Anda di halaman 1dari 17

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JUNI 2020

UNIVERSITAS HALU OLEO

PENYAKIT DEKOMPRESI

OLEH :

Nining Milasari, S.Ked

K1A1 15 031

PEMBIMBING :

dr. Happy Handaruwati, M.Kes., Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF

RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI BAHTERAMAS

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2020

i
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Nining Milasari

NIM : K1A1 15 031

Judul : Penyakit Dekompresi

Bagian : Ilmu Penyakit Saraf

Fakultas : Kedokteran

Telah menyelesaikan Tugas Rreferat dalam rangka kepaniteraan klinik pada

bagian Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo pada

bulan Juni 2020.

Kendari, Juni 2020

Pembimbing

dr. Happy Handaruwati, M.Kes., Sp.S

ii
PENYAKIT DEKOMPRESI
Nining Milasari, Happy Handaruwati

I. PENDAHULUAN
Decompression Sickness atau penyakit dekompresi adalah suatu
kondisi yang dapat terjadi pada manusia ketika terjadi penurunan tekanan
disekitarnya, dapat menyebabkan berbagai gejala mulai dari ringan hingga
fatal. Saat terjadi penurunanan tekanan disekitar dengan cepat, akan
menyebabkan pelepasan dan pengembangan gelembung-gelembung gas
dari fase larut dalam darah atau jaringan. Tubuh seharusnya beradaptasi
terhadap tekanan seiring dengan kenaikan ketinggian yang cepat. Hal ini
merupakan masalah dalam penyelaman dan gangguan akibat tekanan
udara. Penyakit dekompresi merupakan risiko penyakit akibat risiko
pekerjaan terutama di kalangan nelayan dan penyelam.1,2
Gejala yang muncul pada penyakit dekompresi bervariasi dari
gejala ringan hingga fatal. Gejala yang muncul terjadi akibat iskemia
jaringan yang disebabkan oleh emboli udara yang menghambat aliran
darah pada arteri dan vena.Selama atau setelah menyelam gelembung
udara akan dilepaskan melalui ekspansi terus menerus gas mulia di dalam
jaringan perifer. Gejala yang ringan dapat berupa nyeri akibat gangguan
mekanik yang ditimbulkan oleh gelembung udara ekstravaskular. Secara
umum gejala penyakit dekompresi terbagi menjadi 2 kelompok yaitu
gejala tipe I dan tipe II. Pada gejala tipe I terdiri dari nyeri otot dan sendi,
kelelahan, dan adanya gejala pada kulit. Gejala tipe II mencakup gejala-
gejala pada sistem syaraf.3
Angka kejadian Caisson Disease (CD) di Amerika Serikat untuk
tipe II yaitu 2.28 kasus per 10.000 penyelaman, tipe I tidak diketahui
karena banyak penyelam yang tidak mencari pengobatan. Data kematian
akibat penyelaman pada wisata penyelam sebanyak 1 kematian per 6250
penyelam tiap tahun, olahraga menyelam 1 kematian per 5.000 penyelam
tiap tahun, sedangkan yang mengalami penyakit dekompresi di Amerika

1
untuk menyelam militer 1 kasus per 3.770 penyelam, wisata menyelam 1
kasus per 2.900 penyelam dan penyelam komersial 1 kasus per 280
penyelam tiap tahunnya.2

II. DEFINISI
Penyakit dekompresi (sinonim : Caisson disease / CD,
decompression sickness / DCS) adalah suatu penyakit atau kelainan-
kelainan yang diakibatkan oleh penurunan tekanan dengan cepat
disekitarnya sehingga memicu pelepasan dan pengembangan
gelembunggelembung gas dari fase larut dalam darah atau jaringan.
Ekspansi gas dari paruparu dapat mengakibatkan ruptur alveolus yang
biasa disebut. Penurunan tekanan yang tiba-tiba tadi dapat mengakibatkan
adanya emboli udara di arteri.3

III. EPIDEMIOLOGI
Penyakit dekompresi dilaporkan jarang terjadi pada penyelaman
komersial modern (penyelaman selama beberapa hari, dengan satu atau
lebih dekompresi) meskipun data untuk penyelaman komersial dan untuk
pekerja yang berhubungan dengan tekanan tidak memadai. Untuk petugas
pengobat hiperbarik, tingkat kejadian penyakit dekompresi dilaporkan
sebagai 0,02% per eksposur. Dalam pelatihan ketinggian atau operasi
penerbangan, tingkat terjadinya penyakit dekompresi biasanya kurang dari
0-1% per eksposur, dengan sebagian besar orang melaporkan hanya gejala
ringan. Namun, suatu survei menyatakan pilot Angkatan Udara dengan
penerbangan yang sangat tinggi menunjukkan frekuensiyang lebih tinggi,
dengan beberapa kasus menjadi cukup serius.4
Angka kejadian Caisson Disease (CD) di Amerika Serikat untuk
tipe II yaitu 2.28 kasus per 10.000 penyelaman, tipe I tidak diketahui
karena banyak penyelamyang tidak mencari pengobatan. Data kematian
akibat penyelaman pada wisata penyelam sebanyak 1 kematian per 6250
penyelam tiap tahun, olahraga menyelam 1 kematian per 5.000 penyelam
tiap tahun, sedangkan yang mengalami penyakit dekompresi di Amerika

2
untuk menyelam militer 1 kasus per 3.770 penyelam, wisata menyelam 1
kasus per 2.900 penyelam dan penyelam komersial 1 kasus per 280
penyelam tiap tahunnya. Perhimpunan Kesehatan Hiperbarik Indonesia
menyatakan bahwa 5-6 orang dari tiap 100.000 orang meninggal akibat
tenggelam setiap tahunnya. Di Australia jumlah kematian sekitar akibat
tenggelam 5–600 orang setahun dan jumlah tersebut terus meningkat.
Sedangkan di Eropa, diperkirakan terdapat 10-100 orang penyelam per-
tahun yang mengalami cedera dan membutuhkan penanganan rekompresi
akibat penyakit dekompresi yang dialami.2,3

IV. ETIOLOGI
Penyakit dekompresi terjadi karena pembentukan dan
pengembangan gelembung gas yang disebabkan oleh pengurangan tekanan
sekitar yang menghasilkan gas inert (biasanya nitrogen) yang dari fase
larut dalam darah atau di dalam jaringan tubuh. Individu yang menghirup
udara di lingkungan yang bertekanan akan mencapai kondisi
kesetimbangan / saturasi gas. Gas terlarut ini akan berpindah dari
lingkungan bertekanan tinggi ke lingkungan bertekanan rendah, seperti
naik dari kedalaman selama penyelaman SCUBA, saat meninggalkan
lokasi kerja caisson, atau saat pesawat yang tidak bertekanan
meningkatkan ketinggian terbangnya.5
Ada beberapa faktor individu yang diidentifikasi sebagai
kemungkinan berkontribusi pada peningkatan risiko DCS. Ini termasuk
dehidrasi, foramen ovale paten, cedera sebelumnya, suhu lingkungan
dingin, kadar lemak tubuh tinggi, dan konsumsi alkohol. Penyakit
dekompresi tipe II (gejala neurologis) diperkirakan terjadi akibat pirau
vena dari kanan ke kiri.5

V. PATOMEKANISME

3
DCS dimulai dengan pembentukan dan peningkatan ukuran dari
gelembung gas di ekstravaskular maupun intravaskular ketika jumlah dari
tekanan gas terlarut (oksigen, karbon dioksida, nitrogen, helium) dan uap
air melebihi tekanan absolut lokal. Pada penyelaman, compressed-air
tunnel dan kerja caisson, kondisi supersturasi dapat terjadi karena
peningkatan tekanan parsial gas inert di jaringan yang terjadi ketika gas
tersebut (biasanya nitrogen, terkadang helium) terhirup pada tekanan
tinggi. Supersaturasi terjadi ketika dekompresi jika tingkat reduksi tekanan
sekitar melebihi tingkat pembuangan gas inert dari jaringan.4
Kondisi supersaturasi gas dalam darah dan jaringan sampai suatu
batas tertentu masih bisa ditoleransi, dalam arti masih memberi
kesempatan gas untuk berdifusi keluar dari jaringan dan larut dalam darah,
kemudian ke alveoli paru dan diekshalasi keluar tubuh. Setelah melewati
batas kritis tertentu (supersaturation critique), kondisi supersaturasi akan
menyebabkan gas lepas lebih cepat dari jaringan atau darah dalam bentuk
tidak larut, yaitu berupa gelembung gas. Gelembung-gelmbung gas ada
yang terbentuk dalam darah (intravaskular), jaringan (ekstravaskular) dan
dalam sel (intraseluler).6
Setelah suatu penyelaman mungkin dapat dideteksi dengan doppler
detector adanya gelembung-gelembung gas dalam darah, walaupun tidak
ada gejala penyakit dekompresi (silent bubbles). Dengan adanya fenomena
seperti diatas, maka pengertian batas kritis supersaturasi gas yang
berbahaya untuk menimbulkan gejala penyakit dekompresi sebetulnya
tidak lagi terletak pada kapan mulai timbul gelembung gas nitrogen (teori
Haldane), melainkan pada kapan gelembung gas neurologis maupun gejala
nyeri periartikuler. Terbentuknya gelembung gas ekstravaskular secara
teoritis karena aliran darah vena di jaringan tersebut yang relatif lambat
sehingga menghambat kecepatan eliminasi gas dari jaringan.6
Gelembung-gelembung gas intravaskular akan menimbulkan dua
akibat, yaitu: 6

4
a. Akibat langsung atau akibat mekanis sumbatan menimbulkan iskemia
atau kerusakan jaringan sampai infark jaringan
b. Akibat tidak langsung atau akibat sekunder dari adanya gelembung gas
dalam darah (dikenal dengan secondary blood bubble interface
reactions) bertanggung jawab atas terjadinya fenomena hipoksia
seluler pada penyakit dekompresi
Ada dua macam gelembung gas intravaskular, yaitu; gelembung
yang stationer dan gelembung yang ikut sirkulasi. Gelembung gas
intravaskular yang stationer selain menimbulkan efek sumbatan juga
menimbulkan gangguan lewat proses biokimia dan dapat menimbulkan
gejala nyeri periartikuler maupun gejala neurologis perifer. Gelembung
gas intravaskular yang ikut sirkulasi bila tidak banyak jumlahnya, akan
difiltrasi lewat paru (silent bubbles). Bila jumlahnya banyak akan
menimbulkan : 6
a. Sumbatan-sumbatan pada sirkulasi pulmoner
b. Masuk ke dalam sistem arterial lewat shunts di paru
c. Sumbatan pada sirkulasi pulmoner dapat berakibat;
1. Gangguan pernafasan (chokes)
2. Gangguan fungsi jantung kanan
3. Gangguan sistem sirkulasi vena akibat efek retrogard reaksi yang
menimbulkan berbagai perubahan yang terjadi pada penyakit
dekompresi.

VI. MANIFESTASI KLINIS


Berdasarkan Tipe gejala, DCS dibagi dalam 2 tipe yaitu : Tipe I
(Pain Only Bends). Gejala utamanya adalah nyeri, terutama di daerah
persendian dan otot disekitarnya, dapat timbul mendadak setelah
penyelaman atau perlahan-lahan. Selain itu dapat timbul kemerahan di
kulit, gatal serta pembengkakan di sekitar sendi. Paling sering terkena
adalah sendi bahu, kemudian sebagian pada persendian siku, pergelangan
tangan, sendi lutut dan pergelangan kaki. Nyeri biasanya menyerang dua
sendi atau lebih tetapi jarang simetris.7

5
Tipe II (Serious Decompression Sickness). Merupakan penyakit
dekompresi yang serius menyerang sistem saraf pusat dan
kardiopulmoner. Gejala-gejala klinis antara lain : Gejala-gejala
neurologis : Gejala ini muncul sangat tergantung pada bagian otak mana
yang tekena. Gejalanya dapat berupa : Kesulitan bicara, tremor, vertigo,
tinnitus, dan lain-lain. Gejala paru dan jantung : sesak nafas, nyeri dada,
batuk non produktif. Gejala Gastrointestinal : Mual, muntah, kejang usus
dan diare. Gejala di kulit : bercak kebiruan, gatal-gatal pada Tipe I, Bends
Shock, Cutis marmorata.7
Tabel 1. Tanda dan gejala klinis penyakit dekompresi berdasarkan
tipenya8
Lokasi
Tipe DCS Tanda dan gejala klinis
Gelembung
Muskuloskeletal Serng pada  Nyeri dalam yang telokalisasi mulai dari
ssendi besar ringan sampai sangat nyeri, terkadang nyeri
(siku,bahu, paha, bersifat tumpul, dan jarang bersifat tajam
pergelangan  Gerakan aktif dan pasif paa sendi
tangan, lutut dan memperburuk rasa nyeri
pergelangan kaki  Rasa sakit dapat dikurangi dengan
memposisikan sendi padaposisi yang lebih
nyaman
 Jika penyebabnya adalah ketinggian, rasa
sakit dapat terjadi tiba-tiba atau beberapa
jam kemudian
Cutaneuss Kulit  Gatal biasanya disekitar telinga, wajah,
leher, lengan, dan dada bagian atas
 Sensasi seperti serangga kecil merayap di
atas kulit
 Kulit berbintik-bintik biasanya disekitar
bahu, dada bagian atas dan perut, dan
disertai gatal-gatal. Gambaran khas cutis
marmorata
 Pembengkakan kulit, disertai dengan
depresi kulit seperti bekas luka kecil (pitting
edema)

6
Neurologi Otak  Sensasi yang berubah sepertti kesemutan
atau mati rasa (parestesia), peningkatan
sensitivitas (hipperestesia)
 Kebingungan atau kehilangan memory
(amnesia)
 Kelainan visual
 Mood atau perubahan perilaku yang tidak
bisa dijelaskan
 Kejang, penurunan kesadaran
neurologi Tulang belakang  Kelemahan atau kelumpuhan yang makin
memberat pada kaki
 Inkontinensia urin dan inkontinensia feses
 Girdling (juga disebut sebagai girdle, ikatan
atau perasaan mengencangkan) disekitar
perut dan/ atau dada
konstusional Seluruh tubuh  Nyeri kepal
 Kelelahan
 Malaise
Audio Telinga dalam  Kehilangan keseimbangan
vestibular  Pusing, vertigo, mual, muntah
 Gangguan pendengaran
Respirasi Paru-paru  Batuk kering terus menerus
 Nyeri dada seperti terbakar dibawah tulang
dada, diperburuk dengan bernpas
 Sesak napas
Penyakit dekompresi harus dicurigai jika ada gejala-gejala
terssebut diatas terjadi setelah penurunan tekanan terutama dalam 24 jam
setelah menyelam. Meskipun penyakit dekompresi dapat terjadi sangat
cepat setelah menyealam, lebih dari setengah gejala tidak muncul
setidaknya selama 1 jamsetelah menyelam. Dalam kasus yang berat gejala
dapat muncul sebelum selesai menyelam atau selama menyelam.8

Tabel 2. Onset terjadinya penyakit dekompresi8


Onset tejadinya Persentasi kasus
Dalam 1 jam 42%
Dalam 3 jam 60%
Dalam 8 jam 83%
Dalam 24 jam 98%

7
Dalam 48 jam 100%

Gambaar 1. Cutis Marmorata merupakan manifestasi kulit pada pasien


dekompresi4

VII. DIAGNOSIS
Evaluasi awal seorang pasien yang dicurigai menderita mengalami
penyakit dekompresi harus mencakup anamnesis terperinci dan
pemeriksaan fisik.5
a. Anamnesis
Untuk pasien yang sadar, dapatkan detail paparan, termasuk
onset, durasi, dan perkembangan gejala. Untuk penyelam dengan
penyakit dekompresi, sangat penting untuk menentukan profil
penyelaman pasien dan campuran gas. Nyeri sendi merupakan
manifestasi yang paling sering terjadi. Sendi yang biasnya terkena
adalah sendi bahu, siku, lutut, dan pergelangan kaki. Nyeri sendi ("the
bands") pada bahu lokasi yang paling umum terjadi.5
Gejala neurologis tampak pada 10% hingga 15% dari kasus
DCS dengan sakit kepala dan gangguan visual menjadi gejala yang
paling umum. Manifestasi kulit adalah tampak pada sekitar 10% hingga
15% dari kasus DCS. DCS paru sangat jarang ditemukan pada
penyelam dan lebih jarang terlihat pada penerbang karena pre-

8
breathing protocol. Gelembung-gelembung di kulit atau persendian
menghasilkan gejala-gejala ringan, lebih banyak gelembung dalam
darah vena dapat menyebabkan kerusakan paru-paru, dan gelembung-
gelembung yang melibatkan fungsi sumsum tulang belakang dapat
menyebabkan kelumpuhan, disfungsi sensorik, atau kematian. Jika ada
pirau kanan-ke-kiri jantung, (misal paten Foramen ovale), gelembung
vena berpotensi memasuki sirkulasi arteri, sehingga terjadi emboli gas
arteri. DCS harus dicurigai jika gejala terkait terjadi setelah penurunan
tekanan dalam waktu 24 jam setelah menyelam.5
b. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaaaan neurologi.
Pemeneriksaan fisik seringkali menunjukkan hasil yang normal,
terutama ketika gejalanya terbatas pada nyeri atau paraesthesia.
Limfedema (terutama pada batang tubuh) dan ruam dapat terjadi akibat
penyakit dekompresi. Pemeriksaan telinga dilakukan untuk mencari
tanda-tanda adanya barotrauma.4,5
ncbi
Pasien harus menjalani pemeriksaan neurologis terperinci.
Pemeriksaan neurologis sangat penting untuk semua penyelam yang
dicurigai menderita penyakit dekompresi, kecuali jika rekompresi akan
ditunda selama terjadi perubahan evolusi cepat yang jelas pada kelainan
neurologis. Secara umum, temuan dalam penilaian neurologis berbeda
dari sindrom stroke yang paling umum. Hipoaestesia nondermatomal
dan ataksia trunkal sering terjadi pada penyakit dekompresi neurologis
dan dapat dilewatkan dengan pemeriksaan sepintas. Informasi pasien
mencakup mengenai tingkat kesadaran dan status mental, fungsi saraf
kranial, dan kekuatan motorik. Fungsi Koordinasi dapat dipengaruhi
secara tidak proporsional. Kelainan dapat dideteksi dengan menilai
gerakan jari ke hidung (fingger nose movement) dan dengan mata
terbuka-tertutup, kemampuan berdiri dan berjalan serta melakukan
jallan dengan tumit-kaki ke belakang dan ke depan.4,5
c. Pemeriksaan Lain
1. Pemeriksaan Laboratorium

9
Penyakit dekompresi yang berat dapat disertai dengan
hemokonsentrasi karena kebocoran endotel. Dengan demikian,
pemeriksaan hemoglobin darah atau hematokrit dapat membantu
memandu tindakan resusitasi cairan. Konsentrasi serum creatine
kinase membantu membedakan emboli gas arteri dari penyakit
dekompresi (konsentrasi enzim dapat meningkat pada kasus
barotrauma akibat emboli gas arteri).4
2. X-ray thoraks
Radiografi thoraks berguna untuk mendeteksi adanya
pneumotoraks setelah dugaan emboli gas arteri.4
3. CT-Scan
Untuk mendeteksi udara luar paru,CT dada lebih sensitif
tetapi tidak perlu karena paparan radiasi yang tinggi.4

VIII. TATALAKSANA
Penilaian dan penanganan awal sebelum ke rumah sakit :9
a. Jika Tipe I DCS :
1. Terbatas pada ruam dan pruritus: tidak diperlukan pengobatan
2. Dengan hanya nyeri sendi ringan: parasetamol dalam dosis standar.
3. Dengan nyeri sendi yang parah, malaise atau kelelahan ekstrem:
akan membutuhkan perawatan oksigenasi hiperbarik.
b. Jika Tipe II DCS
Memerlukan perawatan oksigrnasi hiperbarik.
Pertolongan pertama dan terbaik untuk penyakit dekompresi
adalah oksigen 100% yang diberikan selama beberapa jam walaupun
gejala dan manifestasinya sudah membaik. Oksigen murni dapat
menghilangkan gas inert dari paru dan menetapkan gradien gas inert
terbesar dari jaringan ke gas alveoli. Gradien ini menyebabkan cepatnya
pembersihan gas inert dari jaringan ke paru melalui perfusi dan dari
gelembung gas ke jaringan melalui difusi, sehingga terjadilah hilangnya
gelembung gas.4

10
Keuntungan lain dari oksigen murni adalah perbaikan hipoksia
jaringan yang disebabkan oleh iskemia yang diinduksi gelembung gas,
cedera mekanis, atau kerusakan biokimia. Biasanya, rekompresi
dilakukan di dalam mutiple chamber dimana penyelam didampingi oleh
satu atau lebih petugas. 4
Rekompresi sementara menghirup oksigen 100% mengurangi
volume gelembung gas dan meningkatkan gradien tekanan parsial gas
inert antara jaringan dan gas di alveoli. Efek ini menyebabkan
perbaikan gelembung gas dengan cepat, meredakan tekanan mekanis
pada jaringan sekitar, dan mendukung redistribusi gelembung gas yang
terdapat sirkulasi mikro. Oksigen hiperbaric juga mengoksigenasi
jaringan yang terganggu dan memperbaiki respons inflamasi yang
berkontribusi pada cedera jaringan. 4
pada penyakit dekompresi yang ringan dengan beberapa gejala
kulit mungkin akan menghilang dengan sendirinya, namaun masih perlu
dievaluasi. gejala neurologis, gejala paru, dan lesi kulit berbintik-bintik
dan merah harus diterapi dengan oksigen hiperbarik bila terlihat dalam
10-14 hari perkembangan penyakitnya. Resusitasi cairan sangat
bermanfaat dilakukan untuk membantu mengurangi dehidrasi.8

Tabel 3. Rekomendasi terapi untuk penyakit dekompresi10

11
Gambar 2. Terapi oksigenasi hiperbarik pada pasien dekompresi4
IX. DIAGNOSIS BANDING

12
a. Barotrauma telinga bagian dalam
Barotrauma telinga dalam biasanya terjadi selama penurunan
tekanan dan mengakibatkan tinitus, gangguan pendengaran, dan
vertigo. Gangguan pendengaran konduktif terlihat pada barotrauma
telinga tengah. Barotrauma telinga dalam dan telinga tengah biasanya
didahului oleh kesulitan dalam menyamakan tekanan telinga tengah.
Vertigo transien selama kompresi atau dekompresi dapat timbul
karena keseimbangan tekanan telinga tengah yang asimetris
(alternobaric vertigo).4
b. Overinflasi sinus maksila atau telinga tengah
Gangguan ini disebabkan oleh ekspansi gas selama pendakian dan
tuba eustachius yang tersumbat atau sinus ostium, yang mengakibatkan
kompresi saraf wajah dan kelemahan wajah atas dan bawah unilateral, atau
kompresi cabang-cabang saraf trigeminal yang menyebabkan hypoaesthesia
pada wajah.4
c. Kontaminasi gas saat menyelam atau efek toksik oksigen
Keracunan karbon monoksida karena gas pernapasan yang
terkontaminasi dapat menyebabkan ensefalopati dan kejang-kejang. Efek
oksigen yang toksik paling umum pada penyelam yang menggunakan
campuran pernapasan oksigen yang diperkaya dan dapat menyebabkan
kejang-kejang di kedalaman.4
d. Strain atau trauma muskuloskeletal sebelum, selama, atau setelah
menyelam
Waktu onset dan riwayat trauma atau ketegangan sangat membantu.
Nyeri akibat penyakit dekompresi jarang disertai dengan nyeri atau
pemeriksaan fisik yang berhubungan dengan posisi atau gerakan. 4
e. Aspirasi air
Aspirasi air dapat disalahartikan sebagai penyakit dekompresi
kardiorespirasi. Baik penyakit dekompresi kardiorespirasi dan aspirasi
air dapat menyebabkan edema paru, meskipun penyelam biasanya
menyadari aspirasi.4
X. PROGNOSIS

13
Memiliki penyakit dekompresi dapat menempatkan seseorang pada
peningkatan risiko untuk terjadinya kembali penyakit tersebut di masa
depan. Prognosis tergantung pada tingkat keparahan dan juga tergantung
pada faktor-faktor seperti waktu untuk kompresi ulang, ketersediaan dan
waktu untuk menghirup oksigen, dan perawatan pendukung.5

DAFTAR PUSTAKA

14
1. Muroa GD, Murphya FG, Vanna RD, Howlea LE. 2020. Are Interconnected
Compartmental Models More Effective at Predicting Decompression
Sickness Risk?. Elsevier Ltd. 20 : 1-10.
2. Duke HI, Hadisaputro S, Chasani S, Anies, Munasik. 2016. Beberapa Faktor
yang Berpengaruh terhadap Kejadian Penyakit Dekompresi pada Penyelam
Tradisional (Studi Kasus di Karimunjawa). Jurnal Epidemiologi Kesehatan
Komunitas. 1 (1) : 9-14.
3. Linggayani NMA dan Ramadhian MR. 2017. Caisson Disease pada
Penyelam. J Agromed Unila. 4(2) : 348-353.
4. Vann DR, Butler FK, Mitchell SJ, Moon RE. 2011. Decompression Illness.
Lancet. 377: 153–164.
5. Cooper JS dan Hanson KC. Decompression Sickness (DCS, Bends, Caisson
Disease). NCBI. 2019 [cited on : June 20th 2020]. Available from URL:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK537264/#article-32872.s2
6. Hariyanto M. 2018. Ilmu Keselamatan Penyelaman dan Hiperbarik.
LAKESLA. Surabaya.
7. Hisnindarsyah, Usemahu SN, Mainase J. 2016. Respon Pasien dengan
Decompression Sickness Tipe I terhadap Pemberian Terapi Oksigen
Hiperbarik di Rsal Dr.F.X Suhardjo Tahun 2016. Molucca Medica. 11(2) :
28-34.
8. VijayaBarathi M. 2016. Caisson Disease. Internatonal Journal of avanced
Research. 4(2) : 25-30.
9. Sri Lanka Medical Association and the Directorate of Health Services Sri
Lanka Navy. 2013. Guide to Management of Decompression Sickness (DCS)
“Bends”. Sri Lanka Medical Association : 1-15.
10. Muth CM dan Radermacher P. 2015. Hyperbaric Emergencies and

Decompression Illness. Lavoisier. 24 : 551-556.

15

Anda mungkin juga menyukai