkena DCS. Filter pulmonal pada bayi yang belum
berfungsi, dan gelembung gas yang dibentuk oleh jaringan fetus atau
jaringan plasenta akan melewati foramen ovale menuju ke sirkulasi
arterial fetus, dimana gelembung-gelembung ini dapat menyebabkan
emboli pada otak, spinal cord, dan organ-organ yang lain.
6. Berdiam terlalu lama pada kondisi bertekanan dan diikuti oleh
dekompresi cepat
7. Latihan berat atau stress saat berada di kedalaman
8. Terbang setelah menyelam dan kenaikan yang cepat ke dataran
tinggi.
2.1.7. Pencegahan
Pencegahan terhadap penyakit dekompresi bisa dilakukan dengan
memahami tabel dan teknik dekompresi secara benar. Ada kemungkinan
1-3% untuk mengalami penyakit dekompresi walaupun tabel telah diikuti
dengan seksama. Pencegahan lain adalah dengan menghindari faktor-
faktor predisposisi, yaitu:
14
3. Kurang tidur
4. Konsumsi alkohol
5. Kegemukan
6. Usia lebih dari 40 tahun
7. Dehidrasi
8. Udara yang dihirup banyak mengandung CO2
9. Riwayat pernah DCS
10. Riwayat cedera yang baru terjadi
Penyelam yang pernah mengalami penyakit dekompresi tidak boleh
menyelam lagi selama 3-4 minggu, jangka waktu ini dapat diperpanjang,
atau sama sekali tidak diijinkan lagi menyelam setelah kasus-kasus
penyakit dekompresi yang berat.
2.1.8. Penatalakasanaan
Tatalaksana awal pada penyelam yang terkena DCS sebaiknya
sama dengan tatalaksana pada pasien lain dengan cedera besar.
Memperhatikan airway, breathing, dan circulation merupakan hal yang
terpenting. Hipoksemia dapat terjadi karena aspirasi air atau vomitus,
pneumothorax, atau cardiorespiratory DCS (Moon, 2016).
15
Keuntungan lain dari oksigen murni adalah perbaikan hipoksia
jaringan yang disebabkan oleh iskemia yang diinduksi gelembung gas,
cedera mekanis, atau kerusakan biokimia. Pada penelitian observasional,
pasien dengan penyakit dekompresi yang mendapatkan oksigen ketika
pertolongan pertama mengalami perbaikan gejala setelah beberapa kali
rekompresi daripada pasien yang tidak mendapatkan terapi oksigen (Vann
et al, 2014).
16
Gambar 2. 1 Penatalaksanaan Decompression Illness (Tetzlaff et al,
2015)
17
terpapar udara bertekanan bersama-sama sementara mereka masing-
masing menghirup oksigen murni melalui masker wajah, kap, atau
endotracheal tube. Tergantung pada indikasi, pasien dapat diobati hingga
3 sesi TOHB setiap hari. Dalam perawatan luka, TOHB digunakan sebagai
tambahan untuk perawatan luka standar, dan protokol biasanya melibatkan
perawatan TOHB 1,5 hingga 2 jam per perawatan untuk 20 hingga 40
perawatan dan bisa bahkan hingga 60 perawatan (Lam, et al. 2017).
18
Henry dan hasil dari peningkatan oksigen terlarut dalam plasma sebagai
akibat dari peningkatan tekanan parsial oksigen arteri. Tekanan 3 ATA
menghasilkan 6 ml O2 dilarutkan per 100 ml plasma, sehingga mengirimkan
O2 sebanyak hemoglobin yang terikat oleh O2 (Bhutani and Vishwanath
2015).
19
2. TOHB meningkatkan angiogenesis, penyembuhan luka, dan
respon imun melalui sinyal sel
Angiogenesis adalah proses terbentuknya jaringan pembuluh darah
baru seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan darah dan
oksigen di dalam jaringan. Angiogenesis dapat berlangsung dengan
dua proses utama: migrasi sel endotelial, di mana pembuluh darah
baru terbentuk sebagai perpanjangan jaringan yang ada, dan
pembagian pada lumen pembuluh darah dengan peningkatan
jaringan kapiler (Johnston, et al. 2016).
Penyembuhan luka adalah proses normal yang terdiri dari empat
fase: hemostasis, peradangan, proliferasi, dan remodelling jaringan.
Ketersediaan oksigen sangat penting dalam penyembuhan luka
terutama untuk memfasilitasi fosforilasi oksidatif untuk fungsi seluler
normal. Namun, selama fase awal penyembuhan luka, luka dapat
bersifat hipoksik. Hal ini dapat menstimulasi sinyal untuk
angiogenesis dan faktor-faktor penyembuhan luka lainnya seperti
hypoxia-inducible factors (HIF), platelet derived growth factor
(PDGF), transforming growth factor beta (TGF-β), vascular
endothelial growth factor (VEGF), tumor necrosis factor alpha (TNF-
α), dan pre-pro-endothelin 1 (PPET-1) (Johnston, et al. 2016).
TOHB telah terbukti menurunkan peradangan dengan menghambat
prostaglandin, IFN-γ, IL-1, dan IL-6. Efek anti-inflamasi ini dapat
meningkatkan sistem imun tubuh dengan menurunkan agen
imunosupresif seperti prostaglandin, IL-1, IL10. Respons sistem
imun tubuh lebih lanjut yang ditambah dengan TOHB untuk
membantu produksi spesies oksigen reaktif (ROS) oleh leukosit.
Selain sebagai tambahan untuk penekanan sitokin, aktivitas anti-
inflamasi, dan respon imun, TOHB juga memiliki efek pada produksi
antioksidan (Johnston, et al. 2016).
3. TOHB dan jalur respon antioksidan
Cedera, infeksi, dan penyakit kronis dapat mengaktivasi jalur
respons stress. Sel menghasilkan antioksidan sebagai respons
20
untuk stress tersebut. Sistem utama yang mengatur produksi
antioksidan adalah Nrf2-Keap1 / cytoplasmic oxididative stress
system. Keap1 adalah cytoplasmic chaperone protein yang
berikatan dengan Nrf2 – transcription factors. Nrf2 meningkat secara
universal setelah TOHB, menunjukkan bahwa sitoproteksi pada sel-
sel endotelial dengan aktivasi jalur antioksidan adalah mekanisme
kunci dari TOHB. Nrf2 memuncak pada 4 jam setelah terpapar TOHB
dan diekspresikan dalam level kontrol pada 24 jam berikutnya
setelah paparan. TOHB, meskipun terbukti meningkatkan Nrf2
dalam beberapa jam setelah paparan sebenarnya menyebabkan
penurunan jangka panjang dalam ekspresi Nrf2 ketika TOHB
dilanjutkan dengan pola pemaparan yang relevan secara klinis.
Tanggapan bi-phasic ini diperkirakan mengindikasikan peningkatan
jangka pendek protein antioksidan sitoprotektif yang dirangsang oleh
paparan TOHB, tetapi akhirnya berkontribusi untuk penurunan
jangka panjang dalam produksi antioksidan karena efek sitoprotektif
dari TOHB lanjutan (Johnston, et al. 2016).
21
Pemberian terapi HBOT sebagai terapi tambahan pada penderita
luka bakar dapat diberikan pada 24 jam pertama untuk mencegah
perluasan luka bakar, sedangkan pemberian pada hari berikutnya
bermanfaat untuk menurunkan resiko infeksi dan mempercepat
penyembuhan luka.
f Luka penderita kencing manis
Luka pada penderita kencing manis merupakan salah satu
komplikasi yang paling ditakuti karena sulit disembuhkan. Paling
sering terjadi di kaki dan disebabkan oleh bakteri anaerob.
Pemberian terapi HBO dapat mematikan bakteri tersebut dan
mempercepat penyembuhan luka.
g Luka pasca operasi
a. Terapi HBO dapat mempercepat proses penyembuhan luka
dan mencegah terjadinya infeksi.
b. Penyembuhan telapak tangan yang terputus setelah operasi
penyambungan
c. Penyembuhan ujung amputasi kaki pada penderita DM.
h Kebugaran dan kecantikan
Pemberian terapi HBO dapat meningkatkan dan mempertahankan
kebugaran tubuh, menghilangkan kelelahan serta dapat
meningkatkan elastisitas kulit dan peremajaan sel-sel tubuh.
i Terapi HBO juga berguna untuk:
a. Keracunan gas CO
b. Cangkokan kulit
c. Osteomyelitis
d. Meningkatkan Konsentrasi Oxygen pada seluruh jaringan
tubuh bahkan pada aliran darah yang berkurang
e. Rehabilitasi pasca stroke
f. Merangsang pertumbuhan pembuluh darah baru untuk
meningkatkan aliran darah pada sirkulasi yang berkurang
g. Mampu membunuh bakteri, terutama bakteri anaerob seperti
clostridium perfingens (penyebab penyakit gangren)
22
h. Mampu menghentikan aktifitas bakteri (bakteri ostatik)
i. Antara lain bakteri E. coli dan pseudomonas sp. Yang
umumnya ditemukan pada luka-luka mengganas
j. Mampu menghambat produksi racun alfa toksin
k. Memperbaiki fungsi ereksi pada penderita diabetes
l. Tubuh menjadi segar, badan tidak mudah lelah, gairah hidup
meningkat, tidur lebih enak dan pulas
m. Radionekrosis
n. Meningkatkan motilitas sperma pada kasus infertilitas
o. Alergi
23
Tabel 2. 1 Indikasi Terapi Oksigen Hiperbarik (James and Jain 2017)
24
Tabel 2. 2 Indikasi Terapi Oksigen Hiperbarik (James and Jain, 2017)
25
4 Kontraindikasi Terapi Oksigen Hiperbarik
Kontraindikasi terapi oksigen hiperbarik dibagi menjadi dua, yaitu
kontraindikasi absolut dan relatif; (James and Jain, 2017)
Berikut ini adalah beberapa komplikasi lain dari terapi oksigen hiperbarik;
26
Tabel 2. 4 Komplikasi Terapi Oksigen Hiperbarik (James and Jain, 2017)
27
sekresi beberapa faktor,seperti VEGF, TNF-alfa, dan PDGF yang akan
menginduksi angiogenesis. Pada penelitian yang dilakukan (rouby, 2010)
didapatkan hasil bahwa jumlah makrofag yang banyak diikuti dengan
jumlah angiogenesis yang juga meningkat. (Lam and ernest 2017)
2. TGF beta 1
Transforming growth factor-b(TGF-b) adalah protein dengan berat
molekul 25 kD, secara aktif terlibat dalam proses perkembangan dan
diferrensiasi berbagai jenis sel, seperti sel trombosit, monosit/makrofag, sel
endotel, sel otot polos vascular, sel mesangial dan glomelurus. TGF B
merupakan saatu protein ekstraseluler yang dihasilkan oleh seperangkat
28
sel-sel T. sumber utama lainnya berasal dari berbagai sel seperti trombosit,
makrofag, endotel, neutrophil, tulang, dan sejumlah jaringan lunak sperti
plasenta,ginjal, endometrium, dan sel-sel maligna.(seay 2008)
Transforming growth factor-b(TGF-b) disebut juga superfamily
pengikat (ligand), reseptor, protein bainding yang secara bersamaan
memainkan peranan dalam menjaga stabilitas struktur pembuluh darah.
TGF-b sebagai protein disekresikan dalam bentuk laten(suatu
bentuk yang belum bias berinteraksi dengan reseptor TGF-B), mengandng
hemodimer dari mature TGF-B, sebuah laten terikat peptid serta sebuah
laten nya terikat protein. Penurunan protein terkait akan menyebabkan
aktivasi TGF-B, dan trombositopedin juga berperan sebagai mediator
penurunan protein. TGF-B memiliki peran dalam modulasi migrrasi sel,
proliferasi, dan sintesis protein selama bebeapa proses fisiologis dan
patologis. TGF-B juga bertindak sebagai chemoattractant untuk berbagai
jenis sel dan mampu menghasilkan beberapa factor angiogenic seperti
VEGF, PDGF, dan (TNF-A) yang mempercepat proses neovaskularisasi.
(seay 2008)
Pada penelitian seay dkk. melaporkan bahwa pada hewan
percobaan, ekspresi TGF-B1 yang berlebihan diduga berfungsi untuk
memperbaiki stuktur pembuluh darah arteri yang rusak terutama pada sel
sel dan struktur matriks baru di tunika intima disetai tansdiferensiasi dari
vascular smooth muscle cells (VSMCs), fungsi protektif TGF-B1 selanjutnya
juga mengaktifkan mekanisme apoptosis dari jarigan yang bersangkutan
agar pertumbuhan sel di daerah tunika intima pembuluh darah tidak terjadi
secara berlebihan. (seay 2008)
3. SDF 1
Faktor turunan sel stroma 1 ( SDF1 ), juga dikenal
sebagai kemokin motif CXC 12 (CXCL12), adalahprotein kemokin yang
pada manusia dikodekan olehgen CXCL12 pada kromosom 10 . Ia
diekspresikan di mana-mana di banyak jaringan dan tipe sel. Faktor
turunan sel stromal 1-alpha dan 1-beta adalah sitokin kecil yang termasuk
dalam keluarga kemokin , anggota yang mengaktifkan leukosit dan sering
29
diinduksi oleh rangsangan proinflamasi seperti lipopolysaccharide , TNF ,
atau IL1 . Kemokin dikarakterisasi dengan adanya 4 sistein dilestarikan
yang membentuk 2 ikatan disulfida . Mereka dapat diklasifikasikan menjadi
2 subfamili. Dalam subfamili CC, residu sistein berdekatan satu sama
lain. Dalam subfamili CXC, mereka dipisahkan oleh asam amino
intervening. Protein SDF1 milik kelompok yang terakhir. Pensinyalan
CXCL12 telah diamati pada beberapa kanker. Gen CXCL12 juga
mengandung salah satu dari 27 SNP yang terkait dengan peningkatan
risiko penyakit arteri koroner . (Sorrentino 2016)
Struktur
a. Gen
Gen CXCL12 berada pada kromosom 10 pada pita 10q11.1 dan
mengandung 9 ekson . Gen ini menghasilkan 7 isoform melalui splicing
alternatif .
b. Protein
Protein ini termasuk dalam famili intersrine alpha
( chemokine CXC). [10] SDF-1 diproduksi dalam dua bentuk, SDF-1α /
CXCL12a dan SDF-1β / CXCL12b, dengan penyambungan alternatif dari
gen yang sama. Kemokin ditandai dengan keberadaan empat sistein
yang dikonservasi, yang membentuk dua ikatan disulfida . Protein CXCL12
30
termasuk dalam kelompok kemokin CXC, yang pasangan awal sisteinnya
dipisahkan oleh satu asam aminointervensi. Selain itu, 8 residu pertama
dari terminal N- CXCL12 berfungsi sebagai tempat pengikatan reseptor ,
meskipun hanya Lys-1 dan Pro-2 yang secara langsung berpartisipasi
dalam mengaktifkan reseptor. Sementara itu, motif RFFESH (residu 12-17)
di daerah loop berfungsi sebagai tempat docking untuk pengikatan reseptor
CXCL12.(Sorrentino 2016)
c. Fungsi
d. CNS
Selama perkembangan embrionik, CXCL12 berperan dalam pembentukan
serebelar melalui migrasi neuron. Di dalam SSP, CXCL12 berkontribusi
pada proliferasi sel, neurogenesis (perkembangan dan pertumbuhan
31
jaringan saraf), serta peradangan saraf.Sel-sel progenitor saraf (NPC)
adalah sel-sel induk yang berdiferensiasi menjadi sel glial dan
neuron.CXCL12 mempromosikan migrasi mereka ke situs lesi di dalam
otak, khususnya pada rentang luas.Begitu tiba di lokasi kerusakan, NPC
dapat memulai perbaikan jaringan berbasis sel punca pada lesi. Sumbu
CXCL12 / CXCR4 memberikan petunjuk tentang akson dan neurit sehingga
meningkatkan pertumbuhan neurit (proyeksi pembentukan neuron) dan
neurogenesis. Seperti kemokin lainnya, CXCL12 terlibat dengan migrasi
sel yang berkontribusi terhadap peradangan. Sehubungan dengan SSP,
CXCL12 berperan dalam peradangan saraf dengan menarik leukosit
melintasi sawar darah otak. Namun, produksi berlebihan dan akumulasi
CXCL12 bisa menjadi racun dan peradangan yang dihasilkan dapat
mengakibatkan konsekuensi serius. (Sorrentino 2016)
e. Signifikansi klinis
f. Penanda klinis
Sebuah studi skor risiko genetik multi-lokus yang didasarkan pada
kombinasi 27 lokus, termasuk gen CXCL12, mengidentifikasi individu-
individu yang berisiko lebih tinggi untuk kejadian dan kejadian penyakit
arteri koroner berulang, serta peningkatan manfaat klinis dari terapi
statin. Penelitian ini didasarkan pada studi kohort komunitas (studi Diet dan
32
Kanker Malmo) dan empat uji coba tambahan terkontrol acak dari kelompok
pencegahan primer (JUPITER dan ASCOT) dan kelompok pencegahan
sekunder (CARE dan PROVE IT-TIMI 22).
2.2.6 KESIMPULAN
Angiogensisi atau neovaskularisasi merupakan pembentukan kapiler baru
dari pembuluh darah yang sudah ada. Angiogenesis merupakan komponen
reaksi peradangan dan proses perbaikan yang penting, Pembentukan
pembuluh darah yang baru membutuhkan pertumbuhan pembuluh darah
yang sudah ada dan fusi dari pembuluh-pembuluh tersebut, yang disebut
proses anastomosis vascular. Diketahui bahwa makrofag membantu
pembentukan pembuluh dara baru berikatan dengan sekresi beberapa
faktor,seperti VEGF, TNF-alfa, dan PDGF,TNF-B yang akan menginduksi
angiogenesis.
selama fase penyembuhan luka, luka dapat bersifat hipoksik. Hal ini
dapat menstimulasi sinyal untuk angiogenesis dan faktor-faktor
penyembuhan luka lainnya seperti hypoxia-inducible factors (HIF), platelet
derived growth factor (PDGF), transforming growth factor beta (TGF-β),
vascular endothelial growth factor (VEGF), tumor necrosis factor alpha
(TNF-α), dan pre-pro-endothelin 1 (PPET-1). TOHB telah terbukti
menurunkan peradangan dengan menghambat prostaglandin, IFN-γ, IL-1,
dan IL-6. Efek anti-inflamasi ini dapat meningkatkan sistem imun tubuh
dengan menurunkan agen imunosupresif seperti prostaglandin, IL-1, IL10.
Respons sistem imun tubuh lebih lanjut yang ditambah dengan TOHB untuk
membantu produksi spesies oksigen reaktif (ROS) oleh leukosit.
33
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL
DECOMPRESION SICKNESS
HBOT
pO2
Jaringan iskemik/Hipoksia
memperbaiki injuri
endotel
Hiperoksia ROS
34
BAB IV
KESIMPULAN
35
DAFTAR PUSTAKA
Bhutani, Sourabh, dan Guruswamy Vishwanath. “Hyperbaric oxygen and
wound healing.” National Center for Biotechnology Information
45(2) (5-8 2015): 316–324.
Vann RD, Butler FK, Mitchell SJ, Moon RE, 2014. Decompression illness.
Lancet 377: 153–164.
Devaraj, Divya, dan D Srisakthi. “Hyperbaric Oxygen Therapy – Can It Be
the New Era in Dentistry?” National Center for Biotechnology
Information 8(2) (2 2014): 263–265.
Gill AL, Bell CNA, 2014, Hyperbaric oxygen, its uses, Mechanism of
action and Outcomes, QJ Med.
36
Lam, Gretl, Rocky Fontaine, Frank L. Ross, dan Ernest S. Chiu.
“Hyperbaric Oxygen Therapy: Exploring the Clinical Evidence.” Skin
& Wound Care (Advances in Skin & Wound Care) 30, no. 4 (April
2017): 181– 190.
37