Anda di halaman 1dari 47

RESPONSI

HUBUNGAN ANTARA TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK


DENGAN ABSES OTAK

Pembimbing :
dr. Ni Komang SDU,M.kes, Sp.S

Oleh :
Chairul Arby (2015.04.2.0029)
Enrico Jonathan (2015.04.2.0049)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANGTUAH SURABAYA
2016

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb
Segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahnya,
shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW,
keluarga dan para sahabatnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
responsi yang berjudul hubungan antara HBO dengan Abses otak.
Penulis tak lupa mengucapkan terima kasih kepada pebimbing dr.
Ni Komang SDU,M.kes, Sp.S. Terima kasih atas bimbingan, saran,
petunjuk dan waktunya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini.
Akhirnya, penulis berharap semoga responsi ini dapat memberikan
manfaat pada pembaca. Penulis menyadari bahwa penyusunan tugas ini
masih

jauh

mengharapkan

dari

kesempurnaan.

kritik

dan

saran

Dalam
yang

kesempatan
dapat

ini

penulis

membangun

demi

kesempurnaan responsi ini.

Surabaya, 20 Juni 2016

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman
Judul
Kata pengantar .....................................................................................i
Daftar isi ................................................................................................ii
BAB 1 Pendahuluan ..............................................................................1
BAB II Tinjauan Pustaka .......................................................................4
2.1 Terapi oksigen hiperbarik ......................................................4
2.2 Abses Otak .........................................................................13
2.3 Hubungan terapi HBO dengan Abses Otak ........................32
BAB III Kerangka Konsep ...................................................................37
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................39

BAB I
PENDAHULUAN
Terapi oksigen hiperbarik (HBO2) adalah modalitas terapi, di mana
seseorang menghirup oksigen 100% pada tekanan atmosfer yang lebih
tinggi.Terapi ini dijalankan di dalam chamber ( Stephen, 2011). Efek positif
terapi HBO antara lain: 1) efek mekanis dalam mengurangi ukuran
gelembung gas pada decompression sickness dan emboli udara; 2)
hiperoksigenasi, yang berperan dalam stimulasi imun, neovaskularisasi,
peningkatan fibroblast dan osteoklas, efek bakterisida, dan mengurangi
edema (Sahni, 2003).
Saat ini terapi HBO berkembang dengan pesat sebagai terapi
adjuvant untuk berbagai penyakit, salah satunya untuk keadaan inflamasi
seperti gangrene, osteomyelitis, luka bakar, dan luka kronis. Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa terapi HBO memiliki efek antiinflamasi dan
immunosupresif karena terapi HBO mempengaruhi pelepasan berbagai
mediator inflamasi biologis seperti sitokin, prostaglandin (PG), dan nitrit
oksida (NO). (Al-Waili and Butler, 2006).
Kerentanan terhadap suatu kejadian infeksi pada susunan saraf
pusat diperankan oleh berbagai faktor metabolik dan seluler seperti fungsi
fagositosis, aktivitas antibacterial dari senyawa-senyawa seperti lizosim,
fagistin, dan enzim-enzim lisosim lainnya, perubahan kualitas dan
kuantitas protein serum, gangguan metabolisme pada tingkat seluler, ada
tidaknya produk jejas pada jaringan yang mempengaruhi permeabilitas
vaskuler, efek tekanan jaringan dan sebagainya (Wijanarko et al, 2010).
Berdasarkan hasil penelitian eksperimental kejadian infeksi
tersebut juga dipengaruhi oleh berbagai faktor lainnya seperti jenis
kelamin, usia, jenis bakteri penyebab, rute infeksi, adanya antibiotic yang
spesifik atau penyakit lainnya, keadaan gizi, radiasi ionisasi, suhu
lingkungan yang tinggi,

dan pemberian obat-obatan. Dalam peristiwa

klinis sehari-hari ada faktor-faktor tambahan yang dapat menurunkan


resistensi terhadap infeksi seperti alkoholisme, diabetes mellitus, uremia,
sirosis dan defesiensi atau tidak adanya imunitas seluler dan malnutrisi.

Abses otak adalah suatu proses infeksi dengan pernanahan yang


terlokalisir diantara jaringan otak yang disebabkan oleh berbagai macam
variasi bakteri, fungus dan protozoa (Hakim Arsyad, 2005).
Walaupun teknologi kedokteran diagnostic dan perkembangan
antibiotika saat ini telah mengalami kemajuan, namun rate kematian
penyakit abses otak tetap masih tinggi yaitu sekitar 10-60% atau rata-rata
40%. Penyakit ini sudah jarang dijumpai terutama di Negara-negara maju,
namun karena resiko kematiannya tinggi, abses otak termasuk golongan
penyakit infeksi yang mengancam kehidupan masyarakat (Hakim Arsyad,
2005).
Menurut Britt, Richard et al, penderita abses otak lebih banyak
dijumpai pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan
3:1 yang umumnya masih usia produktif yaitu sekitar 20-50 tahun (Hakim
Arsyad, 2005).
Yang SY menyatakan bahwa kondisi pasien sewaktu masuk rumah
sakit merupakan faktor yang sangat mempengaruhi angka kematian. Jika
kondisi pasien buruk maka angka kematian juga tinggi (Hakim Arsyad,
2005).
Hasil penelitian Xiang Y Han (The university of texas MD. Anderson
Cancer Centre Houston Texas) terhadap 9 penderita abses otak yang
diperoleh selama 14 tahun (1989-2002), menunjukan bahwa jumlah
penderita laki-laki > perempuan dengan perbandingan 7:2, berusia sekitar
38-78 tahun dengan rate kematian 55% (Hakim Arsyad, 2005).
Demikian juga hasil penelitian Hakim AA terhadap 20 pasien abses
otak yang terkumpul selama 2 tahun (1984-1986) dari RSUD Dr. Soetomo
Surabaya, menunjukan hasil yang tidak jauh berbeda, dimana jumlah
penderita abses otak pada laki-laki > perempuan dengan perbandingan
11:9 berusia sekitar 5 bulan sampai dengan 50 tahun dengan angka
kematian 35% (dari 20 penderita, 7 meninggal) (Hakim Arsyad, 2005).
Banyak perubahan dalam penatalaksanaan abses serebri.
Perkembangan pesat terjadi setelah ditemukan adanya CT scan tahun
1970 sebagai diagnostic baku. Rejimen obat antibiotic, serta kemajuan
dalam teknik bedah saraf yang dilakukam lebih awal telah berdampak
pada perbaikan prognosis penyakit (Sudewi Raka et al, 2011).

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui hubungan


antara terapi HBO dengan abses otak.. Berdasarkan alasan tersebut kami
melakukan pembahasan mengenai topik ini.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Terapi Oksigen Hiperbarik
2.1.1

Definisi

Terapi hiperbarik oksigen adalah pengobatan dimana seseorang


benafas dengan O 100% diatas tekanan atmosfer. Terapi Hiperbarik
Oksigen dilakukan di mono-(satu orang) atau multichamber (2-14 orang).
Tekanan diterapkan didalam ruangan 2-3 atmosfer absolut, jumlah dari
tekanan atmosfer (1 ATA) ditambah dengan tekanan hidrostatik (1
atmosfer = tekanan 14,7 pon per inci persegi atau 101 kPa). Lamanya
terapi sekitar 1,5 -2 jam, tergandung dari indikasi dan mungkin bisa 3 kali
dalam sehari. Ruang mono chamber biasanya dikompresi dengan oksigen
murni. Multi chamber bertekanan udara dan pasien bernafas O murni
melalui masker ketat wajah atau endotrakeal (thom, 2012).
2.1.2

Dasar Fisiologi Terapi Oksigen Hiperbarik

Efek dari terapi oksigen hiperbarik adalah berdasarkan hukum hukum


gas dan efek-efek fisiologis dan biokimia dari hiperoksia. Hukum-hukum
fisika tentang gas tersebut antara lain:
1. Hukum Boyle, menyatakan bahwa volume gas berbanding terbalik
dengan tekanan bila temperatur dipertahankan konstan. Volume
gas menurun dengan naiknya tekanan dan volume naik dengan
turunnya tekanan. Hukum ini merupakan dasar untuk banyak aspek
dari terapi oksigen hiperbarik, seperti suatu fenomena yang dikenal
sebagai squeeze' yang terjadi selama proses terapi karena
peningkatan temperatur ruangan (chamber). Ketika tuba eustachii
tersumbat

menyebabkan terganggunya proses keseimbangan

tekanan gas yang mengakibatkan rasa nyeri yang menekan di


middle ear (telinga bagian tengah).
2. Hukum Dalton, menyatakan bahwa tekanan campuran (total
pressure) dua gas atau lebih yang berada dalam suatu ruangan

sama dengan jumlah tekanan gas (partial pressure) masing-masing


yang ada dalam ruangan tersebut.
3. Hukum Henry, menyatakan bahwa banyaknya gas yang larut
dalam cairan atau jaringan berbanding lurus dengan tekanan gas
dan koefisien kelarutan gas tersebut. Hukum ini merupakan basis
dari peningkatan tekanan oksigen di jaringan dengan penggunaan
terapi oksigen hiperbarik.
4. Hukum Graham, menyatakan bahwa, konsentrasi suatu gas akan
berpindah dari tekanan tinggi ke tekanan rendah.
Sebagian besar oksigen dibawa dalam darah dalam bentuk terikat dengan
haemoglobin, yang mana 97% nya jenuh pada tekanan atmosfer.
Sebagian oksigen dibawa dalam larutan dan bagian ini meningkat jika
tekanannya

juga

meningkat

sesuai

dengan

hukum

Henry, yang

memaksimalkan oksigenasi jaringan. Ketika menghirup udara dengen


tekanan normal (normobaric), tekanan oksigen arteri berkisar antara
100mmHg dan tekanan oksigen di jaringan 55 mmHg. Dengan pemberian
oksigen 100% pada tekanan 3 ATA dapat meningkatkan tekanan oksigen
arterial menjadi 2000 mHg dan tekanan oksigen jaringan 500 mmHg,
dengan jumlah 60 ml oksigen per liter darah (bandingkan dengan tekanan
atmofer yang hanya dapat mengangkut oksigen 3ml per liter darah).
Kondisi tersebut dapat memberi support pada jaringan (resting tissue)
tanpa dibutuhkan hemoglobin. Karena oksigen berada di dalam cairan
tubuh, oksigen ini dapat mencapai area yang terobstruksi dimana sel
darah merah tidak dapat melewatinya dan keuntungan lainnya oksigen ini
dapat

memberikan

oksigenasi

jaringan

bahkan

dalam

keadaan

pengangkutan hemoglobin-oksigen yang terganggu, contoh pada kasus


keracunan karbon monoksida dan anemia yang parah (Braswell).
Terapi oksigen hiperbarik meningkatkan pembentukan radikal bebas
oksigen, yang mengoksidasi protein dan membrane lemak, merusak DNA
dan menghambat fungsi metabolik dari bakteri. Oksigen hiperbarik efektif
terutama melawan bakteri anaerob dan memfasilitasi oxygen dependent

peroxidase system leukosit dalam membunuh bakteri. Terapi oksigen


hiperbarik juga meningkatan oxygen-dependent transport dari beberapa
jenis antibiotik sehingga dapat menembus dinding sel bakteri (Braswell).
Oksigen hiperbarik membantu proses penyembuhan luka dengan
menguatkan gradien oksigen sepanjang daerah luka yang iskemik dan
merangsang formasi matriks kolagen yang bersifat oxygen dependent
yang dibutuhkan untuk proses angiogenesis (Braswell).
Selama

reperfusi,

leukosit

melekat

pada

jaringan

yang

iskemi,

melepaskan protease dan radikal bebas yang mengarah ke vasokonstriksi


patologis dan kerusakan jaringan. Zamboni, mendemonstrasikan adanya
pengurangan perlekatan leukosit dan vasokonstriksi post iskemi pada
jaringan tikus iskemi yang mendapat terapi oksigen hiperbarik (Zamboni,
1993) dan lebih baru lagi, Thom mendemonstrasikan pengurangan
peroksidasi lipid pada tikus dengan keracunan karbon monoksida yang
mendapat oksigen hiperbarik (Braswell).
Hiperoksia pada jaringan normal yang mendapat oksigen hiperbarik
menyebabkan vasokonstriksi yang cepat dan signifikan. Tetapi ini
dikompensasi dengan peningkatan oksigen plasma dan aliran darah
mikorvaskuler ke jaringan iskemi yang secara jelas ditingkatkan oleh
oksigen hiperbarik. Vasokonstriksi dapat mengurangi oedem pada jaringan
post traumatic yang berkontribusi pada terapi crush injuries, compartment
syndromes dan luka bakar (Braswell).
Selain itu, oksigen hiperbarik membatasi reduksi produksi ATP oleh
jaringan post iskemi dan menurunkan akumulasi laktat pada jaringan
iskemi. Kesimpulannya, oksigen hiperbarik mempunyai efek yang
kompleks pada system imun, transport oksigen dan haemodinamik. Efek
terapeutik yang positif berupa pengurangan hipoksia dan oedema dan
membantu respon host normal terhadap infeksi dan iskemia (Braswell,
2012).
2.1.3

Hubungan Terapi Oksigen Hiperbarik dengan Hukum

Fisika

Kebanyakan dokter hewan memakai terapi oksigen hiperbarik pada


tekanan 2 sampai 3 ATA, sementara terapi pada tekanan rendah pada
tekanan 1.5 sampai 2 ATA. Ketika tekanan rendah dipakai sebagai terapi,
ini berlangsung lama sekitar 45 sampai 60 menit pada tekanan 2 ATA.
Hewan kecil diterapi tiap 8 sampai 12 jam sekali, hewan besar diterapi
sampai 6 kali dalam 24 jam tergantung pada kondisi hewan tersebut.
Ketika pasien berada dalam ruangan hiperbarik dan proses
pengaturan tekanan dimulai, proses penggantian udara di dalam chamber
dengan oksigen 100% secara bertahap akan meningkatkan fraksi oksigen
inspirasi dalam hubungannya dengan tekanan atmosfer. Peningkatan
konsentrasi molekul oksigen berhubungan dengan peningkatan tekanan
parsial dari oksigen (Hukum Dalton), jadi saat pasien bernafas konsentrasi
oksigen yang dibawa ke alveolus bergantung pada peningkatan tekanan
parsial

alveolus.

Peningkatan

tekanan

parsial

ini

menyebabkan

peningkatan kepadatan molekul oksigen di alveoli (Hukum Boyle)


sehingga lebih banyak oksigen yang dapat berdifusi ke kapiler paru
paru.
Peningkatan tekanan oksigen mengakibatkan peningkatan difusi
molekul oksigen di epitel alveolus ke dalam darah. Molekul yang padat
dan tekanan oksigen junga meningkatkan kelarutan oksigen dalam darah
(Hukum Henry) yang menghasilkan peningkatan tekanan parsial oksigen
di dalam darah. Pada tahap ini konsentrasi oksigen yang tinggi akan
berpindah

dari

dalam

darah

ke

dalam

jaringan

interstisial

dan

kompartemen intra selular yang berhubungan dengan peningkatan


tekanan (Hukum Graham) (Braswell, 2012).

Gambar 2.1 Hyperbaric Oxygen in Animal (Braswell, 2012)

Gambar 2.2 Difusi Oksigen ke kapiler paru (Braswell, 2012)

Gambar 2.3 Difusi oksigen dari kapiler ke jaringan (Braswell, 2012).


2.1.4

Tahap Terapi Hiperbarik (Braswell, 2012)

Persiapan pasien

Hindari listrik statis

Lepas semua perangkat elektronik

Pakai selimut dari katon

Lepas semua kalung atau cincin berbahan metal

Bungkus benda besi dengan kain (pad ECG)

Amankan kateter
-

Bungkus kateter untuk menghindari terlepas kateter

Pasang Elizabethan collar jika perlu

Persiapan chamber

Buka katub oksigen ke chamber.

Biarkan katub pembuangan tetap terbuka agar udara ruangan di


dalam chamber keluar.

Tutup katub pembuangan saat ingin memulai mengatur tekanan.

Selama mengatur tekanan (10 15 menit) periksa keadaan pasien


(barotraumas, pusing).

Saat terapi

Saat tekanan yang diinginkan tercapai, mulai penghitungan waktu


dilakukannya terapi.

Periksa lagi katub pembuangan agar tekanan tetap didalam


chamber.

Mengurangi tekanan chamber

Buka katub pembuangan

Kurangi aliran oksigen

Amati tekanan dalam chamber dan pastikan waktu dekompresi (510 menit untuk terapi tekanan rendah, 20 menit untuk terapi
tekanan tinggi).

Amati keadaan pasien, jika pasien merasa tidak nyaman, waktu


dekompresi dilakukan perlahan.

Ketika tekanan dalam chamber mencapai 0 psi, pasien boleh keluar


dari chamber.
2.1.5
Efek Terapi HBO
a. Mechanical :
Mengurangi ukuran bubble
b. Hyperoxygenation :

Stimulasi sistem imun

Neovaskularisasi

Peningkatan fibroblas

Peningkatan osteoclasts

Bactericidal

Mengurangi edema
Peningkatan tekanan mekanik akan mengurangi ukuran
bubble dalam kondisi seperti emboli gas dan decompression
sickness. Hiperoksigenasi menyebabkan terjadinya stimulasi sistem
imun

dengan

cara

memperbaiki

fungsi

WBC, meningkatkan

kemampuan fagositosis dan membunuh bakteri yang dimediasi


neutrofil. Terapi hiperbarik oksigen mempercepat neovaskularisasi
pada area hipoksia dengan cara meningkatkan aktivitas fibroblastic
yang dapat memulai pertumbuhan kapiler. Terapi oksigen hiperbarik
menyebabkan terjadinya vasokontriksi pada jaringan normal tetapi
juga

terjadi

peningkatan

pasokan

oksigen

lewat

proses

hiperoksigenasi tadi. Cara inilah yang dipakai untuk mengurangi


edema dan pembengkakan jaringan. Pada edema cerebral dapat
membantu mengurangi edema dengan menjaga kondisi hiperoksia.
Ini juga mengurangi perlekatan sel darah putih ke dinding kapiler dan
sangat berguna pada kasus cedera otak dan cedera medulla
spinalis. Terapi

oksigen

hiperbarik bersifat

bacterisidal pada

organisme anaerob seperti Clostridium Welchii dan juga dapat


menghambat pertumbuhan bakteri aerob pada tekanan lebih dari 1.3
ATA. Terapi oksigen hiperbarik pada tekanan 2.5 ATA menurunkan
waktu paruh dari carboxyhemoglobin dari 4 ke 5 jam (Sahni, 2003).

10

2.1.6

Indikasi HBOT

Kondisi Akut (Terapi oksigen hiperbarik harus diberikan secepat mungkin


dikombinasi bersama terapi konvensional)
1. Non healing ulcers, problem wounds, compromised skin grafts
and flaps
2. Acute traumatic ischaemias
3. Clostridium Myonecrosis
4. Necrotizing soft tissue infections
5. Treatment of late radiation tissue damage (Osteoradionecrosis,
radiation cystitis, enteritis)
6. Thermal Burns
7. Carbon monoxide poisoning and smoke inhalation
8. Osteomyelitis (Refractory)
9. Air or gas embolism (AGE) / Decompression sickness
10. Exceptional blood loss (Anaemia)
11. Intracranial abscesses
12. Sudden deafness
13. Post anoxic encephalopathy
14. Visual vascular pathology
2.1.7

Kontraindikasi HBOT

Kontraindikasi

Alasan

Tindakan awal

Absolut
Pneumothorax yang belum

Gas emboli

Thoracostomy

teratasi

Tension Pneumothorax

Bleomycin

Pneumomediastinum
Interstitial Pneumonia

tidak ada

Cisplatin

Impaired wound healing

tidak ada

Disulfiram

Blocks superoxide

Hentikan pengobatan

dismutase yang penting


Kontraindikasi

untuk toksisitas oksigen


Alasan

Tindakan awal

Relative
Asthma

Air trapping yang dapat

Harus terkontrol dengan

11

mengakibatkan

obat

Claustrophobia
COPD
Disfungsi tuba eustachii

pneumothorax
Anxiety
Susah untuk bernafas
Barotraumas membran

Benzodiazepines
Observasi dalam chamber
Latihan

Demam tinggi
Pregnancy

tympani
Resiko tinggi terjadi kejang
Tidak diketahui efek pada

Antipiretik
Tidak ada tapi jika terjadi

bayi

kegawatan dapat dilakukan

Barotrauma

HBO
decongestan

Upper Respiratory Infection

2.1.8
Komplikasi
I.
General :

Claustrophobia

Reversible myopia

Fatigue

Headache

Vomiting

II.

Barotrauma

Ear damage

Sinus damage

Ruptured middle ear

Lung damage

III.

Oxygen toxicity

Convulsions

Pulmo toxicity

Respiratory failure

IV.

Decompression illness

Decompression sickness

Pneumothorax
12

Gas emboli

2.2 Abses Otak


2.2.1. Definisi
Abses otak (abses serebri) adalah suatu proses infeksi yang
melibatkan parenkim otak, terutama disebabkan oleh penyebaran
infeksi dari fokus yang berdekatan atau melalui sistem vaskular.
Abses serebri adalah suatu lesi desak ruang berupa suatu
penumpukan

materi

piogenik

yang

terjadi

akibat

invasi

dan

perkembangan mikroorganisme yang terlokalisir di dalam atau di


antara jaringan otak akibat infeksi mikroorganisme. Mikroorganisme
tersebut dapat masuk ke jaringan otak melalui trauma, penyebaran
langsung

dari

struktur

dibawahnya

dan

melalui

hematogen.

Mikroorganisme yang dapat menyebabkan abses serebri dapat


berasal dari golongan bakteri, jamur bahkan termasuk golongan
parasite (Price, S.A et al, 2006 ; Modul abses serebri).
Apa

yang

dimaksud

dengan

abses

sereberi

ialah

abses

intraserebral atau intraserebellar. Pada umumnya abses serebri


adalah soliter (monolokular) tetapi adakalanya terdapat abses
multilokular. Otak resisten terhadap bentuk abses, tetapi abses dapat
terjadi disebabkan oleh jaringan yang nekrosis akibat infeksi bakteri.
Penyakit yang kondusif terhadap terjadinya suatu abses yaitu infeksi
paru kronik (pneumonitis, bronchiestatis, abses paru), sinusitis akut
dan kronik, otitis, atau mastoiditis, penyakit paru kongenital, atau
gangguan vaskularisasi paru, infeksi pada kulit, tulang dan ginjal, dan

13

endokarditis bakterial akut. Penyakit tersebut merupakan sumber


abses yang tidak dapat dipastikan (Price, S.A et al, 2006 ; Mardjono et
al, 2008).
2.2.2. Epidemiologi
Di Amerika Serika terdapat 1500-2000 kasus abses serebri per
tahun

dan

insidens

tertinggi

terdapat

pada

negara-negara

berkembang. Rasio laki-laki dan wanita adalah 1,5-3 :1.Abses otak


terjadi paling sering antara usia 20-50 tahun namun pernah ditemukan
dalam semua kelompok usia. Prevalensi abses otak pada penderita
AIDS tinggi, sehingga angka rata-rata terus meninggi. Abses otak
jarang terjadi pada negara-negara maju, tetapi merupakan masalah
penting pada negara-negara berkembang (Price, S.A et al, 2006 ;
Modul abses serebri ; Markam S, 2005).
2.2.3. Etiologi
Penyakit abses otak biasanya merupakan akibat dari :

Adanya penyebaran infeksi di bagian lain dari kepala (misalnya


gigi, hidung, atau telinga).

Adanya cedera kepala yang menembus ke otak.

Adanya infeksi di bagian tubuh yang lain, yang disebarkan melalui


darah
Berbagai mikroorganisme dapat ditemukan pada abses otak, yaitu

bakteri,

jamur

dan

parasit.

Bakteri

yang

tersering

adalah

Staphylococcus aureus, Streptococcus anaerob, Streptococcus beta


hemolyticus,

Streptococcus

alpha

hemolyticus,

E.

coli

dan

Bacteroides. Abses oleh Staphylococcus biasanya berkembang dari


perjalanan otitis media atau fraktur kranii. Bila infeksi berasal dari
sinus paranasalis penyebabnya adalah Streptococcus aerob dan

14

anaerob, Staphylococcus dan Haemophilus influenzae. Abses oleh


Streptococcus dan Pneumococcus sering merupakan komplikasi
infeksi paru. Abses pada penderita jantung bawaan sianotik umumnya
oleh Streptococcus anaerob. Jamur penyebab abses otak antara lain
Nocardia asteroides, Cladosporium trichoides dan spesies Candida
dan Aspergillus. Walaupun jarang, Entamuba histolitica, suatu parasit
amuba usus dapat menimbulkan abses otak secara hematogen. Kirakira 62% abses otak disebabkan oleh flora campuran, kurang lebih
25% abses otak adalah kriptogenik (tidak diketahui sebabnya) (Sholeh
Naga, 2012).
2.2.4. Patofisiologi
Abses otak umumnya terjadi sekunder terhadap infeksi ditempat
lain, dan bakteriologi sering menunjukkan sumber primer. Pada otitis
media infeksi dapat meluas meluas melalui kavum timpani atau
melalui mastoidea dan meningeal untuk mencapai jaringan otak.
Infeksi meluas melalui vena-vena ditelinga dalam, yang menyebabkan
trombosis vena. Trombosis ini mengganggu sirkulasi serebral,
menyebabkan iskemia dan infark yang merangsang timbulnya infeksi
lokal. Secara umum abses terletak berdekatan dengan sumber infeksi.
Abses yang terjadi melalui penjalaran dari infeksi telinga tengah atau
mastoid biasanya terletak di dalam lobus temporalis atau cerebellum
(Price, S.A et al, 2006).
Infeksi sinus paranasal dapat menyebar secara retrograde
thrombophlebitis melalui klep vena diploika menuju lobus frontalis atau

15

temporal. Bentuk absesnya biasanya tunggal, terletak superficial di


otak, dekat dengan sumber infeksinya. Sinusitis frontal dapat juga
menyebabkan abses di bagian anterior atau inferior lobus frontalis.
Sinusitis sphenoidalis dapat menyebakan abses pada lobus frontalis
atau temporalis. Sinusitis maxillaris dapat menyebabkan abses pada
lobus temporalis. Sinusitis ethmoidalis dapat menyebabkan abses
pada lobus frontalis. Infeksi pada telinga tengah dapat pula menyebar
ke lobus temporalis. Infeksi pada mastoid dan kerusakan tengkorak
kepala karena kelainan bawaan seperti kerusakan tegmentum timpani
atau kerusakan tulang temporal oleh kolesteatoma dapat menyebar ke
dalam serebelum (Iryadi I, 2010).
Abses yang terjadi sesudah bakteremia cenderung bersifat
multipel. Abses metastatik sering merupakan keadaan sekunder dari
supurasi pulmonum. Kontaminasi otak langsung melalui cedera otak
penetrasi adalah penyebab lain dari abses. Fragmen tulang yang
belum dibuang serta debris lainnya umumnya dijumpai pada pasien
dengan infeksi otak traumatika. Abses otak multipel menunjukkan
penyebaran hematogen dari sumber jauh dan infeksi sistemik yang
umum seperti endokarditis bakterial, kelainan jantung kongenital
sianotik, pneumonia, dan divertikulitis harus dicari (Price, S.A et al,
2006 ; Iryadi I, 2010 ; Chang WN et al, 2002)1,6,7.
Pada awal perjalanan penyakit, jaringan yang terinfeksi menjadi
edema dan infiltrasi leukosit. Secara perlahan-lahan, bagian terluar
menebal karena adanya kolagen dalam dinding abses. Pada pusat

16

abses, terjadi nekrosis. Rongga abses dapat menyebar melalui


substansia alba, menembus dinding ventrikel atau masuk kedalam
meningeal. Kebanyakan abses terletak di masa alba, karena
pendarahan disitu kurang intensif dibanding dengan substansia grisea
(Price, S.A et al, 2006 ; Mardjono et al, 2008).
Perjalanan waktu dan perubahan yang terjadi selama pembentukan
abses pada anjing dikemukan oleh Britt. Sel inflamatori akut tampak
pada pusat material yang nekrotik, dikelilingi zona serebritis. Dengan
maturasi, timbul neovaskularisasi perifer dan lambat laun terbentuk
cincin fibroblas yang menimbun kolagen dan makrofag, berakhir
sebagai kapsul berbentuk tegas. Apakah serebritis menjadi abses
yang berkapsul tergantung pada interaksi pasien-organisme dan
pengaruh terapi. Pada manusia dengan sitem imun baik, proses sejak
infiltrasi bakterial hingga abses berkapsul memerlukan sekitar 2
minggu. Daerah terlemah dari kapsul cenderung merupakan daerah
yang kurang vaskuler yang menghadap ventrikel, karenanya migrasi
sentrifugal proses inflamasi dengan ruptur ventrikuler dan kematian
merupakan sekuele yang umum pada masa prabedah dahulu kala
(Saanin S, 2010).
Tebal

kapsul

antara

beberapa

milimeter

sampai

beberapa

sentimeter. Beberapa ahli membagi perubahan patologi AO dalam 4


stadium yaitu (Iryadi I, 2010 ; Rahayu, 2002)6,9:
1) Stadium serebritis dini (Early Cerebritis) : Terjadi reaksi radang lokal
dengan infiltrasi polymorfonuklear leukosit, limfosit dan plasma sel

17

dengan pergeseran aliran darah tepi, yang dimulai pada hari pertama
dan meningkat pada hari ke 3. Sel-sel radang terdapat pada tunika
adventisia dari pembuluh darah dan mengelilingi daerah nekrosis
infeksi. Peradangan perivaskular ini disebut cerebritis. Saat ini terjadi
edema di sekitar otak dan peningkatan efek massa karena
pembesaran abses.
2) Stadium serebritis lanjut (Late Cerebritis) : Saat ini terjadi
perubahan histologis yang sangat berarti. Daerah pusat nekrosis
membesar oleh karena peningkatan acellular debris dan pembentukan
nanah karena pelepasan enzim-enzim dari sel radang. Di tepi pusat
nekrosis didapati daerah sel radang, makrofag-makrofag besar dan
gambaran fibroblast yang terpencar. Fibroblast mulai menjadi
retikulum yang akan membentuk kapsul kolagen. Pada fase ini edema
otak menyebar maksimal sehingga lesi menjadi sangat besar
3) Stadium pembentukan kapsul dini (Early Capsule Formation) :
Pusat nekrosis mulai mengecil, makrofag menelan acellular debris
dan fibroblast meningkat dalam pembentukan kapsul. Lapisan
fibroblast membentuk anyaman reticulum mengelilingi pusat nekrosis.
Di daerah ventrikel, pembentukan dinding sangat lambat oleh karena
kurangnya vaskularisasi di daerah substansi putih dibandingkan
substansi abu. Pembentukan kapsul yang terlambat di permukaan
tengah memungkinkan abses membesar ke dalam substansi alba.
Bila abses cukup besar, dapat robek ke dalam ventrikel lateralis. Pada
pembentukan kapsul, terlihat daerah anyaman reticulum yang

18

tersebar membentuk kapsul kolagen, reaksi astrosit di sekitar otak


mulai meningkat.
4) Stadium pembentukan kapsul lanjut (Late Capsule Formation) :
Pada stadium ini, terjadi perkembangan lengkap abses dengan
gambaran histologis sebagai berikut:
-

Bentuk pusat nekrosis diisi oleh acellular debris dan sel-sel


radang.

Daerah tepi dari sel radang, makrofag, dan fibroblast.

Kapsul kolagen yang tebal.

Lapisan neurovaskular sehubungan dengan serebritis yang


berlanjut.

Reaksi astrosit, gliosis, dan edema otak di luar kapsul.

Abses dalam kapsul substansia alba dapat makin membesar dan


meluas ke arah ventrikel sehingga bila terjadi ruptur, dapat
menimbulkan meningitis (Iraydi I, 2010).
Pembentukan abses jarang terjadi selama perjalanan meningitis
bakterial, namun merupakan faktor predisposisi pada 25% abses otak
pediatrik yang biasanya berkaitan dengan meningitis Sitrobakter atau
Proteus neonatal. Sebaliknya abses otak sering dijumpai pada pasien
dengan immunitas yang terganggu sekunder atas penggunaan
steroid, kelainan limfoproliferatif, dan transplantasi organ, dan
absesnya cenderung multiple (Saanin S, 2010).
2.2.5. Gambaran Klinis
Tanda-tanda dan gejala abses otak adalah gejala-gejala infeksi
umum, pada awalnya penderita merasa demam dan menggigil, tetapi
gejala ini baru menghilang ketika tubuh berhasil menangkal infeksi

19

tersebut. Tanda-tanda peningkatan TIK yaitu nyeri kepala yang kronik


progresif, muntah penglihatan kabur, kejang, kesadaran menurun
kadang tampak edema papil pada pemeriksaan funduskopi. Gejalagejala tersebut bisa timbul dalam beberapa hari atau beberapa
minggu. Jika perkembangannya berlalu cepat, demam, mengigil dan
muntah hampir selalu dijumpai. Abses kronik biasanya tidak
memperlihatkan gejala-gejala tersebut. Tanda-tanda defisit neurologik
bergantung pada lokasi dan luasnya abses (Mardjono M et al, 2008 ;
Rahayu, 2002).
Nyeri kepala merupakan gejala yang paling sering ditemukan,
dengan sifat konstan, progresif dan cenderung refrakter terhadap
terapi. Triase demam, sakit kepala, dan defisit neurologis fokal terjadi
pada kurang dari setengah pasien. Frekuensi dari tanda dan gejala
umumnya berturut-turut: sakit kepala 70%, perubahan status mental
65%, defisit neurologis fokal 65%, demam 50%, kejang 25-35%, mual
dan muntah 40%, kekakuan 25%, dan edema papil 25% (Osenbach
RK et al, 2005 ; Itzhak, 2013).
Tanda defisit neurologi fokal ditemukan pada kebanyakan pasien.
Tanda dan atau gejala berdasarkan lokasi intrakranial dari abses
(Price SA et al, 2006 ; Itzhak, 2013).
Lokasi Lobus
Frontalis

Gejala
Mengantuk, tidak ada perhatian hambatan dalam mengambil keputusan

Temporalis

gangguan intelegensi, kadang-kadang kejang.


Tidak mampu menyebut objek, tidak mampu membaca, menulis, atau

Parietalis

mengerti kata-kata, hemianopia


Gangguan sensasi posisi dan persepsi stereognostik, kejang fokal,

20

Serebelum

hemianopia, homonim, disfasia,akalkulia, agrafia


Sakit kepala suboksipital leher kaku gangguan koordinasi, nistagmus,
gangguan berjalan tremor intensional (bertujuan)

2.2.6. Pemeriksaan Penunjang


a) Pemeriksaan Laboratorium
1)

Tes rutin:

Serum C-reactive protein (CRP) atau sedimentasi Westergren

Tes serologik, diperoleh dari beberapa patogen (serum


immunoglobulin

cairan

cerebrospinal

Polymerase

chain

reaction untuk Toxoplasma)


-

Kultur darah (paling sedikit 2 kali, lebih baik sebelum


penggunaan antibiotik)

Leukositosis sedang, dan sedimentasi eritrosit serta CRP


umumnya

meningkat.

Kadar

serum

sodium

mungkin

berkurang sebagai hasil produksi hormon antidiuretik yang


tidak normal. Jumlah platelet mungkin tinggi atau rendah
(Itzhak et al, 2013).
2) Cairan cerebrospinal:
Pungsi

lumbal

jarang

dilakukan

dan

merupakan

kontraindikasi jika tekanan intrakranial meningkat yang dapat


menyebabkan herniasi otak. Biasanya hasilnya tidak begitu
berguna, memperlihatkan peningkatan pleositosis protein dengan
jumlah variabel netrofil, kadar glukosa normal, dan pungsi lumbal
untuk menyingkirkan proses penyakit lain, khususnya meningitis.

21

Jumlah leukosit umumnya meningkat mencapai 100.000/l (Itzhak


et al, 2013).
3) Aspirasi abses:
Aspirasi kultur abses untuk organisme aerob, anaerob dan
tahan asam. Selanjutnya sebaiknya dilakukan pewarnaan gram,
pewarnaan tahan asam (untuk Mycobacterium), pewarnaan spora
(methenamine silver mucicarmine) (Itzhak et al, 2013).
4) Radiologi
Foto polos kepala menampakkan perubahan-perubahan
yang merupakan akibat dari peninggian tekanan intrakranial.
Keadaan ini telah diketahui sejak tahun tiga puluhan oleh Schuller,
dan makin lama makin banyak fakta-fakta yang terungkap pada
kelainan tersebut. Sepertiga dari penderita-penderita dengan tandatanda peninggian tekanan intrakranial, baik itu disebabkan tumor,
abses atau hidrosefalus, pada orang dewasa atau kanak-kanak,
akan menunjukkan tanda-tanda tersebut pada foto polos kepala.
Sedangkan pada 20% penderita yang dengan pemeriksaan
radiologik menunjukkan tanda-tanda kenaikan tekanan intrakranial,
pada pemeriksaan klinis belum didapatkan adanya edema papil
(Itzhak et al, 2013 ; NIH, 2013).
CT-Scan mengidentifikasi dan melokalisasi abses besar dan
abses-abses kecil disekitarnya. CT scan dengan pemberian zat
kontras, dapat mendeteksi jumlah dan lokasi abses, dan itu dapat
menjadi landasan utama dalam diagnosis dan penatalaksanaan

22

selanjutnya. Metode ini digunakan untuk mengonfirmasi diagnosa,


untuk mengetahui lokasi lesi dan prognosis setelah penanganan.
Setelah injeksi zat kontras, CT scan memperlihatkan gambaran
khas otak sebagai hipodens pusat dengan peningkatan jaringan
sekitar yang sama (Itzhak et al, 2013).

Gambaran CT-Scan Abses serebri

MRI dipertimbangkan sebagai metode diagnostik pertama


untuk diagnosis abses otak. MRI dapat memberikan diagnosis yang
akurat dan tindak lanjut yang baik dari lesi dengan sensitifitas dan
spesifitas

yang

paling

baik.

Dibandingkan

CT

scan,

MRI

memberikan kemampuan lebih baik, kontras terhebat antara edema


cerebral dan otak, dan deteksi dini terhadap lesi dan penyebaran
inflamasi ke ventrikel dan ruang subarachnoid (Itzhak et al, 2013).
5) Tes lain:
Arteriografi terlihat gambaran yang khas. Deformasidari
perjalanan suatu pembuluh drah, yang mencerminkan lokalisasi

23

proses lesi desak ruang, dan vascular brush sekitar daerah


avaskular, karena proliferasi pembuluh darah sekitar abses dan
nanah di dalam kapsul akan terlihat (Markam S, 2005).
EEG kadang-kadang menyatakan fokus tegangan tinggi
dengan aktifitas lambat. EEG sama sekali jarang bernilai dalam
penegasan diagnosis, dan merupakan prosedur yang kurang akurat
pada evaluasi abses (Itzhak et al, 2013).
2.2.7. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran
klinik, pemeriksaan laboratorium disertai pemeriksaan penunjang
lainnya. Selain itu penting juga untuk melibatkan evaluasi neurologis
secara

menyeluruh,

mengingat

keterlibatan

infeksinya.

Perlu

ditanyakan mengenai riwayat perjalanan penyakit, onset, faktor resiko


yang mungkin ada, riwayat kelahiran, imunisasi, penyakit yang pernah
diderita, sehingga dapat dipastikan diagnosisnya (Iryadi I, 2010).
Pada

pemeriksaan

neurologis

dapat

dimulai

dengan

mengevaluasi status mental, derajat kesadaran, fungsi saraf kranialis,


refleks fisiologis, refleks patologis, dan juga tanda rangsang
meningeal untuk memastikan keterlibatan meningen (Iryadi I, 2010).
Pemeriksaan motorik sendiri melibatkan penilaian dari
integritas sistem muskuloskeletal dan kemungkinan terdapatnya
gerakan abnormal dari anggota gerak, ataupun kelumpuhan yang
sifatnya bilateral atau tunggal (Iryadi I, 2010).

24

Electroencephalography,

brain

scanning,

computerized

tomography (CT) dan dapat membantu diagnosa dan menentukan


lokasi abses otak. Angiography cerebral juga diperlukan untuk
menentukan letak abses. Abses otak dapat ditentukan lokasinya pada
saat operasi dengan menggunakan aspirasi jarum.
Pemeriksaan terbaik untuk menemukan abses otak adalah
CT scan atau MRI. Sejak kehadiran CT scan dan MRI, jumlah
kematian

menurun

sampai

90%.

Biopsi

dilakukan

untuk

menyingkirkan kemungkinan tumor atau stroke dan untuk menentukan


organisme penyebab terjadinya abses (NIH, 2013; Gebre KT et al,
2013).
2.2.8.

2.2.9.

Diagnosis Banding
Meningitis
Ensefalitis
Tumor Serebri
Empiema Subdural
Penatalaksanaan

Secara umum, penatalaksaan pasien dengan abses otak meliputi


(Osenbach RK et al, 2005):
-

Identifikasi organisme penyebab

Tes sensitivitas antibiotik

Menurunkan tekanan intracranial dan efek massa

Mencegah rupture abses intraventrikular

a. Farmakoterapi
Pengobatan untuk abses otak adalah antibiotik, yang paling
sering digunakan adalah pemberian oxacillin 2 gr IV tiap 4 jam atau
penicillin G 4 juta unit IV tiap 4 jam, metronidazole 500 mg IV tiap 6
25

jam, dan ceftriaxone 2-4 gr tiap 12 jam. Jika tidak ada respon,
dipertimbangkan

pemberian

amfoterisin

untuk

menangani

kemungkinan infeksi jamur. Penanganan lengkap 4-8 minggu,


durasinya harus berdasarkan CT scan atau gambaran MRI, yang
pemeriksaannya diulang setiap 2 minggu. Jika antibiotik tidak berhasil
mengatasi

keadaan

ini,

maka

dilakukan

pembedahan

untuk

membuang nanah. Kadang abses menyebabkan bertambahnya


tekanan dan pembengkakan di dalam otak, yang ditandai dengan
penurunan kesadaran yang sangat rendah. Keadaan ini sangat serius
dan bisa menyebabkan kerusakan otak yang menetap, sehingga
diberikan kortikosteroid dexamethasone 4-10 mg IV tiap 6 jam selama
4-6 hari dan obat lainnya (misalnya manitol) untuk mengurangi
pembengkakan otak dan mengurangi tekanan di dalam otak.
Walaupun pemilihan antibiotik idealnya disesuaikan dengan
hasil kultur spesifik dari spesimen yang berbeda, antibiotik preoperatif
sebaiknya diberikan terlebih dahulu untuk drainage. Dosis antibiotik
preoperatif sebaiknya tidak mensterilkan kebanyakan abses asalkan
material purulen terkirim tepat pada laboratorium mikrobiologi. Bakteri
anaerob memainkan peranan penting pada abses otak, dimana
pemeliharaan spesimen pada saat surgical drainage sangat penting.
Ketepatan proses dan pemeliharaan spesimen tergantung pada
prosedur penggunaan tiap perlengkapan rumah sakit (seperti media
transport), tetapi teknik aseptik yang optimal pada selama prosedur

26

anaerobik sepenuhnya esensial untuk interpretasi kultur pada


pembedahan pada kasus abses otak.
Pada infeksi SSP, pemilihan antibiotik ideal tergantung pada
kemampuan untuk mencapai tempat infeksi yang diharapkan (seperti
memasuki parenkim otak), menghambat pertumbuhan kebanyakan
organisme

patogen

pada

umumnya,

dan

lebih

baik

dalam

menyingkirkan bakteri penyebab (efek bakterisidal baik). Sebelum


pelaporan hasil kultur, perbandingan antibiotik harus diberikan,
didasarkan atas riwayat pasien dan kesesuaian tanda dan gejala 11.
Antibiotik spesifik :11
-

Penicillin menembus baik ke ronggga abses dan aktif melawan


produksi non -lactamase dari organisme anaerob dan aerob

Chloramfenicol menembus baik ke dalam ruang intrakranial dan


juga aktif melawan Haemophilus spp, S pneumoniae, dan
kebanyakan obligat anaerob. Penggunaannya dibatasi karena
kemampuan dari kombinasi antimikroba yang lain lebih manjur
dan kurang toksik (cefotaxime dan metronidazole)

Metronidazole menembus baik ke dalam SSP dan tidak


dipengaruhi oleh terapi kortikosteroid, aktif sebagai anti bakteri
anaerob, dan mungkin suboptimal terhadap kuman kokkus gram
positif anaerob.

Cephalosporin

generasi

ketiga

(cefotaxime,

ceftriaxone)

umumnya adekuat sebagai terapi terhadap organisme gram

27

negatif.

Seperti

Pseudomonas,

diantisipasi

dengan

cephalosporin parenteral ceftazidime atau cefepime.


-

Aminoglikosida tidak menembus baik ke dalam SSP dan relatif


kurang aktif karena kondisi anaerob dan kandungan asam dari
abses.

-lactamase resisten penicillin (seperti oxacillin, methicillin,


nafcillin) mengandung cara kerja bagus melawan methicillinsensitif Staphylococcus aureus. Bagaimanapun, penetrasinya ke
SSP kurang dibanding penicillin, dan penambahan rifampin
bermanfaat pada meningitis staphylococcus.

Vankomisin

paling

efektif

melawan

methicillin-resisten

Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis seperti


halnya Streptococcus aerob dan anaerob serta Clostridium spp.
-

Dengan pengecualian Bacteriodes fragilis dan beberapa strain


Prevotella, Porphyromonas, dan Fusobacterium, kebanyakan
dari patogen anaerob terisolasi sensitif terhadap penicillin.
Karena penicillin-resisten organisme anaerob mendominasi
dalam abses otak, terapi empiris seharusnya mengandung
bahan yang efektif dan juga dapat menembus sawar darah-otak,
meliputi metronidazole, chloramphenicol, ticarcillin dan asam
clavulanic, imipenem, atau meropenem.

Penggunaan carbapenems dan -lactamase secara umum harus


hati-hati karena dosis tinggi dapat menyebabkan aktivitas kejang.
Resiko kejang pada pasien dengan abses otak meninggi pada

28

penggunaan imipenem. Walaupun fluroquinolones mempunyai


daya tembus yang baik ke dalam SSP, penggunannya dibatasi
dalam penanganan abses otak.
-

Terapi dengan penicillin harus ditambahkan metronidazole untuk


menutupi Streptococcus aerob dan mikroaerofili.

-laktamase

resisten

penicillin

atau

vankomisin

untuk

penanganan Staphylococcus aureus umumnya digunakan.


-

Amfotericin B digunakan untuk infeksi Candida, Sryptococcus


dan mucorales, voriconazole untuk infeksi Aspergillus dan P
boydii.

b. Pembedahan
Pasien dengan abses otak mungkin dapat baik tanpa
pembedahan, tetapi kebanyakan pasien membutuhkan pembedahan
disamping pemberian antibiotik yang tepat untuk penanganan
definitif.

Hal

menyangkut

tersebut
penilaian

sangat

perlu,

keseluruhan

karena

pasien

bagaimanapun

abses

otak

pada

perencanaan penanganan awal, tidak hanya untuk penegakan


diganosis, tetapi juga selama penanganan medis, kondisi pasien
mungkin memburuk dengan cepat dan membutuhkan penanganan
bedah segera.
Pembedahan dengan drainase merupakan terapi yang
paling optimal, dengan teknik aspirasi yang merupakan prosedur
paling umum dan sering dilakukan dengan bantuan CT scan atau
MRI. Drainage ventrikular dikombinasikan dengan antimikroba dan

29

atau intrathecal digunakan untuk mengatasi abses otak yang ruptur


sampai ke ventrikel.
Walaupun pemilihan antimikroba yang sesuai paling penting
dalam

menangani

infeksi

intrakranial,

pembedahan

drainage

mungkin diperlukan. Pasien tanpa indikasi pengobatan diperlukan


pembedahan, yang mungkin dilakukan dengan asprasi stereotaktik
dan eksisi. Pada kasus abses multipel atau abses pada area penting
otak, aspirasi berulang diperlukan untuk melengkapi eksisi. Antibiotik
dosis tinggi untuk satu periode mungkin menjadi alternatif. Resiko
aspirasi berulang dapat menyebabkan perdarahan. Terapi optimal
dari abses oleh jamur umumnya memerlukan pendekatan medis dan
bedah.
Pembedahan darurat harus dilakukan jika terdapat abses
tunggal. Abses dengan ukuran lebih dari 2,5 cm dieksisi atau
aspirasi, sedang yang lebih kecil dari 2,5 cm diaspirasi dengan
tujuan

diagnosis.

Penundaan

pembedahan

drainage

dapat

meningkatkan angka kematian. Studi terbaru menggambarkan abses


otak pada fase awal dari cerebritis mungkin berespon terhadap terapi
antimikroba tanpa pembedahan. Pembedahan drainage mungkin
diperlukan pada banyak pasien untuk menjamin terapi adekuat dan
lengkap dari infeksi (Itzhak et al, 2013).
2.2.10.

Komplikasi
Kejang dan gejala neurologis lainnya, seperti kelumpuhan

atau masalah berbocara, bervariasi tergantung pada lokasi abses dan


efektivitas pengobatan. Pembengkakan otak (edema) yang terkait
dengan abses atau perdarahan (hemorrhage) pada abses dapat
meningkatkan tekanan di dalam tengkorak, mendorong cerebrum ke
bawah ke dalam ruang yang biasanya ditempati oleh otak bawah

30

(batang otak). Proses ini disebut uncal atau tonsil herniasi, dan sering
menyebabkan koma dan kematian. Jika individu tetap sadar (koma)
untuk jangka waktu lama, dapat terjadi kerusakan kulit, luka tekanan,
dan hilangnya mobilitas sendi (kontraktur). Pecahnya abses ke dalam
ruang berisi cairan di dalam otak (ventrikel) biasanya berakibat fatal.
Individu dengan penyakit yang mendasari dan / atau sistem kekebalan
tubuh, seperti diabetes, AIDS, atau kanker, mungkin kurang
kemungkinan untuk sembuh dari abses otak (MD guidline, 2012).
2.2.11.

Prognosis
Angka kematian yang dihubungkan dengan abses otak

secara signifikan berkurang, dengan perkiraan 5-10% didahului CTScan atau MRI dan antibiotic yang tepat, serta manajemen
pembedahan merupakan faktor yang berhubungan dengan tingginya
angka kematian, dan waktu yang mempengaruhi lesi, abses mutipel,
kesadaran koma dan minimnya fasilitas CT-Scan. Angka harapan
yang terjadi paling tidak 50% dari penderita, termasuk hemiparesis,
kejang, hidrosefalus, abnormalitas nervus kranialis dan masalahmasalah pembelajaran lainnya (Iryadi I, 2010).
Prognosis dari abses otak ini tergantung dari:
1) Cepatnya diagnosis ditegakkan
2) Derajat perubahan patologis
3) Soliter atau multipel
4) Penanganan yang adekuat.
Dengan alat-alat canggih dewasa ini AO pada stadium dini
dapat lebih cepat didiagnosis sehingga prognosis lebih baik.
Prognosis AO soliter lebih baik dan mu1tipel. Defisit fokal dapat
membaik, tetapi kejang dapat menetap pada 50% penderita.

31

Rekurensi terjadi pada 5-10%kasus terutama pada penderita yang


tidak mendapatkan terapi adekuat (Iryadi I, 2010 ; Osenbach RK et al,
2005).
2.3. Hubungan HBO terapi terhadap Abses Otak
Banyak penelitian yang secara empiris mendukung pemberian
terapi hiperbarik oksigen (HBOT) sebagai terapi konservatif pada
kasus abses cerebri disamping terapi definitifnya berupa drainage
abcess (Nathoo, 2011). Namun belum banyak penelitian yang
menghubungkan korelasi dan efek terapi pada HBOT terhadap
kasus abses cerebri baik di tingkat molekular maupun di
mekanisme yang lebih detail.
Abses cerebri mekanisme pembentukannya mirip dengan abses
cerebri pada organ maupun jaringan lain. Abses terbentuk karena
kegagalan

sistem

imun

dalam

tubuh

dalam

menghadapi

organisme patogen yang progresif. Sehingga abses sering di


jumpai pada pasien pasien yang menderita imunocompromised
seperti pada penderita HIV atau penderita penyakit kronis.
(Tzianabos, 2000).
Namun disini menunjukan bahwa terapi HBO mendapat jalur
untuk melakukan intervensi terhadap abses karena beberapa studi
menunjukan peran HBOT yang baik dan meningkatkan sistem
imun pada pasien yang memiliki immunocompromised (Cesca
2012).
Penelitian yang dilakukan pada beberapa sampel yang menderita
imunocompromised dan luka ulkus yang tidak kunjung sembuh
pada penderita post graft menunjukan potensi HBOT yang bisa
memberikan penyembuhan dan mencegah terjadinya inflamasi
Gravt versus Host Disease (GVHD) yang di mediasi oleh molekul
Human Leukocyte Antigen (HLA) dan MiHC. (Heyboer, 2013).
Selain itu pada penelitian yang dilakukan Cesca et al pada anak
anak yang notabene memiliki sistem imun yang lebih lemah dari
orang dewasa dan juga menderita penyakit kronis yang di rawat
pada departemen Hemato-Onkology juga memiliki prognosis baik.

32

dengan tingkat compliance yang mendekati 100 % HBOT


signifikan dapat membantu terapi penyembahan pada lesi lesi di
jaringan lunak dan kulit. (Cesca, 2012).
Selain banyak ditemui pada pasien immunocomrpomised, abcess
baik yang terdapat pada tak maupun jaringan dan organ lain
sering di timbulkan oleh bakteri anaerob dari pada organisme lain
seperti fungi, protozoa maupun bakteri aerob. meskipun banyak
penelitian

menunjukan

bahwa

abses

merupakan

infeksi

multipatogen namun disini bakteri anaerob secara empiris sering


menyebabkan terjadinya abses melalui jalur primer dan baru dikuti
oleh bakteri lain dan organisme organisme opportunis (Carlos,
2010).
Sehingga disini terapi oksigen hiperbarik (HBOT) dapat secara
tidak langsung menghambat terjadinya abses dengan selain
memperbaiki sistem imun juga dapat menurunkan patogenitas dari
pada bakteri anaerob dengan menghadirkan suasana lingkungan
jaringan dengan tekanan oksigen yang tinggi. pada kasus
necrotizing infection, peneliti menemukan dampak terapi signifikan
dari pemberian HbOT dalam menghambat pertumbuhan bakteri
anaaerob dalam membuat nekrosis dan absess pada jaringan
yang terinfeksi. (Nedrebo et al, 2012) banyak pula penelitian pada
efek terapi HBOT pada penderita diabetic ulcer. HBOT terbukti
juga dapat mencegah terjadinya nekrosis jaringan yang terinfeksi
pada

beberapa

mekanisme

dan

juga

dapat

menghambat

pertumbuhan bakteri bakteri anaerob (Chen, 2009).


Pada pembentukan abses terhadap 4 tahap yang dimana pada
tahap terakhir disebut juga tahap maturasi abses. abses matur
terjadi apabila sudah terjadi penebalan dinding kapsul dari abses
yang merupakan jaringan fibrosa yang sehingga mencegah
hubungan antara inti absess yang terkapsulasi dengan jaringan
disekitarnya. Hal ini membuat absess tersebut terkarantina dan sel
sel imun baik adadaptiv maupun humoral tidak bisa masuk ke
lokasi primer infeksi yang sudah terjadi abses sehingga abcess

33

tersebut

bersifat

stagnan

dan

terapi

definitifnya

adalah

mengeluarkan abcess tersebut atau biasa disebut drainage abses.


HBOT diteliti bisa menghambat pembentukan abses tersebut
dengan selain meningkatkan sistem imun, juga meningkatkan
vascular growth yang bisa mengganti jaringan pembuluh darah
yang rusak karena infeksi sehingga tumbuh pembuluh darah baru
yang memudahkan transportasi sel sel imun dan inflamasi untuk
menyerang patogen. dan juga disini HBOT dapat menghambat
proliferasi dari pertumbuhan jaringan fibrosa yang diinduksi oleh
molekul Fibrous Growth Factor (FGF) sehingga abses tidak cepat
terjadi (Sirin, 2011).
Pada level molekular, ada molekul yang menyebabkan bahwa
suatu infeksi cenderung terbentuk abcess dibanding infeksi lain.
hal ini terjadi karena terjadinya peningkatan aktivitas Sel T
regulator yang diinduksi oleh CTLA4Ig via jalur CD38 (Tzianabous
et al, 2000) disini peran HBOT yang bisa menghasilkan oksidan
tinggi berupa Reactive Oxygen Species (ROS) bisa menyebabkan
terganggunya di jalur tersebut meskipun bila peningkatan kadar
ROS yang cukup malah bisa menginduksi jalur tersebut. (Mu,
2011).
Sedangkan disisi lainnya apabila sudah terbentuk abses cerebri
yang menjadi fokus utama dari treatment adalah mencegah
terjadinya defisit neuroolgis dan kerusakan kerusakan jaringan
pada otak. terdapatnya abcess pada jaringan parenkim otak bisa
menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra kranial (TIK).
peningkatan TIK tersebut bisa mengurangi perfusi pada jaringan
otak. penurunan perfusi ini yang dikhawatirkan dapat menginduksi
terjadinya hipoksia dan menyebabkan cedera otak sekunder.
(Yogev, 2004).
Dengan oksigen inhalasi 100 % pada kekuatan 2.0 hingga 2.5 ATA
selama 60-120 menit terapi oksigen hiperbarik dipercaya bisa
meningkatkan tekanan oksigen dan mendelivery pada jaringan
jaringan dengan yang kekurangan oksigen. Hal ini tentunya dapat

34

mengatasi masalah hipoksia pada jaringan parenkim otak yang


terkena dampak adanya peningkatan TIK yang diakibatkan oleh
adanya abses cerebri. (Kumar et al, 2015). Selain itu pada
penelitian yang dilakukan pada neonatus terapi HBO dapat
mencegah terjadinya cedera otak karena hipoksia dan malah bisa
membantu meningkatkan fungsi sensorik motorik neuron pada
perkembangannya (Calvert et al 2002).
HBOT juga dapat meregenerasi dan melindungsi sel otak pasca
cedera selain mencegah terjadinya cedera karena hipoksia. HBOT
memiliki efek untuk meredakan reaksi inflamasi karena cedera
melalui jalur menurunkan kadar HMGB1 dan NF-KB dan juga
dapat mempromosi recovery dari fungsi neurologis pada area
yang terkena cedera tersebut. (Lin, 2015) diperkuat oleh penelitian
Lin et al yang lain yang mengatakan bahwa selain memiliki efek
untuk

menurunkan

reaksi

Inflamasi,

HBOT

juga

dapat

menimbulkan efek Angiogenesis dan Neurogenesis yang tentunya


hal ini baik tidak hanya pada kasus post cedera otak dan syaraf
spinal namun juga kasus kasus penyebab peningkatan tekanan
intrakranial seperti Tumor dan Abcess Cerebri (Lin et al , 2012).
Tidak hanya itu cedera otak yang biasanya dapat memberi
kesempatan untuk terjadinya infeksi sekunder seprti yang
disebabkan bakteri oportunistik maupun jamur juga bisa dicegah
dengan maintanance HBOT berulang. sperti racun yang dihasilkan
oleh jamur mycosis yaitu mycotoxin yang bisa menyebabkan
penyakit ADD bila terkena jaringan otak juga dapat diantisipasi
oleh Terapi HBO yang dibuktikan melalui tes Test Of Variable
Attention (TOVA) (Ezra, 2012).
Tanpa melalui mekanisme yang diketahui secara jelas, HBOT juga
secara empiris memberi efek terapi yang baik bila dikombinasikan
dengan terapi definitiv berupa drainage dan terapi ajuvan berupa
agen antimikrobial pada kasus abses cerebri. sehingga pada case
report, terapi hiperbarik diteliti sangat berpotensi dan baik sebagai
terapi ajuvan pada kasus abses cerebri. (Nakahara et al, 2014)

35

bahkan pada kasus abses cerebri yang tidak mendapat terapi


drainage dan hanya mendapat terapi hiperbarik oksigen juga
menunjukan prognosis yang lebih baik. (Bilic et al, 2013)
penelitian yang dilakukan pada senta Kruschel juga membukti
efek baik terapi HBO pada para penderita multiple abcess cerebri
pada anak. HBOT bisa mengurangi resiko infeksi, mengurangi
dosis antibiotik intravena dan durasi rawat inap pada kasus
tersebut. (Kurschel, 2005).
Terapi definitif pada kasus abses cerebri berupa drainage abcess
yang merupakan tindakan invasif juga diduga dapat menyebabkan
trauma post surgical pada otak. GCS pasca operasi juga lebih
baik, bisa mengontrol infeksi, bahkan pada bone graft yang
terinfeksi sekalipun dan juga dapat meredakan inflamasi. sehingga
terapi HBO juga dipercaya sebagai Cost-Effective adjuvant
therapies pada kasus kasus pasca pembedahan oleh bedah
syaraf. (Larsson et al, 2002)

BAB III
KERANGKA KONSEP

36

37

BAB IV
KESIMPULAN
1. Banyak studi ditemukan yang mendukung untuk penggunaan terapi
oksigen hiperbarik (HBOT) menjadi terapi adjuvan dalam kasus abses
cerebri . Terapi HBO dapat mencegah terbentuknya abses cerebri
dengan cara meningkatkan sistem imun dan juga menghambat
pertumbuhan patogen penyebab tersering terbentuknya abses yaitu
bakteri anaerob. selain itu di bidang molekular HBOT juga diteliti bisa
mengintervensi terbentuknya abses melalui mekanisme aktivitas Sel T
regulator dan menghambat salah satu tahap dari pembentukan abses
yaitu pembentukan kapsul fibrous.
2. Sedangkan bila sudah terjadi abses, Terapi HBO memiliki berbagai
keunggulan dengan kemampuannya untuk meningkatkan tekanan
oksigen jaringan dan fungsi reperfusi dengan cara mengadakan
angiogenesis, terapi HBO bisa mengurangi ancaman terjadi hipoksia
yang sering ditimbulkan karena terjadinya peningkatan tekanan intra
kranial yang pada kasus ini disebabkan adanya massa berupa abses
pada parenkim otak. Terapi HBO selain memiliki efek angiogenesis
juga memiliki neurogenesis yang bisa memperbaiki fungsi saraf pasca
cedera pada otak.
3. Secara empiris juga sudah banyak studi yang menunjukan potensi
terapi HBO terhadap kasus abses cerebri karena diteliti memiliki
dampak terapeutik yang baik apabila disandingkan dengan terapi
definitif dari abses cerebri yaitu drainase abses. Melalui mekanisme
yang tidak dijelaskan secara detail pula terdapat beberapa penelitian
efek terapi HBO pada kasus abses cerebri baik yang sudah diberi
terapi definitif maupun dalam hal pencegahan infeksi sekunder,
pencegahan cedera otak, dan juga memperbaiki fungsi syaraf akibat
cedera.

38

DAFTAR PUSTAKA
AL-Waili.

Noori.2006.Crhonic

Wound

Treatment

and

Hyperbaric Medicine Center.New York.


Sahni,T.2003. Hyperbaric Oxygen Therapy: Current trends and
application.New Delhi.
Thom, Stephen R .2011. Hyperbaric Oxygen its mecanism and
efficacy.Philadhelpia NIH.
Wijanarko.F, Turchan A. jurnal PDF. Brain Abscess With Congenital
Heart Disease. Pub med.2010 [ cited 2015 februari 5] Available from:
www.bedahsarafsolo.com/abses%20
Hakim Arsyad. Jurnal PDF.Abses Otak. Pub med.2005 [cited 2015
februari 5] Available from: www.repository.usu.ac.id/mkn-des2005%
Sudewi Raka,dkk, Infeksi Pada Sistem Saraf. Airlangga University
Press. Surabaya:2011.p 21-29
Thom, Stephen R. 2011. Hyperbaric Oxygen Its Mechanisms
and Efficacy. Plastic Reconstruction Surgery. 2011 Jan: 127(Suppl 1):
131S-141S
Braswell,

Cheryl.

2012.

Hyperbaric

Oxygen

Therapy.

Compendium: Continuing Education for Veterinarians.


Price, S.A. dan Wilson, Lorraine. 2006. PATOFISIOLOGI : Konsep
Klinis Proses - Proses Penyakit Edisi 6.Vol. II. Penerbit Buku Kedokteran
EGC: Jakarta
Persatuan Spesialis Bedah Saraf Indonesia. Bedah Infeksi Saluran
Saraf:

MODUL

ABSES

SEREBRI.

http://www.perspebsi.org/doc/info/regulation/26/ABSES_ SEREBRI.pdf
Mardjono, M dan Sidharta, P. 2008. Neurologi Klinis Dasar.
Cetakan ke-12. Jakarta: Dian Rakyat.

39

Markam, S. 2005. Ensefalitis dalam: Kapita Selekta Neurologi Ed.


2. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Sholeh, Naga.2012. Buku Panduan Lengkap Ilmu Penyakit
Dalam. DIVA Press, jogjakarta
Iryadi, I. 2010. Abses Otak. Diakses tanggal 15 April 2013.
http://iklasiryadi.com/ 2011/05/abses-otak-.html
Chang W-N, et all. 2002. Bacterial Brain Abscess: Microbioloical
features, emidemiological trends and therapeuetic outcomes. Oxford
Journals, Volume 95, Issue 8. Diakses tanggal 18 Apri 2013.
http://qjmed.oxfordjournals.org/content/ 95/8/501.full.
Saanin, syaiful, 2010 . Infeksi Bakterial Sistema Saraf Pusat. SMF
Bedah

Saraf

RSUP

Dr.

M.

Djamil

FK-UNAND

Padang.

http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/ Bakterial.html
Rahayu. 2002. Abses otak dan Penatalaksanaannya. Fakultas
kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang. Diakses tanggal 15 April
2013.

di

http://

ejournal.umm.ac.id/index.php/sainmed/article/view/1014/1127
Osenbach, R.K dan Haines, S.J. 2005. Infections in Neurological
Surgery. In Neurosurgery. Department of Neurological Surgery: University
of Washington Medical Center Harborview Medical Center Seattle, WA,
USA
Itzhak, Brook. MD, 2013. Brain Abscess Treatment & Management.
Diakses tanggal 15 April 2013. di
http://reference.medscape.com/article/212946-treatment
National Library of Medicine. Brain Abscess. National Institutes of
Health (NIH). Diakses tanggal 15 April 2013. di
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ ency/article/000783.htm
Gebre K Tseggay, MD. CNS ABSCESSES. Diakses tanggal 15
April

2013.

di

http://phdres.caregate.net/curriculum/ppt_files/CNS

%20abscess.ppt
MDguideline. 2012. Brain Abscess. Diakses tanggal 15 April 2013.
http://www.mdguidelines.com/brain-abscess/complications

40

Itzhak

Brook

et

al,

2015.Brain

AbcessTreatmment

and

Management. Medscape : http://reference.medscape.com/article/212946treatment


Wang Y et al, 2014. Hyperbaric Oxygen Therapy Applied Research
in Traumatic Brain Injury : From Mechanisms to Clinical Investigation.
Medical

Gas

Research.

Published

Online

2014

Dec

4 th

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4406166/
John WC et al, 2002. Hyperbaric Oxygenation Prevented Brain
Injury Induced by Hypoxia-Ischemia in a Neonatal Rat Model. Elsevier
Brain Research, Vol 951, Issue 1. Published online 2002 September 27 th :
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0006899302030949
M Ashiwi Kumar et al, 2015. Hyperbaric Oxygen Therapy-A Novel
Treatment Modality in Oral Submucous Fibrosis. Journal of Clinical and
Diagnostic Research, Vol 9, Issue 5: ZE01-ZE04. Published online 2015 :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4484182/
Richard B Mink et al, 1995. Hyperbaric Oxygen After Global
Cerebral Ischemia in Rabbits Reduces Brain Vascular Permeability and
Blood

Flow.

AHA

Journal

http://stroke.ahajournals.org/content/26/12/2307.long
Klaauts K et al, 2014. Repetitive Long Term Hyperbaric Oxygen
Treatment (HBOT) Administered After Experimental Traumatic Brain Injury
in

Rats

Induced

Significant

Remyelination

and

Recovery

of

Sensorimotor Function. PloS One, Vol 9, Issue 5. Published online 2014


May 21st : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4029808/
N Ezra et al, 2010. Improvement of Attention Span and Reaction
Time With Hyperbaric Oxygen Treatment in Patients With Toxic Injury due
to Mold Exposure. European Journal of Clinical Microbiology and
Infectiuous Disease, Vol 30, Issue 1, Page 1-6. Published online 2010 Oct
27th : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2998645/

41

Dai yin et al, 2003. Inhibition of Apoptosis by Hyperbaric Oxygen in


a Rat Focal Cerebral Ischemic Model. Journal of Cerebral Blood Flow and
Metabolism, Vol 23, issue 7:855-864.
Wenjun Yan et al, 2011. Autophagy Activation is Involved in
Neuroprotection Induced by Hyperbaric Oxygen Preconditioning Against
Focal Cerebral Ischemia in Rats. Elsevier Brain Research, Vol 1402 : 109121.

Published

online

2011

July

21 st

http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0006899311009838
Lin et al, 2012. Attenuating Inflamation but Stimulating both
Angiogenesis and Neurogenesis using Hyperbaric Oxygen in Rats With
Traumatic Brain Injury. Journal of Trauma and Acute Care Surgery, 72(3) :
650-659
Zhao Lin et al, 2015. Effects of Hyperbaric Oxygen on the Level of
plasma HMGB1/Nf-kB Level in Patients with Acute Spina Cord Injury.
Chinese Journal of Nautical Meidcine and Hyperbaric Medicine, Issue 4 :
255-258.
Keichii Nakahara et al, 2014. Drastic Therapy for Listerial Brain
Abcess Involving Combined Hyperbaric Oxygen Therapy and Antimicrobial
Agents. Journal of Clinical Neurology, 10(4) : 358-362.
Katsuhiro Tofuku et al, 2014. Percutaneous Drainage Combined
with Hyperbaric Oxygen Therapy for Pyogenic Spondylitis with Iliopsoas
Abscess. Asian Spine Journal, 8(3) : 253-259.
Emi Latham, 2014. Hyperbaric Oxygen Therapy. Medscape :
http://emedicine.medscape.com/article/1464149-overview#a9
Larsson A et al, 2002. Hyperbaric Oxygen Treatment of
Postoperative Neurosurgical Infections. Neurosurgery, 50(2) : 287-295
Senta K et al, 2006. Hyperbaric Oxygen Therapy for the Treatment
of Brain Abscess in Children. Childs Nervous System, 22(1) : 38-42.

42

Ivica Bilic et al, 2012. Hyperbaric Oxygen is Effective in Early Stage


of Healing of Experimental Brain Abscess in Rats. Neurological Research:
A journal of Progress in Neurosurgery, Neurology and Neurosciences,
34(10):931-936
Arthur OT et al, 2000. Bacterial Pathogens Induce Abscess
Formation by CD4+ T-Cell Activation via The CD28-B7-2 Costimuatory
Pathway. IAI Article, 68(12) : 6650-6655
Carlos M, 2010. Brain Abscess. Clevend Clinic. Published online
August

2010

http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/i
nfectious-disease/brain-abscess/
Torbjon N et al, 2012. Hyperbaric Oxygen Treatment in Three
Cases of Necrotizing Infection of neck. Infection Disease Report, 4(1) :e21
Chin-En Chen et al, 2010. Treatment of Diabetic Foot Infection with
Hyperbaric Oxygen Therapy. Elsevier Foot and Ankle Surgery, Vol 16,
Issue 2 : 91-95
Jun Mu et al,2011. Hyperbaric Oxygen Therapy Promotes
Neurogenesis:Where Do We Stand?. Medical Gas Research, 1 : 14.
Eleonora Cesca et al, 2012. Hyperbaric Oxygen Treatment of
Superficial Soft tissue Lession in Children with Oncologic Disease.
Pediatric Report, 4(1) : e1
Marvin Heyboer et al, 2014. The Use of Hyperbaric Oxygen
Therapy in the Treatment of Non-Healing Ulcers Secondary to Graftversus-host Disease. The Journal of The American College of Clinical
Wound Specialist, 5(1) : 14-18
Tatyana

MM

et

al,

2009.

Hyperbaric

Oxygen

Stimulates

Vasculogenic Stem Cell Growth and Differentiation in vivo. Journal of


Applied Physiology, 106(2) : 711-728

43

Yigit Sirin et al, 2011. The Influence of Hyperbaric Oxygen


Treatment on the Heaing of Experimental Defect Filled with Different Bone
Graft Substitutes. International Journal of Medical Sciences, 8(2) : 114-125

44

Anda mungkin juga menyukai