Anda di halaman 1dari 31

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN JANUARI 2020


UNIVERSITAS HALU OLEO

ATRIAL FIBRILASI + CONGESTIVE HERT FAILURE

Oleh :
Nining Milasari, S. Ked
K1A1 15 031

Pembimbing:
dr. H. Jamaludin, M.Kes, Sp.JP, FIHA

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI BAHTERAMAS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :


Nama : Nining Milasari, S. Ked
Nim : K1A1 15 096
Judul referat : Atrial Fibrilasi + Congestive Heart Failure

Telah menyelesaikan referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo

Kendari, Januari 2020


Mengetahui,
Pembimbing

dr. H. Jamaludin, M.Kes, Sp.JP, FIHA


BAB I
KASUS

A. Identitas
Nama : Tn. H
Umur : 73 Tahun
Alamat : Desa Parida, kec. Lasalepa
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Status : Sudah Menikah
Suku : Muna
Tanggal Masuk : 19 januari 2020
Lama Perawatan : 19-23 Januari 2020

B. Anamnesis
Keluhan Utama : Sesak
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien masuk Rumah Sakit dengan sesak beberapa jam sebelum masuk
rumah sakit, sesak memberat jika berbaring sehingga pasien tidak dapat tidur
karena sesak. Sesak disertai dengan nyeri dada seperti tertekan. Nyeri dada
sebelah kiri diraskan menjalar hingga ke belakang dan perut bagian bawah, nyeri
diraskan lebih dari 20 menit dan tidak berkurang dengan istirahat. Pasien juga
mengeluh buang air kecil bercampur darah dan keluar sedikit-sedikit. Keluhan
lain mual dan muntah (-),batuk (-), demam (-), pilek (-),dan buang air besar lancar
tanpa keluhan. Pasien menyangkal adanya riwayat trauma.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat Hipertensi (-)
Diabetes Mellitus (-)
Riwayat asma (-)
Riwayat kejang (-)
Riwayat alergi obat dan makanan (-)
Riwayat Penyakit Keluarga :
Pasien mengaku tidak terdapat anggota keluarga yang mengalami penyakit seperti
pasien.
Riwayat Kebiasaan Sosial : Merokok (+), minum alkohol (-)
C. Status Generalis
Keadaan Umum
Keadaan umum : Sakit sedang
Kesadaran : Composmentis, GCS E4V5M6
Tanda vital
Tekanan darah : 80/50 mmHg
Nadi : 140 x/menit
Pernapasan : 36 x/menit
Suhu : 36.5oC

D. Pemeriksaan Fisik
Kepala : Normocephal
Mata : Exoftalmus (-), konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Leher : Pembesaran kelenjar (-/-), JVP (+)
Thoraks : Inspeksi : simetris kanan=kiri, deformitas (-)
Palpasi : nyeri tekan (-), massa (-)
Perkusi : sonor kanan=kiri
Auskultasi : pernapasan vesikuler (+/+), ronkhi (-/-),
wheezing (+/+)
Jantung : Inspeksi : iktus kordis tampak pada ICS V midclavicula
Kiri
Palpasi : iktus kordis tidak teraba ICS V midclavicula
Kiri
Perkusi : Batas jantung kesan normal
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II murni reguler, bising (-),
batas jantung kesan normal
Abdomen : Inspeksi : Cembung, ikut gerak napas
Auskultasi : peristaltik (+) kesan meningkat
Palpasi : nyeri tekan (+) pada regio , defans muskuler (-)
Perkusi : Thympani (+)
Ekstremitas : Edema (-/-), varises (-/-)

E. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Kimia Darah (19/01/2020)
Hasil Nilai Rujukan
Glukosa Sewaktu 171 <200
2. Pemeriksaan EKG

Irama : Asinus
Heart Rate : 1500/9 = 166 x/menit
Regularitas : Irreguler
Gelombang P : Tidak ada gelombang P yang sesungguhnya
Interval PR : Tidak ada
Kompleks QRS :
- Lebar QRS : Normal
- Aksis : Normoaksis
- Konfigurasi : Q patologis (-), LVH(-), RVH
(-), RBBB (-), LBBB(-)
ST Segmen : ST Depresi (-)
ST elevasi (-)
Gelombang T : T Tall (-), T inverted (-), T Flat (-)
Kesan : Atrial Fibrilasi

F. Diagnosis
Atrial Fibrilasi

G. Penatalaksanaan
1. O2 8 LPM via sungkup
2. IVFD RL 10 tpm
3. Inj furosemide 2 amp/ 8 jam/ IV
4. Pradaxa 2 x 110
5. Inj digoxin 1 amp diencerkan DS/ 10cc Inj perlahan 5 menit
6. Nebulizer combivent
7. Pemasangan kateter
8. Pemasngan monitor

H. Resume
Pasien masuk Rumah Sakit dengan sesak beberapa jam sebelum masuk rumah
sakit, sesak memberat jika berbaring sehingga pasien tidak dapat tidur karena
sesak. Sesak disertai dengan nyeri dada seperti tertekan. Nyeri dada sebelah kiri
diraskan menjalar hingga ke belakang dan perut bagian bawah, nyeri diraskan
lebih dari 20 menit dan tidak berkurang dengan istirahat. Pasien juga mengeluh
buang air kecil bercampur darah dan keluar sedikit-sedikit. Tidak ada keluhan lain,
riwayat penyakit lain disangkal, riwayat merokok (+). Pada pemeriksaan fisik
didapatkan kesadaran : kompos mentis, TD : 80/50 mmHg, Nadi : 140 x/menit, S:
36,5oC, P : 36 x/menit. Diagnosa pasien adalah atrial fibrilasi. Penatalaksanaan
awal di IGD yaitu : O2 8 LPM via sungkup, IVFD RL 10 tpm, Inj furosemide 2
amp/ 8 jam/ IV, Pradaxa 2 x 1, Inj digoxin 1 amp diencerkan DS/ 10cc Inj
perlahan 5 menit, Nebulizer combivent, Pemasangan kateter, Pemasngan monitor
dan konsul pada Dokter Spesialis Jantung.

I. Follow Up
Hari/
Tanggal Perjalanan Penyakit Planning
Minggu, S: - P:
19/01/2020 Sesak beberapa jam SMRS, nyeri dada - O2 8 LPM via
08.35 menembus yang menjalar belakang dan sungkup
perut - IVFD RL 10 tpm
O: - Inj furosemide 2
KU: Composmentis, GCS E4V5M6 amp/ 8 jam/ IV
TD: 80/60 mmHg - Pradaxa 2 x 110 mg
N: 160x/menit - Inj digoxin 1 amp
P: 46x/menit diencerkan DS/ 10cc
S: 36,5oC Inj perlahan 5 menit
A : Atrial Fibrilasi - Pemasangan kateter
- Pemassangan
monitor
- Konsul dokter
Spesialis Jantung
- Cek Kimia Darah
dan EKG
Minggu, S: P : lanjut intervensi
19/01/2020 Sesak beberapa jam SMRS, nyeri dada
Perawatan menembus yang menjalar belakang dan
Hari 1 perut
O : KU: Composmentis, GCS E4V5M6
TD: 90/60 mmHg
N: 100x/menit
P: 26x/menit
S: 36,8oC
A : Atrial Fibrilasi
Senin, S : Nyeri perut tembus belakang, sesak P:
20/01/2020 berkurang - O2 3 LPM
Jam 06.00 O : KU: composmentis, GCS E4V5M6 - IVFD NaCL 0,9% 16
Perawatan Hari 2 TD: 90/70 mmHg tpm
N: 80x/menit - Inj furosemide 2 x 2
P: 21x/menit amp
S: 36,9oC - Pradaxa 2 x 110 mg
A : Atrial Fibrilasi + CHF - Inj digoxin 1 x 1 amp
- Foto thorax
Selasa, S : Nyeri perut tembus belakang, sesak P:
21/01/2020 berkurang, BAK sedikit-sedikit - IVFD NaCL 0,9% 16
Perawatan Hari 2 O : KU: composmentis, GCS E4V5M6 tpm
TD: 90/60 mmHg - Inj furosemide 2
N: 60x/menit amp/ 8 jam/ IV
P: 22x/menit - Pradaxa 2 x 1
S: 36,8oC - Inj digoxin 1 x 1 amp
A : Atrial Fibrilasi + CHF + ISK - Ceftriaxon 2 x 1
- Pantoprazole 2 x 1
- urinalisis
Rabu, S : sesak berkurang, nyeri perut bawah P:
22/02/2020 O : KU: composmentis, GCS E4V5M6 - IVFD NaCL 0,9% 16
Perawatan Hari 3 TD: 80/60 mmHg tpm
N: 88x/menit - Inj furosemide 2
P: 28x/menit amp/ 8 jam/ IV
S: 36,5oC - Pradaxa 2 x 1
A : Atrial Fibrilasi + CHF + ISK - Inj digoxin 1 x 1 amp
- Ceftriaxon 2 x 1 gr
- Pantoprazole 2 x 1 gr
- Rencana echo
Kamis, S : Lemas, nyeri perut bawah P:
23/01/2020 O : KU: composmentis, GCS E4V5M6 -
TD: 80/60 mmHg
N: 88x/menit
P: 22x/menit
S: 36,5oC
A : Atrial Fibrilasi + CHF + ISK
BAB II
PEMBAHASAN
A. Atrial Fibrilasi
1. Definisi
Fibrilasi atrium adalah salah satu kelainan pada irama jantung yang
bersifat ireguler atau aritmia sebagai akibat adanya impuls-impuls abnormal
pada jantung. Kelainan ini dapat berlangsung terus menerus atau hilang
timbul. Fibrilasi Atrium memiliki gejala yang bervariasi tetapi tersering
dengan palpitasi.
Atrial fibrilasi (AF) adalah aritmia jantung menetap yang paling umum
didapatkan. Ditandai dengan ketidakteraturan irama dan peningkatan
frekuensi atrium sebesar 350-650 x/menit sehingga atrium menghantarkan
implus terus menerus ke nodus AV. Konduksi ke ventrikel dibatasi oleh
periode refrakter dari nodus AV dan terjadi tanpa diduga sehingga
menimbulkan respon ventrikel yang sangat ireguler. Atrial fibrilasi dapat
terjadi secara episodic maupun permanen. Jika terjadi secara permanen, kasus
tersebut sulit untuk dikontrol.Nadi yang ireguler biasanya dicurigai
disebabkan oleh AF, butuh pemeriksaan lanjut oleh EKG.
2. Etiologi
Pada dasarnya etiologi yang terkait dengan atrial fibrilasi terbagi menjadi
beberapa faktor-faktor, diantaranya yaitu
1. Peningkatan tekanan atau resistensi atrium
a. Peningkatan katub jantung
b. Kelainan pengisian dan pengosongan ruang atrium
c. Hipertrofi jantung
d. Kardiomiopati
e. Hipertensi pulmo (chronic obstructive purmonary disease dan cor
pulmonary chronic)
f. Tumor intracardiac
2. Proses Infiltratif dan Inflamasi :
a. Pericarditis atau myocarditis
b. Amiloidosis dan sarcoidosis
c. Faktor peningkatan usia
3. Proses Infeksi : Demam dan segala macam infeksi
4. Kelainan Endokrin : Hipertiroid, Feokromotisoma
5. Neurogenik : Stroke, Perdarahan Subarachnoid
6. Iskemik Atrium: Infark myocardial
7. Obat-obatan, Alkohol, Kafein
8. Keturunan atau Genetik
3. Langkah Diagnosis
a. Anamnesis
Dapat diketahui tipe FA dengan mengetahui lama timbulnya

Menetukan beratnya gejala yang menyertai: berdebar-debar, lemah,


sesak nafas terutama saat aktifitas, pusing, gejala yang menunjukkan
adanya iskemia atau gagal jantung kongestif
Penyakit yang mendasari, penyebab lain dari FA misalnya hipertiroid
b. Pemeriksaan fisik
Tanda Vital : Pengukuran laju nadi, tekanan darah, kecepatan nafas
dan saturasi oksigen sangat penting dalam evaluasi stabilitas hemodinamik
dan kendali laju yang adekuat pada FA. Pada pemeriksaan fisis, denyut
nadi umumnya ireguler dan cepat, sekitar 110-140x/menit, tetapi jarang
melebihi 160-170x/menit. Pasien dengan hipotermia atau dengan
toksisitas obat jantung (digitalis) dapat mengalami bradikadia. Ronki pada
paru menunjukkan kemungkinan terdapat gagal jantung kongestif. Irama
gallop s3 pada auskultasi jantung menunjukkan kemungkinan terdapat
gagal jantung kongestif.
c. Elektrokardiogram
Ciri-ciri FA pada gambaran EKG umumnya sebagai berikut:
- EKG permukaan menunjukkan pola interval R-R yang ireguler
- Tidak dijumpai gelombang P yang jelas pada EKG permukaan.
Kadang dapat terlihat aktivitas atrium yang ireguler pada bebe-rapa
sadapan EKG, dengan yang tersering pada sadapan V1.
- Interval antara dua gelombang aktivasi atrium tersebut biasanya
bervariasi, umumnya kecepatannya melebihi 450x/ menit.

Stratifikasi beratnya AF dapat ditegakkan dengan menggunakan skor


EHRA IV (European Heart Rhytm Association IV) sebagai berikut :
Kelas EHRA Keterangan
EHRA I Tidak ada keluhan
EHRA II Ringan, Aktivitas sehari-hari tidak terganggu
EHRA III Berat, Aktivitas sehari-hari terganggu
EHRA IV Sangat Berat, tidak dapat beraktifitas
Berdasarkan klasifikasi diatas dapat disimpulkan bahwa pasien
tersebut dapat digolongkan dengan EHRA III.

4. Terapi
Tujuan yang ingin dicapai dalam tatalaksana AF adalah
mengembalikan irama sinus, mengontrol laju irama ventrikel dan pencegahan
komplikasi terutama tromboemboli.
Gejala akibat FA adalah salah satu aspek penting untuk menentukan
strategi pemilihan kendali laju atau irama. Pada pasien dengan FA simtomatik
yang telah lama terjadi, terapi yang dipilih adalah kendali laju. Namun,
apabila pasien masih mengalami keluhan dengan strategi kendali laju, kendali
irama dapat menjadi strategi terapi selanjutnya. Kendali laju dipertimbangkan
pula sebagai terapi awal pada pasien usia tua dan pasien dengan keluhan
minimal (skor EHRA 1), sedangkan kendali irama direkomendasikan pada
pasien yang masih simtomatik (skor EHRA ≥2) meskipun telah dilakukan
kendali laju optimal. Beberapa indikasi pemilihan strategi terapi pada FA
persisten dapat dilihat di tabel.

Strategi kontrol laju Strategi kontrol irama


Dipilih sebagai penanganan awal Dipilih sebagai penanganan awal
pada: pada:
Usia > 65 tahun Usia < 65 tahun
Dengan penyakit arteri koroner Memiliki gejala yang berhubungan
dengan aritmia dan tidak dapat
ditoleransi
Kontraindikasi obat-obatan aritmia Pertama kali mengalami FA sorangan
Tidak cocok untuk kardioversi FA sekunder dengan penyerta yang
terobati / terkoreksi
Tanpa gagal jantung kongestif Dengan gagal jantung kongestif

Pada pasien dengan hemodinamik stabil, obat untuk mengontrol


respons ventrikel seperti penyekat beta atau antagonis kanal kalsium non-
dihidropiridin oral dapat diberikan. Namun, antagonis kanal kalsium non-
dihidropiridin hanya dapat diberikan pada pasien dengan fungsi sistolik
ventrikel yang masih baik. Digoksin atau amiodaron direkomendasikan untuk
mengontrol laju ventrikel pada pasien dengan FA dan gagal jantung atau
hipotensi. Pada FA dengan preeksitasi, obat terpilih adalah antiaritmia kelas I
(propafenon, disopiramid, meksiletin) atau amiodaron. Obat yang
menghambat NAV tidak digunakan pada kondisi FA dengan preeksitasi
karena dapat menyebabkan aritmia letal.
Pada fase akut, target laju jantung adalah 80-100 kali permenit.8 Obat
intravena mempunyai respons yang lebih cepat untuk mengontrol irama
ventrikel. Rekomendasi obat intravena yang dapat digunakan pada kondisi
akut dapat dilihat di table.
Pada layanan kesehatan primer yang jauh dari pusat rujukan
sekunder/tersier, kendali laju untuk sementara dapat dilakukan dengan
pemberian obat antiaritmia oral. Laju jantung diharapkan akan menurun
dalam 1-3 jam setelah pemberian antagonis kanal kalsium (diltiazem 30 mg
atau verapamil 80 mg) atau penyekat beta (propranolol 20-40 mg, bisoprolol 5
mg, atau metoprolol 50 mg). Pada kondisi tersebut, penting diperhatikan
untuk menyingkirkan adanya riwayat dan gejala gagal jantung (Lihat Bab 5).
Kendali laju yang efektif tetap harus dilakukan dengan pemberian obat
antiaritmia intravena di layanan kesehatan sekunder/tersier.
Fibrilasi atrium dengan respons irama ventrikel yang lambat biasanya
membaik dengan atropin (mulai dari 0,5 mg intravena). Bila pasien masih
simtomatik, tindakan yang dapat dilakukan antara lain kardioversi atau
pemasangan pacujantung sementara.
Obat Tingkat Layanan Kesehatan Risiko
Primer Sekunder Tersier
Diltiazem 0,25 - v V
mg/kgBB bolus IV
dalam 10 menit, Hipotensi,
dilanjutkan 0,35 bradikardia
mg/kgBB IV
Metoprolol 2,5-5 mg - v V Hipotensi,
IV bolus dalam 2 menit bradikardia
sampai 3 kali dosis
Amiodaron 5 - v V Bradikardia,
mg/kgBB dalam satu flebitis
jam pertama,
dilanjutkan 1 mg/menit
dalam 6 jam, kemudian
0,5 mg/menit dalam 18
jam via vena besar
Verapamil 0,075 mg- - v V Hipotensi,
0,15 mg/kgBB dalam 2 bradikardia
menit
Digoksin 0,25 mg IV - v V Hipotensi,
setiap 2 jam sampai 1,5 toksisitas
mg digitalis

Kendali laju dapat dilakukan secara longgar atau ketat. Studi RAte
Control Efficacy in permanent atrial fibrillation (RACE) II menun-jukkan
bahwa kendali laju ketat tidak lebih baik dari kendali laju longgar.177 Pada
kendali laju longgar, target terapi adalah respons ventrikel <110 kali permenit
saat istirahat. Bila masih merasa keluhan dengan target ini, pasien dianjurkan
untuk melakukan kendali laju ketat, yaitu dengan target laju saat istirahat < 80
kali permenit. Evalu-asi Holter dapat dilakukan untuk menilai terapi dan
memantau ada tidaknya bradikardia.8 Kendali laju yang optimal akan mengu-
rangi keluhan, memperbaiki hemodinamik dengan memperpanjang waktu
pengisian ventrikel, dan mencegah kardiomiopati akibat takikardia.
Kardioversi elektrik adalah salah satu strategi kendali irama.
Kardioversi elektrik dengan arus bifasik lebih dipilih dibandingkan dengan
arus monofasik karena membutuhkan energi yang lebih rendah dan memiliki
potensi keberhasilan yang lebih tinggi. Posisi anteroposterior mempunyai
keberhasilan lebih tinggi dibandingkan posisi anterolateral. Keberhasilan
tindakan ini pada FA persisten mencapai 80-96%.178 Pemberian obat
antiaritmia sebelum kardioversi, misalnya amiodaron, meningkatkan
keberhasilan konversi irama FA ke irama sinus.
Sebesar 23% pasien tetap memiliki irama sinus dalam waktu setahun
dan 16% dalam waktu dua tahun.179 Namun, sebagian besar rekurensi FA
terjadi dalam 3 bulan pascakardioversi.180 Amiodaron adalah antiaritmia
yang paling kuat untuk mencegah rekurensi FA setelah keberhasilan
kardioversi.181 Beberapa prediktor terjadinya kegagalan kardioversi atau
rekurensi FA adalah berat badan, durasi FA yang lebih panjang (>1-2 tahun),
gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi, peningkatan dimensi atrium
kiri, penyakit jantung rematik, dan tidak adanya pengobatan dengan
antiaritmia.
Komplikasi kardioversi yang dapat terjadi adalah tromboemboli (1-
2%), aritmia pascakardioversi, dan risiko anestesi umum. Ekokardiograf
transtorakal (ETT) harus dilakukan untuk mengidentifkasi adanya trombus
pada ruang-ruang jantung. Ekokardiograf transesofagus (ETE) harus
dikerjakan bila trombus tidak terlihat dengan ETT dan FA diperkirakan
berlangsung >48 jam sebelum kardioversi dilakukan. Apabila tidak
memungkinkan untuk dilakukan ETE, terapi antikoagulan (AVK atau
dabigatran) dapat diberikan selama minimal 3 minggu sebelumnya.
Antikoagulan dilanjutkan sampai dengan 4 minggu pascakardioversi (target
INR 2-3 bila memakai AVK).

Gambar 3. Algoritma Tatalaksana Takikardi menurut PERKI

Bagan manajemen akut & kronik pasien fibrilasi atrium dengan gagal jantung
Komplikasi
Atr ial Fibrilasi dapat mengakibatkan terjadinya beberapa komplikasi yang
dapat meningkatkan angka mobiditas maupun motalitas. Pada pasien ini
komplikasi bisa dicegah dengan terapi yang tepat.

Prognosis
Prognosis pada pasien ini adalah dubia ad bonam, karena tidak ada
komplikas

B. Gagal Jantung Kongestiv


1. Definisi gagal jantung
Gagal jantung adalah kumpulan gejala yang kompleks dimana
seorangpasien harus memiliki tampilan berupa: gejala gagal jantung (nafas
pendekyang tipikal saat istrahat atau saat melakukan aktifitas disertai /
tidakkelelahan); tanda retensi cairan (kongesti paru atau edema
pergelangankaki); adanya bukti objektif dari gangguan struktur atau fungsi
jantungsaat istrahat.
Gagal jantung merupakan kumpulan gejala klinis pasien dengan
tampilan seperti :
 Gejala khas gagal jantung : Sesak nafas saat istrahat atau aktivitas,
kelelahan, edema tungkai; dan
 Tanda khas gagal jantung : Takikardia, takipnu, ronki paru, efusi pleura,
peningkatan tekanan vena jugularis, edema perifer, hepatomegaly; dan
 Tanda objektf gangguan struktur atau fungsional jantung saat istrahat,
kardiomegali, suara jantung ke tiga, murmur jantung, abnormalitas dalam
gambaran ekokardiografi, kenaikan konsentrasi peptida natriuretic.
2. Etiologi
Penyebab dari gagal jantung kongestif secara umum dibagi menjadi
dua, yaitu karena kausal kardiak dan kausal sistemik/non kardiak.
Tipe Contoh
Kardiak
Kerusakan miokardial Infark miokard
Miokariditis
Kardiomiopati : familial/genetic, restiriktif,
toksik/obat, metabbolik

Kelainan katup/valvular Stenosis aortic


Regurgitasi mitral
Arritmia Bradiarritmia
Takiaritmia
Gangguan konduksi Block nodus AV
Left bundle branch block
Menurunnya ketersediaan Iskemia
substrat/zat-zat (glukosa,
asam lemak bebas)
Kelainan infiltratif atau Amilodisosis, Sarcoidosis
kelainan matriks Fibrosis kronik
Hemokromatosis
Sistemik
Kelainan-kelainan yang Anemia
meningkatkan kebutuhan Hipertiroid
output kardiak Penyakit Paget
Kelainan-kelainan yang Stenosis aortic
meningkatkan resistensi Hipertensi
terhadap output (afterload)
Gangguan irama jantung atau gangguan konduksi, beban pengisian (preload)
dan beban tahanan (afterload) pada ventrikel yang mengalami dilatasi dan
hipertrofi memungkinkan adanya peningkatan daya kontraksi jantung yang
lebih kuat, sehingga curah jantung meningkat. Pembebanan jantung yang lebih
besar meningkatkan simpatis, sehingga kadar katekolamin dalam darah
meningkat dan terjadi takikardi dengan tujuan meningkatkan curah jantung.
Pembebanan jantung yang berlebihan dapat mengakibatkan curah jantung
menurun, maka akan terjadi redistribusi cairan dan elektrolit (Na) melalui
pengaturan cairan oleh ginjal dan vasokonstriksi perifer dengan tujuan untuk
memperbesar aliran balik vena(Venous return) ke dalam ventrikel sehingga
meningkatkan tekanan akhir diastolik dan menaikkan kembali curah jantung.15
Dilatasi, hipertrofi, takikardi, dan redistribusi cairan badan merupakan
mekanisme kompensasi untuk mempertahankan curah jantung dalam
memenuhi kebutuhan sirkulasi badan. Bila semua kemampuan mekanisme
kompensasi jantung tersebut diatas sudah dipergunakan seluruhnya dan
sirkulasi darah dalam tubuh tidak terpenuhi, maka hal itulah yang disebut
sebagai kegagalan fungsi jantung.
3. Klasifikasi
Klasifikasi Gagal Jantung berdasarkan New York Heart Association
(NYHA).
Tabel 2. Klasifikasi gagal jantung berdasarkan NYHA
Klasifikasi Fungsional NYHA
(Klasifikasi berdasarkan Gejala dan Aktivitas Fisik)

Kelas I Tidak ada pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas sehari – hari tidak
menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.

Kelas II Sedikit pembatasan aktivitas fisik. Berkurang dengan istirahat,


tetapi aktivitas sehari – hari menyebabkan kelelahan, palpitasi
atau sesak nafas.
Kelas III Adanya pembatasan yang bermakna pada aktivitas fisik.
Berkurang dengan istirahat, tetapi aktivitas yang lebih ringan dari
aktivitas sehari – hari menyebabkan kelelahan, palpitasi atau
sesak nafas.
Kelas IV Tidak dapat melakukan aktivitas sehari – hari tanpa adanya
kelelahan. Gejala terjadi pada saat istirahat. Jika melakukan
aktivitas fisik, keluhan akan semakin meningkat.
Gagal jantung secara umum juga dapat diklasifikasikan menjadi gagal
jantung akut dan gagal jantung kronik.
a. Gagal jantung akut, didefinisikan sebagai serangan cepat dari gejala atau
tanda akibat fungsi jantung yang abnormal. Dapat terjadi dengan atau
tanpa adanya penyakit jantung sebelumnya. Disfungsi jantung dapat
berupa disfungsi sistolik atau disfungsi diastolik. Irama jantung yang
abnormal, atau ketidakseimbangan preload dan afterload dan memerlukan
pengobatan segera. Gagal jantung akut dapat berupa serangan baru tanpa
ada kelainan jantung sebelumnya atau dekompensasi akut dari gagal
jantung kronis.
b. Gagal jantung kronik, didefinisikan sebagai sindrom klinik yang kompleks
yang disertai keluhan gagal jantung berupa sesak nafas, lelah, baik dalam
keadaan istirahat atau aktivitas, edema serta tanda objektif adanya
disfungsi jantung dalam keadaan istirahat.
4. Patofisiologi
Gagal jantung dapat terjadi karena beberapa hal, yaitu : (1) gangguan
kontraktilitas ventrikel, (2) meningkatnya afterload, atau (3) gangguan
pengisian ventrikel.
Gagal jantung yang dihasilkan dari abnormalitas pengosongan
ventrikel (karena gangguan kontraktilitas atau kelebihan afterload) disebut
disfungsi sistolik, sedangkan gagal jantung yang dikarenakan oleh
abnormalitas relaksasi diastol atau pengisian ventrikel disebut disfungsi
diastolik.
Pada dasarnya terdapat perbedaan antara gagal jantung sistolik dengan
gagal jantung diastolik. Gagal jantung sistolik disebabkan oleh meningkatnya
volume, gangguan pada miokard, serta meningkatnya tekanan. Sehingga pada
gagal jantung sistolik, stroke volume dan cardiac output tidak mampu
memenuhi kebutuhan tubuh secara adekuat. Sementara itu gagal jantung
diastolik dikarenakan meningkatnya kekakuan pada dinding ventrikel.
Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung mencakup
keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal, beban akhir atau
menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan-keadaan yang meningkatkan
beban awal meliputi : regurgitasi aorta dan defek septum ventrikel. Dan beban
akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis aorta dan hipertensi
sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokardium
dan kardiomiopati.
Faktor-faktor yang dapat memicu perkembangan gagal jantung melalui
penekanansirkulasi yang mendadak dapat berupa : aritmia, infeksi sistemik
dan infeksi paru-paru dan emboli paru-paru. Penanganan yang efektif terhadap
gagal jantung membutuhkan pengenalan dan penanganan tidak saja terhadap
mekanisme fisiologis dan penyakit yang mendasarinya, tetapi juga terhadap
faktor-faktor yang memicu terjadinya gagal jantung.Kelainan intrinsik pada
kontraktilitas miokardium yang khas pada gagal jantung akibat penyakit
jantung iskemik, mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel yang efektif.
Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi curah sekuncup dan
meningkatkan volume residu ventrikel.
Tekanan arteri paru-paru dapat meningkat sebagai respon terhadap
peningkatan kronis tekanan vena paru. Hipertensi pulmonal meningkatkan
tahanan terhadap ejeksi ventrikel kanan. Serentetan kejadian seperti yang
terjadi pada jantung kiri, juga akan terjadi pada jantung kanan, dimana
akhirnya akan terjadi kongesti sistemik dan edema.
Jantung mengkompensasi dengan cara meningkatkan kekuatan
kontraksi, meningkatkan ukuran, memompa lebih kuat, dan menstimulasi
ginjal untuk mengambil natrium dan air. Penggunaan sistem secara berlebihan
untuk mengkompensasi tersebut menyebabkan kerusakkan pada ventrikel dan
terjadi remodeling.
Pada pasien CHF terjadi peningkatan level norefinefrine, angiotengsin
II, aldosteron, endotelin, dan vasopressin. Kesemuanya ini adalah faktor
neurohormonal yang meningkatkan stres hemodinamik pada ventrikel yang
menyebabkan retensi natrium dan vasokonstriksi periferal. Gejala yang ketiga
terjadi kelelahan, nafas pendek, dan retensi air. Nafas pendek (dyspnea)
menjadi lebih parah dan terjadi saat istirahat (orthopnea) atau pada malam hari
(proxymal nocturnal dyspnea). Retensi air terjadi pada paru-paru (kongesti)
atau odema periferal.
Beberapa mekanisme kompensasi alami terjadi pada pasien gagal
jantung untuk membantu mempertahankan tekanan darah yang adekuat untuk
memompakan darah ke organ – organ vital. Mekanisme tersebut adalah (1)
mekanisme Frank-Straling, (2) neurohormonal, dan (3) remodeling dan
hipertrofi ventrikular.

5. Gambaran klinis
Gejala dan tanda yang biasa ditemukan pada gagal jantung adalah
Gejala Tanda
Tipikal Spesifik
- Rasa sesak nafas - peningkatan tekanan vena
- Sesak nafas yang dipengaruhi posisi jugular
(orthopnea) - hepatojugular reflux
- Sesak nafas yang lebih parah saat - bunyi jantung III (irama
malam hari (Paroxysmal nocturnal gallop)
dyspnea) - Impuls apikal yang bergeser
- Penurunan toleransi aktivitas ke lateral
- Cepat lelah, memerlukan waktu - murmur kardiak
lebih banyak untuk beristirahat
- - pembengkakan ankle
Kurang tipikal Kurang Spesifik
- Batuk pada malam hari (nocturnal - Edema perifer ( ankle,
cough) sakral, scrotal)
- Mengi (wheezing) - Krepitasi pulmonal
- Peningkatan BB (>2kg/minggu) - udara yang masuk
- Penurunan BB (gagal jantung tahap berkurang, dull pada perkusi
lanjut) basal paru (efusi pleura)
- Perasaan kembung - takikardi
- Penurunan nafsu makan - denyut yang irregular
- Berdebar-debar - takipneu
- confused / kebingungan (terutama - hepatomegali
pada usia lanjut) - ascites
- depresi - - cachexia
- Pingsan
Manifestasi klinis gagal jantung menurut European Society of Cardiology

6. Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis
KriteriaFraminghamadalah kriteriaepidemiologiyang telah
digunakan secaraluas. Diagnosisgagaljantung kongestif
mensyaratkanminimaldua kriteriamayor atau satu kriteriamayor
disertaiduakriteria minor, kriteria minor dapat diterimajika kriteriaminor
tersebuttidakberhubungan dengankondisi medisyang lainseperti
hipertensi pulmonal, PPOK, sirosishati,atau sindroma nefrotik.

Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung Kongesti


Diagnosis CHF membutuhkan adanya minimal 2 kriteria besar
atau 1 kriteria utama dalam hubungannya dengan 2 kriteria minor.
Kriteria Mayor:
1) Paroksismal nocturnal dyspnea
2) Distensi vena pada leher
3) Kardiomegali (ukuran peningkatan jantung pada radiografi dada)
4) Edema paru akut
5) S3 ( Suara jantung ketiga )
6) Peningkatan tekanan vena sentral (> 16 cm H2O di atrium kanan)
7) Hepatojugular refluks
8) Kehilangan berat badan > 4.5 kg dalam 5 hari sebagai respon
terhadap pengobatan

Kriteria Minor:
1) Bilateral ankle edema
2) Batuk nocturnal
3) Dyspnea pada aktivitas biasa
4) Hepatomegali
5) Efusi pleura
6) Penurunan kapasitas vital oleh sepertiga dari maksimum terekam
7) Takikardia (denyut jantung> 120 denyut / menit.)
Kriteria Minor diterima hanya jika mereka tidak dapat dikaitkan
dengan kondisi medis yang lain (seperti hipertensi paru, penyakit paru-
paru kronis, sirosis, asites, atau sindrom nefrotik).Kriteria Framingham
Heart Study adalah 100% sensitif dan 78% khusus untuk mengidentifikasi
orang dengan gagal jantung kongestif yang pasti.

b. Pemeriksaan Fisik
1) Tekanan darah dan Nadi
Tekanan darah sistolik dapat normal atau tinggi pada CHF
ringan, namun biasanya berkurang pada CHF berat, karena adanya
disfungsi LV berat. Tekanan nadi dapat berkurang atau menghilang,
menandakan adanya penurunan stroke volume. Sinus takikardi
merupakan tanda nonspesifik disebabkan oleh peningkatan aktivitas
adrenergik.Vasokonstriksi perifer menyebabkan dinginnya ekstremitas
bagian perifer dan sianosis pada bibir dan kuku juga disebabkan oleh
aktivitas adrenergik berlebih.Pernapasan Cheyne-Stokes disebabkan
oleh berkurangnya sensitivitas pada pusat respirasi terhadap tekanan
PCO2.Terdapat fase apneu, dimana terjadi pada saat penurunan
PO2 arterial dan PCO2 arterial meningkat.Hal ini merubah komposisi gas
darah arterial dan memicu depresi pusat pernapasan, mengakibatkan
hiperventilasi dan hipokapnia, diikuti rekurensi fase apnea. Pernapasan
Cheyne-Stokes dapat dipersepsi oleh keluarga pasien sebagai sesak
napas parah (berat) atau napas berhenti sementara
2) Jugular Vein Pressure
Pemeriksaan vena jugularis memberikan informasi mengenai
tekanan atrium kanan.Tekanan vena jugularis paling baik dinilai jika
pasien berbaring dengan kepala membentuk sudut 300.Tekanan vena
jugularis dinilai dalam satuan cm (normalnya 5-2 cm) dengan
memperkirakan jarak vena jugularis dari bidang diatas sudut
sternal.Pada CHF stadium dini, tekanan vena jugularis dapat normal
pada waktu istirahat namun dapat meningkat secara abnormal seiring
dengan peningkatan tekanan abdomen (abdominojugular reflux
positif).
3) Ictus cordis
Pemeriksaan pada jantung, walaupun esensial, seringkali tidak
memberikan informasi yang berguna mengenai tingkat keparahan. Jika
kardiomegali ditemukan, maka apex cordis biasanya berubah lokasi
dibawah ICS V (interkostal V) dan/atau sebelah lateral dari
midclavicular line, dan denyut dapat dipalpasi hingga 2 interkosta dari
apex.
4) Suara jantung tambahan
Pada beberapa pasien suara jantung ketiga (S3) dapat terdengar
dan dipalpasi pada apex.Pasien dengan pembesaran atau hypertrophy
ventrikel kanan dapat memiliki denyut Parasternal yang
berkepanjangan meluas hingga systole.S3 (atau prodiastolic gallop)
paling sering ditemukan pada pasien dengan volume overload yang
juga mengalami takikardi dan takipneu, dan seringkali menandakan
gangguan hemodinamika.Suara jantung keempat (S4) bukan indicator
spesifik namun biasa ditemukan pada pasien dengan disfungsi
diastolic.Bising pada regurgitasi mitral dan tricuspid biasa ditemukan
pada pasien.
5) Pemeriksaan paru
Ronchi pulmoner (rales atau krepitasi) merupakan akibat dari
transudasi cairan dari ruang intravaskuler kedalam alveoli.Pada pasien
dengan edema pulmoner, rales dapat terdengar jelas pada kedua
lapangan paru dan dapat pula diikuti dengan wheezing pada ekspirasi
(cardiac asthma).Jika ditemukan pada pasien yang tidak memiliki
penyakit paru sebelumnya, rales tersebut spesifik untuk CHF. Perlu
diketahui bahwa rales seringkali tidak ditemukan pada pasien dengan
CHF kronis, bahkan dengan tekanan pengisian ventrikel kiri yang
meningkat, hal ini disebabkan adanya peningkatan drainase limfatik
dari cairan alveolar. Efusi pleura terjadi karena adanya peningkatan
tekanan kapiler pleura dan mengakibatkan transudasi cairan kedalam
rongga pleura.Karena vena pleura mengalir ke vena sistemik dan
pulmoner, efusi pleura paling sering terjadi dengan kegagalan
biventrikuler.Walaupun pada efusi pleura seringkali bilateral, namun
pada efusi pleura unilateral yang sering terkena adalah rongga pleura
kanan.
6) Pemeriksaan hepar dan hepatojugular reflux
Hepatomegali merupakan tanda penting pada pasien CHF.Jika
ditemukan, pembesaran hati biasanya nyeri pada perabaan dan dapat
berdenyut selama systole jika regurgitasi trikuspida terjadi.Ascites
sebagai tanda lajut, terjadi sebagai konsekuensi peningkatan tekanan
pada vena hepatica dan drainase vena pada peritoneum. Jaundice, juga
merupakan tanda lanjut pada CHF, diakibatkan dari gangguan fungsi
hepatic akibat kongesti hepatic dan hypoxia hepatoseluler, dan terkait
dengan peningkatan bilirubin direct dan indirect.
7) Edema tungkai
Edema perifer merupakan manifestasi cardinal pada CHF,
namun tidak spesifik dan biasanya tidak ditemukan pada pasien yang
diterapi dengan diuretic.Edema perifer biasanya sistemik dan
dependen pada CHF dan terjadi terutama pada daerah Achilles dan
pretibial pada pasien yang mampu berjalan.Pada pasien yang
melakukan tirah baring, edema dapat ditemukan pada daerah sacral
(edema presacral) dan skrotum.Edema berkepanjangan dapat
menyebabkan indurasi dan pigmentasi ada kulit.

c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dibutuhkan untuk mengetahui sejauh
mana gagal jantung telah mengganggu fungsi-fungsi organ lain seperti :
hati,ginjal dan lain-lain.Pemeriksaan hitung darah dapat menunjukan
anemia, karena anemia ini merupakan suatu penyebab gagal
jantung output tinggi dan sebagai faktor eksaserbasi untuk bentuk
disfungsi jantung lainnya.

d. Pemeriksaan Penunjang
1) Radiologi/Rontgen.
Pada pemeriksaan rontgen dada ini biasanya yang didapatkan
bayangan hilus paru yang tebal dan melebar, kepadatan makin ke
pinggir berkurang, lapangan paru bercak-bercak karena edema paru,
pembesaran jantung, cardio-thoragic ratio (CTR) meningkat, distensi
vena paru.
2) Pemeriksaan EKG.
Dari hasil rekaman EKG ini dapat ditemukan kelainan primer
jantung (iskemik, hipertrofi ventrikel, gangguan irama) dan tanda-
tanda faktor pencetus akut (infark miocard, emboli paru).
3) Ekhokardiografi.
Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif yang
sangat berguna pada gagal jantung.Ekokardiografi dapat menunjukkan
gambaran obyektif mengenai struktur dan fungsi jantung. Penderita
yang perlu dilakukan ekokardiografi adalah : semua pasien dengan
tanda gagal jantung, susah bernafas yang berhubungan dengan
murmur, sesak yang berhubungan dengan fibrilasi atrium, serta
penderita dengan risiko disfungsi ventrikel kiri(infark miokard anterior,
hipertensi tak terkontrol, atau aritmia). Ekokardiografi dapat
mengidentifikasi gangguan fungsi sistolik, fungsi diastolik,
mengetahui adanya gangguan katup, serta mengetahui risiko emboli.

7. Penatalaksanaan gagal jantung kongestif


a. Terapi non farmakologi
1) Diet :Pasien gagal jantung dengan diabetes, dislipidemia atau obesitas
harus diberi diet yang sesuai untuk menurunkan gula darah, lipid
darah, dan berat badannya. Asupan NaCl harus dibatasi menjadi 2-3 g
Na/hari, atau <2 g/hari untuk gagal jantung sedang sampai berat.
Restriksi cairan menjadi 1,5-2 L/hari hanya untuk gagal jantung berat.
2) Merokok : Harus dihentikan.
3) Aktivitas fisik olahraga yang teratur seperti berjalan atau bersepeda
dianjurkan untuk pasien gagal jantung yang stabil (NYHA kelas II-III)
dengan intensitas yang nyaman bagi pasien.
4) Istirahat :dianjurkan untuk gagal jantung akut atau tidak stabil.
b. Terapi farmakologi
1) Diuretik

KELAS DAN CONTOH: KEUNTUNGAN KERUGIAN


THIAZIDES: Perananannya telah Dihubungkan dengan
 Hydrochlorothiazide dikembangkan dalam hypomagnes-aemia,
 Indapamide pengobatan hipertensi, hyperuricaemia ,
 Chlorthalidone khususnya pada orang- hyper-glycemia, atau
tua. hyperlipidaemia.
LOOP DIURETICS: Mempunyai efek yang Dapat menyebabkan
 Furosemide kuat, onset cepat hypokalemia atau
 Ethacrynic acid hypomagnesaemia
 Bumetamide dihubung-kan dengan
kekurang patuhan
pemakaian obat.
POTASSIUM-SPARING Hasil positif terhadap Dapat menyebabkan
DIURETICS: survival tampak pada hyperkalemia dan
 Spironolactone pemakaian spirono- azotemia, khususnya
 Amiloride lactone; menghindari jika pasien juga
 Triamterene kehilangan potassium memakai ACE-
dan magnesium inhibitor.

2) Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors


ACE-Inhibitors sekarang dipakai sebagai dasar (cornerstone)
terapi untuk penderita disfungsi sistolik, dengan tidak memandang
beratnya gejala.Tetapi,dengan pertimbangkan side effects seperti
simtomatik hipotensi, perburukan fungsi ginjal, batuk dan angioedema,
maka terdapat hambatan pada pemakaiannya baik underprescribing
maupun underdosing obat tersebut, khususnya pada orang-orang tua.
Pada penelitian klinik menunjukkan bahwa hal yang menimbulkan
ketakutan-ketakutan tersebut tidak ditemui, dikarenakan obat tersebut
diberikan dengan dosis yang rendah dan dititrasi pelahan sampai
mencapai dosis target memberi hasil yang efektif sehingga ACE-
inhibitor umumnya dapat ditolerir dengan baik.
Pemakaian ACE inhibitor pada Pasien CHF
a) ACE inhibitor diindikasikan pada semua pasien gagal jantung
sistolik, tanpa memandang beratnya simptom.
b) Awali pengobatan dengan dosis yang rendah dan dititrasi sampai
dosis maksimum yang dapat ditoleris dalam 3-4 minggu.
c) Nasehati pasien yang sedang memakai ACE inhibitor, bahwa
mungkin mengalami batuk-batuk; keadaan ini terjadi pada 15%
sampai 20% pasien yang memakai ACE inhibitors.
d) Sebelum mengawali pengobatan dan selama serta setelah titrasi,
periksa Natrium,Kalium dan Creatinine serum.
e) Waspada terhadap dapat terjadinya ’first-dose hypotension’ pada
hiponatremia, dosis diuretika yang tinggi, hipotensi (tekanan darah
sistolik <100 mmHg) sebelum meng-awali terapi ACE inhibitor.

3) Angiotensin Receptor Blockers


Indikasi pemakaian angiotensin II receptor antagonists (ARAs)
pada CHF yang telah diterima saat ini adalah pada pasien-pasien yang
intolerans terhadap ACE inhibitor yang menyebabkan batuk. Manfaat
ARAs pada populasi ini telah dikembangkan CHARM-Alternative
study (Candesartan in Heart failure Assessment of reduction in
Mortality and Morbidity- Alternative study). Pada penelitian ini , ARA
candesartan secara signifikan menurunkan ‘combined endpoint’
kematian kardiovaskular ataupun hospitalisasi pasien-pasien CHF
yang sebelumnya diketahui intolerans terhadap ACE inhibitor.
Dua perbandingan langsung antara ARA dan ACE inhibitor
yang dilaksanakan pada pasien CHF. Penelitian yang lebih besar ,
ELITE II (the Evaluation of Losartan in the Elderly II) melaporkan
bahwa tidak ditemukan perbedaan antara pemakaian losartan dan
captopril, tetapi ’survival curve’ menunjukkan kecenderungan
‘survival’ yang lebih baik pada pemakaian ACE inhibitor. Penelitian
yang di-design serupa pada pasien gagal jantung setelah miokard
infark akut OPTIMAAL (the Optimal Trial in Myocardial Infarction
with the Angiotensin II Antagonist Losartan) melaporkan outcome
yang serupa.
VALIANT (the Valsartan in Acute Myocardial Infarction
Trial),salah satu penelitian besar pada pasien Gagal Jantungpost-AMI
melaporkan terdapat ‘survival outcome’ yang identik antar 3 group
pengobatan :”Valsartan (suatu ARA) dosis tinggi”, ”Captopril dosis
tinggi” dan ”Kombinasi keduanya”.
Dua penelitian besar lain (the CHARM Added Trial and the
Valsartan Heart Failure Trial [Val-Heft]) meneliti impact
‘penambahan suatu ARA pada ACE inhibitor pada pasien CHF’.
Kedua penelitian tersebut menunjukkan bahwa penambahan suatu
ARA dengan signifikan menurunkan risiko hospitalisasi CHF
selanjutnya; tetapi impact-nya pada mortality tidak tegas.
Kesimpulan dari penelitian-penelitian diatas bersama-sama,
menunjukkan bahwa ARAs dan ACE inhibitor bilamana dipakai
dengan dosis yang ekuivalent, akan memberi outcome yang sama, bila
dipakai sebagai terapi alternatif pada pasien CHF.Manfaat utama yang
didapat dengan penggabungan terapi ini pada pasien CHF tampaknya
dalam ”penurunan hospitalisasi”

4) β Receptor Blockers
Hampir semua pengobatan ’standard’ penderita gagal jantung,
mempunyai mekanisme kerja memperbaiki hemodinamika dan
simptomatik secara akut. Efek segera dari β-bloker sebaliknya dapat
memperburuk hemodinamik, kadang-kadang menyebabkan peburukan
gejala yang berat, makanya sudah sejak lama pemakaian obat ini di-
kontra-indikasikan pada pasien-pasien CHF. Meskipun demikian,
bukti-bukti bahwa pemberian secara kronik dari β-bloker
memperbaiki fungsi jantung dan menurunkan morbiditas serta
mortalitas pasien CHF. Sesungguhnya bukti-bukti pemakaian β-
bloker pada pasien CHF yang ditunjukkan pada banyak randomized
controlled trials jauh lebih banyak daripada dengan trial-trial ACE
inhibitor.
Tiga β-bloker yang akhir-akhir ini di-approved untuk
pengobatan gagal jantung di Australia, yaitu bisoprolol, carvedilol dan
slow-release metoprolol succinate.Setiap jenis obat tersebut telah
menunjukkan penurunan mortalitas dan hospitalisasi pasien CHF
seperti ditunjukkan pada suatu trial besar placebo-controlled.Manfaat
seperti ini tidak selalu ditampakkan pada pemakaian β-bloker lain.
Cardevilol atau Metoprolol European Trial (COMET),
membandingkan carvedilol dan standard-release metoprolol tartrate,
didapat hasil survival yang lebih baik pada pasien-pasien yang
mendapat carvedilol.

8. Prognosis

CLASS SYMPTOMS 1-YEAR


MORTALITY*
I None, asymptomatic left
ventricular 5 %
dysfunction
II Dyspnoea or fatigue on moderate physical 10 %
exertion
III Dyspneoea or fatigue on normal daily 10 % - 20 %
activities
IV Dyspnoea or fatigue at rest 40 % - 50 %.
DAFTAR PUSTAKA

Tumiwa, F.A., Lefrandt, R.L. 2009. Mengatasi Fibrilasi Atrium Rapid Response
Dengan Bisoprolol . Jurnal Biomedik 1( 3) : 192-201
Dinarti, L.K., Suciadi, L.P.2009. Stratifikasi Risiko dan Strategi Menejemen Pasien
dengan Atrial Fibrilasi. Major Kedokteran Indonesia 59(6) : 277-284
Damayanti, B.P. 2014. Hubungan Hipertensi Dan Atropfi Ventrikel Kiri Pada Pasien
Lansia Dengan Atrial Fibrilasi. ejournal UNDIP 3(1)
Nasution, S.A., Ranitya, R., Ginanjar, E. 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Interna Publishing. Jakarta
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2016. Panduan Praktik
Klinik dan Clinical Pathway (CP) Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah.
PERKI. Jakarta.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2016. Pedoman
Tatalaksana Fibrilasi Atrium Non Valvular. PERKI. Jakarta.
Fonarow GC. Epidemiology and risk stratification in acute heart failure. Am Heart J.
2008; 155(2):200-7.
Hunt SA. ACC/AHA guidelines: A-, B-, C-, and D-based approach to chronic heart
failure therapy. Eur Heart J Suppl. 2006; 8(supp 6):e3-e5.
National Clinical Guideline Centre for Acute and Chronic Conditions. Chronic Heart
Failure. Management of chronic heart failure in adults in primary and secondary
care. London: National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE);
August 2010:1-49
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar.
RISKESDAS 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; Desember 2008: 1-290.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar
RISKESDAS 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; Desember 2013:1-268.
Mann DL, Chakinala M. Heart failure and cor pulmonale. In: Longo DL, Kasper DL,
Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, editors. Harrison’s Principles of
Internal Medicine, 18th ed. Boston, MA: McGraw-Hill; 2011. p.3888-3922.
Porter RS, Kaplan JL, et al. The Merck manual of diagnosis and therapy. 19th ed.
Whitehouse Station (NJ): Merck Sharp & Dohme Corp., A Subsidiary of Merck
& Co., Inc.; 2011. p. 2268-84.
Francis GS, Tang W, Walsh RA. Pathophysiology of heart failure. In: Fuster V,
Walsh RA, Harrington RA, editors.Hurst's The Heart, 13thed. New York, (NY):
McGraw-Hill; 2011. p.719-809. HURST
Yancy CW, Jessup M, Bozkurt B, et al. 2013 ACCF/AHA guideline for the
management of heart failure. Circulation. 2013; 128:e240-e327.
McMurray JJV, Adamopoulos S, Dickstein K, Filippatos G, et al. ESC guidelines for
the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2012: the Task
Force for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2012 of
the European Society of Cardiology. Developed in collaboration with the Heart
Failure Association (HFA) of the ESC. Eur Heart J. 2012; 33(14): 1787-1847.

Anda mungkin juga menyukai