Anda di halaman 1dari 32

KORTIKOSTEROID

Kelompok :

Program Studi Farmasi Fakultas Ilmu


Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Lamongan
2020 / 2021
DAFTAR ISI

Hal

BAB 1 PENDAHULUAN ……………………...………………………................... 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA …………………………….……………………... 3

2.1 Kortikosteroid ..……………………………………………………………. 3

2.1.1 Fisiologi Kortikosteroid ………………............................................... 3

2.1.2 Struktur Kimia ……………………………………………………….. 6

2.1.3 Farmakokinetik ……………………………………………………... 7

2.1.4 Farmakodinamik …………………………………………….............. 9

2.1.5 2.1 Contoh obat Golongan Kortikosteroid ………………………………..... 12

2.1.6 Efek Samping Kortikosteroid ………………………………………... 17

2.1.7 Toksisitas ……………………………………………………………. 18

2.1.8 Kontra Indikasi……………………………………………………….. 19

2.1.9 Interaksi Kosrtikosteroid dan Obat Lain …………………………….. 19

BAB 3 SIMPULAN ………………………………………………………………… 20

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………. 21


BAB I PENDAHULUAN

Kortikosteroid dipakai secara luas untuk terapi berbagai macam penyakit,


walaupun mekanisme kerjanya masih belum jelas. Di bidang Anestesi dan Terapi
Intensif, kortikosteroid juga cukup sering dijumpai dan digunakan. Namun,
pemakaian kortikosteroid dalam dosis besar atau dalam waktu yang cukup lama dapat
menimbulkan beberapa efek samping yang tidak diinginkan.1

Pada tindakan anestesi, pemberian kortikosteroid sering dilakukan, terutama


apabila pasien pernah mendapatkan terapi kortikosteroid sebelumnya. Deksametason,
Prednison, Metilprednisolon, ataupun Triamsinolon dan Betametason adalah sediaan
kortikosteroid yang tidaklah asing bagi seorang dokter anestesi. 1, 2

Kortikosteroid telah lama dipergunakan untuk penanganan penyakit rematik


dan penyakit sistemik dan juga sering digunakan pada pasien kanker oleh karena
efek anti- inflamasi, analgesik, antiemetik dan anti anoreksia yang dimiliki. Oleh
karena efeknya yang multiple, kortikosteroid cocok dipergunakan untuk penanganan
nyeri pascaoperasi meskipun sampai saat ini penggunaannya untuk indikasi nyeri
hanya bersifat sporadik. Namun, kortikosteroid secara signifikan dapat menurunkan
konsumsi opioid dan memiliki efek menurunkan efek samping dari pemberian opioid.
Selain menghasilkan efek opioid-sparing, kortikosteroid juga secara signifikan
menurunkan kejadian ileus dan mual muntah pasca operasi. 2, 3

Seiring dengan banyaknya penelitian, kortikosteroid mulai mendapat tempat


tersendiri dalam tatalaksana anestesi dan terapi intensif. Hal ini mungkin disebabkan
oleh karena kortikosteroid cukup mudah untuk didapat dan juga harganya tidak
mahal. Semisal pada tatalaksana PONV (Post Operative Nausea-Vomiting),
kortikosteroid menjadi salah satu obat pilihan bila dibandingkan dengan obat lain
seperti droperidol yang sudah mulai ditinggalkan mengingat efek samping pada
jantung yang kerap ditemui dan sering digunakan bersama golongan HT3
(Ondansentron, Granisentron). 2, 3, 4

Addison (1849) pertama kali mempelajari fisiologi kelenjar adrenal dengan


melihat gejala klinis dari pasien dan menyimpulkan pentingnya fungsi adrenal..
Korteks dari kelenjar
tesebut tampaknya lebih berperan daripada bagian medula, yang mengeluarkan
hormon glukokortikoid dan mineralokortikoid yang efeknya sangat berbeda.
Glukokortikoid lebih ke arah regulasi dari metabolisme karbohidrat, sedangkan
mineralokortikoid lebih ke arah regulasi dari cairan dan elektrolit.4, 5, 6

Cushing (1932) menemukan gejala hiperkotisisme akibat hipersekresi


kortikosteroid atau penggunaan kortikosteroid berlebihan, di mana kumpulan gejala
tesebut kemudian lebih dikenal sebagai sindrom Cushing. Baik kortikosteroid yang
alami ataupun sintetik digunakan untuk diagnosis ataupun tatalaksana dari kelainan
fungsi adrenal dan lebih jauh lagi untuk terapi dari berbagai macam reaksi inflamasi
ataupun kelainan imunologis.4, 5, 6

Pada tinjauan pustaka ini akan diuraikan secara singkat fisiologi,


farmakokinetik dan farmakodinamik kortikosteroid. Juga akan dibicarakan mengenai
struktur kimia, sediaan, indikasi maupun kontraindikasi dari kortikosteroid. Tidak
dikesampingkan pula sedikit pembicaraan mengenai penanganan anestesi pada pasien
yang mendapat kortikosteroid sebelumnya, dan juga mengenai penghambat
kortikosteroid.

2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kortikosteroid

2.1.1 Fisiologi Kortikosteroid

Kortikosteroid merupakan hormon yang dihasilkan korteks adrenal zona


fasikulata, atas pengaruh dari ACTH yang disekresikan oleh kelenjar hifofise anterior
dengan mekanisme feed back. Korteks adrenal mengubah asetat menjadi kholesterol,
yang kemudian dengan bantuan berbagai ensim diubah lebih lanjut menjadi
kortikosteroid dengan 21 atom karbon dan androgen lemah dengan 19 atom karbon. 1,
2, 3

Kortikosteroid dari korteks adrenal mempengaruhi fungsi fisiologis termasuk


metabolisme karbohidrat, protein dan lemak, keseimbangan elektrolit dan air dan
fungsi normal sistem kardiovaskuler, sistem saraf, ginjal dan oto skeletal. 2, 3

Hipotalamus

Hipotalamus merupakan bagian dari otak yang berbentuk kerucut yang


berperan penting dalam fisiologi tubuh. Secara anatomis terletak di bawah talamus,
persis diatas batang otak. Organ ini menghasilkan beberapa neurohormon berupa
Hypothalamus Releasing Hormone, seperti TRH (Thyroid Releasing Hormone) dan
CRH (Corticothropyne Releasing Hormone). Hormon CRH ini nanti akan dialirkan
melalui plexus hipofiseal ke kelenjar hipofisis. Di Hipofisis CRH akan berikatan
dengan reseptor CRH dan nantinya akan mengaktifkan adenilil siklase dan
meningkatkan level siklus AMP. Proses ini akan meningkatkan biosintesis dan
sekresi dari ACTH. 4, 5

Hipofisis

Merupakan suatu kelenjar endokrin kecil, yang terletak di rongga tulang di


batas dari otak yang memiliki dua buah lobus,anterior dan posterior, yang berbeda
secara anatomis dan fungsi. Secara embriologis, hipofisis anterior berasal dari epitel
glanduler rongga mulut. Bagian ini dihubungkan secara vaskuler dengan
hipotalamus. Kelanjar hipofisis anterior ini

3
menghasilkan ACTH (AdrenoCorticoThropyne Hormone) yaag berperan dalam
pembentukan glkokortikoid oleh kelenjar adrenal. 4, 6

Kelenjar adrenal

Tubuh memiliki dua buah kelenjar adrenal yang sebenarnya terdiri dari dua
organ endokrin dimana yang satu mengelilingi yang lain. Bagian pertama, medula
adrenal, mensekresi katekolamin. Bagian kedua, korteks adrenal, menyusun 80%
bagian kelenjar tersebut dan terdiri dari 3 lapisan, zona glomerulosa, fasikulata dan
retikularis. , ACTH lebih berpengaruh terhadap zona zona fasikulata, dan akan
menghasilkan kortisol dan kortikosteron. 7

Poros hipotalamus-hipofisis-adrenal

Fluktuasi dari eksresi hormon glukokortikoid ditentukan oleh fluktuasi dari


ACTH dari kortikotropin dari kelenjar hipofisis anterior. Pengaturan pelepasan
hormon ACTH ini juga diatur oleh hormon peptida yang dihasilkan oleh
hypothalamus yaitu CRH (Corticotrophyne Releasing Hormone). Ketiga organ ini
disebut sebagai poros hypothalamus- hipofisis-adrenal, suatu sistem yang terintegrasi
untuk mempertahankan kadar glukokortikoid dalam darah. Ada 3 karakter dari
regulasi ini yaitu irama sirkardian, mekanisme umpan balik negatif dan peningkatan
steroidogenesis sebagai respon dari stress, irama diurnal diatur oleh pusat saraf
sebagai respon dari siklus tidur dan bangun yang menyebabkan kadar ACTH tinggi
pada pagi hari sehingga kadar dari glokokortikoid itu mencapai level tinggi pada
jam 8 pagi. Mekanisme umpan balik negatif menjaga agar kadar glukokortikoid tetap
pada level yang normal. Pada stimulus stres, kedua karakter di atas dapat ditekan oleh
stimulus tersebut, sehingga akan meningkatkan konsentrasi hormon kortikosteroid di
darah.1, 4

Pada orang dewasa normal, dengan tidak adanya faktor stress, 10-20 mg
kortisol dihasilkan tiap hari sebagaimana diatur oleh irama sirkardian yang diatur oleh
ACTH yang mencapai puncak pada pagi hari. Mekanisme umpan balik negatif dari
ACTH melalui mekanisme direk dan indirek pada serabut saraf CRH dengan cara
menurunkan kadar mRNA CRH dan pelepasan dan efek langsung pada cortikotropin.
Efek pelepasan CRG diatur oleh reseptor kortikosteroid di hipokampus, yang
merupakan peran penting dari mekanisme umpan balik negaid. Pada kandungan
kortisol yang rendah, reseptor mineralokortikoid (tipe I) yang mempunyai
afinitas yang lebih tinggi terhadap glukokortikoid akan diikat.

4
Semakin tinggi kadar glukokortikoid di darah, maka glukokortkioid akan juga diikat.
Mekanisme ini yang menyebabkan terjadinya mekanisme umpan balik negatif.1, 2, 4

Gambar 1. Irama Sirkardian Glukokortikoid (warna Hitam) 1

5
Gambar 2. Sintesis Steroid 1

6
2.1.2 Struktur Kimia

Semua kortikosteroid mempunyai struktur primer yang hampir sama yang


dinamakan struktur steroid. Perubahan dari struktur molekul terutama ada cincin
aromatik akan menyebabkan terganggunya absorpsi, ikatan terhadarp protein, laju
metabolisme dan efek instrinsik dari obat pada reseptor.1, 4

Semua kortikosteroid mempunyai struktur 21 karbon atom yang terdiri dari 4


macam cincin aromatik yaitu cincin A,B,C dan D. Pada tubuh manusia
glukokortikoid utama adalah cortisol (hidrokortison) sehingga secara umum struktur
kimia dari glukokortikoid mempunyai struktur yang menyerupai kortison yang
berbeda mekanisme kerja berdasarkan perbedaan struktur kimia. Perbedaan dari
struktur kimia akan memberikan perubahan dan potensisasi sebagai akibat dari
afinitas dan aktifitas intrinsik pada reseptor kortikosteroid, perbedaan saat absorpsi,
ikatan pada proteinm laju metabolik transformasi, laju eksresi dan juga permeabilitas
terhadap membran.1, 4

Cincin A merupakan cincin yang diperlukan untuk aktivitas


adrenokortikosteroid yang spesifik pada ikatan rangkap C4-5 dan gugus keton pada
atom C3 baik glukokortikoid dan mineralokortikoid. Gugus 11β-hydroxyl pada cincin
C merupakan kekhususan pada aktifitas glukokortikoid namun tidak pada
mineralokortikoid. Gugus hidroksilase pada atom C ke 21 pada cincin D yang
terdapat pada kortikosteroid alami dan banyak pada sintetiknya merupakan
kekhususan pada aktifitas mineralokortikoid namun tidak pada glukokortikoid. Ikatan
rangkap pada C1-2 dipunyai prednisolon atau prednisolon yang akan memperbesar
rasio potensi regulasi karbohidrat dengan kemungkinan terjadinya retensi natrium
karena secara selektif memperbesar potensi yang pertama. Cincin B merupakan cincin
yang penting pada kortisol karena memiliki efek antiinflamasi yang besar,
pengeluaran nitrogen yang besar dan juga retensi natrium. Cincin C mempunyai atom
C pada C11 yang diperlukan untuk efek antiinflamasi dan regulasi karbohidrat dan
ini terlihat bila kortisol dibandingkan dengan 11-deoksikortisol. Sedang cincin D
mempunyai metilasi dan hodroksilasi pada atom C16 yang menyebabkan penurunan
retensi natrium yang nyata namun sedikit dipengaruhi efek metabolisme dan
antiinflamasi. Substitusi pada cincin ini terdapat pada kortikosteroid yang efeknya
kuat seperti parametasion, triamsinolon, bethametason dan deksamethason. Semua
kortikosteroid yang digunakan sebagai obat antiinflamasi mempunyai substitusi
gugus hidroksi pada C17.1, 2, 3, 4

7
Gambar 3. Struktur Kimia Cortisol 3

2.1.3 Farmakokinetik

Absorpsi dari glukokortikoid seperti hidrokortison dan analog sintetisnya


cukup efektif bila diberikan per oral, karena kortikosteroid diabsorpsi dengan baik
secara oral. Obat ini juga dapat diberikan dengan cara intravena, intramuskular,
subkutan, dan jalur topikal. Pada keadaan yang memerlukan konsentrasi tinggi di
dalam darah, glukokortikoid dapat diberikan secara intravena. Secara intramuskular
hidrokortison juga dapat diberikan untuk memberikan efek yang lebih lama. Dan
pada beberapa kasus juga dapat diberikan secara lokal seperti dari area sinovial,
konjungtiva, kulit dan juga jalan nafas. Namun hal ini harus diperhatikan cara
pemberiannya, seperti diberikan penutup pada area lokal, pemberian jangka panjang,
luas area pemberian.4, 6

Beberapa analog sintetik dari kortikosteroid seperti kortison dan prednisone,


membutuhkan aktivasi dari hepar dan mungkin tidak efektif pada gangguan hepar.
Metabolismenya menjadi komponen tidak aktif terjadi di berbagai jaringan terutama
di hepar. Konsekwensinya, metabolismenya ditingkatkan oleh obat-obatan yang
memicu enzym di hepar. Hasil dari metabolismenya diekskresikan oleh ginjal.4, 6

Kortisol akan diikat protein di dalam darah lebih dari 90% dan hanya bagian
dari kortikosteroid yang tidak terikat yang dapat memasuki sel untuk menghasilkan
efek yang diinginkan. Ada dua plasma protein yang berguna sebagai pengkikat
kortikosteroid yaitu corticosteroid-binding globulin (CBG) dan albumin. CBG adalah
alfa-globulin yang dihasikan oleh hepar yang mempunyai afinitas tinggi dengan
kortikosteroid namun kapasitas ikat totalnya hanya sedikit, sedangkan albumin
mempunyai ikatan yang lemah namun kapasitasnya relatif lebih besar. Pada kadar
kortikosteroid yang normal atau rendah,

8
mayoritas akan diikat oleh protein tersebut, namun pada konsentrasi yang lebih tinggi
kapasitas akan melebihi ambang batas sehingga banyak kortikosteroid yang tidak
akan diikat dan berbentuk pada steroid yang bebas. Kortikosteroid akan berkompetisi
satu sama lain di situs pengikatan pada CBG. CBG mempunyai daya afinitas yang
lebih tinggi dengan kortisol dan sintetisnya dibanding dengan mineralokortikoid.2, 3, 4,
6

Waktu paruh plasma dari berbagai jenis steroid tidak menentukan durasi kerja
dari kortikosteroid. Hidrokortison, prednisone dan prednisolon harus diberikan lebih
sering dibandingkan dengan deksametason. Waktu paruh dari kortisol pada sirkulasi
yang normal adalah sekitar 60-90 menit, yang akan meningkat apabila hydrokortison
diberikan dalam dosis besar ataupun pada stress, hypothyroidism ataupun penyakit
hepar. Hanya 1% kortisol yang akan diekskresi ke urin dalam keadaan tidak
termetabolisme, sekitar 20% akan dikonversi di ginjal dan organ lain menjadi 11-
hydroxysteroid.2, 4

Kortikosteroid secara molekular akan berinteraksi pada organ target dengan


berikatan dengan reseptor spesifik. Setelah memasuki sel, steroid akan berikatan
dengan reseptor glukokortikoid, sehingga akan menginduksi translokasi reseptor
tersebut dan mengaktifkan transkrispsi dari gen target.4, 6

Biotransformasi steroid terjadi di dalam dan di luar hati. Metabolitnya


merupakan senyawa inaktif atau berpotensi rendah. Semua kortikosteroid yang aktif
mempunyai ikatan rangkap pada atom C4,5 dan gugus keton pada atom C3. Reduksi
ikatan rangkat C4,5 terjadi di dalam hati dan di dalam jaringan ekstra hapatik serta
hidroksil hanya terjadi di dalam hati. Sebagian besar hasil reduksi gugus keton pada
atom C3 melalui gugus hidroksilnya secara ensimatik bergabung dengan asam sulfat
atau glukoronat membentuk ester yang mudah larut dan kemudian di ekskresi. Reaksi
ini terutama terjadi di hepar dan sebagian kecil terjadi di ginjal.2, 3, 4

Setelah penyuntikan steroid radioaktif intravena, dalam waktu 72 jam


sebagian besar akan diekskresi di urin, sedangkan dan feses dan empedu hampir tidak
ada. Diperkirakan paling sedikit 70% kortisol yang di ekskresikan dimetabolisme di
hepar. Masa paruh eliminasi kortisol sekitar 1,5 jam.2, 3, 4

9
2.1.4 Farmakodinamik

Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintetis protein.


Hormon memasuki sel jaringan yang responnya melalui membran plasma secara
difusi pasif kemudian bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam
sitoplasma sel jaringandan membentuk kompleks reseptor steroid. Kompleks ini
mengalami perubahan konfirmasi, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan
dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein
spesifik.3, 4, 7

Meskipun kortikosteroid mempunyai berbagai macam aktifitas biologik, umumnya


potensi preparat alamiah maupun sintetik ditentukan oleh besarnya efek retensi
natrium dan penyimpanan glikogen di hepar atau besarnya anti inflamasinya. Efek
stabilisasi membran mempengaruhi pergeseran cairan dan menurunkan pergerakan
cairan dan sel dari ruang vaskuler, di mana kortikosteroid juga mempengaruhi
permeabilitas dinding vaskuler. Enzim lisosomal juga dicegah untuk dilepaskan. Hasil
akhirnya adalah perubahan retensi cairan pada daerah dengan kerusakan jaringan.2, 3, 6

Pada beberapa jaringan, misalnya hepar, hormon steroid merangsang


transkripsi dan sintetis protein spesifik pada jaringan lain, misalnya sel limfoid dan
fibroblas, hormon ini bersifat katabolik. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa
hormon steroid merangsang sintetis protein yang sifatnya menghambat atau toksik
terhadap sel-sel limfoid, hal inilah yang mungkin menimbulkan efek kataboliknya.2, 4

Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan besar


yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Glukokortikoid efek utamanya pada
penyimpanan glikogen hepar dan efek anti inflamasinya nyata, sedangkan
pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil. Prototip untuk golongan ini
yaitu kortisol. Golongan mineralokortikoid efek utamanya terhadap keseimbangan
air dan elektrolit, sedangkan pengaruhnya pada penyimpangan glikogen hepar sangat
kecil. Prototip golongan ini ialah desoksikortikosteron.2, 3

Kortisol, yang merupakan kortikosteroid alami dan juga kortikosteroid


sintetis, akan menurunkan jumlah produksi dari limfosit dalam tubuh yang akan
menurunkan respon imun dari limfosit pada peradangan sebagai efek antiinflamasi.
Glukokortikoid akan mencegah inflamasi sebagai respon dari adanya peristiwa
infeksi, peradangan akibat keadaan yang

10
mekanis, kimiawi serta stimulus imunologis. Walau glukokortikoid sebagai agen
antiinflamasi tidak memperbaiki penyebab penyakit, namun dengan supresi dari
inflamasi membuat kortikosteroid banyak digunakan kalangan medis. Efek anti-
inflamasi berasal dari beberapa faktor yang berbeda termasuk penghambatan
fosfolipase, perubahan pada limfosit, penghambatan ekspresi sitokin dan stabilisasi
membrane seluler. Mekanisme antiinflamasi glukokortikoid salah satunya adalah
menghambat produksi dari sel–sel yang merupakan respon dari inflamasi. Sebagai
akibatnya akan menurunkan pelepasan zat vasoaktif dan faktor kemoatraktif,
menghilangkan sekresi dari lipolitik, enzim proteolitik, menurunkan ekstravasasi
leukosit dari daerah trauma, dan juga menurunkan terjadinya fibrosis. Faktor lain
yang akan diinhibisi adalah interferon gamma, faktor stimulasi koloni granulosit dan
monosit, interleukin (IL-1, IL-2, IL-3, IL-6) dan TNF- α (tumor necrosis factor α). 2, 4,
7

Konversi fosfolipase menjadi asam arakidonat sangat penting dalam


pembentukan mediator inflamasi seperti L TB-4, L TC-4, l TD-4 dan L TE-4 dan
berbagai prostaglandin. Langkah awal ini difasilitasi oleh kerja enzim fosfolipase A2.
Kortikosteroid menghambat kerja fosfolipase dan kemudian mencegah pembentukan
asam arakidonat dan kemudian mediator inflamasi, dengan demikian kortikosteroid
menghambat produksi baik itu prostaglandin dan leukotrien di jaringan perifer dan
susunan saraf pusat. Yang lebih penting, penghambatan dari siklooksigenase (COX)
primernya pada isoform COX-2, yang menjadikan glukokortikoid sebagai
penghambat COX-2 selektif.2, 4, 7

Kortikosteroid juga mengubah fungsi limfosit. Obat-obat ini tampaknya


mengubah mekanisme kemotaktik dan kemo atraktan yang ditemukan pada respon
inflamasi setelah cedera jaringan. Suatu hambatan yang jelas dari sel darah putih pada
sistem limfatik secara tidak langsung membatasi kemampuan sel darah putih untuk
bermigrasi ke jaringan yang rusak. Fungsi limfositik dan ketersediaannya berkurang
pada suatu titik dimana penurunan 70% dari limfosit dalam sirkulasi dapat diamati
pada dosis tipikal dari obat ini. Efek kortikosteroid pada limfosit berbeda antara
manusia dengan binatang coba seperti tikus. Setelah pemberian suatu dosis dari
kortikosteroid, peningkatan sementara dari jumlah sel darah putih dapat diamati. Pada
kondisi di mana infeksi dibuktikan tidak ada, peningkatan ini mungkin disebabkan
oleh demarginasi neutrosit dari endotelium dan suatu peningkatan jumlah pelepasan
sel dari sumsum tulang. 2, 4, 6, 7

11
Interleukin 1 (IL-1) dan tumor necrosis faktor (TNF) merupakan komponen
integral dari respon imun yang dimediasi sel terhadap trauma. Ekspresi dari sitokin ini
dapat dihambat oleh kortikosteroid secara efektif. IL-1 berasal dari makrofag,
monosit dan berbagai sel parenkim dan memicu produksi endothelial yang berbahan
dasar protein. Hasilnya yaitu pembentukan thrombus dan pada akhirnya aktivasi
inflamasi dan sel imun. IL-1 juga mempengaruhi protein prokoagulan, faktor adesif
dan metabolisme asam arakidonat di dalam sel endothelial. TNF menstimulasi
produksi berbagai mekanisme kemotaksis yang berasal dari neutrofil dan protein
granulositik.2, 4

Efek metabolik dari glukokortikoid adalah metabolisme lemak, karbohidrat


dan protein. Glukokortikoid akan menstimulasi glukoneogenesis pada puasa dan
diabetes, meningkatkan penyerapan asam amino pada hepar dan ginjal dan
meningkatkan enzim yang diperlukan untuk glukoneogenesis, meningkatkan
terjadinya lypolisis. Efek katabolik dari glukokortikoid adalah mengurangi masa
lemak dan juga menyebabkan osteoporosis, efek ini dapat terlihat pada sindrom
cushing ataupun penggunaan glukokortikoid jangka panjang. Efek lain yang juga
penting adalah pada sistem saraf pusat, insufisiensi dari adrenal akan menyebabkan
ritme alfa dari EEF akan melambat. Peningkatan jumlah akan menyebabkan ambang
dari pencetus kejang akan semakin rendah dan menyebabkan gangguan perilaku pada
manusia. Selain itu dosis besar dari glukokortikoid akan menstimulasi produksi dari
asam lambung sehingga akan menyebabkan terjadinya ulkus peptikum. Pada fetus
kurang dari 32 minggu glukokortikoid akan menstimulasi produksi dari surfaktan
yang diperlukan untuk mempertahankan tegangan permukaan dari alveoli di paru.2, 3, 4

Glukokortikoid, dengan afinitasnya pada air yang cukup besar, diabsorpsi


dengan cepat menghasilkan onset kerja yang cepat, namun juga dengan cepat
dimetabolisme yang menghasilkan durasi kerja yang pendek. Jika komponen larut air
dirubah, maka durasi kerja obat juga berubah. Glukokortikoid dimetabolisme di hepar
dan di ginjal.3, 4

Kegunaan dari kortikosteroid sintetis terutama adalah untuk gangguan fungsi


adrenal, seperti contoh penyakit insufisiensi adrenal yaitu Addison’s disease yang
mempunyai gejala seperti hiperpigmentasi, kelelahan, penurunan berat badan. Serta
penyakit Cushing. karenakan hyperplasia adrenal sekunder, steroid diberikan
sebelum operasi.4, 7

12
2.1.5 Contoh obat Golongan Kortikosteroid

Prednisolon

Prednisolon merupakan derivat sintetik dari dari kortisol yang lebih kuat kira-kira 5
kali. yang tersedia secara oral ataupun parenteral yang mempunyai ikatan rangkap
pada C1-2 sehingga rasio potensi retensi lebih tinggi. Efek antiinflamasi 5 mg
prednisolon hampir sama dengan 20 mg kortisol. Obat ini cocok digunakan utuk
terapi penggantu pada insufisiensi adrenokortikal. Efek retensi natriun dan retensi urin
minimal pada dosis normal.2, 3

Prednison

Prednison merupakan derivat sintetis dari kortisol yang tersedia dalan bentuk
preparasi oral ataupun parenteral. Merupakan obat prekursor dari prednisolon, dan
mempunyai efek yang sama dan penggunaan klinis yang hampir sama dengan
prednisolon. Menginduksi retensi natrium dan air serta hilangnya kalium ke dalam
urin.2, 3

Metilprednisolon

Merupakan derivat methyl dari prednisolon. Efek antiinflamasi 4 mg


metilprednisolon sama dengan 20 mg kortisol. Sediaan asetat yang diberikan
intraartikuler akan mempunyai efek yang lebih panjang. Tersedia dalam sediaan oral
bentuk basa ataupun injeksi dalam bentuk sodium suksinat.2, 3

Betametason

Derivat prednisolon yang sudah difluorinasi. Efek antiinflamasi 0,75 mg betametason


setara dengan 20 mg kortisol. Betametason mempunyai efek mineralokortikoid yang
rendah dari kortisol dan tidak dianjurkan untuk terapi pengganti dari insufisiensi
adrenokortikal. Betametason dilaporkan dapat digunakan untuk penanganan nyeri
pasca operasi pada pasien yang menjalani prosedur pembedahan anorektal yang
mendapatkan anestesi umum, tanpa meningkatkan resiko terjadinya komplikasi luka.2,
3, 4

13
Deksametason

Isomer dari Betametason, tersedia dalam sediaan oral ataupun parenteral. Efek 0,75
mg Deksametason setara dengan efek 20 mg kortisol. Deksametason sangat mudah
untuk dijumpai dan merupakan pilihan utama untuk berbagai macam terapi terutama
pada edema serebral dan anti alergi. Tersedia dalam sediaan tablet, inhalasi serta
injeksi. Deksametason juga digunakan untuk penatalaksanaan post-operative nausea
and vomiting. 2, 3, 4, 5, 6

Triamsinolon

Derivat fluorinasi dari prednisolon, efek antiinflamasi 4mg Triamsinolon sama


dengan efek 20 mg kortisol. Tersedia dalam sediaan oral dan parenteral. Obat ini
sering digunakan untuk injeksi epidural dan pengobatan penyakit cakram lumbar. 2, 3

Hidrokortison Prednisolon

Betametason Triamsinolon

Gambar 4. Struktur Beberapa Kortikosteroid

14
Obat-obat kortikosteroid secara individual menunjukkan berbagai potensi
anti inflamasi, retensi garam, waktu paruh dan durasi kerja. Obat-obatan ini antara
lain:

15
hidrokortison, kortison, prednisone, prednisolon, metilprednisolon, triamsinolon,
betametason dan deksametason. Pemilihan jenis obat biasanya didasarkan pada
pengalaman praktisi, ketersediaan obat dan prosedur yang dilakukan.

Tabel 1. Perbandingan Obat Golongan Glukokortikoid

Potensi Komponen Waktu paruh Durasi kerja Dosis oral


Obat
Antiinflamasi retensi plasma ** ekuivalen
* garam (menit) (mg)
Hidrokortison 1 2+ 90 S 20
(kortisol)
Kortison 0,8 2+ 30 S 25
Prednisone 4-5 1+ 60 I 5
Prednisolon 4-5 1+ 200 I 5
Metilprednisolo 5 0 180 I 4
n
Triamsinolon 5 0 300 I 4
Betametason 25-35 0 100-300 L 0,6
Deksametason 25-30 0 100-300 L 0,75
*relative terhadap hidrokortison; ** S= short, I= intermediate, L=long

Sediaan kortikosteroid dapat dibedakan menjadi tiga golongan berdasarkan atas


masa kerjanya sesuai dengan aktifitas biologiknya :

Tabel 2. Sediaan Kortkosteroid Berdasarkan Masa Paruh Biologiknya

KERJA SINGKAT KERJA SEDANG (12-36 KERJA LAMA


jam)
( < 12 jam) ( > 48 jam)

Hidrokortison Kortison Prednison Prednisolon Parametason


Metilprednisolon Betametason
Triamsinolon Deksametason

16
Tabel 3. Perbandingan Potensi Beberapa Sediaan Kortikosteroid 3

Retensi Natrium Penyimpanan Efek Anti-


Kortikostreroid
Glikogen Hepar inflamasi

NATURAL STEROID :

Kortisol 1 1 1
Kortison 0,8 0.8 0.8
Kortikosteron 15 0.35 0.3
11-Desoksikortikosteron 100 0 0
Aldosteron 3000 0,3 7

SYNTHETIC STEROID

Prednisolon 1 4 4
Triamsinolon 0 5 5
Parametason 0 10 10
Betametason 0 25 25
Deksametason 0 25 25

17
Tabel 4. Beberapa Preparat Kortikosteroid & Analog Sintetiknya 3

Nama generik Bentuk oral Parenteral Topikal Topikal pada


mata
Desoksikortikosteron - 5 mg/ml - -
asetat (minyak)
Hidrokortison 5 – 20 mg 25-50 mg/ml 0,1-2% (krem, 0-2%
(suspensi) salep, losio) (suspensi,
salep)
Asetat - 25 mg/ 5 ml 0,1-1% (krem, 1-5%
(suspensi) salep, losio) (suspensi,
salep)
Sipionat 2 mg/ml - - -
(suspensi)
Butirat - - 0,1% (krem, -
losio)
Kortison asetat 5-25 mg 25, 50 mg/ml - -
(suspensi)
Pradnison 1-10 mg - - -
Pradnisolon 1, 2,5 : 5 - - -
mg
Metilprednisolon 2. 4. 16 mg - - -
Asetat - 20, 40, 80 mg/ml 0,25.1% -
(suspensi)
Na suksinat - 40-1000 mg - -
bubuk
Deksametason 0.2.6.0 mg - 0,01-0,1% 0,1%
0.5 mg/ml
(eliksir)
Asetat - 2-16 mg/ml - -
(suspensi)
Na-fostat - 4-24 mg/ml 0,1% 0,05; 0,1%
Parametason asetat 1.2 mg - - -
Flusinolon asetaonid - - 0,01-0-2% -
Flumetason pivalat - - 0,025% -
(krem)

18
Betamatasaon 0.6 mg - - 0,05; -
Dipropionat - - 0,1% -
Na fosfat dan asetat -
- 6mg/ml -
Valarat 0,01 : 0,1%
- (suspensi) -
-

19
2.1.6 Efek Samping Kortikosteroid

Berbagai efek samping dapat ditimbulkan pada penggunaan kortikosteroid.


Pemberian kortikosteroid tanpa peringatan dapat menyebabkan kerusakan jaringan
yang bisa bersifat sementara ataupun permanen yang terjadi pada level lokal maupun
sistemik. Namun, meskipun obat ini digunakan dengan rekomendasi protokol, efek
samping ini sering terjadi. Hal ini benar tergantung dari jalur pemberian, kondisi
medis pasien ataupun pengalaman dari dokter sendiri. Kortikosteroid dosis tinggi atau
penggunaan kronis dari kortikosteroid lebih sering menyebabkan efek samping
dibandingkan dengan injeksi dosis tunggal.1, 2, 3

Efek samping lokal dari kortikosteroid biasanya terjadi lokal di daerah kulit,
jaringan lunak, atau daerah periartikuler di daerah injeksi. Perubahan pigmentasi kulit
dapat dilihat pada beberapa kasus bila dilihat secara dekat, terutama pada pasien
berkulit gelap. Atropi pada jaringan subkutan dan periartikuler terjadi bila dilakukan
pemberian injeksi berulang. Hal ini terutama terjadi setelah pemberian injeksi
berulang pada daerah epikondiler medial dan lateral, setelah blok saraf oksipital, dan
daerah spinal dimana injeksi berulang dari kortikosteroid diberikan. Efek ini dapat
diminimalisir atau dihilangkan dengan secara hati- hati membilas jarum dengan
cairan salin atau anestetik sebelum memasukkan jarum ke dalam kulit. Adanya
rupture tendon, erosi tendon, kerusakan tulang rawan, arthritis oleh karena
penumpukan kristal dan kalsifikasi perikapsuler juga dilaporkan pada beberapa
literatur.1, 3, 7

Reaksi sistemik dari kortikosteroid terjadi pada berbagai sistem organ.


Masalah yang paling sering dilaporkan antara lain gangguan cairan dan elektrolit,
demineralisasi tulang, penyakit gastrointestinal dan gangguan metabolisme glukosa.
Pada kondisi sehat, masalah cairan dan elektrolit sering kali tidak terjadi atau hanya
terjadi pembengkakan sementara pada ekstrimitas atau wajah. Peringatan hati-hati
harus dilakukan jika memberikan obat ini pada pasien dengan penyakit jantung yang
berhubungan dengan resiko gagal jantung kongestif. Pemberian kortikosteroid secara
kronis dapat menyebabkan demineralisasi tulang yang menyebabkan osteoporosis
dengan akibat terjadinya fraktur di daerah tulang belakang, pergelangan tangan
maupun di pinggul. Fraktur jenis ini biasanya terlihat pada pasien yang menggunakan
steroid oral seperti prednisone untuk kondisi medis kronis termasuk penyakit
respirasi, penyakit rematik, dan penyakit kulit. Gangguan gastrointestinal, seperti
mual, muntah, diare, gangguan pencernaan, colitis ulseratif dengan ancaman perforasi
dan abses juga pernah dilaporkan. Pasien dengan diabetes atau pasien dengan
gangguan metabolisme

20
glukosa yang diberikan kortikosteroid akan mengalami peningkatan serum glukosa.
Pasien ini harus diberitahu mengenai masalah yang akan dihadapi dan harus
dimonitor ketat mengenai perubahan kadar glukosa untuk menyesuaikan dosis obat
hipoglikemik yang akan diberikan. 1, 4, 6, 7

Reaksi alergi juga pernah dilaporkan pada pemberian kortikosteroid. Reaksi


alergi mungkin bermanifestasi sebagai lesi kulit seperti kemerahan atau erupsi.
Namun harus dibedakan rekasi alergi disebabkan oleh kortikotseroid atau tambahan
pada campuran kortikosteroid.1, 3

Salah satu komplikasi yang lebih serius dari penggunaan kortikosteroid yaitu
insufisiensi adrenal. Kondisi ini disebabkan oleh penekanan pada aksis hipotalamik-
pituitari- adrenal. Jika aksis ini mengalami penekanan, kemampuan individu untuk
berespon terhadap situasi stress seperti infeksi atau pembedahan akan
membahayakan. Hal ini biasanya terjadi pada penggunaan kortikosteroid dosis tinggi
dalam jangka waktu lama. Efek samping lain yang cukup serius dari penggunaan
kortikosteroid yaitu gangguan penyembuhan luka yang disebabkan oleh
penghambatan sintesa kolagen dan fungsi fibroblastik. 2, 3, 7

2.1.7 Toksisitas

Ada dua kategori untuk toksisitas dari kortikosteroid. Pertama,adalah hasil dari
penghentian terapi dan yang kedua adalah pemberian yang terus menerus dengan
dosis suprafisiollogis. Keduanya mengancam nyawa dan memerlukan
penatalaksanaan yang lebih hati – hati.

Penghentian terapi kortikosteroid akan memberikan hasil yang menyulitkan,


kapankah waktu yang tepat untuk menghentikan dan efek sampingnya. Hal ini
memerlukan kepetusan yang tepat. Bila dihentikan secara tiba-tiba dapat
menyebabkan flare-up dari penyakit yang sedang dilakukan terapi, hal lain yang juga
memberatkan adalah terjadinya insufisiensi adrenal yang dikarenakan selama terapi
oleh kortikosteroid poros dari HPA telah ditekan. Dikatakan bahwa penekanan dari
HPA ini bisa berlangsung dari beberapa minggu sampai satu tahun pada beberapa
individu. Untuk menghindari terjadinya hal ini perlu ditetapkan pada pasien yang
menerima terapi kortikosteroid suprafisiologis selama lebih dari 2 minggu sangat
memungkinkanterjadinya penekanan dari poros HPA ini. Gejala yang sering

21
timbul adalah myalgia, demam, athralgia, malaise yang sering disalahartikan dengan
gejala dari penyakit yang diterapi.

Yang juga harus diperhatikanadalah pemberian dari dosis suprafisiologis dari


kortikosteroid. Yang sering terjadipada terapi jangka panjang dengan dosis
suprafisiologis adalah terjadinya abnormalitas dari cairan dan elektrolit, hipertensi,
hiperglikemia, imunosupresi yang menyebabkan pasien lebih rentan terhadap infeksi,
osteoporosis, miopati, gangguan perilaku, penghentian pertumbuhan, katarak, serta
redistribusi dari lemak. 4

2.1.8 Kontraindikasi

Sebenarnya hingga saat ini tidak ada kontraindikasi absolute untuk


penggunaan kortikosteroid. Kortikosteroid digunakan lebih hati-hati pada pasien
dengan gangguan jantung, pasien dengan riwayat ulkus peptikum, pasien diabetes dan
dengan riwayat hipertensi. Pertimbangan khusus pada pemberian kortikosteroid juga
dilakukan pada pasien dengan infeksi kronis seperti tuberkulosis yang dapat
menyebabkan penyebaran tuberkulosis secara sistemik.

2.1.9 Interaksi Kortikosteroid dan Obat lain

Sejumlah interaksi obat dilaporkan tentang interaksi kortikosteroid dengan


obat lain yang sifatnya potensiasi atau menurunkan klirens dan waktu paruh obat.
Obat anti inflamasi non steroid, kontrasepsi oral maupun pemberian estrogen eksogen
akan meingkatkan potensi kortikosteroid. Antibiotik makrolid seperti eritromicin dan
asitromicin akan meningkatkan potensi metilprednisolon dengan menurunkan
klirensnya. Sebaliknya, rifampin, fenobarbital, karbamazepin dan fenitoin akan
meningkatkan klirens obat dan menurunkan efek anti inflamasi dari kortikosteroid.
Antikoagulan oral dan teofilin memiliki efek yang bervariasi.

22
BAB III SIMPULAN

Aplikasi klinis dari kortikosteroid sangat luas, termasuk di bidang anestesia.


Untuk meningkatkan kenyamanan pasien pasca operasi seperti menurunkan insidensi
nyeri dan rasa mual muntah yang merupakan komplikasi dari tindakan pembiusan.
Kerusakan jaringan dan sel selama pembedahan menyebabkan aktivasi enzim yang
bertanggung jawab pada sintesa prostaglandin dan aktivator nyeri lain yang poten
baik itu di tempat trauma maupun melalui aliran darah dan mediasi neurogenik dari
sistem saraf pusat. Kortikosteroid merupakan penghambat baik itu fosfolipase A2 dan
dengan demikian juga menghambat produksi prostaglandin dan leukotrien baik itu di
jaringan perifer maupun di sistem saraf pusat. Penghambatan pada enzim
siklooksigenase utamanya COX-2, memperlihatkan glukokortikoid merupakan
penghambat COX-2 selektif. Beberapa penelitian membuktikan bahwa kortikosteroid
memiliki opioid sparing effect.

Kortikosteroid juga memiliki kemampuan dalam menurunkan kejadian mual


muntah pasca operasi. Mual muntah setelah operasi merupakan morbiditas yang ingin
dihindari sebagai dokter anestesi yang dapat menyebabkan perawatan yang tidak
diinginkan pada pasien one-day-care, untuk itu profilaksis dengan Dexamethasone
dapat diberikan sebelum dilakukan tindakan pembiusan. Intubasi yang merupakan
tindakan yang sering dilakukan pada anestesi umum juga ternyata menyebabkan
komplikasi seperti edema laring ataupun nyeri di tenggorokan, untuk itu dapat
diberikan steroid topikal seperti Bethametasone dan juga dapat diberikan steroid
injeksi seperti Dexamethasone 0,5mg/kbBB setelah tindakan dilakukan. Semua efek
yang diberikan oleh kortikosteroid menjadikan kortikosteroid layak untuk diberikan
pasca operasi untuk menangani nyeri pasca operasi dan menjadi bagian dari
multimodal analgesia.

Selain itu, steroid masih mendapat tempat untuk penanganan sepsis di ruang
terapi intensif (ICU) ataupun penanganan infeksi nosokomial di rumah sakit. Namun
tidak semudah itu menggunakannya, terutama di ICU oleh karena penggunaan
steroid jangka panjang di ICU dapat menyebabkan terjadinya efek samping seperti
efek metabolik dalam hal ini hiperglikemia yang dapat memperberat keadaan pasien
dan juga efek retensi natrium.

23
Ketersediaan kortikosteroid yang mudah didapat dan juga cukup ekonomis
dari segi harga merupakan salah satu faktor pendukung untuk aplikasi klinis secara
luas. Prednison dan Dexamethasone cukup banyak tersedia di rumah sakit daerah
sekalipun, sehingga meskipun ditempatkan di daerah perifer pun sebagai dokter
anestesi tidak akan susah untuk mencari sediaan kortikosteroid. Meski tetap tidak bisa
dikesampingkan bahwa untuk penggunaan jangka panjang kortikosteroid dapat
menimbulkan efek samping yang merugikan sehingga justru akan menimbulkan
beban biaya terapi yang lebih besar.

24
DAFTAR ISI

1. Coursin D B, Wood K E. Corticosteroid supplementation for adrenal


insufficiency. JAMA. 2002;287(2):236–240.
2. A. Crown and S. Lightman. Why is the management of glucocorticoid deficiency still
controversial: a review of the literature. Clinical Endocrinology. 2005:63(5):483–92.
3. Solem J H, Lund I. Prophylaxis with corticosteroids in surgical patients receiving
cortisone or other steroid therapy. Acta Anaesthesiol Scand. 1962;6:99–105.
4. Kehlet H, Binder C. Adrenocortical function and clinical course during and after
surgery in unsupplemented glucocorticoid-treated patients. Br J
Anaesth. 1973;45(10):1043–48.
5. Udelsman R, Ramp J, Gallucci W T. et al. Adaptation during surgical stress. A
reevaluation of the role of glucocorticoids. J Clin Invest. 1986;77(4):1377–81.
6. de Lange D W, Kars M. Perioperative glucocorticosteroid supplementation is not
supported by evidence. Eur J Intern Med. 2008;19(6):461–7.
7. Fraser C G, Preuss F S, Bigford W D. Adrenal atrophy and irreversible shock
associated with cortisone therapy. J Am Med Assoc. 1952;149(17):1542–3.
8. Kehlet H. Copenhagen, Denmark: FADL Forlag ; 1976. Clinical course and
hypothalamic-pituitary-adrenocortical function in glucocorticoid-treated surgical
patients.

9. B. M. Arafah, K. E. Nekl, R. S. Gold et al. Immediate recovery of pituitary function


after transsphenoidal resection of pituitary macroadenomas,” Journal of Clinical
Endocrinology and Metabolism. 1994:79(2):348–54.
10. Brown C J, Buie W D. Perioperative stress dose steroids: do they make a difference?
J Am Coll Surg. 2001;193(6):678–86.
11. Thomason J M, Girdler N M, Kendall-Taylor P, Wastell H, Weddel A, Seymour R A.
An investigation into the need for supplementary steroids in organ transplant patients
undergoing gingival surgery. A double-blind, split-mouth, cross-over study. J Clin
Periodontol. 1999;26(9):577–82.
12. Lloyd E L. A rational regimen for perioperative steroid supplements and a clinical
assessment of the requirement. Ann R Coll Surg Engl. 1981;63(1):54–7.
13. Symreng T, Karlberg B E, Kågedal B, Schildt B. Physiological cortisol substitution of
long-term steroid-treated patients undergoing major surgery. Br J
Anaesth. 1981;53(9):949–54.

14. S. A. Jabbour, Steroids and the surgical patient. Medical Clinics of North America.
2001:85(5):1311-17.
15. Knudsen L, Christiansen L A, Lorentzen J E. Hypotension during and after operation
in glucocorticoid-treated patients. Br J Anaesth. 1981;53(3):295–301.
16. R. Udelsman, J. A. Norton, and S. E. Jelenich, Responses of the hypothalamic-
pituitary-adrenal and renin-angiotensin axes and the sympathetic system during
25
controlled surgical and anesthetic stress. Journal of Clinical Endocrinology and
Metabolism. 1987:64(5):986–94.
17. Glowniak J V, Loriaux D L. A double-blind study of perioperative steroid
requirements in secondary adrenal insufficiency. Surgery. 1997;121(2):123–9.
18. Mathis A S, Shah N K, Mulgaonkar S. Stress dose steroids in renal transplant patients
undergoing lymphocele surgery. Transplant Proc. 2004;36(10):3042–5.

26
19. Shapiro R, Carroll P B, Tzakis A G, Cemaj S, Lopatin W B, Nakazato P. Adrenal
reserve in renal transplant recipients with cyclosporine, azathioprine, and prednisone
immunosuppression. Transplantation. 1990; Salem M, Tainsh R E Jr, Bromberg J,
Loriaux D L, Chernow B. Perioperative glucocorticoid coverage. A reassessment 42
years after emergence of a problem. Ann Surg. 1994;219(4):416–25.
20. 49(5):1011–3.

21. I. E. Widmer, J. J. Puder, C. König et al. Cortisol response in relation to the


severity of stress and illness. Journal of Clinical Endocrinology and
Metabolism.2005:90(8): 4579–86.
22. Lal G, Clark O H. New York, NY: McGraw Hill; 2010. Thyroid, Parathyroid, and
Adrenal; pp. 1343–1407.
23. Friedman R J, Schiff C F, Bromberg J S. Use of supplemental steroids in patients
having orthopaedic operations. J Bone Joint Surg Am. 1995;77(12):1801–6.
24. Marik P E, Varon J. Requirement of perioperative stress doses of corticosteroids: a
systematic review of the literature. Arch Surg. 2008;143(12):1222–6.
25. R. A. Donald, E. G. Perry, G. A. Wittert et al. The plasma ACTH, AVP, CRH and
catecholamine responses to conventional and laparoscopic cholecystectomy. Clinical
Endocrinology. 1993:38(6):609-15.
26. Friedman R J, Baliga P, Bromberg J S, et al . Stress steroids are not required for
patients receiving a renal allograft and undergoing operation. J Am Coll
Surg. 1995;180(5):532–536.
27. Zaghiyan K, Melmed G, Murrell Z, Fleshner P. Safety and feasibility of using low-
dose perioperative intravenous steroids in inflammatory bowel disease patients
undergoing major colorectal surgery: a pilot study. Surgery. 2012;152(2):158–63.
28. Jasani M K, Freeman P A, Boyle J A. et al. Studies in the rise in plasma 11-
hydroxycorticosteroids (11-OCHS) in corticosteroid-treated patients with rheumatoid
arthritis during surgery: correlations with the functional integrity of the hypothalomo-
pituitary-adrenal axis. Q J Med. 1968;37:407–21.
29. Zaghiyan K, Melmed G, Murrell Z, Fleshner P. Are high-dose perioperative steroids
necessary in patients undergoing colorectal surgery treated with steroid therapy
within the past 12 months? Am Surg. 2011;77(10):1295–9.
30. Lewis L, Robinson R F, Yee J, Hacker L A, Eisen G. Fatal adrenal cortical
insufficiency precipitated by surgery during prolonged continuous cortisone
treatment. Ann Intern Med. 1953;39(1):116–26.

31. B. M. Arafah. Review: hypothalamic pituitary adrenal function during critical illness:
limitations of current assessment methods. Journal of Clinical Endocrinology and
Metabolism. 2006:91(10):3725–45
32. Yong S L, Marik P, Esposito M. et al. Supplemental perioperative steroids for
surgical patients with adrenal insufficiency. Cochrane Database Syst Rev. 2009:4.
33. L. Wise, H. W. Margraf, and W. F. Ballinger. A new concept on the pre- and
27
postoperative regulation of cortisol secretion. Surgery.1972:72(2):290–9.

28
29

Anda mungkin juga menyukai