Anda di halaman 1dari 8

RECENT ADVANCES IN MANAGING AND UNDERSTANDING SEBORRHEIC

KERATOSIS
Kemajuan Terbaru dalam Tatalaksana dan Pemahaman Keratosis Seboroik
Uwa Wolina

Abstrak
Keratosis seboroik atau Seborrheic Keratosis (SK) adalah tumor epidermal jinak
yang umum dengan predominan insiden pada pasien dewasa. SK lebih sering ditemukan
pada orang-orang kaukasia sementara dermatosis papulosa nigra lebih umum pada pasien
dengan jenis kulit Fitzpatrick setidaknya 3. Terlihat ada hubungan antara penuaan kulit
ekstrinsik dan terjadinya SK. Mutasi reseptor faktor pertumbuhan fibroblas 3 dan molekul
sinyal lainnya sering ditemukan pada lesi SK. Namun, hal tersebut tidak berarti bahwa SK
berpotensi ganas. Infeksi virus sangat umum pada lesi genital, meskipun relevansi
patogenetiknya terhadap SK masih dipertanyakan. Beberapa subtipe histologis dan klinis SK
yang berbeda telah diidentifikasi. Variabilitas SK yang besar menimbulkan beberapa
kesulitan dalam diagnosis. Dermoskopi adalah metode diagnostik non-invasif yang lebih
disukai, khususnya untuk membedakan SK berpigmen dari tumor pigmen lainnya, termasuk
melanoma kulit. Erupsi SK dapat merupakan kondisi paraneoplastik yang dikenal sebagai
tanda Leser–Trélat. Tatalaksana kanker baru (targeted cancer treatment) dapat
menyebabkan tanda pseudo-Leser–Trélat. Tatalaksana SK dalam prakteknya adalah
operasi minor, termasuk cryosurgery, shave excisions, dan pengangkatan dengan bantuan
laser (laser-assisted removal). Pendekatan medis hanya memiliki efek terbatas. Baru-baru
ini, dua formulasi untuk terapi topikal yang telah dievaluasi: produk dengan 40% hidrogen
peroksida (HP40) dan komplek aqueous nitrat-zink . Berdasarkan uji klinis, HP40 tampaknya
menjadi alternatif operasi yang menjanjikan, khususnya untuk lesi wajah.
Pengantar
Keratosis seboroik (SK) adalah tumor kulit epitel jinak yang sangat umum ditemui
pada populasi orang dewasa dan menunjukkan insiden yang meningkat seiring
bertambahnya usia. Insidensi mencapai puncaknya pada usia 60 tahun. Zona predileksi SK
adalah trunkus dan dahi. Di trunkus atau badan kemunculan dan persebaran SK mengikuti
garis Langer. Walaupun jarang, SK juga dapat ditemukan di saluran telinga luar. SK di area
genital dapat disalahartikan sebagai lesi human papillomavirus (HPV) atau penyakit Paget
ekstramammari. Lesi pendulasi dapat ditemukan namun jarang. Tanda klinis yang penting
namun tidak eksklusif untuk SK adalah formasi mutiara tanduk multipel (multiple horn
pearls).
Diagnosis Non-Invasif (dengan alat bantu)
Diagnosis definitif SK dapat membingungkan dengan mata telanjang karena
variabilitas dalam penampilan klinis kondisi ini. Namun, sebagian besar kasus SK
menunjukkan temuan dermoskopik tipikal berupa fisura dan penonjolan berdungkul (ridge),
hairpin vessel dengan halo putih, bukaan seperti komedo, dan kista seperti milia. Temuan
histopatologi yang tercerminkan atau setara dari temuan dermoskopik tersebut adalah
epidermis papilomatosis, pembesaran kapiler dermal, pseudohorn cyst, dan kista
intraepidermal. Dermoskopi memiliki nilai praktis dalam membedakan SK dari melanoma
maligna.
Pendekatan yang lebih canggih saat ini adalah penggunaan analisis dermoskopi
digital terintegrasi untuk mendapatkan pengukuran yang objektif. Sistem ini mengevaluasi
48 parameter untuk dipelajari sebagai variabel diskriminan yang mungkin. Variabel ini
kemudian dikelompokkan ke dalam empat kategori (geometri, warna, tekstur, dan pulau
warna) yang terintegrasi dengan tiga variabek metadata pribadi (jenis kelamin, usia, dan
lokasi lesi). Meskipun sistem ini dikembangkan dengan tujuan utama diagnosis melanoma
dengan bantuan komputer, SK juga dapat diidentifikasi. Contoh penampakan SK
menggunakan cahaya terpolarisasi dan perbesaran 16 kali lipat ditunjukkan pada gambar 1
hingga gambar 4.
Pendekatan non-invasif terbaru lainnya adalah analisis autofluoresensi menggunakan
kamera smartphone RGB (merah, hijau, biru) dan eksitasi light-emitting diode (LED) 405-
nm. Dalam sebuah studi pilot, SK dapat diidentifikasi dan dibedakan dari karsinoma sel
basal dan lesi melanositik.
Reflectance confocal miscroscopy (RCM) juga telah diterapkan untuk evaluasi tumor kulit
non-invasif. Dalam satu penelitian, evaluasi dengan RCM dilakukan pada 390 pasien
dengan kecurigaan klinis SK. Dermatologis yang menggunakan metode ini dapat
mendiagnosis SK pada 66,2% pasien tetapi tidak pada 24,9% pasien. Penulis studi tersebut
menyimpulkan bahwa variabilitas klinis yang besar dari SK dan kedalaman terbatas yang
dicapai oleh RCM membatasi penggunaan metode ini untuk diagnosis SK.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding klinis SK adalah karsinoma sel basal (berpigmen), penyakit
Bowen berpigmen, Melanoma (verrukosa), penyakit Paget ekstramammari, kutil biasa,
akantosis nigrikan, dan lesi mirip SK yang terlokalisasi pada tato. Meskipun sebagian besar
SK memiliki diameter maksimum kurang dari 4 cm, terkadang lesi SK dapat berkembang
hingga ukuran besar dan meningkatkan beberapa kemungkinan diagnosis banding lainnya
termasuk tumor Buschke-Löwenstein.
Subtipe Histologis dan Klinis Keratosis Seboroik
SK menunjukkan variabilitas klinis yang besar hingga pada tingkat histologis.
Beberapa subtipe dapat didefinisikan: tipe hiperkeratosis, tipe akantotik, tipe
retikuler/adenoid, tipe klonal, tipe teriritasi, melanoakantoma, dan SK verrukosa dengan fitur
mirip keratoakantoma.
Dermatosis papulosa nigra adalah varian klinis dengan lesi kecil multipel yang lebih
sering terjadi pada pasien dengan jenis kulit Fitzpatrick minimal 3 dan pada wanita.
Beberapa penulis menganggapnya sebagai entitas yang berbeda; meskipun begitu,
histopatologi dari penyakit ini identik dengan SK. Beberapa SK erupsi yang dikenal sebagai
tanda Leser–Trélat telah menjadi penting sebagai gangguan paraneoplastik.
Patogenesis
Etiopatologi SK tidak sepenuhnya dipahami. SK dianggap sebagai tanda penuaan
kulit secara umum dan penuaan ekstrinsik, terutama karena paparan ultraviolet (UV) kronis.
Hipotesis viral yang mengusungkan keterlibatan HPV belum dibuktikan oleh penelitian
terbaru. Namun demikian, ekspresi HPV p16 telah ditemukan pada SK genital dengan
frekuensi antara 65% dan 69,6%.
Ekspresi protein prekursor amiloid (Amyloid precursor protein/APP) lebih tinggi pada
kulit yang terpajan UV daripada di tempat kulit yang tidak terpajan dan meningkat seiring
bertambahnya usia. Ekspresi APP telah dievaluasi dalam SK versus kulit normal dengan
imunohistokimia, Western blotting, dan reaksi berantai polimerase real time kuantitatif. APP
dan produk turunannya (yaitu amyloid-β42) lebih kuat diekspresikan oleh SK daripada di
jaringan kulit normal disekitarnya. Sebaliknya, ekspresi sekretase kuncinya (yaitu beta-
secretase 1) rendah. Temuan menunjukkan bahwa ekspresi berlebih dari APP dapat
memicu timbulnya SK dan merupakan penanda penuaan kulit dan kerusakan akibat sinar
UV.
Sekuensi exome dari SK menunjukkan tiga mutasi per megabase pasangan dari
sekuensi yang ditargetkan. Pola mutasi menggambarkan tanda UV yang khas, dan sebagian
besar perubahan adalah perubahan basa C>T dan CC>TT di situs dipirimidin. Mutasi
reseptor tirosin kinease fibroblast growth factor receptor 3 (FGFR3) adalah yang paling
sering; mutasi tersebut terdeteksi pada 48% lesi, diikuti oleh mutasi PIK3CA (32%),
promotor TERT (24%), dan promotor DPH3 (24%). Dalam penelitian lain, SK menunjukkan
mutasi FGFR3, seperti R248C, S249C, G372C, S373C, A393E, K652E, dan K652M, pada
18% hingga 85% dari lesi. Beberapa dari mutasi ini dapat ditemukan pada kanker serviks
dan kanker kandung kemih urothelial, tetapi pada SK mereka tidak berkontribusi pada
aktivitas proliferasi keratinosit.
Dapat ditunjukkan bahwa SK sering memperoleh mutasi onkogenik pada kaskade
pensinyalan reseptor tirosin kinase/fosfatidilinositol 3- kinase/Akt yang terkait dengan inhibisi
hipersensitivitas Akt. FoxN1 adalah biomarker baru fenotipe SK yang teraktivasi secara
onkogenik namun jinak. Penelitian lain oleh Neel et al juga menetapkan bahwa inhibisi Akt
menyebabkan peningkatan ekspresi protein p53, tetapi bukan ekspresi RNA, dan bahwa
apoptosis yang dimediasi Akt bergantung pada p53 dan FoxO3, target Akt. Virus polioma sel
Merkel (MCPyV) telah dideteksi melalui PCR dan hibridisasi fluorescence in situ padi enam
dari 23 SK. Ekspresi p16 tidak terkait dengan keberadaan MCPyV.
 Tipe Hiperkeratotik
Tipe ini adalah subtipe yang paling umum (Gambar 1). Tumor ini memiliki karakter akantosis
besar tetapi hiperkeratosis dan papilomatosis bersifat ringan hingga tidak ditemukan.
Invaginasi tanduk yang pada potongan melintang muncul sebagai "kista tanduk semu"
(pseudo-horn cysts) sangat banyak terlihat. Kista tanduk sejati, yang menunjukkan
keratinisasi lengkap dengan lapisan granular yang sangat tipis di sekitarnya, juga dapat
terlihat.

Gambar 1. Keratosis Seboroik Tipe Hiperkeratotik dengan (baris atas) dan Tanpa (baris bawah) Kista Tanduk (Horn Cysts)
dan Kista Tanduk Semu (Pseudo-horn Cysts)

 Tipe Retikuler atau Adenoid


SK subtipe ini dicirikan oleh akantosis retikuler baris ganda tipis dengan hiperkeratosis
ringan hingga sedang dan papilomatosis. SK ini sering mengalami hiperpigmentasi. Mutiara
tanduk jarang terlihat. Subtipe ini lebih sering terjadi di daerah yang terpapar sinar matahari
(Gambar 2).
Gambar 2. Keratosis Seboroik Tipe Retikular Tanpa Kista Tanduk (Horn Cysts)

 Tipe Klonal
Pada tipe ini, akantosis dan papilomatosis berasosiasi dengan ortohiperkeratosis.
Sel-sel tumor berbentuk gelendong. Pada tumor berbatas tegas, pulau-pulau sarang sel
basaloid ditemukan. Diagnosis banding utama untuk SK klonal adalah penyakit Bowen
pagetoid (Gambar 3). Imunohistokimia dapat membantu dalam kasus tertentu untuk
membedakan kedua entitas. Cytokeratin-10 lebih banyak diekspresikan dalam SK klonal,
sedangkan peningkatan sel Ki-67-positif dan keberadaan lebih dari 75% sel p16 positif
mendukung diagnosis penyakit pagetoid Bowen. Sarang klon SK dapat menunjukkan
kepositifan yang menyebar atau tidak merata untuk p16. Kepositifan p16 dalam sarang
klonal SK tanpa fitur histologis atipikal secara bersamaan adalah khas pada SK dan bukan
penyakit Bowen pagetoid.

Gambar 3. Keratosis Seboroik Tipe Klonal

 Tipe Teriritasi (Iritated)


Pada tipe ini, ditemukan proliferasi sel tumor eosinofilik berbentuk gelendong dan
terkadang dalam formasi seperti lingkaran (whorl-like). Sel diskeratosis mungkin dapat
ditemukan. Dalam praktik klinis, penting untuk membedakan SK yang teriritasi dari
karsinoma sel skuamosa kutan (KSS) (Gambar 5). Imunohistokimia dapat membantu untuk
membedakan kedua entitas. Dalam penelitian baru-baru ini, kombinasi U3 small nucleolar
ribonucleoprotein protein IMP3 dan B-cell lymphoma 2 regulatory protein (Bcl-2) dapat
membantu dalam membedakan antara SK dan SCC yang teriritasi dalam praktik klinis
sehari-hari. Epidermal growth factor receptor (EGFR) tidak ditemukan bermanfaat pada
setting klinis.
Gambar 4. Keratosis Seboroik Tipe Teriritasi Menyerupai Karsinoma Sel Skuamosa Verukosa

 Melanoakantoma
Melanoakantoma adalah SK tipe akantotik dengan hiperpigmentasi dan proliferasi
sel basaloid disertai hiperkeratosis ringan atau bahkan tidak ada sama sekali. Melanosit
dalam jumlah banyak bercampur satu sama lain. Melanofag terletak di dalam dermis di
bawah tumor (Gambar 4). Berbeda dengan SK umum, lesi ini jarang terjadi pada mukosa
mulut.

Gambar 5. Melanoakantoma

 Keratosis Seboroik Verrukosa dengan Fitur mirip Keratoakantoma


Subtipe ini jarang ditemukan. Dalam satu penelitian, frekuensinya diperkirakan 0,8%
dari semua keratoakantoma. Selain menunjukkan fitur histologis klasik SK, lesi ini
menunjukkan fitur seperti keratoakantoma yang khas seperti bentuk kubah, marginal lips,
epidermis dengan diferensiasi baik, dan kawah disertai pembentukan sumbat keratin. Pada
tipe ini, HPV16 terdeteksi.
Dermatosis Papulosa Nigra
Berbeda dengan SK klasik, dermatosis papulosa nigra lebih sering terjadi pada
pasien keturunan Afrika atau Asia. Telah dihitung bahwa 10% orang Afrika-Amerika
terpengaruh oleh tipe ini. Riwayat keluarga yang positif terlihat pada hingga 85% kasus.
Wanita terkena dua kali lebih sering daripada pria. Onset dermatosis papulosa nigra lebih
awal daripada SK. Papula ditemukan berukuran kecil dan paling sering pada daerah yang
terpapar sinar UV (Gambar 6). Histologinya mirip dengan SK tipe akantotik atau retikuler.
Lesi sering mengandung mutasi FGFR3.

 Tanda Leser–Trélat
Tanda Leser-Trélat ditandai dengan munculnya SK multipel secara tiba-tiba
(seringkali pruritik) yang berhubungan dengan keganasan yang mendasarinya. Sejumlah
besar tumor, seperti kanker paru-paru, karsinoma esofagus, karsinoma nasofaring, mikosis
fungoides, sindrom Sézary, dan plasmacitoma, telah dideskripsikan memiliki kaitan dengan
gangguan paraneoplastik ini. Skrining tumor direkomendasikan dalam kasus perkembangan
mendadak dari beberapa SK pruritus.
 Tanda Pseudo-Leser–Trélat
Peradangan kutil seboroik yang sudah ada sebelumnya selama kemoterapi
keganasan menggunakan obat-obatan seperti sitarabin, docetaxel, gemcitabine, atau
inhibitor PD1 seperti nivolumab disebut sebagai tanda pseudo-Leser–Trélat. Tanda ini
dikaitkan dengan rasa terbakar dan pruritus. Terapi tumor dapat dilanjutkan.
Pengobatan
Pasien memiliki motivasi yang luas untuk mengobati atau menghilangkan SK,
termasuk karena rasa malu akibat penampilan lesi yang menstigmatisasi, iritasi fisik atau
pruritus, dan keinginan untuk terlihat lebih muda. Lesi yang meradang, berdarah, ulserasi,
atau cukup teriritasi harus diperiksa lebih lanjut dengan biopsi atau eksisi untuk
mendapatkan karakter lesi yang lebih jelas demi menyingkirkan keganasan.
Dalam sebuah penelitian dari AS, data diperoleh dari survei terhadap 594 dokter kulit
bersertifikat. Didapatkan rerata 155 pasien dengan SK yang datang ke praktik dokter dan
sepertiganya memiliki lebih dari 15 lesi. Rata-rata, dokter kulit ini merawat 43% kasus SK
dengan cryosurgery sebagai metode yang paling umum. Pilihan bedah minor lainnya yang
biasa digunakan adalah eksisi cukur (shave excision), elektrodesikasi, kuretase, atau
kombinasi dari semua metode tersebut.
Dalam penelitian lain, dokter kulit mengelola 89% SK dengan menggunakan operasi
kecil sementara spesialisasi lain hanya menggunakan operasi kecil pada 51% SK. Oleh
karena itu, manajemen SK oleh dokter spesialis kulit lebih hemat biaya.
Pasien lebih memilih cryotherapy daripada kuretase dalam studi trial kecil (n = 25).
Dokter mengamati lebih banyak kemerahan pada minggu ke-6 dan kecenderungan
pembentukan bekas luka hipopigmentasi setelah > 12 bulan pascatindakan pada kuretase.
Sementara itu, lesi SK yang tersisa lebih sering terjadi pada metode cryotherapy jangka
pendek dan jangka panjang.
Penggunaan operasi laser untuk pengobatan SK memiliki sejarah penggunaan yang
sudah lama. Namun, metode ini lebih mahal daripada metode bedah kecil lainnya. Apa
manfaat tambahan menggunakan alat yang lebih canggih?
Sebuah studi trial komparatif dilakukan pada 42 pasien dengan SK ukuran 0,5 - 3 cm
yang terletak di punggung, dada, wajah, dan leher. Lesi dengan ukuran dan lokasi yang
sama pada pasien yang sama dicocokkan. Pada sesi yang sama, setengah dari lesi diobati
dengan cryotherapy dan setengah lainnya diobati dengan laser Er:YAG (erbium-doped
yttrium aluminium garnet).
Setelah pengobatan pertama, penyembuhan total terdeteksi pada semua lesi (100%)
yang diobati dengan laser Er:YAG sedangkan pada kelompok cryotherapy penyembuhan
hanya mancepai 68% (P <0,01). Pada kelompok yang diobati dengan laser Er:YAG,
hiperpigmentasi secara signifikan lebih rendah daripada kelompok cryotherapy. Hasilnya
sejalan dengan pengalaman penulis sendiri dengan laser Er:YAG, di mana tingkat
kekambuhan tercatat lebih rendah dibandingkan dengan metode shaving dan juga sejalan
dengan trial lain dari UK.
Laser CO2 adalah pilihan alternatif yang efektif tetapi tetap memiliki risiko
terbentuknya jaringan parut dan perubahan pigmentasi yang sedikit lebih tinggi. Beberapa
laporan seri kasus kecil telah menggunakan intense pulsed light, pulsed-dye laser, Nd:YAG
(neodymium-doped yttrium aluminium garnet), atau laser picosecond alexandrite 755-nm
untuk menyingkirkan SK. Namun, studi percobaan yang lebih besar belum didapatkan. Studi
perbandingan langsung dari berbagai jenis laser untuk menghilangkan SK dibutuhkan agar
dapat menentukan pilihan terbaik.
Dua uji coba acak baru-baru ini (ClinicalTrials.gov: NCT02667236 dan
NCT02667275) membandingkan keamanan dan kemanjuran larutan topikal hidrogen
peroksida 40% (HP40; Eskatat, Aclaris Therapeutics, Inc., Wayne, PA, USA) versus
vehicles untuk pengobatan SK . Uji coba ini melibatkan 937 pasien yang memiliki empat SK.
Peneliti secara acak menentukan jenis pengobatan (HP40 vs vehicles) kepada pasien
dengan perbandingan 1:1. Respon klinis dinilai dengan menggunakan skala Physician's
Lesion Assessment (PLA) (0: hilang; 1: hampir hilang; 2: tebal ≤1mm; dan 3:tebal >1 mm).
Setelah satu sesi pengobatan, SK dengan PLA lebih besar dari 0 ditatalaksana kembali 3
minggu kemudian. Pada hari 106, secara signifikan lebih banyak pasien HP40 dibandingkan
vehicles yang mencapai PLA 0 pada keempat SK (4% atau 8% versus 0%) dan tiga dari
empat SK (13% atau 23% versus 0%).
Pasien yang mendapatkan HP40 memiliki persentase rata-rata yang lebih tinggi
untuk SK dengan PLA 0 (25% versus 2% atau 34% versus 1%) dan PLA 1 (47% versus
10% atau 54% versus 5%) dibandingkan pasien yang mendapat vehicles. Sebagian besar
reaksi kulit lokal (kemerahan, terbakar, sensasi tersengat) bersifat ringan dan sembuh pada
hari 106.
Efikasi pengobatan ini paling tinggi pada lesi wajah (hilang atau hampir hilang pada
65% pasien) diikuti oleh SK pada batang tubuh (trunks) (46%) dan SK pada ekstremitas
(38%). SK wajah memiliki respon lebih cepat daripada lesi di bagian tubuh lain diduga
karena SK wajah sering kali lebih tipis. Reaksi efek samping yang tertunda seperti
perubahan pigmentasi dan pembentukan jaringan parut paling jarang dilaporkan untuk SK
wajah.
HP40 dapat bertindak tidak hanya melalui oksidasi langsung jaringan organik,
pembentukan spesies oksigen reaktif, dan peroksidasi lipid lokal, tetapi juga oleh
pembentukan konsentrasi oksigen lokal yang bersifat toksik bagi sel SK serta dapat
menginduksi apoptosis. Dibandingkan dengan cryosurgery, HP40 tampaknya berefek lebih
minimal terhadap melanosit. Hal tersebut menunjukkan profil keamanan HP40 yang lebih
baik terhadap efek perubahan pigmen setelah prosedur.
Selain HP40, larutan kompleks aqueous nitrat-zinc jugatelah dikembangkan untuk
menghilangkan SK. Formulasinya mengandung asam nitrat, copper salts, zinc, dan asam
organik (asam asetat, laktat, dan oksalat). Sebuah uji klinis menggunakan aplikasi topikal
kompleks nitrat-zinc ini untuk mendapatkan efek pemutihan atau kekuningan selain untuk
pengobatan SK. Aplikasi larutan nitrat-zinc dilakukan setiap minggu sampai pembersihan
klinis dan dermoskopik tercapai atau pembentukan kerak terjadi dengan maksimal empat
aplikasi.
Semua subjek (yang melaporkan tidak ada ketidaknyamanan atau ketidaknyamanan
minimal selama dan setelah penerapan solusi) menyelesaikan penelitian. Setelah 8 minggu,
pembersihan kompliit diamati pada 37 dari 50 lesi setelah rata-rata tiga aplikasi per lesi.
Respon parsial, dengan bintik sisa persisten minimal, juga terdeteksi pada 13 lesi yang
tersisa. Semua pasien dengan pembersihan lengkap tidak menunjukkan kekambuhan pada
saat follow-up 6 bulan pasca tindakan.
Laporan kasus dengan keberhasilan penggunaan gel diklofenak, imiquimod,
dobesilate, atau calcitriol untuk SK telah dipublikasikan. Sebuah studi meta-analisis untuk
analog vitamin-D topikal menyimpulkan bahwa senyawa ini tidak efektif untuk SK.
Kesimpulan
SK adalah tumor kulit jinak yang paling umum pada manusia. Variabilitas klinis SK
dapat disalahartikan sebagai penyakit kulit yang berpotensi ganas lainnya. Dermoskopi
dapat membantu diagnosis yang benar. Pemahaman saat ini tentang patogenesis SK belum
dapat diterapkan ke dalam pilihan pengobatan baru. Operasi minor biasanya digunakan
dalam praktik dermatologis. Baru-baru ini, uji klinis dengan topikal HP40 menunjukkan
bahwa pengobatan medis ini bisa menjadi alternatif, terutama untuk lesi wajah.

Sumber:
Wollina U. (2019). Recent advances in managing and understanding seborrheic
keratosis. F1000 Research, 8, F1000 Faculty Rev-1520
(https://doi.org/10.12688/f1000research.18983.1)

Anda mungkin juga menyukai