Anda di halaman 1dari 54

KESEHATAN PENYELAMAN DAN HIPERBARIK

“REVIEW JURNAL”

DOSEN PENGAMPU :
Nur Chabibah, S.Si., M.Si.

Disusun oleh :
DEWI ADELLA
1810026 / S1-3B

PROGAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH
SURABAYA
2020
JURNAL 1
Oksigen Hiperbarik: Terapi Percepatan Penyembuhan
Luka

Adityo Wibowo
Bagian Fisiologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung

Abstrak
Terapi oksigen hiperbarik adalah penggunaan 100% oksigen pada tekanan yang lebih besar dari tekanan
atmosfer. Terapi ini telah digunakan sebagai terapi tambahan untuk mempercepat penyembuhan luka.
Penyembuhan luka pada dasarnya memiliki tiga mekanisme, yaitu kontraksi, epitelialisasi, dan
pertumbuhan jaringan pengikat. Perawatan luka yang baik melibatkan kondisi pasien secara lokal
maupun sistemik terkait dengan penyembuhan luka sejak proses awal. Oksigen harus ada dalam jumlah
yang memadai agar merangsang perkembangan fibroblas dan produksi kolagen. [JuKe Unila 2015;
5(9):124-128]

Kata kunci: mekanisme kerja, penyembuhan luka, terapi oksigen hiperbarik

Hyperbaric Oxygen Therapy: Wound Healing


Acceleration Therapy
Abstract
Hyperbaric oxygen therapy (HBOT) is the use of 100% oxygen at pressures greater than atmospheric
pressure. HBOT has been successfully used as adjunctive therapy for enhancing the wound healing.
wound healing has three mechanisms, which are contraction, epithelialization, and connective tissue
deposition. Successful wound care involves patient local and systemic conditions in conjunction with an
ideal wound healing environment early in the repair of wounds. Oxygen must be present in sufficient
quantities In order to promote fibroblast proliferation and the production of collagen. [JuKe Unila 2015;
5(9):124-128]

Keywords: hyperbaric oxygen therapy, mechanism of action, wound healing

Korespondensi: dr. Adityo Wibowo, alamat alamat Jl. Soemantri Brodjonegoro No. 1, HP 085269410011,
e-mail doktertyowibowo87@gmail.com

Pendahuluan atmosfer. Pasien akan menghirup 100%


Penyembuhan luka menjadi oksigen secara bertahap bersamaan
subjek penelitian yang menarik bagi dengan peningkatan tekanan kamar
para ahli. Walaupun fisiologi dari terapi menjadi lebih dari 1 atmosfer
penyembuhan luka itu sendiri sudah absolut (ATA). Dasar dari terapi
banyak diketahui, masih ada beberapa hiperbarik sedikit banyak mengandung
perdebatan mengenai fase apa yang prinsip fisika. Teori Toricelli yang
paling menentukan mendasari terapi ini, digunakan untuk
keberhasilan menentukan tekanan udara 1 atm
penyembuhan luka. Dalam hal ini para adalah 760 mmHg. Dalam tekanan udara
ahli menemukan berbagai metode tersebut, komposisi unsur-unsur udara
untuk merangsang percepatan proses yang terkandung di dalamnya
penyembuhan luka yang salah satunya mengandung nitrogen (N2) 79% dan
dengan menggunakan metode oksigen oksigen (O2) 21%. Dalam
hiperbarik.1
Terapi oksigen hiperbarik adalah
penggunaan 100% oksigen pada
tekanan yang lebih tinggi dari tekanan
pernafasan kita pun demikian. Pada naik pesawat terbang, yakni terjadi
terapi hiperbarik, oksigen ruangan pelepasan dan mengembangnya
yang disediakan mengandung oksigen gelembung gas dalam organ. Jika kita
100%. Terapi hiperbarik juga kembali ke tekanan awal, maka akan
berdasarkan teori fisika dasar dari terjadi perubahan tekanan yang dapat
hukum- hukum Dalton, Boyle, Charles, menganggu fungsi beberapa organ
dan Henry.1 tubuh/penyakit dekompresi.
Terapi oksigen hiperbarik Pemakaian oksigen hiperbarik juga
pertama kali digunakan oleh Behnke dikembangkan sebagai komplemen
pada tahun 1930 untuk menghilangkan terhadap efek radiasi pada perawatan
simptom penyakit dekompresi kanker oleh Churchill Davidson pada
(Caisson’s disease) setelah menyelam. tahun 1950, selain sebagai perawatan
Penyakit dekompresi adalah penyakit penunjang selama pembedahan
yang terjadi karena perubahan jantung, perawatan gas gangren
tekanan, misalnya saat menyelam atau klostridial, dan perawatan terhadap
keracunan karbon monoksida.1,2
Oksigen hiperbarik mulai dikenal diberikan selama 2 atau
untuk menunjang penyembuhan luka 3 ATA, menghasilkan 6 ml oksigen
pada tahun 1965 pada korban luka terlarut dalam 100ml plasma, dan durasi
akibat ledakan pada tambang minyak rata-rata terapi sekitar 60-90 menit.
dengan keracunan karbon monoksida.1,2 Jumlah terapi bergantung dari jenis
penyakit. Untuk yang akut sekitar 3-5
Isi kali dan untuk kasus kronik bisa
Terapi oksigen hiperbarik mencapai 50-60 kali. Dosis yang
dilakukan pada suatu ruang hiperbarik digunakan pada perawatan tidak boleh
(hyperbaric chambers) yang dibedakan lebih dari 3 ATA karenatidak aman
menjadi 2, yaitu multiplace dan untuk pasien selain berkaitan
monoplace. Multiplace dapat digunakan dengan lamanya perawatan yang
untuk beberapa penderita pada waktu dibutuhkan, juga dikatakan bahwa
yang bersamaan dengan bantuan tekanan di atas 2,5 ATA mempunyai
masker tiap pasiennya, sedangkan pada efek imunosupresif.1-3 Prinsip
monoplace digunakan untuk kerjanya diawali
pengobatan satu orang pasien saja. dengan pemberian oksigen 100%
Pasien dalam suatu ruangan menghisap tekanan 2-3 atm. Tahap selanjutnya
oksigen tekanan tinggi (100%) atau dilanjutkan dengan pengobatan
pada tekanan barometer tinggi decompression sickness. Kondisi ini akan
(hyperbaric chamber). Kondisi kamar memicu meningkatnya fibroblas dan
terapi harus memiliki tekanan udara angiogenesis yang
yang lebih besar dibandingkan dengan menyebabkan neovaskularisasi
tekanan di dalam jaringan tubuh (1 jaringan luka, sintesis kolagen, dan
ATA). Keadaan ini dapat dialami oleh peningkatan efek fagositik
seseorang pada waktu menyelam atau leukosit. Kemudian akan terjadi
di dalam ruang udara yang bertekanan peningkatan dan perbaikan
tinggi yang dirancang baik untuk kasus aliran darah mikrovaskular. Densitas
penyelaman maupun pengobatan kapiler meningkat sehingga daerah
penyakit klinis. Tekanan atmosfer pada yang mengalami iskemia akan
permukaan air laut sebesar 1 atm. mengalami reperfusi. Sebagai respon,
Setiap penurunan kedalaman 33 kaki, akan terjadi peningkatan nitrit oksida
tekanan akan naik 1 atm. Tiap terapi (NO) hingga 4-5 kali dengan diiringi
pemberian oksigen hiperbarik 2-3 ATA hiperoksia. Dengan pemaparan oksigen
selama tekanan tinggi, terjadi peningkatan IFN-
2 jam. Pada sel endotel ini, oksigen γ, i-NOS dan VEGF. IFN- γ menyebabkan
juga meningkatkan intermediet TH-1 meningkat yang berpengaruh
vascular endothelial growth factor pada sel β sehingga terjadi
(VEGF). Melalui siklus Krebs akan pengingkatan Ig-G. Dengan
terjadi peningkatan nikotinamid meningkatnya Ig-G, efek fagositosis
adenin dinukleotida hidrogen (NADH) leukosit juga akan meningkat. Oksigen
yang memicu peningkatan fibroblas. hiperbarik
Fibroblas diperlukan untuk sintesis meningkatkan
proteoglikan dan bersama dengan pembentukan radikal bebas oksigen,
VEGF akan memacu sintesis kolagen kemudian mengoksidasi protein dan
pada proses remodelling, salah satu lipid membran bakteri, menghancurkan
tahapan dalam penyembuhan luka. DNA, dan menghambat fungsi
Oksigen penting dalam hidroksilasi lisin metabolik bakteri. Enzim superoksid
dan prolin selama proses sintesis dismutase, katalase, glutation, dan
kolagen dan untuk penyatuan dan glutation reduktase
pematangan kolagen. Kekurangan menyebabkan
oksigen dalam jumlah yang signifikan penghambatan pembentukan radikal
akan menyebabkan gangguan sintesis bebas oksigen sampai nantinya kadar
kolagen.1,3-5 oksigen melebihi kadar konsentrasi
Pada bagian luka juga terdapat enzim-enzim tersebut. Sehingga pada
bagian tubuh yang mengalami edema akhirnya, oksigen akan mengaktifkan
dan infeksi. Di bagian edema ini peroksidase yang akan menghancurkan
terdapat radikal bebas dalam jumlah bakteri.1-3,5
yang besar. Daerah edema ini Penggunaan oksigen hiperbarik
mengalami kondisi hipooksigenasi ini memiliki keunggulan dan kelemahan
karena hipoperfusi. yang telah diteliti sebelumnya. Sebagai
Peningkatan indikasi terapi oksigen, antara lain
fibroblas sebagaimana emboli gas, sindrom dekompresi,
telah disinggung sebelumnya akan keracunan karbon monoksida dan asap,
mendorong terjadinya vasodilatasi insufisiensi arteri, terapi pencangkokan
pada daerah edema tersebut. Jadilah kulit, penyakit iskemia akibat trauma,
kondisi daerah luka tersebut menjadi abses intrakranial, nekrosis jaringan
hipervaskular, hiperseluler, dan lunak akibat
infeksi, kerusakan jaringan karena Penggunaan oksigen hiperbarik
radiasi, dan luka bakar.1 dalam terapi, antara lain luka akibat
Kontraindikasi yang muncul pada insufisiensi vaskuler, luka akibat trauma,
terapi oksigenasi hiperbarik adalah luka akibat radiasi, dan luka bakar. Luka
pada kasus asma, penyakit paru akibat insufisiensi vaskuler
obstruksi kronis (PPOK), klaustrofobia, bermanifestasi pada luka yang sulit
penggunaan kemoterapi pada sembuh, contohnya pada ulkus diabetes
keganasan paru, kehamilan, demam melitus. Secara khusus, penyakit ini
tinggi, kejang, infeksi saluran terjadi karena hipoksia organ yang
pernafasan, dan gangguan tuba menyebabkan nekrosis jaringan yang
eustachius. Tetapi tentunya jika masif. Mekanisme kerja terapi oksigen
kontraindikasi ini bisa ditatalaksana hiperbarik pada kasus ini adalah dengan
terlebih dahulu, maka terapi oksigenasi merangsang angiogenesis melalui
sudah bisa dilakukan.5 mekanisme multifaktorial.1,3,6
Mekanisme utamanya adalah aktivasi neutrofil, mencegah timbulnya
dengan proliferasi fibroblas dan sintesis bekas luka, serta mencegah timbulnya
kolagen untuk angiogenesis. Efek radikal bebas yang mengganggu perfusi
berikutnya adalah sebagai antimikroba luka. Penanganan dengan
baik secara langsung maupun secara menggunakan oksigen hiperbarik juga
tidak langsung. Luka yang sulit menutup harus disertai dengan penanganan awal
termasuk diantaranya ulkus kaki berdasarkan kegawatdaruratan. Dokter
diabetes, ulkus karena insufisiensi arteri juga penting untuk melakukan
dan vena, utamanya pada daerah manajemen syok dan intervensi bedah
ekstremitas bawah. Pada kasus ini, baik untuk jaringan lunak maupun
terapi oksigen hiperbarik akan tulang. Setelah pasien stabil, ada
menstimulasi faktor pertumbuhan baiknya untuk segera melakukan terapi
seperti VEGF untuk merangsang oksigenasi secepat mungkin untuk
neovaskularisasi pada daerah yang mencegah nekrosis iskemia yang luas,
nekrosis atau tertutup edema.2,3,6 memperkecil kemungkinan untuk
Terapi oksigen hiperbarik amputasi, menghilangkan edema, dan
digunakan bersamaan dengan memperbaiki perfusi jaringan.4,7
debridemen luka, penutupan luka, dan Fraktur terbuka yang telah
kontrol kadar gula darah, serta diklasifikasikan oleh Gustilo, dijadikan
pemberian antibiotik secara tepat sebagai acuan penilaian objektif untuk
sasaran. Pada pasien yang sedang menentukan apakah suatu fraktur
mendapat terapi dapat dikontrol dengan luka terbuka dapat diterapi
dengan menggunakan alat dengan oksigen hiperbarik atau tidak.
transkutaneus oksimetri untuk Pada kasus dengan pasien yang dalam
pemantauan kadar oksigen dalam keadaan baik, terapi bisa dikerjakan
darah dan jaringan.1-4,7 pada kasus dengan derajat II, namun
Sedangkan pada luka akibat untuk kasus yang berisiko, maka lebih
trauma kasus yang sering ditemukan baik jika dilakukan pada keadaan
pada luka trauma adalah trauma akibat fraktur derajat IIIB dan IIIC. Terapi
kecelakaan dan sindroma oksigen bisa dilakukan secepatnya
kompartemen. Penggunaan oksigen ketika pasien sudah dalam keadaan
hiperbarik dapat membantu dalam yang stabil, idealnya 4-6 jam sejak
terapi trauma jenis ini dengan empat terjadinya trauma. Terapi dapat dimulai
mekanisme, yaitu hiperoksigenasi, dengan dosis 2-2,5 ATA selama 60-90
vasokonstriksi, memperbaiki perfusi, menit. Selama 2-3 hari berikutnya,
dan menyembuhkan pasien. Oksigen terapi dilakukan 3 kali per hari,
hiperbarik diketahui juga dapat kemudian diturunkan menjadi dua kali
menurunkan sehari untuk 3 hari berikutnya, dan
sekali per hari untuk 3 hari terakhir.
Penelitian di Inggris menyatakan bahwa
terapi dengan oksigen hiperbarik dapat
mencegah cedera lebih lanjut akibat
trauma dan menurunkan jumlah
pembedahan yang harus dijalani jika
dibandingkan dengan jenis cedera yang
sama tanpa dibarengi dengan terapi
oksigenasi. 4,7-10
Kasus ke tiga sebagai efek dari
cedera akibat radiasi akan terjadi
keterbatasan fungsi fisiologi dan yang terkena radiasi. Meningkatkan
anatomi jaringan normal. Karakteristik kadar oksigen pada jaringan sekitar luka
luka yang muncul kebanyakan akan membantu menaikkan gradien
hiposeluler, hipovaskuler, dan hipoksia oksigen pada luka dan daerah lain yang
akibat endateritis oklusif. Oksigen mengalami hipoksia, sehingga oksigen
hiperbarik merangsang angiogenesis tersebut dapat menjadi katalisator
dan hiperoksigenasi pada jaringan untuk angiogenesis.1,2,6
Terapi oksigen hiperbarik pernah disembuhkan jika luka bakarnya masih
digunakan pada kasus luka akibat luka derajat dua atau tiga dengan luas luka
kronis dengan cangkokan kulit yang bakar 20-80%. Tentunya hal ini juga
tidak sempurna terbentuk, hal ini harus dilakukan bersamaan dengan
terjadi akibat radioterapi pada kasus stabilisasi tanda vital pasien termasuk
rekonstruksi mandibula. Kasus nekrosis juga terapi cairan yang adekuat dengan
tulang rahang, tulang pelvis, dan tulang pemantauan ketat untuk mencegah
belakang juga dapat kembali pulih overload cairan di paru-paru. Terapi
dengan baik pada sekitar 50-60 kali yang disarankan adalah sekitar 6 jam
terapi. Jumlah terapi sebanyak itu setelah terjadinya luka bakar,
dibutuhkan untuk meningkatkan dilanjutkan dengan terapi sebanyak dua
kepadatan kapiler pada daerah sasaran sesi dalam sehari dengan tekanan yang
terapi. Terapi oksigen hiperbarik juga digunakan adalah 2,0 ATA untuk 4-5 hari
disarankan sebagai pencegahan pertama.8
komplikasi pada pasien yang akan
dilakukan ekstraksi gigi dan sedang Ringkasan
mendapat terapi radiasi.1,2,4 Terapi oksigen hiperbarik adalah
Penggunaan terakhir yang jamak terapi yang dilakukan pada suatu ruang
dilakukan pada terapi oksigen hiperbarik (hyperbaric chambers)
hiperbarik adalah pada luka bakar. Hal dengan penggunaan 100% oksigen pada
ini tentunya berkaitan dengan tekanan yang lebih tinggi dari tekanan
mekanisme kerja yaitu merangsang atmosfer. Kondisi ini akan memicu
terjadinya vasokonstriksi prekapiler.
Terjadinya vasokonstriksi prekapiler
akan menurunkan jumlah eksudasi
plasma sehingga dapat menjaga
jaringan sehat dan memperbanyak
oksigenasi jaringan. Penurunan tingkat
edema dan kehilangan cairan ke
jaringan akan mengurangi jumlah
resusitasi cairan.1,4,8
Luka bakar biasanya memiliki
bagian tengah yang berkoagulasi
dengan sekelilingnya terdapat zona
stasis dan hiperemis. Terapi oksigen
dapat menurunkan stasis kapiler dan
memperkecil zona koagulasi.
Keuntungan terapi ini adalah dapat
menghilangkan sumbatan
mikrosirkulasi dan mencegah kerusakan
akibat radikal bebas.1,2,9
Banyak kasus yang berhasil
meningkatnya fibroblas dan kemampuan fagositik leukosit.
angiogenesis yang menyebabkan
neovaskularisasi jaringan luka, sintesis Daftar Pustaka
kolagen, dan peningkatan efek 1. Sourabh B, Guruswamy V.
fagositik leukosit. Kemudian akan Hyperbaric oxygen and wound
terjadi peningkatan dan perbaikan healing. Indian J Plast Surg. 2012;
aliran darah mikrovaskular. Indikasi 45(2): 316-24.
terapi oksigen hiperbarik, antara lain 2. Ali S, Maryam K, Matineh Heidari.
emboli gas, sindrom dekompresi, Diseases treated with hyperbaric
keracunan karbon monoksida dan oxygen therapy; a literature
asap, insufisiensi arteri, terapi review. Med Hyp Discov Innov
pencangkokan kulit, penyakit iskemia Interdisciplinary. 2014; 1(2).
akibat trauma, abses intrakranial, 3. Benjamin AL, Anthony RB.
nekrosis jaringan lunak akibat infeksi, Hyperbaric oxygen therapy for
kerusakan jaringan karena radiasi, dan diabetic foot wounds. Diabetes
luka bakar. Sedangkan Care. 2010; 33 (5): 1143-5.
kontraindikasinya antara lain asma, 4. Paul GH, Susan RA, Edward FF,
penyakit paru obstruksi kronis (PPOK), Daniel A, John CP, Juliette L, et al.
klaustrofobia, penggunaan kemoterapi A phase I study of low-pressure
pada keganasan paru, kehamilan, hyperbaric oxygen therapy for
demam tinggi, kejang, infeksi saluran blast-induced post-concussion
pernafasan, dan gangguan tuba syndrome and post-traumatic
eustachius. stress disorder. Journal of
Neurotrauma. 2012; 29:168-85.
Simpulan 5. Schreml S, Szeimies RM, Prantl L,
Terapi oksigen hiperbarik Karrer S, Landthaler M, Babilas P.
diketahui telah banyak bermanfaat Oxygen in acute and chronic wound
dalam percepatan penyembuhan luka healing. British Journal of
dan telah diteliti pada berbagai kasus Dermatology. 2010; 163(2):257-68.
penyakit. Peran oksigen hiperbarik 6. Figen A, Ahmet K, Levent K, Mert K,
pada penyembuhan luka adalah Ahmet I, Hasan K, et al. IGF-1
perbaikan perfusi jaringan, increases with hyperbaric oxygen
peningkatan replikasi fibroblas dan therapy and promotes
produksi kolagen, dan meningkatkan

wound healing in diabetic foot ulcers. Journal of Diabetes Research. 2013; 26(2013):1-6.
7. Kemal S, Sukru O, Hakan A. Hyperbaric oxygen therapy and its mechanisms of
action: implication of several molecular processes along with reactive species. J of
Experimental and Integrative Medicine. 2011; 1(4):205-6.
8. Tripathi KK, Moorthy A, Ranjan CK, Rao G, Ghosh PC. Effect of hyperbaric oxygen
on bone healing after enucleation of mandibular cysts: a modified case control
studies. Diving Hyperb Med. 2011; 41(4):195-201.
9. Villanueva E, Bennett MH, Wasiak J, Lehm JP. Hyperbaric oxygen therapy for
thermal burns. Oxford: The Cochrane Library; 2006.
10. Tales RN, Rosemary FD, Mariane NN, José JR, Omar F. Hyperbaric oxygen therapy
for primary sternal osteomyelitis: a case report. J of Med Case Reports. 2013;
7:167.
Review Jurnal 1 :

No Judul Jurnal Pengarang Metode penelitian Sampel/responden Hasil penelitian Analisa


1 oksigen Adityo metode oksigen melibatkan kondisi Penggunaan oksigen Terapi oksigen hiperbarik
hiperbarik: Wibowo hiperbarik. diketahui telah banyak
pasien secara lokal hiperbarik dalam terapi, bermanfaat dalam
terapi
percepatan maupun sistemik antara lain luka akibat percepatan
penyembuhan luka dan
penyembuhan
terkait dengan insufisiensi vaskuler, luka telah diteliti pada
luka berbagai kasus penyakit.
penyembuhan luka akibat trauma, luka Peran oksigen hiperbarik
sejak proses awal akibat radiasi, dan luka pada penyembuhan luka
adalah perbaikan perfusi
bakar. Luka akibat jaringan, peningkatan
replikasi fibroblas dan
insufisiensi vaskuler
produksi kolagen, dan
bermanifestasi pada luka meningkatkan
kemampuan fagositik
yang sulit sembuh, leukosit.
contohnya pada ulkus
diabetes melitus. Secara
khusus, penyakit ini
terjadi karena hipoksia
organ yang menyebabkan
nekrosis jaringan yang
masif.
JURNAL 2
DOI: http://dx.doi.org/10.33846/sf10305
Persepsi Risiko Keselamatan dan Kesehatan Menyelam pada Penyelam Tradisional dengan Kelumpuhan di Provinsi Maluku: Studi Kualitatif

La Rakhmat Wabula
Fakultas Keperawatan, Universitas Airlangga; la.rakhmat.wabula-2017@fkp.unair.ac.id (koresponden)
Kusnanto
Fakultas Keperawatan, Universitas Airlangga
Bambang Purwanto
Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga

ABSTRACT

Background: One of the diverse communities was found in Maluku Province. Traditional diver diving expertise is obtained from generation to generation. Traditional divers
have not received formal education and training related to diving. The safety and health aspects of the driving method and the tools used are not according to the standard. The
risk of injury and illness due to non-standard diving has increased even higher, although to date the health aspects of traditional divers in Maluku Province have never been
explored. Objective: This study aims to explore the perceptions of the risk of diving safety and health behavior in traditional divers who experience paralysis in Maluku Province.
Method: The study used qualitative with a case study approach. The subjects of this study were traditional diver fishermen in Ambon City, West Seram District, and Buru
Province District with ten participants. The research phase in the form of an interview will begin on January 15 - February 15, 2019. Data analysis uses thematic theory driven.
Results: Identification found two main themes:
1) Vulnerability; and 2) Severity. Conclusion: Traditional diver's perceptions of safety and health while diving can form self-efficacy so as to reduce morbidity and mortality from
diving.
Keyword: perception; safety and health behavior; and traditional divers

ABSTRAK
Latar belakang: Salah satu komunitas penyelam ditemukan di Provinsi Maluku. Keahlian menyelam penyelam tradisional diperoleh secara turun
temurun. Penyelam tradisional belum memperoleh pendidikan dan pelatihan formal terkait penyelaman. Aspek keselamatan dan kesehatan dari metode
menyelam dan alat yang digunakan belum sesuai standar. Risiko cidera dan penyakit akibat penyelaman yang tidak standar meningkat lebih tinggi,
meskipun sampai saat ini aspek kesehatan penyelam tradisional di Provinsi Maluku belum pernah di ekplorasi. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk
mengeksplorasi tentang persepsi risiko perilaku keselamatan dan kesehatan menyelam pada penyelam tradisional yang mengalami kelumpuhan di
Provinsi Maluku. Metode: Penelitian menggunakan kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Subjek dari penelitian ini adalah nelayan penyelam
tradisional yang berada di Kota Ambon, Kabupaten Seram Bagian Barat, dan Kabupaten Buru Provinsi sejumlah sepuluh partisipan. Tahap penelitian
berupa wawancara akan dimulai pada 15 Januari – 15 Februari 2019. Analisis data mengunakan tematik theory driven. Hasil: Identifikasi menemukan dua
tema utama: 1) Kerentanan; dan 2) Keparahan. Kesimpulan: Persepsi penyelam tradisional tentang keselamatan dan kesehatan saat menyelam dapat
membentuk efikasi diri sehingga dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat menyelam.
Kata kunci: persepsi; perilaku keselamatan dan kesehatan; dan penyelam tradisional

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Indonesia adalah negara kepulauan yang hampir 70% wilayahnya terdiri dari laut. Kondisi geografis seperti ini sebagian besar penduduk pesisir
mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan. Penyelam tradisional tersebar di wilayah Indonesia terutama di daerah pesisir dan kepulauan, tetapi
sampai sekarang belum ada data yang akurat menyangkut keberadaan penyelam tradisional tersebut(1).
Salah satu komunitas penyelam ditemukan di Provinsi Maluku. Keahlian menyelam penyelam tradisional diperoleh secara turun temurun.
Penyelam tradisional belum memperoleh pendidikan dan pelatihan formal terkait penyelaman. Aspek keselamatan dan kesehatan dari metode
menyelam dan alat yang digunakan belum sesuai standard (2). Risiko cidera dan penyakit akibat penyelaman yang tidak standar meningkat lebih tingi,
meskipun sampai saat ini aspek kesehatan penyelam tradisional di Provinsi Maluku belum pernah di ekplorasi.
Berdasarkan data dari Direktorat Kenelayanan Provinsi Maluku pada tahun 2017, jumlah nelayan secara keseluruhan ada 5.931 orang yang terbagi
dalam dua kelompok yaitu nelayan biasa sebanyak 4.237 orang (71%)
dan penyelam tradisional sebanyak 1.694 orang (29%), yaitu penyelam yang dalam melakukan pekerjaan penyelaman secara turun temurun atau
mengikuti yang lain dan tanpa bekal penguasaan ilmu dan teknologi yang cukup serta sarana dan prasarana yang tidak memadai. Beberapa kegiatan yang
dilakukan oleh penyelam tradisional, antara lain: penangkapan ikan, lobster, teripang, abalone, dan mutiara. Kegiatan tersebut dilakukan dengan
melakukan penyelaman sampai dengan beberapa puluh meter di bawah laut, karena lobster, teripang, abalone dan mutiara banyak terdapat di dasar
laut. Penyelaman ini banyak dilakukan oleh penyelam tradisional karena ikan jenis tertentu, lobster, teripang, dan mutiara mempunyai nilai ekonomis
yang cukup tinggi(3). Penyelaman pada kedalaman lebih dari 20 meter mempunyai risiko yang cukup besar terhadap keselamatan dan kesehatan
penyelam(4). Oleh karena itu penyelaman harus dilakukan dengan syarat tertentu dan menggunakan alat selam yang memenuhi standar (SCUBA).
Penyelam pencari hasil laut di beberapa wilayah Provinsi Maluku masih menggunakan kompresor (penyelam tradisional) sebagai alternatif pengganti alat
selam SCUBA(2).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Maluku tahun 2017, jumlah penderita dan kematian akibat penyakit penyelaman di
Provinsi Maluku selama 4 tahun terakhir mengalami peningkatan terutama penyakit kelumpuhan, sebagaimana tabel 1.1 berikut:

Tabel 1. Penyakit dan kematian akibat pekerjaan penyelaman di Provinsi Maluku tahun 2014-2017

Penyakit 2014 2015 2016 2017


S M S M S M S M
Barotrauma 183 0 211 0 215 0 221 0
Kelumpuhan 17 6 21 2 26 4 27 7
Gigitan binatang laut 8 0 13 0 16 0 21 0
Sumber: Profil Dinas Kesehatan Provinsi Maluku (2017)

Tabel 1 menunjukkan bahwa tingginya penderita dan kematian akibat penyakit penyelaman kemungkinan disebabkan karena ketidakpatuhan
penyelam terhadap standar keselamatan dan kesehatan penyelaman, antara lain: a) menyusun rencana penyelaman; b) memeriksa perlengkapan selam;
c) memeriksa dan memastikan keamanan lokasi penyelaman; d) melaksanakan penyelaman sesuai rencana; dan e) memperhatikan interval waktu antara
penyelaman awal dan berikutnya. Selain itu, belum pernah ada pelatihan keterampilan mengenai prosedur penyelaman dan kesehatan penyelaman bagi
masyarakat Provinsi Maluku serta penyelam memperoleh pengetahuan menyelam secara turun temurun dan berdasarkan pengalaman saja. Terkait
dengan data kepatuhan nelayan dalam penggunaan alat selam yang sesuai dengan standar keselamatan dan kesehatan penyelaman tidak dapat
ditemukan oleh peneliti.
Pekerjaan penyelaman mempunyai tingkat risiko bahaya yang sangat tinggi, peningkatan produktivitas kerja mengacu pada standar penyelaman
yang baik dan aman, pengetahuan penyelam tradisonal tentang risiko bahaya yang terjadi di lingkungan bertekanan tinggi meningkatkan ketaatan
terhadap standar keselamatan kerja dalam penyelaman (5). Kecerobohan dalam mentaati peraturan keselamatan kerja dapat berakibat fatal berupa
kecacatan menetap seumur hidupnya. Sementara itu para penyelam tradisional memperoleh keahlian menyelam hanya secara turun temurun tanpa
bekal ilmu kesehatan dan keselamatan penyelaman yang memadai (6).
Melalui wawancara awal yang dilakukan peneliti pada beberapa penyelam tradisional yang mengalami kelumpuhan dan ketulian grade 1
menyatakan beberapa hal yang membuat mereka alami. Beberapa dari mereka menyampaikan bahwa kelumpuhan dan ketulian yang dialami mereka
adalah akibat dari tidak memperhatikan prosedur penyelaman yang baik disertai peralatan menyelam yang memadai.

“yaa, saya sudah 2 tahun mengalami kelumpuhan. Saya sebagai penyelam sejak saya SMA. Saya biasa menyelam menggunakan compressor, dengan kedalaman menyelam
lebih dari 100 meter. Saat menyelam saya hanya menggunakan kaca mata dan selang compressor yang saya taruh di mulut saya supaya bisa bernapas dengan baik di dalam
air” (Tn.J/43 tahun)
“saya menyelam sejak 20 tahun yang lalu. Saya biasanya menyelam pakai kompressor. Saya mengalami tuli sejak 5 tahun yang lalu. Biasanya saya menyelam dengan
kedalaman lebih dari 100 meter. Saya menyelam hanya menggunakan alat compressor, tidak ada alat selam lain” (Tn. B/37 tahun)
“saya lumpuh sejak 1 tahun yang lalu. Terakhir menyelam dengan kedalaman lebih dari 200 meter. Hanya menggunakan kaca mata selam dan alat compressor saja. Tidak ada
alat yang lain” (Tn.L/46 tahun)

Data mengatakan bahwa masalah kelumpuhan yang dialami oleh penyelam tradisional disebabkan buruknya perilaku keselamatan dan kesehatan
saat menyelam. Berdasarkan fenomena yang ada, perlu untuk memperkuat persepsi tentang perilaku berisiko keselamatan dan kesehatan penyelaman
pada penyelam tradisional di Provinsi Maluku.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi tentang persepsi risiko perilaku
keselamatan dan kesehatan menyelam pada penyelam tradisional yang mengalami kelumpuhan
di Provinsi Maluku.

METODE
Metode penelitian menggunakan kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Subjek dari
penelitian ini adalah nelayan penyelam tradisional yang berada di Kota Ambon, Kabupaten
Seram Bagian Barat, dan Kabupaten Buru Provinsi Maluku dengan jumlah pertisipan mencapai
saturasi data (kejenuhan data), sebagai sampel penelitian dengan kriteria inklusi sampel sebagai
berikut: 1) Subjek yang mengalami dekompresi (kelumpuhan) dan barotrauma telinga (perforasi
membran timpani grade 1); 2) Subjek memiliki riwayat menyelam menggunakan compressor; 3)
Subjek memiliki riwayat bekerja minimal 1 (satu) tahun; 4) Usia subjek minimal 25 tahun dan
maksimal 64 tahun (usia angkatan kerja) (UU No 13 tahun 2013); dan 5) Subjek yang mampu
berkomunikasi verbal dengan baik. Berdasarkan tingkat kejenuhan data, maka didapatkan
jumlah subjek dalam penelitian ini adalah 10 nelayan penyelam tradisional yang mengalami
kelumpuhan. Selain manusia sebagai instrumen penelitian, alat pengumpulan data lain yang
menunjang proses penelitian adalah pedoman wawancara mendalam (indepth interview),
catatan lapangan (fields notes), dan alat perekam. Tahap penelitian berupa wawancara akan
dimulai pada 15 Januari – 15 Februari 2019. Analisis data mengunakan tematik theory driven.
Tahap uji etika penelitian dengan mendapatkan lolos etik penelitian dari Komisi Etik Penelitian
Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga dengan nomor surat: 1244-KEPK yang terbit pada
tanggal 31 Desember 2018.

HASIL
Pelaksanaan pengambilan data telah dilakukan oleh peneliti, yakni sekali wawancara
dengan subjek. Untuk melakukan deskripsi hasil wawancara, peneliti sebelumnya membuat
verbatim/transkrip dari rekaman wawancara dengan subjek yang setelah itu dilakukan
pengkodingan dan analisis verbatim. Hasil tematik menemukan dua tema, yaitu: Kerentanan
dan Keparahan.
1. Sebelum lumpuh
a. Persepsi Risiko
Subjek mengungkapkan bahwa jika menyelam dengan kedalam 100 meter tidak berisiko
terhadap keselamatan dan kesehatannya.
“saya biasa menyelam dengan kedalaman 100 meter dan saya menganggap bahwa hal tersebut
adalah biasa dan sudah menjadi rutinitas saya, tidak memiliki risiko bahaya apapun terhadap
keselamatan maupun kesehatan saya” (R1901:49-63)
2. Setelah lumpuh
a. Persepsi risiko
1) Kerentanan
Subjek mengungkapkan bahwa jika menyelam dengan kedalam 100 meter atau lebih
memiliki kerentanan terhadap keselamatan dan kesehatannya.
“jika menyelam dengan kedalaman 100 meter atau lebih memiliki kerentanan terhadap
keselamatan maupun kesehatan, seperti: badan terasa lelah, kedinginan, sesak nafas, dan
keluarnya darah dari telinga, hidung dan mulut” (A2901:48-52)
2) Keparahan
Subjek mengungkapkan bahwa jika menyelam dengan tidak memperhatikan SOP
dengan benar, maka akan berakibat yang parah terhadap keselamatan dan
kesehatannya.
“jika menyelam dengan tidak memperhatikan SOP dengan benar, maka akan berakibat yang
parah terhadap keselamatan dan kesehatannya, seperti: lumpuh dan mati” (LI3001:54-57)

PEMBAHASAN
Hasil analisis tematik menunjukkan bahwa persepsi risiko yang dialami oleh subjek terdiri
dari 2 fase, yaitu fase sebelum lumpuh dan sesudah lumpuh. Pada fase sebelum lumpuh, subjek
sering mengungkapkan bahwa menyelam tidak memiliki risiko bahaya apapun terhadap
kesehatan maupun keselamatan. Sehingga atas dasar asumsi tersebutlah maka subjek tetap
melakukan penyelaman.
Hasil penelitian tersebut bertentangan dengan teori yang dikemukakan oleh Zheng et al., (7)
bahwa pekerjaan penyelaman penyelaman selalu diincar bahaya baik sebagai akibat dari
perubahan tekanan, temperatur air, maupun terhadap kehidupan bawah air lainnya. Beberapa
penyakit akibat penyelaman, meliputi:
Barotrauma, keracunan gas, penyakit dekompresi (kelumpuhan), dan serangan dari
binatang laut yang berbahaya baik yang berbisa maupun yang beracun (3).
Kemudian pada fase setelah subjek mengalami kelumpuhan, persepsi risiko yang
dirasakan oleh subjek yaitu terbagi menjadi 2 persepsi risiko, antara lain: a) Persepsi risiko
kerentanan. Subjek sering mengungkapkan bahwa risiko kerentanan yang akan dirasakan yaitu
badan terasa lelah, kedinginan, sesak nafas, dan keluarnya darah dari telinga, hidung, dan mulut;
dan b) Persepsi risiko keparahan. Subjek sering mengungkapkan bahwa risiko keparahan yang
akan dirasakan jika menyelam tidak sesuai SOP yang baik, yaitu: bisa merasakan lumpuh dan
mati.
Hammerton(8) memiliki pendapat yang sama dengan hasil penelitian bahwa pekerjaan
sebagai penyelam selalu diincar bahya baik sebagai akibat dari perubahan tekanan, temperatur
air (hipotermi), maupun terhadap kehidupan bawah air lainnya, seperti: a) Penyakit barotrauma
(rasa sakit yang sering diikuti perdarahan pada rongga udara yang mengalami barotrauma,
seperti keluarnya darah dari hidung, telinga, dan mulut); b) Keracunan gas pernapasan (sesak
nafas, sakit kepala, muntah, lumpuh, tidak sadarkan diri, dan dapat berakhir dengan kematian);
c) Penyakit dekompresi (seluruh tubuh terutama persendian terasa sangat nyeri timbulnya
berangsur-angsur atau mendadak, kelelahan dan rasa ngantuk yang berlebihan, pusing, bercak-
bercak merah pada kulit disertai rasa gatal, dan jika perawatannya terlambat atau tidak
memadai sering menyebabkan cacat tubuh, yaitu lumpuh dan bahkan bisa mengakibatkan
kematian); dan d) Serangan dari binatang laut yang berbahaya baik yang berbisa maupun yang
beracun.
Hasil tersebut juga memiliki kesamaan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh WHO
bahwa salah satu perubahan perilaku yang terjadi secara alamiah yaitu perubahan yang
dikarenakan perubahan pada lingkungan fisik, sosial, budaya, ataupun ekonomi dimana ia
beraktifitas. Selain itu juga Schwarzer, Lippke and Luszczynska(9) juga berpendapat bahwa
persepsi kerentanan, yaitu persepsi seseorang terhadap resiko dari suatu penyakit agar
seseorang bertindak untuk mengobati atau mencegah penyakitnya, ia harus merasakan kalau ia
rentan terhadap penyakit tersebut. Pinidiyapathirage et al.,(10) menjelaskan bahwa persepsi
keparahan, yaitu tindakan seseorang dalam pencarian pengobatan dan pencegahan penyakit
dapat disebabkan karena keseriusan dari suatu penyakit yang dirasakan misalnya dapat
menimbulkan kecacatan, kematian, atau kelumpuhan, dan juga dampak sosial seperti dampak
terhadap pekerjaan, kehidupan keluarga, dan hubungan sosial.
Persepsi risiko merupakan komponen penting sebagai tingkat minimum ancaman atau
keprihatinan seseorang, sehingga komponen ini harus ada sebelum seseorang
mempertimbangkan manfaaat dari tindakan yang mungkin mencerminkan ketidakmampuannya
untuk benar-benar melakukan tindakan (9). Persepsi risiko dibagi menjadi dua dimensi yaitu,
kerentanan dan keparahan. Kerentanan adalah kemungkinan pengaruh yang dirasakan terhadap
ancaman kesehatan, sedangkan tingkat keparahan adalah hubungan yang dirasakan dari
ancaman kesehatan. Risiko kesehatan mengacu merupakan ancaman bagi kesehatan seseorang
baik secara langsung maupun jangka panjang dan memengaruhi kesejahteraan (11).
Sebagai contoh, risiko langsung dari ketidakpatuhan dalam penggunaan alat selam dengan
baik adalah dapat mengakibatkan terjadinya barotrauma telinga, sedangkan risiko jangka
panjang dari ketidakpatuhan dalam penggunaan alat selam dengan baik adalah dekompresi. Jika
seseorang menyadari adanya risiko jika tidak menggunakan alat selam dengan baik, maka ini
akan meningkatkan kemungkinan bahwa mereka akan mempertimbangkan penggunaan alat
selam secara teratur(12).
Bila seseorang mempunyai persepsi risiko positif dan negatif yang seimbang, maka hal ini
menyebabkan pembentukan niat perilaku yang baik. Misalnya tentang risiko ketidakpatuhan
dalam penggunaan alat selam dengan baik, seseorang akan berfikir dampak dari penggunaan
alat selam (positif) atau tidak menggunakan alat selam (negatif). Seseorang yang percaya bahwa
ada lebih banyak manfaat dari penggunaan alat selam yang baik akan memiliki niat yang lebih
tinggi daripada mereka yang tidak percaya bahwa ada lebih banyak manfaat dari ketidakpatuhan
dalam penggunaan alat selam dengan baik(5).
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa dapat dikatakan,
persepsi risiko bagian dari pengalaman penyelam tradisional yang paling menentukan efikasi diri
untuk mematuhi SOP penyelaman.

KESIMPULAN
Diperlukannya penguatan terhadap persepsi risiko yang dirasakan oleh penyelam
tradisional sehingga mereka dapat membangun efikasi diri terhadap perilaku keselamatan dan
kesehatan menyelam serta dapat mengurangi angka kesekitan dan kematian akibat menyelam.
Metode hasil penelitian ini dapat digunakan oleh pemerintah kabupaten/kota dan Provinsi
Maluku serta yang berada di wilayah pesisir khususnya pada kabupaten/kota yang tinggi kasus
penyakit dan angka kematian akibat penyelaman dan pemerintah pusat dalam hal ini
Kementerian Kesehatan dalam rangka meningkatkan kepatuhan menyelam terhadap SOP
penyelaman pada penyelam tradisional melalui KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) dan
adanya pendampingan oleh petugas kesehatan penyelaman di Puskesmas
DAFTAR PUSTAKA
1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia. Profil Kesehatan Provinsi Bali.
2016. 1-220 p.
2. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Profil kelautan dan perikanan Provinsi Maluku. Jakarta:
Kementerian Kelautan dan Perikanan.
3. Brown SE, Wickersham JA, Pelletier AR, Marcus RM, Erenrich R, Kamarulzaman A, et al. Attitudes toward
medication-assisted treatment among fishermen in Kuantan, Malaysia, who inject drugs. J Ethn Subst
Abuse. 2017;16(3):363–79.
4. Lucrezi S, Egi SM, Pieri M, Burman F, Ozyigit T, Cialoni D, et al. Safety priorities and underestimations in
recreational scuba diving operations: A European study supporting the implementation of new risk
management programmes. Front Psychol. 2018;9(MAR):1–13.
5. Wilson H, Sheehan M, Palk G, Watson A. Self-efficacy, planning, and drink driving: Applying the health
action process approach. Heal Psychol. 2016;35(7):695–703.
6. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013.
Jakarta: Kemenkes RI; 2013.
7. Zheng Y, Yang X, Ni X. Barotrauma after liquid nitrogen ingestion: a case report and literature review.
Postgrad Med [Internet]. 2018;0(0):1–4. Available from:
https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/00325481.2018.1494492
8. Hammerton Z. Risk assessment of SCUBA diver contacts on subtropical benthic taxa. Ocean Coast Manag
[Internet]. 2018;158(September 2017):176–85. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.ocecoaman.2018.03.036
9. Schwarzer R, Lippke S, Luszczynska A. Mechanisms of Health Behavior Change in Persons With Chronic
Illness or Disability: The Health Action Process Approach (HAPA). Rehabil Psychol. 2011;56(3):161–70.
10. Pinidiyapathirage J, Jayasuriya R, Cheung NW, Schwarzer R. Self-efficacy and planning strategies can
improve physical activity levels in women with a recent history of gestational diabetes mellitus. Psychol
Health [Internet]. 2018;446:1–16. Available from:
https://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1080/08870446.2018.1458983?needAccess=true
11. Zhang C, Zheng X, Huang H, Su C, Zhao H, Yang H, et al. A Study on the Applicability of the Health Action
Process Approach to the Dietary Behavior of University Students in Shanxi, China. J Nutr Educ Behav
[Internet]. 2018;50(4):388–395.e1. Available from: https://doi.org/10.1016/j.jneb.2017.09.024
12. Ghisi GL de M, Grace SL, Thomas S, Oh P. Behavior determinants among cardiac rehabilitation patients
receiving educational interventions: An application of the health action process approach. Patient Educ
Couns [Internet]. 2015;98(5):612–21. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.pec.2015.01.006
Review Jurnal 2 :

No Judul Jurnal Pengarang Metode penelitian Sampel/responden Hasil peneliti


1 Persepsi Risiko La Rakhmat Penelitian Subjek dari Hasil tematik menem
Keselamatan Wabula, menggunakan penelitian ini adalah dua tema, yaitu: Ker
dan Kesehatan Kusnanto, kualitatif dengan nelayan penyelam dan Keparahan.
Menyelam pada Bambang pendekatan studi tradisional yang
Penyelam Purwanto kasus. berada di Kota
Tradisional Ambon, Kabupaten
dengan Seram Bagian Barat
Kelumpuhan di
Provinsi
Maluku: Studi
Kualitatif

JURNAL 3
ANALISIS GANGGUAN PENDENGARAN PADA PENYELAM
DI DANAU TONDANO DESA WATUMEA KECAMATAN
ERIS KABUPATEN MINAHASA PROVINSI SULAWESI
UTARA 2014

1
Rahay
u D. C.
Rusla
m
2
Jimm
y F.
Ruma
mpuk
2
Venn
etia R.
Danes

1
Kandidat Skripsi Bagian Fisika Kedokteran Universitas Sam Ratulangi
Manado
2
Bagian Fisika Kedokteran Universitas Sam
Ratulangi Manado Email:
ewhiedruslam@gmail.com

Abstract: Hearing disorder is the change in the level of hearing which


resulted in difficulties in carrying out a normal life, usually in terms of
understanding speech. This study aimed to analyze hearing disorder that
may arise among the divers in Watumea Eris, North Sulawesi, in 2014. This
was an analytical study using a cross sectional approach. Population
consisted of all divers in Lake Tondano during 2014. Samples were 20
people, obtained by using a purposive sampling technique based on the
needs of researcher. The results of the analysis in the form of age (p =
0.157), education (p = 0.662), tenure (p = 0.850), history of the disease (p
= 0.897), diving frequency (p = 0.577), using protective equipment (p =
0.075), diving depth (p = 0.526), and duration of diving (p = 0.964).
Conclusion: There was no correlation of diving and hearing disorder among
divers at lake Tondano Watumea Eris village district of Minahasa North
Sulawesi Province during 2014.
Keywords: hearing disorder, divers

Abstrak: Gangguan pendengaran adalah perubahan tingkat pendengaran


yangmengakibatkan kesulitan dalam melaksanakan kehidupan normal,
biasanya dalamhal memahami pembicaraan. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis gangguan pendengaran yang dapat timbul pada penyelam di
desa Watumea Kecamatan Eris Provinsi Sulawesi Utara 2014. Penelitian ini
merupakan jenis analitik dengan pendekatan potong lintang. Populasi ialah
semua penyelam di danau Tondano selama 2014. Jumlah sampel 20 orang,
diperoleh dengan teknik purposive sampling berdasarkan kebutuhan
penelitian. Hasil penelitian memperlihatkan nilai p untuk umur p=0,157,
pendidikan p=0,662, masa kerja p=0,850, riwayat penyakit p=0,897,
frekuensi menyelam p=0,577, menggunakan alat pelindung p=0,075,
kedalaman menyelam p=0,526, dan lama menyelam p=0,964. Simpulan:
Tidak terdapat hubungan menyelam dengan gangguan pendengaran pada
penyelam di danau Tondano desa Watumea Kecamatan Eris Kabupaten
Minahasa Provinsi Sulawesi Utara selama 2014.
Kata kunci: gangguan pendengaran, penyelam

Gangguan pendengaran merupakan pekerja pabrik dan juga para


masalah yang umum dialami setiap nelayan. Di dunia, menurut
orang dari waktu ke waktu. Gangguan perkiraan WHO, 80% orang yang
pendengaran didefinisikan sebagai mengalami masalah gangguan
pengurangan dalam kemampuan pendengaran tinggal di negara
seseorang untuk membedakan suara. berkembang. Pada tahun 1995
Gangguan pendengaran sering terjadi terdapat 120 juta penderita
ketika menaiki pesawat terbang atau gangguan pendengaran di seluruh
mendaki gunung, dunia. Jumlah tersebut mengalami
peningkatan yang sangat
bermakna pada tahun 2001 menjadi 250 memiliki sekitar 17.508 pulau besar dan kecil (±
juta orang. Pada tahun 2005, WHO 6000 pulau tidak berpenghuni) yang menyebar
memperkirakan terdapat 278 juta orang disekitar garis Khatulistiwa yang mempunyai iklim
menderita gangguan pendengaran, 75 - tropis. Total wilayah 1.919.440 km² total
140 juta diantaranya terdapat di Asia presentase wilayah perairan 4,85%. Luas perairan
Tenggara. Jumlah orang di seluruh dunia laut Indonesia diperkirakan sebesar 5.8 juta km2
dengan semua tingkat gangguan dengan garis pantai terpanjang di dunia sebesar
pendengaran meningkat 81.000 km, gugusan pulau- pulau sebanyak
terutama disebabkan 17.508, dan diperkirakan memiliki potensi produksi
meningkatnya populasi global dan ikan sebanyak 6.26 juta ton pertahun.1,2
usia harapan hidup. Kegiatan penyelaman yang
Persentase prevalensi gangguan melibatkan masyarakat nelayan telah dilakukan
pendengaran pada populasi sejak dahulu, walaupun tidak ada catatan khusus
penduduk secara umum bervariasi dari mengenai hal ini, namun sebagai negara dengan
minimal 4,2% di Indonesia hingga 9% di wilayah perairan yang sangat luas tentu telah
Sri Lanka, 13,3% di Thailand dan 16,6% memanfaatkan sumber daya laut secara intensif.
di Nepal. Berdasarkan angka- Kegiatan penyelaman itu sendiri seharusnya dilihat
angka diatas, terdapat lebih sebagai suatu kegiatan mencari nafkah dengan
daripada 100 juta orang yang menderita lingkungan kerja penyelaman.2
masalah ketulian dan gangguan Nelayan penyelam tradisional dan penyelam
pendengaran di kawasan tradisional banyak terdapat di wilayah Indonesia
Asia Timur.1 terutama di daerah pesisir dan kepulauan, yang
Indonesia adalah negara kepulauan kebanyakan belum pernah mengikuti pendidikan
atau pelatihan dalam hal penyelaman banyak terjadi adalah gangguan
secara formal karena keterbatasan dana pendengaran 43,2%, gangguan
dan jangkauan jarak ke tempat saluran hidung 16,9% dan gangguan
pelatihan. Para nelayan penyelam paru 14,9%. Data yang
tradisional umumnya hanya melakukan dikumpulkan Dit Sepim Kesma
pekerjaan secara turun- temurun atau Depkes sampai dengan tahun 2008,
mengikuti yang lain, serta tanpa dari 1.026 penyelam ditemukan
dibekali ilmu kesehatan dan 93,9% penyelam pernah menderita
keselamatan penyelaman yang gejala awal penyakit penyelaman,
memadai. Pada umumnya penyelaman yaitu sebanyak 29,8% menderita
yang dilakukan nelayan penyelam nyeri sendi 39,5% menderita
tradisional dan penyelam tradisional gangguan pendengaran dan 10,3%
adalah penyelaman tahan napas dan menderita kelumpuhan, yang
penyelaman dengan mengunakan suplai sebagian besar diantaranya adalah
udara dari permukaan laut atau danau penyelam tradisional.
yang dialirkan melalui kompresor udara.3 Kasus kejadian gangguan
Kegiatan pendengaran akibat penyelaman
penyelaman memiliki belum terdata dengan jelas di
prosedur standar, namun daerah Provinsi Sulawesi utara
beberapa penyelam khususnya kasus kejadian gangguan
tradisional tidak pendengaran akibat penyelaman di
mengetahuinya. Nelayan danau.Begitu pula kelainan
penyelam tradisional pernapasan bagian atas, prevalensi
pantai Puger selama ini terbesar didapatkan pada para
menggunakan teknik penyelam (nelayan yang mencari
tradisional yang ikan dengan menyelam).4
belum sesuai dengan Desa Watumea Kecamatan
kesehatan dan keselamatan Eris merupakan salah satu desa di
liDngikIunndgoannesia,gangguanp kerja kabupaten Minahasa Propinsi
khususnya peraturan penyelaman Sulawesi Utara. Secara geografis
berulang. Pada nelayan berbatasan dengan kecamatan
penyelam dipulau Tondano Timur di sebelah utara,
Karimun Jawa tahun kecamatan Kombi di sebelah
2007 menyebutkan timur,
barotrauma yang paling
kecamatan Kakas di sebelah selatan, dan penyelam di danau desa Watumea Kecamatan
danau Tondano di sebelah barat. Selain Eris Kabupaten Tondano
bekerja sebagai petani, Provinsi Sulawesi Utara 2014.
peternak, wirausaha dan
PNSsebagian besar masyarakat METODE PENELITIAN
desa mencari nafkah sebagai nelayan Penelitian ini termasuk jenis penelitian analitik
penyelam tradisional. dengan pendekatan potong lintang dimana dicari
Halini dikarenakan terdapat hubungan menyelam dan gangguan pendengaran
danau besar yang berada di daerah desa pada penyelam. Dilakukan pada bulan November-
Watumea.5 Dari latar belakang Desember 2014 di desa Watumea Kecamatan Eris
tersebut maka Kabupaten Minahasa Provinsi Sulawasi Utara.
peneliti tertarik untuk Populasi dalam penelitian ini adalah semua
melakukan penelitian tentang penyelam di danau Tondano desa Watumea
analisis gangguan pendengaran pada
Kecamatan Tabel 1 menunjukkan bahwa
responden yang berusia lebih dari
40 tahun berjumlah lebih banyak
yaitu 14 orang dengan persentase
(70%) dibandingkan dengan usia
dibawah 40 tahun yang berjumlah 6
orang dengan persentase (30%).

Tabel 2. Distribusi Karakteristik


Responden Menurut Pendidikan

Tingkat Pendidikan n %
SD 5 25
SMP 3 15
SMA 12 60
Total 20 100

Tabel 2 menunjukkan bahwa


tingkat pendidikan responden
terbanyak ialah SMA yaitu 12 orang
dengan persentase (60%)
sedangkan yang paling sedikit SMP
yaitu 3 orang dengan persentase
(15%) diikuti dengan tingkat
pendidikan SD yaitu 5 orang dengan
persentase (25%).

Tabel 3. Distribusi Responden


Menurut Masa Kerja
Eris Kabupaten Minahasa Provinsi Sulawesi Utara. Pen
di Masa Kerja n %
tentukan dengan ≤ 20 tahun 15 75
menggunakan metode > 20 tahun 5 25
purposive sampling dan besar Total 20 100
jumlah sampel adalah 20
orang.
Tabel 1. Distribusi Karakteristik Responden Menurut
HASIL PENELITIAN Usia
Penelitian ini dilaksanakan selama
satu bulan yakni bulan November 2014. Umur n %
Lokasinya terletak di Desa Watumea ≤ 40 tahun 6 30
>40 tahun 14 70
Kecamatan Eris Kabupaten Minahasa.
Total 20 100
Responden pada penelitian ini yaitu
penyelam tradisional yang berjumlah
20 orang.
Karakterisitik responden dalam
penelitian ini meliputi umur dan
pendidikan (Tabel 1).
Tabel 3
menunjukkan bahwa Tabel 4. Distribusi Responden Menurut
masa kerja nelayan Riwayat Penyakit
penyelam terbanyak
ialah kurang dari atau Riwayat Penyakit n %
sama dengan 20 tahun Pernah 17 85
yaitu 15 orang, dengan Tidak pernah 3 15
persentase (75%) Total 20 100
sedangkan yang paling
sedikit yaitu masa kerja Tabel 4 menunjukkan bahwa
lebih dari 20 tahun yaitu nelayan yang pernah memiliki
5 orang dengan riwayat penyakit berjumlah lebih
persentase (25%). banyak yaitu 17 orang dengan
presentase 85%, sedangkan nelayan
yang tidak pernah memiliki Tabel 8. Distribusi Responden
riwayat penyakit sebelumnya Menurut Lama Menyelam
berjumlah lebih
sedikit yaitu sebanyak 3 orang dengan presentase 15%.
Lama Menyelam n %
Tabel 5. Distribusi ≤ 30 menit 7 35
Responden > 30 menit 13 65
Menurut Frekuensi Total 20 100
Menyelam
persentase (90%) tidak taat menggunakan alat
Frekuensi Menyelam n %
pelindung sedangkan 2 orang lainnya dengan
Sering 13 65
Jarang 7 35 persentase (10%) taat menggunakan alat pelindung.
Total 20 100
Tabel 7. Distribusi Responden Menurut Kedalaman
Tabel 5 menunjukan bahwa Menyelam
sebanyak
Kedalam Menyelam n %
13 orang nelayan penyelam dengan
≤10 meter 19 95
persentase (65%) sering melakukan
> 10 meter 1 5
penyelaman sedangkan sebanyak 7 Total 20 100
orang nelayan penyelam dengan
persentase (35%) jarang melakukan
Tabel 7 menunjukan bahwa 19 orang dengan
penyelaman.
persentase (95%) menyelam dengan kedalaman
menyelam kurang dari atau sama dengan 10 meter
Tabel 6. Distribusi Responden Menurut
sedangkan terdapat 1 orang nelayan penyelam
Ketaatan Menggunakan Alat Pelindung
dengan persentase (5%) menyelam dengan
Dalam Menyelam
kedalaman menyelam lebih dari 10 meter.
Menggunakan Alat n % Tabel 8 menunjukan bahwa 13 orang
Pelindung dengan persentase (65%) dengan
Tidak Taat 18 90 lama menyelam lebih dari 30 menit
Taat 2 10 dan terdapat
Total 20 100 7 orang nelayan penyelam dengan
persentase (35%) yang lama
Tabel 6 menunjukan bahwa 18 menyelamnya kurang dari atau sama
orang nelayan penyelam dengan
dengan 30 menit. banyak yaitu berjumlah 14 orang,
dengan persentase (70%)
BAHASAN dibandingkan dengan usia dibawah
Dari data penelitian 40 tahun yang berjumlah 6 orang
yang diperoleh, usia dengan persentase (30%).
rata-rata nelayan Hasil analisis bivariat dengan
penyelam yang chi- square memperlihatkan bahwa
semuanya berjenis faktor resiko umur tidak ada
kelamin laki-laki adalah hubungan yang bermakna terhadap
lebih dari atau sama gangguan pendengaran pada nelayan
dengan 40 tahun. Untuk penyelam, nilai p=0,157 (p>0,05).
melihat hubungan Hasil penelitian ini serupa dengan
antara umur dengan hasil penelitian Ekawati yang
gangguan pendengaran, memperlihatkan bahwa tidak ada
maka umur hubungan umur dengan gangguan
dikelompokkan menjadi pendengaran pada nelayan penyelam
2 kelompok, yaitu tradisional, nilai p=0,060 (p>0,05).
kelompok umur ≤ 40 Berdasarkan hasil penelitian ini
tahun dan umur > 40 terdapat 3 orang yang mengalami tuli
tahun. Hasil ringan dan 6 orang tuli sedang pada
pengamatan di kelompok umur lebih atau sama
lapangan menunjukkan dengan 40 tahun sedangkan hanya
bahwa nelayan terdapat 2 orang yang mengalami tuli
penyelam yang berusia ringan pada kelompok umur kurang
lebih dari 40 tahun lebih dari 40 tahun. Hasil penelitian ini juga
sejalan dengan hasil penelitian
Mahmoud et al. yang menemukan memiliki tingkat pendidikan SMP
nelayan penyelam yang berusia lebih dari yaitu 1 tuli ringan dan 1 tuli sedang
40 tahun memiliki resiko 4 kali lebih dan diikuti oleh nelayan dengan
banyak dibandingkan usia yang lebih tingkat pendidikan SD yaitu 2 tuli
muda, dan salah satu resikonya ialah ringan dan 2 tuli sedang.2
gangguan pendengaran.6,7 Untuk melihat hubungan
Pendidikan merupakan salah satu antara umur dengan gangguan
faktor penentu setiap orang dalam pendengaran, maka umur
berperilaku. Semakin tinggi pendidikan dikelompokkan menjadi 2
seseorang maka semakin baik juga orang kelompok, yaitu masa kerja ≤ 20
tersebut untuk menjaga hidupnya dalam tahun dan umur > 20 tahun. Hasil
hal ini kesehatannya. Dari data penelitian analisis bivariat dengan chi- square,
yang diperoleh, nelayan penyelam yang α = 0,05 diperoleh p = 0,850
banyak mengalami gangguan (p>0,05) menunjukan bahwa
pendengaran adalah nelayan yang lamanya masa kerja tidak
memiliki tingkat pendidikan SMA yaitu 2 berhubungan dengan gangguan
tuli ringan dan 3 tuli sedang sedangkan pendengaran nelayan penyelam.
yang paling sedikit mengalami gangguan Hasil penelitian ini sejalan dengan
pendengaran yaitu nelayan yang penelitian Mahmoud et al. yang
memperoleh p = 0,409. Hasil
penelitian ini juga sejalan dengan
hasil penelitian Ekawati yang
mendapatkan p = 1,000.6,7

Tabel 9. Hasil Analisis Bivariat

Penyelam Gangguan Pendengaran Total Nilai p Kesimpulan


Normal T. Ringan T. Sedang T. Berat (n)
Umur
≤ 40 Tahun 4 (66,7%) 2 (33,3%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 6 0,157 Tidak Ada
> 40 Tahun 5 (35,7%) 3 (21,4%) 6 (42,9%) 0 (0,0%) 14 Hubungan
Pendidikan
SD 1 (20,0%) 2 (40,0%) 2 (40,0%) 0 (0,0%) 5 0,662 Tidak Ada
SMP 1 (33.3%) 1 (33.3%) 1 (33.3%) 0 (0,0%) 3 Hubungan
SMA 7 (58,3%) 2 (16,7%) 3 (25,0%) 0 (0,0%) 12
Masa Kerja
≤ 20 Tahun 7 (46,7%) 4 (26,7%) 4 (26,7%) 0 (0,0%) 15 0,850 Tidak Ada
> 20 Tahun 2 (40,0%) 1 (20,0%) 2 (40,0%) 0 (0,0%) 5 Hubungan
Riwayat
Penyakit 8 (47,1%) 4 (23,5%) 5 (29,4%) 0 (0,0%) 17 0,897 Tidak Ada
Pernah 1 (33,3%) 1 (33,3%) 1 (33,3%) 0 (0,0%) 3 Hubungan
Tidak Pernah
Frekuensi
Menyelam
Jarang 3 (42,9%) 1 (14,3%) 3 (42,9%) 0 (0,0%) 7 0,577 Tidak Ada
Sering 6 (46,2%) 4 (30,8%) 3 (23,1%) 0 (0,0%) 13 Hubungan
Menggunakan
Alat Pelindung
TidakTaat 9 (50,0%) 5 (27,8%) 4 (22,2%) 0 (0,0%) 18 0,075 Tidak Ada
Taat 0 (0,0%) 0 (0,0%) 2 (100,0%) 0 (0,0%) 2 Hubungan
Menggunakan
Alat Pelindung*
TidakTaat 8 (53,3%) 5 (33,3%) 2 (13,3%) 0 (0,0%) 15 0,017 Ada
Taat 1 (20,0%) 0 (0,0%) 4 (80,0%) 0 (0,0%) 5 Hubungan
Kedalaman
Menyelam
>10 meter 1(100,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 1 0,526 Tidak Ada
≤ 10 meter 8 (42,1%) 5 (26,3%) 6 (31,6%) 0 (0,0%) 19 Hubungan
Lama Menyelam
>30 menit 6 (46,2%) 3 (23,1%) 4 (30,8%) 0 (0,0%) 13 0,964 Tidak Ada
≤30 menit 3 (42,9%) 2 (28,6%) 2 (28,6%) 0 (0,0%) 7 Hubungan
Keterangan:
* = data perbandingan
Bedasarkan hasil penelitian ini menentukan lamanya paparan seseorang terhadap
nelayan penyelam dengan masa faktor risiko, semakin lama paparan berdasarkan
kerjanya ≤ 20 tahun (40%) lebih banyak masa kerja akan semakin besar kemungkinan
mengalami gangguan pendengaran seseorang mendapatkan faktor risiko tersebut dalam
yaitu 4 orang yang mengalami tuli hal ini gangguan pendengaran. Dari hasil penelitian
ringan dan 4 orang tuli sedang yang dilakukan oleh Darrly (2005) pada penyelam
sedangkan pada nelayan penyelam tradisional di Minahasa Utara menunjukkan bahwa
yang masa kerjanya > 20 tahun (15%) gangguan pendengaran banyak terdapat pada
hanya terdapat 1 tuli ringan dan 2 tuli penyelam tradisional dengan masa kerja diatas 6
sedang. Hasil penelitian ini tidak jauh tahun, namun secara teori belum ada yang
berbeda dengan hasil penelitian membuktikan pengaruhnya masa kerja terhadap
Mahmoud et al. yang menemukan gangguan pendengaran.8,9
56,4% nelayan penyelam yang masa Untuk melihat hubungan antara riwayat
kerjanya ≤ 20 tahun sedangkan 43,6% penyakit dengan gangguan pendengaran, maka
nelayan penyelam yang masa kerjanya riwayat penyakit dikelompokkan menjadi 2
>20 tahun. Masa kerja dapat kelompok, yaitu pernah dan tidak pernah. Hasil
analisis bivariat dengan chi-square, α = square, α = 0,05 diperoleh p = 0,577
0,05 diperoleh p = 0,897 (p>0,05) (p>0,05) menunjukkan bahwa
menunjukkan bahwa riwayat penyakit frekuensi menyelam nelayan
nelayan penyelam tidak berhubungan penyelam tidak berhubungan
dengan gangguan pendengaran. dengan
Dengan demikian faktor riwayat gangguan
penyakit tidak berpengaruh terhadap pendengaran. Hasil penelitian ini
gangguan pendengaran, sehingga perlu tidak sejalan dengan hasil penelitian
dilihat faktor risiko lainnya, antara lain: Ekawati yang menemukan adanya
umur, pendidikan, masa kerja, hubungan frekuensi penyelaman
frekuensi menyelam, kedalaman dengan Gangguan pendengaran
menyelam dan lama menyelam nelayan dengan nilai p=0,011 (p<0,05). Hal ini
penyelam. dapat disebabkan karena kedalaman
Untuk melihat hubungan antara dasar danau di tempat lokasi
Frekuensi dengan gangguan penelitian hanya mencapai 12 meter
pendengaran, maka frekuensi sehingga nelayan tidak harus
menyelam dikelompokkan menjadi 2 mencapai dasar danau untuk mencari
kelompok, yaitu sering dan jarang. Hasil ikan.7
analisis bivariat dengan chi- Untuk melihat hubungan antara
menggunakan alat pelindung dengan
gangguan pendengaran, maka
dikelompok- kan menjadi 2
kelompok, yaitu taat dan tidak taat.
Hasil analisis bivariat dengan chi-
square, α = 0,05 diperoleh p = 0,075
(p>0,05) menunjukan bahwa
menggunakan alat pelindung nelayan
penyelam tidak berhubungan
dengan
gangguan
pendengaran. Hasil penelitian ini
tidak sejalan dengan hasil penelitian
Ekawati yang menemukan adanya
hubungan antara ketaatan
penggunaan alat pelindung dengan
gangguan pendengaran dengan nilai
p=0,011 (p<0,05). Dalam penelitian
Ekawati ditemukan jumlah
responden yang tidak taat dalam
menggunakan alat pelindung lebih
besar dari pada yang taat yaitu
(68,9%) yang tidak taat dan (31,1%)
yang taat.
Hasil perbandingan dalam
penelitian ini antara jumlah
responden yang tidak taat dalam
menggunakan alat pelindung lebih
besar dari pada yang taat yaitu (75%)
yang tidak taat dan (25%) yang taat.
Analisis penggunaan analisa bivariat dengan chi-square, α
alat pelindung saat = 0,05 diperoleh p = 0,017 (p<0,05).
menyelam menunjukan Hasil penelitian ini serupa dengan
bahwa menggunakan hasil penelitian El-Saadawy et all
alat pelindung nelayan yang menemukan adanya hubungan
penyelam berhubungan penggunaan alat pelindung dengan
dengan gangguan gangguan pendengaran dengan nilai
pendengaran. Hasil p<0,001. Hal ini dapat terjadi karena
responden yang tidak taat dalam pada nelayan penyelam banyak penyelam yang
menggunakan alat pelindung menyatakan mereka menyelam <5 meter. 3,10
menyelam akan kesulitan dalam Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil
bernapas dibandingkan yang taat hal ini penelitian yang dilakukan oleh Kartono tahun 2007
dapat berakibat pada peningkatan pad penyelam di kabupaten Jepara, menunjukkan
tekanan pada daerah telingga sehingga bahwa faktor risiko yang paling dominan untuk
berdampak buruk pada membran kejadian gangguan pendengaran dalah faktor
timpani dan tulang-tulang kedalaman penyelaman (OR=0,55). Setiap
pendengaran. Kondisi ini apabila penurunan kedalaman penyelaman
dibiarkan akan berdampak pada 10 meter, risiko penyelam mengalami gangguan
gangguan pendengaran. pendengaran sebesar 0,55 kali.9 Untuk melihat
Untuk melihat hubungan antara hubungan antara lama
kedalaman menyelam dengan
gangguan pendengaran, maka
dikelompokkan menjadi 2 kelompok,
yaitu masa kerja ≤ 10 meter dan > 10
meter. Hasil analisis bivariat dengan
chi-square, α = 0,05 diperoleh p = 0,897
(p>0,05) menunjukan bahwa
kedalaman menyelam nelayan
penyelam tidak berhubungan dengan
gangguan pendengaran. Hasil
penelitian ini sejalan dengan hasil
penelitian Arief et al. yang memperoleh
nilai p=0,350 (p>0,05) yang artinya
tidak ada pengaruh kedalaman
terhadap gangguan pendengaran. Hasil
penelitian ini sejalan dengan hasil
penelitian Alaa et al. yang menemukan
nilai p=1,767 (p>0,05), walaupun
perbedaan penelitian yang dilakukan
oleh Alaa et al. menggunakan
kelompok penyelaman yang ≤ 20 m dan
> 20 meter. Hasil penelitian ini juga
sesuai dengan penelitian Budiono yang
menyebutkan bahwa kedalaman
menyelam tidak ada hubungan dengan
gangguan pendengaran. Hal ini juga
dapat disebabkan karena nelayan
penyelam, menyelam tidak terlalu
dalam. Sesuai dengan hasil wawancara
menyelam dengan perubahan tekanan udara yang
gangguan pendengaran, tinggi.7
dikelompokkan menjadi
2 kelompok, yaitu masa SIMPULAN
kerja ≤ 30 meter dan Berdasarkan hasil analisis dapat
umur > 30 meter. disimpulkan tidak adanya hubungan
Dari hasil menyelam dengan gangguan
penelitian menunjukan pendengaran pada penyelam di
bahwa nelayan danau Tondano desa Watumea
penyelam dengan Kecamatan Eris Kabupaten Minahasa
waktu menyelam > 30 Provinsi Sulawesi Utara.
menit 65 %, sedangkan
nelayan penyelam
dengan lama waktu
SARAN
penyelaman ≤ 30 menit 1. Perlu dilakukan penyuluhan
35%. Hasil analisa kesehatan untuk
bivariat dengan chi- meminimalkan resiko
square, α = 0,05 terjadinya gangguan
diperoleh p = 0, 964 pendengaran pada nelayan
(p>0,05) menunjukan penyelam.
bahwa lama menyelam 2. Diperlukan suatu penelitian
nelayan penyelam tidak lanjut dengan jumlah
berhubungan dengan responden yang lebih banyak
gangguan pendengaran.
untuk mengetahui seberapa
Hasil penelitian ini
besar pengaruh menyelam
sejalan dengan hasil
penelitian Tuti Ekawati pada nelayan penyelam
yang memperoleh nilai terhadap kejadian gangguan
p=0,965 (p>0,05) yang pendengaran.
artinya tidak ada 3. Perlu dilakukan
pengaruh kedalaman penelitian perbandingan
terhadap gangguan gangguan pendengaran antara
pendengaran. Peranan penyelam di danau dan laut
lama menyelam pada sehingga dapat dijadikan
penyelam dalam bahan untuk memperkaya
mempengaruhi
informasi dan
kesehatan dalam hal ini
pengetahuan di bidang
gangguan pendengaran
di tentukan oleh kesehatan.
perubahan faktor 4. Perlu dilakukan penelitian
etiologi karena adanya yang lebih lanjut tentang
pengaruh menyelam
terhadap dampak-dampak kesehatan yang lainnya.
5. Dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai cara pencegahan dan pengobatan
ketulian pada penyelam.

DAFTAR PUSTAKA
1. Yathavan S. Gambaran Etiologi Gangguan Pendengaran Di RSUP H. Adam Malik Medan Dari
Periode 1 Januari
– 31 Desember 2009. Universitas Sumatera Utara. Medan, 2010.
2. Abshor A. Pengaruh Barotrauma Auris Terhadap Gangguan Pendengaran Pada Nelayan
Penyelam Di Kecamatan Puger Kabupaten Jember. Universitas Jember Jember, 2008.
3. Prasetyo A.T, Soemantri BJ, Lukmantya. Pengaruh Kedalaman Dan Lama Menyelam Terhadap
Ambang-Dengar Penyelam Tradisional Dengan Barotruma Telinga. ORLI Vol. 42 No. 2
Tahun 2012. Universitas Brawijaya. Malang, 2012.
4. DKP: Indonesia Timur Butuh 2 Ribu Dokter Kelautan.Republika Online. Available at:
http://www.republika.co.id/berita/bre aking-news/nasional/09/08/24/71209- dkp-
indonesia-timur-butuh-2-ribu- dokter-kelautan. Diakses tanggal 01 Oktober 2014.
5. Kodoati G, Waleleng POV, Lainawa J, Mokoagow DR. Analisis Potensi Sumberdaya Alam,
Tenaga Kerja,
Pertanian dan Perkebunan Terhadap Pengembangan Peternakan Sapi Potong Di
Kecamatan Eris Kabupaten Minahasa. Jurnal Zootek Vol. 34 (Edisi Khusus):
15-26 (Mei 2014). Universitas Sam Ratulangi. Manado, 2014.
6. Ekawati T. Analisis Faktor Risiko Barotrauma Membran Timpani Pada Neyalan
Tradisional Di Kecamatan Semarang Utara Kota Semarang. Universitas
Diponegoro Semarang. 2005
7. El-Saadawy ME, Soliman NE, El-Tayeb IM, Hammouda MA. Some
Occupational Health Hazards Among Fishermen In Alexandria City.
Gaziantep Med J 2014;20(1):71-78
8. Kristianto W. Gambaran Gangguan Pendengaran Pada Penyelam TNI Angkatan
Laut. Universitas Indonesia. Depok, 2012.
9. Paskarini I, Tualeka AR, Ardianto DY, Dwiyanti E. Kecelakaan Dan Gangguan
Kesehatan Penyelam Tradisional Dan Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhinya Di Kabupaten Seram, Maluku.
http://portalgaruda.org/article.17835& 1095.Pdf
10.Abid AH, Al-Asadi JN, Habib OS. Hearing Loss in Iraqi Divers. The Medical
Journal Of Bahsrah University Vol 24, No 1 & 2, 2006.
Review Jurnal 3 :

No Judul Jurnal Pengarang Metode penelitian Sampel/responden Hasil peneliti


1 analisis 1 Penelitian ini Pengambilan sampel usia rata-rata nelaya
Rahayu D. C.
gangguan termasuk jenis di penyelam yang sem
2
pendengaran Ruslam Jimmy penelitian analitik tentukan dengan berjenis kelamin lak
pada penyelam F. Rumampuk dengan pendekatan menggunakan adalah lebih dari ata
di danau 2 potong lintang metode purposive dengan 40 tahun. Un
Vennetia R.
tondano desa Danes dimana dicari sampling dan besar melihat hubungan an
watumea hubungan menyelam jumlah sampel umur dengan gangg
kecamatan eris dan gangguan adalah 20 orang. pendengaran, maka
kabupaten pendengaran pada dikelompokkan men
minahasa penyelam. kelompok, yaitu kel
provinsi umur ≤ 40 tahun dan
sulawesi utara 40 tahun. Hasil peng
2014 di lapangan menunju
bahwa nelayan peny
yang berusia lebih d
tahun lebih banyak y
berjumlah 14 orang,
persentase (70%)
dibandingkan denga
dibawah 40 tahun ya
berjumlah 6 orang d
persentase (30%).

JURNAL 4

PERUBAHAN GAMBARAN EKG PASIEN JANTUNG KORONER SETELAH PEMBERIAN


TERAPI OKSIGEN DAN TERAPI FARMAKOLOGI

THE CHANGES OF ECG PATIENT WITH CORONARY HEART DESEASE


AFTER GIVING OXYGEN THERAPY AND PHARMACOLOGY THERAPY

Neni Ernawati, Joko Suwito, Siti Maemonah, Dhiana Setyorini


Prodi DIII Keperawatan Soetomo Poltekkes Kemenkes Surabaya

ABSTRAK

EKG merupakan alat bantu dalam menegakkan diagnosa penyakit jantung. Pada iskemia
disertai perubahan EKG akibat perubahan elektrofisiologi sel yaitu T inversi dan ST depresi.
Sedangkan pada infark miokard akut didapatkan perubahan EKG yaitu adanya ST elevasi.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif cross-sectional dengan melakukan observasi pada
gambaran EKG sebelum dan sesudah pemberian terapi oksigen dan terapi farmakologi di HCU
jantung RSUD Kabupaten.Hasil penelitian didapatkan gambaran EKG sebelum pemberian terapi
oksigen dan farmakologi sebanyak 40% adalah ST elevasi. Perubahan gambaran EKG pada pasien
PJK dengan pemberian terapi nasal kanul 4 lpm dan terapi farmakologi didapatkan 70% adalah
baik. Perubahan gambaran EKG pada pasien PJK dengan pemberian terapi masker sederhana 8
lpm dan terapi farmakologi sebagian besar didapatkan perubahan gambaran EKG baik

Kata-kata kunci: EKG, terapi, oksigen, farmakologi

ABSTRACT

ECG is an invaluable tool in the diagnosis of heart disease. In


ischemia with ECG changes due to changes in the T cell
electrophysiological inversion and ST depression. While in acute
myocardial infarction found that the changes in ECG ST elevation.
This study uses a descriptive cross-sectional observation on the EKG
before and after administration of oxygen therapy and
pharmacological therapy in heart HCU research Kabupaten.Hasil
Hospital EKG obtained before administration of oxygen therapy and
pharmacology as much as 40% is ST elevation. EKG changes in
patients with CHD therapy nasal cannula 4 lpm and pharmacological
therapy obtained 70% is good. EKG changes in patients with CHD
simple mask therapy and pharmacological therapy 8 lpm mostly
obtained either EKG changes.
Key words: picture, ECG, therapy, oxygen, pharmacology

Alamat Korespondensi: Jl. MayJend Prof DR Moestopo 8c Surabaya, Tilp.5038487

PENDAHULUAN dan difus. Iskemia merupakan manifestasi


Penyakit jantung koroner (PJK) hemodinamika yang sering terjadi. Respon
adalah terjadinya ketidakseimbangan antara tersebut merupakan kompensasi simpatis
suplai dan kebutuhan. Ketidakseimbangan terhadap berkurangnya fungsi miokardium.
ini dapat terjadi akibat penyempitan arteri Iskemia biasanya disertai oleh perubahan
koroner, penurunan aliran darah/curah EKG berupa gelombang T terbalik dan
jantung (cardiac output), peningkatan depresi segmen ST. Pada infark miokard
kebutuhan aliran di miokard, atau spasme akut didapatkan gambaran EKG berupa
arteri koroner. Apabila keadaan plak elevasi segmen ST (Linsay, 2006).
ateroma pada arteria koronaria menjadi Tanda dan gejala yang paling sering
tidak stabil, misalnya mengalami dijumpai pada penyakit kardiovaskuler
perdarahan, rupture atau terjadi fisura, akan adalah sesak napas dan nyeri dada. Keluhan
terbentuk thrombus di daerah plak yang ini disebabkan oleh ketidakseimbangan
menghambat aliran darah koroner maka antara suplai dan kebutuhan oksigen yang
terjadi serangan PJK (Gray huon, 2002). berada di miokard. Terapi farmakologis
Perubahan reversibel pada EKG untuk mengurangi gejala dan iskemia.
dasar yang terjadi saat episode nyeri dada Gejala dan tanda angina pectoris yang
(pergeseran segmen ST, inversi gelombang T disebabkan iskemia miokard dapat
merupakan tanda penyakit oklusif koroner. berkurang dengan pemberian obat yang
Perubahan yang luas dikaitkan dengan dapat menurunkan kebutuhan oksigen dan
prognosis yang buruk karena berhubungan atau meningkatkan aliran darah ke daerah
dengan penyakit koroner yang berat yang iskemia. Obat anti angina yang sering
dipakai adalah β Blocker, calsium antagonis dan untuk memberikan transport O2 yang
nitrat organik. Pembuka kanal kalium adekuat dalam darah sambil menurunkan
mungkin dapat digunakan. Kini dapat juga upaya bernapas dan mengurangi stres pada
dipakai obat inhibisi nodus sino atrial dan miokardium. Pemberian terapi oksigen
agen metabolic (Anwar, 2004). melalui kanula nasal menghantarkan oksigen
Selain itu terapi oksigen penting berkonsentrasi rendah (24-44 persen)
dengan kecepatan aliran 2-6lpm. Akan terapi oksigen kurang diperhatikan.
tetapi bila kecepatan diatas 6lpm, Kurangnya evaluasi efektifitas terapi
kemungkinan klien menelan udara dan oksigen pada HCU Jantung RSUD Kabupaten
mukosa faring serta nasal menjadi teriritasi, Jombang disebabkan pemberian oksigen
dan FiO2 (fraksi oksigen) tidak meningkat. merupakan prosedur tetap yang dilakukan
Pemberian terapi oksigen lainnya pada pasien yang dirawat di HCU Jantung
menggunakan masker sederhana (simple face sehingga keadaan ini tidak terevaluasi oleh
mask) menghantarkan konsentrasi oksigen perawat. Oksigen diberikan kemudian dicatat
dari 40-60 persen dengan aliran 5-8 lpm cara pemberian dan dosisnya akan
secara berturut-turut (Berman, 2009; Potter
dan Perry, 2005).
Pemberian terapi oksigen
merupakan tindakan kolaboratif yang
tentunya tanpa advice dari dokter, perawat
harus dapat memberikan terapi oksigen
secara benar dan mengetahui apakah pasien
mengalami kekurangan oksigen. Kendala di
HCU (High Care Unit) Jantung RSUD
Kabupaten Jombang dalam pemberian
terapi oksigen adalah pendokumentasian
yang kurang terperinci tentang evaluasi
pemberian terapi oksigen sehingga sulit
untuk menentukan keefektifan pemberian
terapi oksigen. Evaluasi pemberian oksigen
meliputi penilaian kardiopulmoner dan
penilaian analisa gas darah. Penilaian sistem
kardiopulmoner meliputi kesadaran, laju
jantung, laju nadi, dan perfusi perifer serta
tekanan darah ( Price, S.A and Wilson
L.M. 2003). Atas dasar inilah perawat di unit
kritis harus mengetahui tehnik dan rasional
alat dalam pemberian oksigen dan perawat
juga harus mengembangkan kebiasaan
memeriksa alat-alat ini dan mengkaji pasien
apakah menunjukkan tanda dan gejala
hipoksemia-takikardi, takipnea, berkeringat
dan kekacauan mental atau perilaku yang
juga merupakan tanda-tanda keracunan
oksigen.
Di HCU Jantung RSUD Kabupaten
Jombang, pasien dengan penyakit
kardiovaskuler tercatat sebanyak 519 pasien
pada tahun 2009 dan
481 pasien (93%) mendapatkan terapi
oksigen. Terapi yang digunakan adalah nasal
kanul 2-4 lpm dan masker dengan dosis 6-10
lpm. Monitoring dari terapi oksigen di HCU
Jantung didokumentasikan dalam status
pasien. Akan tetapi pada pendokumentasian
tetapi setelah itu tidak dievaluasi dan penelitian adalah semua pasien PJK yang
didokumentasikan secara rinci dan jelas dirawat di HCU Jantung RSUD Kabupaten
apakah pemberian terapi tersebut Jombang selama bulan Juli- Desember 2009
memberi reaksi pada pasien. Evaluasi sebanyak 120 pasien. Sampel penelitian
pemberian terapi oksigen ini penting adalah pasien yang dirawat di HCU Jantung
dilaksanakan karena terapi oksigen dapat yang diberi terapi oksigen. kriteria sampel
menimbulkan efek samping dan penelitian adalah :1)Pasien yang dirawat di
komplikasi. Efek samping dan komplikasi HCU Jantung RSUD Kabupaten Jombang;
dari pemberian terapi oksigen adalah 2)Pasien yang mendapat terapi oksigen;
keracunan oksigen, CO2 narkosis, 3)Pasien dengan diagnosa medis PJK;
mikroatelektasis, aspirasi bila pasien 4)Pasien dengan terapi farmakologi :
muntah, perut kembung dan infeksi. antiplatelet (aspilet dan atau plavix), nitrat
Tujuan umum penelitian adalah (fasorbid tablet atau injeksi cedocard),
mengidentifikasi perubahan gambaran EKG calcium antagonis (nifedipin, diltiazem),
pada pasien penyakit jantung koroner statin (simvastatin, cholestat), LMWH
setelah pemberian terapi oksigen dan (injeksi lovenox). Besar sampel sebanyak 25
terapi farmakologi di HCU Jantung RSUD sampel. Teknik pengambilan sampel
Kabupaten Jombang. Tujuan khususnya menggunakan consecutive sampling. Waktu
penelitian adalah tanggal 1-14 Juli 2010 dan
adalah: 1)Mengidentifikasi gambaran EKG
dilaksanakan di HCU Jantung RSUD
pada pasien penyakit jantung koroner
Kabupaten Jombang. Alat pengumpulan
sebelum pemberian terapi oksigen dan
data adalah lembar observasi.
terapi farmakologi; 2)Mengidentifikasi
Variabel penelitian adalah
gambaran EKG pada pasien penyakit
perubahan gambaran EKG, pemberian terapi
jantung koroner setelah pemberian terapi
oksigen, terapi farmakologi. Variabel
oksigen nasal kanula dan terapi
dikelompokkan sebagai berikut:
farmakologi; 3)Mengidentifikasi gambaran
1. Gambaran EKG dikelompokkan: 1)baik, jika
EKG pada pasien penyakit jantung koroner didapatkan (1) HR normal (80-100 x/menit), dan
setelah pemberian terapi oksigen masker atau (2) ST elevasi turun ≥1 mV dan ST depresi
dan terapi farmakologi. naik ≥ 1 mV, dan atau (3)T inversi naik
≥1 mV; 2)tetap, jika tidak terdapat
perubahan gambaran EKG; dan 3)Buruk,
BAHAN DAN METODE jika didapatkan
(1) HR < 60 x/menit, dan > 100 x/menit, dan
Disain penelitian yang digunakan atau (2) ST elevasi naik ≥1 mV dan ST depresi
adalah deskriptif cross-sectional. Populasi turun ≥1 mV, dan atau (3) T inversi turun ≥1 mV.

2. Pemberian terapi oksigen dikelompokkan yang Inhibitor+ Calsium Antagonis).


mendapat terapi oksigen menggunakan nasal
kanule dengan kecepatan 4 liter per menit (lpm)
dan menggunakan masker sederhana dengan HASIL DAN PEMBAHASAN
kecepatan 8 lpm
3. Terapi farmakologi dikelompokkan sebagai
berikut: 1)terapi farmakologi I (Nitrat+Kombinasi Karakteristik pasien Penyakit Jantung
Antiplatelet+ACE inhibitor+ Statin+Calsium Koroner (PJK) di HCU jantung RSUD
Antagonis); 2)terapi farmakologi II kabupaten Jombang sebagai berikut:
(Nitrat+Antiplatelet+β blocker 1. Pasien yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak
+LMWH); 3) terapi farmakologi III yaitu 17 orang (68%), sedangkan perempuan
(Nitrat+kombinasi Antiplatelet+Statin); sebanyak 8 orang (32%).
4) terapi farmakologi IV (Nitrat 2. Pasien umur 25-44 tahun sebanyak 3 pasien (12%),
46-65 tahun ada separuh lebih yaitu 17 orang
i.v+kombinasi Antiplatelet+ACE (72%), dan > 65 tahun sebanyak 4 pasien (16%).
Inhibitor+Statin+LMWH); dan 5)terapi 3. Pasien dengan pendidikan tertinggi adalah SMA
farmakologi V (Nitrat+Antiplatelet+ACE yaitu mencapai 11 orang atau 44% dari total
pasien.
4. Karakteristik pasien dengan pekerjaan PNS, Tabel 1 Gambaran EKG pada pasien
swasta dan tani masing-masing terdapat 7 pasien PJK sebelum diberikan terapi oksigen
(28%). dan terapi farmakologi di HCU
5. Pasien yang mendapat pemberian terapi oksigen Jantung RSUD Jombang,
dengan nasal kanul 4 lpm adalah 20 orang (80%)
sedangkan pada pemberian terapi oksigen dengan
Juli 2010
masker sederhana 8 lpm sejumlah 5 orang (20%). Gambaran EKG f % ST
6. Pasien PJK paling banyak mendapat Terapi Elevasi 10 40
farmakolgi terapi farmakologi Nitrat, kombinasi ST elevasi dan ST depresi 2 8
Antiplatelet, Statin, ACE inhibitor dan Calcium ST elevasi dan T inversi 8 32
Antagonis sebanyak 8 orang (36%). ST depresi dan T inversi 3 12
T inversi 2 8
Jumlah 25 100

Berdasarkan tabel 2 didapatkan


perubahan gambaran EKG yang membaik
pada 17 pasien (68%) pada pasien PJK
setelah pemberian terapi oksigen dan
farmakologi. Hal ini dapat dijelaskan bahwa
terapi awal untuk semua penyakit jantung
koroner yang diberikan oleh tenaga
paramedik ataupun pada unit/instalasi
gawat darurat sebenarnya sama walaupun
manifestasi unstable angina dan infark
miokard akut seringkali berbeda. Umumnya
gejala infark miokard akut bersifat parah
dan mendadak, sedangkan infark miokard
akut non ST elevasi (NSTEMI) atau unstable
angina berkembang dalam 24-72 jam atau
lebih. Pada kedua kasus tersebut tujuan
awal terapi adalah untuk menstabilkan
kondisi, mengurangi rasa sakit dan
kecemasan pasien. Dan oksigen diberikan
untuk menjaga kadar saturasi dan
memperbaiki oksigen yang sampai ke
miokard (Anwar dan Bahri,, 2004). Klien
dengan peningkatan kerja miokard, dimana
jantung berusaha untuk mengatasi
gangguan O2 melalui peningkatan laju
pompa jantung yang adekuat
(www.farmakoterapi-info.com). Reperfusi
adalah tindakan yang cepat dan tepat.
Dengan pemberian trombolitik atau bahkan
dengan PCI (Primary Coronary Intervention)
dapat secara cepat meningkatkan aliran
darah miokard sehingga oksigen dapat
terpenuhi (Perki, 2009).

Tabel 2 Perubahan gambaran EKG


pasien PJK setelah 24 jam pemberian
terapi oksigen dan pemberian terapi Jombang, Juli 2010
farmakologi di HCU Jantung RSUD
Perubahan
gambaran EKG f %
Gambaran EKG pasien PJK Sebelum dan Bai 17 68
setelah Diberikan Terapi Oksigen Dan k 2 8
Terapi Farmakologi Teta 6 24
p
Buru
k
Gambaran EKG sebelum pemberian Jumlah 25 100
terapi oksigen dan terapi farmakologi
didapatkan terdapat gambaran ST elevasi
sebanyak 10 pasien (40%), gambaran ST Setiap siklus jantung terdiri dari
elevasi dan ST depresi sebanyak 2 pasien urutan peristiwa listrik dan mekanik yang
(4%), gambaran ST elevasi dan T inversi saling terkait. Gelombang rangsangan listrik
sebanyak 8 pasien (32%), ST depresi dan T tersebar dari nodus SA melalui sistem
inversi sebanyak 3 pasien (24%) dan konduksi menuju miokardium untuk
gambaran T inversi sebanyak 2 pasien (8%) merangsang kontraksi otot. Rangsangan
seperti tabel 1. listrik ini disebut sebagai depolarisasi, dan
diikuti pemulihan listrik kembali yang
disebut repolarisasi.
Aktivitas listrik sel yang dicatat secara grafik reversibel pada EKG dasar yang terjadi saat
melalui elektroda intrasel memperlihatkan episode nyeri dada (pergeseran segmen ST,
bentuk khas, yang disebut potensial aksi. inversi gelombang T) merupakan tanda
Sedangkan aktivitas listrik dari semua sel penyakit oklusif koroner. Perubahan yang
miokardium secara keseluruhan dapat luas dikaitkan dengan prognosis yang buruk
dilihat dalam suatu elektrokardiogram. karena berhubungan dengan penyakit
Gelombang koroner yang berat dan difus (Anwar dan
pada Bahri, 2004).
elektrokardiogram mencerminkan Adanya gambaran EKG ST elevasi, ST
penyebaran rangsang listrik dan depresi maupun T inversi yang menunjukkan
pemulihannya melalui miokardium ventrikel adanya gangguan di miokard yang
dan atrium. Kelainan tata listrik jantung menandakan miokard kekurangan oksigen
akan menimbulkan kelainan gambaran EKG. yang bisa disebabkan oleh penyempitan
Segmen ST yang normal terletak arteri koroner atau spasme. Keadaan ini tidak
sejajar dengan garis isoelektrik, pada boleh dibiarkan terlalu lama karena arteri
kelainan segmen ST di bawah garis koroner membutuhkan oksigen sehingga
isoelektrik disebut ST depresi yang memerlukan penanganan yang cepat dan
menunjukkan otot jantung kekurangan tepat sehingga tidak terjadi perluasan infark,
oksigen (iskemik) dan jika kelainan segmen ST komplikasi seperti odema paru bahkan dapat
di atas garis isoelektrik disebut ST elevasi mengakibatkan kematian. Keberhasilan
yang menunjukkan adanya cidera akut otot terapi penyakit jantung koroner bergantung
jantung (injuri), sedangkan gelombang T di pada pengenalan dini gejala dan transfer
bawah garis isoelektrik (inversi) pasien segera ke unit/instalasi gawat darurat.
menunjukkan adanya iskemik otot jantung Trombolisis dipilih jika pasien segera
terutama pada saat aktivitas (Widjaja, dirawat dalam 3 jam pertama setelah onset
2009). (idealnya dalam 1 jam). Trombolisis dalam 1
Pasien mengalami perubahan
jam pertama sejak gejala muncul tetapi dalam 2 tahun terakhir pemberian
menghasilkan penrunan mortalitas 50%, trombolitik di RSUD Kabupaten Jombang
jika lebih lambat (dalam tidak dilaksanakan. Hal ini disebabkan tidak
12 jam setelah onset gejala) maka angka tersedianya trombolitik (streptokinase) di
penurunan resiko mortalitas turun (<50%). RSUD Jombang, padahal terapi ini sangat
Jika lebih dari 12 jam, tidak ada perbedaan dibutuhkan pasien. Disini peran perawat
antara terapi trombolosis dan terapi sangat dibutuhkan. Perawat adalah mitra
konvensional walaupun masih cenderung dokter yang harus mengingatkan dokter
menurunkan kematian. Oleh karena itu untuk mengorder obat tersebut
pengenalan dini gejala dan pemberian terapi (Streptokinase) dan karena pemberian
trombolisis sangat penting, sehingga trombolisis sangat penting mengingat “door
kebijakan National Service Framework for to needle” yaitu pasien harus menerima
Coronary Heart Disease menyatakan agar trombolisis dalam 1 jam maka tindakan
sedapat mungkin “door to needle” time 60 reperfusi dengan trombolisis dilakukan di
menit (semua pasien harus menerima IRD (Hipercci, 2010).
trombolisis dalam waktu 1 jam sejak kontak
pertama dengan petugas kesehatan). Akan
Perubahan Gambaran EKG Setelah
Pemberian Terapi Oksigen Nasal Kanul
4Lpm Dan Pemberian Terapi Farmakologi

Hasil penelitian pada tabel 3


menunjukkan perubahan gambaran EKG
pasien PJK yang mendapat terapi oksigen
nasal kanul 4 lpm dan terapi farmakologi I
adalah sebagian baik dan sebagian buruk
masing-masing sebanyak 2 orang (50%).
Gambaran EKG Pasien PJK dengan
pemberian terapi oksigen nasal kanul 4 lpm
dan terapi farmakologi II dan III adalah
semuanya (100%) masing-masing 2 orang
dan 8 orang baik Pasien yang mendapat
terapi oksigen nasala kanul 4lpm dengan
terapi farmakologi IV didapatkan perubahan
gambaran EKG yang baik, tetap dan buruk
sama yaitu masing-masing 1 orang (33,3%).
Pasien yang mendapat terapi nasal kanul
4lpm dan terapi farmakologi V mengalami
perubahan gambaran EKG buruk sebanyak 2
orang (66,7%).
Berdasarkan tabel 3 pasien yang
mendapat terapi oksigen nasal kanul 4 lpm
dan terapi farmakologi I menunjukkan
bahwa mengalami perubahan gambaran
EKG baik dan buruk masing-masing
sebanyak 50%. Pasien yang mendapat terapi
oksigen nasal kanul 4 lpm dan terapi
farmakologi II dan III semuanya (100%) baik.
Pasien yang mendapat terapi oksigen nasal
kanul 4 lpm dan terapi farmakologi IV
mengalami perubahan gambaran EKG baik,
tetap dan buruk masing-masing 33,3%.
Pasien yang mendapat terapi oksigen nasal
kanul 4 lpm dan terapi farmakologi V
sebanyak 66,7% mengalami perubahan
gambaran EKG buruk.
Perubahan gambaran EKG yang
buruk disebabkan oleh adanya perluasan
infark, dimana perfusi miokard dan
kebutuhan metabolik akan oksigen
bertambah. Perubahan gambaran EKG
yang baik disebabkan oleh karena
peningkatan suplai oksigen ke miokard dan
penurunan kebutuhan oksigen. ini
disebabkan oleh obat antiangina (senyawa
nitrat, penghambat beta, menghambat
kanal kalsium) dan asetosal
(Isselbacher, 2000).
Tabel 3 Perubahan gambaran EKG pada pasien PJK dengan pemberian terapi oksigen
nasal kanul 4 lpm dan terapi farmakologi I di HCU Jantung
RSUD Jombang,Juli 2010

Jenis Terapi Farmakologi Perubahan Gambaran EKG


Baik Tetap Buruk Total
f % F % f % F %
terapi farmakologi I (Nitrat + Kombinasi 2 50 - - 2 50 4 100
Antiplatelet + ACE inhibitor + Statin +
Calsium Antagonis)
terapi farmakologi II 2 100 - - - - 2 100
(Nitrat+Antiplatelet+β blocker+LMWH)
terapi farmakologi III (Nitrat+kombinasi 8 100 - - - - 8 100
Antiplatelet+Statin)
terapi farmakologi IV (Nitrat i.v + 1 33,3 1 33,3 1 33,3 3 100
kombinasi Antiplatelet + ACE Inhibitor +
Statin + LMWH)
terapi farmakologi V 1 33,3 - - 2 66,7 3 100
(Nitrat+Antiplatelet+ACE
Inhibitor+Calsium Antagonis)

Senyawa nitrat bekerja melalui dua Perubahan gambaran EKG pada pasien
mekanisme. Secara in vivo senyawa nitrat dengan terapi oksigen nasal kanul 4lpm dan
merupakan pro drug yaitu menjadi aktif setelah terapi farmakologi II
dimetabolisme dan menghasilkan nitrogen (Nitrat+Antiplatelet+β
monoksida (NO). Biotransformasi senyawa blocker+LMWH) didapatkan 2 pasien (100%)
nitrat yang berlangsung intraseluler ini mengalami perubahan EKG yang baik (tabel
dipengaruhi oleh adanya reduktase ekstrasel 4.9). Hal ini disebabkan oleh pemberian β
dan reduced tiol (glutation) intrasel. Nitrogen blocker dalam 5 jam pertama bila tidak ada
monoksida akan membentuk kompleks kontra indikasi dapat mengurangi luasnya infark
nitrosoheme dengan guanilat siklase dan (Anwar Anwar dan Bahri,2004). Pemberian dini
menstimulasi enzim ini sehingga kadar cGMP β blocker bermanfaat
meningkat. Selanjutnya cGMP akan
menyebabkan defosforilasi miosin, sehingga
terjadi relaksasi otot polos. Mekanisme kerja
yang kedua yaitu akibat pemberian senyawa
nitrat, endotelium akan melepaskan
prostasiklin (PGI2) yang bersifat vasodilator.
Berdasarkan kedua mekanisme ini, senyawa
nitrat dapat menimbulkan vasodilatasi, dan
pada akhirnya menyebabkan penurunan
kebutuhan dan peningkatan suplai oksigen
(Gunawan, 2007). Sedangkan
asetosal/antiplatelet digunakan karena dapat
mencegah atau mengurangi agregasi
trombosit, dengan demikian aliran darah tidak
semakin terhambat (www.farmakoterapi-
info.com, 2010). Adanya perluasan infark atau
pecahnya trombus yang nantinya akan
menyebabkan sumbatan baru pada pembuluh
darah maka akan mengakibatkan kurangnya
suplai oksigen pada pembuluh darah yang
sehingga terjadi infark atau injuri (Anwar dan
Bahri, 2004).
menurunkan 15% mortalitas dalam 36 jam menjadi lebih buruk dan terjadinya nekrosis di
setelah miokard infark dengan cara miokard.
menurunkan kebutuhan oksigen, membatasi Perubahan gambaran EKG pada pasien
ukuran infark, mengurangi resiko pecahnya PJK dengan pemberian terapi oksigen nasal
pembuluh djantung dengan menurunkan kanul 4 lpm dan terapi farmakologi V
tekanan darah, mengurangi resiko aritmia (Nitrat+Antiplatelet+ACE Inhibitor+Calsium
ventrikuler dan supraventrikuler yang Antagonis) yaitu pada tabel 3 didapatkan 2
disebabkan aktivasi simpatik. LMWH (Low dari 3 pasien mengalami perubahan gambaran
Moleculler Weight Heparin) digunakan untuk buruk. Hal ini disebabkan oleh adanya
membatasi perluasan thrombosis koroner perluasan infark dan perubahan dari infark
pada NSTEMI/Unstable angina. subendokard menjadi transmural.
Pada tabel 4 yaitu pasien dengan Perubahan gambaran EKG baik, tetap
terapi oksigen nasal kanul 4 lpm dan terapi maupun buruk semuanya tidak telepas dari
farmakologi IV (Nitrat i.v + kombinasi peran dokter, perawat dan pasien itu sendiri.
Antiplatelet + ACE Inhibitor Dokter sebagai pemberi terapi dan perawat
+ statin + LMWH) disebutkan bahwa pasien yang selalu berada di dekat pasien selam 24
yang mengalami perubahan gambaran EKG jam harus selalu memantau keadaan pasien
baik sebanyak 1 pasien (33,33%), perubahan dan melaksanakan asuhan keperawatan.
gambaran EKG tetap 1 pasien (33,33%), dan Pasien sebagai penerima terapi juga
perubahan gambaran buruk juga 1 pasien merupakan penentu dari keberhasilan terapi
(33,33%), hal ini bisa dikarenakan adanya dan tindakan yang telah dilakukan oleh dokter
perluasan infark sehingga perfusi miokard dan perawat. Kondisi pasien sangat
menentukan apakah terapi yang telah hanya memberikan konsentrasi 24-44 %, dan
diberikan dapat meningkatkan status masker sederhana 40-60%.
kesehatan pasien itu sendiri. Perawat tidak
boleh hanya bergantung dari terapi yang
Perubahan Gambaran EKG Setelah Pemberian
diadviskan oleh dokter saja, akan tetapi
Terapi Oksigen Masker Sederhana 8 Lpm Dan
intervensi perawat juga menentukan
Terapi Farmakologi
keberhasilan dalam melakukan asuhan
keperawatan. Dalam hal ini pemberian oksigen
yang adekuat dan sesuai dengan kondisi pasien Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui
sangat diperlukan dalam meningkatan suplai bahwa pasien yang mendapat terapi oksigen
oksigen di miokard pada khususnya dan di masker sederhana 8 lpm dan terapi farmakologi
seluruh tubuh pada khususnya. Pemberian mengalami perubahan gambaran EKG baik
terapi oksigen merupakan tindakan kolaborasi sebanyak 3 orang (100%). pasien yang
yang tentunya tanpa advice dokter, perawat mendapat terapi terapi oksigen masker
dapat melakukan terapi oksigen secara benar. sederhana 8 lpm terapi farmakologi IV
Akan tetapi ketiadaan SOP dalam pemberian mengalami perubahan gambaran EKG baik
terapi oksigen di RSUD Kabupaten Jombang sebanyak 2 orang (66,7%). pasien yang
bisa menimbulkan kendala. Bahwa pasien mendapat terapi masker sederhana 8 lpm dan
sesak atau nyeri dada diberi terapi oksigen, terapi farmakologi V mengalami perubahan
akan tetapi rasional dan dosis yang diberikan gambaran EKG baik dan tetap masing-masing 1
hanya sebatas rutinitas. orang (50%).
Perlunya pemeriksaan penunjang lain Berdasarkan tabel 4 perubahan
seperti pemeriksaan BGA (Blood Gas Analisa) gambaran EKG pada pasien PJK dengan
sangat diperlukan. Karena BGA dapat sebagai pemberian terapi oksigen masker sederhana 8
acuan lpm dan terapi farmakologi IV menunjukkan
adanya hipoksia di jaringan. Sehingga acuan sebanyak 66,7% mengalami perubahan
dalam pemberian terapi oksigen yang lebih gambaran EKG baik. Pasien PJK dengan
lanjut dapat diberikan seperti pemasangan pemberian terapi oksigen masker sederhana 8
ventilator. Mengingat pemberian nasal kanul
lpm dan terapi farmakologi V mengalami mengurangi stress dalam miokardium. Nitrat
perubahan gambaran EKG baik dan tetap selain sebagai anti nyeri angina juga dapat
masing-masing 50%. Perubahan gambaran menimbulkan vasodilatasi dan pada akhirnya
buruk disebabkan adanya perluasan infark dan menyebabkan penurunan kebutuhan dan
adanya perubahan dari infark subendokard peningkatan suplai oksigen. terapi platelet juga
menjadi transmural. mengurangi resiko trombosis koroner
Pemberian terapi oksigen untuk (http://www.kalbe.co.id . 20010)
memberikan transpor oksigen yang adekuat Hal ini menunjukkan bahwa pemberian
dalam darah sambil menurunkan upaya terapi oksigen 8 lpm dan terapi farmakologi V
bernapas dan (Nitrat+Antiplatelet+ACE

Inhibitor+Calsium Antagonis) terjadi


vasodilatasi pembuluh darah koroner sehingga
kebutuhan oksigen ke miokard terpenuhi.
Akan tetapi pada gambaran EKG yang tidak
mengalami perubahan disebabkan oleh tidak
adanya aliran kolateral yang mengakibatkan
penurunan perfusi miokard (Anwar dan Bahri,
2004).
Pemberian terapi oksigen dan terapi
farmakologi juga tidak terlepas dari kondisi
pasien itu sendiri. Terapi oksigen yang tidak
tepat juga dapat menimbulkan dampak yang
kurang baik bagi pasien. Adanya sumbatan di
miokard menyebabkan oksigen yang
diperlukan jantung untuk menyuplai oksigen
bagi tubuh dan bagi miokard itu sendiri
kurang, sehingga diperlukan vasodilator yang
diperoleh dari terapi farmakologi sehingga
sumbatan yang berada di miokard tidak terjadi
perluasan dan nekrosis pada miokard serta
diharapkan suplai oksigen yang dibutuhkan
miokard dapat terpenuhi (Hudak and Gallo,
1997; Smeltzer and Bave, 2001.)
Di dalam Artikel Terkini Perawat dan
Dokter, 2008 yaitu tentang profesionalisme
perawat critical care disebutkan bahwa salah
satu peran perawat adalah sebagai
kolaborator. Disini perawat bekerja melalui tim
kesehatan yang terdiri dari dokter, fisioterapis,
ahli gizi dan lain-lain dengan berupaya
mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang
diperlukan ternasuk diskusi atau tukar
pendapat dalam menentukan pelayanan
selanjutnya.
Adapun fungsi dari perawat salah
satunya adalah fungsi interdependen. Dimana
dalam fungsi ini dilakukan oleh kelompok tim
yang bersifat ketergantungan diantara tim satu
dengan lainnya dan membutuhkan kerjasama
tim sehingga dokter dalam memberikan
pengobatan bekerjasama dengan perawat
dalam memantau reaksi obat yang telah
diberikan. Perawat selalu berada di sisi
pasien. Dimana setiap waktu selalu
mengetahui kondisi pasien apakah
mengalami perbaikan atau bahkan
memburuk. Atas dasar inilah perawat wajib
mengingatkan dokter yang dalam hal ini
dokter mempunyai kewenangan dalam
memberikan terapi farmakologi. Karena tidak
mustahil perawat lebih mengerti respon
pasien terhadap terapi farmakologi yang telah
diberikan oleh dokter. Sehingga perawat juga
bisa mengingatkan dokter jika dengan terapi
farmakologi yang telah diberikan, tidak ada
Tabel 4 perubahan gambaran EKG pada pasien PJK dengan pemberian terapi oksigen
masker sederhana 8 lpm dan terapi farmakologi di HCU Jantung RSUD Jombang, Juli
2010
Jenis Terapi Farmakologi Perubahan Gambaran EKG
Baik Tetap Buruk Total
f % f % f % f %
terapi farmakologi IV (Nitrat i.v + 2 66,7 - - 1 33,3 3 100
kombinasi Antiplatelet + ACE Inhibitor +
Statin + LMWH)
terapi farmakologi V 1 50 1 50 - - 2 100
(Nitrat+Antiplatelet+ACE
Inhibitor+Calsium Antagonis)

perubahan pada pasien atau bahkan keperawatan; Pentingnya untuk disediakan


memburuk. Berdasar hasil uji statistik Kendall trombolisis dalam formularium obat, dan
Tau Beta menunjukkan bahwa terapi oksigen Mengadakan pelatihan tentang cara
dan terapi farmakologi jika berdiri sendiri tidak mengintepretasikan EKG, reperfusi (trombolisis)
bermanfaat terhadap perubahan gambaran pada perawat IRD.
EKG, maka perlu diberikan terapi oksigen
dengan terapi farmakologi secara bersama-
sama.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat


disimpulkan sebagai berikut :
1. Gambaran EKG sebelum pemberian terapi oksigen
dan terapi farmakologi didapatkan sebanyak 40%
mengalami gambaran ST elevasi dan setelah
pemberian oksigen dan terapi farmakologis
didapatkan sebanyak 68% gambaran EKG-nya
membaik.
2. Perubahan gambaran EKG pada pasien PJK dengan
pemberian terapi nasal kanul 4 lpm dan terapi
farmakologi didapatkan sebagian besar dengan
perubahan gambaran EKG baik dan sebagian kecil
didapatkan perubahan gambaran EKG buruk. Hal
ini dikarenakan adanya perluasan infark, nekrosis
miokard dan adanya perubahan dari infark
subendokard menjadi infark transmural.
3. Perubahan gambaran EKG pada pasien PJK dengan
pemberian terapi masker sederhana 8 lpm dan
terapi farmakologi sebagian besar didapatkan
perubahan gambaran EKG baik. Hal ini disebabkan
oleh perluasan infark dan perubahan infark sub
endokard menjadi transmural.
Beberapa hal yang disarankan adalah:
1)Perawat harus mengetahui kerja obat harus
mampu menganalisa hasil rekaman EKG
sebelum dan sesudah diberikan terapi oksigen
dan terapi farmakologi.secara dini mengetahui
dan melaporkan perubahan pasien kepada
dokter; 2) Bagi rumah sakit hendaknya
menyediakan SOP pemberian terapi oksigen
sebagai aspek legal dalam melakukan tindakan
Linsay E.A, 2006.The Alan E. Linsay ECG Learning Center,
DAFTAR ACUAN http://library.med.utah.edu/kw/ ecg/ diakses
5 Nopember 2006.
Anwar Djohan, T. Bahri, 2004. Patofisiologi dan
Penatalaksanaan Penyakit Jantung Penyakit Jantung Koroner . http://www.kalbe.co.id
Koroner. Fakultas Kedokteran USU. Medan files/PenyakitJantung Koroner.pdf/diakses 23
April 2010
Berman Audrey, dkk., 2009. Buku Ajar Praktik
Keperawatan Klinis Kozier & Erb. Edisi 5.
Hipercci. 2010. Peran Perawat. Artikel Terkini
Jakarta : EGC.
Perawat dan Dokter Profesionalisme
Gray Huon dkk, 2002. Lecture Notes Kardiologi. Edisi Perawat Critical
Keempat. Jakarta: Erlangga Medical Series. Care.
http://www.hipercci.org. Diakses 30
Gunawan, S.G, dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi. Agustus 2010
Edisi 5. Departemen Farmakologi dan
Terapeutik FKUI. Jakarta Perki, 2009. Pedoman Tatalaksana Penyakit
Kardiovaskular di Indonesia. Edisi ke-2 .
Hudak, C. M and Gallo B.M, 1997. Keperawatan Kritis Jakarta : Secretariat Indonesian Heart
Pendekatan Holistik. Jakarta : EGC. Association.
Potter. A and Perry A.G, 2005. Fundamental
Isselbacher, K.J, et al. 2000. Harrison Prinsip-Prinsip Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik,.
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 13. Volume 3. Edisi 4. Jakarta: EGC.
EGC. Jakarta
Price, S.A and Wilson L.M. 2003.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6 Volume I. Jakarta: EGC

Pusat Jantung Nasional National Cardiovascular Center Harapan Kita, 2001. Buku Ajar Keperawatan
Kardiovaskuler. Jakarta: Bidang Diklat dan Pelatihan Harapan Kita.

Smeltzer, Suzanne C and Bave B. G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8, volume 1. Jakarta : EGC

Terapi Farmakologi Sindroma Koroner Akut. http://www.farmakoterapi-info.com. iakses 15 Agustus 2010

Widjaja S, 2009. EKG Praktis. Tangerang: Binarupa Aksara


Review Jurnal 4 :

No Judul Jurnal Pengarang Metode penelitian Sampel/responden Hasil pene


1 perubahan Neni Ernawati, Penelitian ini Sampel penelitian Hasil penelitian d
gambaran ekg Joko Suwito, menggunakan adalah pasien yang gambaran EKG s
pasien jantung Siti Maemonah, metode deskriptif dirawat di HCU pemberian terapi
koroner setelah Dhiana cross-sectional Jantung yang diberi dan farmakologi
pemberian terapi Setyorini dengan melakukan terapi oksigen. 40% adalah ST e
oksigen dan observasi pada kriteria sampel
terapi gambaran EKG penelitian adalah :
farmakologi sebelum dan 1)Pasien yang
sesudah pemberian dirawat di HCU
terapi oksigen dan Jantung RSUD
terapi farmakologi Kabupaten Jombang;
di HCU jantung 2)Pasien yang
RSUD Kabupaten mendapat terapi
oksigen; 3)Pasien
dengan diagnosa
medis PJK; 4)Pasien
dengan terapi
farmakologi :
antiplatelet (aspilet
dan atau plavix),
nitrat (fasorbid tablet
atau injeksi
cedocard), calcium
antagonis (nifedipin,
diltiazem), statin
(simvastatin,
cholestat), LMWH
(injeksi lovenox).
Besar sampel
sebanyak 25 sampel.

JURNAL 5

JIMKESMAS
JURNAL ILMIAH MAHASISWA KESEHATAN
MASYARAKAT
VOL. 3/NO.3/ Agustus 2018; ISSN 2502-731X
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN
DERMATITIS KONTAK PADA NELAYAN DI KELURAHAN INDUHA
KECAMATAN LATAMBAGA KABUPATEN KOLAKA TAHUN 2017
Elva Zania1 Junaid2 Ainurafiq3
123
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Halu Oleo
1
elfasir1@gmail.com 2drs.junaid.mkes@gmail.com
3
ainurafiqiz@yahoo.co.id
ABSTRAK

Penyakit kulit dan subkutan lainnya merupakan peringkat ketiga dari sepuluh penyakit utama
dengan 86% adalah dermatitis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada nelayan di Kelurahan Induha Kecamatan
Latambaga Kabupaten Kolaka Tahun 2017. Jenis penelitian bersifat observasional analitik dengan
pendekatan cross sectional study. Penelitian ini dilaksanakan bulan Oktober – November 2017
Kelurahan Induha Kecamatan Latambaga Kabupaten Kolaka. Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh Nelayan di Kelurahan Induha Kecamatan Latambaga Kabupaten Kolaka yang berjumlah 76
orang dengan menggunakan teknik total sampling. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa ada
hubungan antara hygiene personal dengan kejadian dermatitis kontak, ada hubungan antara lama
kontak dengan kejadian dermatitis kontak, tidak ada hubungan antara riwayat penyakit sebelumnya
dengan kejadian dermatitis kontak. Diharapkan agar nelayan memperhatikan hygiene personal
(kebersihan diri) agar dapat mengurangi resiko terkena Dermatitis Kontak.

Kata Kunci : Dermatitis Kontak, Hygiene Personal, Lama Kontak, Riwayat Penyakit Kulit Sebelumnya
Nelayan
JIMKESMAS
JURNAL ILMIAH MAHASISWA KESEHATAN
MASYARAKAT
PENDAHULUAN VOL. 3/NO.3/
yang merupakan Agustuskontak
dermatitis 2018; ISSN 2502-731X
sebesar 92,5%,
Kesehatan kerja adalah aspek atau unsur sekitar 5,4% karena infeksi kulit dan 2,1% penyakit
kesehatan yang erat berkaitan dengan lingkungan kulit karena sebab lain. Pada studi epidemiologi,
kerja dan pekerjaan secara langsung atau tidak Indonesia memperlihatkan bahwa 97% dari 389
langsung dapat mempengaruhi kesehatan tenaga kasus adalah dermatitis kontak, dimana 66,3%
kerja. Tujuan dari kesehatan kerja sendiri adalah diantaranya adalah dermatitis kontak iritan dan
untuk meningkatkan dan memelihara derajat 33,7% adalah dermatitis kontak alergi6.
kesehatan tenaga kerja yang setinggi–tingginya
baik jasmani, rohani maupun sosial untuk semua
lapangan pekerjaan, mencegah timbulnya
gangguan kesehatan yang disebabkan oleh
kondisi kerja, melindungi tenaga kerja dari bahaya
kesehatan yang timbul akibat pekerjaan, dan
menempatkan tenaga kerja pada suatu
lingkungan kerja yang sesuai dengan kondisi fisik
atau faal tubuh dan mental psikologis tenaga
kerja yang bersangkutan1.
Kulit merupakan organ pemisah antara
bagian di dalam tubuh dengan lingkungan di luar
tubuh. Kulit secara terus menerus terpajan
terhadap faktor lingkungan, berupa fisik, kimiawi
maupun biologik2. Oleh karena itu apabila terjadi
kerusakan yang melampaui kapasitas toleransi
daya penyembuhan maka akan terjadi penyakit 3.
Penyakit kulit akibat kerja (occupational
dermatoses) merupakan suatu peradangan kulit
yang diakibatkan oleh suatu pekerjaan seseorang.
Dermatitis kontak merupakan 50% dari semua
Penyakit Akibat Kerja terbanyak yang bersifat
nonalergi atau iritan4.
Kejadian dermatitis di Amerika Serikat,
Eropa, Jepang, Australia, dan negara Industri lain
memiliki prevalensi dermatitis atopik 10 sampai
20% pada anak dan 1-3% terjadi pada orang
dewasa. Sedangkan di Negara Agraris misalnya
China, Eropa Timur, Asia Tengah memiliki
prevalensi Dermatitis Atopik lebih rendah.
Berdasarkan data gambaran kasus penyakit kulit
dan subkutan lainnya merupakan peringkat ketiga
dari sepuluh penyakit utama dengan 86% adalah
dermatitis diantara 192.414 kasus penyakit kulit
di beberapa Rumah Sakit Umum di Indonesia
tahun 20115.
Prevalensi dermatitis di Indonesia sebesar
6,78% Di Indonesia prevalensi dermatitis kontak
sangat bervariasi. Sekitar 90% penyakit kulit
akibat kerja merupakan dermatitis kontak, baik
iritan maupun alergik. Penyakit kulit akibat kerja
2
seperti kulit kering, merah, gatal-gatal, penebalan
Pada studi epidemiologi, Indonesia kulit yang tampak pada bagian tangan dan kaki.
memperlihatkan bahwa 97% dari 389 kasus Menurut mereka hal ini disebabkan karena terlalu
adalah dermatitis kontak, dimana 66,3% lama tubuh dalam keadaan basah kemudian
diantaranya adalah dermatitis kontak iritan berada di bawah panas matahari. Ditinjau dari
(DKI) dan 33,7% adalah Dermatitis kontak segi kesehatan, beberapa petugas mengatakan
alergi (DKA). Insiden dermatitis kontak akibat bahwa adanya gangguan kulit yang dialami
kerja diperkirakan sebanyak 0,5 sampai 0,7 seperti kulit kering, merah, gatal -gatal, terbentuk
kasus per 1000 pekerja per tahun. Penyakit ruas dan penebalan kulit yang tampak pada
kulit diperkirakan menempati 9% sampai 34% bagian tangan
dari penyakit yang berhubungan dengan
pekerjaan. Dermatitis kontak akibat kerja
biasanya terjadi di tangan dan angka insiden
untuk dermatitis bervariasi antara 2% sampai
10%. Diperkirakan sebanyak 5% sampai 7%
penderita dermatitis akan berkembang
menjadi kronik dan 2% sampai 4% di antaranya
sulit untuk disembuhkan dengan pengobatan
topikal7.
Nelayan merupakan orang yang
melakukan pekerjaan menangkap ikan di laut.
Teori para ahli mencetuskan bahwa kejadian
dermatitis dipengaruhi oleh faktor langsung
(ukuran molekul, daya larut dan konsentrasi)
dan tidak langsung (suhu, kelembaban, masa
kerja, usia, jenis kelamin, ras, riwayat penyakit
sebelumnya, personal hygiene dan
penggunaan APD) serta lama kontak8.
Dermatitis pada nelayan mungkin akibat
air laut yang karena kepekatannya menarik air
dari kulit, dalam hal ini air laut merupakan
penyebab dermatitis kulit kronis dengan sifat
rangsangan primer. Tapi penyakit kulit
mungkin pula disebabkan oleh jamur- jamur
atau binatang-binatang laut. Pekerjaan basah
merupakan tempat berkembangnya penyakit
jamur, misalnya monoliasis9.
Berdasarkan data awal yang diperoleh di
Puskesmas Latambaga didapatkan bahwa
penyakit dermatitis kontak merupakan
penyakit yang masuk dalam kategori 10
penyakit terbesar dari tahun 2014 sampai
tahun 2016. Dimana Jumlah kasus penyakit
dermatitis pada tahun 2014 sebanyak 120
kasus, pada tahun 2015 sebanyak 146 kasus
dan pada tahun 2016
sebanyak 226 kasus10.
Berdasarkan observasi awal yang
dilakukan peneliti pada 15 orang nelayan di
Kelurahan Induha Kabupaten Kolaka, sebanyak
8 orang nelayan menderita kelainan kulit,

3
JIMKESMA
S
maupun kaki merupakan hal biasa, JURNAL ILMIAH
karena tidak 50 MAHASISWA
tahun denganKESEHATAN
masing-masing jumlah 3
mengganggu aktifitas maka mereka tidak responden (3,9%).
menghiraukannya. Karena biasanya setelah dari Tabel 2 Distribusi Responden Berdasarkan
bekerja nelayan tidak langsung membersihkan diri Tingkat Pendidikan Pada Nelayan di
atau mengganti pakaian kerja sehingga nelayan Kelurahan Induha Kecamatan
mengalami gatal-gatal dan mereka telah terbiasa Latambaga Kabupaten
Kolaka Tahun 2017.
dengan
No kondisi seperti T Pe
Pendidikan Jumlah (%)
inin jadi tidak perlu (n) rse
memeriksakan 10 13,2 nt
1 Tidak Sekolah
kesehatannya as
2 SDlebih 31 40,8 e
lanjut3 ke SMP petugas 32 42,1
kesehatan.
4 SM 3 3,9
Berdasarkan
uraian di atas,
peneliti tertarik
untuk mengetahui
faktor-faktor yang
berhubungan dengan
kejadian dermatitis
kontak pada nelayan
di Kelurahan Induha
Kecamatan
Latambaga
Kabupaten
Kolaka Tahun 2017 Kabupaten Kolaka yang
berjumlah 76 orang.
METODE
Teknik pengambilan
Jenis penelitian
sampel dalam penelitian
ini adalah penelitian
ini adalah denga
Observational analitik,
nmenggunakan
dengan menggunakan
pendekatan Cross
Secsional Study yaitu
variabel dependen dan
independen diamati
pada periode yang
sama11. Penelitian ini
dilaksanakan bulan
Oktober – November
2017 Kelurahan Induha
Kecamatan Latambaga
Kabupaten Kolaka.
Populasi dalam
penelitian ini adalah
seluruh Nelayan di
Kelurahan Induha
Kecamatan Latambaga
JIMKESMA
S
Total n JURNAL
Hygiene ILMIAH MAHASISWA KESEHATAN
53
Personal ,9
Sumber: Data Primer, Dengan H 2 Baik 8
Oktober 2017. A 10,5 27 35,5
Kejadian 35 46,1 0,012
Tabel 2 Dermatitis KARAKTERISTIK Total 30 39,5
menunjukkan Kontak RESPONDEN 46 60,5 76 100
bahwa dari 76 Pada Tabel 1 Distribusi Sumber: Data Primer,
responden (100%), Nelayan di Responden Oktober 2017.
tingkat pendidikan Kelurahan Berdasarkan Tabel 3
responden yang Induha Kelompok menunjukkan bahwa
paling banyak Kecamatan Umur Pada proporsi responden
adalah tingkat Latambaga Nelayan di yang memiliki Hygiene
pendidikan SMP Kabupaten Kolaka Tahun Kelurahan Personal buruk dengan
dengan jumlah 32 2017 Induha menderita dermatitis
D Kecamatan
responden (42,1%) e kontak sebesar 28,9%
dan yang paling r Latambaga
m
sedikit adalah a Kabupaten
t Kolaka
tingkat pendidikan i
SMA dengan t Tahun 2017.
No
i Kelompo Persentas dan tidak menderita
jumlah Umur (Tahun)3 Jumlah s
(%)
(n)
k e dermatitis kontak
responden (3,9%). K
1 BIVARIAT
ANALISIS 21-25 3 3,9
o 25,0%. Sedangkan
n proporsi responden
2 26-30
Tabel 3 Distribusi 19 25,1
t
3 31-35
Hubunga 24 31,5
a yang memiliki
k
4 36-40 16 Hygiene Personal
exhaustive sampling T21,1T
yaitu 5skema pencuplikan No M ρv baik dengan
41-45 11 en
id
a
14,5o alu
dimana Hygi de t e
menderita dermatitis
ene k
peneliti mengambil P rit
M
a
kontak sebesar
semua subjek dari e a l
e
populasi. rs n 10,5% dan tidak
o
n d menderita dermatitis
al er
it kontak sebesar
a 35,5%.
Hasil uji
n statistik dengan
menggunakan uji chi
%
square pada tingkat
n kepercayaan 95%
atau α = 0,05
%
didapatkan nilai p =
n 0,015 (PValue<α)
sehingga terdapat
%
1 6 46-50 menunjukkan bahwa dari
3,9
Buruk
76 responden (100%),
Total
umur responden yang
22 100
28,9 paling banyak adalah
Sumber: Data Primer, kelompok umur 31 – 35
19 Oktober 2017
25,0 tahun dengan jumlah 24
Tabel 1 responden (31,5%) dan
41
JIMKESMA
S
yang paling sedikit hubungan JURNAL antara ILMIAH MAHASISWA
kontak sebesar 11,8KESEHATAN
% kelurahan induha
adalah kelompok umur hygiene personal dan tidak menderita kurang
21-25 tahun dan dengan kejadian dermatitis kontak memeperhatikan
kelompok umur 46- dermatitis kontak sebesar 35,5 %. personal hygiene,
pada Nelayan di Hasil uji statistik karena setelah selesai
Kelurahan Induha dengan menggunakan bekerja tidak langsung
Kecamatan uji chi square pada mengganti pakaian
Latambaga tingkat kepercayaan kerja mereka padahal
Kabupaten Kolaka. 95% atau α = 0,05 pekaian tersebut
Tabel 4 Distribusi Nelayan di Kelurahan didapatkan nilai p = diganakan saat
Hubungan Induha Kecamatan 0,027 PValue<α melakukan aktifitas
Lama Latambaga Kabupaten sehingga terdapat yang berhubungan
Kontak Kolaka hubungan antara lama dengan air laut.
dengan kontak dengan kejadian Setelah nelayan
Kejadian DISKUSI dermatitis kontak pada selesai bekerja
Dermatitis Hygiene Personal Nelayan di Kelurahan
pengangkut mereka langsung
Kontak Pada Induha Kecamatan
sampah terdiri pulang ke rumah
Nelayan Latambaga Kabupaten
masing- masing masih
Kelurahan Kolaka.
dengan mengenakan
Induha Tabel 5 Distribusi
baju kerja yang
Kecamatan Hubungan
digunakan saat berada
Latambaga Riwayat
di laut12.
Kabupaten Penyakit Kulit
Pemeliharaan
Kolaka Tahun 2017. Sebelumnya
Dermatiti kebersihan
Dengan
s Kontak perorangan
Lama
No T T Kejadian
M
o ρ dari aspek, kebiasaan diperlukan untuk
e
id va Dermatitis
n
ak t lu mandi, kebiasaan kenyamanan individu
Kon M a e Kontak Pada
d
en l mencuci dan terhindarnya dari
tak er Nelayan di
it
de beberapa masalah
a
rit Kelurahan
a gangguan kesehatan
n % tangan, mencuci kaki, Induha
kebiasaan memotong salah satunya adalah
% n % Kecamatan
kuku, keluhan gangguan
Latambaga
1 21 27,6 dan kebiasaan kulit 13
. Salah satu
Nor 0 mengganti pakaian. Kabupaten
mal , Kolaka Tahun 2017 penyebab gangguan
19 25,0 0
2 Berdasarkan hasil
7 pengamatan yang D kulit yaitu pekerjaan
e dan kebersihan
40 52,6 r
dilakukan pada m perorangan yang baik.
nelayan a
di t Untuk memeliharan
2 Normal 9 11,8 27 35,5 36 i
47,4 menderita dermatitis t kebersihan kulit,
Total 30 39,5 kontak sebesar 27,6 % i kebiasaan- kebiasaan
46 60,5 76 100 s
dan tidak menderita yang sehat harus
Sumber: Data Primer, dermatitis kontak K
selalu diperhatikan
o
Oktober 2017. 25,0%. Sedangkan n seperti menjaga
Tabel 4 proporsi t
responden a kebersihan pakaian,
menunjukkan bahwa yang lama kontak k
mandi secara teratur,
proporsi responden normal dengan mandi menggunakan
yang lama kontak menderita dermatitis air bersih dan sabun,
tidak normal dengan
JIMKESMA
S
serta menjaga JURNAL
gangguan kulit yang ILMIAH MAHASISWA
perorangan bahwaKESEHATAN
kejadian dermatitis
kebersihan dapat dilakukan perilaku menjaga kontak pada Nelayan
lingkungan14. adalah menjaga higiene perorangan di kelurahan Induha
Salah satu kebersihan diri pada nelayan Kabupaten Kolaka.
pencegahan meliputi mengganti Selain itu hasil
Ri
T T (personal hygiene). baju sehabis bekerja, penelitian lain, Silalahi
wa M ρ
id o Kebersihan
yat e
ak t
v
al diri mencuci pakaian (2010) yang
No n
d
M a u
e
merupakan kerka, mencuci menyatakan ada
en l
Peny e
de
usaha dari individu tangan dan kaki hubungan yang
ri
akit
t
rit atau kelompok sehabis bekerja bermakna antara
Kulit a
a dalam menjaga (kontak dengan air kebersihan kulit
n % n % kesehatan melalui
1 Memiliki
n % kebersihan individu laut), dan mandi dengan keluhan
Riw dengan cara
ayat
12 15,8 17 dengan sabun mandi gangguan kulit.
Tidak 29 38,2 0
mengendalikan sehabis bekerja Kebersihan kulit pada
2 Memiliki
, dengan penelitian ini
18 23,7 9 kondisi lingkungan
8
berhubungan air dikategorikan menjadi
29 38,2 0 dan gangguan laut. baik dan tidak baik.
terhadap kulit15. Penelitian ini Kebersihan kulit yang
47 61,8 Nelayan terdapat hubungan paling banyak pada
antara hygiene penelitian ini pun
seharusnya personal dengan masuk ke dalam
kategori buruk tangan dan pemilihan
menjaga
sebanyak 41 responden jenis sabun yang dapa
dari 76 responden. menyebabkan sisa- sisa
higiene
Riwayat Penelitian ini air laut yag menempel
Total 30 39,5
sebesar 38,2%.
Hasil uji statistik sejalan dengan pada permukaan kulit,
46 60,5 76 100 penelitian Carina dan kebiasaan tidak
dengan menggunakan
Sumber: Data Primer, uji chi square pada menunjukkan bahwa mengeringkan tangan
Oktober 2017. tingkat kepercayaan ada hubungan hygiene setelah selesai mencuci
Tabel 5 95% atau α = 0,05 pribadi dengan kejadian tangan sehigga16 tangan
menunjukkan bahwa didapatkan nilai p = dermatitis. Hal ini menjadi lembab .
proporsi 0,980 (PValue>α) terjadi karena bukan Sebagian besar
responden yang sehingga tidak terdapat hanya pekerja yang para penderita dermatitis
memiliki riwayat hubungan antara memiliki personal memiliki personal hygiene
penyakit kulit dengan riwayat penyakit kulit hygiene yang kurang yang buruk yaitu tidak
menderita dermatitis sebelumnya dengan saja yang dapat terkena tidak mencuci tangan dan
kontak sebesar 15,8 % kejadian dermatitis dermatitis kontak, kaki dengan sabun, tidak
dan tidak menderita kontak pada tetapi juga pekerja yanh membersihkan sela-sela
dermatitis kontak memiliki personal jari tangan dan kaki, tidak
22,4%. Sedangkan hygiene yang baik. mencuci pakaian kerja,
proporsi responden pekerja yang memiliki tidak mandi minimal 2
yang tidak memiliki personal hygiene yang kali sehari. Dari data
riwayat penyakit kulit baik, dapat terkena sebanyak 22 responden
dengan menderita dermatitis kontak (28,9%) yang memiliki
dermatitis kontak karena kesalahan personal hygiene buruk
sebesar 23,7% dan pekerja dalam mencuci menderita dermatitis,
tidak menderita tangan, misalnya kurang selebihnya 8 responden
dermatitis kontak bersih dalam mencuci (10,5%) menderita
JIMKESMA
S
dermatitis meskipun misalnya JURNAL ILMIAH
monoliasis. MAHASISWA KESEHATAN
mengetahui sisa air laut yang
memiliki personal Serkarial dermatitis kemungkinan menempel di baju
hygiene baik. mungkin menghinggapi penyebab penyakit dapat menginfeksi
Dermatitis nelayan- nelayan yang yang sedang tubuh bila dilakukan
kontak terjadi karena hidup di pantai dengan dideritanya. pemakaian berulang
kurangnya perhatian keadaan sanitasi kurang Berdasarkan kali. Pencucian pakain
nelayan terhadap baik, penyebabnya ialah hasil observasi juga perlu di pisahkan
kebersihan diri larva sejenis cacing. peneliti, hal ini dari dari baju anggota
terutama menjaga Beberapa jenis ikan dikarenakan keluarga lainnya, agar
kebersihan pakaian dapat menyebabkan lingkungan kerja keluarga terhindar dari
kerja setelah pulang kelainan kulit, biasanya mereka yang tidak kontaminasi.
dari kerja. Kebanyakan nelayan-nelayan bersih dan fasilitas Sebaiknya pakaian
dari pekerja ini kurang mengetahui jenis-jenis yang tersedia tidak dicuci setelah satu kali
menjaga kebersihan ikan yang memadai pula, pakai atau minimal
pakaian sehingga air mendatangkan gatal. sehingga merekapun dicuci sebelum di
laut masih ada dalam Sehingga melalui tidak mementingkan pakai kembali.
baju kerja dan riwayat pekerjaan yang kebersihan diri Selain itu
terkadang para dilakukannya seseorang mereka. Padahal adanya hubungan
petugas ini masih dapat kebersihan diri dapat antara dermatitis
menggunakan pakaian mencegah terjadinya kontak iritan dengan
yang dipakai dermatitis kontak, personal hygiene
sebelumnya dan dengan disebabkan oleh
jarang dicuci. Sehingga membiasakan mandi kebiasaan para
kebersihan diri ini dan mencuci pakaian nelayan yang kurang
sangat berhubungan kerja. Kebiasan memperhatikan
dengan kejadian mandi dan mencuci kondisi fisik mereka
dermatitis kontak tangan serta kaki seperti pada saat
pada nelayan. sangat penting pulang dari tempat
Hal ini terjadi karena bagian ini kerja langsung baring
bahwa penyakit kulit merupakan anggota dan tertidur tanpa
pada nelayan akibat tubuh yang paling memperhatikan
air laut yang karena sering kontak kebersihan dirinya. Hal
kepekatannya menarik langsung dengan air ini dikarenakan para
air dari kulit, dalam hal laut maupun hasil nelayan merasa lelah
ini air laut merupakan tangkapan laut dan mengantuk. Tanpa
penyebab dermatitis nelayan sedangkan disadari kebiasaan
kulit kronis dengan kebiasaan mencuci tersebut dapat
sifat rangsangan tangan dan kaki yang menyebabkan kulit
primer. Tetapi buruk dapat rentan cepat terkena
penyakit kulit pula memperparah gangguan. Pakaian
disebabkan oleh kondisi kulit apalagi yang basah karena air
jamur-jamur atau yang sudah terkena laut, keringat dan
binatang-binatang dermatitis kotoran akan menjadi
laut. sebelumnya. tempat
Pekerjaan basah Selain itu berkembangnya
merupakan tempat mencuci pakaian bakteri dan jamur.
berkembangnya juga perlu Pakaian yang telah
penyakit jamur, diperhatikan, karena terkontaminasi jamur
JIMKESMA
S
dan bakteri apabila pakaian yangJURNAL
sudah ILMIAH MAHASISWA
menangkap ikan KESEHATAN
jauh membutuhkan waktu
bersentuhan dikenakan sehari- maka jam kerja nelayan lebih dari 8 jam untuk
dengan kulit dapat hari yang sudah akan semakin lama pula menyelesaikan pekerjaan
menimbulkan kotor. Untuk kaos begitu sebaliknya. hingga selesai dalam
gejala penyakit kaki, kaos yang telah Berdasarkan hasil kondisi basah dan
kulit misalnya saja dipakai 2 kali harus penelitian bahwa ada lembab. Pajanan
menyebabkan gatal dibersihkan. Selimut, hubungan yang terhadap perubahan
pada kulit. sprei, dan sarung signifikan antara lama kondisi lingkungan
Pakaian yang bantal juga harus kontak nelayan dengan terutama yang berkaitan
telah di pakai diusahakan supaya kejadian dermatitis dengan temperatur yang
selama 12 jam, selalu dalam kontak. Nelayan sering ekstrim serta lingkungan
harus di cuci jika keadaan bersih melakukan yang lembab dapat
akan digunakan sedangkan kasur dan pekerjaannya hingga memicu terjadinya
kembali. Untuk itu bantal harus sering melampaui batas jam dermatitis kontak iritan.
perlu mengganti dijemur17. kerja yang aman yaitu Ketika nelayan
pakaian dengan Pajanan normalnya hingga 8 sampai di darat dan
yang besih setiap terhadap perubahan jam/hari. Pada memilah milah hasil
hari. Saat tidur dalam kondisi umumnya nelayan tangkapannya di laut
hendaknya kita lingkungan, terutama melakukan masih tetap dalam
mengenakan yang berkaitan penangkapan lebih dari kondisi baju yang basah
pakaian yang dengan temperatur 8 jam/hari namun dan lembab, sehingga
khusus untuk tidur yang ekstrim dan dalam kegiatan lain lama kontak nelayan
dan bukannya kelembaban. Kontak seperti mengumpulkan terhitung dari subuh
dengan peralatan yang bahan allergen amupun hasil tangkapan dari sampai sore hari, dalam
digunakan dalam iritan maka peradangan jaring ke bak kondisi ini pula nelayan
pekerjaan laut yang atau iritasi kulit dapat penampungan ikan tidak memperhatikan
mungkin berbahaya terhadi sehingga bisa hingga para nelayan sebagaimana pakaiannya
bagi kulit karena menimbulkan kelainan tersebut pulang ke akan tetapi memikirkan
mereka dapat kulit. daratan dan menjual hasil
menyebabkan untuk Lama kontak hasil tangkapannya
misalnya dermatitis merupakan salah satu dalam kondisi badan
kontak dan cedera faktor yang dan pakain yang basah,
traumatik yang dapat mempengaruhi kejadian ini membutuhkan waktu
menjadi portal masuk dermatitis kontak. berjam-jam.
untuk berbagai agen Nelayan yang ditemui Dapat
infeksi18. mengatakan bahwa diperkirakan bahwa jika
Lama Kontak mereka bekerja dari para nelayan melakukan
adalah jangka waktu subuh hingga sore, penangkapan ikan
pekerja berkontak adapula yang hingga selama 6 jam dan
dengan bahan kimia malam. Petani nelayan membutuhkan 2 jam
dalam hitungan mengakui bahwa untuk perjalanan pulang
jam/hari. Setiap bekerja sebagai hingga ke daratan
pekerja memiliki lama nelayan, ketika harus kemudian
kontak yang berbeda- melaut tergantung membutuhkan
beda sesuai dengan cuaca yang dihadapi dan beberapa jam lagi untuk
proses kerjanya. keadaan kondisi dekat mengurus ikan hingga
Semakin lama jauh nya nelayan menjualnya, ini berarti
berkontak dengan melaut, ketika lokasi bahwa para nelayan
JIMKESMA
S
tangkapan mereka signifikan JURNAL yang ILMIAH MAHASISWA
merupakan KESEHATAN
salah ataukah akibat kerja.
ini bisa terjual bermakna antara satu faktor yang Riwayat
semuanya. Hal lama kontak dengan dapat menjadikan penyakit kulit pada
inilah yang kejadian dermatitis kulit lebih rentan pekerja yang
memperlama kontak. Hasl terhadap penyakit sebelumnya atau
kontak nelayan penelitian Lestari dermatitis kontak. sedang menderita
dengan air laut dan menunjukkan bahwa Pada pemeriksaan meskipun non
hasil tangkapan pekerja yang dermatitis kontak dermatitis akibat kerja
lautnya. berkontak lebih lama terkadang sulit lebih mudah
Rutinitas lebih cenderung membedakan antara mendapat dermatitis
nelayan seperti ini lebih banyak kelainan kulit yang akibat kerja, karena
dilakukan setiap menderita dermatitis disebabkan fungsi perlindungan
hari sehingga kontak daripada alergi/riwayat dari kulit sudah
kerentanan nelayan pekerja dengan penyakit kulit berkurang akibat dari
terkena dermatitis jangka waktu dengan dermatitis penyakit kulit yang
kontak akan paparan lebih kontak akibat kerja. diderita sebelumnya.
semakin rentan singkat. Jika riwayat Fungsi perlindungan
karena pekerjaan Lama kontak alergi/penyakit kulit yang berkurang
nelayan mempengaruhi telah diketahui, tersebut antara lain
membutuhkan kejadian dermatitis maka dapat hilangnya lapisan
lama kontak, karena ditelusuri penyebab lapisan kulit, rusaknya
kontak/pajanan semakin lama kontak gangguan kulit saluran kelenjar
yang lama dengan dengan bahan kimia tersebut apakah keringat dan kelenjar
air laut demi maka akan semakin akibat alergen yang minyak serta
kelangsungan merusak sel kulit telah diketahui perubahan pH kulit
hidup para nelayan. hingga ke laspisan Diagnosis tidak memiliki riwayat
Hal yang harus yang lebih dalam dan mengenai riwayat penyakit kulit
diperhatikan risiko terjadinya dermatologi yang sering sebelumnya. Dari data
nelayan ketika dermatitis kontak diajukan untuk sebanyak 29 responden
sudah sampai di akan semakin membedakan suatu (38,2%) responden yang
darat adalah tinggi19. sama halnya penyakit dari penyakit tidak menderita
seharusnya dengan pendapat lainnya adalah dermatitis tidak memiliki
memperhatikan Nuraga bahwa lama menanyakan pada riwayat penyakit kulit
dan mengganti baju kontak dengan pasien apakah sebelumnya, sebaliknya
mereka ketika bahan kimia yang mempunyai riwayat 12 responden (15,8%)
sudah di darat agar terjadi akan masalah medis kronik21. yang menderita
mengurangi meningkatkan Hal ini sejalan dengan dermatitis memiliki
keterpaparan terjadinya dermatitis pendapat riwayat penyakit
mereka dengan kontak akibat kerja, Kabulrachman, bahwa sebelumnya.
kondisi baju yang semakin lama kontak timbulnya dermatitis Hasil penelitian ini
basah dan lembab. maka peradangan kontak alergi menunjukkan bahwa
Penelitian ini atau iritasi kulit dipengaruhi oleh tidak ada hubungan yang
sejalan dengan dapat terjadi riwayat penyakit konis signifikan antara riwayat
hasil penelitian sehingga dan pemakaian topical penyakit kulit dengan
Lestari (2008) yang menimbulkan lama22. kejadian dermatitis pada
20
menunjukkan kelainan kulit . Sebagian besar nelayan di Kelaurahan
bahwa terdapat Riwayat responden yang tidak Induha Kecamatan
hubungan yang penyakit kulit menderita dermatitis Latambaga. Riwayat
JIMKESMA
S
penyakit digunakan JURNAL
dermatitis kontak ILMIAH
iritan. yangMAHASISWA
tidak peduliKESEHATAN
Kecamatan
sebagai salah satu Riwayat penyakit kulit dengan kesehatan Latambaga
dasar penentuan sebagian yang diderita mereka, karena Kabupaten Kolaka
apakah suatu penyakit nelayan adalah hanya nelayan yang Tahun 2017
2. Ada hubungan
terjadi akibat penyakit penyakit kulit yang mempunyai riwayat
antara Lama Kontak
terdahulu, sehingga sifatnya subjektif seperti alergi ini malas dengan Kejadian
riwayat penyakit gatal-gatal, panu, dan berobat dan Dermatitis Kontak
sangat penting dalam penyakit- penyakit kulit menganggap sepele Pada Nelayan di
proses penyembuhan yang sifatnya sementara penyakit kulit yang Kelurahan Induha
seseorang. saja. Akan tetapi mereka alami. Kecamatan
Menurut hasil nelayan melihat ini Sebaiknya Latambaga
observasi, hal ini hanya permasalahan nelayan yang Kabupaten Kolaka
dikarenakan para yang biasa saja tanpa memiliki riwayat Tahun 2017
3. Tidak Ada hubungan
nelayan yang memiliki melakukan pengobatan penyakit khusus
antara Riwayat
riwayat penyakit kulit yang serius kepada memakain alat
Penyakit
lebih sedikit petugas kesehatan. pelindung diri seperti Sebelumnya dengan
mengalami dermatitis Sehingga ditambah lagi sarung tangan yang Kejadian Dermatitis
kontak. Hal tersebut dengan kondisi panjangnya sampai Kontak Pada Nelayan
dapat terjadi karena keterpaparan mereka lengan, sepatu di Kelurahan Induha
sebelumnya para dengan air laut semakin boots, dan pakaian Kecamatan
nelayan yang memiliki memperparah kondisi kerja yang menutupi Latambaga
riwayat penyakit kulit penyakit kulit yang seluruh badan yang Kabupaten Kolaka
sudah benar-benar diderita sebelumnya. terbuat dari bahan Tahun 2017
sembuh baik dengan Adanya riwayat yang anti air dan
cara pengobatan penaykit kulit serta tetap nyaman SARAN
maupun tidak sama riwayat alergi yang dipakai. Adapun saran
pernah dialami oleh Dikhawatirkan jika dalam penelitian
sekali. Selain itu ini yaitu :
semua pekerja, baik nelayan memungkinkan sedang mengalami 1. Untuk mencegah
yang memiliki riwayat mereka lebih beresiko penyakit kulit lain terjadinya Dermatitis
penyakit kulit maupun untuk menderita lalu tidak memakai pada nelayan,
tidak, berpotensi dermatitis. Rendahnya alat pelindung diri diharapkan agar
menderita dermatitis kesadaran nelayan yang memadai, nelayan
kontak karena semua penyakit kulit yang memperhatikan
pekerja terpapar dan diderita akan hygiene personal
berkontak langsung semakin parah. (kebersihan diri) agar
dapat mengurangi
saat bekerja.
resiko terkena
Hasil penelitian SIMPULAN Dermatitis, selain itu
dan teori diatas Adapun apabila sudah
sebanding dengan kesimpulan terkena Dermatitis
penelitian yang di dalam penelitian diharapkan para
lakukan di TPA ini yaitu : pekerja memiliki
Cipayung menunjukan 1. Ada hubungan kesadaran untuk
bahwa tidak ada antara Hygiene memeriksakan diri
hubungan yang Personal dengan dan berobat di
Kejadian Dermatitis Puskesmas atau
signifikan antara
Kontak Pada Klinik terdekat untuk
riwayat penyakit kulit
Nelayan di mencegah
sebelumnya seperti Kelurahan Induha bertambah parahnya
alergi dengan kejadian
JIMKESMA
S
penyakit 3. Untuk JURNALnelayan ILMIAH 3,
MAHASISWA
September 2012KESEHATAN
tersebut. yang mempunyai 13. Potter. 2005. Fundamental Keperawatan, Edisi
2. Untuk lama kerja riwayat penyakit Keempat. Jakarta: EGC
pada nelayan sebelumnya 14. Sajida, Agsa. 2012. Hubungan Personal Hygiene dan
perlu sebaiknya Sanitasi Lingkungan dengan Keluhan Penyakit Kulit di
diperhatikan lagi memperhatikan Kelurahan Denai Kecamatan Medan Denai Kota
agar nelayan kebersihan diri dan Medan Tahun 2012. Skripsi : Fakultas Kesehatan
yang mempunyai lama kontak Masyarakat Universitas Sumatera Utara
jam lama untuk dengan air laut 15. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2015.
dikurangi jam dikurangi lagi jam Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta : Kementerian
kerjanya supaya kerjanya dan Kesehatan RI
mengurangi berobat terlebih 16. Carina, Mety. 2008. Hubungan antara Hygiene Pribadi
kontak terhadap dahulu sebelum dengan kejadian dermatitis pada pekerja
paparan air laut penyakit yang pengangkutan sampah kota Palembang tahun
dan binatang diderita bertambah
laut. parah.
DAFTAR PUSTAKA
1. Suma’mur PK, 2009 Higiene Perusahaan dan
Kesehatan Kerja (Hiperkes), Jakarta, Penerbit:
SagungSeto.
2. Adiatma, dkk .2002. Kesehatan Dan Keselamatan
Kerja. Jakarta. Universitas Indonesia.
3. Brown, bourke, dan tim kunlifle, (2012).
Dermatologi. Jakarta. Buku kedokteran EGC.
4. Djuanda,2007.Ilmu Penyakit Kulitdan Kelamin.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
5. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011.
Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta : Kementerian
Kesehatan RI
6. Menurut Perdoski (2009
7. Tombeng, M., Darmada, I. & Darmaputra, I. 2013.
Occupational Contact Dermatitis In Farmers. E-
Jurnal Medika Udayana, 2, 200-217.
8. Suryani, F. 2011. Faktor-faktor yang berhubungan
dengan dermatitis kontak pada pekerja bagian
processing dan filling PT.Cosmar Indonesia
(skripsi). Tanggerang: Universitas Islam Negri Syarif
Hidayatullah.
9. Fatma Lestari dan Hari Suryo Utomo, 2007. Faktor-
faktor yang Berhubungan dengan Dermatitis
Kontak Pada Pekerja di PT Inti Pantja Press
Industri. Makara Kesehatan,Vol.11,No.2
10. Puskesmas Latambaga. 2015. Data Sekunder 10
Penyakit Terbesar Kelurahan Induha Kecamatan
Latambaga Kabupaten Kolaka.
11. Notoatmodjo, 2010. Metodologi Penelitian
Kesehatan, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta.
12. Mustikawati., Intan, Silviana, Farid Budiman,
Rahmawati. 2012. Hubungan Perilaku Penggunaan
Alat Pelindung Diri (APD) dengan Keluhan
Gangguan Kulit pada Pemulung di TPA Kedaung
Wetan Tangerang. Forum Ilmiah Volume 9 Nomor
JIMKESMA
S
JURNAL ILMIAH MAHASISWA KESEHATAN
2008. Skripsi. Program Studi Kesehatan
Masyarakat. FK Universitas Sriwijaya
17. Irianto, Koes. 2006. Menguak Dunia
Mikroorganisme. CV. Yrama Widya.Bandung.
18. Kosasih A. 2004. Dermatitis Akibat Kerja .
Bagian Ilmu Penyakit Dan Kelamin, Fakulta
Kedokteran, Universitas Indonesia. Jakarta
19. Cohen DE. 1999. Occupational Dermatosis,
Handbook of Occupational Safety and Health,
second edition, Canada.
20. Nuraga dkk, 2008.Dermatitis Kontak Pada
Pekerja Yang Terpajan Dengan Bahan Kimia Di
Perusahaan Industri Otomotif Kawasan Industri
Cibitung Jawa Barat. Jurnal.Makara, Kesehatan,
Vol. 12, No.
21. Goldstein, B.G. dan Goldstein, A.O. 2001.
Dermatologi Praktis. Jakarta: Hipokrates
22. Kabulrachman. 2003. Penyakit Kulit Alergi.
Semarang: Balai Penerbit Universitas
Diponegoro
Review Jurnal 5 :

No Judul Jurnal Pengarang Metode penelitian


1 faktor-faktor Jenis penelitian ini
Elva Zania Junaid2
1
yang adalah
berhubungan Ainurafiq3 Observational
dengan kejadian analitik
dermatitis menggunakan
kontak pada pendekatan
nelayan di Secsional Study
kelurahan yaitu variabel
induha dependen dan
kecamatan independen diamati
latambaga pada periode yang
kabupaten sama.
kolaka tahun
2017

Anda mungkin juga menyukai