Anda di halaman 1dari 24

CASE REPORT

HUBUNGAN TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK TERHADAP


PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK)

Pembimbing:
Letkol Laut (K/W) Dr. Titut Harnanik, dr., M.Kes

Disusun Oleh :

Ulyn Nimah Nur K. 20190420032

Valensia Melina A 20190420188

LEMBAGA KESEHATAN ANGKATAN LAUT


FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS HANG TUAH
RSAL DR. RAMELAN SURABAYA
2020

i
LEMBAR PENGESAHAN

Judul case report ”HUBUNGAN TERAPI HIPERBARIK (HBOT)


TERHADAP PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK)” telah
diperiksa dan disetujui sebagai salah satu tugas baca dalam rangka
menyelesaikan studi kepaniteraan Dokter Muda di bagian LAKESLA
RSAL dr Ramelan Surabaya.

Mengetahui,

Dosen Pembimbing

Letkol laut (K/W) Dr. Titut Harnanik, dr., M.Kes

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkah dan rahmatNya, kami bisa menyelesaikan referat dengan topik
HUBUNGAN TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK (HBOT) TERHADAP
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK) dengan lancar. Referat
ini disusun sebagai salah satu tugas wajib untuk menyelesaikan
kepaniteraan klinik di bagian LAKESLA RSAL dr. RAMELAN Surabaya,
dengan harapan dapat dijadikan sebagai tambahan ilmu yang bermanfaat
bagi pengetahuan penulis maupun pembaca.
Dalam penulisan dan penyusunan referat ini tidak lepas dari bantuan
dan dukungan berbagai pihak, untuk itu kami mengucapkan terima kasih
kepada:

1. Mayor Laut (K/W) dr. Titut H., M.Kes


2. Para dokter di bagian LAKESLA RSAL dr. RAMELAN Surabaya.
3. Para perawat dan pegawai di LAKESLA RSAL dr. RAMELAN
Surabaya.

Kami menyadari bahwa referat yang kami susun ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka saran dan kritik yang membangun dari semua pihak
sangat diharapkan. Semoga referat ini dapat memberi manfaat.

Surabaya, 30 Agustus 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN............................................................................i
KATA PENGANTAR...................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................iii
BAB I............................................................................................................1
PENDAHULUAN..........................................................................................1
BAB II...........................................................................................................2
TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................2
2.1. Terapi Hiperbarik Oksigen..............................................................2
2.1.1 Definisi........................................................................................2
2.1.2 Macam Ruang Hiperbarik.........................................................2
2.1.3 Manfaat Terapi HBO..................................................................3
2.1.4 Indikasi Terapi HBO..................................................................5
2.1.5 Kontraindikasi Terapi HBO.......................................................7
2.1.6 Efek Samping Terapi HBO........................................................8
2.1.7 Prinsip Dasar Terapi HBO........................................................8
2.2. PPOK.................................................................................................9
2.2.1 Definisi........................................................................................9
2.2.2 Faktor Resiko...........................................................................10
2.2.3 Patofisiologi ppok...................................................................11
2.2.4 Diagnosa...................................................................................13
2.2.5 Terapi........................................................................................13
BAB 3.........................................................................................................15
KERANGKA KONSEPTUAL....................................................................15
BAB 4.........................................................................................................16
KESIMPULAN............................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................17

iii
iv
BAB I

PENDAHULUAN

Penggunaan awal terapi oksigen hiperbarik (HBOT) dimulai dengan upaya


untuk meringankan masalah pernapasan penduduk kota besar selama revolusi
industri. Kaajian yang mengacu pada sejarah penggunaan oksigen hiperbarik
untuk tujuan terapeutik, fisik, fisiologis dan patofisiologis dapat mendukung
penggunaannya dalam berbagai proses morbid. HBOT merupakan bidang ilmu
yang belum sepenuhnya dieksplorasi, dan penggunaannya dalam banyak kondisi
belum banyak bukti uji klinis terkontrol yang menyimpulkan manfaat dari
perawatan ini secara signifikan lebih unggul daripada terapi lain. Secara ilmiah
terjadi efektivitas penggunaannya dalam proses patologis pada kasus hipoperfusi,
infeksi, iskemia atau infark, baik akut maupun kronis (HIJP, Lilin Rosyanti, et al,
2019).
Terapi oksigen hiperbarik (HBOT) telah digunakan dalam praktik klinis,
medis dan kesehatan untuk mengobati penyakit dekompresi, keracunan karbon
monoksida, infeksi klostridial, dan meningkatkan penyembuhan luka. Sejalan
waktu, terjadi perkembangan yang lebih baru dari terapi ini mampu
menyembuhkan dan memperbaiki berbagai kondisi seperti sindrom
kompartemen, luka bakar, radang dingin, dan gangguan pendengaran
sensorineural (HIJP, Lilin Rosyanti, et al, 2019).
Pada beberapa penelitian mengatakan bahwa ROS mengambil peran
penting dalam terapi HBO dalam meningkatkan oksigen plasma yang kaya
oksigen kemudian diangkut ke jaringan yang mengalami hipoksia atau iskemik
untuk mencegah terjadinya angiogenesis, edema, dan mampu memodulasi
respons sistem imun dan kekebalan (Zhou Q, 2019).Meskipun, paparan HBO
yang berlebihan akan menyebabkan akumulasi ROS yang masif dan
menyebabkan toksisitas oksigen. Peningkatan sederhana ROS intraseluler
selama pengobatan HBO rutin dapat memodulasi jalur pensinyalan dan
menginduksi ekspresi protein sitoprotektif, sehingga meningkatkan toleransi
seluler terhadap rangsangan berbahaya (Zhou Q, 2019)
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Terapi Hiperbarik Oksigen

2.1.1 Definisi
Terapi oksigen hiperbarik (HBOT) adalah suatu metode intervensi dimana
individu bernapas menggunakan oksigen murni secara berselang di dalam ruang
udara bertekanan tinggi (RUBT) dimanan tekanan lebih besar dari permukaan
laut/ 1 atmosfer absolut ( Lam G , 2017).

2.1.2 Macam Ruang Hiperbarik


Berdasarkan Undersea and Hyperbaric Medical Society agar terapi
dapat mencapai hasil yang maksimal tekanan yang diberikan pada ruang udara
bertekanan tinggi sebaiknya harus lebih dari atau setara 1.4 ATA. Pada praktek
sehari – hari tekanan yang biasa diberikan sekitar 2 – 3 ATA tergantung
indikasi dari penyakitnya. Terapi oksigen hiperbarik dapat dilakukan pada Multi
place chamber maupun Monoplace chamber. Pada monoplace chamber, satu
individu menghirup oksigen murni terkompresi. Sedangkan pada multiplace
chamber, beberapa individu terpapar udara bertekanan tinggi secara
bersamaan dan masing-masing menghirup oksigen murni melalui masker,
tudung, atau endotracheal tube. Sesi terapi yang diperlukan berbeda tiap
individu tergantung indikasi dan tujuan dari terapi tersebut. Dalam perawatan
luka, terapi oksigen hiperbarik digunakan sebagai terapi tambahan, umumnya
pasien membutuhkan 20 hingga 40 kali perawatan masing – masing perawatan
selama 1 – 2 jam (Lam G, 2017).
Karena pasien harus mengalami peningkatan tekanan atmosfer (> 1
ATA) selama perawatan HBOT, penting untuk diketahui bahwa menghirup
oksigen 100% pada tekanan 1 ATA atau mengekspos bagian tubuh yang
terisolasi pada oksigen 100% bukan merupakan terapi oksigen hiperbarik
(Lam G, 2017).

2
Gambar 1 Mono chamber & Multi chamber (Lam G,2017)

2.1.3 Manfaat Terapi HBO

1. Meningkatkan pengiriman oksigen ke dalam jaringan


Oksigen yang berikatan dengan hemoglobin berdifusi kedalam sel
sesuai gradien konsentrasi. Gradien konsentrasi ditentukan oleh tekanan
parsial oksigen pada kapiler dan jaringan. Jaringan dengan perfusi yang

3
buruk menciptakan perbedaan gradien yang besar sehingga menyebabkan
pengiriman oksigen lebih besar, demikian dengan permintaan oksigen
kumulatif yang lebih besar. Pasien yang menderita penyakit mikrovasuler
seperti diabetes memiliki lebih sedikit kapiler sehingga oksigenasi ke
jaringan buruk. TOHB memerangi keadaan hipoksia ini dengan
meningkatkan jumlah oksigen terlarut dalam plasma serta tekanan parsial
oksigen dalam jaringan. Hal ini meningkatkan jumlah oksigen yang tersedia
untuk jaringan seiring dengan permintaan oksigen yang meningkat dari
jaringan dengan perfusi yang buruk. Pada terapi oksigen hiperbarik dapat
meningkatkan 16 kali lipat pengiriman oksigen ke jaringan (Johnston, et al.,
2016).

2. Merangsang angiogenesis, penyembuhan luka, dan respon imun

Angiogenesis adalah proses terbentuknya pembuluh darah baru


seiring dengan meningkatnya kebutuhan darah dan oksigen di dalam
jaringan. Angiogenesis dapat berlangsung dengan dua proses utama:
migrasi sel endotelial, di mana pembuluh darah baru terbentuk sebagai
perpanjangan jaringan yang ada, dan pembagian pada lumen pembuluh
darah dengan peningkatan jaringan kapiler (Johnston, et al., 2016).
Penyembuhan luka adalah proses normal yang terdiri dari empat
fase: hemostasis, peradangan, proliferasi, dan maturasi. Ketersediaan
oksigen sangat penting dalam penyembuhan luka terutama untuk
memfasilitasi fosforilasi oksidatif untuk fungsi seluler normal. Namun,
selama fase awal penyembuhan luka, luka dapat bersifat hipoksik. Hal ini
dapat menstimulasi sinyal untuk angiogenesis dan faktor-faktor
penyembuhan luka lainnya seperti hypoxia-inducible factors (HIF), platelet
derived growth factor (PDGF), transforming growth factor beta (TGF-β),
vascular endothelial growth factor (VEGF), tumor necrosis factor alpha
(TNF-α), dan pre-pro-endothelin 1 (PPET-1) (Bhutani, et al., 2012;
Johnston, et al., 2016).
Terapi oksigen hiperbarik telag terbukti menurunkan respon
peradangan dengan menghambat sitokin penyebab peradangan yaitu
prostaglandin, IFN-y, IL-1 dan IL-6. Efek anti inflamasi ini dapat

4
meningkatkan system imun tubuh dengan menurunkan agen imunosupresif
seperti prostaglandin, IL-1 , IL 10. Terapi oksigen hiperbarik membantu
meningkatkan prodeuksi spesies oksigen reaktif (ROS) oleh leukosit yang
bekerja dalam system imun. Selain itu terapi hiperbarik juga memiliki efek
antioksidan (Johnsonet al., 2016)

2.1.4 Indikasi Terapi HBO


Table 1 Indikasi Terapi HBO (Yan, Liang and Cheng, 2015)

Kasus Emergensi Kasus Non-Emergensi

1. Keracunan karbon 1. Keracunan karbon monoksida atau


monoksida akut dan ensefalopati toksik lainnya
keracunan gas 2. Tuli mendadak
berbahaya lainnya 3. Penyakit serebrovaskular iskemik
2. Gas gangren, infeksi (arteriosklerosis serebral,
tetanus dan bakteri serangan iskemik transien,
anaerob lainnya trombosis serebral, infark serebral)
3. Penyakit dekompresi 4. Cedera craniocerebral (gegar otak
(DCS) otak memar akibat pengangkatan
4. Sindrom emboli gas hematoma intrakranial) operasi,
5. Setelah resusitasi cedera batang otak)
kardiopulmoner (CPR) 5. Pemulihan pendarahan otak
karena berbagai risiko 6. Penyembuhan fraktur yang buruk;
disfungsi otak akut 7. Central serous retinal inflammation
6. Bantuan dalam 8. Vegetative state
pengobatan syok 9. Plateau adaptation insufficiency
7. edema otak syndrome
8. edema paru (kecuali 10. Cedera saraf perifer
edema paru jantung) 11. Pembedahan tumor jinak
9. Crush syndrome intracranial
10. terapi setelah 12. Penyakit periodontal
transplantasi kulit pada 13. Ensefalitis virus
ekstremitas 14. Facial paralysis

5
11. keracunan obat dan 15. Osteomielitis
bahan kimia 16. Osteonekrosis aseptic
12. Acute ischemia anoxic 17. Cerebral palsy
encephalopathy 18. Perkembangan janin yang
terhambat
19. Diabetes dan kaki diabetik
20. Penyakit jantung koroner
21. Aritmia (fibrilasi atrium, pvc,
takikardia)
22. Miokarditis
23. Penyakit pembuluh darah perifer,
vasculitis, mis., raynaud,
24. Trombosis vena dalam, dll
25. Vertigo
26. Ulkus kronis (hambatan suplai
darah arteri, kongesti vena,
27. Luka baring)
28. Cedera tulang belakang
29. Tukak lambung
30. Kolitis ulserativa
31. Hepatitis (gunakan ruang khusus
penyakit menular)
32. Luka bakar
33. Frosbite
34. Operasi plastik
35. Skin grafting
36. Cedera olahraga
37. Kerusakan radioaktif (tulang dan
jaringan lunak, sistitis, dll.)
38. Tumor ganas (dengan radioterapi
atau kemoterapi)
39. Otic nerve injury
40. Fatigue syndrome
41. Angioneurotic headache
6
42. Pustular
43. Psoriasis
44. Pityriasis rosea
45. Multiple sclerosis
46. Sindrom guillain-barre akut
47. Ulkus oral berulang
48. Ileus paralitik
49. Asma bronkial
50. Acute respiratory distress
syndrome

2.1.5 Kontraindikasi Terapi HBO


Table 2 Kontraindikasi Terapi HBO (Yan, Liang and Cheng, 2015)
Kontraindikasi absolut Kontraindikasi relatif

Untreated Pneumothorax Claustrophobia

Hasil Foto Thorax: Non-reasoning


Untreated
pulmonary opacities
Pneumomediastinum
Upper respiratory infections (Otitis dan
Pulmonary bullae
Sinusitis)
Hemoptisis Chronic obstructive pulmonary disease
(COPD)
TB paru dengan adanya
kavitas Kehamilan (trimester pertama)

Riwayat optic neuritis

Riwayat operasi telinga atau thorax


sebelumnya

Demam tinggi

Kejang/epilepsi

Congenital spherocytosis

Cardiac pacemaker

7
2.1.6 Efek Samping Terapi HBO
Beberapa efek samping yang berhubungan dengan terapu oksigen
hiperbarik , yakni meliputi : Barotrauma , toksikasi oksigen pada system saraf pusat
dan pulmonal dan juga efek samping pada mata. Namun bisa juga terjadi
Claustrophobia ( ketakutan pada ruangan sempit ).beberapa efek samping ini perlu
di pahami dan dipertimbangakan. Hal ini dapat di kurangi dengan membuat
prosedur yang meminimalkan dan mengurangi resiko efek samping dan manfaat
terapi untuk pasien. Perlu diketahui bahwa HBOT merupakan salah satu terapi
yang aman digunakan saat ini. ( Heyboer, 2017)

2.1.7 Prinsip Dasar Terapi HBO

a) Hukum Boyle

Gambar 2 Hukum Boyle (Stephen A Pulley, DO, MS, FACOEP,2018)

Mengatakan bahwa tekanan berbanding terbalik dengan volume. Berperan


dalam fenomena barotrauma, yang terjadi ketika tuba eustacius yang tersumbat
menghambat equalisasi tekanan gas sehingga kompresi gas memberikan rasa
nyeri di telinga tengah. Pada pasien yang tidak bisa melakukan equalisasi
tekanan secara mandiri, penempatan tabung tympanostomy harus
dipertimbangakan untuk menyediakan saluran rongga udara antara telinga luar

8
dan dalam. Demikan pula, pada penyelaman tahan nafas saat naik
kepermukaan gas yang terperangkap dalam paru dapat membesar dan
menyebabkan mendesak alveolus pecahnya parenkim paru sering dikenal
dengan burst lung (Latham, 2018).

b) Hukum Henry

Gambar 3 Hukum Henry (Diana Marie Barratt, MD, MPH, et al, 2011)

Menyatakan bahwa volume total gas terlarut dalam cairan berbanding lurus
dengan tekanan parsial gas tersebut pada temperatur tetap. Pada terapi oksigen
hiperbarik dengan peningkatan tekanan sebanding dengan jumlah oksigen
terlarut dalam plasma (Latham, 2018).

2.2. PPOK

2.2.1 Definisi
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dapat disebut sebagai penyakit
kronis progresif pada paru yang ditandai oleh adanya hambatan atau
sumbatan aliran udara yang bersifat irreversible atau reversible sebagian dan
menimbulkan konsekuensi ekstrapulmoner bermakna yang berkontribusi
terhadap tingkat keparahan pasien. PPOK biasanya berhubungan dengan
respons inflamasi abnormal paru terhadap partikel berbahaya dalam udara.
PPOK merupakan suatu penyakit multikomponen yang dicirikan oleh
terjadinya hipersekresi mukus, penyempitan jalan napas, dan kerusakan
alveoli paru-paru. Penyakit tersebut bisa merupakan kondisi terkait bronkitis
kronis, emfisema, atau gabungan keduanya.

9
2.2.2 Faktor Resiko
PPOK mempunyai progresivitas yang lambat, diselingi dengan fase
eksaserbasi akut yang timbul secara periodik. Pada fase eksaserbasi akut
terjadi perburukan yang mendadak dari perjalanan penyakitnya yang
disebabkan oleh suatu faktor pencetus dan ditandai dengan suatu manifestasi
klinis yang memberat. Secara umum resiko terjadinya PPOK terkait dengan
jumlah partikel gas yang dihirup oleh seorang individu selama hidupnya serta
berbagai faktor dalam individu itu sendiri

1 Asap Rokok
Dari berbagai partikel gas yang noxius atau berbahaya, asap
rokok merupakan salah satu penyebab utama, kebiasaan merokok
merupakan faktor resiko utama dalam terjadinya PPOK. Asap rokok
yang dihirup serta merokok saat kehamilan juga berpengaruh pada
kejadian PPOK karena mempengaruhi tumbuh kembang paru janin
dalam uterus. Sejak lama telah disimpulkan bahwa asap rokok
merupakan faktor risiko utama dari bronkitis kronis dan emfisema.
2 Paparan Pekerjaan
Meningkatnya gejala-gejala respirasi dan obstruksi aliran udara
dapat diakibatkan oleh paparan debu di tempat kerja. Beberapa
paparan pekerjaan yang khas termasuk penambangan batu bara,
panambangan emas, dan debu kapas tekstil telah diketahui sebagai
faktor risiko obstruksi aliran udara kronis.
3 Polusi Udara
Beberapa peneliti melaporkan meningkatnya gejala respirasi
pada orang-orang yang tinggal di daerah padat perkotaan
dibandingkan dengan mereka yang tinggal di daerah pedesaan, yang
berhubungan dengan meningkatnya polusi di daerah padat perkotaan.
Pada wanita bukan perokok di banyak negara berkembang, adanya
polusi udara di dalam ruangan yang biasanya dihubungkan dengan
memasak, telah dikatakan sebagai kontributor yang potensial.
4 Infeksi Berulang Saluran Respirasi
Infeksi saluran respirasi telah diteliti sebagai faktor risiko
potensial dalam perkembangan dan progresivitas PPOK pada orang

10
dewasa, terutama infeksi saluran nafas bawah berulang. Infeksi
saluran respirasi pada masa anak-anak juga telah dinyatakan sebagai
faktor predisposisi potensial pada perkembangan akhir PPOK
5 Kepekaan Jalan Nafas dan PPOK
Kecenderungan meningkatnya bronkontriksi sebagai reaksi
terhadap berbagai stimulus eksogen, termasuk methakolin dan
histamin, adalah salah satu ciriciri dari asma. Bagaimanapun juga,
banyak pasien PPOK juga memiliki ciriciri jalan nafas yang
hiperesponsif. Pertimbangan akan tumpang tindihnya seseorang
dengan asma dan PPOK dalam kepekaan jalan nafas, obstruksi aliran
udara, dan gejala pulmonal mengarahkan kepada perumusan hipotesis
Dutch yang menegaskan bahwa asma, bronkitis kronis, dan emfisema
merupakan variasi dari dasar penyakit yang sama, yang dimodulasi
oleh faktor lingkungan dan genetik untuk menghasilkan gambaran
patologis yang nyata.

2.2.3 Patofisiologi PPOK


Hambatan aliran udara yang progresif memburuk merupakan perubahan
fisiologi utama pada PPOK yang disebabkan perubahan saluran nafas secara
anatomi di bagian proksimal, perifer, parenkim dan vaskularisasi paru
dikarenakan adanya suatu proses peradangan atau inflamasi yang kronik dan
perubahan struktural pada paru. Dalam keadaan normal, radikal bebas dan
antioksidan berada dalam keadaan dan jumlah yang seimbang, sehingga bila
terjadi perubahan pada kondisi dan jumlah ini maka akan menyebabkan
kerusakan di paru. Radikal bebas mempunyai peranan besar menimbulkan
kerusakan sel dan menjadi dasar dari berbagai macam penyakit paru.
(Fachrianto,2016 )

11
Pajanan terhadap faktor pencetus PPOK yaitu partikel noxius yang terhirup
bersama dengan udara akan memasuki saluran pernapasan dan mengendap
hingga terakumulasi (Paparan sering ) Partikel tersebut mengendap pada
lapisan mukus yang melapisi mukosa bronkus sehingga menghambat aktivitas
silia sehingga disini silia bekerja lebih extra . Akibatnya pergerakan cairan yang
melapisi mukosa berkurang dan menimbulkan iritasi pada sel mukosa sehingga
merangsang kelenjar mukosa, kelenjar mukosa akan hipertrofi kelenjar mukosa
terjadi hiperplasia sel goblet sampai produksi mukus berlebih. Produksi mukus
yang berlebihan menimbulkan infeksi serta menghambat proses penyembuhan,
keadaan ini merupakan suatu siklus yang menyebabkan terjadinya hipersekresi
mukus. Manifestasi klinis yang terjadi adalah batuk kronis yang produktif.
Dampak lain yang ditimbulkan partikel tersebut dapat berupa rusaknya dinding
alveolus. Kerusakan yang terjadi berupa perforasi alveolus yang kemudian
mengakibatkan bersatunya alveoulus satu dan yang lain membentuk abnormal
largeairspace. Selain itu terjadinya modifikasi fungsi anti-protease pada saluran
pernafasan yang berfungsi untuk menghambat neutrofil, menyebabkan timbulnya
kerusakan jaringan interstitial alveolus. Seiring terus berlangsungnya iritasi di
saluran pernafasan maka akan terjadi erosi epitel serta pembentukan jaringan
parut. Akan timbul juga metaplasia skuamosa dan penebalan lapisan skuamosa
yang menimbulkan stenosis dan obstruksi ireversibel dari saluran
nafas.Walaupun tidak menonjol seperti pada asma, pada PPOK juga dapat

12
terjadi hipertrofi otot polos dan hiperaktivitas bronkus yang menyebabkan
gangguan sirkulasi udara.(Fachrianto,2016)

2.2.4 Diagnosa
Diagnosis PPOK dapat ditegakkan berdasarkan temuan klinis
(anamnesis dan pemeriksaan fisik) dan dibantu dengan pemeriksaan
penunjang. Dari anamnesis PPOK sudah dapat dicurigai pada hampir semua
pasien berdasarkan tanda dan gejala yang khas. Poin penting yang dapat
ditemukan pada anamnesis pasien PPOK diantaranya: (Fachrianto,2016)

• Batuk yang sudah berlangsung sejak lama dan berulang, dapat


dengan produksi sputum pada awalnya sedikit dan berwarna putih kemudian
menjadi banyak dan kuning keruh.

• Adanya riwayat merokok atau dalam lingkungan perokok, riwayat


paparan zat iritan dalam jumlah yang cukup banyak dan bermakna.

• Riwayat penyakit emfisema pada keluarga, terdapat faktor


predisposisi pada masa kecil, misalnya berat badan lahir rendah (BBLR),
infeksi saluran pernafasan berulang, lingkungan dengan asap rokok dan
polusi udara.

• Sesak napas yang semakin lama semakin memberat terutama saat


melakukan aktivitas berat (terengah-engah), sesak berlangsung lama, hingga
sesak yang tidak pernah hilang sama sekali dengan atau tanpa bunyi mengi.
Perlu dilakukan anamnesis dengan teliti menggunakan kuisioner untuk
mengakses keparahan sesak napas

2.2.5 Terapi
Pilihan pengobatan saat ini untuk PPOK termasuk intervensi
farmakologis dan non-farmakologis. Intervensi farmakologismencakup kelas
obat yang berbeda termasuk bronkodilator,Beta 2 agonist, Antimuskarinik
(Fachrianto,2016)

13
2.2.8 Hubungan HBOT dengan PPOK

Pada pasien PPOK terjadinya gangguan pada jalan nafas (Hipertrofi kelenjar
mukosa dan sel goblet, perubahan reseptor muskarinik, paparan zat iritan ) yang
menyebabkan obstruksi sel pada paru sehingga pasien dengan PPOK mengalami
hipoksia yang menyebabkan oksigenasi pada jaringan menjadi kurang baik dan
mendaptkan hasil saturasi oksigen rendah. Pada terapi HBOT memberikan
mekanisme untuk merangsang angiogenesis melalui peningkatan regulasi faktor-
faktor seperti meningkatkan regulasi faktor VEGF untuk pembentukan pembulu
darah yang baru. dan angiogenesis seperti kemokin. TOHB memerangi keadaan
pasien hipoksia ini dengan meningkatkan jumlah oksigen terlarut dalam plasma
serta tekanan parsial oksigen dalam jaringan sehingga akan terjadi difusi oksigen
dan akan terjadi peningkatan saturasi oksigen . Hal ini meningkatkan jumlah oksigen
yang tersedia untuk jaringan seiring dengan kebutuhan oksigen yang
meningkat.Pada terapi oksigen hiperbarik dapat meningkatkan 16 kali lipat
pengiriman oksigen ke jaringan, Teatapi Pada pasien dengan PPOK yang boleh
dilakukan HBOT adalah pada saat keadaan stabil karna ketika tekanan oksigen
diberikan dengan tekanan tinggi maka disini PAO2 alveoli menyebabkan barotrauma
sehingga HBOT pada pasien dengan PPOK menjadi kontraindikasi reversibel.
(Fachrianto,2016)

Seiring dengan dasar utama suplai oksigen yang buruk pada hipoksemia
jaringan juga dapat di sebabkan oleh pemberian yang tidak tepat waktu atau
berlebihan. Yaitu terjadi ketika sel dan beberapa alasan tidak dapat menggunakan
oksigen untuk respirasi metabolik . Kemudian penyebab lain juga pada kondisi
sepsis karna kerusakan mitokondondria yang abnormal. Pada gangguan keadaan
pada paru seperti pada pengesian alveolar, penuruan ventilasi, perfusi hal tersebut
dapat diatasi dengan cara meningkatkan fraksi oksigen inspirasi (F I 0 ) yaitu dengan
pemberian oksigen tambahan. Akan terjadi vasokontriksi paru hipoksia yang dapat
meningkatkan tekanan arteri pulmonalis.(Fachrianto,2016)

14
BAB 3

KERANGKA KONSEPTUAL

15
BAB 4

KESIMPULAN
Pada terapi HBOT untuk pasien dengan hipoksemia memberikan
informasi kontraindikasi relatif Pada pasien dengan PPOK mengalami hipoksemia
pada jaringan dan didaptkan penurunan dari PAO 2 serta penurunan pada
saturasi oksigen sehingga dengan dilakukanya terapi HBOT hal tersebut dapat
membantu kebutuhan oksigen agar terpenuhi pada jaringan.Namun harus
diperhatikan kembali pada keadaan pasien dengan PPOK berat memberikan hasil
terapi HBOT absolut yang dapat memberikan efek samping peningkatan secara
tinggi yang dapat menyebabkan barotrauma, keracunan gas,Emboli paru,
Sedangkan pada HBOT ringan hingga sedang terapi HBOT membrikan hasil
kontra indikasi relativ yang butuh untuk dilakukakan keadaan stabil pada pasien .

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Bessereau, J., Aboab, J., Hullin, T., Huon-Bessereau, A., Bourgeois, J. L.,
Brun, P. M., Chevret, S., &Annane, D. (2017). Safety of hyperbaric oxygen
therapy in mechanically ventilated patients. International Maritime Health.
https://doi.org/10.5603/IMH.2017.0008
2. Lilin Rosyati, MEKANISME YANG TERLIBAT DALAM TERAPI OKSIGEN
HIPERBARIK (Theoritical Review Hyperbaric Oxygen Therapy/HBOT).
3. William Parker, 2017. The Role of oxidativestress, inflammation and
acetaminophen exposure from birth to early childhood in the induction of
autismhttps://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/28415925.4
4. Nagwa A Meguid, 2017.Expression of Reactive Oxygen Species–Related
Transcripts in Egyptian Children With Autism.
5. De Maio, A., & Hightower, L. E. (2020). COVID-19, acute respiratory distress
syndrome (ARDS), and hyperbaric oxygen therapy (HBOT): what is the link?
In Cell Stress and Chaperones. https://doi.org/10.1007/s12192-020-01121-0
6. Geier, M. R., & Geier, D. A. (2020). Respiratory conditions in coronavirus
disease 2019 (COVID-19): Important considerations regarding novel
treatment strategies to reduce mortality. Medical Hypotheses.
https://doi.org/10.1016/j.mehy.2020.109760
7. Rogatsky, G. G., &Stambler, I. (2017). Hyperbaric oxygenation for
resuscitation and therapy of elderly patients with cerebral and cardio-
respiratory dysfunction. Frontiers in Bioscience - Scholar.
https://doi.org/10.2741/s484
8. Guo, D., Pan, S., Wang, M. M., & Guo, Y. (2020). Hyperbaric oxygen therapy
may be effective to improve hypoxemia in patients with severe COVID-2019
pneumonia: two case reports. Undersea & Hyperbaric Medicine : Journal of
the Undersea and Hyperbaric Medical Society, Inc.
9. Lam G, 2017. Hyperbaric Oxygen Therapy: Exploring the Clinical Evidence.
www.woundcarejournal.com, pp. 181-190.
10. Johnston, B. R., Y, A., Brea, B. & Liu, P. Y., 2016. The Mechanism of
Hyperbaric Oxygen Therapy. Rhode Island Medical Journal, 2.pp. 26-29.
11. Heybor, M. &et all, 2017. Hyperbaric Oxygen Therapy : Side Effects Defined
and Quantified. p. 2.

17
12. Latham , 2018 . Hyperbaric Oxygen Therapy : Hyperbaric Physics and
Physiology p.2. https://emedicine.medscape.com/article/1464149-
overview#a2
13. Richard E. Moon, Lindell K. (2020). Hyperbaric oxygen as a treatment for
COVID-19 infection?Undersea & Hyperbaric Medicine : Journal of the
Undersea and Hyperbaric Medical Society, Inc.
14. Rubini, A., Porzionato, A., Zara, S., Cataldi, A., Garetto, G., & Bosco, G.
(2013). The effect of acute exposure to hyperbaric oxygen on respiratory
system mechanics in the rat. Lung. https://doi.org/10.1007/s00408-013-9488-
y
15. Thibodeaux, K., Speyrer, M., Raza, A., Yaakov, R., & Serena, T. E. (2020).
Hyperbaric oxygen therapy in preventing mechanical ventilation in COVID-19
patients: a retrospective case series. Journal of Wound Care.
https://doi.org/10.12968/jowc.2020.29.Sup5a.S4

18
LAMPIRAN

19

Anda mungkin juga menyukai