Anda di halaman 1dari 14

OKSIGEN SEBAGAI OBAT

Haim Bitterman
Abstrak
Oksigen adalah salah satu agen terapeutik yang paling sering digunakan.
Tidaklah bijaksana apabila menggunakan oksigen dengan tekanan parsial yang
tinggi (hiperoksia) pada indikasi-indikasi yang tidak mendukung. Oksigen
memiliki potensi toksik dan diketahui berperan sebagai oksigen reaktif pada
cedera jaringan. Banyak data yang menunjukkan hiperoksia menyebabkan efek
fisiologi dan farmakologi terhadap perbaikan oksigenasi tubuh, anti-inflamasi, dan
efek anti-bakterial serta mekanisme perbaikan jaringan tubuh. Data ini menjadi
dasar rasional pemanfaatan hiperoksia pada sejumlah kondisi klinis yang ditandai
dengan hipoksia jaringan, infeksi, dan gangguan perbaikan jaringan. Data
mengenai efek hemodinamik regional dari hiperoksia dan bukti terbaru yang
mendukung aksi anti-inflamasi mendatangkan ketertarikan terhadap efek
terapeutik hiperoksia terhadap revaskularisasi dan proteksi miokardium, otak
iskemik-anoksis traumatik dan non-trauma, pencegahan infeksi lokasi operasi dan
pengurangan respon inflamasi lokal dan sistemik. Meskipun batasan aman antara
dosis efektif dan dosis toksik dari oksigen relatif sempit, kemampuan untuk
mengontrol dosis secara seksama, pelaksanaan protokol secara seksama, dan
regimen terapi individualnya membuat oksigen menjadi obat yang cost-effective.
Oksigen adalah salah satu agen terapeutik yang paling sering digunakan.
Oksigen memiliki efek fisiologi dan biokimia, batasan dosis yang efektif, dan efek
samping pada pemberian dosis tinggi. Oksigen digunakan secara luas oleh tenaga
medis untuk kondisi-kondisi tertentu atau untuk menghindari hipoksia jaringan.
Meskipun terapi oksigen dijadikan landasan dalam praktek medis modern dan
meskipun dampak fisiologinya telah dijelaskan, bukti ilmiah mengenai efeknya
terhadap kondisi klinik tertentu masih belum dapat dijelaskan.
Harga dari penggunaan oksigen tergolong rendah. Banyak rumah sakit
menobatkan oksigen sebagai agen terapeutik dengan profil yang tinggi.
Ketersediaan oksigen yang mudah menjadi salah satu penyebab oksigen menjadi

tidak terlalu menarik secara komersial dan menjadi penyebab kurangnya


penelitian skala besar mengenai manfaat oksigen. Lebih lanjut, paradigma yang
paling sering diterima yaitu mengenai hubungan hiperoksia dengan peningkatan
stres oksidatif dan batas yang relatif sempit antara dosis efektif dan dosis toksik.
Meskipun mudah untuk menghitung dosis oksigen secara cermat (kombinasi dari
tekanan parsial dan durasi paparan), berbeda dengan obat-obatan lainnya,
manifestasi signifikan dari toksikasi oksigen merupakan hal yang tidak umum.
Tinjauan baru-baru ini meringkas mengenai prinsip fisiologi dan farmakologi dari
terapi oksigen yang didasarkan pada karakteristik kondisi klinis akibat dari
gangguan oksigenasi jaringan tanpa hipoksemia arteri.

Rungan hiperbarik multiple walk-in. Tekanan terapi dilakukan melalui kompresi dari udara
ruangan. Pasien dipapar dengan oksigen atau gas campuran yang memiliki tekanan yang sama via
masker. Banya fasilitas hiperbarik yang dilengkapi guna menyediakan lingkungan perawatan kritis
skala penuh, termasuk ventilasi mekanik dan monitor.

Aplikasi
Hiperoksia normobarik (oksigen normobarik, NBO) dapat diaplikasikan
melalui masker dengan berbagai variasi dimana memungkinkan penghantaran
oksigen inspirasi sekitar 24% sampai 90%. Konsentrasi yang semakin tinggi dapat
dihantarkan oleh masker dengan reservoir, masker dengan tekanan udara positif
berkelanjutan, atau selama ventilasi mekanik. Ada dua metode yang digunakan
untuk penggunaan oksigen pada tekanan diatas 0,1 MPa (1 atmosfer absolut, 1
ATA). Pada awalnya, ruang hiperbarik didesain untuk satu pasien saja. Ruangan
diisi dengan oksigen 100% yang mana dikompresi hingga mencapai tekanan yang
dibutuhkan untuk terapi. Dengan metode kedua, terapi kemudian diberikan pada
ruang hiperbarik yang lebih besar. Ruangan kemudian diisi dengan udara yang

dikompresi sementara pasien menghirup oksigen 100% pada tekanan tertentu


melalui masker.
Tabel 1: Tekanan parsial oksigen alveolar ketika bernafas dengan udara bebas
atau oksigen 100% pada tekanan berbeda dari sampai 3 ATA
Tekanan total
PAO2 di udara
PAO2 di O2 100%
ATA
mmHg
1
760
102
673
2.5
1,900
342
1,813
3
2,280
422
2,193
ATA, atmosfer absolut, PAO2 tekanan parsial oksigen alveolar
Oksigenasi jaringan
Penghantaran oksigen ke jaringan bergantung pada adekuat tidaknya
ventilasi, pertukaran gas, dan gangguan sirkulasi. Ketika udara dihirup pada
tekanan atmosfer normal maka sebagian besar oksigen akan terikat pada
hemoglobin dan hanya sebagian kecil yang ditranspor secara bebas melalui
plasma. Pada paparan hiperoksia, hemoglobin secara komplit disaturasi oleh
oksigen. Hal ini hanya mengakibatkan sedikit peningkatan pada konten oksigen
dalam darah arteri. Sebagai tambahan, jumlah oksigen terlarut dalam darah juga
meningkat sesuai dengan proporsi langsung terhadap tekanan parsial oksigen.
Sehubung dengan rendahnya kelarutan oksigen dalam darah, maka jumlah
oksigen yang tidak terlarut dalam darah arteri selama paparan normobarik
terhadap oksigen 100% (sekitar 2 vol%) dapat memberikan hanya sepertiga dari
kebutuhan oksigen jaringan saat istirahat. Meski demikian, pada paparan terhadap
oksigen dengan tekanan 3 atmosfer (dalam ruang hiperbarik) ternyata terdapat
sejumlah oksigen terlarut yang cukup (sekitar 6 vol%) untuk memenuhi
kebutuhan rata-rata jaringan tubuh saat istirahat, tanpa melibatkan oksigen yang
terikat dengan hemoglobin. Bagian ini merupakan bagian yang rasional dari
penggunaan keadaan hiperoksia dimana terjadi gangguan kapasitas dari
hemoglobin yang membawa oksigen (sebagai contoh, pada keracunan karbon
monoksida, dan anemia berat dimana transfusi tidak memungkinkan).
Pertimbangan efek hiperoksia pada ketersediaan oksigen molekular terhadap
jaringan yang mana didasarkan pada perubahan konten oksigen darah arteri
melemahkan efek utama dari hiperoksia yaitu yang terkait dengan perubahan

tekanan parsial oksigen dalam darah (tabel 1). Aliran oksigen ke jaringan terjadi
melalui difusi. Penyebab difusi oksigen adalah perbedaan gradien tekanan parsial
antara darah kapiler dan sel jaringan serta sedikit banyak akibat peningkatan
konten dari oksigen. Inhalasi dari oksigen 100% menghasilkan peningkatan 5
hingga 7 kali dari tekanan oksigen darah arteri pada tekanan normal dan bahkan
dapat mencapai 2,000 mmHg selama tekanan hiperbarik dengan oksigen 0,3 MPa
(3 ATA). Peningkatan signifikan dari gradien tekanan oksigen dari darah ke sel
yang bermetabolisme adalah mekanisme utama dari hiperoksigenasi darah arteri
yang mana dapat memperbaiki oksigenasi selular bahkan di saat aliran darah ke
jaringan rendah.
Lonjakan ketertarikan terhadap peningkatan ketersediaan oksigen di
jaringan pada kondisi kritis mengakibatkan semakin maraknya penelitian penting
seperti penelitian tentang early goal-directed therapy pada sepsis yang mengkaji
protokol resusitasi yang ditujukan untuk meningkatkan oksigenasi jaringan.
Sayangnya, nilai spesifik dari terapi oksigen tidak diteliti dalam penelitian ini.
Penelitian terbaru membandingkan mengenai pengaruh allogenetik transfusi sel
darah merah dengan ventilasi oksigen 100% pada pasien anemia yang diresusitasi
setelah operasi jantung dimana hasilnya menunjukkan efek superior dari
hiperoksia normobarik pada tekanan oksigen jaringan (otot skelet).
Efek Hemodinamik
Ketersediaan oksigen di jaringan juga ditentukan oleh variasi efek
hemodinamik. Pada hewan dan manusia yang sehat, oksigen menyebabkan
peningkatan sementara dari tekanan darah dengan meningkatkan resistensi
vaskular perifer secara sekunder melalui vasokonstriksi perifer sistemik.
Perubahan sementara ini segera dikompensasi oleh penurunan frekuensi jantung
dan curah jantung sehingga menghindarkan efek terhadap tekanan darah arteri.
Kombinasi unik dari vasokonstriksi yang dipicu oleh hiperoksia dan tekanan
oksigen darah yang tinggi mampu memberikan keuntungan dengan cara
menurunkan komponen vasogenik dari peningkatan tekanan hidrostatik jaringan
sambil mempertahankan tekanan parsial oksigen yang tinggi dari darah ke

jaringan, dimana efek ini memberikan keuntungan pada cedera dan sindrom
kompartemen sebagaimana yang terjadi pada edema otak, terutama yang
berkembang setelah situasi dimana terdapat indikasi terapi oksigen hiperbarik
(seperti keracunan karbon monoksida dan emboli udara).
Penelitian terbaru mendukung peran hiperoksia pada iskemik-anoksik
serebral seperti stroke, cedera kepala, tenggelam, asfiksia, dan henti jantung.
Pada kasus cedera kepala yang spesifik, telah berulang kali menunjukkan bahwa
oksigen hiperbarik dapat menyebabkan vasokonstriksi serebral, meningkatkan
pO2 jaringan otak, dan mengembalikan potensi redoks mitokondria. Oksigen
normobarik juga menunjukkan penurunan tekanan intrakranial dan memperbaiki
indeks metabolisme oksidatif otak pada pasien dengan cedera kepala berat.
Data ekperimental signifikan yang diharapkan mampu menunjukkan efek
menguntungkan dari keadaan hiperoksida pada stroke iskemik diikuti dengan
percobaan klinis gagal membuktikan keuntungan tersebut. Terdapat pula beberapa
data klinis yang dipanggil ulang untuk re-evaluasi dari efek hiperoksia terhadap
hasil akhir stroke serta kemungkinan penggunaannya guna memperpanjang
periode jendela dari penggunaan trombolisis.
Kontroversi lain dari penggunaan oksigen normobarik adalah pada bayi
asfiksia. Penelitian klinis serta hasil laboratorium menunjukkan adanya efek
inferior dari resusitasi dengan oksigen 100% dibanding dengan udara ruangan.
Penelitian kumulatif selanjutnya serta tinjauan sistemik dari literatur tidak
mengindikasikan adanya perbedaan signifikan dari efektifitas penggunaan sumber
gas atau terhadap hasil akhir pada kelompok pasien tertentu. Sebuah tinjauan
sistematis dan meta-analisis secara acak atau quasirandomised dari neonatus yang
mengalami asfiksia ternyata menunjukkan penurunan resiko kematian yang
signifikan dan sebuah tren dalam mengurangi resiko ensefalopati iskemik
hipoksik yang berat pada neonatus yang diresusitasi dengan oksigen 21%.
Ketersediaan data tidak mendukung efek menguntungkan secara keseluruhan dari
hiperoksia pada kondisi ini, meskipun demikian superioritas udara ruangan pada
resusitasi neonatus masih tetap menjadi kontroversi.

Kontrasnya, pengetahuan akan efek hiperoksia regional serta mikrodinamik


lebih sedikit diketahui dibanding efek hiperoksia pada hemodinamik sentral.
Penelitian yang mencari hubungan hiperoksia yang diinduksi oleh perubahan
hemodinamik regional pada hewan sehat di tekanan hiperbarik dan normobarik
menemukan hasil yang bertentangan, diantaranya ditemukan peningkatan,
penurunan, atau tidak adanya perubahan pada aliran darah regional ke kapiler
tertentu. Hanya sedikit informasi yang tersedia mengenai efek hemodinamik
regional dari hiperoksia yang berhubungan dengan model penyakit. Sebelumnya,
penelitian perfusi dan iskemik arteri iliaka eksterna pada model kaninus akut
menunjukkan

bahwa

oksigen

hiperbarik

tidak

menginduksi

terjadinya

vasokonstriksi pada kapiler darah regional hingga defisit oksigen terkoreksi.


Penemuan seperti ini mendukung dugaan bawa situasi dinamik dapat muncul
dimana vasokonstriksi tidak selalu efektif pada jaringan yang mengalami hipoksia
berat dan oleh karena itu tidak membatasi ketersediaan oksigen selama paparan
hiperoksia dan bahwa vasokonstriksi hiperoksia dapat dilanjutkan setelah koreksi
terhadap hipoksia regional.
Lebih lanjut, pada model hewan tikus yang mengalami syok hemoragik
berat, kami menemukan bahwa hiperoksia normobarik meningkatkan resistensi
vaskular pada otot skelet dan tidak mengubah resistensi splenikus dan renalis. Hal
ini memungkinkan redistribusi aliran darah ke usus halus dan ginjal dengan
mengorbankan otot skelet. Efek divergen dari hiperoksia normobarik yang mana
menambah resistensi vaskular hind-quater tanpa efek signifikan terhadap kapiler
mesenterika superior juga ditemukan pada iskemik dan reperfusi splenikus model
hewan tikus ini. Dalam hal ini, telah dilaporkan redistribusi yang diinduksi oleh
hiperoksia normobarik terhadap curah jantung ke regio hepatosplenikus pada
model hewan babi dengan sepsis berat. Hiperoksia normobarik juga menunjukan
redistribusi dari aliran darah ke miokardium yang iskemik serta memperbaiki
fungsi kontraktilitas selama iskemia miokardium akibat lemahnya aliran darah.
Jadi, klaim mengenai hiperoksia sebagai vasokonstriksor universal pada semua
kapiler darah merupakan penyederhanaan yang berlebihan baik itu pada keadaan
normal maupun patologis. Lebih lanjut, efek hiperoksia pada hemodinalik

regional tidak dapat didasarkan pada ekstrapolasi sederhana dari manusia dan
hewan sehat serta memerlukan evaluasi yang cermat pada keadaan klinis tertentu.
Efek terhadap Inflamasi
Hipoksia jaringan mengaktivasi berbagai variasi mediator vaskular dan
inflamasi yang mana memicu inflamasi lokal dan dapat menyebabkan respon
inflamasi sistemik (systemic inflammatory response / SIR) yang dapat berujung
pada disfungsi dan kegagalan organ multipel. Harapan untuk menghindari atau
menangani respon inflamasi yang diinduksi oleh hipoksia memicu dilakukannya
penelitian mengenai efek hiperoksia terhadap respon inflamasi mikrovaskular.
Kebanyakan difokuskan pada model iskemik dan reperfusi yang mana sering
dipicu oleh respon inflamasi lokal, SIR, dan kegagalan organ multipel. Efek
keuntungan potensial dari hiperoksia dapat dikonfrontasi oleh pemahaman
mengenai peranan sentral dari reactive oxygen species (ROS) pada cedera akibat
iskemik dan reperfusi. Demonstrasi peningkatan produksi ROS selama paparan
terhadap jaringan normal menimbulkan kekuatiran bahwa terapi oksigen justru
dapat mengeksaserbasi cedera iskemik. Kekuatiran ini nampaknya rasional terkait
dengan penggunaan hiperoksia pada iskemik dan reperfusi dimana harus
ditimbang sesuai dengan pertambahan bukti secara bertahap dari berbagai model
iskemik dan reperfusi. Hiperoksia tampaknya mengerahkan efek simultan pada
sejumlah tahapan dalam kaskade pro-inflamasi setelah iskemik dan reperfusi,
termasuk gangguan pada adhesi lekosit polimorfonuklear (PMNL) dan produksi
ROS. Dalam hal ini, oksigen hiperbarik telah menunjukkan penurunan adhesi dari
PMNL pada mikrosirkulasi yang mengikuti iskemik dan reperfusi pada otot
skelet, usus halus, flap kulit, jantung, dan hepar sebagaimana yang terjadi pada
keracunan karbon monoksida.
Telah didemonstrasikan oleh Thom bahwa oksigen hiperbarik mampu
menghambat adhesi dari PMNL yang dimediasi oleh glikoprotein integrin
CD11/CD18

dengan

mengganggu

sintesis

cGMP

(cyclic

guanosine

monophosphate) dalam aktivasi lekosit. Hiperoksia juga menurunkan ekspresi


dari molekul adhesi endotel E-selectin dan ICAM-1 (intracellular adhesion

molecule-1). Hiperoksia juga dikenal berefek pada produksi nitrit oksida (NO)
yang kebanyakan diinduksi oleh produksi protein eNOS (endothelial NO
synthase). Peningkatan level NO dapat menghambat adhesi PMNL dengan
menghambat fungsi CD18 dan menurunkan regulasi sintesis molekul adhesi
endotel. Lebih lanjut, telah ditunjukkan pada flap kulit yang mengalami iskemik
ternyata hiperoksia meningkatkan aktivitas dismutasi superoksida dari permukaan
endotelial lokal. Aksi ini dapat mengurangi agen pro-inflamasi yang diprakarsai
oleh ROS dan memang terbukti menurunkan stres oksidatif di sejumlah model
iskemik. Oksigen hiperbarik juga menunjukkan keuntungan pada kondisi
inflamasi lainnya - termasuk kolitis, penyakit Crohn, edema kaki yang diinduksi
karagenan, dan SIR yang diinduksi zymossan. Mekanisme detail efek
menyehatkan dari hiperoksia pada beberapa kondisi masih belum dapat
dijelaskan. Sebagai tambahan dalam respon pro-inflamasi hiperakut pre-dominan
yang kebanyakan diatur oleh efek PMNL dan makrofag, hipoksia jaringan terbukti
memprovokasi respon anti-inflamasi dalam makrofag, menurunkan regulasi
fungsi anti-bakterial pro-inflamasi dari sel T melalui aktivitas HIF-1a (hypoxia
inducible) yang diaugmentasi, dan melemahkan mekanisme reseptor hipoksia
lokal dan reseptor anti-inflamasi pulmonal adenosine A2A. Observasi ini mungkin
dapat mewakili efek subakut dari hipoksia yang mana dapat membantu memicu
efek pro-inflamasi yang bersifat destruktif potensial, mungkin menjadi salah satu
bagian dari proses perbaikan jaringan, atau mungkin menjadi komponen penting
dari respon hipoinflamasi yang bermanifestasi pada beberapa pasien dengan sepsis
dan acute respiratory distress syndrome (ARDS).
Efek hipoksia pada respon pro-inflamasi akut setelah iskemik dan reperfusi
dan kondisi lain dapat dihubungkan dengan efek inhibisi langsung dari oksigen
pada mekanisme yang mana dapat meningkatkan proses penggulingan (rolling),
adhesi, aktivasi, dan transmigrasi PMNL ke jaringan. Hiperoksia juga secara tidak
langsung berefek terhadap respon inflamasi dimana hipoksia jaringan merupakan
kunci pemicu dari inflamasi. Efek hiperoksia pada tahapan respon jaringan
terhadap hipoksia dan terutama mengenai anti-inflamasi masih menunggu
klarifikasi lebih lanjut.

Sepsis merupakan salah satu penyebab klinis dari SIR. Pada sebuah
penelitian

mengenai

syok

sepsis

hiperdinamik

awal,

Barth

dkk

mendemonstrasikan efek menguntungkan dari oksigen normobarik pada apoptosis


di hepar dan paru, pada asidosis metabolik, dan pada fungsi ginal. Kami
menemukan adanya keuntungan yang berhubungan dengan dosis dari oksigen
normobarik (oksigen 100% selama 6 jam perhari) pada respon inflamasi pulmonal
pada sepsis yang diinduksi oleh ligasi dan pungsi cecal (cecal ligation and
puncture / CLP) pada tikus. Buras dkk meneliti efek hiperoksia pada 1, 2.5, dan 3
ATA yang diaplikasikan selama 1.5 jam sebanyak dua kali sehari pada tikus yang
mampu bertahan setelah CLP dan dilaporkan bahwa oksigen hiperbarik 2.5 ATA
mampu meningkatkan ketahanan hidup. Mereka juga memberikan data dugaan
bahwa penambahan produksi dari interleukin-10 sitokin anti inflamasi mungkin
berperan penting dalam efek oksigen hiperbarik pada model ini. Data yang terus
berkembang mengenai efek menguntungkan dari hiperoksia terhadap inflamasi
lokal dan sistemik mendukung penelitian untuk menemukan peranan klinis yang
relevan terhadap modifikasi hiperinflamasi.
Efek mikroorganisme dan mekanisme perbaikan jaringan
Oksigen hiperbarik telah diteliti dan digunakan dalam berbagai variasi
infeksi yang besar selama 40 tahun ini. Demonstrasi awal efek menguntungkan
dari mionekrosis clostridial (gas gangrene) dan osteomielitis refraktur kronik telah
diikuti oleh data ekperimental mengenai efek in vitro dari peningkatan tekanan
parsial oksigen pada mikroorganisme dan dilaporkan efek oksigen hiperbarik pada
in vivo. Oksigen hiperbarik bersifat bakteriostatik direk dan bakterisid pada
hampir sebagian besar mikroorganisme anaerobik. Efek ini turut menurunkan
mekanisme pertahanan dari mikroorganisme anaerobik melawan peningkatan
produksi ROS pada lingkungan hiperoksik. Diluar efek langsungnya terhadap
aktivitas melawan mikroorganisme, oksigen hiperbarik telah menunjukkan
terganggunya mekanisme pertahanan melalui lingkungan mikro hipoksik tipikal
pada tempat infeksius. Baik mekanisme pembunuhan maupun fagositosis mikroba
oleh

PMNL

semuanya

terganggu

oleh

lingkungan

hipoksik.

Dengan

meningkatnya tekanan oksigen jaringan, terapi oksigen hiperbarik memperbaiki


kemampuan fagositosis dan menambah lonjakan oksidatif yang mana diperlukan
untuk lekosit. Lebih lanjut, aktivitas dari sejumlah antibiotik juga terganggu pada
lingkungan yang hipoksik dan menunjukkan perbaikan bahkan lonjakan selama
paparan oksigen hiperbarik. Efek menguntungkan lainnya dari hiperoksia pada
infeksi adalah sumbangsihnya dalam memperkuat komponen kunci dari perbaikan
jaringan seperti proteolisis jaringan nekrosis, proliferasi fibroblas, deposisi
kolagen, dan angiogenesis, migrasi sel epitel, dan remodeling tulang oleh
osteoblas / osteoklas, yang mana semuanya dapat terganggu pada jaringan yang
hipoksia.

Bersama-sama,

aktivitas

langsung

pada

bakteri

(contohnya

pseudomonas, beberapa jenis Escherichia, dan Clostridium perfringens),


perbaikan terhadap mekanisme pertahanan selular, efek sinergis terhadap
antibiotik, modulasi respon imun, peningkatan mekanisme perbaikan jaringan dan
kombinasi dengan antibiotik dan operasi untuk menangani infeksi jaringan yang
melibatkan mikroorganisme anaerobik dan aerobik pada luka dan jaringan yang
hipoksik dan pada SIR yang diinduksi sepsis.
Seperti pada hiperoksia normobarik, dua penelitian klinis prospektif acak
melaporkan efek keuntungan yang signifikan dari pemberian oksigen suplemental
perioperatif (oksigen 80% pada tekanan atmosfer normal) di lokasi infeksi operasi
(surgical site infection / SSI) setelah operasi elektif kolorektal. Penelitian ketiga
pada pasien yang menjalani variasi lain dari operasi abdominal dilaporkan
memiliki insidens SSI yang lebih tinggi pada yang diberikan oksigen tinggi dan
memicu perdebatan yang belum terselesaikan pada penggunaan rutin hiperoksia
normobarik untuk menghindari SSI.
Hiperoksia juga mampu menghambat pertumbuhan beberapa fungal dan
memiliki potensi anti-fungal seperti amphothericin B. Data dari laporan kasus,
kelompok kecil pasien, dan kumpulan beberapa laporan pendukung turut
mendukung penggunaan oksigen hiperbarik bersamaan dengan amphotericin B
dan operasi rhinocerebral mucormycosis invasif. Bukti dari efek oksigen
hiperbarik pada infeksi fungal lainnya masih belum ada.

Profil patofisiologi yang terbukti dari aksi hiperoksia menjadi dasar


penggunaannya pada beberapa kondisi klinik tertentu. Bukti klinik yang cukup
mendukung penggunaan oksigen hiperbarik pada keracunan karbon monoksida,
penyakit dekompresi, emboli udara arteri, cedera yang diinduksi radiasi,
clostridial myonecrosis, luka yang bermasalah, dan osteomielitis refrakter. Efek
dari oksigen normobarik pada keadaan ini dan keadaan klinis lain yang relevan
masih kurang diteliti. Penelitian mengenai batasan dosis oksigen pada tekanan
normobarik dan hiperbarik masih tidak tersedia dan sebaiknya didukung dengan
pembiayaan penelitian.
Toksisitas
Batasan mayor dari keterbatasan konfrontasi penggunaan liberal dari
hiperoksia lebih ke arah potensi toksisitas dan batasan yang sempit dari keamanan
antara dosis efektif dan dosis toksik. Meski demikian, kewaspadaan dari efek
toksik oksigen dan pengetahuan mengenai tekanan yang aman serta batas durasi
dari aplikasinya, dikombinasikan dengan kemampuan untuk mengatur dosis
secara seksama, menyediakan dasar yang dapat diterima untuk mengembangkan
daftar indikasi klinis dari penggunaannya. Manifestasi toksik yang paling jelas
adalah efek yang terjadi pada sistem respirasi dan sistem saraf pusat.
Toksikasi oksigen dipercaya merupakan hasil dari pembentukan ROS dalam
jumlah yang berlebihan dimana dapat didetoksikasi oleh ketersediaan anti-oksidan
di jaringan. Meskipun mekanisme kerusakan akibat radikal bebas terhadap sistem
selular (protein, enzim, membran lipid, dan asam nuklear) telah dikenali, masih
terdapat kesenjangan antara pemahaman stadium intermediet pada kaskade
patofisiologi yang mana memungkinkan reaksi dan hasil pada defisit fungsional
dan fenomena klinis. Paru merupakan organ yang lebih sering terpapar dengan
oksigen bertekanan tinggi. Pada paparan tekanan oksigen diatas 0.1 Mpa (1 ATA),
paru merupakan organ yang pertama kali berespon. Responnya mencakup seluruh
saluran nafas, termasuk epitel, mikrosirkulasi, septum alveolar, dan ruang pleural.
Toksikasi oksigen pulmonal dibagi menjadi periode awal dimana tidak ada gejala

klinis yang terdeteksi dinamakan periode laten. Interval dari durasi ini
berbanding terbalik dengan proporsi tingkatan oksigen yang diinspirasi.
Trakeobronkitis akut adalah sindrom klinis paling awal dari efek toksik
oksigen pada saluran respirasi. Gejala ini tidak muncul pada manusia yang
menghirup oksigen dengan tekanan parsial dibawah 0.05 Mpa (0.5 ATA atau
oksigen 50% pada tekanan atmorfer normal). Pada manusia sehat yang menghirup
oksigen lebih dari 95% pada tekanan atmosfer normal (0.1 MPa), trakobronkitis
muncul setelah 4-22 jam periode laten dan dapat terjadi setelah 3 jam disaat
menghirup oksigen pada 0.3 Mpa (3 ATA). Hal ini muncul sebagai sensasi
digelitik, selanjutnya diikuti oleh distres substernal dan nyeri inspirasi, yang dapat
disertai dengan batuk bahkan sensasi terbakar pada retrosternal. Sekresi trakea
dapat terakumulasi. Selama terminasi paparan hiperoksik, simptom akan
menghilang sendiri setelah beberapa jam dan resolusi lengkap dalam beberapa
hari.
Paparan oksigen yang lebih lama (biasanya di atas 48 jam pada 0.1 MPa)
dapat menyebabkan kerusakan alveolar difus (diffuse alveolar damage / DAD).
Gejala klinis dari DAD yang diinduksi oksigen tidak berbeda secara signifikan
dari ARDS akibat penyebab lainnya. Resolusi dari fase akut dari toksikasi oksigen
atau paparan berkepanjangan dari konsentrasi subletal seperti ventilasi mekanik
hiperoksik berkepanjangan dapat berakibat pada penyakit pulmonal kronik yang
ditandai dengan fibrosis pulmonal residual dan emfisema dengan takipneu dan
hipoksemia progresif. Kontribusi relatif hipoksia, kondisi klinis yang mendasari,
dan ventilasi mekanik terhadap terjadinya fibrosis pulmonal kronik dan emfisema
pada manusia dewasa belum dapat diklarifikasi.
Toksikasi oksigen pada sistem saraf pusat terjadi apabila tekanan oksigen
diatas 0.18 Mpa (1.8 ATA) di air dan diatas 0.28 MPa (2.8 ATA) pada paparan
kering di ruangan hiperbarik. Toksikasi SSP tidak terjadi selama paparan
normobarik dan hiperbarik. Durasi laten hingga munculnya gejala toksikasi
oksigen berbanding terbalik dengan tekanan oksigen. Fase ini dapat bertahan lebih
dari 4 jam pada 0.17-0.18 Mpa dan sekitar 10 menit pada 0.4 to 0.5 MPa.

Manifestasi paling dramatis dari toksikasi oksigen pada SSP adalah kejang
tonik klonik generalisata (grand mal). Hiperoksia memicu kejang yang dipercaya
bersifat reversibel, tanpa meninggalkan gejala sisa, dan akan menghilang apabila
tekanan parsial oksigen kembali normal. Perubahan abnormal awal dari aktivitas
elektrik korteks dilaporkan terjadi pada paparan oksigen hiperbarik selama
beberapa menit sebelum terjadinya perubahan total dari pola eletrikal. Sayangnya,
tidak ada defenisi pasti dari aktivitas pre-kejang pada elektroensefalogram (EEG).
Gejala lain toksikasi SSP mencakup mual, pusing, sensai abnormal, nyeri
kepala, disorientasi, lightheadedness, dan gejala aprehensif seperti penglihatan
kabur, penglihatan terowongan, tinnitus, gangguan respirasi, klonus pada mata,
bibir, mulut, dan dahi. Toksikasi SSP

tampaknya tidak memiliki pola yang

konsistensi.
Faktor personal yang paling dramatis dapat memodifikasi sensitivitas
terhadap toksikasi oksigen SSP adalah peningkatan pCO 2 darah. Hiperkapnia
terjadi pada pasien akibat dari hipoventilasi, penyakit paru kronis, efek analgesik,
narkotik, obat lain, dan anestesia serta sebaiknya dipertimbangkan untuk
menggunakan protokol hiperoksia. Berbagai strategi farmakologi diuji pada
model untuk menunda kejang yang diinduksi oleh hiperoksik. Meski demikian,
tidak ada satupun yang menunjukkan efektifitas klinis yang relevan.
Miop reversibel juga merupakan manifestasi yang cukup sering terjadi pada
lensa akibat efek toksik oksigen hiperbarik. Terbentuknya katarak telah dilaporkan
pada beberapa sesi dan tidak ada protokol standar untuk penanganannya. Efek
samping lain yang juga mungkin terjadi adalah barotrauma dari telinga tengah,
sinus, gigi, atau paru yang mana terjadi akibat perubahan cepat dari tekanan
hidrostatik normal yang terjadi selama inisiasi dan terminasi terapi ruangan
hiperbarik. Pelatihan yang memadai pada pasien dan instruksi operasional yang
seksama akan menurunkan insidens barotrauma dan meminimalisir dampak
barotrauma terhadap pasien.
Berhubung efek toksik potensial, oksigen hiperbarik terbatas pada waktu
yang singkat (kurang dari 2 jam), pada tekanan di bawah ambang batas toksikasi
SSP (0.28 Mpa) dimana pemulihan terjadi setelah beberapa menit setelah pasien

berpindah dari tekanan terapi ke tekanan normal. Pada oksigen normobarik, jika
memungkinkan, periode laten lebih singkat dibanding periode laten akibat
toksikasi paru. Ketika menggunakan protokol standar, terapi oksigen biasanya
sangatlah aman.
Kesimpulan
Tinjauan ini meringkas mengenai profil fisiologi dan farmakologi yang unik
dari aksi oksigen yang mana menjadi dasar dalam penggunaannya dalam terapi
penyakit. Daftar terkini mengenai indikasi berbasis pada bukti hiperoksia menjadi
lebih sempit pada kondisi klinis yang ditandai dengan gangguan penghantaran
oksigen, hipoksia selular, edema jaringan, inflamasi, infeksi, atau kombinasi, yang
mana secara potensial dapat diatasi dengan terapi oksigen. Ketersediaan
hiperoksia normobarik mengundangkan tantangan untuk meneliti mengenai
efisiensi potensi klinis. Profil keuntungan multifaset dari aksi hiperoksia
menjamin suatu pendekatan penelitian farmakologi tradisional yang menentukan
efisiensi dari batasan dosis non-toksik yang aman dari hiperoksia pada penelitian
prospektif (kombinasi tekanan parsial dan durasi)

Anda mungkin juga menyukai