OBAT-OBAT OTOTOKSIK
2014
0
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa
karena atas rahmat dan hidayah-Nyalah laporan praktikum farmakologi
ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Laporan ini disusun dari
berbagai sumber ilmiah sebagai hasil dari diskusi kelompok. Laporan ini
secara garis besar berisikan tentang obat-obat yang memiliki efek
ototoksik sesuai dengan kasus yang telah diberikan.
Dalam proses penyusunan laporan ini, kami mengucapkan terima
kasih kepada:
1. dr. Sjarief Ismail, M.Kes selaku pembimbing praktikum
farmakologi pada blok ini yang telah membimbing kami dalam
melaksanakan praktikum.
2. Teman-teman kelompok 3 yang telah mencurahkan pikirannya
sehingga laporan kasus praktikum farmakologi ini dapat
terselesaikan.
Kami berharap agar laporan ini dapat berguna baik bagi penyusun
maupun bagi para pembaca di kemudian hari. Laporan ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun
sangat penyusun harapkan demi tercapainya kesempurnaan dari isi laporan
hasil praktikum farmakologi ini.
Tim Penyusun
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................1
DAFTAR ISI............................................................................................................2
BAB I.......................................................................................................................3
1.1 Latar Belakang.........................................................................................3
1.2 Tujuan Penulisan......................................................................................4
BAB II......................................................................................................................5
BAB III...................................................................................................................25
3.1 KESIMPULAN........................................................................................25
3.2 SARAN....................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................26
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
Obat-obat ototoksik yang menyebabkan kerusakan system auditori
dan keseimbangan dapat menyebabkan kehilangan pendengaran, tinnitus, dan
pusing. Kelas obat-obat tertentu yang menyebabkan ototoksisitas telah ditetapkan,
dan lebih dari 100 kelas obat telah dikaitkan dengan toksisitas. Factor yang
mempengaruhi ototoksisitas mencakup dosis, durasi terapi, penyakit yang disertai
gagal ginjal, pemberian dengan obat lain yang memiliki potensi ototoksik. Obat
ototoksi tidak boleh digunakan secara topical jika membrane timpani mengalami
perforasi karena obat dapat mengalir ke dalam telinga bagian dalam.
Kehilangan pendengaran atau gangguan keseimbangan yang permanen
disebabkan oleh obat ototoksik mungkin memiliki akibat komunikasi, edukasi,
dan social yang serius. Oleh karena itu, harus dipertimbangkan apakah
keuntungannya lebih banyak daripada kerugiannya, dan pengobatan alternative
harus dipertimbangkan jika tepat. Penanganan ditekankan pada pencegahan,
karena sebagian besar kehilangan pendengaran bersifat ireversibel. Saat ini tidak
terdapat terapi untuk menyembuhkan kerusakan akibat obat-obatan ototoksik.
4
BAB II
PEMBAHASAN
KASUS
1. Seorang penderita berumur 28 tahun dirawat di Rumah Sakit Umum
dengan sesak nafas. Hasil diagnosis dokter adalah pneumonia. Terapi
yang didapat adalah injeksi penisilin prokain 2 x 2.4 juta unit IM,
gentamisin 2 x 80 mg iv, asam salisilat 500 mg sehari tiga kali. Setelah
dirawat selama lima hari penderita mengeluh pusing berputar-putar dan
tinitus. Diagnosa tambahan vertigo. Diberi obat flunarizin 1 x 10 mg dan
obat suntik diteruskan. Dua hari kemudian penderita mengeluh
pendengaran berkurang.
o Sebutkan obat-obat yang bersifat toksik untuk kasus di atas!
Obat- obat yang termasuk ototoksik dari kasus di atas :
- Gentamisin (golongan aminoglikosida)
- Asam Salisilat (golongan salisilat)
o Sebutkan obat-obat antibiotik yang bersifat ototoksik!
I. Golongan Aminoglikosida :
- Streptomisin
- Gentamisin
- Neomisin
- Kanamisin
- Amikasin
- Tobramisin
II. Golongan antibiotic lain:
- Eritromisin
- Azitromisin dan klindamisin (golongan Makrolid generasi baru)
- Vankomisin (Glikopeptida)
5
Gentamisin :
Target utama efek toksisitas aminoglikosid adalah sistem renal dan
kokhleovestibuler.Namun tidak ada hubungan yang jelas antara derajat
nefrotoksiksitas dan ototoksisitas. Toksisitas kokhlea menyebabkan
gangguan pendengaran yang biasanya dimulai dari frekuensi tinggi dan
adalah efek sekunder dari kerusakan ireversibel sel rambut luar pada organ
korti, terutama di basal kokhlea. Kadar aminoglikosid di cairan telinga
dalam bertahan lebih lama dari kadar di serum sehingga ada efek ototoksik
aminoglikosid bersifat laten. Sehingga gangguan pendengaran dapat
dimulai atau bertambah parah setelah pemberian aminoglikosid
dihentikan. Untuk itu pemeriksaan pasien untuk efek ototoksik dan
vestibulotoksik sebaiknya tetap dilakukan sampai dengan 6 bulan setelah
pemberian aminoglikosid dihentikan. Mekanisme ototoksisitas
aminoglikosid terjadi melalui gangguan pada proses sinstesis protein di
mitokodria dan terbentuknya radikal bebas. Pada level seluler, gangguan
dengar terjadi akibat kerusakan sel rambut kokhlea khususnya sel rambut
luar. Aminoglikosid dapat menghasilkan radikal bebas di telinga dalam
dengan mengaktifkan nitric oxide synthetase sehingga meningkatkan
konsentrasi nitric oxide. Kemudian terjadi reaksi antara oksigen radikal
dengan nitric oxide membentuk peroxynitrite radical yang bersifat
destruktif dan mampu menstimulasi kematian sel secara langsung.
Apoptosis adalah mekanisme kematian sel yang utama dan terutama
diperantarai oleh kaskade intrinsik yang diperantarai oleh mitokondria.
Tampaknya interaksi aminoglikosid dengan zat besi dan tembaga semakin
menambah pembentukan radikal bebas. Sebagai hasil akhir dari kaskade
tersebut terjadi kerusakan permanen sel rambut luar kokhlea yang
berakibat gangguan dengar permanen. Ototoksisitas aminoglikosid bersifat
multifaktorial dan penelitian lebih lanjut masih diperlukan. Beberapa
penelitian menyelidiki tentang pemberian iron chelators dan anti oksidan
selama terapi aminoglikosid sebagai agen yang mungkin dapat mencegah
gangguan dengar. Sementara penelitian lain menyelidiki kemungkinan
terapi gen sebagai alternatif terapi. Namun sekarang ini belum ada pilihan
6
terapi yang ada selain amplifikasi dan implan kokhlea, maka dari itu
pencegahan adalah hal yang sangat penting. efek vestibulotoksik
gentamisin lebih dominan. Bila kadar dalam serum masih dalam rentang
terapi 10-12mcg/mL masih dianggap aman namun mungkin masih bisa
berefek toksik pada beberapa pasien. Dosis harus disesuaikan dengan hati-
hati bila digunakan pada pasien dengan gangguan ginjal.
7
mempengaruhi frekuensi bicara dan pasien dapat mengalami kurang
dengar berat apabila terapi dilanjutkan. Apabila terapi dihentikan pada taha
pawal, kerusakan lebih lanjut dapat dicegah dan perbaikan sebagian dari
pendengaran dapat terjadi meskipun sering kali kerusakan bersifat
permanen. Toksisitas kokhlea menyebabkan gangguan pendengaran yang
biasanya dimulai dari frekuensi tinggi dan adalah efek sekunder dari
kerusakan ireversibel sel rambut luar pada organ korti, terutama di basal
kokhlea. Kadar aminoglikosid di cairan telinga dalam bertahan lebih lama
dari kadar di serum sehingga ada efek ototoksik aminoglikosid bersifat
laten. Sehingga gangguan pendengaran dapat dimulai atau bertambah
parah setelah pemberian aminoglikosid dihentikanGejala toksisitas
vestibuler biasanya berupa gangguan keseimbangan dan gejala gangguan
visual. Gejala memberat pada keadaan gelap atau pada keadaan dimana
pijakan kaki tidak stabil. Gejala gangguan visual berupa oscillopsia
muncul ketika kepala bergerak yang berdampak pandangan kabur untuk
sementara waktu yang dapat meyebabkan gangguan melihat rambu
lalulintas atau mengenali wajah orang ketika sedang berjalan.
Tanda dan Gejala asam salisilat
Tinitus adalah gejala yang paling sering terjadi. Gejala lain seperti
gangguan dengar, mual, muntah, nyeri kepala, juga pernah dilaporkan.
Gangguan dengar yang terjadi biasanya derajat ringan sampai dengan
sedang dan simetris bilateral. Pemulihan biasanya terjadi dalam 24-72 jam
setelah penghentian obat. Tinitus dulu dianggap sebagai tanda awal
kejadian ototoksisitas. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa kejadian
tinitus sebaiknya tidak digunakan sebagai penanda kadar salisilat dalam
serum karena efek ototoksik dapat terjadi meskipun pada kadar salisilat
dalam serum yang rendah.
8
meningkat)
3. engkonsumsi lebih dari satuobat ototoksik (biasanya
aminoglikosida ditambah loop diuretic)
4. riwayat pernah megkonsumsiobat ototoksik
5. minum obat ototoksik lebih dari14 hari
6. gejala koklea dan vestibular yang menjadi nyata selama
pengobatan
7. berusia lebih dari 65 tahun
Asam salisilat:
1. Dosis tinggi
2. Usia tua
3. dehidrasi
Anamnesis
Anamnesis mengenai proses terjadinya ketulian, gejala yang menyertai
serta faktor predisposisi penting untuk mengarahkan diagnosis.
• Kehilangan pendengaran tiba-tiba biasanya unilateral yang tidak
jelas penyebabnya, berlangsung dalam waktu kurang dari 3 hari.
• Pasien biasanya mengingat dengan jelas kapan tepatnya mereka
kehilangan pendengaran, pasien seperti mendengar bunyi ”klik”
atau ”pop” kemudian pasien kehilangan pendengaran.
• Gejala awal adalah berupa tinitus, beberapa jam bahkan beberapa
hari sebelumnya bisa didahului oleh obat-obat ototoksik , infeksi
virus, trauma kepala, dan neuroma akustik.
• Pusing mendadak (vertigo) merupakan gejala awal terbanyak dari
tuli mendadak yang disebabkan oleh iskemik koklear dan infeksi
virus, dan vertigo akan lebih hebat pada penyakit meniere, tapi
vertigo tidak ditemukan atau jarang pada tuli mendadak akibat
neuroma akustik
• Mual dan muntah
• Demam tinggi dan kejang
• Riwayat hipertensi, penyakit metabolic seperti DM serta riwayat
penggunaan obat-obatan yang bersifat ototoksik
9
• Riwayat infeksi virus seperti mumps, campak, herpes zooster,
CMV, influenza B
• Telinga terasa penuh, biasanya pada penyakit meniere
• Memastikan tidak diakibatkan oleh sebab lain, seperti riwayat
berpergian dengan pesawat atau menyelam ke dasar laut, trauma
kepala dan bising keras
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan pendengaran, tes garpu tala: Rinne positif, Weber
lateralisasi ke telinga yang normal, Schwabach memendek, kesan tuli
sensorineural.
Pada audiometri nada murni menunjukkan tuli sensorineural ringan sampai
berat. Pemeriksaan audiometri nada tutur memberi hasil tuli sensorineural
sedangkan pada audiometri impedans terdapat kesan tuli sensorineural
koklea.
Pemeriksaan penunjang
a. Audiometri khusus
• Tes SISI (Short Increment Sensitivity Index) dengan skor :
100% atau kurang dari 70%
• Tes Tone decay atau reflek kelelahan negatif.
Kesan : Bukan tuli retrokoklea
b. Audiometri tutur (speech audiometry)
• SDS (speech discrimination score): kurang dari 100%
Kesan : Tuli sensorineural
c. Audiometri impedans
Timpanogram tipe A (normal) reflek stapedius ipsilateral negatif
atau positif sedangkan kolateral positif.
Kesan : Tuli sensorineural Koklea
d. BERA ( Brainstem Evolved Responce Audiometry)
Menunjukkan tuli sensori neural ringan sampai berat.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dapat digunakan untuk menyingkirkan
kemungkinan lain, seperti infeksi virus, bakteri, hiperlipidemia,
hiperfibrinogen, hipotiroid, penyakit autoimun, dan faal hemostasit.
10
Identifikasi pasien dengan faktor resiko tinggi dan pilih antibiotik
alternatif yang dapat diberikan
Monitoring kadar obat dalam serum dan fungsi ginjal sebelum,
saat dan setelah pengobatan , karena Pada penggunaan
aminoglikosid pembersihannya sebagian besar oleh ginjal, oleh
karena itu gangguan fungsi ginjal akan memperlama pembersihan
aminoglikosid sehingga konsentrasi dalam jaringan akan lebih
tinggi dan meningkatkan risiko ototoksik obat.
Fungsi pendengaran/audiometri dievaluasi sebelum, selama, dan
setelah pengobatan minimal 6 bulan
edukasi pasien untuk menghindari lingkungan bising selama 6
bulan sesudah terapi dihentikan karena mereka lebih rentan terjadi
kerusakan pada koklea
11
2. Seorang penderita berumur 50 tahun menderita osteomyelitis dan gagal
jantung. Mendapat terapi natrium diklofenak 3 x 50 mg, ciprofloksasin 3
x 750 gram, furosemid 1 x 20 mg, Aspar K (Kalium aspartat) 1 x 1 tablet.
Obat furosemid dan aspar K sudah diminumnya selama satu tahun.
Setelah minum obat selama 2 minggu ia merasa pendengaran sering
berdenging dan pendengaran berkurang.
o Sebutkan obat-obat yang bersifat toksik pada telinga pada kasus
diatas.
Natrium diklofenak, ciprofloksasin, dan furosemid.
o Sebutkan obat-obat NSAID yang bersifat ototoksik
• Diklofenak
• Etocolak
• Fenprofen
• Ibuprofen
• Indomethacin
• Naproxen
• Piroxicam
• Sulindac
• Aspirin
• Acematacine
• Benorilate
• Benoxaprofen
• Carprofen
• Diflunisal
• MethylSalisilat
• Piroxicam
• Salicilate
• Tolmetin
• Zomepirac
• Diklofenak
• Fenoprofen
• Ibuprofen
12
• Indomethacin
• Naproxen
• D-Penicilliamin
• Proglumetacin
• Proquazone
• Rofecoxib
• Feprazon
• Isoxicam
• Ketoprofen
• Phenylbutazone
• Sulindac
13
tinggi menunjukkan perubahan hilangnya sel-sel rambut luar, dan
tampak mempengaruhi sirkulasi darah sekitar koklea yaitu
mengurangi perfusi, dan menyebabkan perubahan biokimia.
14
- Penglihatan kabur
- Pusing
- Sakit kepala
- Gangguan pendengaran
Ciprofloksasin
- Diare
- Gangguan pencernaan
- Dispepsia
- Nyeri perut
- Anoreksia
- Dysphagia
- Pusing
- Sakit kepala
- Insomnia
- Agitasi
- Tremor
- Kemerahan pada kulit
- Reaksi anafilaktik
- Gagal ginjal
15
keluarga, hingga pengobatan
- Singkirkan penyebab lain seperti trauma kepala, trauma
telinga ataupun pernah mengalami infeksi pada daerah telinga
- Gali riwayat penggunaan obat – obatan yang bersifat
ototoksik
b. Pemeriksaan Telinga
Dilakukan uji pendengaran dengan garpu tala, yakni :
- Tes Rinne
- Tes Weber
- Tes scwabach
Dapat juga dilakukan pemeriksaan telingan dengan menggunakan
pemeriksaan Otoacoustic emission (OAE) dan Auditory Brainstem
Response (ABR). OAE khususnya sensitif dan dapat menggambarkan
keadaan pada sel rambut luar kokhlea, dan dapat menilai kejadian
kokhleotoksik secara objektif. Sedangkan penggunaan ABR lebih
memakan waktu dan stimuli frekuensinya terbatas pada 1 – 4 kHz.
Dan pada umumnya penggunaan obat – obatan yang bersifat
ototoksik menyebabkan tuli sensorineural.
16
spironolakton digunakan untuk remodeling (pembentukan jaringan
fibrosis di miokard).
Natrium diklofenak :
` Paracetamolataupun obat anti inflamasi yang lain seperti Piroxicam.
Ciprofloksasin :
Dapat di ganti dengan clindamycin, trimethoprim-sulfamethoxazole,
rifampin , atau Antibiotik dari golongan cephalosporin generasi 3.
17
Seorang penderita berumur 20 tahun 45 Kg mederita TBC,
mendapat pengobatan obat paket RHZES di puskesmas, setelah
tiga minggu pengobatan penderita mengeluh telingganya
berdenging dan pendengaran berkurang. Mendapat pengobatan
tersebut selama satu bulan, ia mendapat penyakit malaria dan
dirawat di Rumah sakit. Di RS obat TBC diteruskan dan
mendapat terapi kinin (quinine), untuk obat penurun panas ia
mendapat parasetamol 3 x 500 mg. Pada hari ketiga pengobatan
ia merasa telinganya berdenging dan pendengaran berkurang
serta kadang-kadang pusing berputar.
o Sebutkan obat-obat yang bersifat toksik pada telinga pada
kasus diatas
Streptomisin dan quinine
o Sebutkan obat-obat antimalaria yang bersifat ototoksik
quinine, chloroquin, doxycycline, hidroxychloroquine
o Jelaskan patomekanisme terjadinya toksik pada telinga pada
penggunaan obat tersebut.
Streptomisin bersifat ototoksik karena dapat masuk kedalam sel
rambut pendengaran melalui endositosis dan transpor kanal ion
transient receptor potential (TRP). Didalam sel, streptomisin
menyebabkan kerusakan dengan mengacaukan stereosilia dan
memicu kematian sel secara apoptosis. Kehadiran streptomisin
didalam sel rambut memicu peningkatan pembentukan reactive
oxygen species (ROS)melalui reaksi fenton. ROS dapat
mempengaruhi permeabilitas dan fluiditas membrane sel serta
mempengaruhi protein dan asam nukleat dalam sel yang akan
mengganggu kerja enzim dan kanal ion. Sel yang tidak dapat
mengatasi peningkatan ROS secara berlebihan secara terprogram
akan mengalami apoptosis akibat kerusakan pada mitokondria pula.
Antimalaria : Obat anti malaria bersifat ototoksik melalui berbagai
macam factor. Terjadi mekanisme tertentu seperti vasokonstriksi dan
penurunan aliran arah pada koklea yang dapat menurunkan fungsi
koklea .
18
o Sebutkan tanda dan gejala ototoksik atau vestibulotoksik pada
penggunaan obat pada kasus tersebut.
Gejala dan Tanda Ototoksik pada Streptomisin
Target utama efek toksisitas aminoglikosid adalah sistem renal dan
kokhleovestibuler. Toksisitas kokhlea menyebabkan gangguan
pendengaran yang biasanya dimulai dari frekuensi tinggi dan adalah efek
sekunder dari kerusakan ireversibel sel rambut luar pada organ korti,
terutama di basal kokhlea.
Secara klinis gejala yang muncul akibat kerusakan akut pada
kokhlea adalah tinitus. Pada tahap awal penurunan pendengaran mungkin
tidak disadari oleh pasien dan dapat berupa penurunan ambang dengar
pada frekuensi tinggi (>4.000Hz) yang dapat semakin memberat dan
mempengaruhi frekuensi bicara dan pasien dapat mengalami kurang
dengar berat apabila terapi dilanjutkan. Apabila terapi dihentikan pada
tahap awal, kerusakan lebih lanjut dapat dicegah dan perbaikan sebagian
dari ambang dengar dapat terjadi meskipun sering kali kerusakan bersifat
permanen.
Gejala toksisitas vestibuler biasanya berupa gangguan
keseimbangan dan gejala gangguan visual. Gejala memberat pada keadaan
gelap atau pada keadaan dimana pijakan kaki tidak stabil. Gejala gangguan
visual berupa oscillopsia muncul ketika kepala bergerak yang berdampak
pandangar kabur untuk sementara waktu yang dapat meyebabkan
gangguan melihat rambu lalulintas atau mengenali wajah orang ketika
sedang berjalan.
19
o Apakah risk untuk penggunaan obat ototoksik tersebut
Streptomisin, berefek vestibulotoksik sehingga menyebabkan vertigo
sebelum tedadinya tinnitus dan gangguan pendengaran. Efek
ototoksik dan nefrotoksik terjadi bila diberikan dalam dosis besar dan
lama. Gangguan pendengaran yang terjadi bersifat sensorineural.
Onset terjadinya gangguan pendengaran akibat ototoksik ini
bervariasi. Beberapa penelitian menunjukkan onset yang lambat. Dan
ada pula penelitian yang menunjukkan bersifat sementara atau
transient. Hal ini diduga berhubungan dengan durasi dan total dosis
obat ototoksik.
20
oleh perbandingan audiogram antara sebelum dan setelah pengobatan.
Untuk mendiagnosa ketulian akibat farmakologi, maka perlu untuk
dipastikan melalui audiometri, yaitu terjadinya peningkatan kenyaringan
sebesar 15 dB pada satu atau lebih frekuensi. Bagaimanapun juga, sulit
untuk menetapkan etiologi farmakologis tanpa pemeriksaan dengan
audiogram dari sebelum dan setelah terapi.
Diagnosa ototoksikbisa berdasarkan gambaran audiometri nada
murni dimana terjadi penurunan pendengaran biasanya bilateral dan
simetris pada frekuensi tinggi, maupun dapat meluas ke frekuensi sedang
dan dapat bersifat permanen .
Saat ini Transient Evoked Otoacoustic Emission (TEOAE) and
distortion product otoacoustic emission (DPOAE) Test dianggap sebagai
pemeriksaan-standar emas dalam pengendalian ototoksisitas,
memungkinkan penilaian fungsi koklea pada frekuensi tinggi hanya dalam
beberapa menit.
Beberapa tes audiologik spesifik yang tersedia mungkin dilakukan,
termasuk berbagai tes pendengaran dan keseimbangan. Hal ini harus
dilakukan sebelum pengobatan awal dengan agen ototoksikyang dikenal,
serta selama pengobatan dan setelah pengobatan dihentikan.
Pure tone air conduction test: Dapat mendeteksi perubahan yang
sangat kecil bahkan sebelum munculnyatinnitus, karena kebanyakan
agen ototoksik menghasilkan gangguan pendengaran pada frekuensi
tertinggi terlebih dahulu. Deteksi dini memungkinkan modifikasi
perawatan sebelum frekuensi berbicara terpengaruh.
Pure tone bone conduction: Digunakan untuk menentukan fungsi
sensorineural.
Tes pengenalan kata
Romberg’s test: uji keseimbangan untuk mendeteksi kerusakan
vestibular.
Untuk bayi dan pasien sakit kritis yangbed-boundatau koma, tes
alternatif yang tersedia adalah:
Emisi otoakustik (OAE): Melibatkan penggunaan mikrofon untuk
mengukur sinyal yang dihasilkan oleh koklea.
Auditory brainstem response (ABR): Mengukur fungsi pendengaran
21
dengan memanfaatkan responsyang dihasilkan oleh saraf pendengaran
dan batang otak. Membantu membedakan tuli sensorik dengan tuli
neural.
Beberapa tes lainnya yang dapat digunakan untuk mengetahui
seberapa besar fungsi pendengaran atau keseimbangan yang telah
hilang adalah Vestibular Autorotation Test (VAT), Vestibulo-Ocular
Reflex Testing Equipment (VORTEQ), Electronystagmography (ENG),
Computerized Dynamic Posturography (CDP), Rotary Chair (SHAT),
head-shaking, Electrocochleography (EcoG), beserta beberapa tes
lainnya yang cukup sering digunakan untuk mengidentifikasi dan
mengukur masalah telinga bagian dalam .
22
kurang aktif terhadap kokus gram positif dibandingkan dengan generasi
pertama, tapi jauh lebih aktif terhadap enterobacteriaceae, termasuk strain
penghasil penisilinase. Seftazidim aktif terhadap pseudomonas dan
beberapa kuman gram negative lainnya. Seftriakson memiliki waktu paruh
yang lebih panjang dibandingkan sefalosporin yang lain, sehingga cukup
diberikan satu kali sehari. Obat ini diindikasikan untuk infeksi berat
seperti septicemia, pneumonia, dan meningitis. Garam kalsium seftriakson
kadang-kadang menimbulkan presipitasi di kandungempedu. Tapi
biasanya menghilang bila obat dihentikan. Sefoksitin aktif terhadap flora
usus termasuk Bacteriodesfragilis, sehingga diindikasikan untuk sepsis
karena peritonitis.
BAB III
PENUTUP
23
3.1 KESIMPULAN
Ototoksik adalah gangguan yang terjadi pada alat pendengaran yang
terjadi karena efek samping dari konsumsi obat-obatan. Gangguan yang
terjadi pada pendengaran biasanya bermanifestasi menjadi tuli
sensoryneural. Yang dapat bersifat reversibel dan bersifat sementara, atau
tidak dapat diubah dan permanen.
Obat-obatan yang biasanya memberikan efek ototoksik antara lain adalah
obat golongan Aminoglikosida, Loop Diuretics, Obat Anti Inflamasi, Obat
Anti Malaria, Obat Anti Tumor, dan Obat Tetes Telinga Topikal.
Gejala ototoxicity bervariasi dari obat satu dengan obat lain dan dan
dari orang satu dengan lainya. Yang dapat termanifestasi menjadi Tinitus ,
gangguan pendengaran ataupun vertigo merupakan gejala utama
ototoksisitas
3.2 SARAN
24
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad efiaty et all., 2006, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telingga Hindung Tenggorok
Kepala Leher: edisi 5, Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Boies adam., 2002, Buku Ajar Penyakit THT: Edisi 6, Jakarta: EGC.
Mudd PA. Inner Ear, Ototoxicity. Article in emedicine. 2008. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/857679-overview
25