Anda di halaman 1dari 26

REFARAT

CLAUDICATIO INTERMITTEN

PENYUSUN:
KENNI JAMILUN NIQRIS 210131137
SOFIE ARKANIA AVANY 210131

PEMBIMBING:

dr. Teuku Bob Haykal M.Ked(Cardio), Sp.JP, FIHA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT JANTUNG DAN PEMBULU DARAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK
MEDAN
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis ucapkan kepada Allah Subhanahuwata’ala atas berkatnya
sehingga Penulis dapat menyelesaikan refarat ini yang berjudul “Claudicatio Intermitten”.
Penulisan refarat ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Pendidikan
Profesi Dokter di Departemen Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Rumah Sakit
Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Pada kesempatan ini, Penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada dosen pembimbing kami, dr. Teuku Bob Haykal M.Ked(Cardio), Sp.JP,
FIHA yang telah meluangkan waktunya dalam membimbing penyusunan refarat ini sehingga
dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Dengan disusunnya makalah ini diharapkan Penulis dapat memberikan kontribusi


positif dalam sistem pelayanan kesehatan secara optimal. Penulis menyadari bahwa penulisan
refarat ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi isi maupun susunan bahasanya, untuk
itu Penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai masukan dalam penulisan
refarat selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat, akhir kata Penulis mengucapkan terima
kasih.

Medan, 19 Juli 2022

Penulis

i
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan pada tanggal :

Nilai :

Pembimbing

dr. Teuku Bob Haykal M.Ked(Cardio), Sp.JP, FIHA

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN.................................................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR...........................................................................................................................iv
BAB 1....................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN................................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................................1
1.2 Tujuan Penulisan.................................................................................................................2
1.3 Manfaat Penulisan...............................................................................................................2
BAB II..................................................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................................................3
2.1 Definisi..................................................................................................................................3
2.2 Etiologi..................................................................................................................................3
2.3 Epidemiologi.........................................................................................................................3
2.4 Faktor Risiko........................................................................................................................4
2.5 Patofisiologi..........................................................................................................................6
2.6 Klasifikasi.............................................................................................................................8
2.7 Diagnosis...............................................................................................................................8
2.8 Diagnosis Banding................................................................................................................9
2.9 Komplikasi.........................................................................................................................10
2.10 Tatalaksana........................................................................................................................10
1. Tatalaksana Non-farmakologis.........................................................................................11
2. Tatalaksana Farmakologis................................................................................................12
3. Revaskularisasi..................................................................................................................14
2.11 Prognosis............................................................................................................................15
BAB 3.................................................................................................................................................17
KESIMPULAN..................................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................18

i
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Klaudikasio berasal dari bahasa latin “claudicare” yang berarti lemas. Klaudikasio sendiri
didefinisikan sebagai ketidaknyamanan otot ekstremitas bawah yang dirasakan saat latihan
dan hilang dengan istirahat dalam 10 menit. Pasien akan merasakan kelelahan otot, sakit atau
kram pada saat aktivitas. Gejala paling sering dirasakan di betis, tetapi juga dapat dirasakan di
paha atau pantat.

Klaudikasio intermiten merupakan gejala yang paling sering muncul pada penyakit arteri
perifer (PAP) dan diperkirakan 20 - 40 juta orang di dunia mengalami gejala klasik tersebut.
Penyakit arteri perifer sendiri merupakan masalah kesehatan global yang dialami lebih dari
200 juta individu. Prevalensi PAP juga meningkat dalam dekade terakhir ini, bahkan
meningkat mendekati 25% antara tahun 2000 dan 2010.2 Pada penelitian Hirsch dkk tahun
2005, ditemukan jumlah penderita PAP di layanan primer akan meningkat 10% pada populasi
yang lebih tua.

Penyakit Arteri Perifer (PAP) adalah semua penyakit yang terjadi pada pembuluh darah
setelah keluar dari jantung dan aorta disebabkan oleh penyempitan pembuluh darah.1
Aterosklerosis dan tromboemboli menjadi penyebab utama obstruksi pembuluh darah pada
penyakit arteri perifer sehingga terjadinya gangguan perfusi pembuluh darah ke jaringan
bagian distal. PAP ekstremitas bawah merupakan penyakit ketiga terbanyak akibat
aterosklerosis setelah jantung koroner dan stroke.

Bahkan penelitian di Swedia tahun 2007 melaporkan hampir seperlima populasi manula
(60-90 tahun) menunjukkan gejala PAP dengan 6,8% menderita klaudikasio intermiten.
Klaudikasio intermiten bukanlah PAP yang mengancam nyawa ataupun mengancam
ekstremitas. Namun, mempunyai dampak negatif pada kualitas hidup dan dihubungkan
dengan peningkatan resiko penyakit kardiovaskular. Peningkatan kualitas hidup merupakan
tujuan utama terapi klaudikasio intermiten.
Penelitian menemukan bahwa 69% dari kejadian PAP disebabkan oleh adanya faktor
risiko kardiovaskular. Faktor risiko kardiovaskular yang sangat berperan PAP adalah merokok
(18.1%). Faktor Lainnya berupa hipertensi (17%), usia >74 tahun (11%), dislipidemia (6.7%),
dan diabetes mellitus (5.4%).
i
Adanya ditemukan PAP pada satu arteri menjadi sebuah prediksi kuat adanya
aterosklerosis pada arteri lainnya sehingga memiliki risiko tinggi mengalami infark miokard,
stroke iskemik dan kematian. Kejadian kardiovaskuler merupakan komplikasi dan
komorbiditas PAP paling sering ditemukan dalam jangka waktu 5 tahun.
Menurut Riskesdas, terdapat lebih dari 63 juta penduduk indonesia mengalami hipertensi.
Ditemukan 35.9 % dari penduduk Indonesia ≥ 15 tahun dengan kadar kolesterol abnormal ≥
200 mg/dl. Jumlah penderita diabetes di Indonesia berada pada peringkat keempat di dunia
setelah India, China dan Amerika.15 Sedangkan, Obesitas terus mengalami peningkatan dari
tahun ketahun didapatkan sebanyak 21.8% pada tahun 2018.
Berdasarkan data epidemiologi tersebut, angka kejadian faktor risiko PAP banyak
ditemukan di Indonesia dan terus bertambah sehingga memungkinkan nantinya penyakit arteri
perifer umum dijumpai dalam masyarakat. Maka dari itu, tatalaksana PAP lebih difokuskan
terhadap prevensi sekunder kejadian kardiovaskuler dengan pengendalian faktor risiko.
Tujuan utama dari tatalaksana ini adalah peningkatan kualitas hidup dan mencegah terjadinya
komplikasi.

1.2 Tujuan Penulisan


Makalah ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami tentang Claudikasio Intermitten
khususnya dalam mendiagnosa dan tatalaksana Claudikasio Intermitten. Serta untuk
memenuhi persyaratan pelaksanaan kegiatan kepaniteraan klinik di Departemen Ilmu Penyakit
Jantung dan Pembuluh Darah Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

1.3 Manfaat Penulisan


Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun pembaca dalam
meningkatkan wawasan dan pemahaman tentang Claudikasio Intermitten. Selain itu, makalah
ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai bahan referensi kepustakaan bagi para
pembaca yang ingin mempelajari tentang Claudikasio Intermitten.

v
6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Klaudikasio berasal dari bahasa latin “claudicare” yang berarti lemas. Klaudikasio sendiri
didefinisikan sebagai ketidaknyamanan otot ekstremitas bawah yang dirasakan saat latihan
dan hilang dengan istirahat dalam 10 menit. Pasien akan merasakan kelelahan otot, sakit atau
kram pada saat aktivitas.

2.2 Etiologi
Penyebab terbanyak penyakit arteri pada usia di atas 40 tahun adalah aterosklerosis.
Prevalensi penyakit aterosklerosis perifer meningkat pada kasus dengan diabetes mellitus,
hiperkolesterolemia, hipertensi, hiperhomosisteinemia dan perokok (Antono D dan Ismail D,
2006).
Mekanisme terjadinya aterosklerosis sama seperti yang terjadi pada arteri koroner. Lesi
segmental yang menyebabkan stenosis atau oklusi biasanya terjadi pada pembuluh darah
berukuran besar atau sedang. Pada lesi tersebut terjadi plak aterosklerotik dengan penumpukan
kalsium, penipisan tunika media, destruksi otot dan serat elastis di sana-sini, fragmentasi
lamina elastika interna, dan dapat terjadi trombus yang terdiri dari trombosit dan fibrin. Lokasi
yang terkena terutama pada aorta abdominal dan arteri iliaka (30% dari pasien yang
simptomatik), arteri femoralis dan poplitea (80-90%), termasuk arteri tibialis dan peroneal
(40-50%). Proses aterosklerosis lebih sering terjadi pada percabangan arteri, tempat yang
turbulensinya meningkat, memudahkan terjadinya kerusakan tunika intima. Pembuluh darah
distal lebih sering terkena pada pasien usia lanjut dan diabetes (Antono dan Hamonangan, 2014)

2.3 Epidemiologi
7

Prevalensi angina dalam studi berbasis populasi meningkat dengan usia pada kedua jenis
kelamin, dari 5-7% pada wanita berusia 45-64 tahun menjadi 10-12% pada wanita berusia 65-
84 dan dari 4-7% pada pria berusia 45- 64 tahun menjadi 12-14% pada pria berusia 65-84
tahun. Menariknya, angina lebih sering terjadi pada wanita paruh baya dibandingkan pria,
mungkin karena prevalensi PJK fungsional yang lebih tinggi—seperti angina mikrovaskular—
pada wanita sedangkan yang sebaliknya terjadi pada orang tua.

Data yang tersedia menunjukkan insiden tahunan angina pektoris tanpa komplikasi sebesar
1,0% pada populasi pria barat berusia 45-65 tahun, dengan insiden yang sedikit lebih tinggi
pada wanita di bawah usia 65 tahun. Ada peningkatan tajam seiring bertambahnya usia dan
insiden pada pria dan wanita. 75-84 tahun mencapai hampir 4%. Insiden angina bervariasi
secara paralel dengan perbedaan internasional yang diamati dalam mortalitas PJK. Kuesioner
8

angina Rose memiliki spesifisitas 80-95%, tetapi sensitivitasnya bervariasi secara substansial
dari 20-80% bila dibandingkan dengan diagnosis klinis, temuan EKG dan angiografi koroner.

2.4 Faktor Risiko


Terdapat dua fator risiko terhadap Angina Pektoris yaitu faktor yang bisa diubah dan faktor
yang tidak bisa diubah, yaitu:

a. Faktor risiko yang tidak bisa diubah :


1) Umur atau usia

Telah dibutikan adanya hubungan anatara umur dan kematian. Sebagaian besar kasus
kematian terjadi pada laki-laki umur 35-44 tahun dan meningkat dengan
bertambahnya umur. Juga didapatkan hubungan antara umur dengan kadar kolesterol
total akan meningkat dengan bertambahnya umur, kadar kolesterol perempuan
sebelum menopause (45-60 tahun) lebih rendah dari pada laki-laki dengan umur yang
sama, setelah perempuan mengalami menopause kadar kolesterol perempuan akan
lebih tinggi dibandingkan laki-laki.

2) Gender atau jenis kelamin

Lebih banyak menyerang pria dibandingkan wanita, namun penyebab pasti belum
diketahui, sebelum umur 60 tahun didapatkan 2-3 kali lebih besar dari pada
perempuan. Perempuan yang masih mengalami menstruasi lebih terlindungi dari pada
laki- laki karena pengaruh hormone esterogen dari wanita.

3) Riwayat keluarga atau faktorgemetik

Faktor genetik sangat berpengaruh terutama pada laki-laki. Faktor ini dapat ditangani
dengan gaya hidup yang sehat dan menghindari gaya hidup yang tidak sehat seperti :
kolesterol tinggi, kebiasaan merokok, hipertensi, obesitas dan diabetes.
9

b. Faktor yang dapat


dirubah/dikendalikan :

1) Hipertensi atau tekanan darah tinggi

Hipertensi merupakan suatu keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan darah secara
abnormal, hipertensi yang mengendap akan menyebabkan arterosklerosis koroner
karena hipertensi dapat menimbulkan trauma langsung di dinding pembuluh darah
arteri koronaria. Apabila tekanan tinggi yang terus menerus menyebabkan suplai
kebutuhan oksigen jantung meningkat.

2) Penyakit diabetes mellitus

Diketahui 2-3 kali lebih banyak pada orang dengan diabetes, tanpa memandang kadar
lipid dalam darah. Predisposisi degenerasi vaskuler terjadi pada diabetes mellitus serta
metabolisme lipid yang tidak normal juga dalam pertumbuhan atheroma. Berpegang
teguh pada regimen medis yang dianjurkan untuk mengatur glukosa dapat
mengurangi faktor risiko dan itu menjadi tanggung jawab setiap individu untuk
realisasinya.

3) Merokok

Merokok dapat memperparah dengan cara yaitu kandungan karbon monoksida (CO)
lebih mudah terikat oleh hemoglobin sehingga oksigen yang disuplai ke jantung
sangat berkurang dan membuat jantung bekerja lebih berat untuk menghasilkan energi
yang sama besarnya. Asam nikotinat dalam tembakau memicu pelepasan katekolamin
yang menyebabkan kontriksi arteri sehingga aliran darah dan oksigenasi jaringan
terganggu (Smeltze & Bare, 2002). Merokok juga meningkatkan adhesi trombosit
sehingga kemungkinan terjadi peningkatan pembentukan thrombus.

4) Kolesterol

Beberapa parameter yang dipakai untuk mengetahui adanya resiko CAD dan
hubungannya dengan kadar kolesterol darah meliputi kolesterol total, low-density
lipoprotein (LDL) kolesterol, high-density lipoprotein (HDL) kolesterol, rasio
kolesterol total, dan kadar trigliserida. Pada kolesterol total >200 mg/dL berarti risiko
terjadinya PJK meningkat. LDL kolesterol bersifat buruk karena bila kadar LDL
10

meninggi (>160 mg/dL) menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah. HDL


11

kolesterol bersifat baik, namun makin rendah kadar HDL (<45 mg/dL) kolesterol
maka makin besar kemungkinan PJK.

5) Kegemukan/obesitas

Obesitas muncul bersamaan dengan penderita hipertensi, diabetes melitus dan


hipertrigliseridemia yang meningkatkan kadar kolesterol dan LDL kolesterol dengan
berat badan mulai melebihi 20% dari berat badan ideal.

6) Stress

Faktor stress psikologik dan penyakit jantung sangat erat hubungannya dengan PJK
terutama akan menyebabkan angina pektoris. Secara teoritis, stress yang terus
menerus/berlangsung lama akan meninggikan kadar katekolamin dan tekanan darah,
sehingga akan menyebabkan penyempitan pembuluh darah arteri coroner.

7) Kurangnya aktifitas fisik

Orang yang kurang bergerak (olahraga) cenderung gemuk sehingga berpotensi


menderita diabetes melitus, tekanan darah tinggi dan naiknya kolesterol. Data
menunjukkan bahwa pada orang yang kurang gerak, pembuluh darah kolateral dari
arteri koronaria juga kurang sehingga aliran darah ke jantung berkurang.

2.5 Patofisiologi

Mekanisme angina pektoris disebabkan oleh kurangnya suplay oksigen ke sel-sel


miokardium yang terjadi karena kekakuan arteri dan penyempitan lumen pada arteri koroner.
Ateriosklerosis adalah penyakit arteri koroner yang sering ditemukan. Jika beban kerja suatu
jaringan meningkat, maka oksigen yang dibutuhkan juga meningkat. Jika kebutuhan
meningkat pada jantung yang sehat maka arteri koroner berdilatasi dan mengalirkan lebih
banyak darah dan oksigen ke otot jantung. Apabila terjadinya penyempitan arteri koroner
akibat dari ateriosklerosis dan tidak dapat berdilatasi sebagai respon terhadap peningkatan
kebutuhan akan oksigen, maka akan terjadi iskemik (kekurangan suplai darah) miokardium.
12

Bila aliran darah koroner tidak dapat menyuplai kebutuhan sejumlah oksigen yang
diperlukan oleh otot jantung, maka terjadi ketidak seimbangan anatar suplai dan kebutuhan.
Dalam pemenuhan kebutuhan energi otot jantung, tersedia pembuluh darah/arteri koronaria
yang menyuplai otot jantung dan mempunyai kebutuhan metabolisme tinggi terhadap oksigen
dan nutrisi. Pemahaman tentang angina pektoris stabil maupun tak stabil tak dapat dilepaskan
dari peran aterosklerosis sebagai prekursor iskemia miokard. Aterosklerosis merupakan
proses kronik yang melibatkan perubahan pada metabolisme lipid, interaksi seluler, inflamasi,
dan remodelisasi matriks ekstraseluler pada berbagai penyakit vaskuler, termasuk penyakit
jantung koroner dan serebrovaskuler. Interaksi faktor-faktor tersebut menyebabkan
pembentukan plak ateromatosa pada dinding vaskuler.

Plak aterosklerotik memiliki kecenderungan untuk lebih mudah terbentuk pada area yang
berkelok dan memiliki percabangan sebab struktur vaskuler semacam itu memiliki aliran
darah yang turbulen dan shear stress yang rendah. Pada area tersebut pula sel endotel
memiliki ekspresi oksida nitrat (NO) yang rendah dan superoksida yang tinggi. Imbalans NO
dan spesies oksigen reaktif tersebut memudahkan pembaruan sel endotel sehingga
permeabilitasnya meningkat dan akumulasi lipid ke ruang subendotel terjadi. Lipoprotein
densitas rendah (low- density lipoprotein/LDL) merupakan senyawa yang rentan teroksidasi.
Monosit yang masuk ke dalam plak kemudian berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi
makrofag dan mengambil LDL yang teroksidasi (oxLDL) sehingga membentuk sel busa
(foam cell). Sel busa tersebut menguatkan respons inflamasi sehingga berujung pada
pembentukan fatty streak. OxLDL akan semakin banyak masuk melalui reseptor makrofag
seiring dengan bertambahnya jumlah kolesterol dalam sel busa. Apabila sel busa tersebut
mati, inti lipid nekrotik akan terbentuk di dalam lapisan intima. Sebagai respons terhadap
faktor pertumbuhan dan sitokin, sel otot polos vaskuler pada tunika media dapat bermigrasi
dan menumpuk pada plak aterosklerotik serta mensintesis berbagai protein matriks seperti
kolagen dan elastin. Migrasi dan proliferasi sel otot polos vaskuler inilah yang kelak menjaga
stabilitas plak dengan mengisolasi inti lipid plak dari sirkulasi darah.

Jika plak mengalami ruptur, mayoritas pasien akan mengalami thrombus koroner
simptomatik. Ruptur plak disertai thrombosis pada dinding vaskuler juga dapat menyebabkan
perburukan stenosis koroner meskipun tidak selalu bergejala. Meskipun telah banyak studi
yang mempelajari peran identifikasi kerentanan plak dalam memprediksi kejadian
kardiovaskuler akut, fitur plak rentan hanya memiliki nilai prediktif positif (positive
predictive
13

value/PPV) yang rendah untuk memperkirakan risiko kejadian kardiovaskular mayor di masa
yang akan datang.

2.6 Klasifikasi

Berikut adalah derajat angina berdasarkan Canadian Cardiovascular Society.

Gambar 2.1 Klasifikasi Angina Pektoris

2.7 Diagnosis

Langkah dalam pengobatan penyakit jantung koroner adalah penetapan diagnosis pasti,
apabila diagnosis PJK telah dibuat maka penderitanya mempunyai kemungkinan akan dapat
mengalami kematian mendadak. Dokter harus memilih pemeriksaan apa saja yang perlu
dilakukan terhadap penderita untuk mencapai ketepatan diagnostik yang maksimal dengan
resiko dan biaya yang seminimal mungkin. Berikut ini cara-cara diagnosis PJK :
14

1) Anamnesis
Anamnesis merupakan hal utama yang harus dilaksanakan karena 80% diagnosis masalah
klien dapat ditegakkan dari anamnesis yang cermat dan teratur.
2) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat digunakan sebagai acuan pada PJK adalah denyut jantung,
tekanan darah, suhu tubuh dan kecepatan respirasi.
3) Pemeriksaan jantung non-invasive
Elektrokardiografi (EKG) ialah sarana diagnosis yang penting untuk penyakit jantung
koroner. EKG dapat mendiagnosis kelainan miokard yang disebabkan oleh terganggunya
aliran koroner.
4) Pemeriksaan invasive menentukan anatomi koroner
Arteriografi koroner yaitu untuk menentukan letak dan beratnya stenosis dari pembuluh
darah koroner. Dengan arteriografi koroner, lokasi, beratnya, dan morfologi tempat
penyempitan dapat dianalisis dengan baik, dan hasilnya penting untuk menentukan apakah
pasien membutuhkan bedah pintas atau tindakan intervensi dengan memakai dasar kateter.
5) Foto rontgen dada
Kardiomegali secara keseluruhan dapat ditentukan dengan akurat pada penampakan
frontal dengan mencatat apakah diameter jantung melebihi setengah diameter toraks atau
tidak. Kardiomegali paling sering terlihat karena kardiomiopati iskemik yang mengikuti
infark miokard.

2.8 Diagnosis Banding

APS dapat didiagnosis banding dengan (Nagle, 2016) :

1. Iskemia miokard
Terjadi ketegangan atau tekanan retrosternal; biasanya menyebar ke leher, rahang, atau
bahu dan lengan kiri. Berlangsung beberapa menit (biasanya <10 menit). DIpicu oleh
aktivitas, berkurang dengan istirahat atau nitrogliserin. Pada EKG dijumpai depresi atau
elevasi ST sementara, atau gelombang T mendatar atau terbalik.
15

2. Perikarditis
Nyeri pleuritic yang tajam dan bervariasi menurut posisi; gesekan mungkin ada pada
auskultasi. Bisa bertahan atau berjam-jam hingga berhari-hari. Pada EKG dijumpai elevasi
ST difus dan deviasi PR.
3. Refluks gastroesofageal
Nyeri yang terjadi seperti terbakar pada retrosternal. Dipicu oleh makanan tertentu,
diperburuk oleh posisi terlentang, tidak terpengaruh oleh aktivitas. Diringankan oleh
antasida.
4. Ulkus peptikum
Nyeri seperti rasa terbakar. Terjadi setelah makan, tidak terpengaruh oleh aktivitas.
Diringankan oleh antasida.
5. Spasme esofagus
Nyeri konstan dan dalam di kuadran kanan atas; bisa bertahan sampai berjam-jam.
Disebabkan oleh makanan berlemak, tidak terpengaruh oleh aktivitas. Tidak berkurang
dengan antasida maupun nitrogliserin.
6. Sindrom kostokondral
Nyeri dada diperburuk oleh gerakan dada. Nyeri tekan dirasakan pasien di sambungan
kostokondral saat palpasi. Diredakan dengan obat anti inflamasi.
7. Radikulitis serviks
Sakit konstan atau nyeri tembak, menyebar secara dermatomal dan diperburuk oleh
gerakan leher.

2.9 Komplikasi
Angina tidak stabil dan infark miokard merupakan tanda ketidakstabilan plak
atrosklerotik yang dapat berujung pada kematian (Alaeddini, 2018).

2.10 Tatalaksana
Tujuan tatalaksana adalah untuk mengurangi gejala dam memperbaiki prognosis.
Tatalaksana meliputi non-farmakologi seperti kontrol faktor risiko dengan cara modifikasi
pola hidup, terapi farmakologis dan revaskularisasi (PERKI, 2019).
16

1. Tatalaksana Non-farmakologis
a) Rokok
Berhenti merokok baik secara pasif dan aktif memberikan manfaat terhadap perbaikan
penyakit jantung koroner (PJK). Rokok merupakan prediktor yang kuat atas terjadinya
PJK. Terapi sulih nikotin, bupropion, dan varenicline terbukti aman pada pasien PJK
stabil pada beberapa studi, namun keamanan penggunaan varenicline sempat
dipertanyakan karena berhubungan dengan sedikit peningkatan pada kejadi
kardiovaskular.
b) Diet
Asupan energi harus dibatasi dengan konsumsi diet yang sehat untuk
mempertahankan atau mencapai massa tubuh yang sehat, yaitu <25mg/m 2 sehingga
dapat mengurangi risiko PJK. Konsumsi N-3 Polyunsaturated Fatty Acid (PUFA)
melalui konsumsi ikan dibandingkan dengan supleman makanan memiliki efek yang
menguntungkan untuk menanggulangi faktor risiko PJK, khususnya untuk
menurunkan trigliserida.
c) Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik rutin seperti latihan aerobik dengan intensitas sedang-berat ≥ 3 kali
seminggu dan 30 menit setiap sesi harus diberikan pada pasien dengan riwayat infark
miokard akut (IMA), bedah pintas arteri koroner (BPAK), intervensi koroner perkutan
(IKP), angina pektoris stabil (APS), dan gagal jantung kronis yang stabil.
d) Managemen Massa Tubuh
Penurunan massa tubuh direkomendasikan pada pasien yang berlebih dan obesitas,
untuk mendapatkan beberapa efek seperti penurunan tekanan darah, perbaikan
dislipidemia, dan metabolisme glukosa.
e) Tatalaksana Lipid
Dislipidemia merupakan faktor risiko untuk pasien PJK. Target kadar LDL yang harus
dicapai adalah <70 mg/dL atau penurunan LDL >50% dengan monoterapi statin pada
sebagian pasien.
f) Hipertensi
Tekanan darah yang meningkat merupakan faktor resiko mayor untuk PJK, gagal
jantung, stroke, dan gagal ginjal sehingga pasien APS dengan hipertensi harus
mempertahankan tekanan darah sistolik <140 mmHg dan diastolic <90 mmHg.
17

g) Diabetes dan komorbid lain


Diabetes dapat meningkatkan risiko perburukan PJK dan merupakan faktor risiko kuat
untuk terjadinya komplikasi kardiovaskular. Kontrol gula darah tergantung pada
karakteristik pasien seperti usia, adanya komplikasi, dan durasi terjadinya diabetes.
Target HbA1C yang harus dicapai secara umum <7% dan 6,5%-6,9% untuk dasar tiap
individu. Tatalaksana faktor risiko untuk komorbid lain seperti tatalaksana masa tubuh
sehat, latihan fisik, dan terapi statin direkomendasikan. Target tekanan darah pasien
diabetes dengan PJK adalah <140/85 mmHg.

2. Tatalaksana Farmakologis
Pemberian tatalaksana farmakologis pada pasien APS bertujuan untuk memperbaiki gejala
dan untuk mencegah kejadian kardiovaskular dengan cara menurunkan progresi plak,
menstabilkan plak dengan menurunkan inflamasi dan mencegah trombosis, ruptur plak,
maupun erosi (Nagle, 2016).

a) Nitrat
Nitrat merupakan obat pilihan saat mengalami angina. Obat yang ditempatkan di
bawah lidah ini berfungsi untuk relaksasi otot polos pembuluh darah, dilatasi arteri
koroner dan menurunkan tekanan preload jantung. Selain itu, dapat menurunkan konsumsi
oksigen miokard, sehingga membantu mengembalikan keseimbangan oksigen di jantung
iskemik. Efek samping nitrat yang paling berbahaya antara lain hipotensi dan yang paling
sering adalah sakit kepala.
- Nitrat kerja cepat untuk angina akut. Nitrogliserin sublingual merupakan terapi inisial
standard untuk angina. Ketika gejala angina muncul, pasien harus duduk beristirahat
dan konsumsi nitrogliserin sublingual (0,3-0,6 mg) tiap 5 menit hingga nyeri hilang
dengan maksimal pemberian sebanyak 3 kali atau maksimal 1,2 mg telah dikonsumsi
dalam 15 menit. Nitrogliserin dapat diberikan sebagai profilaksis ketika kemungkinan
akan terjadinya angina, misalnya aktivitas setelah makan, stress emosional, aktivitas
seksual dan dalam cuaca dingin.
- Nitrat kerja panjang untuk profilaksis angina. Penggunaan nitrat jangka panjang
sebagai terapi lini pertama untuk pasien angina perlu di evaluasi kembali karena dapat
terjadi perburukan disfungsi endotel yang merupakan komplikasi potensial dari nitral
jangka panjang. Profilaksis angina yang sering diberikan adalah isosorbit dinitrat
dalam bentuk sediaan oral.
18

b) Beta Blocker

Beta bloker bekerja secara langsung ke jantung dengan cara menurunkan denyut jantung
dan kontraktilitas, sehingga kebutuhan oksigen pada miokard juga berkurang. Beta blocker
dikontraindikasikan pada pasien dengan bradikardia, blok AV, atau memiliki riwayat asma
berat. Beta blocker yang biasa digunakan adalah bisoprolol dengan dosis 1x 5-10 mg, atau
carvedilol 2x25 mg, atau metoprolol 2x50 mg.

c) Calcium channel blockers (CCB)

CCB bekerja secara selektif sebagai penghambat pembukaan kanal kalsium tipe-L pada sel
otot polos dan miokard. CCB dikelompokkan menjadi dihidropiridin (DHP) dan non-
dihidropiridin (non-DHP), yang kerja dari setiap kelompok bervariasi. CCB DHP seperti
nifedipine dan amlodipine merupakan vasodilator kuat yang dapat meredakan iskemia
miokard dengan menurunkan kebutuhan oksigen dan meningkatkan suplai oksigen miokard
melalui dilatasi koroner. Selain itu juga, CCB DHP lebih poten menghilangkan vasospasme
arteri koroner. CCB non-DHP juga bertindak sebagai vasodilator tetapi tidak poten. Meskipun
tidak sepoten DHP, CCB non-DHP seperti verapamil dan diltiazem memiliki efek antianginal
tambahan yang lebih poten yang berasal dari aksi depresan jantung dengan cara mengurangi
kontraktilitas pada ventrikel dan memperlambat denyut jantung. Dengan demikian, verapamil
dan diltiazem juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard melalui mekanisme ini.

Efek samping pada CCB mungkin berhubungan dengan efek hemodinamik yang cepat dan
perubahan tekanan darah yang diinduksi oleh agen short-acting. Oleh karena itu, hanya agen
long-acting (yaitu, preparate yang diminum sekali sehari) yang direkomendasikan dalam
pengobatan angina kronis, tetapi sebagai lini kedua jika gejalanya tidak bisa diringankan oleh
penghambat dan nitrat. Penggunaan CCB dapat dikonsumsi secara tunggal atau
dikombinasikan dengan obat antiangina lain. CCB non-DHP yang dikombinasikan dengan
beta blocker dapat menyebabkan bradikardi yang berlebihan dan memicu gagal jantung pada
pasien dengan disfungsi kontraktil ventrikel kiri.

d) Antiplatelet

Terapi antiplatelet mengurangi risiko sindrom koroner akut pada pasien angina kronis
dengan menurunkan agregrasi platelet dan mencegah pembentukan trombus. Seperti, aspirin
memiliki antitrombotik melalui penghambatan sintesis tromboksan A2, mediator aktivasi dan
19

agregasi trombosit serta sifat anti-inflamasi yang penting dalam menstabilkan plak
ateromatosa. Aspirin digunakan pada semua pasien CAD kecuali ada kontraindikasi misalnya
alergi atau perdarahan lambung. Dosis yang dapat diberikan 1x80-160 mg/hari, diberikan
seumur hidup. Antagonis reseptor ADP platelet P2Y12, seperti clopidogrel, juga mencegah
aktivasi dan agregasi platelet. Clopidogrel dapat digunakan sebagai terapi lini kedua bagi
pasien yang tidak toleran terhadap aspirin. Dosis yang dapat diberikan 1x75 mg/hari,
diberikan seumur hidup.\

e) Lipid-regulating therapy

Terapi pengaturan lipid yang banyak digunakan pada pasien dengan penyakit koroner atau
berisiko CAD adalah statin (HMG CoA reductase inhibitor). Statin merupakan terapi
pengaturan lipid dengan intensitas tinggi yang dapat mereduksi LDL hingga lebih dari 50%,
sesuai dengan target penurunan LDL pada pasien CAD. Statin terbukti dapat menurunkan
infark miokard dan tingkat kematian dengan mengurangi inflamasi vaskular dan memperbaiki
kondisi disfungsi sel endotel sehingga membantu menstabilkan plak aterosklerosis. Golongan
statin yang diberikan dapat berupa simvastatin 1x20-40 mg, atau atorvastatin 1x20-40mg, atau
rosuvastatin 1x10-20 mg.

f) Angiostensin-converting enzyme (ACE) inhibitors

ACE-inhibitor diberikan bila angina pektoris stabil (aps) disertai dengan penyakit penyerta
seperti hipertensi, diabetes, penyakit ginjal kronis, atau pada pasien dengan komplikasi seperti
gagal jantung, pasca infark miokard.

3. Revaskularisasi
Revaskularisasi koroner dilakukan jika gejala angina pasien tidak merespon secara
memadai terhadap terapi obat antiangina, terjadi efek samping obat yang tidak dapat diterima,
atau pasien ditemukan memiliki penyakit koroner berisiko tinggi atau revaskularisasi yang
diketahui meningkatkan kelangsungan hidup. Dua teknik yang digunakan untuk
menyelesaikan revaskularisasi mekanis adalah intervensi koroner perkutan (PCI) dan operasi
cangkok bypass arteri koroner (CABG). PCI mencakup angioplasti koroner transluminal
perkutan (PTCA), prosedur yang dilakukan di bawah fluoroskopi dimana kateter berujung
balon dimasukkan melalui arteri perifer (biasanya femoral, radial, atau brakialis) dan
bermanuver ke dalam segmen stenotik dari pembuluh koroner. Balon di ujung kateter
kemudian dimasukkan dengan tekanan tinggi untuk melebarkan stenosis, setelah itu balon
dikempiskan dan kateter dikeluarkan dari tubuh. Peningkatan ukuran lumen koroner
20

meningkatkan perfusi koroner dan suplai oksigen miokard.


21

Sekitar 1/3 pasien yang menjalani balon angioplasti mengalami gejala berulang dalam
waktu 6 bulan karena restenosis arteri yang melebar dan memerlukan intervensi koroner
tambahan. Untuk alasan ini, stent koroner digunakan pada saat PCI, dan telah terbukti secara
signifikan mengurangi tingkat restenosis. Stent merupakan sebuah logam yang dapat
dimasukkan ke dalam daerah stenosis dengan kateter. Setelah stent dimasukkan, stent
diarahkan ke area yang diperluas dengan pengembangan balon yang bertekanan tinggi. Balon
dan kateter yang terpasang kemudian dilepas, tetapi stent dibiarkan secara permanen di
tempatnya untuk berfungsi sebagai perancah untuk mempertahankan patensi arteri. Karena
stent bersifat trombogenik, diperlukan kombinasi agen antiplatelet oral seperti aspirin
ditambah clopidogrel yang merupakan antagonis reseptor P2Y12 platelet setelah implantasi
stent.

Restenosis akibat recoil elastis pembuluh darah sangat berkurang dengan penempatan stent
logam, proliferasi neointimal (yaitu, migrasi sel otot polos dan produksi matriks ekstraseluler)
tetap menjadi penyebab penting restenosis in-stent dan gejala angina berulang. Untuk
mengatasi masalah tersebut, stent drug-eluting dirancang. Stent khusus ini dilapisi dengan
lapisan polimer yang menggabungkan obat antiproliferatif seperti sirolimus (agen
imunosupresif yang menghambat aktivasi sel T), everolimus (immunosupresif yang mirip
dengan sirolimus), atau paclitaxel (yang mengganggu kerja mikrotubulus seluler) yang
dilepaskan dari stent selama periode 2 sampai 4 minggu. Operasi CABG memerlukan
pencangkokan bagian dari pembuluh darah asli pasien untuk memotong arteri koroner yang
tersumbat. Dua jenis cangkok bedah digunakan. Yang pertama menggunakan vena asli—
biasanya, bagian dari vena safena. Metode kedua menggunakan pencangkokan arteri—paling
sering, arteri mammae interna dari setiap arteri subklavia yang dapat langsung dianastomosis
distal ke situs koroner stenotik (Nagle, 2016).

2.11 Prognosis
Fungsi LV merupakan predikator terkuat dalam indikator prognosis pada pasien dengan
angina pektoris. Prognosis buruk apabila terjadi peningkatan tekanan dan volume akhir
diastolic LV bersama dengan penurunan fraksi ejeksi LV (<40%). Selain itu, lokasi lesi
aterosklerotik dan respons gejala terhadap pengobatan medis juga merupakan indikator
prognosis. Lokasi lesi aterosklerotik pada arteri koroner desendens anterior kiri utama
dan kiri proksimal lebih berisiko (Alaeddini, 2018).
22
23

BAB 3

KESIMPULAN

Angina pektoris merupakan suatu kondisi berupa rasa tidak nyaman pada dada atau nyeri
dada akibat penyakit jantung koroner. Kondisi ini terjadi ketika jantung mengalami
kekurangan oksigen akibat pembuluh darah arteri pada jantung mengalami penyempitan atau
tersumbat. Kondisi ini disebut dengan iskemia. Angina Pektoris Stabil terjadi ketika otot
jantung tidak mendapatkan oksigen yang dibutuhkannya untuk berfungsi dengan baik. Jantung
Anda bekerja lebih keras ketika Anda berolahraga atau mengalami stres emosional.

Faktor-faktor tertentu, seperti penyempitan arteri (aterosklerosis), dapat mencegah jantung


menerima lebih banyak oksigen. Untuk menegakkan Klasifikasi Derajat Angina pada Angina
Pektoris Stabil dapat dinilai berdasarkan Canadian Cardiovascular Society. Dalam penegakan
diagnosa dan tatalaksana awal sangat penting terhadap Angina Pektoris Stabil. Pencegahan
terhadap faktor risiko terjadinya angina pekrotis stabil lebih penting dilakukan dan sebaiknya
dimulai pada usia muda seperti menghindarkan kegemukan, menghindarkan stress, diet rendah
lemak, aktifitas fisik yang tidak berlebihan dan tidak merokok.
24

DAFTAR PUSTAKA

AHA . (2015, Juli 31). heart.org. Retrieved from American Heart Association:
https://www.heart.org/en/health-topics/heart-attack/angina-chest-pain/angina-pectoris-
stable-angina

ERICA ROTH. (2018, 9 29). healthline. Retrieved from


healthline.com: https://www.healthline.com/health/stable-
angina

ESC. (2013). European Society Cardiology. ESC Guideline, 2956. Retrieved from
academic.oup.com: https://academic.oup.com/eurheartj/issue/34/38

Infodatin. (2014). pusat data dan informasi kementrian kesehatan RI. Jakarta: KEMENKES.

KEMENKES. (2006). PHARMACEUTICAL CARE UNTUK PASIEN PENYAKIT


JANTUNG KORONER: FOKUS SINDROMA KORONER AKUT. Kemenkes, 7.
Retrieved
fromhttp://pio.binfar.kemkes.go.id/PIOPdf/SINDROM_KORONER_AKUT.pdf

RISKESDAS 2013. (2013). Riset Kesehatan Dasar 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013, 90.
Retrieved from https://www.academia.edu/12558819/Hasil_Riskesdas_2013

Suyud. (2019, Juli 29). DEPKES. Retrieved from DEPKES.org:


https://www.depkes.org/blog/angina-pektoris/

Alaeddini, J. (2018) Angina Pectoris: Practice Essentials, Background, Pathophysiology.


Available at: https://emedicine.medscape.com/article/150215-overview#a1 (Accessed:
19 June 2022).

Nagle, R. E. (2016) Pathophysiology of Heart Disease, Postgraduate Medical Journal. doi:


10.1136/pgmj.64.757.910-a.

PERKI (2019) ‘Panduan evaluasi dan tatalaksana angina pektoris stabil’, 59.

Peña-Duque MA, Romero-Ibarra JL, Gaxiola-Macías MBA, Arias-Sánchez EA. Coronary


Atherosclerosis and Interventional Cardiology. Arch Med Res. 2015;46(5):372–8.

Douglas G, Channon KM. The pathogenesis of atherosclerosis. Medicine (Baltimore). 2010;


25

38(8):397–402. http://dx.doi.org/10.1016/j.mpmed.2014.06.011

Wang T, Butany J. Pathogenesis of atherosclerosis. Diagnostic Histopathol. 2017; 23(11):473–


8. https://doi.org/10.1016/j.mpdhp.2017.11.009

Stefanadis C, Antoniou C, Tsiachris D, Pietri P. Coronary Atherosclerotic Vulnerable Plaque:


Current Perspectives. J Am Heart Assoc. 2017; 6(3):e005543.
http://jaha.ahajournals.org/lookup/doi/10.1161/JAHA.117.005543

Calvert PA, Obaid DR, O’Sullivan M, Shapiro LM, McNab D, Densem CG, et al.
Association between IVUS findings and adverse outcomes in patients with coronary artery
disease: the VIVA (VH-IVUS in Vulnerable Atherosclerosis) Study. JACC Cardiovasc
Imaging . 2011;4(8):894–901. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21835382

Cheng JM, Garcia-Garcia HM, de Boer SPM, Kardys I, Heo JH, Akkerhuis KM, et al. In
vivo detection of high-risk coronary plaques by radiofrequency intravascular ultrasound and
cardiovascular outcome: results of the ATHEROREMO-IVUS study. Eur Heart J.
2014;35(10):639–47. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24255128

Pozo E, Agudo-Quilez P, Rojas-González A, Alvarado T, Olivera MJ, Jiménez-Borreguero


LJ, et al. Noninvasive diagnosis of vulnerable coronary plaque. World J Cardiol.
2016;8(9):520. http://www.wjgnet.com/1949-8462/full/v8/i9/520.htm

Rodriguez-Granillo GA, Carrascosa P, Bruining N, Waksman R, Garcia-Garcia HM.


Defining the non-vulnerable and vulnerable patients with computed tomography coronary
angiography: Evaluation of atherosclerotic plaque burden and composition.

Hj. Sumiati, SKp. Msi, Dr. Hj. Rustika, SKM, MSi, Heni Nurhaeni, SKp, Mumpuni, SKp.
M.Biomed. Penanganan Stress pada Penyakit Jantung Koroner. Jakarta: CV Trans Info
Media, 2010. Text.

Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth (8 ed.). Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai