Penyusun :
Ganang Wirabhumi Nandiwardhana
Pembimbing :
dr Harancang Pandih Kahayana Sp. A
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nya
yang begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan referat yang
berjudul Extended spectrum beta-lactamases tepat pada waktunya.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian referat ini,
terutama kepada dr. Harancang Pandih Kahayana Sp. A selaku pembimbing yang
telah memberikan waktu dan bimbingannya sehingga referat ini dapat
terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan referat ini masih banyak
kekurangan, oleh karena itu, segala kritik dan saran dari semua pihak yang
membangun guna menyempurnakan referat ini sangat penulis harapkan. Demikian
yang penulis dapat sampaikan, semoga referat ini dapat bermanfaat dalam bidang
kedokteran, khususnya untuk bidang kesehatan mata.
2
Lembar Pengesahan
Pembimbing
3
DAFTAR ISI
HALAMAN
KATA PENGANTAR ..............................................................................................1
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................6
2.1 Definisi..........................................................................................6
2.2 Epidemiologi.................................................................................6
2.3 Patofisiologi..................................................................................8
2.3 Klasifikasi...................................................................................10
2.3 Faktor risiko................................................................................13
2.3 Penegakan diagnosis...................................................................13
2.3 Tatalaksana..................................................................................16
2.4 Pencegahan.................................................................................17
2.5 Prognosis.....................................................................................17
...............................................................................................................
BAB III KESIMPULAN........................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................20
4
BAB I
PENDAHULUAN
5
refrat ini. Refrat yang berjudul “Extended spectrum beta-lactamases” diharapkan
dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Extended spectrum beta-lactamases (ESBL) dapat diartikan sebagai tipe
enzim yang diproduksi oleh bakteri tertentu yang dapat menghidrolisis antibiotik
beta-lactamase. Dikarenakan hal tsb enzim yang di produksi efektif melawan
antibitoik beta-lactam seperti penicillin, cephalosporin generasi I, II, III dan
monobactam khususnya aztreonam (kecuali cephamycin dan carbapenam).1,2
Hal yang bertanggung jawab dalam proses tsb adalah enzim TEM dan
SHV. Tersering ESBL terletak pada plasmid dan dapat dipindahkan melalui strain
ke strain diantara spesies bakteri. Sampai sekarang prevalensi ESBL masih belum
dapat dipastikan secara pasti, namun jelas terjadi peningkatkan, dan dari beberapa
bagian dunia 10-40% strain dari Escheria Coli dan Klebsiella pneumonia
mengekspreksikan ESBL.3
6
2.2 Epidemiologi
Epidemiologi dari ESBL dapat dikatakan cukup kompleks. Terdapat
beberapa faktor yang dapat dipertimbangkan, luasnya area geografi, Negara,
Rumah Sakit, komunitas, dan host (dalam kasus tersering pasien tunggal/carier
sehat). Secara lanjut, terdapat bakteri (E.coli lebih endemik, dan K. Pneumoniae
lebih epidemik) dan plasmid sebagai elemen genetik yang dapat berpindah.
Sebagai tambahan, terdapat beberapa reservoir, termasuk lingkungan (tanah dan
air), hewan liar, hewan ternak, dan hewan peliharaan. Komponen terakhir adalah
keterlibatan transmisi dari makanan dan air minum, dan kontak secara langsung
ataupun tidak langsung (orang ke orang).4
Penyebaran bakteri penghasil ESBL memiliki kecenderungan lebih tinggi
pada Negara berkembang dan Negara yang memiliki penghasilan rendah dalam
segi ekonomi. Negara dengan berpenghasilan rendah cenderung memiliki
gambaran : penuh/ ramainya pasien serta pengunjung RS, kecenderungan untuk
mengobati diri sendiri, kebebasan dalam pembelian antibiotik, rendahnya
kebersihan secara umum dan khusunya di RS, dan kurang efektifnya pengendalian
infeksi yang ada.4
Dalam beberapa dekade terakhir infeksi yang diakibatkan oleh bakteri
penghasil ESBL meningkat secara global. Khusunya untuk Asia beberapa peneliti
selama sepuluh tahun terakhir menggambarkan bahwa terjadi peningatakan yang
sangat pesat dari resistensi antibiotik dan juga prevalensi bentuk kuman/tipe
enzim ESBL.1
Luvsansharav dkk mengemukakan pada penilitian yang dilakukan di
Thailand pada tahun 2009, berdasarkan hasil analisis feses relawan sehat
menunjukan hasil bahwa 30-50% dari subjek penelitiannya merupakan pembawa
bakteri penghasil ESBL tipe CTX-M.4
Di Indonesia sendiri, khusunya pada RSUP Dr. Kariadi semarang, selama
kurun waktu 2004-2005 didapatkan proporsi bakteri pengasil ESBL sebesar
7
50,6% berdasarkan tes skrining awal. Hal ini menngakibatkan dampak begitu
besar pada pasien karena pilihan terapi untuk bakteri penghasil ESBL akan
semakin sempit dan meningkatkan angka mortalitas yang lebih tinggi khusunya
pada pasien rawat inap.2
2.3 Patofisiologi
Resistensi bakteri terhadap antibiotika dapat melalui proses intrinsik dan
innate. Resistensi yang didapat (acquired resistance) terjadi melalui cara i)
Akuisis gen eksogen oleh plasmid (konjusi atau transformasi), transposons
(konjugasi), integrons dan bakteriofage (tansduksi), ii) mutasi gen seluler dan iii)
kombinasi semua mekanisme di atas.5
Mutasi spontan, merupakan mutasi kromosomal yang jarang terjadi.
Mutasi ini terjadi karena kegagalan replikasi atau kesalahan reparasi DNA yang
rusak. Resistensi antibiotic gollongan kuinolon pada E. coli terjadi perubahan
pada ketujuh asam amino pada gen gyrA atau perubahan pada ketiga asam amino
pada gen parC. Uptake antibiotic atau sistem efluks dapat dipengaruhi oleh
mutasi.5
Mutagenesis adaptif. Hampir seluruh mutasi terjadi pada sel yang sedang
membelah. Namun, dapat juga terjadi pada sel yang tidak membelah atau sel yang
membelah secara lambat. Mutasi hanya bisa terjadi pada mikroorganisme
nonlethal. Misalnya pada antibiotic streptomisin menyebabkan terbentuknya
fenotip yang hipermutable pada E. coli dan beberapa antibiotik (kuinolon) dapat
menginduksi peningatan resistensi antibiotic.6
8
ditransfer melaui 3 cara yaitu melalui transduksi (via bakterifage dan integrons),
konjugasi (via plasmid dan transposon), dan transformasi ( via inkorporasi DNA
kromosomal, plasmid kedalam kromosom).5
9
resisten mecA. Gen mecA mengkode pembentukan PBP2a yang merupakan
penicillin binding protein yang baru. Dimana pembentukan PBP2a ini
menyebabkan B-lactam tidak bisa berikatan dengan protein pada dinding sel
sehingga terjadi resistensi.7
4) Pompa efluks
Pompa eflux merupakan suatu protein membrane yang berfungsi mengekspor
antibiotik dari dalam sel agar konsentrasi antibiotik di dalam sel tetap
rendah.Berkurangny permeabilitas membrane menyebabkan berkurangnya
uptake antibiotic oleh pompa eflux. Komponen tunggal dari sistem efluks
mentransfer susbstansi melalui membrane sitoplasma. Pompa multi komponen
ditemukan pada bakteri gram negative dan berfungsi untuk membawa substrat
kea rah membrane sel. Pada bakteri yang resisten terhadap antibiotic (mis.
Tetracyclin) terdapat peningkatan pembentukan protein membrane yang
berfungsi untuk menurunkan konsentrasi antibiotic pada sitoplasma. Pada P.
aeruginosa terdapat >4 pompa efluks.8
10
dan kelas B adalah metallo-beta-lactamase), dan klasifikasi Bush-Jacoby-
Medeiros dibuat berdasarkan substrat dan profil inhibitor.9,10
1) Tipe SHV
B-Lactamase tipe SHV merupakan derivate dari klebsiella spp. Progenitor dari
SHV ini secara universal ditemukan pada Klebsiella pneumonia. SHV-1
resisten terhadap penisikin spektrun luas seperti ampisilin, tigesiklin dan
piperacilin. SHV-1 beta-lactamase bertanggung jawab atas 20% angka
resistensi plasmid-mediated ampicillin pada spesies K. Pneumoniae.
2) Tipe TEM
TEM-1 pertama kali ditemukan pada Escherichia coli. TEM-1 bekerja dengan
cara menghidrosilasi penisilin dan sefalosporin generasi pertama namun tidak
dapat menyerang sefalosporin oxyimino. TEM-3 merupakan TEM-type B-
lactamase pertama yang menunjukkan fenotip ESBL.
3) Tipe CTX
4) Tipe OXA
5) Tipe PER
11
ditemukan pada biakan P. aeruginosa dan sekarang dapat ditemukan pada
biakan S. enterica serovar Typhimurium dan Acinetobacter. PER-2 dapat
ditemukan pada biakan S. Enterica serovar Typhimurium, E. coli, K.
pneumonia, Proteus mirabilis dan Vibrio cholera.
6) Tipe GES
Tipe ini pertamakali ditemukan pada bakteri P. aeruginosa pada pasien pediatri
di perancis. GES-1 berperan dalam aktivitasi hidrolisis penisilin dan
extendend-spectrum sefalosporin, namun tidak dapat menghidrolisis
cephamisin atau karbapenem dan dapat diinhibisi dengan inhibitor b-
lactamase.
12
Gambar 4. Klasifikasi Extended spectrum beta-lactamases9,10
13
Infeksi saluran kemih merupakan faktor risiko infeksi ESBL. Infeksi saluran
kemih sering terjadi pada pasien dengan inkontinensia, gangguan neurologis,
gangguan kognitif, nutrisi yang kurang dan pada individu dengan imunosupresi.
Mikroorganisme yang resistenn sering ditemukan pada pasien yang sering dirawat
dirumah sakit atau dirawat dalam jangka waktu panjang, dan pada individu yang
mendapatkan perawatan pada suatu institusi dalam jangka panjang.Bakteri ESBL
berhubungan dengan beberapa faktor risiko, yaitu riwayat penggunaan antibiotic,
riwayat perawatan di rumah sakit, perawatan di ICU, penyakit kronik, nasogastric
tubes, operasi abdomen, kateterisasi urin dan usia.11
2.6 Penegakan diagnosis
Penegakan diagnosis ESBL di laboratorium mikrobiologi bukan hal yang
mudah, karena meskipun mikroorganisme ESBL akan resisten terhadap minimal
salah satu antibiotik golongan sefalosporin generasi III maupun aztreonam, namun
minimum inhibitory concentration (MIC) pada interpretasi bedasarkan National
Committe for Clinical Laboratory Standards (NCCLS) tidak memberikan hasil
konsentrasi cukup tinggi untuk diklasifikasikan sebagai resistensi.12
Deteksi bakteri ESBL dikatakan positif jika konsentrasi pertumbuhan
bakteri 1 mikrogram/ml pada antibiotic sefalosporin generasi III
( Ceftazidime,ceftriaxone dan cefotaxime) atau aztreonam, atau pertumbuhan
bakteri 4 mikrogram/ml pada antibiotika cefpodoxime. Penggunaan lebih dari 1
agen antibiotika akan meningkatkan sensitivitas hasil pemeriksaan. Tes fenotipic
dilakukan dengan cara penambahan asam klavulanat pada ceftazidime dan
cefotaxime, jika terjadi peningkatan zona diameter ≥5 mm pada anti mikroba
dengan kombinasi asam klavulanat dibandingkan dengan antimikroba tanpa asam
klavulanat maka hasil test fenotipik dikatakan positif ESBL.12
14
Gambar 5. Tes fenotipik pada Ceftazidime dan cefotaxime
15
diletakkan 3 mm dari tepi celah. Zona distorsi pada daerah dekat goresan
menandakan tes yang positif. 12
2.6 Penatalaksanaan
2.6.2 Medikamentosa
Pemilihan obat utama untuk pasien kritis dengan infeksi kuman ESBL
adalah dengan antibiotik karbapenem, karena terapi menggunakan antibiotik ini
16
menunjukkan kegagalan terapi yang minimal, dan angka mortalitas juga
berkurang dengan pemberian karbapenem. Carbapenem, seperti
imipenem,meropenem dan doripenem merupakan terapi empiris pada infeksi
nosokomial yang disebabkan ESBL. Antibiotika yang sering digunakan adalah
meropenem dengan dosis 500 mg intravena 3 kali dalam sehari. Namun akibat
seringnya penggunaan anti mikroba golongan carbapenem resistensi terhadap
antibiotika ini mulai meningkat. Oleh karena itu untuk mengurangi resistensi
terhadap meropenem digunakan kombinasi antibiotika BL/BLI seperti
amoxicillin-clavulanate (AMC) atau piperacilin-tazobactam (PTZ) dapat
digunakan untuk mengatasi infeksi ESBL.13
17
untuk terapi ESBL. Pemberian antibiotik golongan sefalosporin dan
fluoroquinolon harus dihindari meskipun dalam pemeriksaan kedua golongan obat
tersebut masih meunjukkan sensitivitas.14
2.7 Pencegahan
Strategi untuk mencegah dan mengontrol infeksi bakteri ESBL mencakup
beberapa faktor, yaitu:
1) Mencuci tangan secara efektif sebelum dan sesudah kontak dengan satu
pasien, hal ini diangkap dapat mengurangi penularan
2) Pemberian antibiotik sesuai indikasi
3) Penggunaan alat pelindung diri (APD) pada petugas kesehatan yang berisiko
terkena darah atau cairan tubuh
4) Membersihkan dan dekontaminasi peralatan yang telah digunakan
Pasien dengan hasil ESBL yang positif harus di periksa untuk mencari
faktor risiko ESBL. Hal ini harus dilakkan secepatnya. Faktor risiko tersebut
adalah kateterisasi urin, inkontinensia urin,inkontinensia fecal, luka terbuka yang
mengandung eksudat, batuk yang produktif, dan penggunaan iv line. Jika pasien
memiliki faktor risiko di atas dan hasil ESBL positif maka pasien harus diisolasi
namun bila pasien tidak memiliki faktor risiko diatas maka pasien dapat dirawat di
ruang biasa dengan standar perawatan.14
2.8 Prognosis
Angka mortalitas yang tinggi sebesar 38% pada pasien dengan kegagalan
pemberian antimikroba yang adekuat dalam 72 jam pertama munculnya infeksi.
Penelitian menunjukkan bahwa pemberian antibiotik yang tidak adekuat dan
terlambatnya pemberian antibiotika > 72 jam setelah diagnosis akan
menimbulkan terjadinya resistensi ceftazidime dan merupakan penyebab
kematian. Kegagalan terapi yang minimal dilaporkan pada pasien yang menerima
terapi karbapenem.15
Pada infeksi bakteri yang berat, terapi dapat gagal meskipun telah
digunakan masih sensitif. Pada infeksi yang berat kematian sebanyak 18,5%
meskipun dengan terapi yang adekuat. Faktor lain yang mempengaruhi mortalitas
adalah kegagalan dalam mencari fokus infeksi. Dimana jika fokus infeksi berada
18
pada sistem urinarius maka outcome yang baik dapat diperoleh karena konsentrasi
antibiotik pada urin lebih tinggi daripada konsentrasi antibiotik di darah.15
19
BAB III
KESIMPULAN
20
DAFTAR PUSTAKA
21
11. Fircanis A, McKay M. Recognition and management of xteneded
spectrum Beta-lactamase Producing Organisms (ESBL). The Warren
Alpert Medical School of Brown University. 2010; 93(5)
12. Rupp ME, Fey PD. Extended Spectrum β-Lactamase (ESBL)-Producing
Enterobacteriaceae Considerations for Diagnosis, Prevention and Drug
Treatment. Adis International Limited. 2003; 63 (4)
22