ASMA BRONKIALE
RSU HAJI
Latar Belakang
• Berdasarkan riskesdas tahun 2007, terdapat peningkatan pravalensi asma seiring dengan
bertambahnya usia, di mana umur <1 tahun pravalensinya sebesar 1,1% dan umur 75+
pravalensinya sebesar 12,4%. Tetapi peningkatan pravalensi asma pada umur 75+ sebesar 12,4%
ini bisa saja bukan murni dari penyakit asma, melainkan juga PPOK karena gejalanya hampir sama
yaitu sesak dan batuk. Sementara berdasarkan riskesdas tahun 2013, tampak bahwa umur 25-34
tahun mempunyai pravalensi asma yang tertinggi dibandingkan kelompok umur yang lain, yaitu
sebesar 5,7% dan umur <1 tahun memiliki pravalensi terendah, yaitu sebesar 1,5%.
Faktor Resiko
• A. Faktor penjamu
o Predisposisi genetik
o Atopi
o Hiperresponsif saluran pernafasan
o Jenis kelamin
o Ras/etnik
• B. Faktor lingkungan (mempengaruhi berkembangnya asma pada individu dengan
predisposisi asma)
1. Alergen dalam ruangan
o Mite domestic
o Alergen binatang
o Jamur (fungi mold, yeast)
2. Alergen diluar ruangan
• Tepung sari bunga
• Jamur (fungi mold, yeast)
• Bahan dilingkungan kerja
• Asap rokok
• Polusi udara
• Infeksi pernapasan
• Infeksi parasit
• Status sosioekonomi
• Diet dan obat
• Obesitas
C. Faktor lingkungan (mencetuskan eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala
asma menetap)
• Alergen di dalam dan di luar ruangan
• Polusi di dalam dan di luar ruangan
• Infeksi pernapasan
• Aktivitas fisik (exercise) dan hiperventilasi
• Perubahan cuaca
• Sulfur dioksida
• Makanan aditif (pengawet, penyedap, pewarna makanan), obat-obatan
• Ekspresi emosi yang berlebihan
• Asap rokok
• Iritan (parfum, bau-bauan merangsang, household spray)
Patogenesis
• Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan terutama sel
mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel. Faktor lingkungan dan
berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada
penderita asma.
• Inflamasi Akut
-Reaksi Tipe Cepat
Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi degranulasi sel mast
tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed mediator seperti histamin, protease dan
newly generated mediator seperti leukotrin, prostaglandin dan PAF yang menyebabkan kontraksi
otot polos bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi.
-Reaksi Fase Lambat
Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan
melibatkan pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+,
neutrofil dan makrofag.
• Inflamasi Kronik
Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut ialah
limfosit T, eosinofil, makrofag , sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot polos
bronkus.
Tanda dan Gejala
• Batuk, terutama malam hari, selama exercise atau ketika tertawa
• Kesulitan bernapas
• Rasa sesak pada dada
• Sesak napas
• Wheezing (suara whistling atau squeaky di dada ketika bernapas, terutama
saat ekshalasi)
Klasifikasi
Diagnosa Banding
• Obstruksi jalan napas atas dan inhalasi benda asing
• Disfungsi pita suara
• Penyakit paru obstruksi bentuk lain, terutama COPD
• Penyakit paru bentuk non-obstruktif (contohnya diffuse parenchymal lung
disease)
• Penyebab gejala non respirasi (contohnya kegagalan ventrikel kiri)
Diagnosa
• Asma adalah penyakit dengan banyak variasi, biasanya dikarakteristikkan
dengan inflamasi jalan napas kronis. Asma memiliki 2 fitur kunci :
1. Riwayat gejala respirasi seperti wheeze, sesak napas, rasa sesak pada
dada, dan batuk yang bervariasi waktu dan intensitasnya
2. Pembatasan aliran udara ekspirasi yang bervariasi.
• Pemeriksaan fisik pada penderita asma sering kali normal, namun temuan
yang paling sering adalah wheezing pada auskultasi, terutama pada
ekspirasi paksa
Manajemen
Tujuan jangka panjang terapi asma yaitu untuk mengurangi resiko dan
mengkontrol gejala. Hal tersebut ditujukan agar meringankan beban pasien
akan resiko kematian, eksaserbasi, kerusakan saluran pernapasan, dan efek
samping pengobatan.
• Untuk hasil terbaik, treatment dengan ICS harus diberikan secepat
mungkin sejak diagnosis asma dibuat, karena:
a) Pasien dengan asma yang ringan pun dapat mengalami eksaserbasi berat
b) Dosis rendah ICS dapat menurunkan angka rawat inap dan kematian
akibat asma secara signifikan
c) Dosis rendah ICS sangat efektif dalam mencegah eksaserbasi berat,
mengurangi gejala, memperbaiki fungsi paru, dan mencegah
bronkokonstriki yang diinduksi olahraga, meski pada pasien dengan
asma ringan
c) Treatment awal dengan dosis rendah ICS memberikan fungsi paru yang
lebih baik daripada jika gejala telah ada sejak 2-4 tahun
d) Pasien yang tidak menggunakan ICS yang mengalami eksaserbasi berat
memiliki fungsi paru jangka panjang yang lebih rendah daripada mereka
yang menggunakan ICS
e) Pada asma okupasional, penghindaran dini dari paparan dan treatment
dini meningkatkan probabilitas dari recovery.
Menilai Respon dan Menyesuaikan Treatment
• Pasien harus kontrol dalam waktu 1-3 bulan setelah memulai treatment
dan setiap 3-12 bulan setelahnya. Apabila dalam kondisi hamil, asma
harus dievaluasi setiap 4-6 mingu. Setelah suatu eksaserbasi, harus segera
dievaluasi dalam 1 minggu. Frekuensi evaluasi atau penilaian tergantung
dari kontrol gejala oleh pasien, faktor resikonya, respon terhadap terapi
inisial, dan kemampuan serta kemauan pasien untuk berkomitmen dalam
manajemen diri dengan rencana tindakan.
• Sustained step up (minimal 2-3 bulan)
Jika gejala dan atau eksaserbasi menetap meski telah menggunakan
controller selama 2-3 bulan, periksa beberapa kondisi umum ini sebelum
memutuskan untuk step-up
1. Teknik penggunaan inhaler yang tidak benar
2. Ketaatan yang buruk
3. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi (contoh: merokok)
4. Gejala akibat kondisi komorbid (contoh: rhinitis alergi)
• Short-term step up (selama 1-2 minggu) oleh klinisi atau pasien dengan
rencana tindakan asma yang tertulis. Contoh: saat infeksi virus atau
paparan allergen