Anda di halaman 1dari 25

REFLEKSI KASUS CARDIOLOGI

COR PULMONALE

Disusun untuk Memenuhi Syarat Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam

RS Bethesda pada Program Pendidikan Dokter

Tahap Profesi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana

Disusun oleh :
Zakharia Ardi (42180282)

Dosen Pembimbing Klinik :


dr. Lidwina BR Tarigan, Sp. JP (FIHA)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH RS BETHESDA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
YOGYAKARTA
2020
BAB I
REFLEKSI KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Bp. HD
Jenis Kelamin : Laki-Laki
No. RM : 01192xxx
Usia : 53 tahun
Agama : Islam
Alamat : Sleman, Yogyakarta
Pekerjaan : Wirausaha
HMRS : 25 Januari 2020
Ruang Perawatan : Ruang E

B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan pada tanggal 26 Januari 2020 di ruang perawatan
Bangsal D Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta.
1. Keluhan Utama
Sesak nafas

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RS Bethesda pada 25 Januari 2020 pukul
20.15 dengan keluhan utama sesak nafas.. Sesak nafas dirasakan sejak
pukul sudah beberapa minggu, awalnya muncul saat aktivitas berat saja
namun 1 minggu ini dengan aktivitas ringan pasien sudah merasa seasak.
Dan sejak pagi SMRS pasien merasa sesak dan tidak membaik sampai
malam sehingga inign mendapat pengobatan di IGD RS Bethesda. Sesak
nafas tidak membaik dengan posisi apapun.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
- Pasien mengeluh batuk berdahak sejak 2 bulan yang lalu
- Riwayat asma (+)
- Riwayat sakit liver, sakit hipertensi disangkal, riwayat DM disangkal,
riwayat sakit jantung disangkal.
- Riwayat TBC 2 tahun lalu, sudah tuntas menajalankan pengobatan
selama 8 bulan.

4. Riwayat Penyakit Keluarga


- HT (-)
- DM (-)
- Asma (-)
- PJK (+ ayah)

5. Riwayat Alergi
Pasien mengatakan tidak memiliki alergi terhadap obat maupun
makanan.

6. Riwayat Operasi
- Tidak ada

7. Riwayat Pengobatan
-

8. Riwayat Kebiasaan
Pasien sehari-hari bekerja sebagai petani. Pola makan teratur sehari
3x, menu makanan seadanya. Sering mengkonsumsi gorengan. OS adalah
perokok aktif, sejak remaja usia 16 tahun, sehari menghabiskan 1-2
bungkus rokok.

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
o Keadaan umum : Lemas

o GCS : E4 V5 M6

o Kesadaran : Koma

o Tekanan Darah : 110/70 mmHg

o Nadi : 86x/menit

o Suhu : 37˚C

o Nafas : 20x/menit

2. Pemeriksaan Fisik
• Kepala
 Ukuran : Normocephali
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), mata cekung
(-/-), nyeri retroorbital (-/-), Brill Hematom (-/-)
 Telinga : Bentuk normal, simetris, otorrhea (-)
 Hidung : Bentuk normal, rhinorea (-), Napas cuping hidung (-)
 Mulut : Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-), stomatitis
aptosa (-),

 Leher
Bentuk normal, simetris, benjolan/masa (-), Pembesaran limfonodi (-),
nyeri tekan limfonodi (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), JVP
meningkat 5±4mmHg
• Thoraks
Pulmo
 Inspeksi : Simetris dekstra et sinistra, jejas (-),
 Palpasi : Ketinggalan gerak (+ paru kanan), fremitus meningkat
pada paru kanan, pengembangan dada kanan tertinggal, tidak teraba
massa
 Perkusi : sonor pada paru kiri, redup pada paru kanan
 Auskultasi : Kanan menurun (ins=eks), wheezing (-/-), rhonki kasar
(+ pada yang kanan)

Cor
 Inspeksi : pulsasi iktus kordis tidak terlihat nampak pada dinding
dada
 Palpasi : Batas kiri jantung bawah SIC V linea midclavicularis
sinistra
 Perkusi : jantung redup dengan kontur jantung normal
- Batas atas jantung : Batas kiri jantung atas SIC II linea
midclavicularis sinistra
- Batas jantung bawah : Batas kiri jantung bawah V linea
midclavicularis sinistra
- Batas jantung kanan : Batas kanan jantung SIC II linea
parasternalis dekstra
 Auskultasi : S1-S2 ireguler, bising (+) sistolik dan
diastolik (to and fro)

• Abdomen
 Inspeksi : Tidak ada tanda trauma pada abdomen, distensi abdomen
(-), massa (-), jejas (-)
 Auskultasi: Dbn
 Perkusi : Timpani pada seluruh regio abdomen
 Palpasi :
- Teraba supel di seluruh regio abdomen
- Nyeri tekan epigastrik(-), defans muskular (-)
- Hepar dan lien tidak teraba.

• Ekstremitas
 Superior : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-)
Bahu kiri: bengkak, nyeri tekan, krepitasi (+), nyeri gerak
 Inferior : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-)

3. Hasil EKG

- Sinus takikardia, 104x bpm, RAD, incomplet RBBB, Anteroseptal


iskemia
- Irama = Sinus takikardi
- Heart Rate =104 bpm
- Axis = normal lead I (-), aVF (+)  Right Axis Deviation (RAD)
- Gelombang P : Positif di lead II (+), AVR (-).
- P-R Interval : Normal (3-5mm) 0,12-0,20 detik
- Kompleks QRS : V1 + V5 >35mm
- T inversi di V1-V3, III, AVF
- Kesan : Sinus takikardia 104 bpm, RAD, Anteroseptal iskemia
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
26-1-2020
X ray
- Jaringan pulmonal menunjukkan densitas inhomogen dengan opasitas
inhomogen di Pulmo dextra
- Struktur hiler : tidak memadat
- Cor : Tidak dapat dinilai
- Diafragma : Letak normal dengan kontur reguler
- SCF :Keduanya tampak lancip
- Sistema Tulang : Tak tampak adanya kelainan
KESAN : tanda bronchopneumonia, jantuk tidak dapat dinilai

Echocardiography

DIAGNOSA/KLINIS/HASIL LAB:
Right heart failure ec CPC
HASIL PEMERIKSAAN
• Dimensi Aorta : 28 mm
• Dimensi LA : 37 mm
• LA/Ao : 1.33
• EPSS : 7 mm
• Fungsi LV : 51 %
• IVSD 10 /IVSS 11/LVIDD 43/ LVIDS 32/LVPWD 11/LVPWS 19
• Fungsi RV : TAPSE 26 mm
• Wall Motion : LV-D shape
Katup-katup :
• Aorta : 3 cuspis, anatomi dan fungsi normal
• Mitral : Anatomi dan Fungsi normal
• Tricuspid : TR Moderate, TVG 76 mmHg
• Pulmonal : Anatomi dan Fungsi Normal
• Doppler : Ao V Max 105 cm/s, E/A <1
Kesan :

• RV dan RA Dilatasi

• Global Fungsi sistolik LV Menurun dengan EF 51 %

• LV D Shape

• Fungsi sistolik RV normal

• Disfungsi diastolik tipe I

• TR Moderate, PH Severe.

E. DIAGNOSIS KERJA
Cor Pulmonale Chronic

F. TATALAKSANA
a. Aspilet 80mg 4 tab 1x1
b. ISDN 5 mg tab 1 1x1
c. Atorvastatin 40 mg tab 1
d. Plavix 300 mg
e. Cefixime 100 mg 2x1
f. Analsix 3x1
g. Combivent + flexotide (nebul) 3x1
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Kor pulmonal adalah suatu peningkatan dari struktur dan fungsi dari
ventrikel kanan yang didasarkan pada hipertensi pulmonal yang disebabkan oleh
penyakit yang menyerang paru-paru atau sirkulasi paru. Penyakit jantung bagian
kanan berasal dari penyakit primer dari sisi kiri jantung atau penyakit jantung
kongenital masih belum diketahui

Istilah cor pulmonale pertama kali dikenalkan pada tahun 1931 oleh Dr.
Paul D. White. Pada tahun 1963 komite ahli WHO mengusulkan sebuah definisi
untuk kor pulmonal yakni, hipertropi ventrikel kanan yang diakibatkan oleh
penyakit yang mengganggu fungsi dan atau struktur paru, tetapi gangguan paru
tersebut bukan akibat penyakit primer yang mengenai jantung sisi kiri seperti pada
penyakit jantung bawaan. Pada tahun 1970, Behnke et al mengganti konsep
hipertropi dengan “gangguan pada struktur dan fungsi ventrikel”, sehingga
definisi ini mencakup hal yang lebih luas mulai dari gangguan ringan hingga
terjadinya gagal jantung kanan.

Menurut WHO, definisi kor pulmonal adalah keadaan patologis dengan


ditemukannya hipertrofi ventrikel kanan yang disebabkan oleh kelainan
fungsional dan struktur paru, tidak termasuk kelainan karena penyakit jantung
primer pada jantung kiri dan penyakit jantung kongenital (bawaan).

Kor pulmonal kronik terjadi akibat dilatasi atau hipertropi yang


merupakan kompensasi langsung dari vasokonstriksi kronik pulmonal dan
hipertensi arteri pulmonal yang menyebabkan peningkatan beban kerja ventrikel
kanan. Ketika ventrikel kanan tidak dapat lagi melakukan kompensasi maka
terjadilah gagal jantung kanan.
2. Epidemiologi

Prevalensi pasti kor pulmonal sulit dipastikan karena dua alasan. Pertama,
tidak semua kasus penyakit paru kronis menjadi kor pulmonal, dan kedua,
kemampuan kita untuk mendiagnosa hipertensi pulmonal dan kor pulmonal
dengan pemeriksaan fisik dan hasil laboratorium tidaklah sensitif.
Namun, kemajuan terbaru dalam 2-D echo/Doppler memberikan kemudahan
untuk mendeteksi dan mendiagnosis suatu kor pulmonal.

Cor pulmonal mempunyai insidensi sekitar 6-7 % dari seluruh kasus


penyakit jantung dewasa di Amerika Serikat, dengan penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK) karena bronchitis kronis dan emfisema menjadi penyebab lebih
dari 50% kasus cor pulmonale.

Secara global, insidensi kor pulmonal bervariasi antar tiap negara, tergantung
pada prevalensi merokok, polusi udara, dan faktor resiko lain untuk penyakit
paru-paru yang bervariasi.

3. Etiologi

Kor pulmonal terjadi akibat adanya perubahan akut atau kronis pada
pembuluh darah paru dan atau parenkim paru yang dapat menyebabkan terjadinya
hipertensi pulmonal. Penyakit yang mendasari terjadinya kor pulmonal dapat
digolongkan menjadi 3 kelompok :

- Penyakit primer yang berhubungan dengan aliran udara di paru dan


alveoli.
- Penyakit primer yang mempengaruhi pergerakan dinding dada.
- Penyakit primer yang mempengaruhi pembuluh darah paru
4. Patogenesis

Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan cor pulmonal adalah penyakit


yang secara primer menyerang pembuluh darah paru-paru, seperti emboli paru-
paru berulang, dan penyakit yang mengganggu aliran darah paru-paru akibat
penyakit pernapasan obstruktif atau restriktif.

Apapun penyakit awalnya, sebelum timbul cor pulmonal biasanya terjadi


peningkatan resistensi vaskuler paru dan hipertensi pulmonal. Hipertensi
pulmonal pada akhirnya meningkatkan beban kerja dari ventrikel kanan, sehingga
mengakibatkan hipertrofi dan kemudian gagal jantung. Titik kritis dari rangkaian
kejadian ini nampaknya terletak pada peningkatan resistensi vaskuler paru pada
arteri dan arteriola kecil.

Dua mekanisme dasar yang mengakibatkan peningkatan resistensi


vaskuler paru adalah: (1) vasokontriksi dari pembuluh darah pulmonal akibat
adanya hipoksia dan (2) obstruksi dan/atau obliterasi jaringan vaskular paru-paru.
Hipoksia alveolar (jaringan) memberikan rangsangan yang kuat untuk
menimbulkan vasokontriksi pulmonal daripada hipoksemia. Selain itu, hipoksia
alveolar kronik memudahkan terjadinya hipertrofi otot polos arteriola paru-paru,
sehingga timbul respon yang lebih kuat terhadap hipoksia akut. Asidosis,
hiperkapnia, dan hipoksemia bekerja secara sinergistik dalam menimbulkan
vasokontriksi. Viskositas (kekentalan) darah yang meningkat akibat polisitemia
dan peningkatan curah jantung yang dirangsang oleh hipoksia kronik dan
hiperkapnia, juga ikut meningkatkan tekanan arteri paru.

Mekanisme kedua yang turut meningkatkan resistensi vaskuler dan


tekanan arteri paru adalah bentuk anatomisnya. Emfisema ditandai oleh kerusakan
bertahap dari struktur alveolar dengan pembentukan bula dan obliterasi total dari
kapiler-kapiler disekitarnya. Hilangnya pembuluh darah secara permanen
menyebabkan berkurangnya anyaman vaskuler. Selain itu, pada penyakit
obstruktif, pembuluh darah paru juga tertekan dari luar karena efek mekanik dari
volume paru yang besar. Tetapi, peranan obstruksi dan obliterasi anatomik
terhadap anyaman vaskuler diperkirakan tidak sepenting vasokontriksi hipoksik
dalam patogenesis cor pulmonal. Kira-kira duapertiga sampai tigaperempat dari
anyaman vaskuler harus mengalami obstruksi atau rusak sebelum terjadi
peningkatan tekanan arteri paru yang bermakna. Asidosis respiratorik kronik
terjadi pada beberapa penyakit pernapasan dan penyakit obstruktif sebagai akibat

hipoventilasi alveolar umum atau akibat kelainan perfusi-ventilasi. Setiap


penyakit paru memengaruhi pertukaran gas, mekanisme ventilasi, atau jaringan
vaskular paru dapat mengakibatkan cor pulmonal.

Patogenesis cor pulmonal sangat erat kaitannya dengan hipertensi


pulmonal dan tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Adanya gangguan pada
parenkim paru, kinerja paru, maupun sistem peredaran darah paru secara akut
maupun kronik dapat menyebabkan terjadinya hipertensi pulmonal.

Pelebaran atau hipertropi ventrikel kanan pada kor pulmonal kronis adalah
efek langsung dari kompensasi ventrikel akibat vasokonstriksi pulmonal kronis
dan hipertensi arteri pulmonalis yang menyebabkan peningkatan beban kerja
ventrikel kanan. Ketika ventrikel kanan tidak mampu lagi mengimbangi beban
kerja melalui dilatasi atau hipertropi, kegagalan ventrikel kanan dapat terjadi.

Beberapa mekanisme patofisiologis dapat menyebabkan hipertensi pulmonal yang


akan menyebabkan cor pulmonale, mekanisme tersebut antara lain :

h. Vasokonstriksi pulmonal akibat hipoksia alveolar atau asidemia


darah, hal ini dapat menyebabkan hipertensi pulmonal dan jika
hipertensi pulmonal tersebut cukup parah akan dapat menyebabkan
cor pulmonale
i. Peningkatan viskositas darah yang menyebabkan kelainan pada
darah seperti : polisitemia vera, sickle cell disease,
makroglobulinemia
j. Peningkatan aliran darah dalam vascular paru
k. Hipertensi pulmonal idiopatik primer
Ventrikel kanan memiliki dinding yang lebih tipis dibandingkan ventrikel
kiri yang lebih memiliki fungsi sebagai pompa volume dibandingkan pompa
tekanan. Ventrikel kanan memiliki fungsi yang lebih baik dalam preload
dibandingkan dengan afterload. Dengan adanya peningkatan afterload, ventrikel
kanan akan meningkatkan tekanan sistolik untuk menjaga gradient. Pada titik
tertentu, peningkatan tekanan arteri pulmonal lebih lanjut menyebabkan dilatasi
ventrikel kanan yang signifikan.

Adanya penurunan output ventrikel kanan dengan penurunan diastolic


ventrikel kiri menyebabkan penurunan output ventrikel kiri. Penurunan output
ventrikel kiri menyebabkan penurunan tekan darah di aorta dan menyebakan
menurunnya aliran darah pada arteri Coronaria termasuk arteri Coronaria kanan
yang menyuplai darah ke dinding ventrikel kanan. Hal ini menjadi suatu lingkaran
setan antara penurunan output ventrikel kiri dan ventrikel kanan.

Berdasarkan perjalanan penyakitnya, cor pulmonal dibagi menjadi 5 fase :

Fase 1

Pada fase ini belum nampak gejala klinis yang jelas, selain ditemukannya
gejala awal penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), bronkitis kronis, tuberkulosis
paru, bronkiektasis dan sejenisnya. Anamnesa pada pasien 50 tahun biasanya
didapatkan kebiasaan banyak merokok.

Fase 2

Pada fase ini mulai ditemukan tanda-tanda berkurangnya ventilasi paru.


Gejalanya antara lain, batuk lama yang berdahak (terutama bronkiektasis), sesak
napas, mengi, sesak napas ketika berjalan menanjak atau setelah banyak bicara.
Sedangkan sianosis masih belum nampak. Pemeriksaan fisik ditemukan kelainan
berupa, hipersonor, suara napas berkurang, ekspirasi memanjang, ronki basah dan
kering, mengi. Letak diafragma rendah dan denyut jantung lebih redup.
Pemeriksaan radiologi menunjukkan berkurangnya corakan bronkovaskular, letak
diafragma rendah dan mendatar, posisi jantung vertikal

Fase 3

Pada fase ini Nampak gejala hipoksemia yang lebih jelas. Didapatkan pula
berkurangnya nafsu makan, berat badan berkurang, cepat lelah. Pemeriksaan fisik
Nampak sianotik, disertai sesak dan tanda-tanda emfisema yang lebih nyata.

Fase 4

Ditandai dengan hiperkapnia, gelisah, mudah tersinggung kadang


somnolen. Pada keadaan yang berat dapat terjadi koma dan kehilangan kesadaran.

Fase 5

Pada fase ini nampak kelainan jantung, dan tekanan arteri pulmonal
meningkat. Tanda-tanda peningkatan kerja ventrikel, namun fungsi ventrikel
kanan masih dapat kompensasi. Selanjutnya terjadi hipertrofi ventrikel kanan
kemudian terjadi gagal jantung kanan. Pemeriksaan fisik nampak sianotik,
bendungan vena jugularis, hepatomegali, edema tungkai dan kadang asites.

5. Diagnosis

Diagnosis kor pulmonal dapat ditegakkan jika terbukti terdapat adanya


hipertensi pulmonal akibat dari kelainan fungsi dan atau struktural paru. Untuk
menegakkan diagnosis kor pulmonal secara pasti maka dilakukan prosedur
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang secara tepat. Pada
anamnesis dan pemeriksaan fisik pemeriksa dapat menemukan data-data yang
mendukung ke arah adanya kelainan paru baik secara struktural maupun
fungsional. Adanya hipertensi pulmonal tidak dapat ditegakkan secara pasti
dengan hanya pemeriksaan fisik dan anamnesis tetapi membutuhkan pemeriksaan
penunjang.

Perlu dilakukan anamnesis yang teliti ada tidaknya penyakit paru yang
mendasari dan jenis kelainan paru seperti batuk kronik yang produktif, sesak nafas
waktu beraktifitas, nafas yang berbunyi, mudah lelah. Pada fase awal berupa
pembesaran ventrikel kanan, tidak menimbulkan keluhan jadi lebih banyak
keluhan akibat penyakit parunya. Keluhan akibat pembesaran ventrikel kanan
baru timbul bila sudah ada gagal jantung kanan misalnya edema dan nyeri parut
kanan atas. Infeksi paru sering mencetuskan gagal jantung, hipersekresi branchus,
edema alveolar, serta bronkospasme yang menurunkan ventilasi paru lalu timbul
gagal jantung kanan.

Dispnea merupakan gejala yang paling umum terjadi, biasanya karena


adanya peningkatan kerja pernapasan akibat adanya perubahan dalam elastisitas
paru-paru (fibrosis penyakit paru atau adanya over inflasi pada penyakit PPOK).
Nyeri dada atau angina juga dapat terjadi. Hal ini terjadi disebabkan oleh iskemia
pada ventrikel kanan atau teregangnya arteri pulmonalis. Hemoptisis, karena
rupturnya arteri pulmonalis yang sudah mengalami arteroslerotik atau terdilatasi
akibat hipertensi pulmonal juga dapat terjadi. Bisa juga ditemukan variasi gejala-
gejala neurologis, akibat menurunnya curah jantung dan hipoksemia.

Selama jantung masih bisa melakukan kompensasi terhadap hipertensi


pulmonal, anamnesis pada penderita kor pulmonal hanya didapatkan keluhan yang
terkait dengan gangguan yang melatarbelakanginya. Keluhan yang biasanya
didapatkan adalah batuk produktif, sesak nafas saat aktivitas (dispneu d effort),
adanya mengi, cepat letih, dan lemas. Ketika progresivitas penyakit bertambah
keluhan yang sering muncul adalah sesak nafas walaupun tidak beraktivitas,
tachypnea, orthopnea, edema, dan perasaan tidak nyaman pada kuadran kanan
atas.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan bentuk dada dengan diameter terbesar


anteroposterior atau disebut barrel chest. Pada pemeriksaan auskultasi paru
didapatkan memanjangnya suara nafas ekspirasi dan pada pasien eksaserbasi
biasanya didapatkan mengi dan ronki. Pasien yang telah menjadi gagal jantung
kanan didapatkan tanda-tanda seperti edema, peningkatan tekanan vena jugularis,
refluks hepatojugular, pulsasi epigastrium dan parasternal, asites, hepatomegali
dan takikardia. Menurunnya cardiac output dapat menyebabkan hipotensi dan
pulsasi yang lemah. Pada pemeriksaan jantung pasien dengan gagal jantung kanan
didapatkan kardiomegali ventrikel kanan yang menyebabkan batas jantung kanan
bawah bergeser ke bawah kanan. Pada auskultasi didapatkan suara gallop S3
disertai meningkatnya intensitas bunyi P2. Insufisiensi katup trikuspid ditandai
dengan adanya pansistolik murmur yang terdengar di parasternal kiri bawah dan
mengeras dengan inspirasi. Selain itu, dapat pula terdengar ejeksi sistolik
pulmonal.

6. Pemeriksaan Penunjang Radiologi

Etiologi kor pulmonal kronis amat banyak dan semua etiologi itu akan
menyebabkan berbagai gambaran parenkim dan pleura yang mungkin dapat
menunjukkan penyakit primernya. Gambaran radiologi hipertensi pulmonal
adalah dilatasi arteri pulmonalis utama dan cabang-cabangnya, meruncing ke
perifer, dan lapang paru perifer tampak relatif oligemia. Pada hipertensi pulmonal,
diameter arteri pulmonalis kanan >16mm dan diameter arteri pulmonalis kiri
>18mm pada 93% penderita.

Hipertrofi ventrikel kanan terlihat pada rontgen thoraks PA


sebagai pembesaran batas kanan jantung, pergeseran kearah lateral batas jantung
kiri dan pembesaran bayangan jantung ke anterior, ke daerah retrosternal pada
foto dada lateral. Pelebaran jantung kanan menyebabkan diameter transversal
meningkat dengan cardiothorax ratio (CTR) 50% dan bayangan jantung melebar
ke kanan pada foto toraks posisi anteroposterior. Pada pasien dengan PPOK
didapatkan gambaran sela iga melebar, diafragma mendatar dan gambaran
pinggang jantung pendulum.
Foto thoraks anteroposterior dan lateral kor pulmonal

A. Elektrokardiogram

Gambaran abnormal kor pulmonal pada pemeriksaan EKG dapat berupa:

a. Deviasi sumbu ke kanan. Sumbu gelombang p + 900 atau lebih.


b. Terdapat pola S1 S2 S3
c. Rasio amplitude R/S di V1 lebih besar dari sadapan 1
d. Rasio amplitude R/S di V6 lebih kecil dari sadapan 1
e. Terdapat pola p pulmonal di sadapan 2,3, dan aVF
f. Terdapat pola S1 Q3 T3 dan right bundle branch block komplet
atau inkomplet.
g. Terdapat gelombang T terbalik, mendatar, atau bifasik pada
sadapan prekordial.
h. Gelombang QRS dengan voltase lebih rendah terutama pada PPOK
karena adanya hiperinflasi.
i. Hipertrofi ventrikel kanan yang sudah lanjut dapat memberikan
gambaran gelombang Q di sadapan prekordial yang dapat
membingungkan dengan infark miokard.
j. Kadang dijumpai kelainan irama jantung mulai dari depolarisasi
prematur atrium terisolasi hingga supraventrikuler takikardi,
termasuk takikardi atrial paroksismal, takikardi atrial multifokal,
fibrilasi atrium, dan atrial flutter. Disritmia ini dapat dicetuskan.
k. karena keadaan penyakit yang mendasari (kecemasan, hipoksemia,
gangguan keseimbangan asam- basa, gangguan elektrolit, serta
penggunaan bronkodilator berlebihan).
B. Ekokardiografi

Salah satu pencitraan yang bisa digunakan untuk melakukan penegakan diagnosis
kor pulmonal adalah dengan ekokardiografi. Dari hasil ekokardiografi dapat
ditemukan dimensi ruang ventrikel kanan yang membesar, tapi struktur dan
dimensi ventrikel kiri normal. Pada gambaran ekokardiografi katup pulmonal,
gelombang “a” hilang, menunjukkan hipertensi pulmonal. Kadang-kadang dengan
pemeriksaan ekokardiografi susah terlihat katup pulmonal karena “accoustic

window” sempit akibat penyakit paru.1,4


Ekokardiografi Kor Pulmonal (Dilatasi atrium dan ventrikel kanan)

7. Diagnosis Banding
- Hipertensi vena pulmonal yang biasanya diderita penderita stenosis katup
mitral. Gambaran foto toraks berupa pembesaran atrium kiri, pelebaran
arteri pulmonal karena peninggian tekanan aorta yang relative kecil (pada
fase lanjut), pembesaran ventrikel kanan, pada paru-paru terlihat tanda-
tanda bendungan vena
- Perikarditis
- Gagal jantung kongestif
- Kardiomiopati infiltrative
- Stenosis pulmonal
- Gagal jantung kanan akibat infark ventrikel kanan
- Gagal jantung kanan akibat penyakit jantung bawaan
- Defek septum ventrikel

8. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan kor pulmonal dari aspek jantung bertujuan untuk


menurunkan hipertensi pulmonal, mengobati gagal jantung kanan, meningkatkan
kelangsungan hidup, dan mengobati penyakit dasar dan komplikasinya.

a. Tirah Baring dan Pembatasan Garam

Tirah baring sangat penting untuk mencegah memburuknya hipoksemia,


yang nantinya akan lebih menaikkan lagi tekanan arteri pulmonalis. Garam perlu
dibatasi tetapi tidak secara berlebihan karena klorida serum yang rendah akan
menghalangi usaha untuk menurunkan hiperkapnia.

b. Terapi Oksigen

Mekanisme bagaimana terapi oksigen dapat menigkatkan kelangsungan


hidup belum diketahui pasti, namun ada 2 hipotesis: (1) terapi oksigen
mengurangi vasokontriksi dan menurunkan resistensi vaskuler paru yang
kemudian meningkatkan isi sekuncup ventrikel kanan, (2) terapi oksigen
meningkatkan kadar oksigen arteri dan meningkatkan hantaran oksigen ke
jantung, otak, dan organ vital lainnya.

Pemakaian oksigen secara kontinyu selama 12 jam (National Institute of


Health, USA); 15 jam (British Medical Research Counsil) , dan 24 jam (NIH)
meningkatkan kelangsungan hidup dibanding kan dengan pasien tanpa terapi
oksigen.

Indikasi terapi oksigen adalah PaO2 ≤ 55 mmHg atau SaO2 ≤ 88%, PaO2
55-59 mmHg, dan disertai salah satu dari tanda seperti, edema yang disebabkan
gagal jantung kanan, P pulmonal pada EKG, dan eritrositosis hematokrit > 56%.

c. Diuretika

Diuretika diberikan untuk mengurangi tanda-tanda gagal jantung kanan.

Namun harus dingat, pemberian diuretika yang berlebihan dapat menimbulkan


alkalosis metabolik yang bisa memicu peningkatan hiperkapnia. Disamping itu,
dengan terapi diuretika dapat terjadi kekurangan cairan yang mengakibatkan
preload ventrikel kanan dan curah jantung menurun.

d. Vasodilator

Pemakaian vasodilator seperti nitrat, hidralazin, antagonis kalsium, agonis


alfa adrenergik, ACE-I, dan postaglandin belum direkomendasikan pemakaiannya
secara rutin. Vasodilator dapat menurunkan tekanan pulmonal pada kor pulmonal
kronik, meskipun efisiensinya lebih baik pada hipertensi pulmonal yang primer.

Agonis beta selektif memiliki keuntungan tambahan sebagai bronkodilator


dan efek mukosiliar. Epoprostenol, treprostinil, dan iloprost adalah analog
prostasiklin dan memiliki efek vasodilator yang kuat. Epoprostenol dan
treprostinil diberikan secara intravena dan iloprost sebagai inhaler. Bosentan yang
merupakan antagonis reseptor endotelin-A dan endotelin-B diindikasikan untuk
hipertensi arteri pulmonalis termasuk hipertensi pulmonal primer. Dalam uji
klinis, bosentan meningkatkan kapasitas, penurunan laju kerusakan klinis, dan
peningkatan hemodinamika. Sildenafil merupakan inhibitor PDE5 telah dipelajari
secara intensif dan telah disetujui untuk pengobatan hipertensi pulmonal.
Sildenafil secara selektif dapat merelaksasikan otot polos pembuluh darah
vascular paru. Warfarin merupakan antikoagulan yang dianjurkan pada pasien
dengan resiko tinggi tromboemboli. Peran menguntungkan dari penggunaan
antikoagulan dalam mengurangi gejala dan angka kematian pada pasien telah
dibuktikan dalam beberapa penelitian.

e. Digitalis

Digitalis hnya digunakan pada pasien kor pulmonal bila disertai gagal
jantung kiri. Digitalis tidak terbukti meningkatkan fungsi ventrikel kanan pada
pasien kor pulmonal dengan fungsi ventrikel normal, hanya pada pasien kor
pulmonal dengan fungsi ventrikel kiri yang menurun, digoksin bisa meningkatkan
fungsi ventrikel kanan. Pada pemberian digitalis perlu diwaspadai resiko aritmia.

f. Antikoagulan

Diberikan untuk menurunkan resiko terjadinya tromboemboli akibat


disfungsi dan pembesaran ventrikel kanan dan adanya faktor imobilisasi pada
pasien.

9. Prognosis

Prognosis kor pulmonal yang disebabkan oleh PPOK lebih baik dari prognosis
kor pulmonal yang disebabkan oleh penyakit paru lain seperti "restrictive
pulmonary disease", dan kelainan pembuluh darah paru. Forrer mengatakan
penderita kor pulmonal masih dapat hidup antara 5 sampai 17 tahun setelah
serangan pertama kegagalan jantung kanan, asalkan mendapat pengobatan yang
baik. Padmavati dkk di India mendapatkan angka antara 14 tahun. Sadouls di
Perancis mendapatkan angka 10 sampai 12 tahun.
Para peneliti telah mengumpulkan data demografi, komorbiditas, dan data
manifestasi klinis pada 582 pasien rawat inap pada unit gawat darurat maupun
unit perawatan intensif dan didiagnosa menderita emboli paru. Hasil penelitian
mereka menunjukkan bahwa pada pasien emboli paru dengan hemodinamik yang
stabil factor-faktor berikut dapat menjadi predictor independen kematian di rumah
sakit, yaitu :

1. Usia yang lebihtuadari 65 tahun


2. Istirahat total selama lebih dari 72 jam
3. Menderita kor pulmonal kronis
4. Sinus takikardia
5. Takipneu
DAFTAR PUSTAKA

Harun S, Ika PW. Kor Pulmonal Kronik. Dalam Buku Ajar I lmu Penyakit Dalam,
Ed 4. Jakarta. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2006; 1680-81

Fauci AS, Dennis LK, dkk. Heart Failure and CorPulmonale.Dalam Harrison’s

Principles of Internal Medicine 17th ed. United States of America. The


McGraw-Hill Companies, Inc. 2008; 217-244

Hastuti, Triani, 2007, Bahan Ajar Histology Kardiovaskuler, Bagian Histologi


Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar.

Price, A. Sylvia, dan Wilson, Lorraine M., 2006, Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit Edisi 6 Volume 1, Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai