Anda di halaman 1dari 12

BAGIAN KULIT DAN KELAMIN

REFERAT BESAR

FAKULTAS KEDOKTERAN

JUNI 2015

UNIVERSITAS HASANUDDIN

PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID TOPIKAL UNTUK TERAPI


PADA PENYAKIT KULIT

Disusun Oleh:
MONAREZA RESTANTIA SHIRLY D.

C 111 11 178

CITRA LADY ANGGA DEWI

C 111 11 209

MOHD. NAIM SHAUQI BIN MOHD. NOH

C 111 07 305

Pembimbing
dr. Nur Putri Nuzul
Supervisor
dr. Irma Herlina Sp. KK
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
PADA BAGIAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASSANUDDIN
MAKASSAR
2015
BAB I

PENDAHULUAN
Kortikosteroid merupakan obat yang mempunyai khasiat dan indikasi
klinis yang sangat luas. Manfaat dari kortikosteroid cukup besar tetapi efek
samping yang tidak diharapkan cukup banyak, maka dalam penggunaannya
dibatasi termasuk dalam bidang.1,2 Kortikosteroid adalah derivat dari hormon
kortikosteroid yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal. Hormon ini dapat
mempengaruhi volume dan tekanan darah, kadar gula darah, otot dan resistensi
tubuh.3
Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan
besar yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Berbagai jenis kortikosteroid
sintetis telah dibuat dengan tujuan utama untuk mengurangi aktivitas
mineralokortikoidnya dan meningkatkan aktivitas antiinflamasinya, misalnya
deksametason yang mempunyai efek antiinflamasi 30 kali lebih kuat dan efek
retensi natrium lebih kecil dibandingkan dengan kortisol. Berdasarkan cara
penggunaannya kortikosteroid dapat dibagi dua yaitu kortikosteroid sistemik dan
kortikosteroid topikal. Kortikosteroid topikal adalah obat yang digunakan di kulit
pada tempat tertentu dan merupakan terapi topikal yang memberi pilihan untuk
para ahli kulit dengan menyediakan banyak pilihan efek pengobatan.3
Sebagian besar khasiat yang diharapkan dari pemakaian kortikosteroid
adalah

sebagai

antiinflamasi,

antialergi

atau

imunosupresif.

Manfaat

kortikosteroid banyak digunakan dalam bidang dermatologi terutama lebih


ditekankan sebagai obat antialergi. Terapi dengan obat ini bukan merupakan terapi
kuratif melainkan terapi pengendalian atau paliatif saja, kecuali pada insufisiensi
korteks adrenal. Berbagai penyakit yang dahulu lama penyembuhannya dapat
dipersingkat, misalnya pada dermatitis. Penyakit berat yang dahulu dapat
menyebabkan kematian, misalnya sindrom Stevens-Jhonson dan nekrolisis
epidermal toksik, angka kematiannya dapat ditekan berkat pengobatan dengan
kortikosteroid.3,4

BAB II

PEMBAHASAN
2.1

Mekanisme Kerja
Efektifitas kortiksteroid topikal berhubungan dengan 4 hal yaitu

vasokonstriksi, (antimitosis) antiproliferatif, immunosupresif dan antiinflamasi.


Kebanyakan kerja kortikosteroid dimediasi oleh reseptor intrasel yang disebut
reseptor glukokortikoid. Reseptor glukokortikoid -isoform terlokalisasi di dalam
sitosol, mengikat glukokortikosteroid, dan berpindah ke suatu rantai nuklear DNA
yang diketahui sebagai elemen responsi kortikosteroid, yang kemudian akan
menstimulasi atau menginhibisi transkripsi dari gen yang berdekatan, hingga
meregulasi proses inflamasi. Reseptor glukokortikoid -isoform tidak mengikat
glukokortikoid,

melainkan

berperan

untuk

mengikat

antiglukokortikoid/antiprogrestin untuk meregulasi ekspresi gen.2


Kortikosteroid topikal menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah di
bagian superfisial dermis, yang akan mengurangi eritema. Kemampuan untuk
menyebabkan vasokontriksi ini biasanya berhubungan dengan potensi antiinflamasi, dan biasanya vasokontriksi ini digunakan sebagai suatu tanda untuk
mengetahui aktivitas klinik dari suatu agen.2
2.2. Golongan Kortikosteroid Topikal
Kortikosteroid topikal terbagi mejadi 7 golongan besar berdasarkan
kemampuan

kortikosteroid

tersebut

menyebabkan

efek

vasokonstriksi,

antiinflamasi, antiproliferatif, dan immunosupresif. Kortikosteroid topikal


golongan I adalah yang paling kuat daya anti-inflamasi dan antimitotiknya (super
poten). Sebaliknya golongan VII yang terlemah (potensi lemah).2

Tabel 4. Penggolongan kortikosteroid topikal berdasarkan potensi klinis :2,4,5


Klasifikasi

Nama Dagang

Nama Generik

Golongan 1:

Diprolene ointment

(super poten)

Diprolene AF cream

0,05% betamethason dipropionate

Psorcon ointment

0,05% diflorasone diacetate

Temovate ointment

0,05% clobetasol propionate

Temovate cream
Olux foam
Ultravate ointment

0,05% halobetasol propionate

Ultravate cream

Golongan II:

Cyclocort ointment

0,1% amcinonide

(potensi tinggi)

Diprosone ointment

0,05% betamethasone dipropionate

Elocon ointment

0,01% mometasone fuorate

Florone ointment

0,05% diflorasone diacetate

Halog ointment

0,01% halcinonide

Halog solution
Lidex ointment

0,05% fluocinonide

Lidex solution
Maxiflor ointment

0,05% diflorasone diacetate

Maxivate ointment

0,05% betamethasone dipropionate

Maxivate cream
Topicort ointment

0,25% desoximetasone

Topicort cream
Topicort gel

0,05% desoximetasone

Golongan III: (potensi

Aristocort A ointment

0,1% triamcinolone acetonide

tinggi)

Cultivate ointment

0,005% fluticasone propionate

Cyclocort cream

0,1 amcinonide

Cyclocort lotion
Diprosone cream

0,05% betamethasone dipropionate

Flurone cream

0,05% diflorosone diacetate

Lidex E cream

0,05% fluocinonide

Maxiflor cream

0,05% diflorosone diacetate

Maxivate lotion

0,05% betamethasone dipropionate

Topicort LP cream

0,05% desoximetasone

Valisone ointment

0,01% betamethasone valerate

Golongan IV:

Aristocort ointment

0,1% triamcinolone acetonide

(potensi medium)

Cordran ointment

0,05% flurandrenolide

Elocon cream

0,1% mometasone furoate

Elocon lotion
Kenalog ointment

0,1% triamcinolone acetonide

Kenalog cream
Synalar ointment

0,025% fluocinolone acetonide

Westcort ointment

0,2 % hydrocortisone valerate

Golongan V: (potensi

Cordran cream

0,05% flurandrenolide

medium)

Cutivate cream

0,05% fluticasone propionate

Dermatop cream

0,1% prednicarbate

Diprosone lotion

0,05% betamethasone dipropionate

Kenalog lotion
Locoid ointment

0,1% triamcinolone acetonide

Locoid cream
Synalar cream

0,025% fluocinolone acetonide

Tridesilon ointment

0,05% desonide

Valisone cream

0,1% betamethasone valerate

Westcort cream

0,2% hydrocortisone valerate

Golongan VI: (potensi

Aclovate ointment

0,05% aclometasone

medium)

Aclovate cream

Aristocort cream

0,1% triamcinolone acetonide

Desowen cream

0,05% desonide

Kenalog cream

0,025% triamcinolone acetonide

Kenalog lotion
Locoid solution

0,1% hydrocortisone butyrate

Synalar cream

0,01% fluocinolone acetonide

Synalar solution
Tridesilon cream

0,05% desonide

Valisone lotion

0,1% betamethasone valerate

Obat topical dengan


Golongan VII: (potensi

hidrokortison,

lemah)

dekametason,
glumetalone,
prednisolone, dan
metilprednisolone

2.3. Penggunaan Berdasarkan Potensi


Penggunaan kortikosteroid topikal harus mempertimbangkan indikasi dan
berdasarkan pada potensi kortikosteroid tersebut. Kortikotseroid dengan potensi
yang berbeda memiliki indikasi yang berbeda pula. Kortikosteroid dengan potensi
kuat belum tentu merupakan obat pilihan untuk suatu penyakit kulit. Perlu
diperhatikan bahwa kortikosteroid topikal bersifat paliatif dan supresif terhadap
penyakit kulit dan bukan merupakan pengobatan kausal.2,4
2.3.1

Kortikosteroid Potensi Lemah


Kortikosteroid potensi lemah digunakan pada kelainan akut serta pada

penderita anak-anak, usia lanjut dan ibu hamil. Pengobatan kortikosteroid pada
bayi dan anak harus dilakukan dengan lebih hati-hati. Penggunaan pada anak-anak
memiliki efektifitas yang tinggi dan sedikit efek samping terhadap pemberian

kortikosteroid topikal dengan potensi lemah dan dalam jangka waktu yang
singkat. Sedangkan pada bayi memiliki risiko efek samping yang tinggi karena
kulit bayi masih belum sempurna dan fungsinya belum berkembang seutuhnya.
Secara umum, kulit bayi lebih tipis, ikatan sel-sel epidermisnya masih longgar,
lebih cepat menyerap obat sehingga kemungkinan efek toksis lebih cepat terjadi
serta sistem imun belum berfungsi secara sempurna Pada bayi prematur lebih
berisiko karena kulitnya lebih tipis dan angka penetrasi obat topikal sangat tinggi.2
Pada geriatri memiliki kulit yang tipis sehingga penetrasi steroid topikal
meningkat. Selain itu, pada geriatri juga telah mengalami kulit yang atropi
sekunder karena proses penuaan. Kortikosteroid topikal harus digunakan secara
tidak sering, waktu singkat dan dengan pengawasan yang ketat.2
Kortikosteroid topikal tidak seharusnya dipakai sewaktu hamil kecuali
dinyatakan perlu atau sesuai oleh dokter untuk wanita yang hamil. Pada kasus
kelahiran prematur, sering digunakan steroid untuk mempercepat kematangan
paru-paru janin (standar pelayanan). Kortikosteroid topikal yang biasa digunakan
pada saat kehamilan adalah hidrokortison dan betametason. Begitu juga pada
waktu menyusui, penggunaan kortikosteroid topikal harus dihindari dan
diperhatikan. Belum diketahui dengan pasti apakah steroid topikal diekskresi
melalui ASI, tetapi sebaiknya tidak digunakan pada wanita sedang menyusui.2,7
2.3.2

Kortikosteroid Potensi Sedang


Kortikosteroid potensi sedang digunakan pada kelainan subakut, misalnya

pada dermatitis kontak alergi, dermatitis seboroik, dan dermatitis intertriginosa.2,4


2.3.3 Kortikosteroid Potensi Kuat
Kortikosteroid potensi kuat digunakan pada kelainan kulit yang bersifat
kronis dengan lesi yang tebal, contohnya pada psoriasis, dermatitis atopik,
dermatitis dishidrotik, dan dermatitis numular.2,4

2.4

Dosis Pemberian Kortikosteroid Topikal

Pemberian kortikosteroid topikal dipilih berdasarkan keamanan dan


pertimbangan efek samping serta beberapa faktor lain yang perlu di
pertimbangkan yaitu jenis penyakit kulit, jenis vehikulum, kondisi penyakit yaitu
stadium penyakit, luas/tidaknya lesi, dalam/dangkalnya lesi dan lokalisasi lesi.5,9
Steroid topikal terdiri dari berbagai macam vehikulum dan bentuk dosis.
Salep (ointments) ialah bahan berlemak atau seperti lemak, yang pada suhu kamar
berkonsistensi seperti mentega. Bahan dasar biasanya vaselin, tetapi dapat pula
lanolin atau minyak. Jenis ini merupakan yang terbaik untuk pengobatan kulit
yang kering karena banyak mengandung pelembab. Selain itu juga baik untuk
pengobatan pada kulit yang tebal contoh telapak tangan dan kaki. Salep mampu
melembabkan stratum korneum sehingga meningkatkan penyerapan dan potensi
obat. Krim adalah suspensi minyak dalam air. Krim memiliki komposisi yang
bervariasi dan biasanya lebih berminyak dibandingkan ointments tetapi berbeda
pada daya hidrasi terhadap kulit. Banyak pasien lebih mudah menemukan krim
untuk kulit dan secara kosmetik lebih baik dibandingkan ointments. Meskipun itu,
krim terdiri dari emulsi dan bahan pengawet yang mempermudah terjadi reaksi
alergi pada beberapa pasien. Lotion (bedak kocok) tediri atas campuran air dan
bedak, yang biasanya ditambah dengan gliserin sebagai bahan perekat, lotion
mirip dengan krim. Lotion terdiri dari agents yang membantu melarutkan
kortikosteroid dan lebih mudah menyebar ke kulit. Solution tidak mengandung
minyak tetapi kandungannya terdiri dari air, alkohol dan propylene glycol. Gel
komponen solid pada suhu kamar tetapi mencair pada saat kontak dengan kulit.
Lotion, solution, dan gel memiliki daya penyerapan yang lebih rendah
dibandingkan ointment tetapi berguna pada pengobatan area rambut contoh pada
daerah scalp dimana lebih berminyak dan secara kosmerik lebih tidak nyaman
pada pasien.2,4,9
Pada umumnya dianjurkan pemakaian salep 2-3 x/hari sampai penyakit
tersebut sembuh. Perlu dipertimbangkan adanya gejala takifilaksis. Takifilaksis
ialah menurunnya respons kulit terhadap glukokortikoid karena pemberian obat
yang berulang-ulang berupa toleransi akut yang berarti efek vasokonstriksinya
akan menghilang, setelah diistirahatkan beberapa hari efek vasokonstriksi akan
timbul kembali dan akan menghilang lagi bila pengolesan obat tetap dilanjutkan.

Lama pemakaian kortikosteroid topikal sebaiknya tidak lebih dari 4-6


minggu untuk steroid potensi lemah dan tidak lebih dari 2 minggu untuk potensi
kuat. Ada beberapa acuan pemakaian dari kortikosteroid topikal, yakni 5
1. kortikosteroid topikal poten tidak dibenarkan pada bayi dan anak.
2. Pemakaian kortikosteroid poten orang dewasa hanya 40 gram per minggu,
sebaiknya jangan lebih lama dari 2 minggu. Bila lesi sudah membaik,
pilihlah salah satu dari golongan sedang dan bila perlu diteruskan dengan
hidrokortison asetat 1%.
2.5 Efek Samping
Efek samping dapat terjadi apabila penggunaan kortikosteroid yang lama
dan berlebihan. Selain itu, dapat juga terjadi karena penggunaan kortikosteroid
dengan potensi kuat atau sangat kuat atau penggunaan secara oklusif. Semakin
tinggi potensi kortikosteroid maka akan semakin cepat terjadinya efek samping.
Secara umum efek samping dari kortikosteroid topikal antara lain adalah
atrofi, striae atrofise, telangiektasis, purpura, dermatosis akneformis, hipertrikosis
setempat, hipopigmentasi, dan dermatitis perioral. Efek samping kortikosteroid
dapat dibagi menjadi beberapa tingkat yaitu:5,9
2.5.1 Efek Epidermal
Efek epidermal pada penggunaan kortikosteroif adalah penipisan epidermal
yang disertai dengan peningkatan aktivitas kinetik dermal, suatu penurunan
ketebalan rata-rata lapisan keratosit, dengan pendataran dari konvulsi dermoepidermal. Efek ini bisa dicegah dengan penggunaan tretinoin topikal secara
konkomitan.
Efek lain pada epidermis adalah inhibisi dari melanosit, suatu keadaan
seperti vitiligo, telah ditemukan. Komplikasi ini muncul pada keadaan oklusi
steroid atau injeksi steroid intrakutan.

2.5.2

Efek Dermal

Terjadi penurunan sintesis kolagen dan pengurangan pada substansi dasar.


Ini menyebabkan terbentuknya striae dan keadaan vaskulator dermal yang lemah
akan menyebabkan mudah ruptur jika terjadi trauma atau terpotong. Pendarahan
intradermal yang terjadi akan menyebar dengan cepat untuk menghasilkan suatu
blot hemorrhage. Ini nantinya akan terserap dan membentuk jaringan parut stelata,
yang terlihat seperti usia kulit prematur.
2.5.3

Efek Vaskular

Kortikosteroid dapat menyebabkan vasodilatasi yang terfiksasi. Kortikosteroid


pada awalnya menyebabkan vasokontriksi pada pembuluh darah yang kecil di
superfisial. Vasokontriksi yang lama akan menyebabkan pembuluh darah yang
kecil mengalami dilatasi berlebihan, yang bisa mengakibatkan edema, inflamasi
lanjut, dan kadang-kadang pustulasi
2.6

Pencegahan Efek Samping


Penggunaan

kortikosteroid

pada

bayi

sebaiknya

menggunakan

kortikosteroid yang lemah dikarenakan kondisi kulit bayi yang masih tipis. Pada
kelainan subkutan sebaiknya digunakan kortikosteroid sedang, jika kelainan
kronis dan tebal dapat dipakai kortikosteroid kuat. Apabila gejala sudah membaik,
frekuensi pengolesan harus dikurangi, misalnya yang semula dua kali sehari
diubah menjadi sekali sehari atau diganti dengan kortikosteroid topical sedang
atau lemah untuk mencegah efek samping.4
Efek samping sistemik jarang sekali terjadi, agar aman dosis yang
dianjurkan ialah jangan lebih dari 30 gram sehari tanpa oklusi. Jika hendak
menggunakan cara oklusi, sebaiknya jangan melebihi 12 jam dalam sehari dan
pemakaiannya terbatas pada lesi yang resisten.4
Pada daerah lipatan (inguinal, ketiak) dan wajah sebaiknya digunakan
kortikosteroid lemah/sedang. Kortikosteroid tidak boleh digunakan pada infeksi
bacterial, infeksi mikotik, infeksi virus dan skabies. Di sekitar mata hendaknya
berhati-hati untuk menghindari timbulnya glaucoma dan katarak.Terapi Intralesi
dibatasi 1 mg pada satu tempat, sedangkan dosis maksimum 10 mg per kali.4
BAB III

KESIMPULAN
10

Kortikosteroid topikal adalah obat yang dioleskan di kulit pada


temoat tertentu terutama pada beberapa penyakit dermatosis tertentu.
Berdasarkan potensi klinisnya dibedakan menjadi beberapa golongan
yaitu superpoten, potensi tinggi, potensi medium, potensi lemah.
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis
protein dengan menginduksi sintesis protein yang merupakan
perantara efek fisiologis steroid.
Efek klinis dari kortikosteroid topical berhubungan dengan 4
hal yaitu, efek anti inflamasi, anti proliferasi, immunosupresan, dan
vasokontriksi. Efek samping dapat terjadi apabila penggunaan
kortikosteroid topical yang sama dan berlebihan serta potensi kuat
atau sangat kuat atau penggunaan sangat oklusi. Dapat dibagi menjadi
beberapa tingkat yaitu efek epidermal, dermal, dan vascular. Efek
samping lokal yang dapat terjadi meliputi atrofi, telangiektasis, striae
atrofise, purpura, dermatosis acneformis, hipertrikosis setempat,
hipopigmentasi dan dermatitis perioral.

DAFTAR PUSTAKA

11

1.

Lee T, Nesbitt J. Glucocorticosteroids. In: Bolognias Dermatology. 2nd


edition. Inggris: Mosby Elsevier; 2010; 567-9

2.

Werth VP. Systemic Glucocorticoids At Glance. In: Fitzpatricks


Dermatology in General Medicine. Volume II B. 8th Edition. New York; Mc
Graw-Hill Medical Publishing Division. 2012; 3852-60

3.

Ference JD, Last AR. Choosing topical corticosteroids. Am Fam Physician.


2009; 79(2):135-40

4.

Djuanda. A, Hamzah. M, Aisah. S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi


kelima, Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007; 337-47

5.

Mitsos L, Sasseville D. Systemic Corticosteroid Use in Dermatology:


Devining, Detailing, and Demystifyng. Dermatology Rounds. 2011; 7(2): 16

6.

Del Rosso J, Friedlander SF. Corticosteroids: options in the era of steroidsparing therapy. J Am Acad Dermatol. 2005 ;53: S50-8.

7.

Simon D, Borradori L, Simon H. Glucocorticoid in Autoimune Bullous


Disease: Are Neutrophils The Key Cellular Target. Journal of Investigative
Dermatology. 2013; 133, 2314-15.

8.

Tzu-Kai Lin. Paradoxical Benefits of pshycological stress in inflamatory


dermatoses models are glucocorticoid mediated. Journal of Investigative
Dermatology. 2014; 134, 2890-97

9.

Johan R. Penggunaan Kortikosteroid Topikal yang Tepat. Cermin Dunia


Kedokteran. 2015; 42(4): 227, 308-12

10. Rathi SK, D'Souza P. Rational and ethical use of topical corticosteroids
based on safety and efficacy. Indian J Dermatol. 2012; 57(4):251-9

12

Anda mungkin juga menyukai