Disusun Oleh:
Puji syukur saya sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-
Nya saya dapat melaksanakan dan menyusun laporan Small Group Discussion (SGD)
LBM 3 yang berjudul “Gas Pernapasan” ini tepat pada waktunya. Laporan ini ditulis
untuk memenuhi persyaratan sebagai syarat nilai SGD serta Pleno dalam blok
Biomedik. Dalam penyusunan laporan ini, saya mendapat banyak bantuan, masukan,
bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, melalui kesampatan ini
saya menyampaikan terima kasih kepada:
1. dr. Made Ayu Mirah Wulandari, M.Biomed selaku Tutor serta Fasilitator
Small Group Discussion (SGD) kelompok 5
2. Kakak tingkat yang berkenan memberikan banyak saran dan masukan terkait
laporan yang saya buat ini.
3. Serta kepada teman-teman yang memberikan masukan dan dukungannya
kepada saya.
Saya menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna dikarenakan
terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang saya miliki dan masih perlu banyak
perbaikan. Oleh karena itu, saya mengharapkan segala bentuk saran serta yang membangun
dari berbagai pihak. Akhir kata saya berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi
berbagai pihak yang akan menggunakannya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
2.3 Komposisi dari O2, CO2, dan nitrogen pada tekanan atmosfer ............... 3
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Skenario
Gas Pernapasan
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
dengan PO2 yang ada pada darah agar oksigen yang terkandung dalam alveolus dapat
berdifusi ke dalam darah. Difusi akan lebih cepat berlangsung ketika perbedaan antara
PO2 yang ada di alveolus dengan PO2 yang ada di darah memiliki perbedaan yang
tinggi. Dengan bertambahnya ketinggian suatu tempat, maka tekanan atmosfernya akan
semakin berkurang, demikian juga dengan tekanan parsial O2 yang semula 159 mmHg
pada permukaan laut berubah menjadi 110 mmHg pada 10.000 kaki, kemudian menurun
lagi seiring bertambahnya ketinggian (Tortora 2014).
2.3 Bagaimana komposisi dari O2, CO2, dan nitrogen pada tekanan atmosfer
3
Diketahui bahwa syarat terjadinya proses perpindahan molekul gas atau difusi
ini terjadi karena adanya perbedaan tekanan parsial. Pada dasarnya tekanan parsial
merupakan tekanan yang ditimbulkan secara independen oleh masing-masing gas yang
ada di dalam campuran gas-gas lainnya. Di udara khususnya pada atmosfer terdapat
tekanan parsial, tekanan parsial udara atmosfer adalah campuran gas yang dimana pada
udara kering mengandung sekitar 78,62% nitrogen, 20,84% oksigen, 0,04%
karbondioksida, dan 0,50% air. Gas-gas yang ada ini akan menimbulkan sebuah tekanan
yang disebut dengan tekanan atmosfer, yang dimana tekanan atmosfer ini memiliki total
sebesar 760 mmHg di permukaan laut. Tekanan total atmosfer ini merupakan
penjumlahan tekanan tiap-tiap molekul dalam campuran gas. Karena tekanan total
atmosfer ini merupakan penjumlahan dari tiap tekanan maka sebesar 78,62% dari 760
mmHg yaitu 597 mmHg adalah berasal dari nitrogen (N 2), sebesar 20,84% dari 760
yaitu 159 mmHg adalah berasal dari oksigen (O2), sebesar 0,04% dari 760 mmHg yaitu
0,3 mmHg berasal dari karbondioksida, dan sebesar 0,50% dari 760mmHg yaitu 3,7
mmHg berasal dari air. Gas-gas yang terlarut dalam cairan seperti darah atau cairan
tubuh lainnya juga akan menimbulkan tekanan parsial, semakin banyak tekanan parsial
suatu gas dalam cairan maka semakin banyak gas tersebut akan terlarut.
4
mmHg sedangkan tekanan oksigen akan turun hingga sebesar 149,3 mmHg, namun
tekanan H20 akan mengalami peningkatan karena proses penguapan yang terjadi dalam
zona konduksi ini yang dimana tekanan parsial H2O yang awalnya sebesar 3,7 mmHg
di atmosfer akan mengalami peningkatan tekanan parsial menjadi 47 mmHg akibat
pelembaban dan penguapan yang terjadi, namun khusus karbondioksida tidak
mengalami berubahan akibat adanya proses pelembab an dan penguapan yang terjadi
yang dimana tekanan parsial karbondioksida akan tetap yaitu sebesar 0,3 mmHg.
Setelah melewati zona konduksi yang dimana terjadi proses penguapan air yang
akan mengubah tekanan parsial dari nitrogen, oksigen dan air, nantinya tekanan parsial
gas-gas ini akan mengalami perubahan kembali akibat gas-gas ini melewati perjalanan
di zona konduksi, selain mengalami proses pelembaban dan dan penguapan, nantinya
dalam zona konduksi ini terjadi proses penyerapan oleh organ-organ yang ada di zona
konduksi. Akibat dari proses ini maka tekanan parsial masing-masing gas akan
mengalami perubahan kecuali H2O yang dimana tekanan parsial nitrogen akan menjadi
sebesar 569 mmHg, tekanan parsial oksigen mengalami penurunan menjadi sebesar 104
mmHg, tekanan parsial karbondioksida mengalami peningkatan hingga sebesar 40
mmHg dan tekanan parsial H2O tetap. Khusus pada tekanan parsial O2 dan CO2 ini
mengalami perubahan akibat dalam perjalanan di zona konduksi, karena pada zona
konduksi O2 akan diserap oleh organ-organ untuk menghasilkan sebuah ATP atau
energi yang akan digunakan, karena organ dalam zona konduksi melakukan
menyerapan terhadap oksigen maka organ ini juga akan melepas karbondioksida yang
mengakibatkan tekanan parsial karbondioksida mengalami peningkatan seiring dengan
dibawanya CO2 ini ke alveolus, tekanan pada karbondioksida akan mengalami
peningkatan akibat proses yang terjadi pada zona konduksi yang dimana tekanan parsial
karbondioksida yang semula awalnya sebesar 0,3 mmHg pada atmosfer akan
mengalami peningkatan hingga menjadi sebesar 40 mmHg pada alveolus.
Tekanan oksigen alveolus juga lebih rendah dari pada tekanan oksigen atmosfer
karena udara segar yang masuk yaitu setara dengan terata 350 mL dari 500 mL (karena
150 mL berada pada ruang mati) akan bercampur dengan Sebagian besar udara lama
yang tersisa diparu-paru dan ruang mati pada akhir ekspirasi sebelumnya atau kapasitas
residual fungsional paru terata yang setara dengan 2200 mL. Akibat terjadinya
pelembabkan disaluran pernapasan dan pertukaran udara alveolus yang rendah
mengakibatkan tekanan oksigen alveoli terata sebesar 104 mmHg sedangkan tekanan
oksigen atmosfer terata adalah sebesar 159 mmHg.
5
2.4 Jelaskan difusi pada respirasi internal dan eksternal
Dalam sistem pernapasan terdapat beberapa proses yang dimana ketiga proses
ini memiliki keterikatan satu dengan yang lainnya. Ketiga proses ini adalah ventilasi
paru, perfusi dan difusi. Yang dimana difusi merupakan sebuah mekanisme perpindahan
gas yang dimana gas akan bergerak dari tekanan yang lebih tinggi ke tekanan yang lebih
rendah. Pada dasarnya system pernapasan memiliki tujuan tertentu yang dimana salah
satu tujuan bernapas adalah untuk memasok O2 segar secara kontinu untuk diserap oleh
darah dan secara konstan akan mengeluarkan CO2 dari darah. Daeah berfungsi sebagai
media transport bagi O2 dan CO2 antara paru dan jaringan, dengan sel jaringan
mengekstraksi O2 dari darah dan mengeliminasi CO2 kedalamnya.
6
tekanan parsial yang lebih kecil. Salah satu syarat proses difusi ini terjadi adalah adanya
tekanan parsial. (Sherwood 2016; Tortora 2016)
Respirasi eksternal atau pertukaran gas paru, merupakan sebuah proses difusi O 2
dari udara di alveolus paru ke darah dikapiler paru serta terjadi difusi CO 2 dalam arah
yang berlawanan. Respirasi eksternal diparu mengubah darah terdeoksigenasi menjadi
darah teroksigenasi. Sewaktu mengalir melalui kapiler paru, darah mengambil O2 dari
udara alveolus dan mengeluarkan CO2 ke udara dialveolus. Difusi antara alveoli dan
darah dimana terjadi akibat, tekanan parsial masing-masing gas dalam alveoli memaksa
molekul masuk, nantinya gas yang terlarut akan berpindah dari darah ke alveoli
sebanding dengan tekanan parsial dari masing-masing gas. Tekanan dalam prose difusi
antara alveoli dan darah ditentukan oleh perbedaan tekanan parsial; jika tekanan gas di
alveoli lebih besar dari darah maka gas akan berpindah ke dalam darah, gas yang
berpindah ini adalah oksigen. Sebaliknya jika tekanan gas pada darah lebih besar dari
alveoli maka gas akan berpindah ke alveoli, gas yang berpindah ini adalah
karbondioksida. (Sherwood 2016; Tortora 2016)
Pada dasarnya dalam respirasi eksternal terjadi sebuah proses difusi yang
dimana gradien tekanan parsial oksigen dan gradien tekanan karbondioksida akan
menembus kapiler paru. Nantinya gas akan berdifusi dari tekanan parsialnya lebih tingi
ke tekanan parsial yang lebih rendah. Sewaktu melewati paru, nantinya darah akan
mengambil oksigen dan menyerahkan karbondioksida hanya dengan difusi menuruni
gradien tekanan parsial yang terdapat antara darah dan alveolus. Nantinya ventilasi akan
terus-menerus akan mengganti Oksigen alveolus dan mengeluarkan karbondioksida
sehingga tekanan parsial antara darah dan alveolus tetap dipertahankan. Darah yang
dibawa oleh vena berasal dari jaringan tubuh akan relatif kekurangan oksigen dengan
tekanan parsial oksigen sebesar 40 mmHg dan relatif mengandung karbondioksida yang
banyak, dengan tekanan parsial karbondioksida sebesar 46 mmHg. Sewaktu darah
mengalir kekapiler paru akan terjadi proses difusi mengingat terjadi perbedaan tekanan
parsial yang dimana pada alveolus, tekanan parsial oksigen di alveolus sebesar 100
mmHg. Karena terdapat perbedaan tekanan parsial yang dimana pada alveolus tekanan
parsial oksigen sebesar 100 mmHg sedangkan tekanan parsial pada darah sebesar 40
mmHg, karena perbedaan tekanan parsial ini maka terjadilah proses difusi oksigen dari
alveolus ke darah, dan akan menyebabkan darah akan teroksigenasi. Selain perbedaan
tekanan parsial oksigen, terdapat pula perbedaan tekanan parsial karbondioksida yang
diamana pada darah tekanan parsial karbondioksida sebesar 46mmHg sedangkan di
7
alveolus sebesar 40 mmHg, ini akan menyebabkan karbondioksida akan berdifusi
menuju alveolus. (Sherwood 2016)
Ventrikel kiri memompa darah beroksigen ke dalam aorta dan melalui arteri
sistemik ke kapiler sistemik. Pertukaran O2 dan CO2 antara kapiler sistemik dan sel
jaringan disebut respirasi internal atau pertukaran gas sistemik. Sewaktu O2
meninggalkan aliran darah, darah beroksigen diubah menjadi darah terdeoksigenasi.
Tidak seperti respirasi eksternal, yang terjadi hanya di paru, respirasi internal
berlangsung di jaringan di seluruh tubuh. PO2 darah yang dipompa ke dalam kapiler
sistemik lebih tinggi (100 mmHg) daripada PO2 di sel jaringan (40 mmHg saat
istirahat) karena sel secara terus-menerus menggunakan O2 untuk menghasilkan ATP.
Karena perbedaan tekanan ini, oksigen berdifusi keluar kapiler ke dalam sel jaringan
dan PO2 darah turun menjadi 40 mmHg saat darah keluar dari kapiler sistemik (Tortora
2014).
Pada respirasi internal atau proses pertukaran gas sistemik, pertukaran gas O2
dan CO2 antara kapiler sistemik dan sel jaringan. sewaktu oksigen meninggalkan aliran
darah, darah yang teroksigenasi akan diubah menjadi darah terdeoksigenasi. Tekanan
oksigen darah yang dipompa kedalam kapiler sistemik lebih tinggi dari pada tekanan
oksigen di sel jaringan karena sel secara terus menerus menggunakan oksigen untuk
menghasilkan ATP atau energi. Pada dasarnya sel akan terus-menerus mengkonsumsi
oksigen dan menghasilkan karbondioksida melalui metabolism oksidatif. Pada sel dan
jaringan tekanan parsial oksigen adalah sebesar 40 mmHg dan tekanan parsial
karbondioksida adalah sebesar 46 mmHg. Sedangkan pada darah tekanan parsial
oksigen adalah sebesar 100 mmHg dan tekanan parsial karbondioksida adalah sebesar
40 mmHg. Oleh karena perbedaan tekanan parsial ini maka oksigen akan berpindah
melalui difusi mengikuti penurunan gradien tekanan parsialnya dari darah kapiler
sistemik ke dalam sel sekitar sampai tercapai keseimbangan, oleh karena itu tekanan
parsial oksigen darah vena yang meninggalkan kapiler sistemik sama dengan tekanan
parsial oksigen jaringan yaitu terata 40 mm Hg. Situasi yang terbalik dijumpai untuk
karbondioksida, yang dimana karbondioksida akan secara cepat berdifusi keluar sel dan
jarinngan yang akan ke dalam darah kapiler menuruni gradien tekanan parsial yang
tercipta oleh produksi terus-menerus karbondioksida. Perpindahan karbondioksida ini
akan terus berlanjut sampai tekanan parsial karbondioksida darah seimbang dengan
tekanan parsial jaringan. (Sherwood 2016)
8
Gambar: Area proses difusi
Pertukaran O2 dan CO2 antara ruang-ruang udara diparu dan darah berlangsung
melalui difusi menembus dinding alveolus dan kapiler, yang Bersama-sama membenuk
membrane respiratorik. Dari ruang udara alveolus ke plasma darah, membrane
respiratorik terdiri dari 4 lapis yaitu; lapisan alveolus tipe I dan II serta makrofag
alveolus terkait yang membentuk dinding alveolus, membrane basal epitel yang terletak
di bawah dinding alveolus, membrane basal kapiler yang sering menyatu dengan
membrane basal epitel dan endotel kapiler.
Kecepatan difusi gas melalui membran respirasi dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Faktor-faktor yang berpengaruh pada difusi gas adalah; perbedaan tekanan
parsial gas-gas, luas permukaan membrane respirasi, jarak difusi dan berat molekul dan
kelarutan gas. Makin besar perbedaan tekanan parsial maka semakin cepat difusi yang
terjadi, laju difusi akan lebih cepat jika perbedaan antara tekanan parsial oksigen di
alveolus dan darah dikapiler paru lebih besar, sebaliknya difusi akan menjadi lebih
lambat jika perbedaan gradiennya lebih kecil. Semakin luas permukaan membran
respirasi maka semakin tinggi kecepatan difusi gas. Itu sebabnya, untuk efisiensi paru-
paru terletak di rongga dada yang sedemikian kecilnya, tetapi disusun sedemikian rupa
sehingga mampu menampung alveoli yang luas keseluruhannya mencapai 50-100 m2.
Pada keadaan istirahat banyak aveolus yang tidak mengembang, tetapi pada saat latihan
berat di mana oksigen diperlukan lebih banyak maka lebih banyak pula alveolus yang
mengembang untuk menambah luas membran permukaan sehingga kecepatan difusi
9
juga akan meningkat. Jarak atau ketebalan juga akan empengaruhi proses difusi terjadi
yang dimana, semakin tebal atau jauh jarak difusi makan semakin lama proses difusi
terjadi, begitupun sebaliknya. Berat molekul juga akan mempengaruhi proses difusi
yang terjadi, dimana semakin berat molekul maka semakin lama proses difusi terjadi,
sebaliknya jika semakin ringan molekul maka semakin ceoat proses difusi terjadi.
10
Gambar: Reaksi oksihemoglobin
Ketika tekanan parsial oksigen tinggi, maka hemoglobin akan berikatan dengan
jumlah yang banya terhadap oksigen dan hamper sekitar 100% jenuh, sebaliknya jika
tekanan parsial oksigen rendah, maka hemoglobin hanya mengalami saturasi parsial
atau hanya sebagian. Jika semakin tinggi tekanan parsial oksigen maka akan semakin
banyak oksigen yang berikatan dengan hemoglobin, hingga akan semua molekul
hemoglobin yang tersedia menjadi jenuh. Maka dari itu, banyak oksigen yang berikatan
dengan hemoglobin dikapiler paru karena tekanan parsial oksigen yang tinggi.
Hemoglobin tidak mengikat O2 sebanyak itu pada kapiler jaringan karena memiliki Po2
yang lebih rendah. Kemudian O2 yang terlarut disalurkan melalui difus ke sel-sel
jaringan. Hemoglobin masih 75% jenuh dengan O2 pada Po2 40 mm Hg, yaitu Po2
rerata sel jaringan dalam keadaan istirahat, dan 25% dari O2 yang tersedia, dibebaskan
dari hemoglobin dan digunakan oleh sel jaringan pada keadaan istirahat (Tortora, 2016)
Po2 berada antara 60 dan 100 mm Hg dan hemoglobin dengan O2 sebesar 90%
atau lebih. Oleh karena itu, darah menyerap O2 hampir maksimal dari paru bahkan saat
Po2 udara alveolus serendah 60 mm Hg. Pada kurva, Po2 yang cukup rendah yaitu 40
mm Hg, kejenuhan hemoglobin dengan O2 masih 75%. Namun, saturasi oksigen Hb
turun menjadi 35% pada 20 mm Hg. Antara 40 dan 20 mm Hg, hemoglobin
membebaskan sejumlah besar O2 sebagai respons terhadap penurunan ringan Po2
(Tortora, 2016).
Terdapat 4 faktor yang memengaruhi afinitas (tingkat keeratan) hemoglobin
terhadap O2. Factor-faktor ini antara lain:
1. Keasaman (pH)
Jika keasaman meningkat (pH menurun), afinitas hemoglobin dengan O2
berkurang, dan O2 lebih mudah terlepas dari hemoglobin, maka keseluruhan kurva
disosiasi oksigen-hemoglobin bergeser ke kanan, dan pada setiap Po2, kejenuhan Hb
dengan O2 berkurang, suatu perubahan yang dinamai efek Bohr. Dengan kata lain,
peningkatan keasaman meningkatkan pembebasan oksigen dari hemoglobin. Asam-
11
asam utama yang dihasilkan oleh jaringan yang aktif bermetabolisme adalah asam laktat
dan asam karbonat. Sebaliknya, peningkatan pH meningkatkan afinitas hemoglobin
terhadap O2 sehingga O2 lebih banyak terikat dengan hemoglobin, maka kurva disosiasi
oksigen-hemoglobin bergeser ke kiri. Efek Bohr bekerja di kedua arah, yaitu ketika H+
meningkat dalam darah menyebabkan O2 terlepas dari hemoglobin, dan pengikatan O2
ke hemoglobin menyebabkan pelepasan H+ dari hemoglobin (Tortora, 2016).
12
Gambar: Kurva Disosiasi Oksigen-Hemoglobin Pco2
3. Suhu
Peningkatan suhu dapat meningkatkan pelepasan O2 dari hemoglobin. Panas
adalah produk sampingan reaksi metabolik semua sel, dan panas yang dibebaskan oleh
serat otot yang berkontraksi cenderung meningkatkan suhu tubuh. Sel-sel yang aktif
secara metabolik memerlukan lebih banyak O 2 dan membebaskan lebih banyak asam
dan panas. Pada gilirannya asam dan panas mendorong pembebasan O2 dari
oksihemoglobin, yang berarti afinitasnya menurun dan kurva disosiasi oksigen-
hemoglobin bergeser ke kanan. Sebaliknya, selama hipotermia (penurunan suhu tubuh)
metabolisme sel melambat, kebutuhan akan O2 berkurang dan lebih banyak O2 yang
tetap terikat ke hemoglobin, yang berarti afinitasnya meningkat dan pergeseran kurva
disosiasi oksigen-hemoglobin ke kiri (Tortora, 2016).
13
4. BGP (2,3-bisfosfogliserat) yang ditemukan di sel darah merah.
BPG dapat menurunkan afinitas hemoglobin terhadap O2 dan karenanya
membantu mengeluarkan O2 dari hemoglobin. BPG terbentuk di sel darah merah ketika
sel memecah glukosa untuk menghasilkan ATP dalam proses yang disebut glikolisis.
Ketika BPG berikatan dengan hemoglobin melalui ikatan ke gugus amino terminal
kedua rantai beta globin, hemoglobin menjadi kurang mengikat O 2 di tempat gugus
hem. Semakin tinggi kadar BPG, semakin banyak O2 yang dibebaskan dari hemoglobin.
Hormon tertentu, misalnya tiroksin, hormon pertumbuhan manusia (hGH), epinefrin,
norepinefrin, dan testosteron, meningkatkan pembentukan BPG. Kadar BPG juga lebih
tinggi pada orang yang tinggal di tempat tinggi (Tortora, 2016).
1. CO2 terlarut
Persentase terkecil sekitar 7% adalah CO2 yang terlarut dalam plasma. Jumlah
karbondioksida yang terlarut secara fisik didalam darah bergantung pada tekanan parsial
karbondioksida. Karena karbondioksida ebih larut dalam darah dari pada oksigen dalam
cairan plasma darah maka proposi karbondioksida yang larut secara fisik dalam darah
lebih besar dari pada oksigen, meskipun demikian hanya 7% dari kandungan
karbondioksida yang terlarut dalam plasma darah. Ketika mencapai paru, bentuk ini
berdifusi ke dalam udara alveolus dan dikeluarkan (Tortora, 2016).
2. Senyawa karbamino
Persentase yang lebih tinggi, sekitar 23%, berikatan dengan gugus amino dari
asam amino dan protein dalam darah untuk membentuk senyawa karbamino. Karena
protein paling banyak dalam darah adalah hemoglobin, sebagian besar CO 2 yang
diangkut dengan cara ini terikat ke hemoglobin. Tempat utama pengikatan CO 2 adalah
asam-asam amino terminal di 2 rantai alfa dan 2 rantai beta. Hemoglobin yang mengikat
CO2 disebut karbaminohemoglobin (Hb-CO₂). Pembentukan karbaminohemoglobin
sangat dipengaruhi oleh Pco2. Reaksi karbaminohemoglobin adalah :
14
3. Ion bikarbonat
Persentase terbesar CO2 sekitar 70% dan diangkut dalam plasma darah sebagai
ion bikarbonat (HCO3-). Sewaktu berdifusi ke dalam kapiler sistemik dan masuk ke sel
darah merah, CO2 bereaksi dengan air berkat keberadaan enzim karbonat anhidrase
(CA) untuk membentuk asam karbonat yang terurai menjadi H + dan HCO3-. Karena itu,
ketika darah menyerap CO2, HCO3- menumpuk di dalam SDM, yang dimana sebagian
HCO3- mengalir keluar ke dalam plasma darah mengikuti penurunan gradien
konsentrasinya. Reaksi carbonat anhydrase terurai menjadi H+ dan HCO3- :
15
H+ yang sebagian diantaranya berikatan, dan juga ini terjadi karena disangga oleh
hemoglobin (Hb-H). Sewaktu darah melewati kapiler paru, molekul-molekul CO2 yang
terlarut dalam plasma darah dan CO2 yang terlepas dari bagian globin hemoglobin
berdifusi ke dalam udara alveolus dan dihembuskan keluar. Pada saat yang sama, O 2
yang terhirup berdifusi dari udara alveolus ke dalam SDM dan berikatan dengan
hemoglobin untuk membentuk oksihemoglobin (Hb-O2). CO2 juga dibebaskan dari
HCO3- ketika H+ berikatan dengan HCO3- di dalam SDM. H2CO3 yang terbentuk dari
reaksi ini kemudian terurai menjadi CO2 yang dihembuskan keluar dan H2O. Sewaktu
konsentrasinya turun di dalam SDM di kapiler paru, HCO3- berdifusi masuk dari plasma
darah kemudian dipertukarkan dengan Cl-. Pada akhirnya, darah beroksigen yang
meninggalkan paru memiliki kandungan O2 yang lebih tinggi dan kandungan CO2 dan
H+ yang lebih rendah. Di kapiler sistemik, karena semua sel menggunakan O 2 dan
menghasilkan CO2, reaksi-reaksi kimianya berbalik (Tortora, 2016).
16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dapat disimpulkan system respirasi merupakan sebuah mekanisme
menghirup dan menghembuskan nafas yang akan nantinya menghirup O2 dan CO2.
System respirasi berfungsi untuk mempertahankan kestabilan tubuh (homeostasis),
mengatur PH lingkungan internal. Dalam system respirasi terdapat beberapa mekanisme
yang ada seperti; ventilasi paru, difusi dan perfusi. Yang dimana difusi merupakan
proses pasif dengan terjadinya perpindahan molekul atau ion dari daerah konsentrasi
yang lebih tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah. Dalam proses difusi dapat dibagi
menjadi 2 yang dimana, respirasi eksternal yaitu pertukaran gas yang terjadi antara
alveolus paru dengan darah di kapiler paru, serta terdapat respirasi internal yang
merupakan pertukaran gas antara antara darah dalam kapiler sistemik dengan sel pada
jaringan. Diketahui bahwa syarat terjadinya proses perpindahan molekul gas atau difusi
terjadi karena adanya perbedaan tekanan parsial. Pada dasarnya tekanan parsial
merupakan tekanan yang ditimbulkan secara independen oleh masing-masing gas yang
ada di dalam campuran gas-gas lainnya. Pertukaran yang terjadi antara udara alveolus
dan darah dapat di atur oleh prilaku gas-gas seperti yang dijelaskan oleh dua hukum gas,
hukum itu adalah hukum Dalton dan hukum henry.
Pertukaran O2 dan CO2 antara ruang-ruang udara diparu dan darah berlangsung
melalui difusi menembus dinding alveolus dan kapiler, yang Bersama-sama membenuk
membrane respiratorik. Dari ruang udara alveolus ke plasma darah, membrane
respiratorik terdiri dari beberapa lapis yaitu; dinding alveolus, membrane basal epitel,
membrane basal kapiler dan endotel kapiler. Kecepatan difusi gas melalui membran
respirasi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang berpengaruh pada difusi
gas adalah; perbedaan tekanan parsial gas-gas, luas permukaan membrane respirasi,
jarak difusi dan berat molekul dan kelarutan gas. Karbondioksida dan oksigen diangkut
oleh darah namun dengan berbagai bentuk, yang dimana oksigen akan diangkut oleh
darah jika berikatan dengan hemoglobin (oksihemoglobin) dan sedikit larut dalam
plasma darah. Sedangkan karbodioksida akan dibawa oleh darah dalam bentuk cairan
plasma darah, ion bikarbonat dan dalam bentuk kabarmino hemoglobin (ikatan
karbondioksida dengan hemoglobin.
17
DAFTAR PUSTAKA
Derrickson. B, Tortora.G. J. (2016). Dasar Anatomi & Fisiologi vol. 2 Edisi 13.
Muliarta, I Made, 2019, Fisiologi system respirasi. Penerbit: Swasta nulus
Sherwood, L. et al. (2014. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem (9 ed.). Jakarta:
Penerbit Buku Kedokterag EGC.
18