Anda di halaman 1dari 38

CASE REPORT

ILMU KESEHATAN KELAUTAN


HUBUNGAN TERAPI HIPERBARIK OKSIGEN TERHADAP ULKUS
DIABETIKUM

PEMBIMBING :
LETKOL LAUT (K) dr. Akhmad Rofiq, M.Kes

PENYUSUN :

Aulia Raksi Leadria 201704200203


Steven Andrean Susanto 201704200341

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH


LEMBAGA KESEHATAN KELAUTAN TNI AL
Drs. Med. R. Rijadi Sastropanola, Phys.
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Judul case report “Pengaruh Terapi Hiperbarik Oksigen Terhadap Ulkus Diabetikum”
telah diperiksa dan disetujui sebagai salah satu tugas baca dalam rangka
menyelesaikan studi kepaniteraan Dokter Muda di bagian LAKESLA RSAL dr.
RAMELAN Surabaya .

Mengesahkan,

Letkol Laut (K) dr. Akhmad Rofiq, M.Kes


KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkah
dan rahmatNya, saya bisa menyelesaikan case report dengan topik

“Hubungan Terapi Hiperbarik Oksigen terhadap ulkus diabetikum” dengan lancar.


Case report ini disusun sebagai salah satu tugas wajib untuk menyelesaikan
kepaniteraan klinik di bagian LAKESLA RSAL dr. RAMELAN Surabaya, dengan
harapan dapat dijadikan sebagai tambahan ilmu yang bermanfaat bagi pengetahuan
penulis maupun pembaca.

Dalam penulisan dan penyusunan case report ini tidak lepas dari bantuan dan
dukungan berbagai pihak, untuk itu saya mengucapkan terima kasih kepada:

1. LETKOL LAUT (K) dr. Akhmad Rofiq, M.Kes selaku pembibing


2. Para dokter di bagian LAKESLA RSAL dr. RAMELAN Surabaya
3. Para perawat dan pegawai di LAKESLA RSAL dr. RAMELAN Surabaya

Saya menyadari bahwa case report yang saya buat ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka saran dan kritik yang membangun dari semua pihak sangat
diharapkan. Semoga referat ini dapat memberi manfaat.

Surabaya, 10 Februari 2019

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diabetes mellitus (DM) atau disebut diabetes saja merupakan penyakit gangguan
metabolic akibat pancreas tidak memproduksi insulin (DMT1) atau tubuh tidak dapat
menggunakan insulin secara efektif (DMT2). Insulin adalah hormone yang mengatur
keseimbangan kadar gula darah. Akibatnya terjadi peningkatan konsentrasi glukosa
di dalam darah (hiperglikemi). Hiperglikemia yang tidak terkontrol juga dapat
menimbulkan banyak penyakit komplikasi seperti neuropati, stroke dan penyakit
pembuluh darah perifer. (W.T 2008)

Komplikasi kronik dari Diabetes Melitus salah satunya adalah gangguan neuropati
yang memunculkan keluhan seperti rasa kebas, kesemutan dan mati rasa. Disini juga
terdapat trias penyebab adanya ulkus diabetika adalah iskemik, neuropati dan infeksi
(Sapico, 2007).

Terapi oksigen hiperbarik merupakan tindakan dimana pasien menghirup oksigen


murni secara berkala di dalam ruang udara bertekanan tinggi yang lebih daripada 1
ATA, dengan peran 3 hukum yaitu hukum boyle, hukum henry, hukum Dalton (Gill dan
Bell, 2004)

Terapi oksigen hiperbarik memberikan manfaat fisiologis untuk pasien dengan


luka ulkus antara lain: peningkatan oksigenasi pada daerah yang luka dan terancam
luka, membangkitkan jaringan granulasi, membunuh organisme dan meningkatkan
fagositosis. Tekanan pada terapi hiperbarik bermanfaat untuk meningkatkan penetrasi
antibiotik, meningkatkan produksi kolagen fibroblast untuk mendukung angiogenesis
kapiler sehingga mempercepat penyembuhan luka. Terapi oksigen hiperbarik
memberikan efek bakteriostatik langsung pada mikroorganisme anaerobik. (ACHM,
2016)
BAB II
TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK

2.1. Definisi
Terapi Oksigen Hiperbarik adalah terapi dimana individu bernafas dengan oksigen
100% secara intermiten ketika berada di dalam ruang hiperbarik dengan tekanan yang
lebih besar dari tekanan pada permukaan air (1 atmosphere absolute [ATA], sama
dengan 101.325 kilopascal [kPa]) (Weaver, 2014).

Terapi hiperbarik oksigen menggunakan oksigen 100% dengan peningkatan


tekanan atmosfer. HBOT merupakan terapi yang biasanya dilakukan pada tahun
1600an. Chamber pertama kali yang dibangun struktur yang disebut domicilium yang
digunakan untuk terapi beberapa penyakit (Latham, 2016).

Terdapat 3 hukum yang berperan dalam terapi oksigen hiperbarik, yaitu (Gill dan
Bell, 2004) :

1. Hukum Boyle: Pada suhu tetap, Tekanan berbanding terbalik dengan volume.
2. Hukum Henry: Jumlah gas terlarut dalam cairan atau jaringan sebanding
dengan tekanan parsial gas tersebut dalam cairan atau jaringan.
3. Hukum Dalton: Tekanan total suatu campuran gas adalah sama dengan
jumlah tekanan parsial dari masing-masing bagian gas.

2.2. Dasar Pengobatan


Pengobatan oksigen hiperbarik secara umum didasarkan pada pemikiran-
pemikiran/ alasan-alasan sebagai berikut (Riyadi, 2003):

1. Pemakaian tekanan akan memperkecil volume gelembung gas dan


penggunaan oksigen hiperbarik juga akan mempercepat resolusdi
gelembung gas
2. Daerah-daerah atau tempat-tempat yang iskemik atau hipoksia akan
menerima oksigen maksimal.

3. Di daerah yang iskemik, oksigen hiperbarik mendorong/merangsang


pembentukn pembulluh darah kapiler baru.

4. Penekanan pertumbuhan kuman-kuman baik gram positif maupun


gram negative dengan pemberian HBO.

5. Oksigen hiperbarik mendorong pembentukan fibroblast dan


meningkatkan efek fagositosi (bakterisidal) dari leukosit.

2.3. Manfaat

2.3.1. Hiperoksigenasi

Bernapas dengan oksigen murni 100% pada tekanan 2-3 atm memberikan 20
kali lebih banyak oksigen ke jaringan daripada dalam kondisi normal (21%). Hal ini
memberikan manfaat bagi jaringan iskemik lewat aliran darah marginal.

2.3.2. Tekanan Langsung

Oksigen pada tekanan rendah akan memperkecil volume gelembung gas yang
mengarah ke reabsorbsi. Hal ini berguna pada arteri yang mengalami emboli gas dan
nitrogen dalam jaringan, yang disebabkan oleh kecelakaan menyelam.

2.3.3. Bakterioststik dan bakterisidal

Hiperoksigenasi dan jaringan akan meningkatkan pembunuhan bakteri


terutama yang bersifat anaerob, dan penting dalam menyembuhkan infeksi yang
resisten. HBOT memfasilitasi system peroksidase oksigen dengan tempat leukosit
membunuh bakteri tersebut.

2.3.4. Vasokontriksi

Terapi HBO dapat menyebabkan penyempitan dari lumen pembuluh darah,


terutama di jaringan yang terluka, sehingga mengurangi oedema dan penting dalam
pengobatan luka bakar, crush injury dan injury tissue.
2.3.5. Angiogenesis

HBOT memicu aliran darah kolateral yang diproduksi oleh peningkatan


fibroblast pada jaringan yang terluka, sehingga menyebabkan peningkatan kolagen.
Oleh karena itu di daerah yang iskemik, oksigen hiperbarik mendorong atau
merangsang pembentukan pembuluh darh kapiler baru sehingga dapat meningkatkan
kecepatan penyembuhan luka.

2.3.6. Stimulasi Superoksida Dismutase (SOD)


Superoksida dismutase merupakan salah satu antioksidan utama tubuh dan
melawan radikal bebas. HBOT merangsang antioksidan yang baik untuk perbaikan
jaringan yang terjadi peradangan akibat produk radikal bebas.

2.3.7. Antibiotik sinergi


HBOT bersinergi dengan antibiotik berikut : fluoroquinolones, aminoglikosida,
dan amfoterisin B. Antibiotik ini menggunakan oksigen untuk melintasi membrane sel.

2.3.8. Penurunan Lactic Acid


HBOT menurunkan akumulasi laktat pada jaringan iskemik, yang sangat
membantu pada fase penyembuhan.

2.3.9. Leucocyte Oxidative Killing


Dalam lingkungan anaerobic, kapasitas leukosit berkurang dengan
memberikan oksigen tambahan, kapasias destruktif leukosit lebih meningkat.

2.3.10. Menurunkan inflamasi


HBOT mengurangi peradangan dengan beberapa mmekanisme sitokin dan
mediator inflamasi lainya, termasuk asam laktat yang dibersihkan dengan HBOT.
HBOT merangsang antioksidan dalam tubuh untuk mengurangi inflamasi.

2.3.11. Meningkatnya Stem Sel

HBOT memicu delapan kali lebih tinggi dari tingkat normal agar stem sel keluar
dari bone marrow dan mengatasi daerah inflamasi.
2.4. Teknik TOHB
Penggunaan oksigen bertekanan tinggi sudah dikenal sejak 1662. Pada tahun
1917, Drager berhasil memanfaatkan terapi oksigen hiperbarik (TOHB) untuk
decompresion sickness, dan selanjutnya secara lambat laun mulai berkembang. Pada
tahun 1960-an Boerema meneliti penggunaan TOHB yang larut secara fisik di dalam
darah, sehingga dapat memberi hidup pada keadaan tanpa hemoglobin yang disebut
life without blood.

Dewasa ini TOHB telah banyak dimanfaatkan, diantaranya untuk penderita luka
bakar, decompresion sickness, osteomielitis, dan ulkus/gangren diabetikum.
Mekanisme kerja TOHB ialah dengan tekanan O2 yang melebihi dari satu atmosfer
akan menyebabkan peningkatan tekanan O2 pada jaringan sehingga gradien difusi
oksigen ke dalam jaringan akan meningkat. Selain itu oksigen dapat larut ke dalam
cairan darah secara fisika sehingga turut membantu membawa oksigen ke daerah
yang mengalami hipoksia. Oksigen yang larut tersebut akan keluar ke ekstra vaskuler
dan ruang intrasel dengan cara difusi dan kemudian digunakan oleh sel,
meningkatkan metabolisme enzimatik dalam sel sehingga aktifitas penyembuhan luka
akan meningkat.

Teknisi hiperbarik mengikuti instruksi-instruksi dari dokter hiperbarik mengenai


tekanan, waktu, dan frekuensi terapi. Kebanyakan pengobatan di pusat hiperbarik
diberi tekanan antara 1,5-2,5 ATA diperlukan 10 menit utuk kompresi dan 5 menit
dekompresi. Jadi maksimum oksigen saturasi (jenuh) dipertahankan selama 30 menit.
Jika ada infeksi waktu terapi dua kali lebih banyak. Untuk kondisi kronis, terapi
dilakukan setiap hari.

Kompresi dan dekompresi berlangsung mulus dan jika pasien sudah melakukan
valsava sesuai anjuran namun masih mengeluh sakit telinga, muntah, kejang,
prosedur dapat dihentikan. Jika ad masalah, pasien tersebut dapat dipindahkan ke
ruangan lain, dilanjutkan bagi pasien yang lainya.
2.5. Indikasi
Indikasi HBOT menurut Undersea Hyperbaric Medical Society/ UHMS (2015)
Meliputi :

1. Emboli gas

2. Keracunan gas CO

3. Gas gangrene

4. Crush injury, compartment syndrome and other acute traumatic


ischemias

5. Decompression sickness

6. Arterial insufficiencies

7. Severe anemia

8. Intracranial abscess

9. Necrotizing soft tissue infection

10. Osteomyelitis

11. Delayed radiation injury (soft tissue and bony necrosis)

12. Compromised graft and flaps

13. Acute thermal burn injury

14. Idiopathic sudden sensorineural hearing loss

Sedangkan indikasi (Japanese Society for Hyperbaric Medicine, Japan 2011)

o Kondisi akut (terapi HBO harus diberikan awal dan dikombinasikan


dengan pengobatan konvensional) :

1. Intoksikasi gas CO

2. Gas gangrene

3. Emboli udara dan Penyakit dekompresi


4. Gangguan vascular perifer
5. Syok
6. Infark Myocardial dan insufisiensi coroner lain

7. Gangguan kesadaran dan oedema otak

8. Gangguan hipoksia berat pada otak

9. Gangguan obstruktif akut pada arteri retina

10. Gangguan sumsum tulang belakang

11. Ileus paralitik

12. Tuli mendadak

o Kondisi kronis :

1. Ulkus yang tidak mengalami penyebuhan/ luka bernasalah


(diabetes/ vena dll)

2. Radiasi yang menyebabkan kerusakan jaringan

3. Cangkok kulit dan penutup (yang mengalami reaksi penolakan)

4. Osteomielitis kronis

2.6 Kontraindikasi
Kontraindikasi absolut : hal yang mutlak tidak diperbolehkan melakukan tindakan
terapi oksigen hiperbarik.

1. Absolut : Pneumothorax yang belum dirawat

2. Relatif :

 Upper respiratory infections



 Emphysema with CO2 retention

 Asymptomatic pulmonary lesion seen on chest X-ray

History of thoracic or ear surgery

 Uncontrolled high fever



 Pregnancy

 Claustrophobia

 Seizure disorders

 Malignant disease

2.7 Komplikasi
o Barotrauma telinga

o Barotrauma paru

o Barotrauma sinus

o Kejang

o Keracunan O2

o Otorrhagia

o Myopia reversible

2.8 Prosedur Pelaksanaan Terapi Oksigen Hiperbarik


Sebelum masuk mesin HBOT, pasien bisa konsultasi pada dokter terkait keluhan
dan untuk mendapatkan penjelasan tentang manfaat HBOT. Pasien akan
melakukan pemeriksaan oleh dokter berupa riwayat pneumothoraks spontan,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan telinga untuk menjamin kondisi pasien dalam
keadaan sehat sebelum mengikuti terapi (Avongsa, 2015).
Prosedur sebelum pasien masuk ke dalam chamber antara lain :
1. Medis
a. Foto Thorax
b. Tidak sedang flu dan demam
c. Pemeriksaan laboraturium bila ada penyakit tertentu (contoh :
Diabetes Mellitus)
2. Sarapan pagi

3. Berpakaian berbahan katun


4. Tidak membawa barang elektronika, barang yang mengandung alcohol,
minyak angina, dan minyak wangi.
5. Tidak menggunakan jam tangan, perhiasan, gigi palsu dan hearing aids
(Avongsa, 2015)
Sedangkan prosedur pasien saat di dalam chamber adalah pasien melakukan
ekualisasi karena telinga terasa penuh, pasien diharapkan melakuakn intervnsi
seperti valsava dengan cara hidung dan mulut ditutup, kemudian mencoba
membuang udara (Avongsa, 2015).

2.9 Efek Samping Terapi Hiperbarik Oksigen


Oksigen hiperbarik relatif aman walaupun ada beberapa resiko yang disebabkan
oleh peningkatan tekanan dan hiperoksia.Efek yang paling sering adalah myopia
yang progresif dan reversible yang disebabkan karena deformasi fisik
lensa.Toksisitas pada CNS berupa kejang mungkin terjadi dan telah dibuktikan oleh
Paul Bert pada tahun 1878. Barotrauma sinus dan middle eardapat dicegah
dengan ekualisasi tekanan atau menggunakan tympanostomy tubes dan otitis
media dapat dicegah dengan pseudoephedrine. Barotrauma telinga dalam jarang
terjadi tetapi ruptur pada timpani dapat menyebabkan kehilangan pendengaran
yang permanen, tinnitus dan vertigo.Barotrauma paru dan penumothorax jarang
terjadi, terutama disebabkan sebelumnya ada riwayat penyakit paru. Selain itu efek
samping psikologis seperti claustrophobia sering terjadi (Bell et al, 2004).

2.10 Proses Penyembuhan Luka


Penyembuhan luka adalah suatu proses yang kompleks dengan melibatkan
banyak sel. Proses yang dimaksudkan di sini karena penyembuhan luka melalui
beberapa fase. Fase-fase penyembuhan luka menurut Suriadi (2004) meliputi fase
koagulasi, inflamasi, proliferasi, dan fase remodeling.

2.10.1 Fase Koagulasi


Pada fase koagulasi merupakan awal proses penyembuhan luka dengan
melibatkan platelet. Awal pengeluaran akan menyebabkan vasokonstriksi dan
terjadi koagulasi. Proses ini sebagai hemostasis dan mencegah perdarahan yang
lebih luas. Pada tahap ini terjadi adhesi, agregasi dan degranulasi pada sirkulasi
platelet di dalam pembentukan gumpalan fibrin. Kemudian suatu plethora mediator
dan cytokine dilepaskan seperti transforming growth factor beta (TGF-β), platelet
derived growth factor (PDGF), vascular endothelial growth factor (VEGF), platelet-
activating factor (PAF), dan insulinlike growth factor-1 (IGF-1), yang akan
mempengaruhi edema jaringan dan awal inflamasi. (Rubin dan Strayer, 2008)

2.10.2 Fase Inflamasi


Proses penyembuhan terjadi sejak awal pada saat terjadi luka, fase inflamasi
terjadi pada hari 0–5. Luka trauma atau luka pembedahan mengakibatkan
kerusakan pada struktur jaringan dan mengakibatkan perdarahan. Pada tahap awal
darah akan mengisi jaringan yang cedera dan terpaparnya darah terhadap kolagen
berakibat terjadinya degranulasi trombosit dan pengaktifan faktor Hageman. Hal ini
akan memicu sistem biologis lain seperti pengaktifan komplemen kinin, kaskade
pembekuan dan pembentukan plasmin. Keadaan ini memperkuat sinyal dari
tempat luka sehingga tidak hanyak mengaktifkan pembentukan bekuan yang
menyatukan tepi luka akan tetapi juga akumulasi dari beberapa mitogen dan
menarik zat kimia ke daerah luka. Pembentukan kinin dan prostaglandin
menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah di
daerah luka. Hal ini menyebabkan edema dan kemudian menimbulkan
pembengkakan dan nyeri pada awal terjadinya luka. Leukosit PMN adalah sel
pertama yang menuju ketempat luka. Jumlahnya meningkat cepat dan mencapai
puncaknya pada 24–48 jam. Fungsi utamanya adalah melakukan fagositosis
bakteri yang masuk. Pada penyembuhan luka normal kehadiran sel– sel ini tidak
begitu penting. Adanya sel ini menunjukkan bahwa luka terkontaminasi bakteri. Bila
tidak terjadi infeksi PMN berumur pendek dan jumlahnya menurun cepat setelah
hari ketiga. (Rubin dan Strayer, 2008)
Makrofag merupakan komponen imun seluler yang muncul pada tahap
selanjutnya. Makrofag muncul pertama 48–96 jam setelah terjadinya luka dan
mencapai puncak pada hari ke 3. Dibandingkan dengan leukosit PMN, makrofag
berumur lebih panjang dan tetap ada di dalam luka sampai proses penyembuhan
luka berjalan sempurna. Setelah makrofag akan muncul limfosit T penting
keberadaannya pada penyembuhan luka normal. Sama halnya dengan neutrofil,
makrofag melakukan fagositosis dan mencerna organisme–organisme patologis
dan jaringan sisa. Di samping itu makrofag juga melepaskan faktor pertumbuhan
dan sitokin yang mengawali dan mempercepat formasi jaringan granulasi. (Rubin
dan Strayer, 2008)
Inflamasi merupakan reaksi kompleks protektif terhadap jejas untuk membuang
sel dan jaringan nekrotik yang diakibatkan kerusakan sebelumnya. Reaksi ini terdiri
atas respon vaskuler, migrasi dan aktivasi leukosit dan reaksi sistemik.
Ada 2 jenis pola dasar inflamasi:
 
Inflamasi Akut
o Respon cepat dan segera terhadap cedera atau mikroba dan substansi
asing lainnya yang didesain untuk mengirim leukosit dan protein plasma
ke daerah cedera. Sesaat setelah sampai pada daerah cedera, leukosit
memulagi proses fagositosis dan apoptosis. (Kumar et al., 2007)
o Inflamasi akut terdiri atas 2 komponen mayor:
1. Perubahan vaskular: vasodilatasi dan perubahan struktural yang
memungkinkan protein plasma meninggalkan sirkulasi (peningkatan
permeabilitas vaskular). (Kumar et al., 2007)

Gambar 2.1 Perubahan Vaskular (Kumar et al., 2007)

2. Cellular events: emigrasi leukosit dari sirkulasi dan terakumulasi pada


daerah cedera (rekruitmen dan aktivasi selular). Jenis leukosit yang
terlibat pada proses inflamasi akut adalah neutrofil (leukosit
polimorfonuklear). (Kumar et al., 2007)
Gambar 2.2 Emigrasi neutrofil (Kumar et al., 2007)
o Pada lapangan pandang mikroskopik secara menonjol akan terlihat
banyak sel neutrofil, kongesti pembuluh darah pada tahap inflamasi
akut
o Sedangkan secara makroskopik akan terlihat tanda – tanda seperti
rubor, tumor, calor, dolor, functio laesa (semua tanda tersebut hanya
terlokalisasi pada daerah injuri). (Kumar et al., 2007)

 
Inflamasi Kronis
o Radang kronis dapat diartikan sebagai inflamasi yang berdurasi panjang
(berminggu – minggu hingga bertahun – tahun) dan terjadi proses secara
simultan dari inflamasi aktif, cedera jaringan, dan penyembuhan.
Perbedaannya dengan inflamasi akut adalah inflamasi akut ditandai
dengan perubahan vaskuler, edema, dan infiltrasi neutrofil dalam jumlah
besar, sedangkan inflamasi kronis ditandai dengan:
1. Infiltrasi sel mononuklear (makrofag, limfosit dan sel plasma)
2. Destruksi jaringan
3. Perbaikan (angiogenesis dan fibrosis)
o Makrofag merupakan sel yang berperan dominan dalam radang kronik
yang berasal dari Mononuclear phagocyte system. Makrofag merupakan
sel jaringan yang berasal dari monosit dalam sirkulasi yang telah
beremigrasi keluar dari aliran darah.
o Sel lain yang berperan dalam inflamasi kronis:
 Limfosit
 Sel plasma
 Eosinofil

 Sel mast
o Pada lapangan pandang mikroskopik secara menonjol akan terlihat
banyak sel radangmononuklear, dan biasanya disertai nekrosis,
fibrosis.10
o Gambaran makroskopik umum yang sering ditemukan pada radang
kronik adalah:
o Ulkus kronik, yaitu ulkus yang dasarnya dibatasi oleh jaringan granulasi
dan fibrosa, contohnya pada ulkus peptik kronik lambung dengan luka
pada mukosa.
o Rongga abses kronik, yaitu rongga yang terbentuk oleh pus pada
radang supuratif. Contohnya osteomyelitis.
o Penebalan dinding rongga viskus, contohnya penebalan dinding pada
kolesistitis kronik. Penebalan biasanya bersamaan dengan infiltrat sel
radang kronik.
o Radang granulomatosa, yaitu kumpulan histiosit epiteloid sebagai akibat
tidak dapat dihancurkannya substansi tertentu oleh makrofag.
o Fibrosis, yaitu proliferasi jaringan fibroblas setelah sel-sel radang
kronik menghilang/mereda.

2.10.3 Fase Proliferasi


Fase ini terjadi pada hari ke 3–14. Bila tidak ada kontaminasi atau infeksi yang
bermakna, fase inflamasi akan berlangsung pendek. Jaringan granulasi merupakan
kombinasi elemen seluler termasuk fibroblast dan sel inflamasi, bersamaan dengan
timbulnya kapiler baru tertanam dalam jaringan longgar ekstra
seluler matriks kolagen, fibronektin dan asam hialuronik. Fibroblas muncul pertama
kali secara bermakna pada hari ke 3 dan mencapai puncaknya pada hari ke 7.
Meningkatnya jumlah fibroblast memproduksi kolagen dalam jumlah yang besar,
kolagen ini berupa glikoprotein berantai tripel, unsur utama matriks luka
ekstraseluler yang sangat berguna untuk membentuk kekuatan pada jaringan parut.
Kolagen pertama kali terdeteksi pada hari ke 3 setelah luka, dan akan terus
meningkat sampai minggu ke 3. Pada awalnya penumpukan kolagen terjadi
berlebihan kemudian fibril kolagen mengalami reorganisasi sehingga terbentuk
jaringan regular sepanjang luka. Fibroblast juga menyebabkan matriks fibronektin,
asam hialuronik dan glikos aminoglikan. (Rubin dan Strayer, 2008)
Proses revaskularisasi luka terjadi secara bersamaan dengan fibroplasia.
Tunas–tunas kapiler tumbuh dari pembuluh darah yang berdekatan dengan luka,
tunas–tunas kapiler ini bercabang di ujung kemudian bersatu membentuk lengkung
kapiler dimana darah kemudian mengalir. Tunas–tunas baru akan muncul dari
lengkung kapiler membentuk pleksus kapiler. Faktor–faktor terlarut yang
menyebabkan angiogenesis belum diketahui sepenuhnya. Diperkirakan proses ini
terjadi dari kombinasi proses proliferasi dan migrasi. Mediator terbentuknya sel
pertumbuhan ini dan kemotaksis termasuk sitokin yang dihasilkan trombosit,
makrofag dan limfosit pada luka. Tekanan oksigen yang rendah, terbentuknya
sitokin dan growth factorseperti platelet–derived growth factor (PDGF), endothelin,
vascular endhotelial growth factor (VEGF), FGF. Beberapa sitokin yang dilepaskan
oleh makrofag serta terlibat dalam proses penyembuhan yaitu : TNF α, IL 1, IL 6,
IL 8 dan TGF β. Peran TGF β dalam proses penyembuhan luka adalah
meningkatkan matriks ekstra seluler (ECM) dan meningkatkan kolagenasi. (Rubin
dan Strayer, 2008)
Proses yang telah diuraikan sebelumnya merupakan proses pada fase proliferasi
didalam luka, sementara itu pada permukaan luka juga akan terjadi restorasi
integritasi epitel. Reepitelisasi beberapa jam setelah luka. Pada tepi luka epidermis
segera mendekati tepi luka dan menebal. Sel marginal basalis mulai mengalami
migrasi sepanjang serat–serat fibrin dan berhenti ketika tepi luka sudah kontak.
Pada tingkat seluler seluruh luka telah mengalami epitelisasi pada kurang dari 48
jam. Stimulator reepitelisasi sampai saat ini belum diketahui secara lengkap.
Faktor–faktor yang diduga berperan adalah EGF, TGFβ, bFGF, PDGF dan IGF.
Proses epitelisasi terus berulang ketika permukaan epitel sudah
menebal. Fibroblas akan muncul pada bagian dalam luka, selanjutnya diproduksi
kolagen. (Rubin dan Strayer, 2008)

2.10.4 Fase Maturasi


Fase ini berlangsung dari hari ke-7 sampai dengan 1 tahun. Setelah matriks
ekstra sel terbentuk, dimulailah reorganisasi. Matriks ekstra sel pada mulanya kaya
akan fibronektin. Hal ini tidak hanya menghasilkan migrasi sel substratum dan
pertumbuhan sel ke dalam tetapi juga menyebabkan penumpukan kolagen oleh
fibroblas. Terbentuknya asam hialuronidase dan proteoglikan dengan berat molekul
besar berperan pada pembentukan matriks ekstraseluler dengan konsistensi
seperti gel dan membantu infiltrasi seluler. Kolagen selanjutnya berkembang cepat
menjadi faktor utama yang membentuk matriks. Pada awalnya serabut kolagen
terdistribusi secara acak membentuk persilangan dan beragregasi membentuk
serabut fibril secara perlahan menyebabkan penyembuhan jaringan dan
meningkatkan kekakuan serta kekuatan ketegangan luka. Setelah 5 hari periode
jeda, pada saat ini bersesuaian dengan pembentukan jaringan granulasi awal
dengan matriks sebagian besar tersusun dari fibronektin dan asam hialuronidase,
selanjutnya akan terjadi peningkatan cepat dari kekuatan tahanan luka berjalan
lambat. Setelah 3 minggu kekuatan penyembuhan luka mencapai 20% dari
kekuatan akhir. (Rubin dan Strayer, 2008)
Proses pengembalian ketegangan berjalan perlahan karena deposisi jaringan
kolagen terus-menerus, remodeling serabut kolagen membentuk serabut-serabut
kolagen lebih besar dari cross linking inter molekuler. Remodeling kolagen selama
pembentukan jaringan parut tergantung pada proses sintesis dan katabolisme
kolagen yang berkesinambungan. Degradasi kolagen pada luka dikendalikan oleh
enzim kolagenase. Kecepatan sintesis kolagen yang tinggi mengembalikan luka ke
jaringan normal dalam waktu 6 bulan sampai 1 tahun. (Rubin dan Strayer, 2008)
2.10.5 Mekanisme Penyembuhan Luka

Gambar 2.4 Patomekanisme Penyembuhan Luka (Sussman et al, 2007)

Setelah terjadi luka maka akan terjadi proses inflamasi yang merupakan awal
proses penyembuhan luka. Dalam proses inflamasi terjadi perusakan, pelarutan
dan penghancuran sel atau agen penyebab kerusakan sel. Proses inflamasi
melibatkan PDGF, TGF-β, neutrophil, makrofag, dan fibroblast. Secara keseluruhan
proses penyembuhan luka selalu melibatkan kolagen, pada saat fase inflamasi
kolagen berperan membantu proses hemostasis, menyebabkan pembersihan alami
infiltrate inflamasi. Sintesis kolagen diperbanyak oleh faktor pertumbuhan PDGF,
TGF-β, sintesis yang terus menerus ini lama kelamaan akan memodulasi sintesis
dan aktivasi metaloproteinase. Metalloproteinase merupakan suatu enzim yang
berfungsi untuk degradasi komponen matriks ekstraseluler. Hasil dari sintesis dan
degradasi ECM merupakan remodeling kerangka jaringan
ikat, dan struktur ini merupakan gambaran pokok penyembuhan luka pada fase
inflamasi. Setelah fase inflamasi proses penyembuhan luka dilanjutkan oleh fase
proliferasi dimana terjadi reepitelisasi yang di pici oleh EGF dan TGFa.
Angiogenesis yang dipicu oleh VEGF, bFGF, dan TGF-β juga terjadi saat fase
proliferasi. Pada saat fase remodeling serabut – serabut kolagen menutup
bersama, menyebabkan kolagen cross-linking dan akhirnya mengurangi ketebalan
scar. Kolagen intermolekul dan intermolekul cross-link menghasilkan meningkatan
kekuatan luka. (Triyono, 2005).
BAB III.

ULKUS DIABETIKUM

3.1 Definisi
Ulkus dibetikum atau sering disebut sebagai kaki diabetik, adalah luka ulkus
yang terjadi pada penderita diabetes. lokasi tersering adalah di kaki. Ulkus diabetikum
merupakan kelainan pada tungkai bawah sebagai komplikasi kronik diabetes mellitus
yang terjadi akibat banyak faktor, seperti perubahan mekanis bentuk tulang kaki,
neuropathy perifer, dan penyakit arteri perifer atherosklerotik yang terjadi sering pada
populasi penderita diabetes. (Sudoyo et al, 2006; Rowe, 2016)

3.2 Faktor Terjadinya Ulkus Diabetikum


Ada 3 faktor mengapa penderita diabetes lebih tinggi risikonya mengalami
masalah kaki. (Shaw dan Cummings, 2005)
1. Angiopathy
Sirkulasi darah dan tungkai yang menurun dan kerusakan endotel pembuluh
darah. Manifestasi angiopati pada pembuluh darah penderita DM antara lain berupa
penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah perifer (yang utama). Sering
terjadi pada tungkai bawah (terutama kaki). Akibatnya, perfusi jaringan bagian distal
dari tungkai menjadi kurang baik dan timbul ulkus yang kemudian dapat
berkembang menjadi nekrosi/gangren yang sangat sulit diatasi dan tidak jarang
memerlukan tindakan amputasi.
Gangguan mikrosirkulasi akan menyebabkan berkurangnya aliran darah dan
hantaran oksigen pada serabut saraf yang kemudian menyebabkan degenarasi dari
serabut saraf. Keadaan ini akan mengakibatkan neuropati. Di samping itu, dari
kasus ulkus/gangren diabetes, kaki DM 50% akan mengalami infeksi akibat
munculnya lingkungan gula darah yang subur untuk berkembangnya bakteri
patogen. Karena kekurangan suplai oksigen, bakteri-bakteri yang akan tumbuh
subur terutama bakteri anaerob. Hal ini karena plasma darah penderita diabetes
yang tidak terkontrol baik mempunyai kekentalan (viskositas) yang tinggi. Sehingga
aliran darah menjadi melambat. Akibatnya, nutrisi dan oksigen jaringan tidak cukup.
Ini menyebabkan luka sukar sembuh dan kuman anaerob berkembang biak.
2. Neuropathy
Berkurangnya sensasi rasa nyeri setempat (neuropati) membuat pasien tidak
menyadari bahkan sering mengabaikan luka yang terjadi karena tidak
dirasakannya. Luka timbul spontan sering disebabkan karena trauma misalnya
kemasukan pasir, tertusuk duri, lecet akibat pemakaian sepatu/sandal yang sempit
dan bahan yang keras. Mulanya hanya kecil, kemudian meluas dalam waktu yang
tidak begitu lama. Luka akan menjadi borok dan menimbulkan bau yang disebut gas
gangren. Jika tidak dilakukan perawatan akan sampai ke tulang yang
mengakibatkan infeksi tulang (osteomylitis).
3. Immunopathy
Berkurangnya daya tahan tubuh terhadap infeksi. Secara umum penderita
diabetes lebih rentan terhadap infeksi. Hal ini dikarenakan kemampuan sel darah
putih ‘memakan’ dan membunuh kuman berkurang pada kondisi kadar gula darah
(KGD) diatas 200 mg%. Kemampuan ini pulih kembali bila KGD menjadi normal dan
terkontrol baik. Infeksi ini harus dianggap serius karena penyebaran kuman akan
menambah persoalan baru pada luka yang terjadi. Kuman pada ulkus akan
berkembang cepat ke seluruh tubuh melalui aliran darah yang bisa berakibat fatal,
ini yang disebut sepsis (kondisi gawat darurat).

3.3 Patofisiologi dan Patogenesis Ulkus Diabetikum


Kondisi kaki diabetik berasal dari suatu kombinasi dari beberapa penyebab
seperti sirkulasi darah yang buruk dan neuropati. Berbagai kelainan seperti
neuropati, angiopati yang merupakan faktor endogen dan trauma serta infeksi yang
merupakan faktor eksogen yang berperan terhadap terjadinya kaki diabetik. (Shaw
dan Cummings, 2005; Sudoyo et al, 2006)
Angiopati diabetes disebabkan oleh beberapa faktor yaitu genetik, metabolik dan
faktor risiko yang lain. Kadar glukosa yang tinggi (hiperglikemia) ternyata
mempunyai dampak negatif yang luas bukan hanya terhadap metabolisme
karbohidrat, tetapi juga terhadap metabolisme protein dan lemak yang dapat
menimbulkan pengapuran dan penyempitan pembuluh darah (aterosklerosis),
akibatnya terjadi gangguan peredaran pembuluh darah besar dan kecil, yang
mengakibatkan sirkulasi darah yang kurang baik, suplai nutrisi dan oksigenasi
kurang dan mudah terjadi penyumbatan aliran darah terutama daerah kaki. (Shaw
dan Cummings, 2005; Sudoyo et al, 2006)
Neuropati diabetik dapat menyebabkan insensitivitas atau hilangnya
kemampuan untuk merasakan nyeri, panas, dan dingin. Diabetes yang menderita
neuropati dapat berkembang menjadi luka, parut, lepuh, atau luka karena tekanan
yang tidak disadari akibat adanya insensitivitas. Apabila cedera kecil ini tidak
ditangani, maka akibatnya dapat terjadi komplikasi dan menyebabkan ulserasi dan
bahkan amputasi. neuropati juga dapat menyebabkan deformitas seperti Bunion,
Hammer Toes (ibu jari martil), dan Charcot Foot. Patofisiologi neuropati diabetik
perifer merupakan multifaktorial dan hasil dari penyakit pembuluh darah. (Shaw dan
Cummings, 2005; Sudoyo et al, 2006; Rowe, 2016)
Sirkulasi yang buruk juga dapat menyebabkan pembengkakan dan kekeringan
pada kaki. Pencegahan komplikasi pada kaki adalah lebih kritis pada pasien
diabetik karena sirkulasi yang buruk merusak proses penyembuhan dan dapat
menyebabkan ulkus, infeksi, dan kondisi serius pada kaki. (Shaw dan Cummings,
2005; Sudoyo et al, 2006)
Dari faktor-faktor pencetus diatas faktor utama yang paling berperan dalam
timbulnya kaki diabetik adalah angiopati, neuropati dan infeksi. Infeksi sendiri
sangat jarang merupakan faktor tunggal untuk terjadinya kaki diabetik. Infeksi lebih
sering merupakan komplikasi yang menyertai kaki diabetik akibat iskemia atau
neuropati. Secara praktis kaki diabetik dikategorikan menjadi 2 golongan:
a. Kaki diabetik akibat angiopati / iskemia
b. Kaki diabetik akibat neuropati

A. Kaki Diabetik akibat angiopati / iskemia


Penderita hiperglikemia yang lama akan menyebabkan perubahan patologi pada
pembuluh darah. Ini dapat menyebabkan penebalan tunika intima “hiperplasia
membran basalis arteria”, oklusi (penyumbatan) arteria, dan hiperkeragulabilitas
atau abnormalitas tromborsit, sehingga menghantarkan pelekatan (adhesi) dan
pembekuan (agregasi).
Selain itu, hiperglikemia juga menyebabkan lekosit DM tidak normal sehingga
fungsi khemotoksis di lokasi radang terganggu. Demikian pula fungsi fagositosis
dan bakterisid intrasel menurun sehingga bila ada infeksi mikroorganisme (bakteri),
sukar untuk dimusnahkan oleh sistem plagositosis-bakterisid intraseluler. Hal
tersebut akan diperoleh lagi oleh tidak saja kekakuan arteri, namun juga diperberat
oleh rheologi darah yang tidak normal. Menurut kepustakaan, adanya
peningakatan kadar fripronogen dan bertambahnya reaktivitas trombosit, akan
menyebabkan tingginya agregasi sel darah merah sehingga sirkulasi darah menjadi
lambat, dan memudahkan terbentuknya trombosit pada dinding arteria yang sudah
kaku hingga akhirnya terjadi gangguan sirkulasi.
Manifestasi angiopati pada pembuluh darah penderita DM antara lain berupa
penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah perifer (yang utama). Sering
terjadi pada tungkai bawah (terutama kaki). Akibatnya, perfusi jaringan bagian distal
dari tungkai menjadi kurang baik dan timbul ulkus yang kemudian dapat
berkembang menjadi nekrosis/gangren yang sangat sulit diatasi dan tidak jarang
memerlukan/tindakan amputasi.
Tanda-tanda dan gejala-gejala akibat penurunan aliran darah ke tungkai
meliputi klaudikasi, nyeri yang terjadi pada telapak atau kaki depan pada saat
istirahat atau di malam hari, tidak ada denyut popliteal atau denyut tibial superior,
kulit menipis atau berkilat, atrofi jaringan lemak subkutan ,tidak ada rambut pada
tungkai dan kaki bawah, penebalan kuku, kemerahan pada area yang terkena
ketika tungkai diam, atau berjuntai, dan pucat ketika kaki diangkat.

B. Kaki Diabetik akibat neuropati


Pasien diabetes mellitus sering mengalami neuropati perifer, terutama pada
pasien dengan gula darah yang tidak terkontrol.
Di samping itu, dari kasus ulkus/gangren diabetes, kaki DM 50% akan
mengalami infeksi akibat munculnya lingkungan gula darah yang subur untuk
berkembanguya bakteri patogen. Karena kekurangan suplai oksigen, bakteri-
bakteri yang akan tumbuh subur terutama bakteri anaerob.
Neuropati diabetik dapat menyebabkan insensitivitas atau hilangnya
kemampuan untuk merasakan nyeri, panas, dan dingin. Diabetes yang menderita
neuropati dapat berkembang menjadi luka, parut, lepuh, atau luka karena tekanan
yang tidak disadari akibat adanya insensitivitas. Apabila cedera kecil ini tidak
ditangani, maka akibatnya dapat terjadi komplikasi dan menyebabkan ulserasi dan
bahkan amputasi.
Secara klinis dijumpai parestesi, hiperestesi, nyeri radikuler, hilangnya reflek
tendon, hilangnya sensibilitas, anhidrosis, pembentukan kalus, ulkus tropik,
perubahan bentuk kaki karena atrofi otot ataupun perubahan tulang dan sendi
seperti Bunion, Hammer Toes (ibujari martil), dan Charcot Foot. Secara
radiologis akan nampak adanya demineralisasi, osteolisis atau sendi Charcot.

Gambar 2.5 Predileksi paling sering terjadinya ulkus pada kaki diabetik adalah
bagian dorsal ibu jari dan bagian proksimal & dorsal plantar metatarsal. (Armstrong
dan Lawrence, 1998)

Faktor-faktor yang berperan terhadap timbulnya neuropati ditentukan oleh :


o Respon mekanisme proteksi sensoris terhadap trauma
o Jenis, besar dan lamanya trauma
o Peranan jaringan lunak kaki
Neuropati perifer pada kaki akan menyebabkan terjadinya kerusakan saraf baik
saraf sensoris maupun otonom. Kerusakan sensoris akan menyebabkan
penurunan sensoris nyeri, panas dan raba sehingga penderita mudah terkena
trauma akibat keadaan kaki yang tidak sensitif ini.
Gangguan saraf otonom disini terutama diakibatkan oleh kerusakan serabut
saraf simpatis. Gangguan saraf otonom ini akan mengakibatkan peningkatan
aliran darah, produksi keringat berkurang atau tidak ada, hilangnya tonus vaskuler.
Hilangnya tonus vaskuler disertai dengan adanya peningkatan aliran darah
akan menyebabkan distensi vena-vena kaki dan peningkatan tekanan parsial
oksigen di vena. Dengan demikian peran saraf otonom terhadap timbulnya kaki
diabetik neuropati dapat disimpulkan sebagai berikut : neuropati otonom akan
menyebabkan produksi keringat berkurang, sehingga menyebabkan kulit
penderita akan mengalami dehidrasi serta menjadi kering dan pecah-pecah yang
memudahkan infeksi, dan selanjutnya timbulnya selullitis ulkus ataupun gangren.
Selain itu neuropati otonom akan mengakibatkan penurunan nutrisi jaringan
sehingga terjadi perubahn komposisi, fungsi dan keelastisitasannya sehingga
daya tahan jaringan lunak kaki akan menurun yang memudahkan terjadinya ulkus.
Distribusi tempat terjadinya kaki diabetik secara anatomik:
1. 50% ulkus pada ibu jari
2. 30% pada ujung plantar metatarsal
3. 10 – 15% pada dorsum kaki
4. 5 – 10% pada pergelangan kaki
5. Lebih dari 10% adalah ulkus multipel

3.4 Klasifikasi Ulkus Diabetikum


Menurut Wagner Ulkus Diabetikum dibagi menjadi (Baranoski dan Ayello,
2003):
Tingkat 0 Resiko tinggi untuk mengalami luka pada kaki
Tidak ada luka
Tingkat 1 Luka ringan tanpa adanya infeksi, biasanya luka yang terjadi
akibat kerusakan saraf
Kadang timbul kalus
Tingkat 2 Luka yang lebih dalam, sering kali dikaitkan dengan
peradangan jaringan di sekitarnya. Tidak ada infeksi pada
tulang dan pembentukan abses.
Tingkat 3 Luka yang lebih dalam ke tulang, dan terbentuk abses
Tingkat 4 Gangren yang terlokalisasi, seperti pada jari kaki, bagian
depan kaki atau tumit
Tingkat 5 Gangren pada seluruh kaki

Klasifikasi Texas (Lancashires, 2008)


Grade 0: tanpa tukak, kulit intak/utuh
Grade 1: tukak sampai epidermis dan dermis, tapi tidak sampai tendon,capsul atau
tulang
1A: tanpa infeksi atau iskemia
1B: dengan infeksi tapi tidak iskemia
1C: dengan iskemia
1D: dengan iskemia dan infeksi
Grade 2: tukak sampai kapsul sendi atau tendon
2A: tanpa infeksi atau iskemia
2B: dengan infeksi tapi tidak iskemia
2C: dengan iskemia
2D: dengan iskemia dan infeksi
Grade 3: tukak sampai tulang atau sendi
3A: tanpa infeksi atau iskemia
3B: dengan infeksi tapi tidak iskemia
3C: dengan iskemia
3D: dengan iskemia dan infeksi

3.5 Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala ulkus diabetika yaitu: (Misnadiarly, 2006)
a. Sering kesemutan
b. Nyeri kaki saat istirahat
c. Sensasi rasa berkurang
d. Kerusakan jaringan (nekrosis)
e. Penurunan denyut nadi arteri dorsalis pedis, tibialis, dan poplitea
f. Kaki menjadi atrofi, dingin, dan kuku menebal.
g. Kulit kering

3.6 Pencegahan dan Pengelolaan


Pencegahan dan pengelolaan ulkus diabetic untuk mencegah komplikasi lebih lanjut
adalah: (Waspadji, 2006)
a. Memperbaiki kelainan vaskuler
b. Memperbaiki sirkulasi
c. Pengelolaan pada masalah yang timbul (infeksi, dll)
d. Edukasi perawatan kaki
e. Pemberian obat-obat yang tepat untuk infeksi dan obat vaskularisasi, obat
untuk penurunan gula darah maupun menghilangkan keluhan-gelaja dan
penyulit DM
f. Olah raga teratur dan menjaga berat badan ideal
g. Menghentikan kebiasaan merokok
h. Merawat kaki secara teratur setiap hari, dengan cara:
 Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih

 Membersihkan dan mencuci kaki setiap hari dengan air hangat dan
sabun lembut, kemudian mengeringkan dengan sempurna dan hati-hati
terutama di sela-sela jari kaki.

 Memakai krim kaki yang baik pada kulit yang kering atau tumit yang
retak-retak dan jangan menggosok terlalu keras sela jari kaki (contoh:
krim sorbolene)

 Tidak memakai bedak karena menyebabkan kulit semakin kering dan
retak-retak

 Menggunting kuku hanya boleh digunakan untuk memotong kuku kaki
secara lurus dan mengikir agar licin. Memotong kuku lebih mudah
dilakukan setelah mandi saat kuku lembut

 Memeriksa kaki dan celah kaki setiap hari

 Menghindari menggunaan air panas dan bantal panas
BAB IV

STATUS PASIEN

4.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. W

Umur : 60 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Alamat : Pakis Gunung Surabaya


4.2 Subjektif
- Keluhan utama :
Kaki sebelah kiri cekot-cekot
- Keluhan tambahan :
Luka pada telapak kaki kiri setelah luka pada jempol dan telunjuk kaki kiri.

- Riwayat penyakit sekarang:


Pasien datang ke poli Lakesla RSAL dr Ramelan Surabaya pada tanggal 9
Februari 2019 dengan keluhan luka pada telapak kaki kiri yang tidak
kunjung sembuh setelah luka di jari telunjuk dan jempol kaki. Menurut
pengakuan jari telunjuk kaki pasien diamputasi pada bulan September,
sedangkan sebulan kemudian amputasi lagi di jari jempol. Pasien mengaku
luka sudah sekitar 4 bulan yang lalu. Luka diawali akibat garukan-garukan
karena gatal, kemudian lecet, dan ketika dibawa ke dokter, dokter
menyarankan untuk amputasi. Tidak lama setelah itu karena lukanya tak
kunjung membaik dokter pun menyarankan amputasi jari jempol kaki kiri.
Setelah itu, pasien merasa kakinya masih cekot-cekot, ketika kembali
berobat ke dokter, dokter melakukan ballooning untuk mengetahui apakah
pembuluh darahnya masih baik atau sudah rusak semua. Dari hasil
ballooning, dokter menyarankan untuk amputasi setinggi lutut. Namun
ketika dilakukan pengecheckan lab sebelum dilakukan operasi, ternyata
ginjalnya mengalami kerusakan, ada kenaikan BUN dan kreatinin, sehingga
terpaksa amputasi tidak boleh dilakukan. Pasien diberi info untuk
melakukan terapi lain yaitu menjalani HBOT di Lakesla RSAL.
- Riwayat penyakit dahulu :
 DM lebih dari 10 tahun 
 Stroke 3 tahun yang lalu
 HT
 Batuk pilek (-)
  Riwayat operasi dada/ telinga (-)/(-)
  Asma (-)
 Riwayat operasi amputasi 

 
- Riwayat penyakit keluarga :
 Diabetes Melitus

Riwayat Pengobatan:

o Amlodipin

o Cefixime

o Kalitake

o Clopidogrel

o Ondansetron

4.3 Objektif

1. Pemeriksaan umum

Keadaan umum : tampak baik dan kooperatif

Kesadaran/GCS : compos mentis/ 4-5-6

Gizi : Baik

Vital sign : Tensi : 120/60mmhg

Nadi : 94x/menit

RR : 19x/ menit

Suhu : 36,2O C

SpO2 : 99%

2. Status Generalis

Kepala : A/I/C/D = -/-/-/-

Leher : Pembesaran thyroid (-)

Pembearan KGB (-)

Deviasi Trakea (-)

Thorax : Pulmo : I = Bentuk simetris


Pergerakan dada simetris
P = Pergerakan simetris

Fremitus raba simetris

P = Sonor / Sonor
A = Rhonki / wheezing : -/-

Cor : I : normochest
P : Ictus cordis tidak kuat angkat
P : batas jantung kanan atas ICS II Parasternal line dextra, batas bawah
ICS IV Parasternal Line Dextra, Batas Jantung kiri atas ICS II
Parasternal Line Sinistra, Batas jantung kiri bawah ICS IV Mid Axillar
Line Sinistra
A : S1 S2 reguler, murmur -/-, gallop -/-

A = S1S2 tunggal, murmur (-)


Abdomen : I = Tampak normal
A = Bising usus normal
P = H/L/R= -/-/-, Nyeri tekan (-)
P = timpani (+)
Ekstremitas : akral hangat (+), edema (-)

3. Status lokasi : kaki kanan


Look : jari –jari tidak ada luka
Feel : tidak terasa nyeri.
Movement : kaki masih bisa digerakkan

Status lokasi : kaki kiri


Look : 2 jari kaki telah diamputasi, telapak kaki hancur
Feel : terasa nyeri pada telapak kaki
Movement : kaki masih bisa digerakkan

4.4 Assesment : ulkus diabetikum.

4.5 Planning
1. Planning terapi : terapi Hiperbarik

2. Planning monitoring : evaluasi terhadap keluhan pasien, TTV

3. Planning edukasi : diet sehat, olahraga, terapi hiperbarik rutin dan kontrol
rutin
BAB V

HUBUNGAN ULKUS DIABETIKUM DAN TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK

HBOT

Dikendalikan oleh Gradien Konsentrasi O2


ROS
perifer + Sentral Luka
Katalase,
SOD
Jika tidak Siklus Krebs
dikendalikan NADH

Permeabilitas Aktivasi sel VGEF


Mitokondria T di thymus

Sitokrom C + Sel Limfosit Fibroblast


Apaf 1 T Regulator

Sintesis Kolagen
Aktivasi Sekresi Sitokin
Caspase 9 Anti Inflamasi

Neovaskularisasi
Aktivasi Jaringan dan
Caspase 3 Inflamasi Vasokontriksi PD

Apoptosis Sel
Wound Healing
Terapi oksigen hiperbarik menunjukkan efek memperbaiki hipoksia jaringan,
meningkatkan perfusi, mengurangi edema, menurunkan sitokin inflamasi,
meningkatkan proliferasi fibroblas, produksi kolagen, dan angiogenesis.
Terapi oksigen hiperbarik akan meningkatkan gradien konsentrasi oksigen
perifer dan sentral luka yang akan menstimulasi kuat angiogenesis dengan
meningkatkan growth factor, terutama vascular endothelial growth factor (VEGF).
Melalui siklus Krebs akan terjadi peningkatan nikotinamid adenin dinukleotida
hidrogen (NADH) yang memicu peningkatan fibroblas. Fibroblas diperlukan untuk
sintesis proteoglikan dan bersama VEGF akan meningkatkan sintesis kolagen untuk
penyembuhan luka dan meningkatkan neovaskulerisasi jaringan. (Wibowo, A., 2015)
Selain itu, terapi oksigen hiperbarik meningkatkan derivat oksigen seperti
reactive oxygen species (ROS) yang akan meningkatkan regulasi aktivitas enzim
antioksidan jaringan sebagai mekanisme respons adaptif.( Gürdöl, F., et al., 2008)
ROS dalam jaringan memiliki peran dalam respons fisiologis dan
patofisiologis. Pada konsentrasi yang terlalu tinggi, ROS menyebabkan apoptosis,
hipertensi, gagal jantung, aterosklerosis, dan diabetes. Pada konsentrasi yang cukup,
ROS berperan dalam cellular messengers yang meregulasi penyembuhan luka,
seperti growth factor, proliferasi dan migrasi sel, angiogenesis, dan sintesis matriks
ekstraseluler. (Flood, M.,S., 2007)
Kondisi luka pada kaki diabetik sering disertai edema jaringan. Edema jaringan
menyebabkan terjadinya hipoksia karena hipoperfusi jaringan. (Wibowo, A., 2015)
Terapi oksigen hiperbarik menyebabkan kondisi jaringan hiperoksia, sehingga
terjadi vasokonstriksi yang dapat mengurangi edema jaringan. Terapi oksigen
hiperbarik efektif membunuh bakteri anaerob melalui proses oksidasi protein dan lipid
membran, merusak DNA, dan menghambat fungsi metabolik bakteri. (Bhutani, S.,
2012)
BAB VI

KESIMPULAN

Manfaat efek oksigen, baik seluler maupun biokimia, menambah pilihan


tatalaksana kaki diabetik. Terapi oksigen hiperbarik mampu sebagai terapi adjuvan
untuk mempercepat laju penyembuhan luka, menurunkan kebutuhan amputasi, dan
meningkatkan jumlah luka sembuh sempurna. Penelitian lebih lanjut dan percobaan
klinis pada populasi lebih luas sangat diperlukan untuk makin memantapkan peranan
terapi oksigen hiperbarik pada kaki diabetik.
DAFTAR PUSTAKA

Cade, W.T. "diabetes-related microvascular and macrovascular disease in the


physical therapy setting." 2008.
CNA, Gill AL and Bell. Hyperbaric Oxygen : its uses, Mechanism of Action and
outcomes, volume 97 number 7. Bristol, UK: QJM, 2004.
Price, SA. "Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi ke-6." Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC., 2006.
Rochman. "Diabetes Melitus pada usia lanjut." In Ilmu penyakit dalam jilid III, by
Sudoyo AW. Setiyohadi B. Alwi I. Simadibrata M.Setiati. Jakarta: FK UI, 2006.
Workman., Ignatavicius &. "Medical surgical nurshing critical thingking for
collaborative care. Vol 2." Elsevier sauders : ohia, 2006.
Soegondo. "Diagnosis dan klasifikasi Diabetes Melitus terkini. Dalam
penatalaksanaan Diabetes Melitus terpadu." jakarta: FK UI, 2007.
"American Diabetes Association. Diagnosis and classification of diabetes mellitus."
In Diabetes Care, 27(S1):5-10. 2010.
Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC, 2006.
Tjokroprawiro, A. et al. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Airlangga University
Press. Surabaya
Waspadji S. Kaki Diabetes. Dalam : Aru W, dkk, editors. 2006. Ilmu Penyakit Dalam,
Jilid III, Edisii keempat. Penerbit FK UI. Jakarta
Triyono, B. 2005. Perbedaan tampilan Kolagen di Sekitar Luka insisi pada Tikus
Wistar yang Diberi Infiltrasi Penghilang Nyeri Levobupivakain dan yang Tidak
Diberi Levobupivakain. Tidak diterbitkan. Progam Magister Biomedik dan
PPDS Universitas Diponegoro, Semarang.
Misnadiarly. 2006. Diabetes Mellitus: Ulcer, Infeksi, Ganggren. Penerbit Populer Obor.
Jakarta
Kumar, Abba, Fausto, Mitchell. 2007. Robbin’s Basic Pathology, 8th Edition. Saunders,
Elsevier Inc, Philadelphia, p. 70-72.
Gill AL, Bell CNA, 2004, Hyperbaric oxygen, its uses, Mechanism of action and
Outcomes, QJ Med.
Armstrong, D & Lawrence, A. 1998. Diabetic Foot Ulcers, Prevention,
Diagnosis and Classification.
http://www.aafp.org/afp/980315ap/armstron.html,.
Wibowo A. Oksigen hiperbarik: Terapi percepatan penyembuhan luka. Juke Unila.
2015;5:124-8
Gürdöl F, Cimşit M, Oner-Iyidoğan Y, Körpinar S, Yalçinkaya S, Koçak H. Early and
late effects of hyperbaric oxygen treatment on oxidative stress parameters in
diabetic patients. Physiological Research 2008;57:41-7.
Flood MS. Hyperbaric oxygen therapy for diabetic foot ulcers. The Journal of
Lancaster General Hospital 2007;2:140-5.
Bhutani S, Vishwanath G. Hyperbaric oxygen and wound healing. Indian J Plast Surg.
2012;45:316-24.
Lampiran

Gambar1.Tampak kaki luka sebelum chamber

Gambar 3. Tampak luka pada kaki sudah mulai mengering setelah 3x TOHB

Anda mungkin juga menyukai