Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

OBAT-OBAT OTOTOKSIK

BLOK XIX KEGAWATDARURATAN MEDIS

Disusun oleh : Kelompok 3

DESI MEGASARI NIM. 1110015003


M. SURYA TIYANTARA NIM. 1110015009
NADIA SHAHNAZ NIM. 1110015019
ADITIYA SETYORINI NIM. 1110015031
EVIANA ROULI S NIM. 1110015033
DANIEL P. L. PARDEDE NIM. 1110015034
LUSI RUSTIANA NIM. 1110015041
SELICA ERLINDRI NIM. 1110015045
WINDA AYU P NIM. 1110015046
RHEZA GIOVANNI NIM. 1110015052
TIARA DWI SARI NIM. 1110015059

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN UMUM


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA

2014

0
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa
karena atas rahmat dan hidayah-Nyalah laporan praktikum farmakologi
ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Laporan ini disusun dari
berbagai sumber ilmiah sebagai hasil dari diskusi kelompok. Laporan ini
secara garis besar berisikan tentang obat-obat yang memiliki efek
ototoksik sesuai dengan kasus yang telah diberikan.
Dalam proses penyusunan laporan ini, kami mengucapkan terima
kasih kepada:
1. dr. Sjarief Ismail, M.Kes selaku pembimbing praktikum
farmakologi pada blok ini yang telah membimbing kami dalam
melaksanakan praktikum.
2. Teman-teman kelompok 3 yang telah mencurahkan pikirannya
sehingga laporan kasus praktikum farmakologi ini dapat
terselesaikan.
Kami berharap agar laporan ini dapat berguna baik bagi penyusun
maupun bagi para pembaca di kemudian hari. Laporan ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun
sangat penyusun harapkan demi tercapainya kesempurnaan dari isi laporan
hasil praktikum farmakologi ini.

Samarinda, September 2014

Tim Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................1
DAFTAR ISI............................................................................................................2
BAB I.......................................................................................................................3
1.1 Latar Belakang.........................................................................................3
1.2 Tujuan Penulisan......................................................................................4
BAB II......................................................................................................................5
BAB III...................................................................................................................25
3.1 KESIMPULAN........................................................................................25
3.2 SARAN....................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................26

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Akhir-akhir ini penyebab ketulian memang masih banyak yang belum
diketahui, tetapi setelah dilakukan anamnesis secara teliti pada penderita, maka
terungkap bahwa sebagian besar ketulian penderita disebabkan karena obat atau
yang biasa disebut dengan ototoksik, selain karena akibat mekanik atau faktor
eksternal lain.
Penyebab umum gangguan pendengaran, terutama di negara-negara berkembang,
adalah ototoxicity. ototoxic yang berupa kehilangan pendengaran terjadi ketika
seseorang mengambil atau diberi obat yang menyebabkan gangguan pendengaran
sebagai salah satu dari efek samping. Kadang-kadang obat yang diperlukan untuk
menyelamatkan nyawa misalnya seperti obat untuk penyakit jantung, dan
gangguan pendengaran adalah harga yang harus dibayar untuk bisa hidup
Ototoksik sudah lama dikenal sebagai efek samping pengobatan kedokteran, dan
dengan bertambahnya obet-obatan yang lebih poten daftar obat-obatan ototoksik
makin bartambah. Pada tahun 1990 Werner melakukan tinjauan pustaka yang
menerangkan efek ototoksik dari berbagai macam zat termasuk Arsen, etil, metal
alcohol, nikotin, toksin bakteri dan senyawa-senyawa logam berat.
Ototoksisitas disebabkan oleh obat atau zat kimia yang merusak telinga
bagian dalam atau saraf vestibulocochlear, yang mengirim info keseimbangan dan
pendengaran dari telinga bagian dalam ke otak. Otoksisitas dapat menyebab
gangguan pendengaran, keseimbangan, atau keduanya baik untuk sementara
waktu atau permanen. Banyak zat kimia yang berpotensi bersifat ototoksik, baik
itu berupa obat atau zat kimia yang ada di lingkungan kita. Obat apapun yang
berpotensi menyebabkan reaksi toksik terhadap struktur dalam telinga, yang
mencakup koklea, vestibulum, kanalis semisirkularis, dan otolit, dianggap sebagai
obat ototoksik.

3
Obat-obat ototoksik yang menyebabkan kerusakan system auditori
dan keseimbangan dapat menyebabkan kehilangan pendengaran, tinnitus, dan
pusing. Kelas obat-obat tertentu yang menyebabkan ototoksisitas telah ditetapkan,
dan lebih dari 100 kelas obat telah dikaitkan dengan toksisitas. Factor yang
mempengaruhi ototoksisitas mencakup dosis, durasi terapi, penyakit yang disertai
gagal ginjal, pemberian dengan obat lain yang memiliki potensi ototoksik. Obat
ototoksi tidak boleh digunakan secara topical jika membrane timpani mengalami
perforasi karena obat dapat mengalir ke dalam telinga bagian dalam.
Kehilangan pendengaran atau gangguan keseimbangan yang permanen
disebabkan oleh obat ototoksik mungkin memiliki akibat komunikasi, edukasi,
dan social yang serius. Oleh karena itu, harus dipertimbangkan apakah
keuntungannya lebih banyak daripada kerugiannya, dan pengobatan alternative
harus dipertimbangkan jika tepat. Penanganan ditekankan pada pencegahan,
karena sebagian besar kehilangan pendengaran bersifat ireversibel. Saat ini tidak
terdapat terapi untuk menyembuhkan kerusakan akibat obat-obatan ototoksik.

1.2 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari penulisan laporan ini adalah :
1. Mengetahui dan memahami lebih dalam tentang obat-obatan Ototoksik
2. Untuk mengetahui gejala, risiko, pemeriksaan, alternative, dan pencegahan
dari ototoksik yang disebabkan obat

4
BAB II

PEMBAHASAN

KASUS
1. Seorang penderita berumur 28 tahun dirawat di Rumah Sakit Umum
dengan sesak nafas. Hasil diagnosis dokter adalah pneumonia. Terapi
yang didapat adalah injeksi penisilin prokain 2 x 2.4 juta unit IM,
gentamisin 2 x 80 mg iv, asam salisilat 500 mg sehari tiga kali. Setelah
dirawat selama lima hari penderita mengeluh pusing berputar-putar dan
tinitus. Diagnosa tambahan vertigo. Diberi obat flunarizin 1 x 10 mg dan
obat suntik diteruskan. Dua hari kemudian penderita mengeluh
pendengaran berkurang.
o Sebutkan obat-obat yang bersifat toksik untuk kasus di atas!
Obat- obat yang termasuk ototoksik dari kasus di atas :
- Gentamisin (golongan aminoglikosida)
- Asam Salisilat (golongan salisilat)
o Sebutkan obat-obat antibiotik yang bersifat ototoksik!

I. Golongan Aminoglikosida :
- Streptomisin
- Gentamisin
- Neomisin
- Kanamisin
- Amikasin
- Tobramisin
II. Golongan antibiotic lain:
- Eritromisin
- Azitromisin dan klindamisin (golongan Makrolid generasi baru)
- Vankomisin (Glikopeptida)

o Jelaskan patomekanisme terjadinya toksik pada telinga pada


penggunaan obat tersebut!

5
 Gentamisin :
Target utama efek toksisitas aminoglikosid adalah sistem renal dan
kokhleovestibuler.Namun tidak ada hubungan yang jelas antara derajat
nefrotoksiksitas dan ototoksisitas. Toksisitas kokhlea menyebabkan
gangguan pendengaran yang biasanya dimulai dari frekuensi tinggi dan
adalah efek sekunder dari kerusakan ireversibel sel rambut luar pada organ
korti, terutama di basal kokhlea. Kadar aminoglikosid di cairan telinga
dalam bertahan lebih lama dari kadar di serum sehingga ada efek ototoksik
aminoglikosid bersifat laten. Sehingga gangguan pendengaran dapat
dimulai atau bertambah parah setelah pemberian aminoglikosid
dihentikan. Untuk itu pemeriksaan pasien untuk efek ototoksik dan
vestibulotoksik sebaiknya tetap dilakukan sampai dengan 6 bulan setelah
pemberian aminoglikosid dihentikan. Mekanisme ototoksisitas
aminoglikosid terjadi melalui gangguan pada proses sinstesis protein di
mitokodria dan terbentuknya radikal bebas. Pada level seluler, gangguan
dengar terjadi akibat kerusakan sel rambut kokhlea khususnya sel rambut
luar. Aminoglikosid dapat menghasilkan radikal bebas di telinga dalam
dengan mengaktifkan nitric oxide synthetase sehingga meningkatkan
konsentrasi nitric oxide. Kemudian terjadi reaksi antara oksigen radikal
dengan nitric oxide membentuk peroxynitrite radical yang bersifat
destruktif dan mampu menstimulasi kematian sel secara langsung.
Apoptosis adalah mekanisme kematian sel yang utama dan terutama
diperantarai oleh kaskade intrinsik yang diperantarai oleh mitokondria.
Tampaknya interaksi aminoglikosid dengan zat besi dan tembaga semakin
menambah pembentukan radikal bebas. Sebagai hasil akhir dari kaskade
tersebut terjadi kerusakan permanen sel rambut luar kokhlea yang
berakibat gangguan dengar permanen. Ototoksisitas aminoglikosid bersifat
multifaktorial dan penelitian lebih lanjut masih diperlukan. Beberapa
penelitian menyelidiki tentang pemberian iron chelators dan anti oksidan
selama terapi aminoglikosid sebagai agen yang mungkin dapat mencegah
gangguan dengar. Sementara penelitian lain menyelidiki kemungkinan
terapi gen sebagai alternatif terapi. Namun sekarang ini belum ada pilihan

6
terapi yang ada selain amplifikasi dan implan kokhlea, maka dari itu
pencegahan adalah hal yang sangat penting. efek vestibulotoksik
gentamisin lebih dominan. Bila kadar dalam serum masih dalam rentang
terapi 10-12mcg/mL masih dianggap aman namun mungkin masih bisa
berefek toksik pada beberapa pasien. Dosis harus disesuaikan dengan hati-
hati bila digunakan pada pasien dengan gangguan ginjal.

 Asam asetil salisilat


Asam asetil salisilat atau yang lebih dikenal dengan aspirin
digunakan secara luas sebagai anti inflamasi, anti piretik dan analgetik.
Aspirin adalah suatu penghambat agregasi platelet dan digunakan pada
pasien dengan riwayat stroke, angina atau infark jantung. Asam asetil
salisilat diserap dengan cepat setelah pemebrian melalui oral dan
mengalami hidrolisis di hati menjadi bentuk aktifnya asam salisilat. Kadar
terapetik dalam serum berkisar antara 25-50mcg/mL sebagai analgesik dan
antipiretik, 150-300 mcg/mL sebagai terapi demam rematik. Gejala tinitus
dilaporkan dapat muncul pada kadar serum 200mcg/mL.Asam salisilat
dapat masuk dengan cepat ke kokhlea dan kadar di perilimfe setara dengan
kadar di serum. Kadar yang semakin meningkat dapat menyebabkan tinitus
dan biasanya gangguan dengar sensorineral yang sementara dengan
gambaran audiogram yang datar. Mekanismenya multifaktorial dan
multilokasi. Kelainan morfologi minimal pernah dilaporkan, hasil OAE
juga menunjukkan adanya abnormalitas sel rambut luar kokhlea,
penurunan aliran darah kokhlea THT-KLjuga diduga mempunyai peranan.
Perubahan biokimia, dan permeabilitas sel rambut luar yang tidak normal
juga dapat berpengaruh.
o Sebutkan tanda dan gejala ototoksik atau vestibulotoksik pada
penggunaan obat pada kasus tersebut!

 Tanda dan Gejala ototoksik gentamisin


Secara klinis gejala yang muncul akibat kerusakan akut pada
kokhlea adalah tinitus. Pada tahap awal penurunan pendengaran mungkin
tidak disadari oleh pasien dan dapat berupa penurunan ambang dengar
pada frekuensi tinggi (>4.000Hz) yang dapat semakin memberat dan

7
mempengaruhi frekuensi bicara dan pasien dapat mengalami kurang
dengar berat apabila terapi dilanjutkan. Apabila terapi dihentikan pada taha
pawal, kerusakan lebih lanjut dapat dicegah dan perbaikan sebagian dari
pendengaran dapat terjadi meskipun sering kali kerusakan bersifat
permanen. Toksisitas kokhlea menyebabkan gangguan pendengaran yang
biasanya dimulai dari frekuensi tinggi dan adalah efek sekunder dari
kerusakan ireversibel sel rambut luar pada organ korti, terutama di basal
kokhlea. Kadar aminoglikosid di cairan telinga dalam bertahan lebih lama
dari kadar di serum sehingga ada efek ototoksik aminoglikosid bersifat
laten. Sehingga gangguan pendengaran dapat dimulai atau bertambah
parah setelah pemberian aminoglikosid dihentikanGejala toksisitas
vestibuler biasanya berupa gangguan keseimbangan dan gejala gangguan
visual. Gejala memberat pada keadaan gelap atau pada keadaan dimana
pijakan kaki tidak stabil. Gejala gangguan visual berupa oscillopsia
muncul ketika kepala bergerak yang berdampak pandangan kabur untuk
sementara waktu yang dapat meyebabkan gangguan melihat rambu
lalulintas atau mengenali wajah orang ketika sedang berjalan.
 Tanda dan Gejala asam salisilat
Tinitus adalah gejala yang paling sering terjadi. Gejala lain seperti
gangguan dengar, mual, muntah, nyeri kepala, juga pernah dilaporkan.
Gangguan dengar yang terjadi biasanya derajat ringan sampai dengan
sedang dan simetris bilateral. Pemulihan biasanya terjadi dalam 24-72 jam
setelah penghentian obat. Tinitus dulu dianggap sebagai tanda awal
kejadian ototoksisitas. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa kejadian
tinitus sebaiknya tidak digunakan sebagai penanda kadar salisilat dalam
serum karena efek ototoksik dapat terjadi meskipun pada kadar salisilat
dalam serum yang rendah.

o Apakah risk untuk penggunaan obat ototoksik tersebut?


 aminoglikosid
1. penurunan fungsi ginjal
2. peningkatan serum level (kadar puncak dan kadar lembah

8
meningkat)
3. engkonsumsi lebih dari satuobat ototoksik (biasanya
aminoglikosida ditambah loop diuretic)
4. riwayat pernah megkonsumsiobat ototoksik
5. minum obat ototoksik lebih dari14 hari
6. gejala koklea dan vestibular yang menjadi nyata selama
pengobatan
7. berusia lebih dari 65 tahun
 Asam salisilat:
1. Dosis tinggi
2. Usia tua
3. dehidrasi

o Pemeriksaan apa yang diperlukan untuk mendiagnosis ototoksik


disebabkan obat dan bagaimana kita dapat mendiagnosis penyebab
ototoksik disebabkan oleh obat tersebut?

Anamnesis
Anamnesis mengenai proses terjadinya ketulian, gejala yang menyertai
serta faktor predisposisi penting untuk mengarahkan diagnosis.
• Kehilangan pendengaran tiba-tiba biasanya unilateral yang tidak
jelas penyebabnya, berlangsung dalam waktu kurang dari 3 hari.
• Pasien biasanya mengingat dengan jelas kapan tepatnya mereka
kehilangan pendengaran, pasien seperti mendengar bunyi ”klik”
atau ”pop” kemudian pasien kehilangan pendengaran.
• Gejala awal adalah berupa tinitus, beberapa jam bahkan beberapa
hari sebelumnya bisa didahului oleh obat-obat ototoksik , infeksi
virus, trauma kepala, dan neuroma akustik.
• Pusing mendadak (vertigo) merupakan gejala awal terbanyak dari
tuli mendadak yang disebabkan oleh iskemik koklear dan infeksi
virus, dan vertigo akan lebih hebat pada penyakit meniere, tapi
vertigo tidak ditemukan atau jarang pada tuli mendadak akibat
neuroma akustik
• Mual dan muntah
• Demam tinggi dan kejang
• Riwayat hipertensi, penyakit metabolic seperti DM serta riwayat
penggunaan obat-obatan yang bersifat ototoksik

9
• Riwayat infeksi virus seperti mumps, campak, herpes zooster,
CMV, influenza B
• Telinga terasa penuh, biasanya pada penyakit meniere
• Memastikan tidak diakibatkan oleh sebab lain, seperti riwayat
berpergian dengan pesawat atau menyelam ke dasar laut, trauma
kepala dan bising keras
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan pendengaran, tes garpu tala: Rinne positif, Weber
lateralisasi ke telinga yang normal, Schwabach memendek, kesan tuli
sensorineural.
Pada audiometri nada murni menunjukkan tuli sensorineural ringan sampai
berat. Pemeriksaan audiometri nada tutur memberi hasil tuli sensorineural
sedangkan pada audiometri impedans terdapat kesan tuli sensorineural
koklea.
Pemeriksaan penunjang
a. Audiometri khusus
• Tes SISI (Short Increment Sensitivity Index) dengan skor :
100% atau kurang dari 70%
• Tes Tone decay atau reflek kelelahan negatif.
Kesan : Bukan tuli retrokoklea
b. Audiometri tutur (speech audiometry)
• SDS (speech discrimination score): kurang dari 100%
Kesan : Tuli sensorineural
c. Audiometri impedans
Timpanogram tipe A (normal) reflek stapedius ipsilateral negatif
atau positif sedangkan kolateral positif.
Kesan : Tuli sensorineural Koklea
d. BERA ( Brainstem Evolved Responce Audiometry)
Menunjukkan tuli sensori neural ringan sampai berat.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dapat digunakan untuk menyingkirkan
kemungkinan lain, seperti infeksi virus, bakteri, hiperlipidemia,
hiperfibrinogen, hipotiroid, penyakit autoimun, dan faal hemostasit.

o Bagaimana cara pencegahannya sehingga tidak terjadi ototoksik?

10
 Identifikasi pasien dengan faktor resiko tinggi dan pilih antibiotik
alternatif yang dapat diberikan
 Monitoring kadar obat dalam serum dan fungsi ginjal sebelum,
saat dan setelah pengobatan , karena Pada penggunaan
aminoglikosid pembersihannya sebagian besar oleh ginjal, oleh
karena itu gangguan fungsi ginjal akan memperlama pembersihan
aminoglikosid sehingga konsentrasi dalam jaringan akan lebih
tinggi dan meningkatkan risiko ototoksik obat.
 Fungsi pendengaran/audiometri dievaluasi sebelum, selama, dan
setelah pengobatan minimal 6 bulan
 edukasi pasien untuk menghindari lingkungan bising selama 6
bulan sesudah terapi dihentikan karena mereka lebih rentan terjadi
kerusakan pada koklea

 anti radikal bebas dapat melindungi diri dari ototoksisitas yang


dapat disebabkan oleh aminoglikosida termasuk deferoksamin, 2,3
dihidroksi benzoate , asam alpha lipid,dan D-methionin

 pengamatan setiap hari dapat mengurangi kejadian ototoksik dan


harus disadari kapan pun bisa terjadi hal seperti ini

o Apakah alternatif untuk penggantian obat untuk terapi tersebut?


1. Alternatif Asam salisilat : parasetamol
2. Alternatif Antibiotik
 golongan β lactam dan anti-β lactamase secara iv

 golongan sefalosporin generasi 3 secara iv, contohnya: cefixime,


cefotaxime, ceftriaxone atau

11
2. Seorang penderita berumur 50 tahun menderita osteomyelitis dan gagal
jantung. Mendapat terapi natrium diklofenak 3 x 50 mg, ciprofloksasin 3
x 750 gram, furosemid 1 x 20 mg, Aspar K (Kalium aspartat) 1 x 1 tablet.
Obat furosemid dan aspar K sudah diminumnya selama satu tahun.
Setelah minum obat selama 2 minggu ia merasa pendengaran sering
berdenging dan pendengaran berkurang.
o Sebutkan obat-obat yang bersifat toksik pada telinga pada kasus
diatas.
Natrium diklofenak, ciprofloksasin, dan furosemid.
o Sebutkan obat-obat NSAID yang bersifat ototoksik
• Diklofenak
• Etocolak
• Fenprofen
• Ibuprofen
• Indomethacin
• Naproxen
• Piroxicam
• Sulindac
• Aspirin
• Acematacine
• Benorilate
• Benoxaprofen
• Carprofen
• Diflunisal
• MethylSalisilat
• Piroxicam
• Salicilate
• Tolmetin
• Zomepirac
• Diklofenak
• Fenoprofen
• Ibuprofen

12
• Indomethacin
• Naproxen
• D-Penicilliamin
• Proglumetacin
• Proquazone
• Rofecoxib
• Feprazon
• Isoxicam
• Ketoprofen
• Phenylbutazone
• Sulindac

o Jelaskan patomekanisme terjadinya toksik pada telinga pada


penggunaan obat tersebut
 Furosemid yang termasuk golongan loop diuretik dapat
menyebabkan ototoksisitas. Efek ototoksisitas diuretik nampaknya
berhubungan dengan stria vaskularis yang dipengaruhi oleh
perubahan radien ion antara perilimfe dan endolimfe. Perubahan
ini menyebabkan edema pada epitel stria vaskularis sehingga
terjadi perubahan potensial pada endolimfe. Perubahan ini biasanya
tergantung pada dosis dan reversibel. Secara keseluruhan efek
ototoksik akibat diuretik bersifat sementara
 Natrium diklofenak, dapat masuk dengan cepat ke dalam koklea
dan kadar di perilimfe sama dengan kadar di serum. Kadar yang
semakin meningkat dapat menyebabkan tinitus dan biasanya
gangguan dengar sensorineural yang sementara dengan gambaran
audiogram yang datar. Mekanismenya multifaktorial dan
multilokasi. Kelainan morfologi minimal pernah dilaporkan, hasil
OAE juga menunjukkan adanya abnormalitas sel rambut luar
koklea, penurunan aliran darah koklea juga diduga mempunyai
peranan. Perubahan biokimia, dan permeabilitas sel rambut luar
yang tidak normal juga dapat berpengaruh.
 Ciprofloksasin, Penggunaan yang berkelanjutan dengan dosis yang

13
tinggi menunjukkan perubahan hilangnya sel-sel rambut luar, dan
tampak mempengaruhi sirkulasi darah sekitar koklea yaitu
mengurangi perfusi, dan menyebabkan perubahan biokimia.

o Sebutkan tanda dan gejala ototoksik atau vestibulotoksik pada


penggunaan obat pada kasus tersebut.
 Furosemid
Pasien biasanya mengeluhkan gejala gangguan dengar segera
setelah terapi diberikan. Pasien kadanga juga mengeluh tinitus dan
gangguan keseimbangan. Penurunan pendengaran yang sifatnya permanen
dilaporkan terjadi pada pasien dengan gagal ginjal, menerima terapi dalam
dosisi tinggi atau menerima antibiotik aminoglikosid pada saat bersamaan.
 Natrium diklofenak
Tinitus adalah gejala yang paling sering terjadi. Gejala lain seperti
gangguan dengar, mual, muntah, nyeri kepala juga pernah dilaporkan.
Gangguan dengar yang terjadi biasanya derajat ringan sampai dengan
sedang dan simetris bilateral. Pemulihan biasanya terjadi dalam 24-72 jam
setelah penghentian obat.
 Ciprofloksasin
Menyebabkan tinitus , Hearing Loss yang bersifat reversibel dan
sensory neural yang terjadi pada frekuensi 4000Hz, serta Dizziness,
Vertigo, Nyeri kepala,Nausea, dan Pengurangan penglihatan

o Apakah risiko untuk penggunaan obat ototoksik tersebut ?


Natrium diklofenak
- Mual
- Sakit kepala
- Iritasi dan efek toksik pada ginjal
- Distres gastrointestinal
- Perdarahan gastrointestinal
- Ulserasi lambung
Furosemid
- Rasa tidak enak pada perut
- Hipotensi ortostatik
- Gangguan saluran pencernaan

14
- Penglihatan kabur
- Pusing
- Sakit kepala
- Gangguan pendengaran
Ciprofloksasin
- Diare
- Gangguan pencernaan
- Dispepsia
- Nyeri perut
- Anoreksia
- Dysphagia
- Pusing
- Sakit kepala
- Insomnia
- Agitasi
- Tremor
- Kemerahan pada kulit
- Reaksi anafilaktik
- Gagal ginjal

o Pemeriksaan apa yang diperlukan untuk mendiagnosis ototoksik


disebabkan obat dan bagaimana kita dapat mendiagnosis penyebab
ototoksik disebabkan oleh obat tersebut
Pada pemeriksaan awal untuk pendengaran sebaiknya dilakukan
selengkap mungkin, minimal dengan audiometri nada murni dengan
frekuensi 0,25 – 8 kHz. Lengkapi juga dengan riwayat pasien, riwayat
keluarga, pemeriksaan otoskopi telinga dan audiometri tutur. Dapat juga
dilakukan pemeriksaan Otoacoustic emission (OAE) dan Auditory
Brainstem Response (ABR), pemeriksaan dilakukan untuk dokumentasi
dan monitoring pasien. OAE khususnya sensitif dan dapat
menggambarkan keadaan pada sel rambut luar kokhlea, dan dapat menilai
kejadian kokhleotoksik secara objektif. Sedangkan penggunaan ABR lebih
memakan waktu dan stimuli frekuensinya terbatas pada 1 – 4 kHz.
a. Anamnesis
Pertama dilakukan anamnesis terlebih dahulu dengan rinci dan
lengkap meliputi :
- Keluhan utama telinga
- Riwayat penyakit yang di alami baik dari yang sekarang,

15
keluarga, hingga pengobatan
- Singkirkan penyebab lain seperti trauma kepala, trauma
telinga ataupun pernah mengalami infeksi pada daerah telinga
- Gali riwayat penggunaan obat – obatan yang bersifat
ototoksik
b. Pemeriksaan Telinga
Dilakukan uji pendengaran dengan garpu tala, yakni :
- Tes Rinne
- Tes Weber
- Tes scwabach
Dapat juga dilakukan pemeriksaan telingan dengan menggunakan
pemeriksaan Otoacoustic emission (OAE) dan Auditory Brainstem
Response (ABR). OAE khususnya sensitif dan dapat menggambarkan
keadaan pada sel rambut luar kokhlea, dan dapat menilai kejadian
kokhleotoksik secara objektif. Sedangkan penggunaan ABR lebih
memakan waktu dan stimuli frekuensinya terbatas pada 1 – 4 kHz.
Dan pada umumnya penggunaan obat – obatan yang bersifat
ototoksik menyebabkan tuli sensorineural.

o Bagaimana cara pencegahannya sehingga tidak terjadi ototoksik ?


Pencegahan untuk tidak terjadi ototoksik secara umum yaitu
mempertimbangkan penggunaan obat – obat ototoksik, menilai kerentanan
pasien, memonitor efek samping secara dini, yaitu dengan memperhatikan
gejala – gejala keracunan telinga dalam yang timbul seperti tinitus, kurang
pendengaran dan vertigo. Pada pasien yang menunjukkan mulai ada gejala
– gejala tersebut harus dilakukan evaluasi audiologik dan menghentikan
pengobatan.
Pencegahan ototoksitas akibat diuretik dapat dilakukan dengan
penggunaan dosis yang terendah yang masih bisa mencapai efek terapi dan
menghindari penggunaan intravena dengan tetesan cepat.
o Apakah alternatif untuk pengantian obat untuk terapi tersebut ?
 Furosemide :
Benzotiazid atau tiazid merupakan diuretic terpilih untuk pengobatan
edema akibat gagal jantung ringan sampai sedang. Selain itu diuretic
hemat kalium seperti antagonis aldosteron pada gagal jantung kronik

16
spironolakton digunakan untuk remodeling (pembentukan jaringan
fibrosis di miokard).
 Natrium diklofenak :
` Paracetamolataupun obat anti inflamasi yang lain seperti Piroxicam.
 Ciprofloksasin :
Dapat di ganti dengan clindamycin, trimethoprim-sulfamethoxazole,
rifampin , atau Antibiotik dari golongan cephalosporin generasi 3.

17
Seorang penderita berumur 20 tahun 45 Kg mederita TBC,
mendapat pengobatan obat paket RHZES di puskesmas, setelah
tiga minggu pengobatan penderita mengeluh telingganya
berdenging dan pendengaran berkurang. Mendapat pengobatan
tersebut selama satu bulan, ia mendapat penyakit malaria dan
dirawat di Rumah sakit. Di RS obat TBC diteruskan dan
mendapat terapi kinin (quinine), untuk obat penurun panas ia
mendapat parasetamol 3 x 500 mg. Pada hari ketiga pengobatan
ia merasa telinganya berdenging dan pendengaran berkurang
serta kadang-kadang pusing berputar.
o Sebutkan obat-obat yang bersifat toksik pada telinga pada
kasus diatas
Streptomisin dan quinine
o Sebutkan obat-obat antimalaria yang bersifat ototoksik
quinine, chloroquin, doxycycline, hidroxychloroquine
o Jelaskan patomekanisme terjadinya toksik pada telinga pada
penggunaan obat tersebut.
 Streptomisin bersifat ototoksik karena dapat masuk kedalam sel
rambut pendengaran melalui endositosis dan transpor kanal ion
transient receptor potential (TRP). Didalam sel, streptomisin
menyebabkan kerusakan dengan mengacaukan stereosilia dan
memicu kematian sel secara apoptosis. Kehadiran streptomisin
didalam sel rambut memicu peningkatan pembentukan reactive
oxygen species (ROS)melalui reaksi fenton. ROS dapat
mempengaruhi permeabilitas dan fluiditas membrane sel serta
mempengaruhi protein dan asam nukleat dalam sel yang akan
mengganggu kerja enzim dan kanal ion. Sel yang tidak dapat
mengatasi peningkatan ROS secara berlebihan secara terprogram
akan mengalami apoptosis akibat kerusakan pada mitokondria pula.
 Antimalaria : Obat anti malaria bersifat ototoksik melalui berbagai
macam factor. Terjadi mekanisme tertentu seperti vasokonstriksi dan
penurunan aliran arah pada koklea yang dapat menurunkan fungsi
koklea .

18
o Sebutkan tanda dan gejala ototoksik atau vestibulotoksik pada
penggunaan obat pada kasus tersebut.
 Gejala dan Tanda Ototoksik pada Streptomisin
Target utama efek toksisitas aminoglikosid adalah sistem renal dan
kokhleovestibuler. Toksisitas kokhlea menyebabkan gangguan
pendengaran yang biasanya dimulai dari frekuensi tinggi dan adalah efek
sekunder dari kerusakan ireversibel sel rambut luar pada organ korti,
terutama di basal kokhlea.
Secara klinis gejala yang muncul akibat kerusakan akut pada
kokhlea adalah tinitus. Pada tahap awal penurunan pendengaran mungkin
tidak disadari oleh pasien dan dapat berupa penurunan ambang dengar
pada frekuensi tinggi (>4.000Hz) yang dapat semakin memberat dan
mempengaruhi frekuensi bicara dan pasien dapat mengalami kurang
dengar berat apabila terapi dilanjutkan. Apabila terapi dihentikan pada
tahap awal, kerusakan lebih lanjut dapat dicegah dan perbaikan sebagian
dari ambang dengar dapat terjadi meskipun sering kali kerusakan bersifat
permanen.
Gejala toksisitas vestibuler biasanya berupa gangguan
keseimbangan dan gejala gangguan visual. Gejala memberat pada keadaan
gelap atau pada keadaan dimana pijakan kaki tidak stabil. Gejala gangguan
visual berupa oscillopsia muncul ketika kepala bergerak yang berdampak
pandangar kabur untuk sementara waktu yang dapat meyebabkan
gangguan melihat rambu lalulintas atau mengenali wajah orang ketika
sedang berjalan.

 Gejala dan Tanda Ototoksik pada Kuinin


Toksisitas akibat kuinin dapat mengakibatkan tinitus, gangguan
pendengaran dan vertigo. Gangguan dengarnya biasa Santosanya
sensorineural dan sementara. Temuan khas audiogram berupa gangguan
dengar sensorineural dengan penurunan di frekuensi 4.000Hz . Gangguan
dengar yang permanen sangat jarang dilaporkan pada toksisitas akibat
penggunaa kuinin.

19
o Apakah risk untuk penggunaan obat ototoksik tersebut
 Streptomisin, berefek vestibulotoksik sehingga menyebabkan vertigo
sebelum tedadinya tinnitus dan gangguan pendengaran. Efek
ototoksik dan nefrotoksik terjadi bila diberikan dalam dosis besar dan
lama. Gangguan pendengaran yang terjadi bersifat sensorineural.
Onset terjadinya gangguan pendengaran akibat ototoksik ini
bervariasi. Beberapa penelitian menunjukkan onset yang lambat. Dan
ada pula penelitian yang menunjukkan bersifat sementara atau
transient. Hal ini diduga berhubungan dengan durasi dan total dosis
obat ototoksik.

 Kuinin dapat menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural,


tinnitus dan vertigo. Tetapi bila pengobatan dihentikan biasanya
pendengaran akan pulih dan tinitusnya akan hilang

o Pemeriksaan apa yang diperlukan untuk mendiagnosis


ototoksik disebabkan obat dan bagaimana kita dapat mendiagnosis
penyebab ototoksik disebabkan oleh obat tersebut.
Tidak ada tes khusus untuk ototoksisitas, hal ini membuat adanya
riwayat positif terpajan ototoxin sangat penting untuk penegakkan
diagnosis.. Anamnesis untuk mengekslusi diagnosa banding lainnnya,
kemudian melakukan pemeriksaan telinga luar dan tengah menggunakan
otoskop, serta pemeriksaan sederhana dengan garpu tala..
Evaluasi terhadap kondisi sebelum munculnya gangguan
pendengaran harus dilakukan sebelum meresepkan antibiotik ototoksik.
Kemampuan mendengar harus dipantau melalui pemeriksaan audiometri
selama terapi. Menurut American SpeechLanguageHearing Association
(ASHA) pemeriksaan audiometric harus dilakukan 24 jam setelah
pengobatan pertama dan setiap dua atau tiga hari selama pengobatan .
Frekuensi tinggi umumnya lebih sensitif terhadap
pengobatan,tinnitus bernada tinggi atau vertigo mungkin dapat terjadi,
tetapi mereka tidak selalu dapat diandalkan sebagai tanda-tandapre-alert.
Kerusakan ototoksik dapat diketahui dengan anamnesis rutin,
namun kehilangan pendengaran akibat ototoksik hanya dapat ditentukan

20
oleh perbandingan audiogram antara sebelum dan setelah pengobatan.
Untuk mendiagnosa ketulian akibat farmakologi, maka perlu untuk
dipastikan melalui audiometri, yaitu terjadinya peningkatan kenyaringan
sebesar 15 dB pada satu atau lebih frekuensi. Bagaimanapun juga, sulit
untuk menetapkan etiologi farmakologis tanpa pemeriksaan dengan
audiogram dari sebelum dan setelah terapi.
Diagnosa ototoksikbisa berdasarkan gambaran audiometri nada
murni dimana terjadi penurunan pendengaran biasanya bilateral dan
simetris pada frekuensi tinggi, maupun dapat meluas ke frekuensi sedang
dan dapat bersifat permanen .
Saat ini Transient Evoked Otoacoustic Emission (TEOAE) and
distortion product otoacoustic emission (DPOAE) Test dianggap sebagai
pemeriksaan-standar emas dalam pengendalian ototoksisitas,
memungkinkan penilaian fungsi koklea pada frekuensi tinggi hanya dalam
beberapa menit.
Beberapa tes audiologik spesifik yang tersedia mungkin dilakukan,
termasuk berbagai tes pendengaran dan keseimbangan. Hal ini harus
dilakukan sebelum pengobatan awal dengan agen ototoksikyang dikenal,
serta selama pengobatan dan setelah pengobatan dihentikan.
 Pure tone air conduction test: Dapat mendeteksi perubahan yang
sangat kecil bahkan sebelum munculnyatinnitus, karena kebanyakan
agen ototoksik menghasilkan gangguan pendengaran pada frekuensi
tertinggi terlebih dahulu. Deteksi dini memungkinkan modifikasi
perawatan sebelum frekuensi berbicara terpengaruh.
 Pure tone bone conduction: Digunakan untuk menentukan fungsi
sensorineural.
 Tes pengenalan kata
 Romberg’s test: uji keseimbangan untuk mendeteksi kerusakan
vestibular.
Untuk bayi dan pasien sakit kritis yangbed-boundatau koma, tes
alternatif yang tersedia adalah:
 Emisi otoakustik (OAE): Melibatkan penggunaan mikrofon untuk
mengukur sinyal yang dihasilkan oleh koklea.
 Auditory brainstem response (ABR): Mengukur fungsi pendengaran

21
dengan memanfaatkan responsyang dihasilkan oleh saraf pendengaran
dan batang otak. Membantu membedakan tuli sensorik dengan tuli
neural.
 Beberapa tes lainnya yang dapat digunakan untuk mengetahui
seberapa besar fungsi pendengaran atau keseimbangan yang telah
hilang adalah Vestibular Autorotation Test (VAT), Vestibulo-Ocular
Reflex Testing Equipment (VORTEQ), Electronystagmography (ENG),
Computerized Dynamic Posturography (CDP), Rotary Chair (SHAT),
head-shaking, Electrocochleography (EcoG), beserta beberapa tes
lainnya yang cukup sering digunakan untuk mengidentifikasi dan
mengukur masalah telinga bagian dalam .

o Bagaimana cara pencegahannya sehingga tidak terjadi


ototoksik.
Pencegahan agar tidak terjadi ototoksik secara umum ialah
dengan mempertimbangkan penggunaan obat-obatan ototoksik, menilai
kerentanan pasien, memonitor efek samping secara dini yaitu dengan
memperhatikan gejala-gejala umum seperti tinnitus, vertigo, dan
penurunan pendengaran. Pada pasien yang mennunjukkan gejala-gejala
tersebut harus dilakukan evaluasi audiologik dan menghentikan
penggunaan obat. Streptomisin bertahan lama di kokhlea sehingga
pasien harus diedukasi untuk menghindari lingkungan yang bising
sampai dengan 6 bulan sesudah terapi dihentikan karena mereka lebih
rentan terjadi kerusakan koklea akibat bising. Pada penggunaan
streptomisin pembersihannya sebagian besar oleh ginjal, oleh karena itu
gangguan fungsi ginjal akan memperlama pembersihan streptomisin
sehingga konsentrasi dalam jaringan akan lebih tinggi dan meningkatkan
risiko ototoksik.

o Apakah alternatif untuk pengantian obat untuk terapi tersebut


?
Alternatif untuk penggantian obat untuk terapi pada kasus di atas,
yaitu diberikan terapi golongan sefalosporin. Golongan ini umumnya

22
kurang aktif terhadap kokus gram positif dibandingkan dengan generasi
pertama, tapi jauh lebih aktif terhadap enterobacteriaceae, termasuk strain
penghasil penisilinase. Seftazidim aktif terhadap pseudomonas dan
beberapa kuman gram negative lainnya. Seftriakson memiliki waktu paruh
yang lebih panjang dibandingkan sefalosporin yang lain, sehingga cukup
diberikan satu kali sehari. Obat ini diindikasikan untuk infeksi berat
seperti septicemia, pneumonia, dan meningitis. Garam kalsium seftriakson
kadang-kadang menimbulkan presipitasi di kandungempedu. Tapi
biasanya menghilang bila obat dihentikan. Sefoksitin aktif terhadap flora
usus termasuk Bacteriodesfragilis, sehingga diindikasikan untuk sepsis
karena peritonitis.

BAB III

PENUTUP

23
3.1 KESIMPULAN
Ototoksik adalah gangguan yang terjadi pada alat pendengaran yang
terjadi karena efek samping dari konsumsi obat-obatan. Gangguan yang
terjadi pada pendengaran biasanya bermanifestasi menjadi tuli
sensoryneural. Yang dapat bersifat reversibel dan bersifat sementara, atau
tidak dapat diubah dan permanen.
Obat-obatan yang biasanya memberikan efek ototoksik antara lain adalah
obat golongan Aminoglikosida, Loop Diuretics, Obat Anti Inflamasi, Obat
Anti Malaria, Obat Anti Tumor, dan Obat Tetes Telinga Topikal.
Gejala ototoxicity bervariasi dari obat satu dengan obat lain dan dan
dari orang satu dengan lainya. Yang dapat termanifestasi menjadi Tinitus ,
gangguan pendengaran ataupun vertigo merupakan gejala utama
ototoksisitas

3.2 SARAN

• Sebaiknya berhati-hati dalam memberikan obat-obatan yang dapat


menjadi pemicu timbulnya tuli sensory neural yang terjadi karena reaksi
ototksisitas obat baik pada neonatus, bayi, anak, orang dewasa, orang
tua dan juga pada ibu hamil.
• Apabila dalam terapi yang memerlukan pengobatan dengan obat-
obatan yang bersifat ototoksik, semisal obat golongan Aminoglikosida
hendaknya sebelum memulai pengobatan terlebih dahulu ditentukan
tingkat pendengaran dasar dari pasien selain itu dilakukan juga uji
keseimbangan dan tak lupa mengingatkan pasien tentang potensial
ototoksisitas dari obat yang digunakannya. Sebaiknya pemantauan
dilakukan selama penggunaan terapi dengan obat yang bersifat
ototoksik. Sehingga bila terjadi efek ototoksisitas, hal tersebut dapat
ditanggulangi lebih dini.
• Sebaiknya selama pengobatan monitoring fungsi pendengaran jangan
diabaikan

24
DAFTAR PUSTAKA

Arsyad efiaty et all., 2006, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telingga Hindung Tenggorok
Kepala Leher: edisi 5, Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Boies adam., 2002, Buku Ajar Penyakit THT: Edisi 6, Jakarta: EGC.

Hain TC. Gentamicin Toxicity. Article in Dizziness-and-balance.com 2009


available from :
http://www.dizzinessandbalance.com/disorders/bilat/gentamicin%20toxicity.htm

Mudd PA. Inner Ear, Ototoxicity. Article in emedicine. 2008. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/857679-overview

Santosa, Yanuar Iman. 2010. Ototoksisitas. http://yanuar.blog.undip.ac.id

Sriwidodo., 1998, Cermin dunia kedokteran: problema dan tatalaksana gangguan


pendengaran, Jakarta: PT KalbeFarma.

Ltd, C. A. (2010). MIMS. Singapore: Ben Yeo.


repository.usu.ac.id

25

Anda mungkin juga menyukai