Anda di halaman 1dari 3

1.

Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting di tingkat
global, regional, nasional, maupun lokal. Tuberkulosis (TB) menyebabkan 5000 kematian per hari,
atau hampir 2 juta kematian per tahun di seluruh dunia. TB, HIV/AIDS, dan malaria secara bersama-
sama merupakan penyebab 6 juta kematian setiap tahun. Seperempat juta (25%) per tahun
kematian TB berhubungan dengan HIV. Insidensi TB di Afrika berkaitan dengan komorbiditas
HIV/AIDS.

Sepertiga dari populasi total dunia (sekitar 2 milyar orang) terinfeksi TB. Karena daya tahan tubuh,
hanya 10% dari orang yang terinfeksi TB akan menjadi sakit dengan tanda dan gejala TB aktif di
perjalanan hidupnya. Setiap kasus TB merupakan faktor risiko penyakit TB karena jika tidak diobati
dengan tepat, setiap kasus TB aktif menginfeksi 10 hingga 15 orang setiap tahun. Orang dengan HIV
memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami TB aktif karena kerusakan sistem imunitas.

Pengobatan kasus Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu strategi utama dalam pengendalian TB
karena dapat memutuskan rantai penularan. Pada tahun 1994 WHO meluncurkan strategi
pengendalian TB untuk diimplementasikan secara internasional, yang disebut DOTS
(DirectlyObservedTreatmentShort-course). Strategi DOTS telah berhasil membantu mencapai
membantu tercapainya dua sasaran yang dideklarasikan World Health Assembly (WHA) pada tahun
1991, yaitu deteksi kasus baru BTA positif sebesar 70%, dan penyembuhan sebesar 85% dari kasus
pada tahun 2000. Meskipun demikian kecepatan kemajuan saat ini diperkirakan tidak cukup untuk
mencapai target penurunan prevalensi dan mortalitas TB dari Millenium Development Goals (MDGs)
menjadi separuh pada tahun 2015. Karena itu diperlukan kontinuitas implementasi strategi DOTS
agar program itu dapat mencapai target dan bahkan meningkatkan target indikator-indikator
keberhasilan program hingga tahun 2015.

Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia. Penderita
tuberkulosis di Indonesia pada tahun 2007 jumlahnya merupakan peringkat ketiga di antara 22
negara di dunia yang memiliki beban penyakit TB tertinggi, yaitu sebanyak 0,53 juta jiwa, di bawah
India (2 juta jiwa) dan China (1,3 juta jiwa) dari 9,27 juta penderita. Diperkirakan pada tahun 2004,
setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang. Insidensi kasus TB BTA positif
sekitar 110 per 100.000 penduduk.

Selain itu untuk mengatasi masalah tuberkulosis, Indonesia sendiri menghabiskan dana sebesar 85
juta USD di tahun 2009. Pendanaan sangat berpengaruh penanggulangan tuberkulosis di Indonesia,
terbukti pada saat tahun 2006 di mana dana Global Fund dihentikan, angka deteksi kasus
tuberkulosis menurun dari 73% menjadi 68%, meskipun demikian angka keberhasilan terapi di
Indonesia mampu dipertahankan pada angka 91%.

Pelaksanaan program TB strategi DOTS di Kalimantan Timur telah dimulai sejak tahun 1997, hingga
tahun 2008 telah diterapkan pada 194 Puskesmas dan 14 Rumah Sakit di 13 kabupaten dan kota.
Angka penemuan kasus (casedetectionrate) di Kalimantan Timur sendiri masih rendah, sebesar
33,21% pada tahun 2008, termasuk 3 terendah di antara provinsi di Indonesia, sedangkan angka
keberhasilan pengobatan (successrate) sebesar 82,50%. Menurut Departemen Kesehatan Republik
Indonesia (2008) target nasional untuk cakupan penemuan kasus baru BTA positif adalah 70%
sedangkan untuk angka keberhasilan pengobatan sebesar 85 %.

Kota Balikpapan sebagai salah satu kota dengan jumlah penduduk yang besar di Kalimantan Timur,
601.392 jiwa, justru memiliki prestasi rendah dalam pencapaian program TB. Di tahun 2007 angka
penjaringan suspek di Balikpapan sebesar 538 per 100 ribu penduduk, justru turun di tahun 2008
menjadi 444 per 100 ribu penduduk.

Kota Balikpapan juga merupakan daerah tujuan pencarian kerja para migran, di mana banyaknya
perusahaan – perusahaan, aktivitas perekonomian cukup dinamis sehingga meningkatkan
perekonomian masyarakat. Masyarakat kota Balikpapan bila dikaitkan dengan pencarian
pertolongan pengobatan seperti penyakit TB, tidak semua akan langsung berobat ke Puskesmas dan
rumah sakit Pemerintah. Sebagian pekerja/ karyawan swasta dan wiraswasta akan memilih tempat
pengobatan yang sudah ditunjuk oleh perusahaan, termasuk rumah sakit swasta, sehingga
pemeriksaan pertama (penjaringan suspek) dapat tidak sesuai dengan program strategi DOTS dan
mengakibatkan hilangnya data dari kasus TB. Konsekuensi dari hal ini adalah penegakan diagnosa
dapat tidak adekuat.

Anda mungkin juga menyukai