Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

EXTENDED SPECTRUM BETA-LACTAMASES

Penyusun :
Ganang Wirabhumi Nandiwardhana

Pembimbing :
dr Harancang Pandih Kahayana Sp. A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MATA


RUMAH SAKIT UMUM
PERIODE
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nya
yang begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan referat yang
berjudul Extended spectrum beta-lactamases tepat pada waktunya.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian referat ini,
terutama kepada dr. Harancang Pandih Kahayana Sp. A selaku pembimbing yang
telah memberikan waktu dan bimbingannya sehingga referat ini dapat
terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan referat ini masih banyak
kekurangan, oleh karena itu, segala kritik dan saran dari semua pihak yang
membangun guna menyempurnakan referat ini sangat penulis harapkan. Demikian
yang penulis dapat sampaikan, semoga referat ini dapat bermanfaat dalam bidang
kedokteran, khususnya untuk bidang kesehatan mata.

Jakarta, 26 Desember 2017

2
Lembar Pengesahan

Referat yang berjudul :

“Extended spectrum beta-lactamase”

Yang disusun oleh

Ganang Wirabhumi Nandiwardhana

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing:

dr Harancang Pandih Kahayana Sp. A

Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD K.R.M.T Wongsonegoro

Periode 11 desember 2017 – 17 febuari 2018

Jakarta, 26 Desember 2017

Pembimbing

dr. Harancang Pandih Kahayana Sp. A

3
DAFTAR ISI

HALAMAN
KATA PENGANTAR ..............................................................................................1
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................6
2.1 Definisi..........................................................................................6
2.2 Epidemiologi.................................................................................6
2.3 Patofisiologi..................................................................................8
2.3 Klasifikasi...................................................................................10
2.3 Faktor risiko................................................................................13
2.3 Penegakan diagnosis...................................................................13
2.3 Tatalaksana..................................................................................16
2.4 Pencegahan.................................................................................17
2.5 Prognosis.....................................................................................17
...............................................................................................................
BAB III KESIMPULAN........................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................20

4
BAB I
PENDAHULUAN

Extended spectrum beta-lactamase (ESBL) dapat diartikan sebagai tipe


enzim yang diproduksi oleh bakteri tertentu yang dapat menghidrolisis antibiotik
beta-lactamase. Dikarenakan hal tsb enzim yang di produksi efektif melawan
antibitoik beta-lactam seperti penicillin, cephalosporin generasi I, II, III dan
monobactam khususnya aztreonam (kecuali cephamycin dan carbapenam).1,2
ESBL dapat ditemukan pada bakteri gram negatif, khususnya
enterobacteriacea dan pseudomonas aeruginosa. ESBL memiliki variasi dalam
tipe atau bentuknya, TEM-1 beta-lactamase merupakan bentuk terpenting yang
memiliki prevalensi tertinggi. Telah diestimasikan bahwa lebih dari 90% kasus
resistensi ampicillin dikarenakan bakteri E. coli yang mempunyai relasi dengan
TEM-1 beta-lactamase.1
Dalam beberapa dekade terakhir infeksi yang diakibatkan oleh bakteri
penghasil ESBL meningkat secara global. Khusunya untuk Asia beberapa peneliti
selama sepuluh tahun terakhir menggambarkan bahwa terjadi peningatakan yang
sangat cepat dari resistensi antibiotik dan juga prevalensi bentuk kuman penghasil
ESBL.1
Di Indonesia sendiri, khusunya pada RSUP Dr. Kariadi semarang, selama
kurun waktu 2004-2005 didapatkan proporsi bakteri pengasil ESBL sebesar
50,6% berdasarkan tes skrining awal. Hal ini menngakibatkan dampak begitu
besar pada pasien karena pilihan terapi untuk bakteri penghasil ESBL akan
semakin sempit dan meningkatkan angka mortalitas yang lebih tinggi khusunya
pada pasien rawat inap.2
Pemahaman komprehensif mengenai ESBL sebagai petugas kesehatan
menjadi sebuah kunci dalam menurunkan angka morbiditas, mortalitas, dan
prevalensi kasus ini. Maka dari itu hal tsb juga menjadi sebuah alasan dibuatnya

5
refrat ini. Refrat yang berjudul “Extended spectrum beta-lactamases” diharapkan
dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Extended spectrum beta-lactamases (ESBL) dapat diartikan sebagai tipe
enzim yang diproduksi oleh bakteri tertentu yang dapat menghidrolisis antibiotik
beta-lactamase. Dikarenakan hal tsb enzim yang di produksi efektif melawan
antibitoik beta-lactam seperti penicillin, cephalosporin generasi I, II, III dan
monobactam khususnya aztreonam (kecuali cephamycin dan carbapenam).1,2
Hal yang bertanggung jawab dalam proses tsb adalah enzim TEM dan
SHV. Tersering ESBL terletak pada plasmid dan dapat dipindahkan melalui strain
ke strain diantara spesies bakteri. Sampai sekarang prevalensi ESBL masih belum
dapat dipastikan secara pasti, namun jelas terjadi peningkatkan, dan dari beberapa
bagian dunia 10-40% strain dari Escheria Coli dan Klebsiella pneumonia
mengekspreksikan ESBL.3

Gambar 1. Extended spectrum beta-lactamases (ESBL)

6
2.2 Epidemiologi
Epidemiologi dari ESBL dapat dikatakan cukup kompleks. Terdapat
beberapa faktor yang dapat dipertimbangkan, luasnya area geografi, Negara,
Rumah Sakit, komunitas, dan host (dalam kasus tersering pasien tunggal/carier
sehat). Secara lanjut, terdapat bakteri (E.coli lebih endemik, dan K. Pneumoniae
lebih epidemik) dan plasmid sebagai elemen genetik yang dapat berpindah.
Sebagai tambahan, terdapat beberapa reservoir, termasuk lingkungan (tanah dan
air), hewan liar, hewan ternak, dan hewan peliharaan. Komponen terakhir adalah
keterlibatan transmisi dari makanan dan air minum, dan kontak secara langsung
ataupun tidak langsung (orang ke orang).4
Penyebaran bakteri penghasil ESBL memiliki kecenderungan lebih tinggi
pada Negara berkembang dan Negara yang memiliki penghasilan rendah dalam
segi ekonomi. Negara dengan berpenghasilan rendah cenderung memiliki
gambaran : penuh/ ramainya pasien serta pengunjung RS, kecenderungan untuk
mengobati diri sendiri, kebebasan dalam pembelian antibiotik, rendahnya
kebersihan secara umum dan khusunya di RS, dan kurang efektifnya pengendalian
infeksi yang ada.4
Dalam beberapa dekade terakhir infeksi yang diakibatkan oleh bakteri
penghasil ESBL meningkat secara global. Khusunya untuk Asia beberapa peneliti
selama sepuluh tahun terakhir menggambarkan bahwa terjadi peningatakan yang
sangat pesat dari resistensi antibiotik dan juga prevalensi bentuk kuman/tipe
enzim ESBL.1
Luvsansharav dkk mengemukakan pada penilitian yang dilakukan di
Thailand pada tahun 2009, berdasarkan hasil analisis feses relawan sehat
menunjukan hasil bahwa 30-50% dari subjek penelitiannya merupakan pembawa
bakteri penghasil ESBL tipe CTX-M.4
Di Indonesia sendiri, khusunya pada RSUP Dr. Kariadi semarang, selama
kurun waktu 2004-2005 didapatkan proporsi bakteri pengasil ESBL sebesar

7
50,6% berdasarkan tes skrining awal. Hal ini menngakibatkan dampak begitu
besar pada pasien karena pilihan terapi untuk bakteri penghasil ESBL akan
semakin sempit dan meningkatkan angka mortalitas yang lebih tinggi khusunya
pada pasien rawat inap.2

2.3 Patofisiologi
Resistensi bakteri terhadap antibiotika dapat melalui proses intrinsik dan
innate. Resistensi yang didapat (acquired resistance) terjadi melalui cara i)
Akuisis gen eksogen oleh plasmid (konjusi atau transformasi), transposons
(konjugasi), integrons dan bakteriofage (tansduksi), ii) mutasi gen seluler dan iii)
kombinasi semua mekanisme di atas.5
Mutasi spontan, merupakan mutasi kromosomal yang jarang terjadi.
Mutasi ini terjadi karena kegagalan replikasi atau kesalahan reparasi DNA yang
rusak. Resistensi antibiotic gollongan kuinolon pada E. coli terjadi perubahan
pada ketujuh asam amino pada gen gyrA atau perubahan pada ketiga asam amino
pada gen parC. Uptake antibiotic atau sistem efluks dapat dipengaruhi oleh
mutasi.5

Hypermutator paling banyak ditemukan pada populasi bakteri E. coli, S.


enterica, Neisseria meningitides (N. meningitides), H. influenzae, S. aureus,
Helicobacter pylori (H.pylori), Streptococcus pneumoniae (S.pneumoniae), and P.
aeruginosa.5

Mutagenesis adaptif. Hampir seluruh mutasi terjadi pada sel yang sedang
membelah. Namun, dapat juga terjadi pada sel yang tidak membelah atau sel yang
membelah secara lambat. Mutasi hanya bisa terjadi pada mikroorganisme
nonlethal. Misalnya pada antibiotic streptomisin menyebabkan terbentuknya
fenotip yang hipermutable pada E. coli dan beberapa antibiotik (kuinolon) dapat
menginduksi peningatan resistensi antibiotic.6

Transfer gen horizontal, merupakan mekanisme resistensi dengan cara


transfer gen resisten dari satu bakteri ke bakteri lainnya. Mekanisme utama
transfer gen ini adalah transfer plasmid dan transfer free DNA. Gen dapat

8
ditransfer melaui 3 cara yaitu melalui transduksi (via bakterifage dan integrons),
konjugasi (via plasmid dan transposon), dan transformasi ( via inkorporasi DNA
kromosomal, plasmid kedalam kromosom).5

Gambar 2. Mekanisme transfer gen horizontal

Mekanisme resistensi terhadap penisilin dan anetibiotik beta-lactam lainnya dapat


melalui 4 cara, yaitu:
1) Inaktivasi antibiotik dengan enzim beta-lactamase
Inaktivasi antibiotik melalui proses hidrolisis oleh enzim beta-lactamase.
Terdapat 300 jenis enzim beta-lactamase yang berbeda dan yang paling
penting adalah keberadaannya pada bakteri gram negative, enzim ini di
dikodekan di dalam kromosom dan plasmid. Beta-lactamase menghidrolisis
antibiotik beta lactam yang memiliki ikatan ester dan amine.5
2) Modifikasi target
Interaksi antara antibiotic dan target molekul merupakan hubungan yang
sangat spesifik sehongga perubahan kecil pada molekul target dapat
mempengaruhi pengikatan antibiotic pada sel target.5
3) Perubahan struktur proteoglikan
Inhibisi sintesis dinding sel bakteri dilakukan oleh beta-lactam
(Penisilin,sefalosporin,carbapenem,monobaktam dan glikopeptida). Mutasi
pada penicillin binding protein (PBP) menyebabkan menurunnya afinitas
terhadap antibiotic beta-laktam. Misalnya pada S. aureus dimana terdapat gen

9
resisten mecA. Gen mecA mengkode pembentukan PBP2a yang merupakan
penicillin binding protein yang baru. Dimana pembentukan PBP2a ini
menyebabkan B-lactam tidak bisa berikatan dengan protein pada dinding sel
sehingga terjadi resistensi.7
4) Pompa efluks
Pompa eflux merupakan suatu protein membrane yang berfungsi mengekspor
antibiotik dari dalam sel agar konsentrasi antibiotik di dalam sel tetap
rendah.Berkurangny permeabilitas membrane menyebabkan berkurangnya
uptake antibiotic oleh pompa eflux. Komponen tunggal dari sistem efluks
mentransfer susbstansi melalui membrane sitoplasma. Pompa multi komponen
ditemukan pada bakteri gram negative dan berfungsi untuk membawa substrat
kea rah membrane sel. Pada bakteri yang resisten terhadap antibiotic (mis.
Tetracyclin) terdapat peningkatan pembentukan protein membrane yang
berfungsi untuk menurunkan konsentrasi antibiotic pada sitoplasma. Pada P.
aeruginosa terdapat >4 pompa efluks.8

Gambar 3. Sistem pompa efluks

2.4 Gambaran klinis dan klasifikasi


Secara umum klasifikasi ESBL dibagi menjadi 2 skema umum yaitu,
berdasarkan klasifikasi The Ambler, yang mengklasifikasikan ESBL berdasarkan
Homologi protein ( Betalactamase kelas A,C dan D adalah serine beta-lactamase

10
dan kelas B adalah metallo-beta-lactamase), dan klasifikasi Bush-Jacoby-
Medeiros dibuat berdasarkan substrat dan profil inhibitor.9,10

1) Tipe SHV

B-Lactamase tipe SHV merupakan derivate dari klebsiella spp. Progenitor dari
SHV ini secara universal ditemukan pada Klebsiella pneumonia. SHV-1
resisten terhadap penisikin spektrun luas seperti ampisilin, tigesiklin dan
piperacilin. SHV-1 beta-lactamase bertanggung jawab atas 20% angka
resistensi plasmid-mediated ampicillin pada spesies K. Pneumoniae.

2) Tipe TEM

TEM-1 pertama kali ditemukan pada Escherichia coli. TEM-1 bekerja dengan
cara menghidrosilasi penisilin dan sefalosporin generasi pertama namun tidak
dapat menyerang sefalosporin oxyimino. TEM-3 merupakan TEM-type B-
lactamase pertama yang menunjukkan fenotip ESBL.

3) Tipe CTX

Merupakan famili beta-lactamase yang menghidrolisis antibiotika cefotaxime.


Tipe ini dapat ditemukan pada Salmonella enterica, Typhimurium, E. Coli dan
spesies enterobecateriaceae lainnya. Enzim ini dapat dihambat dengan baik
dengan pemberian inhibitor beta-lactamase seperti tazobactam

4) Tipe OXA

Tipe ini memiliki kemampuan uuntuk menghidroksilasi cloxacillin dan


oxacillin > 50%. Tipe ini banyak ditemukan pada bakteri Psudomonas
aeruginosa namun dapat juga ditemukan pada bakteri lain, misalnya pada E
coli ditemukan sebanyak 1-10%

5) Tipe PER

PER-1 menghidroksilasi antibiotic golongan penisilin dan sefalosporin namun


rentan pada pemberian inhibitor asam clavulanat. Tipe enzim ini pertama kali

11
ditemukan pada biakan P. aeruginosa dan sekarang dapat ditemukan pada
biakan S. enterica serovar Typhimurium dan Acinetobacter. PER-2 dapat
ditemukan pada biakan S. Enterica serovar Typhimurium, E. coli, K.
pneumonia, Proteus mirabilis dan Vibrio cholera.

6) Tipe GES

Tipe ini pertamakali ditemukan pada bakteri P. aeruginosa pada pasien pediatri
di perancis. GES-1 berperan dalam aktivitasi hidrolisis penisilin dan
extendend-spectrum sefalosporin, namun tidak dapat menghidrolisis
cephamisin atau karbapenem dan dapat diinhibisi dengan inhibitor b-
lactamase.

7) Tipe VEB-1, BES-1 dan tipe lainnya

12
Gambar 4. Klasifikasi Extended spectrum beta-lactamases9,10

2.5 Faktor Risiko

13
Infeksi saluran kemih merupakan faktor risiko infeksi ESBL. Infeksi saluran
kemih sering terjadi pada pasien dengan inkontinensia, gangguan neurologis,
gangguan kognitif, nutrisi yang kurang dan pada individu dengan imunosupresi.
Mikroorganisme yang resistenn sering ditemukan pada pasien yang sering dirawat
dirumah sakit atau dirawat dalam jangka waktu panjang, dan pada individu yang
mendapatkan perawatan pada suatu institusi dalam jangka panjang.Bakteri ESBL
berhubungan dengan beberapa faktor risiko, yaitu riwayat penggunaan antibiotic,
riwayat perawatan di rumah sakit, perawatan di ICU, penyakit kronik, nasogastric
tubes, operasi abdomen, kateterisasi urin dan usia.11
2.6 Penegakan diagnosis
Penegakan diagnosis ESBL di laboratorium mikrobiologi bukan hal yang
mudah, karena meskipun mikroorganisme ESBL akan resisten terhadap minimal
salah satu antibiotik golongan sefalosporin generasi III maupun aztreonam, namun
minimum inhibitory concentration (MIC) pada interpretasi bedasarkan National
Committe for Clinical Laboratory Standards (NCCLS) tidak memberikan hasil
konsentrasi cukup tinggi untuk diklasifikasikan sebagai resistensi.12
Deteksi bakteri ESBL dikatakan positif jika konsentrasi pertumbuhan
bakteri 1 mikrogram/ml pada antibiotic sefalosporin generasi III
( Ceftazidime,ceftriaxone dan cefotaxime) atau aztreonam, atau pertumbuhan
bakteri 4 mikrogram/ml pada antibiotika cefpodoxime. Penggunaan lebih dari 1
agen antibiotika akan meningkatkan sensitivitas hasil pemeriksaan. Tes fenotipic
dilakukan dengan cara penambahan asam klavulanat pada ceftazidime dan
cefotaxime, jika terjadi peningkatan zona diameter ≥5 mm pada anti mikroba
dengan kombinasi asam klavulanat dibandingkan dengan antimikroba tanpa asam
klavulanat maka hasil test fenotipik dikatakan positif ESBL.12

14
Gambar 5. Tes fenotipik pada Ceftazidime dan cefotaxime

Selain tes yang berdasarkan rekomendasi dari National Committe for


Clinical Laboratory Standards (NCCLS), tes lain yang dapat dilakukan untuk
deteksi ESBL adalah sebagai berikut:
1) Doube disk Approximation test
Tes ini pertama kali diperkenalkan oleh Jarlier et al. Tes ini menggunakan plat
agar Mueller-Hinton. Selanjutnya 2 disc antimikrobial diletakan terpisah
dengan jarak 30mm (centre to centre). Disc yang pertama mengandung
amoxixillin/clavulanic acid dan disc yang kedua mengandung sefalosporin
generasi ketiga (ceftriaxone,cefotaxime atau ceftazidime). Hasil tes positif jika
dalam 24 jam inkubasi zona inhibisi pada kedua disk bertambah. 12

Gambar 6. Double disk approximation


test
2) Tes tiga dimensi ( Three-Dimensional
Test)
Pada tes ini mikroorganisme yang akan diperiksa disebarkan pada plat agar
Mueller-Hinton dan dibuat goresan pada agar. Mikroorganisme yang akan di
periksa kemudiaan diinokulasikan di dalam celah dan sefalosorin generasi III

15
diletakkan 3 mm dari tepi celah. Zona distorsi pada daerah dekat goresan
menandakan tes yang positif. 12

Gambar 7. Hasil positif pada three dimensional test


3) E test
Menggunakan two-sided strip E-test yang berisi kombinasi ceftazidime dan
ceftazideime/calvulanic acid atau kombinasi cefotaxime and
cefotavime/calvulanic acid. Jika pada test terdapat reduksi sebanyak >8 kali
lipat pada perbandingan MIC cefotaxime/ceftazidime dengan kombinasi asam
klavulanat maka hasilnya positif.12

Gambar 8. Hasil positif pada pemeriksaan E test

2.6 Penatalaksanaan
2.6.2 Medikamentosa

Pemilihan obat utama untuk pasien kritis dengan infeksi kuman ESBL
adalah dengan antibiotik karbapenem, karena terapi menggunakan antibiotik ini

16
menunjukkan kegagalan terapi yang minimal, dan angka mortalitas juga
berkurang dengan pemberian karbapenem. Carbapenem, seperti
imipenem,meropenem dan doripenem merupakan terapi empiris pada infeksi
nosokomial yang disebabkan ESBL. Antibiotika yang sering digunakan adalah
meropenem dengan dosis 500 mg intravena 3 kali dalam sehari. Namun akibat
seringnya penggunaan anti mikroba golongan carbapenem resistensi terhadap
antibiotika ini mulai meningkat. Oleh karena itu untuk mengurangi resistensi
terhadap meropenem digunakan kombinasi antibiotika BL/BLI seperti
amoxicillin-clavulanate (AMC) atau piperacilin-tazobactam (PTZ) dapat
digunakan untuk mengatasi infeksi ESBL.13

Fosfomisin juga memiliki efek bakterisidal terhadap bakteri


Enterobacteriaceae. Dimana berdasarkan penelitian yang dilakukan Falagas Et al
yang dilakukan pada 4448 pasien, meunjukkan bahwa 90% bakteri ESBL rentan
terhadap fosfomisin. Fosfomisin diberikan dengan dosis 2-4 g tiap 6 jam dapat
digunakan untuk terapi infeksi K. Penumonia carbapenemase (KPC).12

Nitrofurantoin merupakan pilihan antibiotik lain pada infeksi traktus


urinarius yang disebabkan oleh bakteri ESBL. Namun antibiotik ini masih jarang
diunakan karena studi yang belum cukup mengenai perannya dalam mengatasi
infeksi kuman ESBL.S Selain itu antibiotik lain yaitu tigecycline memberikan
hasil yang baik dalam penatalaksanaan infeksi ESBL, namun tigesiklin tidak
boleh diberikan sebagain mono terapi namun harus diberikaan dengan kombinasi
dengan colistine, meskipun hasilnya yang baik penggunaan kombinasi tigesiklin-
colistine tidak disarankan sebagai first line therapy.12

Di indonesia sendiri penelitian mengenai terapi infeksi ESBL pernah


dilakukan pada tahun 2010. Dimana hasil dari penelitian ini ditemukan hasil
sensitivitas bakteri ESBL pada antibiotik metopenem adalah 100%, 95%
cefoperazone-sulbactam, 97,7% fosfomycin, dan amikacin 90.6%. Oleh karena itu
dapat disimpulkan bahwa meropenem merupakan obat pilihan utama untuk terapi
ESBL, dan fosfomisin, serta kombinasi BL/BLI dan amikasin dapat diberikan

17
untuk terapi ESBL. Pemberian antibiotik golongan sefalosporin dan
fluoroquinolon harus dihindari meskipun dalam pemeriksaan kedua golongan obat
tersebut masih meunjukkan sensitivitas.14

2.7 Pencegahan
Strategi untuk mencegah dan mengontrol infeksi bakteri ESBL mencakup
beberapa faktor, yaitu:
1) Mencuci tangan secara efektif sebelum dan sesudah kontak dengan satu
pasien, hal ini diangkap dapat mengurangi penularan
2) Pemberian antibiotik sesuai indikasi
3) Penggunaan alat pelindung diri (APD) pada petugas kesehatan yang berisiko
terkena darah atau cairan tubuh
4) Membersihkan dan dekontaminasi peralatan yang telah digunakan
Pasien dengan hasil ESBL yang positif harus di periksa untuk mencari
faktor risiko ESBL. Hal ini harus dilakkan secepatnya. Faktor risiko tersebut
adalah kateterisasi urin, inkontinensia urin,inkontinensia fecal, luka terbuka yang
mengandung eksudat, batuk yang produktif, dan penggunaan iv line. Jika pasien
memiliki faktor risiko di atas dan hasil ESBL positif maka pasien harus diisolasi
namun bila pasien tidak memiliki faktor risiko diatas maka pasien dapat dirawat di
ruang biasa dengan standar perawatan.14

2.8 Prognosis

Angka mortalitas yang tinggi sebesar 38% pada pasien dengan kegagalan
pemberian antimikroba yang adekuat dalam 72 jam pertama munculnya infeksi.
Penelitian menunjukkan bahwa pemberian antibiotik yang tidak adekuat dan
terlambatnya pemberian antibiotika > 72 jam setelah diagnosis akan
menimbulkan terjadinya resistensi ceftazidime dan merupakan penyebab
kematian. Kegagalan terapi yang minimal dilaporkan pada pasien yang menerima
terapi karbapenem.15

Pada infeksi bakteri yang berat, terapi dapat gagal meskipun telah
digunakan masih sensitif. Pada infeksi yang berat kematian sebanyak 18,5%
meskipun dengan terapi yang adekuat. Faktor lain yang mempengaruhi mortalitas
adalah kegagalan dalam mencari fokus infeksi. Dimana jika fokus infeksi berada

18
pada sistem urinarius maka outcome yang baik dapat diperoleh karena konsentrasi
antibiotik pada urin lebih tinggi daripada konsentrasi antibiotik di darah.15

19
BAB III
KESIMPULAN

Insidensi infeksi yang disebabkan oleh organisme yang resisten terhadap


antibiotik beta lactam semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Pencegahan merupakan pilihan utama untuk menurunkan angka mortalitas dan
morbiditas pasien dengan ESBL. Pencegahan dapat dilakukan baik oleh petugas
kesehatan maupun pasien dengan cara menjaga hygine yang baik. Jika
pencegahan tidak berhasil maka deteksi dini dari ESBL sangat dibutuhkan untuk
menurunkan meingkatnya angka morbiditas dan mortalitas. Deteksi dini dapat
dilakukan menggunakan kultur kuman dan dilakukan beberapa metode seperti tes
fenotipik untuk mendeteksi keadaan ini agar dapat meminimalisir penybaran
bakteri ESBL dan membantu untuk pemilihan antibiotik yang adekuat.

Pemilihan antibiotika untuk penatalaksanaan infeksi bakteri ESBL terdiri


dari beberapa macam antibiotika yang masih efektif yaitu, antibiotika golongan
carbapenem, fosfomisin, kombinasi antibiotic beta-laktam/beta-lactamase
inhibitor (BL/BLI), tigesiklin dapat dapat digunakan untuk terapi infeksi ini,
namun obat pilihan utama dalam infeksi ESBL adalah dengan menggunakan
antibiotika golongan carbapenem. Dalam praktiknya penggunaan antibiotika
golongan sefalosporin dan florokuinolon harus di hinidari karena kegagalan terapi
yang tinggi pada penggunaan antibiotik ini. Pemberian antibiotic yang adekuat
disarankan kurang dari 72 jam karena berdasarkan penelitian pemberian antibiotic
dengan jangka waktu > 72 jam akan meningkatkan angka mortalitas dan
morbiditas

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Ghafourian S, Sadeghifard N, Soheili S, Sekawi Z. Extended Spectrum


Beta-lactamases : Definition, Classification and epidemiology. Curr. Issues
Mol. Biol. 2015. 17:11-22
2. Pajariu G, Firmanti C.S, Isbandrio B. Infeksi oleh batkeri penghasil
Extended-Spectrum Beta-Lactamase (ESBL) di RSUP Dr. Kariadi
Semarang : faktro risiko terkait penggunaan antibiotik. Mikrobiologi FK
UNDIP. 2010.
3. Rupp M.E, Fey P.D. Extended Spectrum Beta-Lactamase (ESBL)-
Producing Enterobacteriaceae considerations for Diagnosis, Prevention
and Drug. Drugs. 2003; 63(4): 353-365.
4. Tham J. Extended-Spectrum Beta-Lactamase-Producing
Enterobacteriaceae: Epidemiology, Risk factor, and Duration of carriage.
Lund University. 2012
5. Thenmozhi S, Moorthy K, Sureshkumar BT,Suresh M. Antibiotic
resistance mechanism of ESBL Producing Enterobacteriaceae in Clinical
Field: A review. Int J pure App Biosci. 20014;2 (3) 5
6. Guerin, E. Cambray, G. Sanchez-Alberola, N. Campoy, S. Erill, I. Da Re
S, et al., The SOS response controls integron recombination. Science, 324:
1034-7(2009) 6
7. Lencastre, H. Oliveira, D. Tomasz, A., Antibiotic resistant Staphylococcus
aureus: a paradigm of adaptive power. Curr .Opin. Microbiol., 10: 428-35
(2007) 7
8. Schweizer, H.P., Efflux as a mechanism of resistance to antimicrobials in
Pseudomonas aeruginosa and related: unanswered questions.Genet Mol
Res., 2(1): 48-62(2003)
9. Bush, K., Jacoby, G.A., Beta-lactamase classification and amino acid
sequences for TEM, SHV and OXA extended-spectrum and inhibitor
resistant enzymes. Available from: http://www.lahey.org/Studies/ (accessed
25.12.2017)
10. Ambler, R.P., 1980. The structure of b-lactamases. Philos. Trans. R. Soc.
Lond. B. Biol. Sci. 289, 321–331 (10)

21
11. Fircanis A, McKay M. Recognition and management of xteneded
spectrum Beta-lactamase Producing Organisms (ESBL). The Warren
Alpert Medical School of Brown University. 2010; 93(5)
12. Rupp ME, Fey PD. Extended Spectrum β-Lactamase (ESBL)-Producing
Enterobacteriaceae Considerations for Diagnosis, Prevention and Drug
Treatment. Adis International Limited. 2003; 63 (4)

13. Amelia A, Nugroho Am Harijanto PN. Diagnosis and Management of


Infections Caused by Enterobacteriaceae Producing Extended-Spectrum
Beta-Lactamase. The Indonesian Journal of Internal Medicine. 2016: 48(2)
14. National Health service (NHS). The Management of Extended Spectrum
Beta Lactamase-Producing Organisms Policy. 2011
15. Tumbarello M, Sanguinetti M, Montuori E, Trecarichi EM, Posteraro B,
Fiori B. Predictors of Predictors of Mortality in Patients with Bloodstream
Infections Caused by Extended-Spectrum-β-Lactamase-
Producing Enterobacteriaceae: Importance of Inadequate Initial
Antimicrobial Treatment. Antimicrob Agents Chemother. 2007; 51(6)

22

Anda mungkin juga menyukai