Anda di halaman 1dari 37

REFERAT

HUBUNGAN TERAPI HBO TERHADAP NEOVASKULARISASI MELALUI


JALUR SDF 1, TGF-B1, DAN VEGF PADA DECOMPRESION SICKNESS.

Pembimbing :

LETKOL LAUT (K) dr. Akhmad Rofiq, M. Kes

NRP 11774/P

Penyusun :

ANDRE MAS AKBAR 201704200193


ALEXANDER GUNAWAN 201704200188

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS


HANG TUAH SURABAYA RSAL DR. RAMELAN
SURABAYA

2019
LEMBAR PENGESAHAN

Judul referat “HUBUNGAN TERAPI HIPERBARIK OKSIGEN DENGAN


NEOVASKULARISASI MELALUI JALUR SDF1, TGF-B1, VEGF. PADA
DECOMPRESION SICKNESS” telah diperiksa dan disetujui sebagai
salah satu tugas baca dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan
Dokter Muda di bagian LAKESLA RSAL dr. Ramelan Surabaya.

Surabaya, 28 maret 2019

Dokter Pembimbing

LETKOL LAUT (K) dr. Akhmad


Rofiq, M. Kes NRP 11774/P

2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
anugerahNya, sehingga kami bisa menyelesaikan tugas referat tentang
“HUBUNGAN TERAPI HIPERBARIK OKSIGEN DENGAN
NEOVASKULARISASI MELALUI JALUR SDF1, TGF-B1, VEGF. PADA
DECOMPRESION SICKNESS” dengan lancar Alhamdulillah. Referat ini
disusun sebagai salah satu tugas wajib untuk menyelesaikan
kepaniteraan klinik di Lembaga Kesehatan Kelautan TNI Angkatan Laut
Drs. Med. R. Rijadi S., Phys., dengan harapan dapat dijadikan sebagai
tambahan ilmu yang bermanfaat bagi penulis maupun pembaca.

Dalam penulisan dan penyusunan referat ini tidak lepas dari


bantuan dan dukungan berbagai pihak, untuk itu saya mengucapkan
terima kasih kepada :

1. Letkol Laut (K) dr. Akhmad Rofiq, M. Kes

2. Para dokter di bagian Lembaga Kesehatan Kelautan TNI


Angkatan Laut Drs. Med. R. Rijadi S., Phys. Surabaya

3. Para perawat dan pegawai di Lembaga Kesehatan Kelautan


TNI Angkatan Laut Drs. Med. R. Rijadi S., Phys. Surabaya
4. Teman-teman DM 42-H dan DM 42-I sebagai teman yang
menjalan
stase lakesla bersama.
Dalam penulisan referat ini penulis menyadari adanya keterbatasan
kemampuan dan pengetahuan yang kami miliki, sehingga referat ini masih
jauh dari sempurna. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun diperlukan
agar dapat menyempurnakan karya tulis ini di masa yang akan datang.

Semoga referat ini dapat berguna bagi pembaca pada umumnya


dan penulis pada khususnya.

Surabaya, 28 MARET 2019

penulis

3
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. 2
KATA PENGANTAR ..................................................................................... 3
DAFTAR ISI .................................................................................................. 4
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... 5
DAFTAR TABEL ........................................................................................... 6
BAB I ............................................................................................................. 1
BAB II ............................................................................................................ 2
2.1. Decompression Sickness................................................................ 9
2.1.1. Definisi.......................................................................................... 9
2.1.2. Epidemiologi................................................................................. 9
2.1.3. Klasifikasi ................................................................................... 10
2.1.4. Patogenesis ............................................................................... 10
2.1.5. Manifestasi Klinis ....................................................................... 13
2.1.6. Faktor Resiko ............................................................................. 13
2.1.7. Pencegahan ............................................................................... 14
2.1.8. Penatalakasanaan ..................................................................... 15
2.2. Terapi Oksigen Hiperbarik .............................................................. 9
2.2.1. Definisi.......................................................................................... 1
2.2.2. Prinsip Terapi Oksigen Hiperbarik ............................................ 18
2.2.3. Mekanisme Kerja Terapi Oksigen Hiperbarik ........................... 18
2.2.4. Manfaat Terapi Oksigen Hiperbarik .......................................... 21
2.2.5. Indikasi Terapi Oksigen Hiperbarik ........................................... 23
2.2.6. Kontraindikasi Terapi Oksigen Hiperbarik................................. 26
2.2.7. Komplikasi Terapi Oksigen Hiperbarik ...................................... 26
2.2.8 Hubungan HBOT dengan Neovasklarisasi melalui jalur VEGF
dan TGF beta 1…………………………………………………………….27
2.2.6 KESIMPULAN ………………………………………………………33
BAB III ......................................................................................................... 23
BAB IV ......................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 25

4
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2. 1 Penatalaksanaan Decompression Illness (Tetzlaff et al,
2003) ........................................................................................................... 17

5
DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1 Indikasi Terapi Oksigen Hiperbarik (James and Jain 2017) .... 24
Tabel 2. 2 Indikasi Terapi Oksigen Hiperbarik (James and Jain, 2017) ... 25
Tabel 2. 3 Kontraindikasi Terapi Oksigen Hiperbarik (James and Jain,
2017) ........................................................................................................... 26
Tabel 2. 4 Komplikasi Terapi Oksigen Hiperbarik (James and Jain, 2017)
..................................................................................................................... 27
Tabel 2. 5 Komplikasi Terapi Oksigen Hiperbarik (James and Jain, 2017)
..................................................................................................................... 27

6
BAB I
PENDAHULUAN
Decompression illness atau penyakit dekompresi merupakan suatu
penyakit yang disebabkan oleh gelembung-gelembung gas baik di
intravaskular maupun ekstravaskular yang terbentuk karena adanya
pengurangan tekanan di lingkungan sekitar (Vann et al, 2014).

Istilah ini mencakup emboli udara arteri, dimana gas alveolar atau
emboli gas vena (melalui cardiac shunt atau pembuluh darah pulmonal)
masuk ke sirkulasi arteri, dan penyakit dekompresi yang disebabkan
karena pembentukan gelembung-gelembung gas dari gas inert terlarut.
Kedua sindrom ini dapat terjadi pada penyelam, pekerja udara
terkompresi, penerbang, dan astronot, tetapi emboli gas arteri dapat juga
terjadi karena penyebab-penyebab iatrogenik yang tidak berhubungan
dengan dekompresi (Vann et al, 2014).

Terapi oksigen hiperbarik (TOHB) adalah pengobatan di mana


pasien bernapas 100% oksigen saat berada di dalam ruang hiperbarik yang
bertekanan lebih dari permukaan laut (1 atmosfer absolut [ATA]). Untuk
efikasi klinis, Undersea and Hyperbaric Medical Society menetapkan bahwa
tekanan harus lebih besar dari atau sama dengan 1,4 ATA; dalam praktek
klinis, tekanan yang diterapkan biasanya berkisar dari 2 hingga 3 ATA (Lam,
et al. 2017).

Angiogensisi atau neovaskularisasi merupakan pembentukan kapiler


baru dari pembuluh darah yang sudah ada. Angiogenesis merupakan
komponen reaksi peradangan dan proses perbaikan yang penting, dimana
juga terjadi selama proses pertumbuan fisiologis dan embryogenesis.

Pembentukan pembuluh darah yang baru membutuhkan


pertumbuhan pembuluh darah yang sudah ada dan fusi dari pembuluh-
pembuluh tersebut, yang disebut proses anastomosis vascular. Diketahui
bahwa makrofag membantu pembentukan pembuluh dara baru berikatan
dengan sekresi beberapa faktor,seperti VEGF, TNF-alfa, dan PDGF yang
akan menginduksi angiogenesis. Pada penelitian yang dilakukan (rouby,

7
2010) didapatkan hasil bahwa jumlah makrofag yang banyak diikuti dengan
jumlah angiogenesis yang juga meningkat.

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Decompression Sickness


2.1.1. Definisi
Decompression sickenss (DCS) atau penyakit dekompresi
merupakan suatu kondisi akut yang terjadi saat atau beberapa saat setelat
reduksi akut pada tekanan sekitar yang disebabkan oleh gelembung gas.
Penyakit dekompresi ini dapat disebabkan karena dekompresi akut dari
permukaan datar ke ketinggian atau permukaan tinggi, atau yang lebih
sering yaitu karena dari menyelam atau setelah dari chamber hiperbarik
kembali ke tempat dengan tekanan yang normal (Moon, 2016).

DCS pertama kali ditemukan pada abad ke-19 pada pekerja udara
terkompresi (caisson) sehingga pertama kali disebut dengan nama caisson
disease, the bends karena karakteristik cara berjalan pada penderita DCS
yang membungkuk ke depan. DCS kemudian ditemukan pada penyelam,
pilot, dan juga stronor. DCS merupakan bagian dari penyakit yang
berhubungan dengan gelembung gas, selain dari emboli gas arteri atau
arterial gas embolism (AGE). Kedua kondisi ini disebut dengan nama
decompression illness (Moon, 2016).

2.1.2. Epidemiologi
Apabila prosedur dekompresi diikuti dengan benar, maka penyakit
dekompresi jarang terjadi. Tingkat kejadian (per penyelaman) pada
penyelaman operasional terbuka dalam durasi menit sampai beberapa
jam bervariasi pada populasi penyelaman: biasanya 0,015% untuk
penyelam penelitian, 0,01-0,019% untuk penyelam wisata, 0,030% untuk
penyelam US Navy, dan 0,095% untuk penyelam komersial. Jumlah
penyelam wisata aktif di seluruh dunia tidak diketahui tetapi diperkirakan
ada jutaan (Vann et al, 2014).

9
2.1.3. Klasifikasi
Klasifikasi DCS yang paling umum ada dua, yaitu tipe I dan tipe II.
Gejala DCS tipe I meliputi nyeri sendi (gejala muskuloskeletal dan gejala
pain-only) dan gejala yang melibatkan kulit (gejala cutaneus) atau
pembengkakakan dan nyeri di lymph node. Gejala DCS tipe II meliputi
gejala neurologis, gejala telinga bagian dalam, dan gejala cardiopulmonary
(chokes) (Moon, 2016).

Istilah DCS tipe III digunakan untuk meggambarkan pasien yang


menderita AGE setelah menghirup gas inert yang banyak saat awal
penyelaman dan pada penderita yang memiliki karakteristik manifestasi
AGE dan DCS neurologi (Moon, 2016).

2.1.4. Patogenesis
DCS dimulai dengan pembentukan dan peningkatan ukuran dari
gelembung gas di ekstravaskular maupun intravaskular ketika jumlah dari
tekanan gas terlarut (oksigen, karbon dioksida, nitrogen, helium) dan uap
air melebihi tekanan absolut lokal. Pada penyelaman, compressed-air
tunnel dan kerja caisson, kondisi supersturasi dapat terjadi karena
peningkatan tekanan parsial gas inert di jaringan yang terjadi ketika gas
tersebut (biasanya nitrogen, terkadang helium) terhirup pada tekanan
tinggi. Supersaturasi terjadi ketika dekompresi jika tingkat reduksi tekanan
sekitar melebihi tingkat pembuangan gas inert dari jaringan. (Vann et al,
2014).

Kondisi supersaturasi gas dalam darah dan jaringan sampai suatu


batas tertentu masih bisa ditoleransi, dalam arti masih memberi
kesempatan gas untuk berdifusi keluar dari jaringan dan larut dalam darah,
kemudian ke alveoli paru dan diekshalasi keluar tubuh. Setelah melewati
batas kritis tertentu (supersaturation critique), kondisi supersaturasi akan
menyebabkan gas lepas lebih cepat dari jaringan atau darah dalam bentuk

10
tidak larut, yaitu berupa gelembung gas. Gelembung-gelmbung gas ada
yang terbentuk dalam darah (intravaskular), jaringan (ekstravaskular) dan
dalam sel (intraseluler) (Hariyanto et al, 2018).

Setelah suatu penyelaman mungkin dapat dideteksi dengan doppler


detector adanya gelembung-gelembung gas dalam darah, walaupun tidak
ada gejala penyakit dekompresi (silent bubbles). Dengan adanya fenomena
seperti diatas, maka pengertian batas kritis supersaturasi gas yang
berbahaya untuk menimbulkan gejala penyakit dekompresi sebetulnya
tidak lagi terletak pada kapan mulai timbul gelembung gas nitrogen (teori
Haldane), melainkan pada kapan gelembung gas nitrogen tersebut
membesar volume dan jumlahnya. Ada korelasi antara jumlah gelembung
gas yang terbentuk dengan kemungkinan timbulnya atau berat ringannya
penyakit dekompresi (Hariyanto et al, 2018).

Gelembung-gelembung gas ini dapat memiliki efek-efek mekanis,


embolik maupun efek biokimia dengan manifestasi yang beragam mulai dari
manifestasi yang ringan sampai dengan berat atau fatal. (Vann et al, 2014).

Gelembung gas ekstravaskular menimbulkan distorsi jaringan dan


kemungkinan kerusakan sel-sel disekitarnya. Ini bisa mengakibatkan
gejala-gejala neurologis maupun gejala nyeri periartikuler. Terbentuknya
gelembung gas ekstravaskular secara teoritis karena aliran darah vena di
jaringan tersebut yang relatif lambat sehingga menghambat kecepatan
eliminasi gas dari jaringan (Hariyanto et al, 2018).

Gelembung-gelembung gas intravaskular akan menimbulkan dua akibat,


yaitu;

1. Akibat langsung atau akibat mekanis sumbatan menimbulkan


iskemia atau kerusakan jaringan sampai infark jaringan
2. Akibat tidak langsung atau akibat sekunder dari adanya gelembung
gas dalam darah (dikenal dengan secondary blood bubble interface

11
reactions) bertanggung jawab atas terjadinya fenomena hipoksia
seluler pada penyakit dekompresi
Ada dua macam gelembung gas intravaskular, yaitu;

1. Gelembung yang stationer


2. Gelembung yang ikut sirkulasi
Gelembung gas intravaskular yang stationer selain menimbulkan
efek sumbatan juga menimbulkan gangguan lewat proses biokimia dan
dapat menimbulkan gejala nyeri periartikuler maupun gejala neurologis
perifer. Gelembung gas intravaskular yang ikut sirkulasi bila tidak banyak
jumlahnya, akan difiltrasi lewat paru (silent bubbles). Bila jumlahnya banyak
akan menimbulkan;

1. Sumbatan-sumbatan pada sirkulasi pulmoner


2. Masuk ke dalam sistem arterial lewat shunts di paru
3. Sumbatan pada sirkulasi pulmoner dapat berakibat;
a. Gangguan pernafasan (chokes)
b. Gangguan fungsi jantung kanan
c. Gangguan sistem sirkulasi vena akibat efek retrogard
Gelembung gas yang masuk ke sistem arterial akan menimbulkan
gangguan perfusi mikrovaskuler organ-organ, yang selanjutnya
mengakibatkan terjadinya iskemia lokal, kerusakan jaringan dan infark.
Kelainan ini bisa menyebabkan gejala neurologis, kardiovaskular dan nyeri.
Gelembung gas intravaskuler menimbulkan agregasi trombosit pada
permukaan antara gelembung gas dan plasma, yang diikuti serangkaian
proses reaksi biokimia yang komplek berupa pelepasan zat-zat seperti
katekolamin, SMAF (Smooth Muscle Activating Factor), ACTH dan faktor-
faktor humoral lain. Faktor stress akibat dekompresi diperkirakan juga
berperan dalam reaksi yang menimbulkan berbagai perubahan yang terjadi
pada penyakit dekompresi (Hariyanto et al, 2018).

Perubaahan-perubahan yang diakibatkan oleh rangkaian proses


biokimia yang terjadi pada penyakit dekompresi adalah;

1. Terjadinya peningkatan permeabilitas vaskular dengan akibat;

12
a. Hemokonsentrasi dan hypovolemia
b. Oedema paru
2. Stasis pada kapiler-kapiler karena adanya hemokonsentrasi
3. Hiperkoagubilitas dalam darah
4. Gangguan difusi gas-gas dalam alveoli

2.1.5. Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis dapat disebabkan karena efek langsung dari
gelembung gas ekstravaskular (autochthonus) seperti distorsi mekanis
jaringan yang dapat menyebabkan nyeri, atau obstruksi vaskular yang
menyebabkan tanda dan gejala yang mirip dengan stroke (Vann et al,
2014).

Efek sekunder dapat menyebabkan gejala tertunda yang onsetnya


muncul 24 jam setelah berada di permukaan. Kerusakan endotel yang
disebabkan karena gelembung gas intravaskular dapat menyebabkan
kebocoran kapiler, ekstravasasi plasma dan hemokonsentrasi. Hipotensi
juga dapat terjadi pada beberapa kasus yang berat (Vann et al, 2014).

Efek-efek lain meliputi aktivasi dan deposisi platelet, adesi leukosit-


endotel, dan akibat dari oklusi vaskular yang biasanya terjadi pada stroke
tromboembolik seperti iskemia-reperfusi injury dan apoptosis (Vann et al,
2014).

2.1.6. Faktor Resiko


1. Obesitas
Obesitas meningkatkan resiko terjadinya DCS. Penyelam
yang memiliki kelebihan 20% dari berat badan ideal, sebaiknya
dilarang untuk melakukan penyelaman sampai mereka mengurangi
berat badannya sampai mencapai berat badan idealnya.
2. Jenis Kelamin

13
Wanita memiliki resiko lebih tinggi untuk mengalami DCS yang
berhubungan dengan ketinggian terutama pada saat mereka
mengalami menstruasi.
3. Sensitivitas terhadap Aktivasi Komplemen
Individu yang lebih sensitif terhadap aktivasi komplemen melalui jalur
alternatif lebih beresiko terkena DCS.
4. Kadar Kolesterol dan Hemokonsentrasi
Kadar kolesterol serum yang tinggi dan hemokonsentrasi yang tinggi
merupakan predisposisi pembentukan gelembung-gelembung gas.
5. Foramen Ovale
Adanya foramen ovale merupakan faktor resiko terjadinya DCS
karena foramen ovale dapat menyebabkan emboli vena masuk ke
sirkulasi sistemik. Fetus pada penyelam yang sedang hamil dapat
terancam terkena DCS. Filter pulmonal pada bayi yang belum
berfungsi, dan gelembung gas yang dibentuk oleh jaringan fetus atau
jaringan plasenta akan melewati foramen ovale menuju ke sirkulasi
arterial fetus, dimana gelembung-gelembung ini dapat menyebabkan
emboli pada otak, spinal cord, dan organ-organ yang lain.
6. Berdiam terlalu lama pada kondisi bertekanan dan diikuti oleh
dekompresi cepat
7. Latihan berat atau stress saat berada di kedalaman
8. Terbang setelah menyelam dan kenaikan yang cepat ke dataran
tinggi.

2.1.7. Pencegahan
Pencegahan terhadap penyakit dekompresi bisa dilakukan dengan
memahami tabel dan teknik dekompresi secara benar. Ada kemungkinan
1-3% untuk mengalami penyakit dekompresi walaupun tabel telah diikuti
dengan seksama. Pencegahan lain adalah dengan menghindari faktor-
faktor predisposisi, yaitu:

1. Latihan berat selama atau sesudah menyelam


2. Menggigil selama atau sesudah menyelam

14
3. Kurang tidur
4. Konsumsi alkohol
5. Kegemukan
6. Usia lebih dari 40 tahun
7. Dehidrasi
8. Udara yang dihirup banyak mengandung CO2
9. Riwayat pernah DCS
10. Riwayat cedera yang baru terjadi
Penyelam yang pernah mengalami penyakit dekompresi tidak boleh
menyelam lagi selama 3-4 minggu, jangka waktu ini dapat diperpanjang,
atau sama sekali tidak diijinkan lagi menyelam setelah kasus-kasus
penyakit dekompresi yang berat.

Kecepatan naik ke permukaan juga harus diperhatikan. Kecepatan


naik yang diijinkan biasanya tidak lebih dari 20 meter/menit. Dalam
beberapa hal, kecepatan naik 8-10 meter/menit lebih aman (Hariyanto et al,
2018).

2.1.8. Penatalakasanaan
Tatalaksana awal pada penyelam yang terkena DCS sebaiknya
sama dengan tatalaksana pada pasien lain dengan cedera besar.
Memperhatikan airway, breathing, dan circulation merupakan hal yang
terpenting. Hipoksemia dapat terjadi karena aspirasi air atau vomitus,
pneumothorax, atau cardiorespiratory DCS (Moon, 2016).

Pertolongan pertama dan terbaik untuk penyakit dekompresi adalah


oksigen 100% yang diberikan selama beberapa jam walaupun gejala dan
manifestasinya sudah membaik. Oksigen murni dapat menghilangkan gas
inert dari paru dan menetapkan gradien gas inert terbesar dari jaringan ke
gas alveoli. Gradien ini menyebabkan cepatnya pembersihan gas inert dari
jaringan ke paru melalui perfusi dan dari gelembung gas ke jaringan melalui
difusi, sehingga terjadilah hilangnya gelembung gas (Vann et al, 2014).

15
Keuntungan lain dari oksigen murni adalah perbaikan hipoksia
jaringan yang disebabkan oleh iskemia yang diinduksi gelembung gas,
cedera mekanis, atau kerusakan biokimia. Pada penelitian observasional,
pasien dengan penyakit dekompresi yang mendapatkan oksigen ketika
pertolongan pertama mengalami perbaikan gejala setelah beberapa kali
rekompresi daripada pasien yang tidak mendapatkan terapi oksigen (Vann
et al, 2014).

Biasanya, rekompresi dilakukan di dalam mutiple chamber dimana


penyelam didampingi oleh satu atau lebih petugas. Rekompresi sementara
menghirup oksigen 100% mengurangi volume gelembung gas dan
meningkatkan gradien tekanan parsial gas inert antara jaringan dan gas di
alveoli. Efek ini menyebabkan perbaikan gelembung gas dengan cepat,
meredakan tekanan mekanis pada jaringan sekitar, dan mendukung
redistribusi gelembung gas yang terdapat sirkulasi mikro. Oksigen
hiperbaric juga mengoksigenasi jaringan yang terganggu dan memperbaiki
respons inflamasi yang berkontribusi pada cedera jaringan (Vann et al,
2014).

16
Gambar 2. 1 Penatalaksanaan Decompression Illness (Tetzlaff et al,
2015)

2.2 TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK


2.2.1Definisi
Terapi oksigen hiperbarik (TOHB) adalah pengobatan di mana
pasien bernapas 100% oksigen saat berada di dalam ruang hiperbarik yang
bertekanan lebih dari permukaan laut (1 atmosfer absolut [ATA]). Untuk
efikasi klinis, Undersea and Hyperbaric Medical Society menetapkan bahwa
tekanan harus lebih besar dari atau sama dengan 1,4 ATA; dalam praktek
klinis, tekanan yang diterapkan biasanya berkisar dari 2 hingga 3 ATA (Lam,
et al. 2017).

Pengobatan diberikan dalam ruang multiplace atau dalam ruang


monoplace. Dalam ruang monoplace, seorang pasien tunggal menghirup
oksigen murni terkompresi. Dalam ruang multiplace, beberapa pasien

17
terpapar udara bertekanan bersama-sama sementara mereka masing-
masing menghirup oksigen murni melalui masker wajah, kap, atau
endotracheal tube. Tergantung pada indikasi, pasien dapat diobati hingga
3 sesi TOHB setiap hari. Dalam perawatan luka, TOHB digunakan sebagai
tambahan untuk perawatan luka standar, dan protokol biasanya melibatkan
perawatan TOHB 1,5 hingga 2 jam per perawatan untuk 20 hingga 40
perawatan dan bisa bahkan hingga 60 perawatan (Lam, et al. 2017).

2.2.2 Prinsip Terapi Oksigen Hiperbarik


Dasar dari terapi oksigen hiperbarik terletak pada hukum gas ideal, yaitu
(Gill dan Bell 2014):

a. Hukum Boyle menyatakan bahwa pada suhu konstan, tekanan, dan


volume gas berbanding terbalik.
P1 V1 = P2 V2

b. Hukum Dalton menyatakan bahwa tekanan suatu campuran gas


sama dengan jumlah tekanan parsial masing-masing gas.
P = P1 + P2 + P3 +...

c. Hukum Henry menyatakan bahwa jumlah gas terlarut dalam cairan


berbanding lurus dengan tekanan parsial gas tersebut pada suhu
tetap.
d. Hukum Charles menyatakan bahwa pada volume tetap, suhu suatu
gas berbanding lurus dengan tekanannya.
=K

2.2.3 Mekanisme Kerja Terapi Oksigen Hiperbarik


TOHB memiliki dua mekanisme aksi utama, hiperoksigenasi, dan
penurunan ukuran gelembung. Hiperoksigenasi adalah aplikasi hukum

18
Henry dan hasil dari peningkatan oksigen terlarut dalam plasma sebagai
akibat dari peningkatan tekanan parsial oksigen arteri. Tekanan 3 ATA
menghasilkan 6 ml O2 dilarutkan per 100 ml plasma, sehingga mengirimkan
O2 sebanyak hemoglobin yang terikat oleh O2 (Bhutani and Vishwanath
2015).

Hiperoksigenasi sangat berharga dalam manajemen crush injury,


compartment syndrome, dan anemia akut. Penurunan ukuran gelembung
adalah penerapan hukum Boyle yang sesuai dengan volume gelembung
yang menurun secara langsung sebanding dengan peningkatan tekanan
dan merupakan mekanisme utama bekerja dalam manajemen
decompression sickness dan emboli gas dalam arteri (Bhutani and
Vishwanath 2015).

1. TOHB meningkatkan pengiriman oksigen ke dalam jaringan


Pada kondisi atmosfer normal, hampir 100% oksigen diangkut
dengan mengikat hemoglobin, dan hanya sejumlah kecil yang
dilarutkan dalam plasma. Pengiriman oksigen terjadi ketika molekul
oksigen meninggalkan sistem sirkulasi dan menyebarkan gradien
konsentrasi mereka ke dalam sel. Gradien konsentrasi pada
gilirannya ditentukan oleh tekanan parsial oksigen di kapiler dan
jaringan dalam jarak dekat. Jaringan dengan perfusi yang buruk
menciptakan gradien curam yang menyebabkan pengiriman oksigen
lebih besar, tetapi mereka juga memiliki permintaan oksigen
kumulatif yang lebih besar. Pasien yang menderita penyakit
mikrovasuler seperti diabetes memiliki lebih sedikit kapiler untuk
memberikan oksigenasi ke jaringan. TOHB memerangi keadaan
hipoksia ini dengan meningkatkan jumlah oksigen terlarut dalam
plasma serta tekanan parsial oksigen dalam cairan jaringan. Hal ini
meningkatkan jumlah oksigen yang tersedia untuk jaringan seiring
dengan permintaan oksigen yang meningkat dari jaringan dengan
perfusi yang buruk. Pengiriman oksigen ke jaringan hipoksia telah
ditunjukkan oleh observasi klinis menjadi sekitar 16 kali lipat lebih
tinggi dengan TOHB (Johnston, et al. 2016).

19
2. TOHB meningkatkan angiogenesis, penyembuhan luka, dan
respon imun melalui sinyal sel
Angiogenesis adalah proses terbentuknya jaringan pembuluh darah
baru seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan darah dan
oksigen di dalam jaringan. Angiogenesis dapat berlangsung dengan
dua proses utama: migrasi sel endotelial, di mana pembuluh darah
baru terbentuk sebagai perpanjangan jaringan yang ada, dan
pembagian pada lumen pembuluh darah dengan peningkatan
jaringan kapiler (Johnston, et al. 2016).
Penyembuhan luka adalah proses normal yang terdiri dari empat
fase: hemostasis, peradangan, proliferasi, dan remodelling jaringan.
Ketersediaan oksigen sangat penting dalam penyembuhan luka
terutama untuk memfasilitasi fosforilasi oksidatif untuk fungsi seluler
normal. Namun, selama fase awal penyembuhan luka, luka dapat
bersifat hipoksik. Hal ini dapat menstimulasi sinyal untuk
angiogenesis dan faktor-faktor penyembuhan luka lainnya seperti
hypoxia-inducible factors (HIF), platelet derived growth factor
(PDGF), transforming growth factor beta (TGF-β), vascular
endothelial growth factor (VEGF), tumor necrosis factor alpha (TNF-
α), dan pre-pro-endothelin 1 (PPET-1) (Johnston, et al. 2016).
TOHB telah terbukti menurunkan peradangan dengan menghambat
prostaglandin, IFN-γ, IL-1, dan IL-6. Efek anti-inflamasi ini dapat
meningkatkan sistem imun tubuh dengan menurunkan agen
imunosupresif seperti prostaglandin, IL-1, IL10. Respons sistem
imun tubuh lebih lanjut yang ditambah dengan TOHB untuk
membantu produksi spesies oksigen reaktif (ROS) oleh leukosit.
Selain sebagai tambahan untuk penekanan sitokin, aktivitas anti-
inflamasi, dan respon imun, TOHB juga memiliki efek pada produksi
antioksidan (Johnston, et al. 2016).
3. TOHB dan jalur respon antioksidan
Cedera, infeksi, dan penyakit kronis dapat mengaktivasi jalur
respons stress. Sel menghasilkan antioksidan sebagai respons

20
untuk stress tersebut. Sistem utama yang mengatur produksi
antioksidan adalah Nrf2-Keap1 / cytoplasmic oxididative stress
system. Keap1 adalah cytoplasmic chaperone protein yang
berikatan dengan Nrf2 – transcription factors. Nrf2 meningkat secara
universal setelah TOHB, menunjukkan bahwa sitoproteksi pada sel-
sel endotelial dengan aktivasi jalur antioksidan adalah mekanisme
kunci dari TOHB. Nrf2 memuncak pada 4 jam setelah terpapar TOHB
dan diekspresikan dalam level kontrol pada 24 jam berikutnya
setelah paparan. TOHB, meskipun terbukti meningkatkan Nrf2
dalam beberapa jam setelah paparan sebenarnya menyebabkan
penurunan jangka panjang dalam ekspresi Nrf2 ketika TOHB
dilanjutkan dengan pola pemaparan yang relevan secara klinis.
Tanggapan bi-phasic ini diperkirakan mengindikasikan peningkatan
jangka pendek protein antioksidan sitoprotektif yang dirangsang oleh
paparan TOHB, tetapi akhirnya berkontribusi untuk penurunan
jangka panjang dalam produksi antioksidan karena efek sitoprotektif
dari TOHB lanjutan (Johnston, et al. 2016).

2.2.4 Manfaat Terapi Oksigen Hiperbarik


a Meningkatkan konsentrasi oksigen pada seluruh jaringan tubuh,
bahkan pada aliran darah yang berkurang.
b Merangsang pertumbuhan pembuluh darah baru untuk
meningkatkan aliran darah pada sirkulasi yang berkurang.
c Menyebabkan pelebaran arteri sehingga meningkatkan diameter
pembuluh darah, dibanding pada permulaan terapi.
d Merangsang fungsi adaptif pada peningkatan superoxide dismutase
(SOD), merupakan salah satu anti oksidan dalam tubuh untuk
pertahanan terhadap radikal bebas dan bertujuan mengatasi infeksi
dengan meningkatkan kerja sel darah putih sebagai antibiotic
pembunuh kuman.
e Luka bakar

21
Pemberian terapi HBOT sebagai terapi tambahan pada penderita
luka bakar dapat diberikan pada 24 jam pertama untuk mencegah
perluasan luka bakar, sedangkan pemberian pada hari berikutnya
bermanfaat untuk menurunkan resiko infeksi dan mempercepat
penyembuhan luka.
f Luka penderita kencing manis
Luka pada penderita kencing manis merupakan salah satu
komplikasi yang paling ditakuti karena sulit disembuhkan. Paling
sering terjadi di kaki dan disebabkan oleh bakteri anaerob.
Pemberian terapi HBO dapat mematikan bakteri tersebut dan
mempercepat penyembuhan luka.
g Luka pasca operasi
a. Terapi HBO dapat mempercepat proses penyembuhan luka
dan mencegah terjadinya infeksi.
b. Penyembuhan telapak tangan yang terputus setelah operasi
penyambungan
c. Penyembuhan ujung amputasi kaki pada penderita DM.
h Kebugaran dan kecantikan
Pemberian terapi HBO dapat meningkatkan dan mempertahankan
kebugaran tubuh, menghilangkan kelelahan serta dapat
meningkatkan elastisitas kulit dan peremajaan sel-sel tubuh.
i Terapi HBO juga berguna untuk:
a. Keracunan gas CO
b. Cangkokan kulit
c. Osteomyelitis
d. Meningkatkan Konsentrasi Oxygen pada seluruh jaringan
tubuh bahkan pada aliran darah yang berkurang
e. Rehabilitasi pasca stroke
f. Merangsang pertumbuhan pembuluh darah baru untuk
meningkatkan aliran darah pada sirkulasi yang berkurang
g. Mampu membunuh bakteri, terutama bakteri anaerob seperti
clostridium perfingens (penyebab penyakit gangren)

22
h. Mampu menghentikan aktifitas bakteri (bakteri ostatik)
i. Antara lain bakteri E. coli dan pseudomonas sp. Yang
umumnya ditemukan pada luka-luka mengganas
j. Mampu menghambat produksi racun alfa toksin
k. Memperbaiki fungsi ereksi pada penderita diabetes
l. Tubuh menjadi segar, badan tidak mudah lelah, gairah hidup
meningkat, tidur lebih enak dan pulas
m. Radionekrosis
n. Meningkatkan motilitas sperma pada kasus infertilitas
o. Alergi

3 Indikasi Terapi Oksigen Hiperbarik


Indikasi untuk terapi oksigen hiperbarik bervariasi di setiap negara.
Indikasi yang disetujui oleh Undersea and Hyperbaric Medical Society
sangat terbatas dan bergantung pada bukti kemanjuran terapi oksigen
hiperbarik oleh penelitian (James and Jain, 2017)

23
Tabel 2. 1 Indikasi Terapi Oksigen Hiperbarik (James and Jain 2017)

24
Tabel 2. 2 Indikasi Terapi Oksigen Hiperbarik (James and Jain, 2017)

25
4 Kontraindikasi Terapi Oksigen Hiperbarik
Kontraindikasi terapi oksigen hiperbarik dibagi menjadi dua, yaitu
kontraindikasi absolut dan relatif; (James and Jain, 2017)

Tabel 2. 3 Kontraindikasi Terapi Oksigen Hiperbarik (James and Jain,


2017)

5 Komplikasi Terapi Oksigen Hiperbarik


Meskipun terapi oksigen hiperbarik memiliki aplikasi yang tersebar
luas, komplikasi dalam penggunaannya dapat terjadi. Dalam terapi oksigen
hiperbarik, terdapat perbedaan tekanan yang mempengaruhi telinga tengah
dan sinus hidung, yang dapat menyebabkan barotrauma. Dalam sebuah
penelitian yang dilakukan untuk menganalisis efek samping dari terapi
oksigen hiperbarik, tekah dilaporkan adanya toksisitas oksigen dan
gangguan penglihatan (Devaraj and Srisakthi 2014).

Berikut ini adalah beberapa komplikasi lain dari terapi oksigen hiperbarik;

26
Tabel 2. 4 Komplikasi Terapi Oksigen Hiperbarik (James and Jain, 2017)

Tabel 2. 5 Komplikasi Terapi Oksigen Hiperbarik (James and Jain, 2017)

2.2.5 Hubungan HBOT dengan Neovasklarisasi melalui jalur VEGF


dan TGF beta 1.
1. VEGF
Angiogensisi atau neovaskularisasi merupakan pembentukan kapiler
baru dari pembuluh darah yang sudah ada. Angiogenesis merupakan
komponen reaksi peradangan dan proses perbaikan yang penting, dimana
juga terjadi selama proses pertumbuan fisiologis dan embryogenesis.(Lam
and ernest 2017)

Pembentukan pembuluh darah yang baru membutuhkan pertumbuhan


pembuluh darah yang sudah ada dan fusi dari pembuluh-pembuluh
tersebut, yang disebut proses anastomosis vascular. Diketahui bahwa
makrofag membantu pembentukan pembuluh dara baru berikatan dengan

27
sekresi beberapa faktor,seperti VEGF, TNF-alfa, dan PDGF yang akan
menginduksi angiogenesis. Pada penelitian yang dilakukan (rouby, 2010)
didapatkan hasil bahwa jumlah makrofag yang banyak diikuti dengan
jumlah angiogenesis yang juga meningkat. (Lam and ernest 2017)

VEGF adalah suatau mitogen spesifik sel endotel in vitro dan


penginduksi angiogenik dalam berbagai model in vivo. Aktivitas dari VEGF
adalah kemampuanya untuk memstimulasi pertumbuhan sel endotel
pembuluh darah dair; arteri, vena dan limfatik. VEGF menstimulasi
angiogenesis dalam model in vitro tridimensional, menginduksi sel endotel
mikrovaskukar yang konfluen untuk menyerang gel kolagen dan
membentuk struktur seperti kapiler. (Lam and ernest 2017)

VEGF juga merupakan faktor kelangsungan hidup untuk sel endotel


baik in vitro dan in vivo. Secara in vitro, VEGF mencegah apoptosis sel
sendotel yang disebabkan oleh serum yg kelaparan(tidakmendapat
nutrisi/oksigen). Aktivitas tersebut dimediasi oleh phosphatidylinositolm3-
kinase (PI3 kiAkt pathway). VEGF jga menginduksi expresi dari anti
apoptosis protein Bcl-2 A1, XIAP, dan survivin pada sel endotel. Secara in
vivo efek anti apoptosis dari VEGF diatur secara perkembangan.
Penghambatan VEGF menghasilkan apoptosis yang luas pada neonatal.
(Lam and ernest 2017)

Tekanan oksigen memainkan peran penting dalam mengatur


berbagai expresi gen. expresi mRNA VEGF diinduksi oleh paparan pO2
yang rendah dalam berbagai keadaan patologis. Pada beberapa penelitian
menunjukan kesamaan antara mekanisme yang menyebabkan regulasi
hipoksik dari VEGF dan erythropoietin. (Lam and ernest 2017)

2. TGF beta 1
Transforming growth factor-b(TGF-b) adalah protein dengan berat
molekul 25 kD, secara aktif terlibat dalam proses perkembangan dan
diferrensiasi berbagai jenis sel, seperti sel trombosit, monosit/makrofag, sel
endotel, sel otot polos vascular, sel mesangial dan glomelurus. TGF B
merupakan saatu protein ekstraseluler yang dihasilkan oleh seperangkat

28
sel-sel T. sumber utama lainnya berasal dari berbagai sel seperti trombosit,
makrofag, endotel, neutrophil, tulang, dan sejumlah jaringan lunak sperti
plasenta,ginjal, endometrium, dan sel-sel maligna.(seay 2008)
Transforming growth factor-b(TGF-b) disebut juga superfamily
pengikat (ligand), reseptor, protein bainding yang secara bersamaan
memainkan peranan dalam menjaga stabilitas struktur pembuluh darah.
TGF-b sebagai protein disekresikan dalam bentuk laten(suatu
bentuk yang belum bias berinteraksi dengan reseptor TGF-B), mengandng
hemodimer dari mature TGF-B, sebuah laten terikat peptid serta sebuah
laten nya terikat protein. Penurunan protein terkait akan menyebabkan
aktivasi TGF-B, dan trombositopedin juga berperan sebagai mediator
penurunan protein. TGF-B memiliki peran dalam modulasi migrrasi sel,
proliferasi, dan sintesis protein selama bebeapa proses fisiologis dan
patologis. TGF-B juga bertindak sebagai chemoattractant untuk berbagai
jenis sel dan mampu menghasilkan beberapa factor angiogenic seperti
VEGF, PDGF, dan (TNF-A) yang mempercepat proses neovaskularisasi.
(seay 2008)
Pada penelitian seay dkk. melaporkan bahwa pada hewan
percobaan, ekspresi TGF-B1 yang berlebihan diduga berfungsi untuk
memperbaiki stuktur pembuluh darah arteri yang rusak terutama pada sel
sel dan struktur matriks baru di tunika intima disetai tansdiferensiasi dari
vascular smooth muscle cells (VSMCs), fungsi protektif TGF-B1 selanjutnya
juga mengaktifkan mekanisme apoptosis dari jarigan yang bersangkutan
agar pertumbuhan sel di daerah tunika intima pembuluh darah tidak terjadi
secara berlebihan. (seay 2008)
3. SDF 1
Faktor turunan sel stroma 1 ( SDF1 ), juga dikenal
sebagai kemokin motif CXC 12 (CXCL12), adalahprotein kemokin yang
pada manusia dikodekan olehgen CXCL12 pada kromosom 10 . Ia
diekspresikan di mana-mana di banyak jaringan dan tipe sel. Faktor
turunan sel stromal 1-alpha dan 1-beta adalah sitokin kecil yang termasuk
dalam keluarga kemokin , anggota yang mengaktifkan leukosit dan sering

29
diinduksi oleh rangsangan proinflamasi seperti lipopolysaccharide , TNF ,
atau IL1 . Kemokin dikarakterisasi dengan adanya 4 sistein dilestarikan
yang membentuk 2 ikatan disulfida . Mereka dapat diklasifikasikan menjadi
2 subfamili. Dalam subfamili CC, residu sistein berdekatan satu sama
lain. Dalam subfamili CXC, mereka dipisahkan oleh asam amino
intervening. Protein SDF1 milik kelompok yang terakhir. Pensinyalan
CXCL12 telah diamati pada beberapa kanker. Gen CXCL12 juga
mengandung salah satu dari 27 SNP yang terkait dengan peningkatan
risiko penyakit arteri koroner . (Sorrentino 2016)

Struktur

a. Gen
Gen CXCL12 berada pada kromosom 10 pada pita 10q11.1 dan
mengandung 9 ekson . Gen ini menghasilkan 7 isoform melalui splicing
alternatif .

b. Protein
Protein ini termasuk dalam famili intersrine alpha
( chemokine CXC). [10] SDF-1 diproduksi dalam dua bentuk, SDF-1α /
CXCL12a dan SDF-1β / CXCL12b, dengan penyambungan alternatif dari
gen yang sama. Kemokin ditandai dengan keberadaan empat sistein
yang dikonservasi, yang membentuk dua ikatan disulfida . Protein CXCL12

30
termasuk dalam kelompok kemokin CXC, yang pasangan awal sisteinnya
dipisahkan oleh satu asam aminointervensi. Selain itu, 8 residu pertama
dari terminal N- CXCL12 berfungsi sebagai tempat pengikatan reseptor ,
meskipun hanya Lys-1 dan Pro-2 yang secara langsung berpartisipasi
dalam mengaktifkan reseptor. Sementara itu, motif RFFESH (residu 12-17)
di daerah loop berfungsi sebagai tempat docking untuk pengikatan reseptor
CXCL12.(Sorrentino 2016)
c. Fungsi

CXCL12 diekspresikan dalam banyak jaringan pada tikus


termasuk otak , timus , jantung , paru-paru , hati, ginjal , limpa ,
dan sumsum tulang . CXCL12 sangat kemotaksis untuk limfosit . Selama
embriogenesis, ini mengarahkan migrasi sel hematopoietik dari hati janin
ke sumsum tulang dan pembentukan pembuluh darah besar. Juga telah
ditunjukkan bahwa pensinyalan CXCL12 mengatur ekspresi CD20 pada sel
B. CXCL12 juga kemotaksis untuk sel punca mesenkim dan diekspresikan
dalam area destruksi tulang inflamasi, di mana ia memediasi efek
penekannya pada osteoklastogenesis .
Di masa dewasa, CXCL12 memainkan peran penting
dalam angiogenesis dengan merekrut sel-sel progenitor endotel (EPC) dari
sumsum tulang melalui mekanisme yang bergantung pada CXCR4.
CXCR4 , sebelumnya disebut LESTR atau fusin, adalah reseptor untuk
CXCL12. Interaksi CXCL12-CXCR4 ini dulunya dianggap eksklusif (tidak
seperti untuk chemokine lain dan reseptornya), tetapi baru-baru ini,
disarankan bahwa CXCL12 juga dapat mengikat reseptor
CXCR7 (sekarang disebut ACKR3). Dengan memblokir CXCR4, sebuah
koreseptor utama untuk entri HIV-1, CXCL12 bertindak sebagai inhibitor
endogen dari strain HIV-1 tropik CXCR4-tropik. (Sorrentino 2016)

d. CNS
Selama perkembangan embrionik, CXCL12 berperan dalam pembentukan
serebelar melalui migrasi neuron. Di dalam SSP, CXCL12 berkontribusi
pada proliferasi sel, neurogenesis (perkembangan dan pertumbuhan

31
jaringan saraf), serta peradangan saraf.Sel-sel progenitor saraf (NPC)
adalah sel-sel induk yang berdiferensiasi menjadi sel glial dan
neuron.CXCL12 mempromosikan migrasi mereka ke situs lesi di dalam
otak, khususnya pada rentang luas.Begitu tiba di lokasi kerusakan, NPC
dapat memulai perbaikan jaringan berbasis sel punca pada lesi. Sumbu
CXCL12 / CXCR4 memberikan petunjuk tentang akson dan neurit sehingga
meningkatkan pertumbuhan neurit (proyeksi pembentukan neuron) dan
neurogenesis. Seperti kemokin lainnya, CXCL12 terlibat dengan migrasi
sel yang berkontribusi terhadap peradangan. Sehubungan dengan SSP,
CXCL12 berperan dalam peradangan saraf dengan menarik leukosit
melintasi sawar darah otak. Namun, produksi berlebihan dan akumulasi
CXCL12 bisa menjadi racun dan peradangan yang dihasilkan dapat
mengakibatkan konsekuensi serius. (Sorrentino 2016)
e. Signifikansi klinis

Pada manusia, CXCL12 telah terlibat dalam berbagai kondisi biomedis


yang melibatkan beberapa sistem organ. Selanjutnya, pensinyalan
CXCL12 bersamaan dengan pensinyalan CXCR7 telah terlibat dalam
perkembangan kanker pankreas. Dalam sistem saluran kemih, metilasi
dari promotor CXCL12 dan ekspresi PD-L1 mungkin merupakan biomarker
prognostik yang kuat untuk kekambuhan biokimiawi pada pasien karsinoma
prostat setelah prostatektomi radikal, dan studi lebih lanjut sedang
dilakukan untuk mengkonfirmasi apakah metilasi CXCL12 dapat membantu
secara aktif strategi pengawasan. Di bidang onkologi, fibroblas terkait
melanoma dirangsang oleh stimulasi reseptor adenosin A2B diikuti oleh
stimulasi faktor pertumbuhan fibroblast dan peningkatan ekspresi
CXCL12. (Sorrentino 2016)

f. Penanda klinis
Sebuah studi skor risiko genetik multi-lokus yang didasarkan pada
kombinasi 27 lokus, termasuk gen CXCL12, mengidentifikasi individu-
individu yang berisiko lebih tinggi untuk kejadian dan kejadian penyakit
arteri koroner berulang, serta peningkatan manfaat klinis dari terapi
statin. Penelitian ini didasarkan pada studi kohort komunitas (studi Diet dan

32
Kanker Malmo) dan empat uji coba tambahan terkontrol acak dari kelompok
pencegahan primer (JUPITER dan ASCOT) dan kelompok pencegahan
sekunder (CARE dan PROVE IT-TIMI 22).

2.2.6 KESIMPULAN
Angiogensisi atau neovaskularisasi merupakan pembentukan kapiler baru
dari pembuluh darah yang sudah ada. Angiogenesis merupakan komponen
reaksi peradangan dan proses perbaikan yang penting, Pembentukan
pembuluh darah yang baru membutuhkan pertumbuhan pembuluh darah
yang sudah ada dan fusi dari pembuluh-pembuluh tersebut, yang disebut
proses anastomosis vascular. Diketahui bahwa makrofag membantu
pembentukan pembuluh dara baru berikatan dengan sekresi beberapa
faktor,seperti VEGF, TNF-alfa, dan PDGF,TNF-B yang akan menginduksi
angiogenesis.

selama fase penyembuhan luka, luka dapat bersifat hipoksik. Hal ini
dapat menstimulasi sinyal untuk angiogenesis dan faktor-faktor
penyembuhan luka lainnya seperti hypoxia-inducible factors (HIF), platelet
derived growth factor (PDGF), transforming growth factor beta (TGF-β),
vascular endothelial growth factor (VEGF), tumor necrosis factor alpha
(TNF-α), dan pre-pro-endothelin 1 (PPET-1). TOHB telah terbukti
menurunkan peradangan dengan menghambat prostaglandin, IFN-γ, IL-1,
dan IL-6. Efek anti-inflamasi ini dapat meningkatkan sistem imun tubuh
dengan menurunkan agen imunosupresif seperti prostaglandin, IL-1, IL10.
Respons sistem imun tubuh lebih lanjut yang ditambah dengan TOHB untuk
membantu produksi spesies oksigen reaktif (ROS) oleh leukosit.

33
BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL

DECOMPRESION SICKNESS

HBOT

Profliferasi endotel pembentukan


peningkatan SDF 1,TGF- & angiogenesis
B1,VEGV pembuluh darah baru

pO2
Jaringan iskemik/Hipoksia

memperbaiki injuri
endotel

Hiperoksia ROS

34
BAB IV

KESIMPULAN

Angiogensisi atau neovaskularisasi merupakan pembentukan kapiler baru


dari pembuluh darah yang sudah ada. selama fase penyembuhan luka, luka
dapat bersifat hipoksik. Hal ini dapat menstimulasi sinyal untuk
angiogenesis dan faktor-faktor penyembuhan luka lainnya seperti hypoxia-
inducible factors (HIF), platelet derived growth factor (PDGF), transforming
growth factor beta (TGF-β), vascular endothelial growth factor (VEGF),
tumor necrosis factor alpha (TNF-α), dan pre-pro-endothelin 1 (PPET-1).

Terapi HBO akan meningkatkan ROS, selanjutnya akan


meningkatkan faktor-faktor penyembuh luka seperti SDF 1, TGF-B1, dan
VEGF. Yang kemudian akan membantu penyembuhan luka dan
pembentukan pembluh darah baru.

35
DAFTAR PUSTAKA
Bhutani, Sourabh, dan Guruswamy Vishwanath. “Hyperbaric oxygen and
wound healing.” National Center for Biotechnology Information
45(2) (5-8 2015): 316–324.

James PB, Jain KK, 2017. Decompression Sickness. Di dalam Textbook


of Hyperbaric Medicine 6th edition. Basel: Springer International
Publishing.

Moon RE, 2016. Hyperbaric Oxygen Treatment for Decompression


Sickness.

Vann RD, Butler FK, Mitchell SJ, Moon RE, 2014. Decompression illness.
Lancet 377: 153–164.
Devaraj, Divya, dan D Srisakthi. “Hyperbaric Oxygen Therapy – Can It Be
the New Era in Dentistry?” National Center for Biotechnology
Information 8(2) (2 2014): 263–265.

Gill AL, Bell CNA, 2014, Hyperbaric oxygen, its uses, Mechanism of
action and Outcomes, QJ Med.

Hariyanto et al, 2018, Ilmu Kesehatan Penyelaman dan Hiperbarik,


LAKESLA, Surabaya

James PB, Jain KK, 2017. Decompression Sickness. Di dalam Textbook


of Hyperbaric Medicine 6th edition. Basel: Springer International
Publishing.

Johnston, Benjamin R, Austin Y, Bielinsky Brea, dan Paul Y Liu. “The


Mechanism of Hyperbaric Oxygen Therapy.” Rhode Island Medical
Journal, 2 2016: 26-29.

36
Lam, Gretl, Rocky Fontaine, Frank L. Ross, dan Ernest S. Chiu.
“Hyperbaric Oxygen Therapy: Exploring the Clinical Evidence.” Skin
& Wound Care (Advances in Skin & Wound Care) 30, no. 4 (April
2017): 181– 190.

Napoleone Ferrara, “Vascular Endhotelial growth Factor: Basic Science


and Clinical Progres” Endocrine Reviews 25(4): 581-611. 2004

Seay, U., Sedding, D.,Krick, S,.hecker,M.,Seeger,W.and


Eickelberg(2008) Transforming growth faktor-b-dependent growth
inhibition iin primary vascular smooth muscle cells is p38-
dependent. JPET, 315: 1005-1002.

Sorrentino C, Miele L, Porta A, Pinto A, Morello S (Agustus


2016). "Aktivasi reseptor adenosin A2B dalam melanoma B16
menginduksi ekspresi CXCL12 dalam sel stroma tumor positif-FAP,
meningkatkan perkembangan tumor" . Oncotarget . 7 (39): 64274–
64288. doi : 10.18632 / oncotarget.11729

De La Luz Sierra M, Yang F, Narazaki M, Salvucci O, Davis D, Yarchoan R,


Zhang HH, Fales H, Tosato G (April 2004). "Pemrosesan diferensial
faktor turunan-stroma-1alpha dan faktor turunan-stroma-1beta
menjelaskan keragaman fungsional". Darah 103 (7): 2452–
9. doi : 10.1182 / darah-2003-08-2857

37

Anda mungkin juga menyukai