Anda di halaman 1dari 19

TUGAS MAKALAH

PENYELAMAN DAN HIPERBARIK TABEL PENYELAMAN DAN


PENGOBATAN

NAMA : mohamad edo kurniawan

NIM :1921013

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH SURABAYA PROGRAM


STUDI D3 KEPERAWATAN 2021
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................. i
DAFTAR ISI ................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang........................................................................................... 1
B.     Tujuan ........................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
A.    Penyakit dekompresi........................................................................................ 2
1.      Definisi.................................................................................. 2
2.      Sejarah................................................................................. 3
3.      Patogenesis................................................................... 3
4.      Gambaran Klinis............................................................... 3
5. Penatalaksanaan…………………………………………………...3
B.    Terapi Hiperbarik Oksigen .................................................... 4
1.      Definisi............................................................................................ 5
2.      indikasi........................................................................ 13
3.      kontraindikasi.................................................................................... 19
4.      Persiapan ......................................................................................... 22
5.      Teknik Pemberian Terapi....................................................... 24
6.      diskusi ........................................................................................ 25
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan ................................................................................................ 29
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah kami panjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT. Atas segala
limpah rahmat dan hidayahnya. Sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah
ini, dan sholawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada proklamator sedunia,
pejuang tangguh yang tak gentar menghadapi segala rintangan demi umat manusia, yakni
Nabi Muhammad SAW.

Adapun maksud penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas di STIKES
HANG TUAH program studi DIII Keperawatan, makalah ini disusun dengan materi
penyelaman dan hiperbarik dengan judul ”TABEL PENYELAMAN DAN PENGOBATAN”
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.    Latar Belakang
Maluku merupakan salah satu Provinsi di Indonesia dengan luas wilayah
terbesar adalah laut. Kondisi inilah yang menyebabkan banyak dari penduduk di daerah
ini memanfaatkan laut sebagai sarana mata pencaharian dan sarana olahraga. Dalam
hal ini mata pencaharian dan olahraga yaitu menyelam. Banyak sekali penyelaman
yang dilakukan dimana diantara mereka ada yang merupakan penyelam professional,
penyelam dengan kompressor konvensional (penyelam mutiara, nelayan penyelam
ikan), penyelam militer dan penyelam tahan nafas (breath Hold Diving).
Penyelam pada umumnya merupakan penyelam tradisional yang tidak dibekali
pengetahuan tentang penyelaman dan akibat-akibatnya sehingga bila terjadi penyakit
dekompresi baik yang ringan maupun yang berat dianggap suatu kecelakaan biasa dan
tidak tahu bahwa harus dirujuk ke fasilitas Ruang Udara Bertekanan Tinggi (RUBT)
untuk dilakukan terapi OHB.
Penyakit Dekompresi (DCS) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh
pelepasan dan mengembangnya gelembung gas dari fase larut dalam darah atau
jaringan akibat penurunan tekanan disekitarnya. Penyakit Dekompresi bukan penyakit
akibat kerja yang umum. Namun, dapat terjadi pada penyelam rekreasi scuba,
penyelam komersial, dan pekerja lain yang menggunakan udara terkompresi. Angka
kejadian penyakit dekompresi di Amerika Serikat untuk tipe II (berat) yaitu 2,28 kasus
per 10,000 penyelaman. Sementara kasus tipe I (ringan) tidak diketahui karena banyak
penyelam yang tidak mencari pengobatan. 
Rumah Sakit Angkatan Laut (RSAL) Dr.F.X Suhardjo merupakan rumah sakit
TNI-AL di Provinsi Maluku yang merupakan satu-satunya rumah sakit yang dilengkapi
dengan fasilitas Ruang Udara Bertekanan Tinggi (RUBT) untuk terapi oksigen
Hiperbarik. Dengan adanya fasilitas ini sudah banyak sekali kasus yang diterapi dengan
Hiperbarik oksigen termasuk penyakit akibat menyelam yaitu penyakit dekompresi.
Namun sampai saat ini masih banyak penduduk yang belum mengetahui akan peran
dari HBOT ini.
Berdasarkan latar belakang diatas, sehingga penulis tertarik untuk mengkaji
apakah ada hubungan penggunaan terapi oksigen Hiperbarik pada perbaikan klinis
pasien dekompresi Tipe I ?

1.2   Tujuan Penulisan
untuk mengetahui adakah hubungan pemberian terapi oksigen hiperbarik pada
perbaikan klinis pasien Decompression Sickness tipe I.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1.    Penyakit Dekompresi
2.1.1.   Defenisi
          Penyakit Dekompresi (DCS) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh
pelepasan dan mengembangnya gelmbung gas dari fase larut dalam darah atau
jaringan akibat penurunan tekanan disekitarnya.

2.1.2.   Sejarah
Penyakit Dekompresi pertama kali ditemukan oleh Triger di Perancis tahun 1843
yaitu pada pekerja tambang batu bara. Tahun 1854, Pol dan Watelle memperhatikan
bahwa gejala penyakit tersebut akan hilang bila dikembalikan pada lingkungan semula.
Tahun 1872, Friedburg menyatakan bahwa gejala tersebut adalah akibat adanya
gelembung gas dalam jaringan.
Tahun 1878, Paulbert menemukan bahwa gelembung gas dalam jaringan tubuh
tadi adalah Nitrogen. Tahun 1908, Boycot dan Damant menyatakan bahwa binatang
yang gemuk lebih mudah karena penyakit Caisson dari pada binatang yang kurus,
karena lemak merupakan jaringan yang bersifar reservoir untuk nitrogen dan nitrogen
sendiri 5 kali lebih mudah larut dalam minyak dari pada dalam air.
Tahun 1937, Swindle dan End menemukan bahwa ada perubahan-perubahan
biokimia yang tidak dikenal pada trauma akibat pengembangan gelembung-gelembung
gas yang menyebabkan agregasi trombosit dan aglutinasi.

2.1.3.   Patogenesis
Sesuai dengan Hukum Henry yang menyatakan bahwa pada suhu tertentu, jumlah
gas terlarut dalam suatu cairan berbanding lurus dengan tekanan parsial gas tersebut
diatas cairan, maka pada saat seseorang menyelam, tekanan parsial nitrogen yang
dihirupnya akan bertambah dan akan lebih banyak gas yang terlarut dalam darah
maupun jaringan.
Oleh karena darah yang kelebihan nitrogen ini akan di distribusikan kejaringan-
jaringan sesuai dengan kecepatan aliran darah ke jaringan tersebut dan daya gabung
jaringan terhadap nitrogen. Dalam hal ini lemak mempunyai daya gabung nitrogen yang
tinggi dan melarutkannya lima kali lebih banyak daripada air.
Tingkat saturasi nitrogen dalam berbagai jaringan berbeda-beda tergantung
percepatan pertukaran nitrogen. Sebagai contoh darah supersaturasinya cepat
(jaringan cepat), sedangkan sumsum tulang dan sendi supersaturasinya lambat
(jaringan lambat).
Adapun faktor yang menentukan pengambilan dan pembuangan gas adalah
kecepatan difusi gas darah ke jaringan, fungsi ambilan gas jaringan secara perfusi,
waktu penuh jaringan dan keadaan saturasi. Hal ini perlu untuk mengetahui bentuk
klinis dan penyakit dekompresi yang mungkin timbul.
Kondisi supersaturasi gas dalam darah dan jaringan sampai batas tertentu masih
memungkinkan gas untuk berdifusi keluar dari jaringan dan larut dalam darah,
kemudian menuju ke alveoli keluar melalui pernafasan.
Setelah melewati suatu batas kritis tertentu, kondisi supersaturasi akan
menyebabkan gas terlepas lebih cepat dari jaringan atau darah dalam bentuk tidak
larut, yaitu berupa gelembung gas. 
Pada saat penyelam mulai naik, tekanan gas mulai turun, terjadi proses desaturasi
yang merupakan kebalikan proses saturasi. Saat itu terjadi juga pelepasan gas inert
dari darah kembali kedalam paru, karena tekanan parsial gas inert dalam paru-paru
lebih rendah daripada darah.
Proses ini berlangsung beberapa menit sampai 24 jam atau lebih tergantung
tingkat supersaturasi masing-masing jaringan. Jika tekanan parsial gas dalam jaringan
tubuh yang mengalami dekompresi dibiarkan melebihi tekanan sekitarnya akan timbul
gelembung gas inert dalam jaringan.
Pembentukan gelembung ini dipercepat dengan adanya exercise. Sekali
gelembung terbentuk akan makin membesar karena bertambah banyaknya gas inert
yang masuk dari jaringan sekitarnya. Hal ini sesuai dengan Hukum Boyle yang
menyatakan hubungan antara tekanan dan volume dari kumpulan gas akan berbanding
terbalik dengan tekanan absolut.
Teori inti gelembung menyatakan bahwa penurunan tekanan akan diikuti
pembesaran jari-jari lingkaran gelembung. Gelembung gas yang besar mempunyai
tegangan permukaan yang kecil karena makin besar jari-jari gelembung gas makin kecil
tegangan permukaannya.
Cara menyelam mempengaruhi tempat pembentukan gelembung gas inert dan
timbulnya penyakit dekompresi. Menyelam dalam waktu singkat dan dalam akan
menghasilkan beban gas inert yang tinggi pada jaringan cepat, tetapi tidak cukup waktu
untuk jaringan lambat. Sedangkan menyelam dalam dan waktu lama ditempat yang
dangkal akan memberikan beban gas inert pada jaringan lambat.
Jumlah yang sama akan terjadi pada jaringan cepat, namun karena perbedaan
tekanan antara kedalaman dan permukaan air tidak begitu besar, darah mungkin akan
mentolerir kelebihan nitrogen tersebut sampai dapat dikeluarkan melalui paru-paru.

2.1.4.   Gambaran Klinis
Penyakit ini dibagi berdasarkan waktu timbulnya gejala dan tipe gejalanya.
1.    Berdasarkan waktu timbulnya, DCS dapat timbul secara :
a. Akut : Adanya kelainan neurologis (68 %), Adanya kelainan osteoartikuler (29 %),
Adanya kelainan pernapasan (3 %)
b. Kronis yaitu Dysbaric Osteonecrosis (Aseptic osteonecrosis)

2.    Berdasarkan Tipe gejala, DCS dibagi dalam 2 tipe yaitu :  


a.Tipe I (Pain Only Bends)
Gejala utamanya adalah nyeri, terutama di daerah persendian dan otot
disekitarnya, dapat timbul mendadak setelah penyelaman atau perlahan-lahan. Selain
itu dapat timbul kemerahan di kulit, gatal serta pembengkakan di sekitar sendi. Paling
sering terkena adalah sendi bahu, kemudian sebagian pada persendian siku,
pergelangan tangan, sendi lutut dan pergelangan kaki. Nyeri biasanya menyerang dua
sendi atau lebih tetapi jarang simetris.
b.Tipe II (Serious Decompression Sickness)
Merupakan penyakit dekompresi yang serius menyerang sistem saraf pusat dan
kardiopulmoner.
Gejala-gejala klinis antara lain :
-       Gejala-gejala neurologis : Gejala ini muncul sangat tergantung pada bagian otak
mana yang tekena. Gejalanya dapat berupa :, Kesulitan bicara, tremor, vertigo,
tinnitus, dan lain-lain.
-       Gejala paru dan jantung : sesak nafas, nyeri dada, batuk- batuk non produktif
-       Gejala Gastrointestinal : Mual, muntah, kejang usus dan diare
-       Gejala di kulit : bercak kebiruan, gatal-gatal pada Tipe I.
-       Bends Shock
2.1.5.   Penatalaksanaan 
Tujuan pengobatan penyakit dekompresi adalah melawan efek hipoksia pada
jaringan. Pada prinsipnya merupakan gabungan tiga tingkatan yaitu :
1.   Pengobatan kedaruratan di tempat kejadian
a. Anamnesa dan pemeriksaan fisik dengan teliti dan cepat untuk menentukan
diagnosa.
b. Pemberian oksigen 100 %
c. Bila jauh dari fasilitas RUBT sementara dapat dilakukan rekompresi dalam air
sedalam 9 meter dengan pemberian oksigen 100 % lewat full face mask selama 30
menit, jika ada perbaikan dapat diteruskan sampai 90 menit. Kecepatan naik 1
meter setiap 12 menit. Apabila cara ini tidak berhasil penderita segera dirujuk ke
pusat RUBT terdekat.
2.    Pengobatan kedaruratan pada waktu evakuasi
A. Inhalasi oksigen 100 %
b.Pemberian obat-obatan suportif dan rehidrasi
c.Segera menghubungi fasilitas RUBT terdekat
d. Transportasi sebaiknya lewat darat, tetapi bila jarak terlalu jauh maka di evakuasi
dengan helikopter ketinggian yang ditempuh 240-300 meter di atas permukaan air.
3.    Pengobatan di fasilitas RUBT
a.    Rekompresi dan terapi OHB yang bertujuan :
-   Mengurangi petumbuhan gelembung gas inert
-   Memudahkan pembersihan/pembuangan gas inert
-  Mengatasi iskemik dan hipoksia pada jaringan yang terkena.

2.2. Terapi Hiperbarik Oksigen


2.2.1. Defenisi
Hiperbarik berasal dari kata hyper berarti tinggi, bar berarti tekanan. Dengan kata
lain terapi hiperbarik adalah terapi dengan menggunakan tekanan yang tinggi. Pada
awalnya, terapi hiperbarik hanya digunakan untuk mengobati decompression sickness,
yaitu suatu penyakit yang disebabkan oleh penurunan tekanan lingkungan secara
mendadak sehingga menimbulkan sejumlah gelembung nitrogen dalam cairan tubuh
baik di dalam sel maupun di luar sel, dan hal ini dapat menimbulkan kerusakan di setiap
organ di dalam tubuh, dari derajat ringan sampai berat bergantung pada jumlah dan
ukuran gelembung yang terbentuk. Seiring dengan berjalannya waktu, terapi hiperbarik
berkembang fungsinya untuk terapi macam-macam penyakit, beberapa diantaranya
seperti stroke, multipel sclerosis, edema cerebral, keracunan karbon monoksida dan
sianida, trauma kepala tertututp, gas gangren, neuropati perifer, osteomielitis, sindroma
kompartemen, diabetik neuropati, migran, infark miokard dan lain-lain. Hiperbarik
oksigen adalah suatu cara terapi dimana penderita harus berada dalam suatu ruangan
bertekanan, dan bernafas dengan oksigen 100% pada suasana tekanan ruangan yang
lebih besar dari 1 ATA (atmosfer absolut). Tidak terdapat definisi yang pasti akan
tekanan dan durasi yang digunakan untuk sesi terapi oksigen hiperbarik. Umumnya
tekanan minimal yang digunakan adalah sebesar 2,4 atm selama 90 menit. Banyaknya
sesi terapi bergantung pada kondisi pasien dengan rentang 1 sesi untuk keracunan
ringan karbon monoksida hingga 60 sesi atau lebih untuk lesi diabetik pada kaki.
Mekanisme TOHB melalui dua mekanisme yang berbeda. Pertama, bernafas
dengan oksigen murni dalam ruang udara bertekanan tinggi (hyperbaric chamber) yang
tekanannya lebih tinggi dibandingkan tekanan atmosfer, tekanan tersebut dapat
menekan saturasi hemoglobin, yang merupakan bagian dari sel darah merah yang
berfungsi mentransport oksigen yang secara kimiawi dilepaskan dari paru ke jaringan.
Bernafas dengan oksigen 100% pada atmosfer yang normal tidak efek pada saturasi
hemoglobin.
Kedua, dibawah tekanan atmosfer, lebih banyak oksigen gas terlarut dalam
plasma. Meskipun dalam kondisi normal transport oksigen terlarut dalam plasma jauh
lebih signifikan daripada transport oleh hemoglobin, dengan TOHB kontribusi
transportasi plasma untuk jaringan oksigenasi sangat meningkat. Sebenarnya,
menghirup oksigen murni pada tiga kali yang normal atmosfer.
Hasil tekanan dalam peningkatan 15 kali lipat dalam konsentrasi oksigen terlarut
dalam plasma. Itu adalah konsentrasi yang cukup untuk memasok kebutuhan tubuh
saat istirahat bahkan dalam total tidak adanya hemoglobin.
Sistem kerja TOHB, pasien dimasukkan dalam ruangan dengan tekanan lebih
dari 1 atm, setelah mencapai kedalaman tertentu disalurkan oksigen murni (100%)
kedalam ruang tersebut. Ketika kita bernapas dalam keadaan normal, udara yang kita
hirup komposisinya terdiri dari hanya sekitar 20% adalah oksigen dan 80% nya adalah
nitrogen. Pada TOHB, tekanan udara meningkat sampai dengan 2 kali keadaan nomal
dan pasien bernapas dengan oksigen 100%. Pemberian oksigen 100% dalam tekanan
tinggi, menyebabkan tekanan yang akan melarutkan oksigen ke dalam darah serta
jaringan dan cairan tubuh lainnya hingga mencapai peningkatan konsentrasi 20 kali
lebih tinggi dari normal.
Oksigenasi ini dapat memobilisasi penyembuhan alami jaringan, hal
ini merupakan anti inflamasi kuat yang merangsang perkembangan pembuluh darah
baru, dapat membunuh bakteri dan mengurangi pembengkakan.

2.2.2. Indikasi 
Hiperbarik dapat memiliki beberapa manfaat untuk mengobati penyakit-penyakit
akibat penyelaman dan kegiatan kelautan:
-     Penyakit Dekompresi
-     Emboli udara
-     Luka bakar
-     Crush Injury
-     Keracunan gas karbon monoksida (CO)
Terdapat beberapa pengobatan tambahan, yaitu:
-     Gas gangren
-     Komplikasi diabetes mellitus (gangrene diabeticum)
-     Eritema nodosum
-     Osteomyelitis
-     Buerger’ s diseases
-     Morbus Hansen
-     Psoriasis vulgaris
-     Edema serebral
-     Scleroderma
-     Lupus eritematosus (SLE)
-     Rheumatoid artritis
Terdapat pula pengobatan pilihan, yaitu:
-     Pelayanan kesehatan dan kebugaran
-     Pelayanan kesehatan olahraga
-     Pasien lanjut usia (geriatri)
-     Dermatologi dan kecantikan
2.2.3. Kontraindikasi 
Kontraindikasi TOHB terdiri dari kontraindikasi absolut dan relatif. Kontraindikasi
absolut yaitu penyakit pneumothorax yang belum ditangani. Kontraindikasi relatif
meliputi keadaan umum lemah, tekanan darah sistolik lebih dari 170 mmHg atau kurang
dari 90 mmHg, diastole lebih dari 110 mmHg atau kurang dari 60 mmHg, demam tinggi
lebih dari 38oC, ISPA, sinusitis, Claustropobhia (takut pada ruangan tertutup), penyakit
asma, emfisema dan retensi C O2, infeksi virus, infeksi kuman aerob seperti TBC,
lepra, riwayat kejang, riwayat neuritis optik, riwayat operasi thorax dan telinga, wanita
hamil, penderita sedang kemoterapi seperti terapi adriamycin, bleomycin.

2.2.4. Persiapan
Persiapan terapi oksigen hiperbarik antara lain:
-       Pasien diminta untuk menghentikan kebiasaan merokoknya 2 minggu sebelum proses
terapi dimulai. Tobacco mempunyai efek vasokonstriksi sehingga mengurangi
penghantaran oksigen ke jaringan.
-       Beberapa medikasi dihentikan 8 jam sebelum memulai terapi oksigen hiperbarik antara
lain vitamin C, morfin dan alkohol.
-       Pasien diberikan pakaian yang terbuat dari 100% bahan katun dan tidak memakai
perhiasan, alat bantu dengar, lotion yang terbuat dari bahan dasar petroleum, kosmetik,
bahan yang mengandung plastik, dan alat elektronik.
-       Pasien tidak boleh menggunakan semua zat yang mengandung minyak atau alkohol
(yaitu, kosmetik, hairspray, cat kuku, deodoran, lotion, cologne, parfum, salep) dilarang
karena berpotensi memicu bahaya kebakaran dalam ruang oksigen hiperbarik.
-       Pasien harus melepaskan semua perhiasan, cincin, jam tangan, kalung, sisir rambut,
dan lain-lain sebelum memasuki ruang untuk mencegah goresan akrilik silinder di ruang
hiperbarik.
-       Lensa kontak harus dilepas sebelum masuk ke ruangan karena pembentukan potensi
gelembung antara lensa dan kornea.
-       Pasien juga tidak boleh membawa koran, majalah, atau buku untuk menghindari
percikan api karena tekanan oksigen yang tinggi berisiko menimbulkan kebakaran.
-       Sebelum pasien mendapatkan terapi oksigen hiperbarik, pasien dievaluasi terlebih
dahulu oleh seorang dokter yang menguasai bidang hiperbarik. E valuasi mencakup
penyakit yang diderita oleh pasien, apakah ada kontraindikasi terhadap terapi oksigen
hiperbarik pada kondisi pasien.
-       Sesi perawatan hiperbarik tergantung pada kondisi penyakit pasien.
-       Pasien umumnya berada pada tekanan 2,4 atm selama 90 menit. Tiap 30 menit terapi
pasien diberikan waktu istirahat selama 5 menit. Hal ini dilakukan untuk menghindari
keracunan oksigen pada pasien.
-       Terapi oksigen hiperbarik memerlukan kerjasama multidisiplin sehingga satu pasien
dapat ditangani oleh berbagai bidang ilmu kedokteran.
-       Pasien dievaluasi setiap akhir sesi untuk perkembangan hasil terapi dan melihat apakah
terjadi komplikasi hiperbarik pada pasien.
-       Untuk mencegah barotruma GI, ajarkan pasien benapas secara normal (jangan
menelan udara) dan menghindari makan besar atau makanan yang memproduksi gas
atau minum sebelum perawatan.

3.5.    Teknik Pemberian Terapi


                        Sistem kerja TOHB, pasien akan dimasukkan dalam ruangan dengan tekanan
lebih dari 1 atm, setelah mencapai kedalaman tertentu disalurkan oksigen murni (100
%) kedalam ruang tersebut. Pada TOHB tekanan udara meningkat sampai dengan 2
kali keadaan normal dan pasien bernapas dengaan oksigen 100 %. Hal-hal yang perlu
diperhatikan sebelum menjalani terapi oksigen hiperbarik adalah : 6,7
-          Sebelum menjalani terapi, pasien akan dievalulasi untuk memastikan tidak adanya
kontraindikasi dilakukannya terapi oksigen hiperbarik.
-          Pasien harus memberitahu obat-obatan yang sedang mereka kosnsumsi , mengingat
terdapat obat-obatan tertentu , misalnya obat-obatan jenis steroid dan obat kemoterapi.
-          Pasien akan dimasukkan kedalam ruangan kapal selam yang berukuran kecil selama
2 jam, sehingga penting sekali untuk memastikan pasien tidak memiliki fotofobia.
-          Saat merasa tidak kuat, pasien dapat memberitahukan kepada petugas yang ikut
masuk kedalam chamber hieperbarik.
4.1. Hasil
4.1.1.   Distribusi Pasien yang Menjalani Terapi HBO Berdasarkan Indikasi Kasus
Berdasarkan kajian data diperoleh hasil yakni jumlah pasien yang menjalani terapi
Hiperbarik oksigen adalah sebanyak 91 pasien dimana Indikasi Kebugaran merupakan
kasus terbanyak yang di terapi dengan HBO yaitu sekitar 43,82% atau 39 orang pasien
kemudian diiikuti dengan kasus DCS Tipe I yaitu sebanyak 30 orang (33,71%), Kasus
Stroke (6 orang) 6.59%, Diabetes Melitus 5 orang (5.49%), Cephalgia dan DCS Tipe II
masing-masing 3 orang (3.30%), Kasus Ulkus DM dan Barotrauma masing-masing
sebanyak 2 orang yaitu sekitar 2.20% dan Vertigo yaitu hanya 1 orang (1.10%) dari
total seluruh pasien.

Tabel Pasien yang menjalani Terapi HBO Berdasarkan Indikasi Kasus


INDIKASI TERAPI JUMLAH PASIEN PERSENTASE (%)
Kebugaran 39 42.86
Stroke 6 6.59
Diabetes Mellitus 5 5.49
Ulkus DM 2 2.20
Vertigo 1 1.10
Cephalgia 3 3.30
DCS Tipe I 30 32.97
DCS tipe II 3 3.30
Barotrauma 2 2.20
TOTAL 91 100.00

4.1.2.   Distribusi Keluhan Awal Sebelum Terapi Hiperbarik Oksigen pasien DCS Tipe I

Tabel 2. Distribusi Keluhan Awal Sebelum Terapi HBO pasien DCS Tipe I
Keluhan Awal sebelum
HBOT Jumlah (n) Persentase (%)
Keram-Keram 4 13.33
Nyeri 4 13.33
Kemerehan pada kulit 2 6.67
Terasa Kaku 5 16.67
Mati Rasa 2 6.67
Gatal-gatal 7 23.33
> 1 Gejala 6 20
TOTAL 30 100.00

   Berdasarkan tabel 2 diatas diperoleh data bahwa keluhan awal yang banyak
dikeluhkan pasien DCS Tipe I sebelum dilakukan terapi HBO adalah Gatal-gatal yaitu
sebanyak 7 orang (23.33%), diikuti dengan pasien yang menunjukkan >1 Gejala (6
orang) 20%, Terasa kaku 5 orang (16.67%), Nyeri dan Keram-keram masing-masing 4
orang (13.33%), kemerahan pada kulit (2 orang) 6.67% dan keluhan mati rasa 2 orang
(6.67%)

4.1.3.   Distribusi Perbaikan Klinis Penderita DCS tipe I Sesudah terapi dengan


Hiperbarik Oksigen
Setelah dilakukan terapi dengan Hiperbarik didapatkan bahwa sebanyak 21 pasien
DCS Tipe I merasakan keluhan berkurang (70%) dan 9 orang (30%) merasakan tidak
ada keluhan (Lihat Tabel dan Grafik 3 dibawah ini).

Tabel Perbaikan Klinis Penderita DCS Tipe I Setelah terapi HBO.


Hasil Setelah Terapi HBO Jumlah (n) Persentase(%)
Keluhan Berkurang 21 70.00
Tidak Ada Keluhan 9 30.00
TOTAL 30 100.00

4.1.4.   Hubungan Pemberian Terapi HBO Pada Perbaikan Klinis Pasien DCS Tipe I
Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa jumlah pasien Dekompresi
Tipe I yang menjalani terapi Hiperbarik Oksigen adalah sebanyak 30 pasien dimana
setelah dilakukan terapi ditemukan adanya 21 orang yang mengaku keluhannya
berkurang dan 9 orang yang tersisa mengaku tidak ada keluhan.
4.2.    Pembahasan
Setelah dilakukan penelitian didapatkan hasil nilai P = 0,014 (p<0,050). Hasil ini
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pemberian terapi
hiperbarik oksigen pada perbaikan klinis pasien dekompresi tipe I. Penelitian ini juga
didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Hadanny A et all (2015) yang
mengemukakan bahwa baik pasien decompression sickness yang mendapatkan terapi
rekompresi dengan TOHB lebih awal maupun yang terlambat mendapatkan terapi
menunjukkan hasil yaitu 76% yang sembuh sempurna, partial recovery 17.1%, dan
tidak mengalami perubahan adalah 6.6% untuk pasien yang terlambat mendapatkan
terapi sedangkan pasien yang mendapatkan terapi lebih cepat memiliki hasil yakni 78%
sembuh sempurna (complete recovery),15.6% partial recovery dan 6.2% tidak
mengalami penyembuhan.10 Hasil ini menunjukkan bahwa sekalipun pasien
decompressi sickness terlambat atau lebih cepat mendapatkan terapi rekompresi
dengan TOHB memiliki hasil yang sama baiknya.4
Menurut teori TOHB merupakan terapi utama pada pasien-pasien dekompresi
baik tipe I maupun tipe II. 3 Teori dasar di balik terapi Oksigen Hiperbarik pada penderita
DCS ini adalah, pertama, untuk repressurize pasien untuk mengembalikan kedalaman
di mana gelembung dari nitrogen atau udara yang dilarutkan ke dalam jaringan dan
cairan tubuh. Pasien akan menghirup oksigen konsentrasi tinggi secara intermiten,
diharapkan dapat terbentuk gradien difusi yang lebih besar. Kemudian, pasien akan
dibawa kembali menuju permukaan secara perlahan-lahan. Keadaan ini memungkinkan
gas untuk berdifusi secara bertahap keluar dari paru-paru dan tubuh. Penambahan
helium dengan oksigen telah terbukti menghasilkan keuntungan bila dibandingkan
dengan oksigen saja bahkan dalam DCS neurologis berat atau refractory DCS. 4,7,8
Terapi yang dapat diberikan pada pasien dengaan dekompresi berpatokan pada
tabel-tabel dibawah ini
Indikasi :
-     Gejala Tipe I DCS (kecuali untuk Cutis marmorata) saat pemeriksaan neurologis
lengkap tidak menunjukkan adanya kelainan. Setelah tiba di kedalaman 60 kaki
pemeriksaan neurologis harus dilakukan untuk memastikan bahwa tidak ada neurologis
gejala terbuka (misalnya, kelemahan, mati rasa, kehilangan koordinasi) yang hadir.
-     Asymptomatic omitted decompression
-     Pengbatan gejala-gejala yang ada diikuti dengan rekompresi dalam air
-     Follow-up trreatment untuk sisa-sisa gejala
-     Keracunan gas monoksida
-     Gas Gangren

Indikasi
-        Arterial gas embolism
-        Gejala-gejala DCS Tipe 2
-        DCS Tipe 1 dimana gejala tidak dapat hilang dalam waktu 10 menit pada kedalaman 60
kaki atau nyeri yang parah dan harus segera dilakukan rekompresi tanpa dilakukan
pemeriksaan neurologis terlebih dahulu
-        Cutis marmorata
-        Keracunan gas CO berat, sianida dan inhalasi asap rokok
-        Asymptomatic omitted decompression
-        Symptomatic uncontrolled ascent
BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Penyelam pada umumnya merupakan penyelam tradisional yang tidak dibekali
pengetahuan tentang penyelaman dan akibat-akibatnya sehingga bila terjadi penyakit
dekompresi baik yang ringan maupun yang berat dianggap suatu kecelakaan biasa dan
tidak tahu bahwa harus dirujuk ke fasilitas Ruang Udara Bertekanan Tinggi (RUBT)
untuk dilakukan terapi OHB. Hiperbarik berasal dari kata hyper berarti tinggi, bar berarti
tekanan. Dengan kata lain terapi hiperbarik adalah terapi dengan menggunakan
tekanan yang tinggi. Pada awalnya, terapi hiperbarik hanya digunakan untuk
mengobati decompression sickness, yaitu suatu penyakit yang disebabkan oleh
penurunan tekanan lingkungan secara mendadak sehingga menimbulkan sejumlah
gelembung nitrogen dalam cairan tubuh baik di dalam sel maupun di luar sel, dan hal ini
dapat menimbulkan kerusakan di setiap organ di dalam tubuh, dari derajat ringan
sampai berat bergantung pada jumlah dan ukuran gelembung yang terbentuk. Seiring
dengan berjalannya waktu, terapi hiperbarik berkembang fungsinya untuk terapi
macam-macam penyakit, beberapa diantaranya seperti stroke, multipel
sclerosis, edema cerebral, keracunan karbon monoksida dan sianida, trauma kepala
tertututp, gas gangren, neuropati perifer, osteomielitis, sindroma kompartemen, diabetik
neuropati, migran, infark miokard dan lain-lain. Hiperbarik oksigen adalah suatu cara
terapi dimana penderita harus berada dalam suatu ruangan bertekanan, dan bernafas
dengan oksigen 100% pada suasana tekanan ruangan yang lebih besar dari 1 ATA
(atmosfer absolut). Tidak terdapat definisi yang pasti akan tekanan dan durasi yang
digunakan untuk sesi terapi oksigen hiperbarik. Umumnya tekanan minimal yang
digunakan adalah sebesar 2,4 atm selama 90 menit. Banyaknya sesi terapi bergantung
pada kondisi pasien dengan rentang 1 sesi untuk keracunan ringan karbon monoksida
hingga 60 sesi atau lebih untuk lesi diabetik pada kaki.
5.2. Saran
-  Mengingat manfaat Hiperbarik Oksigen, diharapkan pada tenaga kesehatan yang
bekerja pada rumah sakit yang dilengkapi dengan fasilitas HBO agar dapat memberikan
penjelasan kepada masyarakat terkait manfaat HBO dalam hal penanganan kasus-
kasus yang diakibatkan oleh penyelaman.
-  Dengan Penelitian ini diharapkan agar dapat dilakukan penelitian lebih lanjut terkait ada
tidaknya faktor yang berpengaruh terhadap kesembuhan pasien dekompresi.

DAFTAR PUSTAKA

Amir, D P, Wahyu A, Wahyuni A. Faktor yang berhubungan dengan Penyakit Dekompresi


pada Penyelam Tradisional di Pulau Lae-Lae.2010
Gempp E, Blatteau J E. Risk Factor and treatment outcome in scuba divers with spinal cord
decompression sickness. Journal of Critical Care. Journal of Critical care.2009
Anonim. Simposium Hiperbarik Oksigen.2000
Hadanny A, Fishlev G, Bechor Y, Bergan J et all. Research Article:  Delayed
Recompression for Decompression Sickness; Retrospective Analysis. 2015
Guyton and Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Penerbit Buku Kedpkteran. 2005
Huda N. Tesis Pengaruh Hiperbarik Oksigen (HBO) terhadap perfusi perifer luka gangrene
pada penderita DM DI RSAL Dr. Ramelan Surabaya. FK UI. 2010
Sukmajaya, Ali. Faktor yang berhubungan dengan penyakit dekompresi pada penyelam
professional dan penyelam tradisional di Gili Matra Kab. Lombok Utara Provinsi
NTB.2010
 U.S. Navy Diving Manual. Diagnosis and treatment of Decompression Sickness and

Arterial Gas Embolism. Chapter 20.


Vann R D, Denoble P J, Howle L E, Weber P W et all. Resolution and Severity in
Decompression Illness. Aviation, Space and Enviromental Medicine. Volume 80, No.5,
Section I.2009
 Prasetyo A T, Soemantri J B, Lukmantya. Pengaruh kedalaman dan lama menyelam

terhadap ambang-dengar penyelam tradisional dengan barotraumas telinga. ORLI


Vol.42 No.2. 2012

Anda mungkin juga menyukai