Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

STRESS DAN AKTIVITAS AKSIS HPA

Disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya di SMF Ilmu Penyakit Saraf RSD. Dr. Soebandi Jember

Pembimbing : dr. H. Eddy Ario Koentjoro, Sp.S

Oleh : Yuyun Mawaddatur Rohmah Andjasti Restuningtyas

(082011101034) (092011101076)

LAB/SMF SMF ILMU PENYAKIT SARAF RSD. DR SOEBANDI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER 2014

REFERAT

STRESS DAN AKTIVITAS AKSIS HPA

Disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya di SMF Ilmu Penyakit Saraf RSD. Dr. Soebandi Jember

Pembimbing : dr. H. Eddy Ario Koentjoro, Sp.S

Oleh : Yuyun Mawaddatur Rohmah Andjasti Restuningtyas

(082011101034) (092011101076)

LAB/SMF SMF ILMU PENYAKIT SARAF RSD. DR SOEBANDI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER 2014

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................ 1 DAFTAR ISI ......................................................................................................... 2 BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 4 2.1 Anatomi dan Fisiologi ...................................................................................... 5 2.1.1 Hipotalamus ...................................................................................... 5 2.1.2 Kelenjar Hipofisis ............................................................................. 8 2.1.3 Kelenjar Adrenal ............................................................................. 11 2.2 Stres ................................................................................................................ 15 2.2.1 Definisi ............................................................................................ 15 2.2.2 Klasifikasi stres ................................................................................ 16 2.2.3 Etiologi Stres .................................................................................... 17 2.2.4 Mekanisme Stres .............................................................................. 17 2.2.5 Gejala Stres ...................................................................................... 19 2.3 Hubungan Aksis HPA dengan Stres ............................................................... 19 2.3.1 Stres dan Psikopatofisiologik ........................................................... 24 2.3.2 Nilai Prognostik Aktivitas HPA ....................................................... 26 2.3.3 Neuron Degenerasi pada Hiperkortisolisme .................................... 27 2.4 Manajemen Stres ............................................................................................. 28 BAB III KESIMPULAN .................................................................................... 30 DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN

Stres sering merupakan pemicu yang penting untuk munculnya berbagai kelainan psikiatri, misalnya depresi, kecemasan dan skizofrenia. Stres dapat berasal dari luar maupun dari dalam tubuh dalam bentuk fisik (infeksi, neoplasma) atau psikik (kehilangan sesatu yang dicintai atau yang sangat berharga atau berhadapan dengan ancaman ). Stres didefinisikan sebagai setiap perubahan fisik atau psikik yang mengubah keseimbangan atau homeostasis organism. Stres merupakan suatu ancaman terhadap homeostasis organisme yang membangkitkan berbagai macam respons adaptasi agar organisme tetap hidup. Respon yang timbul akibat stres dapat berasal dari susunan saraf otonom maupun saraf somatik, sistem hormon maupun sistem imun tubuh. HPA adalah singkatan dari Hipotalamus-Pituitari-Adrenal. Ketiganya ada di dalam tubuh manusia dan memiliki kerja yang saling timbal balik satu sama lain. Hipotalamus dapat mengaktifkan kerja kelenjar pituitari dan kemudian akan mempengaruhi korteks adrenal di ginjal dan membentuk kortisol. Berkaitan dengan stres, sebetulnya respon akivitas HPA ini harus ditelusuri lebih tinggi lagi, diatas hipotalamus yaitu sistem limbik oleh karena berhubungan dengan emosi dan tingkah laku organisme ketika menghadapi stres. Bagian sistem limbik yang terlibat dalam respon aksis HPA ini adalah hipotalamus. Paraventriculer nucleus (PVN) ini memproduksi hormon

corticotropin releasing factor (CRF) yang dikeluarkan ke pembuluh darah dan portahipotalamus pituitari. Selanjutnya CRF mempengaruhi kelenjar pituitari anterior untuk merangsang pelepasan hormon adrenocorticotropin (ACTH) ke alam peredaran darah. Bila mencapai kelenjar kortek adrenal ACTH akan merangsang pelepasan hormon korteks adrenal. Selagi ada stres akan menjadi peningkatan kegiatan aksis HPA dalam bentuk peningkatan CRF, ACTH kortisol. Akan tetapi, bila stres berlaku maka aktivitas aksis HPA akan menurun kembali seperti sebelum ada stres. Hal ini terjadi berkat adanya umpan balik negatif lewat kortisol yang mencapai hipotalamus dan atau hipokampus dimana di dapatkan reseptor spesifik untuk hormon korteks adrenalis. Sebaliknya bila kadar kortisol

darah sangat rendah maka akan terjadi umpan balik yang positif sehingga sekresi CRF meningkat dan selanjutnya aktivias HPA meningkat. Jadi kegiatan aksis HPA dijaga pada tingkatan tertentu oleh mekanisme umpan balik lewat hormon kortisol.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI 2.1.1 Hipotalamus Hipotalamus merupakan bagian dari system saraf pusat yang paling kompleks karena kaya dengan hubungan dengan telensefalon, sistem limbik, dan batang otak. Hipotalamus, mewakili kurang dari 1 persen, massa otak, namun bagian ini mengatur sebagian besar fungsi vegetatif dan fungsi endokrin tubuh, juga aspek perilaku emosional. Hipotalamus terletak pada lantai otak, mengelilingi bagian bawah ventrikel ketiga. Batas anterior adalah kiasma optika; batas posterior adalah korpus mamilaris; batas lateral adalah sulcus lateral; dan batas ventrodorsal adalah tuber cinereum (dasar hipotalamus yang membulat dan memanjang kearah kaudal hingga tangkai hipofisis). Bentuk hipotalamus memang tidak beraturan, namun dapat dibedakan menjadi beberapa bagian, yaitu: (1) area hipotalamus dorsal; (2) area hipotalamik anterior; dan (3) area preoptikus. Hipotalamus adalah kumpulan nukleus-nukleus spesifik dan serat serat terkait yang terletak dibawah thalamus. Fungsi-fungsi hipotalamus: a. Pusat otonom Hipotalamus hipotalamus merupakan dan pusat primer sistem otonom. Stimulasi

anterior

medial

menyebabkan

aktifitas

parasimpatik

(trophotropic) meningkat dengan terjadinya berkeringat, vasodilatasi, salivasi, hipotoni, nadi turun, kontraksi vesika urinaria, dan peristaltik meningkat. Stimulasi hipotalamus posterior dan lateral menyebabkan peningkatan aktivitas simpatik (ergotropic) dengan terjadinya midriasis, hipertensi, takikardi, takipneu, peristaltik menurun dan hiperglikemia. b. Pusat pengatur suhu Hipotalamus anterior sensitif terhadap suhu darah, dan mengatur pelepasan panas dengan jalan berkeringat banyak,vasodilatasi pembuluh darah kulit dan pada binatang dengan napas cepat dan dangkal. Sehingga apabila hipotalamus anterior ini rusak, dapat terjadi hipertermi. Hipotalamus posterior peka terhadap

penurunan suhu, dan mengatur mekanisme penyimpanan panas dengan jalan menaikkan aktivitas viseral, otot somatik dengan menggigil. Kerusakan hipotalamus posterior menyebabkan terjadinya poikilotermi. c. Pusat makan Nukleus ventromedialis merupakan pusat kenyang, kerusakan lokal nucleus ventromedialis bilateral menyebabkan hiperfagi. Nukleus hipotalamus lateralis merupakan pusat makan (feeding center). Kedua nukleus ini disebut appestat. d. Pusat ekspresi emosi Nukleus ventromedialis dan lateralis berperan dalam respon takut dan marah. Pada binatang percobaan marah dapat ditimbulkan dengan merusak kedua nukleus ventromedialis atau merangsang nukleus lateralis. Namun efek ini tidak timbul bila sebelumnya kedua amigdala dihilangkan. e. Pusat tidur dan terjaga Lesi bilateral hipotalamus anterior menyebabkan insomnia pada binatang percobaan sedangkan lesi hipotalamus posterior menyebabkan arousable hipersomnolen. f. Pusat hadiah dan hukuman (reward dan punishment) Stimulasi nukleus ventromedialis menyebabkan rasa tidak enak

(unpleasant feeling) sedang, stimulasi nucleus preoptikus menyebabkan rasa menyenangkan (good feeling). g. Pusat keseimbangan air Nukleus supraoptikus berperan dalam mengatur keseimbangan cairan tubuh. Kerusakan nukleus ini atau kerusakan pada hubungannya dengan hipofisis menyebabkan diabetes insipidus. Kenaikan tekanan osmosis pada darah yang menuju nukleus supraoptikus menyebabkan pelepasan hormon antidiuretik (vasopresin). Pengaturan sekresi hormon endokrin oleh kelenjar hipofisis anterior Perangsangan area tertentu hipotalamus juga menyebabkan kelenjar hipofisis anterior menyekresikan hormon-hormonnya. Kelenjar hipofisis anterior menerima suplai darahnya terutama dari darah yang mula-mula mengalir melalui hipotalamus bagian bawah dan selanjutnya memasuki sinus-sinus vaskuler

hipofisis anterior. Sebelum aliran darah yang melewati hipotalamus mencapai hipofisis anterior, berbagai nukleus hipotalamus menyekresikan hormon-hormon pelepas dan hormon-hormon penghambat ke dalam darah. Selanjutnya hormonhormon ini diangkut dalam darah menuju hipofisis anterior, tempat mereka mempengaruhi sel-sel glandular untuk mengatur pelepasan hormon-hormon hipofisis anterior. Badan sel neuron yang menyekresi hormon pelepas dan hormon penghambat ini terutama terdapat di dalam nukleus medial basal hipotalamus. Akson dari nukleus ini selanjutnya berproyeksi pada eminensia mediana, yang merupakan pembesaran area tangkai hipofisis (infundibulum) dan akson ini bermula dari tepi inferior hipotalamus. Di tempat inilah ujung-ujung saraf menyekresikan hormon pelepas dan hormon penghambatnya. Selanjutnya hormon-hormon ini diabsorbsi ke dalam kapiler darah di eminensia mediana dan diangkut ke dalam darah ke bawah sepanjang infundibulum menuju sinus-sinus vaskular hipofisis anterior. Hampir semua sekresi kelenjar hipofisis diatur baik oleh hormon atau sinyal saraf yang berasal dari hipotalamus. Sekresi dari kelenjar hipofisis posterior diatur oleh sinyal-sinyal saraf yang berasal dari hipotalamus dan berakhir pada hipofisis posterior. Sebaliknya sekresi kelenjar hipofisis anterior diatur oleh hormon-hormon yang disebut hormon (atau faktor) pelepas hipotalamus dan hormon (faktor) penghambat yang disekresikan ke dalam hipotalamus sendiri dan selanjutnya dijalarkan ke hipofisis anterior. Di dalam kelenjar hipofisis anterior, hormon pelepas dan hormon penghambat ini bekerja terhadap sel kelenjar dan mengatur sekresi kelenjar tersebut. Hipotalamus

selanjutnya menerima sinyal-sinyal dari hampir semua sumber yang mungkin dalam sistem saraf. Jadi hipotalamus dianggap sebagai pusat pengumpul informasi mengenai kesehatan dalam tubuh, dan sebaliknya sebagian besar dari informasi ini digunakan untuk mengatur sekresi sebagian besar hormon hipofisis yang sangat penting.

Gambar 2.1 Anatomi Hipotalamus dan Hipofisis

2.1.2 Kelenjar Hipofisis Kelenjar hipofisis (pituitari) ini terletak pada dasar tengkorak pada bagian tulang sphenoid yang disebut sella tursika (Turkish Saddle). Bagian anterior yaitu tuberkulum sella tursika, diapit oleh dua tonjolan posterior sayap tulang sphenoid yaitu prosesus klinoideus anterior, dorsum sellae membentuk dinding posterior, pada sudut atasnya menonjol ke prosesus klinoideus posterior. Kelenjar dilapisi oleh dura dan atapnya dibentuk oleh lipatan dura yang melekat pada prosesus klinoideus, yaitu diafragma sellae. Dalam keadaan normal, membrane arakhnoidea dan cairan serebrospinal tidak dapat masuk sella tursika dengan adanya diafragma sellae. Tangkai hipofisis dan pembuluh darahnya melewati lubang pada diafragma ini. Dinding lateral kelenjar secara tidak langsung berhadapan dengan sinus kavernosus dan dipisahkan oleh duramater. Kiasma optikum terletak 5-10 mm diatas diafragma sellae dan didepan tangkai kelenjar. Hipofisis memiliki dua lobus yang secara anatomis dan fungsional berbeda, hipofisis posterior dan hipofisis anterior. Hipofisis posterior terdiri dari jaringan saraf dan karenanya dinamai neurohipofisis. Hipofisis anterior terdiri dari

jaringan epitel kelenjar dan karenanya juga dinamai adenohipofisis (adeno artinya kelenjar). Hipofisis anterior dan posterior hanya memiliki kesamaan lokasi. Besarnya kelenjar hipofisis berbeda-beda, dimana lobus anterior terdiri dari dua pertiga bagian. Ukuran hipofisis kira kira 15 X 10 X 6 mm dan beratnya 500-900 mg. pada kehamilan ukurannya bisa dua kali lipat. Karena bentuk sella tursika menyesuaikan diri dengan bentuk dan ukuran kelenjar, maka struktur tulang ini berbeda beda. Kelenjar hipofisis anterior merupakan kelenjar yang mempunyai banyak sekali pembuluh darah dengan sinus kapiler yang sangat luas di sepanjang sel-sel kelenjar. Hampir semua darah yang memasuki sinus ini mula-mula akan melewati ruang kapiler (capillary bed) pada bagian bawah hipotalamus. Darah kemudian melewati pembuluh porta hipotalamus-hipofisis kecil ke sinus hipofisis anterior. Bagian paling bawah dari hipotalamus yang disebut eminensia mediana yang di bagian inferior berhubungan dengan tangkai hipofisis. Arteri kecil menembus ke dalam substansi eminensia mediana dan kemudian pembuluh-pembuluh darah tambahan yang lain kembali ke permukaan eminensia, bersatu untuk membentuk pembuluh-pembuluh darah porta hipotalamus-hipofisis. Pembuluh-pembuluh darah ini sebaliknya akan berjalan ke bawah sepanjang tangkai hipofisis untuk mengalirkan darah ke sinus hipofisis anterior.

Gambar 2.2 Hubungan Hipotalamus dan Kelenjar Pituitari Anterior

Neuron-neuron khusus di dalam hipotalamus mensintesis dan mensekresi hormon pelepas hipotalamus dan hormon penghambat yang mengatur sekresi hormon hipofisis anterior. Neuron-neuron ini berasal dari berbagai bagian hipotalamus dan mengirimkan serat-serat sarafnya menuju ke eminensia mediana dan tuber sinereum, jaringan hipotalamus yang menyebar menuju ke tangkai hipofisis. Bagian ujung serat-serat saraf ini berbeda dengan ujung serat-serat saraf umum yang ada di dalam sistem saraf pusat di mana fungsi serat ini tidak menghantarkan sinyal-sinyal yang berasal dari satu neuron ke neuron yang lain namun hanya mensekresi hormon pelepas dan hormon penghambat hipotalamus saja ke dalam cairan jaringan. Hormon-hormon ini segera diabsorbsi ke dalam kapiler sistem porta hipotalamus-hipofisis dan langsung diangkut ke sinus kelenjar hipofisis anterior.

10

Hormon pelepas dan hormon penghambat berfungsi mengatur sekresi hormon hipofisis anterior. Untuk sebagian besar hormon hipofisis anterior, yang penting adalah hormon pelepas. Hormon-hormon pelepas dan penghambat hipotalamus yang terpenting adalah Hormon-pelepas tiroid (TRH), yang menyebabkan pelepasan hormon perangsang tiroid. Hormon-pelepas kortikotropin (CRH), yang menyebabkan pelepasan adrenokortikotropin. Hormon pelepas hormon pertumbuhan (GHRH), yang menyebabkan pelepasan hormon

pertumbuhan, dan hormon prnghambat hormon pertumbuhan (GHIH), yang mirip dengan hormon somatostatin dan menghambat pelepasan hormon pertumbuhan. Hormon-pelepas gonadotropin (GnRH), yang menyebabkan pelepasan dari dua hormon gonadotropik, hormon lutein dan hormon-perangsang folikel. Hormon penghambat prolaktin (PIH), yang menghambat sekresi prolaktin. Sebagai tambahan, terhadap hormon-hormon hipotalamus ini, sebenarnya masih ada hormon-hormon lain yang merangsang sekresi prolaktin, dan beberapa hormon penghambat hipotalamus yang menghambat beberapa hormon hipofisis anterior lainnya. Sebelum diangkut ke kelenjar hipofisis anterior, semua atau hampir semua hormon hipotalamus disekresi oleh ujung serat saraf yang terletak di dalam eminensia mediana. Perangsangan listrik pada daerah ini merangsang ujung-ujung saraf dan pada dasarnya menyebabkan pelepasan semua hormon hipotalamus.

2.1.3 Kelenjar Adrenal Kedua kelenjar adrenal, yang masing-masing mempunyai berat kira-kira 4 gram, terletak di kutub superior dari kedua ginjal. Tiap kelenjar terdiri atas dua bagian yang berbeda, yakni medula adrenal dan korteks adrenal. Medula adrenal, yang merupakan 20 persen bagian kelenjar terletak di pusat kelenjar, dan secara fungsional berkaitan dengan sistem saraf simpatis; mensekresi hormon-hormon epinefrin dan norepinefrin sebagai respons terhadap rangsangan simpatis. Korteks adrenal mensekresi kelompok hormon yang berbeda, yakni kortikosteroid. Hormon ini seluruhnya disintesis dari kolesterol steroid, dan semuanya mempunyai rumus kimia yang sama. Ada dua jenis hormon

11

adrenokortikal yang utama, yakni mineralokortikoid dan glukokortikoid, yang disekresikan oleh korteks adrenal. Selain hormon ini, korteks adrenal juga mensekresi sedikit hormon kelamin, terutama hormon androgen, yang efeknya pada tubuh hampir mirip dengan hormon kelamin pria testosteron. Disebut

mineralokortikoid karena hormon ini terutama mempengaruhi elektrolit (mineral) cairan ekstraseluler, terutama natrium dan kalium. Disebut glukokortikoid karena hormon ini mempunyai efek yang penting dalam meningkatkan konsentrasi glukosa darah. Glukokortikoid ini juga mempunyai efek tambahan pada metabolisme protein dan metabolisme lemak yang sama pentingnya untuk fungsi tubuh dengan efek glukokortikosteroid pada metabolism karbohidrat. Dari korteks adrenal dapat dikenali lebih dari 30 jenis steroid, namun hanya dua jenis yang berguna untuk fungsi endokrin manusia: aldosteron, yang merupakan mineralokortikoid yang utama, dan kortisol, yang merupakan glukokortikoid yang utama. Korteks adrenal terdiri atas 3 lapisan yang relatif berbeda. Aldosteron disekresi oleh zona glomerulosa, yang merupakan lapisan permukaan yang paling luar dan paling tipis. Kortisol dan beberapa glokokortikoid lain disekresikan oleh zona fasikulata, yakni lapisan tengah, dan zona retikularis, yang merupakan lapisan terdalam. Keadaan-keadaan yang meningkatkan pengeluaran aldosteron juga menyebabkan hipertrofi zona glomerulosa namun tidak akan mempengaruhi kedua zona yang lain. Sebaliknya, faktor-faktor yang menyebabkan meningkatnya sekresi kortisol dan adrenal androgen menyebabkan hipertrofi zona fasikulata dan zona retikularis namun sangat sedikit atau sama sekali tidak mempengaruhi zona glomerulosa; keadaan ini dapat terjadi bila ada perangsangan kelenjar oleh hormon adrenokortikotropik (ACTH) dari kelenjar hipofisis anterior. Semua hormon adrenokortikal merupakan senyawa steroid. Hormon ini terutama dibentuk dari kolestrol yang diabsorbsi secara langsung dari sirkulasi darah yakni dengan proses endositosis melewati membran sel. Membran ini mempunyai reseptor spesifik untuk lipoprotein densitas rendah yang mengandung kolesterol dengan konsentrasi sangat tinggi, dan proses pelekatan lipoprotein ini dengan membran akan meningkatkan proses endositosis. Sejumlah kecil

12

kolesterol juga disintesis di dalam sel-sel korteks dari asetil koenzim A. Asetil koenzim A juga dipergunakan untuk membentuk hormonhormon adrenokortikal. Pada dasarnya semua tahap pembentukan ini terjadi dalam kedua organel sel berikut, mitokondria dan retikulum endoplasma, beberapa langkah tadi terjadi dalam salah satu organel dan beberapa tahap lain terjadi dalam organel lain. Setiap tahap dikatalisis oleh enzim spesifik. Perubahan satu enzim dalam skema ini dapat menyebabkan terbentuknya jenis dan jumlah hormon yang sangat berbeda. Kortisol merupakan glukokortikoid utama yang berperan penting dalam metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak, membantu aktivitas hormon lain serta membantu mengatasi stres. Beberapa fungsi kortisol diantaranya : Efek metabolik Efek keseluruhan dari pengaruh metabolik kortisol adalah meningkatkan konsentrasi glukosa darah dengan mengorbankan simpanan protein dan lemak. Secara spesifik, kortisol melaksananan fungsi-fungsi berikut: Merangsang glukoneogenesis hati, yang mengacu pada perubahan sumber-sumber non karbohidrat (yaitu asam amino) menjadi karbohidrat di hati. Glukoneogenesis adalah faktor penting untuk mengganti simpanan glikogen hati dan

mempertahankan kadar glukosa darah yang normal di antara waktu makan. Penggantian ini penting karena otak hanya dapat menggunakan glukosa sebagai bahan bakar metaboliknya, namun jaringan saraf sama sekali tidak bisa menyimpan glikogen. Menghambat penyerapan dan penggunaan glukosa oleh banyak jaringan, kecuali otak, sehingga glukosa dapat digunakan oleh otak yang mutlak memerlukannya sebagai bahan bakar metabolik. Merangsang penguraian protein di banyak jaringan terutama otot. Dengan menguraikan sebagian protein otot menjadi asam-asam amino konstituennya, kortisol meningkatkan konsentrasi asam amino darah. Asam asam amino yang dimobilisasi ini siap digunakan untuk glukoneogenesis atau dipakai di tempat lain yang memerlukannya. Meningkatkan lipolisis, penguraian simpanan lemak di jaringan adipose, sehingga terjadi pembebasan asam-asam lemak ke dalam darah. Asam-asam lemak yang dimobilisasi ini dapat digunakan sebagai bahan bakar metabolik alternative bagi

13

jaringan yang dapat memanfaatkan sumber energi ini sebagai pengganti glukosa, sehingga glukosa dapat dihemat untuk otak. Efek permisif Kortisol sangat penting karena sifat permisifnya. Sebagai contoh kortisol harus ada dalam jumlah yang adekuat agar katekolamin dapat memicu vasokonstriksi. Seseorang yang tidak memiliki kortisol, jika tidak diobati, dapat mengalami syok sirkulasi pada situasi-situasi stres yang memerlukan

vasokonstriksi luas yang segera. Peran dalam adaptasi terhadap stres Kortisol berperan penting dalam adaptasi terhadap stres. Stres mengacu pada respon umum nonspesifik tubuh terhadap setiap faktor yang mengalahkan, atau akan mengalahkan, kemampuan kompensatorik tubuh dalam

mempertahankan homeostasis. Jenis-jenis rangsangan pengganggu berikut ini menggambarkan beragamnya faktor yang dapat menimbulkan respon stres: fisik (trauma, pembedahan, panas atau dingin hebat), kimia (penurunan pasokan O2, ketidakseimbangan asam-basa), fisiologis (olahraga berat, syok perdarahan, nyeri), psikologis atau emosi (rasa cemas, ketakutan, kesedihan), dan sosial (konflik pribadi, perubahan gaya hidup. Semua jenis stres adalah perangsang kuat untuk sekresi kortisol. Walaupun peran pasti kortisol dalam adaptasi terhadap stres belum diketahui, penjelasan berikut ini mungkin memadai walaupun bersifat spekulatif. Manusia primitif atau hewan yang terluka atau mengahadapi situasi yang mengancam nyawa akan menunda makan. Efek kortisol yang menyebabkan perubahan dari simpanan protein dan lemak menjadi penambahan simpanan karbohidrat dan peningkatan ketersediaan glukosa darah akan membantu melindungi otak dari malnutrisi selama periode puasa terpaksa ini. Di samping itu, asam-asam amino yang dibebaskan oleh penguraian protein akan dapat digunakan untuk memperbaiki jaringan yang rusak apabila terjadi cedera fisik. Dengan demikian, terjadi peningkatan ketersediaan glukosa, asam amino, dan asam lemak untuk digunakan apabila diperlukan.

14

Gambar 2.3 Aksis Hipotalamus-Pituitari-Kelenjar Adrenal

2.2 STRES 2.2.1 Definisi Stres adalah suatu reaksi tubuh dimana mengganggu equilibrium (homeostasis) fisiologi normal. Stres adalah reaksi/respons tubuh terhadap stresor psikososial (tekanan mental/beban kehidupan). Stres dewasa ini digunakan secara bergantian untuk menjelaskan berbagai stimulus dengan intensitas berlebihan yang tidak disukai berupa respons fisiologis, perilaku, dan subjektif terhadap stres; konteks yang menjembatani pertemuan antara individu dengan stimulus yang membuat stres; semua sebagai suatu sistem (WHO, 2003). Jadi stres adalah suatu keadaan yang bersifat internal, yang bisa disebabkan oleh tuntutan fisik

15

(badan), atau lingkungan, dan situasi sosial, yang berpotensi merusak dan tidak terkontrol. Konsep milieu interieur (lingkungan internal tubuh), yang pertama kali diajukan oleh Fisiologis Perancis, Claude Bernard. Dalam konsep ini, ia menggambarkan prinsip-prinsip keseimbangan dinamis. Dalam keseimbangan dinamis, kekonstanan, kondisi mapan (situasi) di lingkungan badan internal, sangat penting untuk bertahan hidup. Oleh karena itu, perubahan dalam lingkungan eksternal atau kekuatan eksternal yang mengubah keseimbangan internal harus bereaksi dan mengkompensasi supaya organisme dapat bertahan hidup. Contoh kekuatan eksternal adalah seperti suhu, konsentrasi oksigen di udara, pengeluaran energi, dan keberadaan predator. Selain itu, penyakit stres juga mengancam keseimbangan lingkungan internal tubuh. Ahli saraf Walter Cannon menciptakan istilah homeostasis untuk lebih menentukan keseimbangan dinamis yang telah dijelaskan Bernard. Dia juga adalah yang pertama untuk memperkenalkan bahwa stresors dapat berupa emosional maupun fisik. Melalui eksperimen, dia menunjukkan respons "fight or flight" yang timbul pada manusia dan binatang ketika terancam. Selanjutnya, Cannon juga mengatakan bahawa reaksi ini juga disebabkan oleh pelepasan neurotransmitters dari kelenjar adrenal, pars medula. Medula adrenal

mengeluarkan dua jenis neurotransmiter, yaitu epinefrin atau disebut sebagai adrenalin dan norepinefrin (noradrenalin), dalam respon terhadap stres. Pelepasan neurotransmiter menyebabkan efek fisiologis terlihat pada respon "fight or flight", misalnya, denyut jantung yang cepat, peningkatan kewaspadaan, dan lain-lain. Seterusnya, Hans Selye, seorang ilmuwan awal yang mempelajari stres, melanjut pengamatan Cannon. Beliau mengatakan bahawa selain daripada respons tubuh, semasa stres kelenjar pituitari juga memainkan peranan. Dia menggambarkan kontrol oleh kelenjar sekresi hormon (misalnya, kortisol) yang penting dalam respon fisiologis terhadap stres dengan bagian lain dari kelenjar adrenal yang dikenal sebagai korteks. Selain itu, Selye sebenarnya memperkenalkan istilah tegangan dari fisika dan rekayasa dan didefinisikan sebagai "respons bersama yang terjadi di setiap bagian tubuh, fisik atau psikologis." Dalam eksperimennya,

16

Selye menginduksi stres pada tikus dalam berbagai cara. Pada tikus yang terkena tegangan konstan, berlakunya pembesaran kelenjar adrenal, ulkus gastrointestinal dan atrofi sistem imun. Beliau menerangkan ini sebagai suatu proses adaptasi umum (penyesuaian) atau sindrom stres. Ia menemukan bahwa proses ini adaptif, penyesuaian yang sesuai dan normal untuk organisme dalam menangkal stres. Proses adaptif yang berlebihan, dapat merusak tubuh.

2.2.2 Klasifikasi Stres Menurut Hans Selye dalam Girdano (2005) mengatakan bahwa terdapat dua jenis stres, yaitu eustres dan distres. Eustres, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat sehat, positif, dan konstruktif (bersifat membangun). Hal tersebut termasuk kesejahteraan individu dan juga organisasi yang diasosiasikan dengan pertumbuhan, fleksibilitas, kemampuan adaptasi, dan tingkat performance yang tinggi. Ini adalah semua bentuk stres yang mendorong tubuh untuk beradaptasi dan meningkatkan kemampuan untuk beradaptasi. Ketika tubuh mampu menggunakan stres yang dialami untuk membantu melewati sebuah hambatan dan meningkatkan performa, stres tersebut bersifat positif, sehat, dan menantang. Di sisi lain, distres, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat tidak sehat, negatif, dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk konsekuensi individu terhadap penyakit sistemik dan tingkat ketidakhadiran (absenteeism) yang tinggi, yang diasosiasikan dengan keadaan sakit, penurunan, dan kematian. Distres adalah semua bentuk stres yang melebihi kemampuan untuk mengatasinya, membebani tubuh, dan menyebabkan masalah fisik atau psikologis. Ketika seseorang mengalami distres, orang tersebut akan cenderung bereaksi secara berlebihan, bingung, dan tidak dapat berperforma secara maksimal.

2.2.3 Etiologi Stres Penyebab stres dikenali sebagai stresor. Antara penyebabnya adalah, fisik,psikologis, dan sosial. Stresor fisik berasal dari luar diri individu, seperti suara, polusi, radiasi, suhu udara, makanan, zat kimia, trauma, dan latihan fisik

17

yang terpaksa. Pada stresor psikologis tekanan dari dalam diri individu biasanya yang bersifat negatif seperti frustasi, kecemasan (anxiety), rasa bersalah, kuatir berlebihan, marah, benci, sedih, cemburu, rasa kasihan pada diri sendiri, serta rasa rendah diri, sedangkan stresorsosial yaitu tekanan dari luar disebabkan oleh interaksi individu dengan lingkungannya. Banyak stresor sosial yang bersifat traumatik yang tak dapat dihindari, seperti kehilangan orang yang dicintai, kehilangan pekerjaan, pensiun, perceraian, masalah keuangan, pindah rumah dan lain-lain.

2.2.4 Mekanisme stres Empat variabel psikologik yang mempengaruhi mekanisme respons stres: 1) Kontrol: keyakinan bahwa seseorang memiliki kontrol terhadap stresor yang mengurangi intensitas respons stres. 2) Prediktabilitas: Stresor yang dapat diprediksi menimbulkan respons stres yang tidak begitu berat dibandingkan stresor yang tidak dapat diprediksi. 3) Persepsi: pandangan individu tentang dunia dan persepsi Stresor saat ini dapat meningkatkan atau menurunkan intensitas respons stres. 4) Respons koping: ketersediaan dan efektivitas mekanisme mengikat anxietas dapat menambah atau mengurangi respons stres. Secara fisiologi, situasi stres mengaktivasi hipotalamus yang selanjutnya mengendalikan dua sistem neuroendokrin, yaitu sistem simpatis dan sistem korteks adrenal. Sistem saraf simpatik berespons terhadap impuls saraf dari hipotalamus yaitu dengan mengaktivasi berbagai organ dan otot polos yang berada di bawah pengendaliannya, sebagai contohnya, ia meningkatkan kecepatan denyut jantung dan mendilatasi pupil. Sistem saraf simpatis juga memberi sinyal ke medula adrenal untuk melepaskan epinefrin dan norepinefrin ke aliran darah. Sistem korteks adrenal diaktivasi jika hipotalamus mensekresikan CRF, suatu zat kimia yang bekerja pada kelenjar hipofisis yang terletak tepat di bawah hipotalamus. Kelenjar hipofisis selanjutnya mensekresikan hormon ACTH, yang dibawa melalui aliran darah ke korteks adrenal. Dimana, ia menstimulasi pelepasan sekelompok hormon, termasuk kortisol, yang meregulasi kadar gula

18

darah. ACTH juga memberi sinyal ke kelenjar endokrin lain untuk melepaskan sekitar 30 hormon. Efek kombinasi berbagai hormon stres yang dibawa melalui aliran darah ditambah aktivitas neural cabang simpatik dari sistem saraf otonomik berperan dalam respons fight or flight.

2.2.5 Gejala stres Berikut ini adalah gejala-gejala psikologis stres : kecemasan, ketegangan, kebingungan dan mudah tersinggung, perasaan frustrasi, rasa marah, dan dendam (kebencian), sensitif dan hiperreaktivitas, memendam perasaan, penarikan diri, depresi, komunikasi yang tidak efektif, perasaan terkucil dan terasing, kebosanan dan ketidakpuasan kerja, kelelahan mental, penurunan fungsi intelektual, dan kehilangan konsentrasi, kehilangan spontanitas dan kreativitas serta menurunnya rasa percaya diri. Gejala-gejala fisiologis yang utama dari stres adalah: meningkatnya denyut jantung, tekanan darah, dan kecenderungan mengalami penyakit kardiovaskular, meningkatnya sekresi dari hormon stres (contoh: adrenalin dan noradrenalin), gangguan gastrointestinal (misalnya gangguan lambung), meningkatnya frekuensi dari luka fisik dan kecelakaan, kelelahan secara fisik dan kemungkinan mengalami sindrom kelelahan yang kronis (chronic fatigue syndrome), gangguan pernapasan, termasuk gangguan dari kondisi yang ada, gangguan pada kulit, sakit kepala, sakit pada punggung bagian bawah, ketegangan otot, gangguan tidur, rusaknya fungsi imun tubuh, termasuk risiko tinggi kemungkinan terkena kanker. Gejala-gejala perilaku dari stres adalah: menunda, menghindari pekerjaan, dan absen dari pekerjaan, menurunnya prestasi (performance) dan produktivitas, meningkatnya penggunaan minuman keras dan obat-obatan, perilaku sabotase dalam pekerjaan, perilaku makan yang tidak normal (kebanyakan), mengarah ke obesitas, perilaku makan yang tidak normal (kekurangan) sebagai bentuk penarikan diri dan kehilangan berat badan secara tiba-tiba, kemungkinan berkombinasi dengan tanda-tanda depresi, meningkatnya kecenderungan

berperilaku beresiko tinggi, seperti menyetir dengan tidak hati-hati dan berjudi, meningkatnya agresivitas, vandalisme, dan kriminalitas, menurunnya kualitas

19

hubungan interpersonal dengan keluarga dan teman serta kecenderungan untuk melakukan bunuh diri. Pengalaman stres sangat individual. Stres yang luar biasa untuk satu orang tidak semestinya dianggap sebagai stres oleh yang lain. Demikian pula, gejala dan tanda-tanda stres akan berbeda pada setiap individu.

2.3 HUBUNGAN AKSIS HPA DAN STRES HPA aksis adalah bagian utama dari sistem Neuroendokrin (Saraf pada hormon) yang mengontrol reaksi terhadap stres dan pula memiliki fungsi penting dalam mengatur berbagai proses tubuh seperti pencernaan, sistem kekebalan tubuh, suasana hati, emosi, seksualitas, dan penyimpanan penggunaan energi. Sumbu HPA juga terlibat dalam gangguan kecemasan, gangguan bipolar, pascatraumatic stres disorder, depresi klinis, kelelahan dan sindrom iritasi usus besar.

Gambar 2.4 Mekanisme Kerja Stres

20

Perangsangan sistem limbik menimbulkan efek otonom khususnya pada perubahan tekanan darah dan pernafasan. Respon ini timbul pada perangsangan didaerah sistem limbik, sedikit sekali bukti yang menunjukkan lokasi yang menghasilkan respon otonom pada sistem limbik. Respon otonom merupakan bagian dari fenomena yang lebih kompleks khususnya respon emosi dan perilaku. Perangsangan nuklei amigdaloid menimbulkan gerakan mengunyah dan menjilat serta kegiatan lain yang berhubungan dengan makan. Kerusakan amigdala mungkin menimbulkan hiperfagia ringan dan kecenderungan untuk memakan segala makanan tanpa kecuali, kemungkinan karena tidak adanya kemampuan untuk membedakan antara obyek yang dapat dimakan dan tidak dapat dimakan. Peningkatan kegiatan aksis HPA akibat stres dihantarkan lewat pelepasan CRF dari sel PVT hipotalamus. Selain meningkatkan aksis HPA, CRF juga meningkatkan aktivitas saraf simpatis lewat locus coeruleus (LC), respon imun lewat imfosit dan perubahan behavior lewat hipokamus. Sekresi CRF dari sel neuron PVN dikendalikan oleh beberapa jenis saraf yang terdapat disitu, antara lain GABAergik, kolinergik, serotoninergik dan adrenegik. Pengaruh saraf-saraf tersebut dapa dilihat daari hasil intervensi bahan atau obat yang meningkatkan dan menurunkan kegiatan aksis HPA sebagai berikut. Aktivitas aksis HPA meningkat Alfa metal meta tyrosin FLA 63 Resrpin Fentolamin Fenoxibenzamin Guanetidin Serotonin 5 HTP Ipsapiron Ach Fisostigmin Atropine Metskoplamin Ciproheptadin Pendolol Aktivitas aksis HPA menurun Amfetamin Metamfitain I-dopa Ipronazid Clonidin

Tabel 1.1 Obat-obat yang mempengaruhi Peningkatan dan Penurunan Aksis HPA

21

Tabel 2.2 Keadaan dimana Terjadi Peningkatan dan Penurunan Aktivitas HPA Secara singkat data intervensi obat tersebut dapat disimpulkan : 1. Pengaruh saraf adrenergik terhadap kegiatan aksis HPA adalah sebaliknya dari pengaruh saraf kolinergik. Aksis HPA diaktifkan oleh penurunan kegiatan saraf adrenergik atau kenaikan saraf kolinergik dan sebaliknya. 2. Pengaruh saraf serotoninergik terhadap kegiatan aksis HPA adalah mirip dengan saraf kolinergik dan belawanan dengan saraf adrenergik. Selain daripada itu, ditunjukkan juga pentingnya peran saraf GABAergik terhadap aksis HPA. Stres yang menimbulkan kenaikan sekresi CRF dapat dicegah bila sebelum dilakukan stres diberikan benzodiazepine atau bahan lainnya yang bersifat GABA agonist. Oleh karena GABA dikenal sebagai

neurotransmitter penghambat di dalam SSP maka hambatan sekresi CRF dan kegiatan aksis HPA merupakan bagian dari fungsinya. Pemberian obat carbolin (GABA antagonist) menyebabkan kenaikan sekresi CRF. Stres berat dan stres berkepanjangan dapat menurunkan fungsi GABAergik sehingga peran inhibisinya

22

berkurang dan timbul kenaikan sekresi CRF dan aktivitas aksis HPA. Keadaan ini dialami oleh penderita kecemasan (anxiety) akibat stres yang gejalanya antara lain kecemasan dan hiperkortisolemia. Pemberian obat gologan benzodiazepin dapat menghilangkan kedua gejala. Peran saraf serotoninergik terhadap sekresi CRF dan aktvitas aksis HPA agak berbeda namun mirip saraf GABAergik. Saraf serotoninergik yang bersangkutan dengan fungsi sekresi CRF berasal dari hipokampus. Reseptor serotonin (R=5HT) terutama dari jenis R-5HT 1A, banyak terdapat di PVN hipotalamus dan hipokampus berdekatan dengan reseptor glukokortikoid (GR) dan mineralokortikoid (MR). diduga akibat stres terjadi peningkatan release serotonin dan kegiatan aksis HPA yang bila berlangsung berkepanjangan menyebabkan jumlah reseptor menurun baik reseptor MR, GR maupun R-5HT A1 di PVN dan hipokampus. Pemeriksaan elektrofisiologis dan PET scan mennjukan adanya korelasi yang positif penurunan jumlah ketiga macam reseptor tersebut. Hal yang sama mungin terjadi pada saraf adenergik, dalam arti perannya sebagai pengatur tonus inhibisi terhadap CRF dan aktivitas HPA.

Gambar 2.5 Fisiologi Stres 23

2.3.1 Stres dan Psikopatofisiologik Dalam kehidupan sehari-hari orang tidak pernah bebas dari stres, fisik maupun psikik. Persepsi orang terhadap stres yang sama bisa berbeda, dipengaruhi faktor bawaan dan lingkungan pengalaman hidup setiap individu. Oleh karena itu respons setiap orang terhadap satu stres juga bisa berbeda. Seperti telah dipaparkan sebelumnya, maka stres dapat merangsang timbulnya respons kegiatan aksis HPA. Respons aksis HPA ini akan segera hilang dan normal berkat adanya mekanisme umpan balik lewat kortisol yang mencapai reseptornya di hipotalamus dan atau hipokampus. Bagaimanapun besarnya atau lamanya stres berlangsung tidak akan terjadi gangguan homeostasis manakala mekanisme umpan balik tersebut masih berfungsi normal. Peningkatan sekresi CRF sebagai respons terhadap stres akan memacu kegiatan neuron LC yang selanjutnya mengaktifkan sistem adrenergik. Umpan balik negatif dari aksis HPA ini ditingkatkan oleh kegiatan sistem adrenergik akan mengakibatkan refleks simpato-adrenal untuk melepaskan adrenalin dan noreadrenalinnya yang akan mengakibatkan orang untuk bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Pada tingkat ini gejala psikiatri yang muncul adalah reaksi cemas atau anxietas, ditandai dengan penurunan kegiatan sistem saraf GABAergik, peningkatan sistem saraf adrenergik dan serotoninergik dan aksis HPA.

24

Gambar 2.6 Aksis HPA dengan Stres Stres yang berlangsung terus berkepanjangan pada suatu ketika tidak lagi mampu dikompensasi oleh mekanisme umpan balik. Keadaan ini timbul akibat degenerasi neuron-neuron yang rentan terhadap peningkatan kadar kortisol secara berlebihan. Neuron yang rentan terhadap kortisol justru neuron yang mengandung reseptor kortisol, serabut serotonin dan noradrenalin dengan akibat rusaknya mekanisme umpan balik aksis HPA. Stresor pertama kali ditampung oleh pancaindera dan diteruskan ke pusat emosi yang terletak di saraf pusat. Dari sini, akan dialirkan ke organ tubuh melalui saraf otonom. Organ yang antara lain dialiri adalah kelenjar dan terjadilah

25

perubahan keseimbangan, yang selanjutnya akan menimbulkan perubahan fungsional berbagai organ target. Beberapa peneliti membuktikan telah menyebabkan perubahan neurotransmitter neurohormonal melalui berbagai aksis seperti HPA (Hypothalamic-Pituitary Adrenal Aksis), HPT (HypothalamicPituitary-Thyroid Aksis) dan HPO (Hypothalamic-Pituitary-Ovarial Aksis). HPA merupakan teori mekanisme yang paling banyak diteliti.

2.3.2 Nilai prognostik aktivitas HPA Salah satu ciri depresi endogen adalah adanya peningkatan berlebihan kegiatan aksis HPA. Manifestasinya adalah kenaikan kadar kortisol. ACTH dan CRF dalam cairan tubuh. Dexamethazone supression test (DST) yang dulu digunakan untuk membedakan reaksi depresi dengan depresi endogen ternyata berkembang menjadi suatu cara untuk meramal prognosa dan menilai keberhasilan pengobatan depresi. Pada penderita depresi endogen DST tidak menimbulkan pengaruh atau hanya sedikit menekan sekresi kortisol, sedangkan penderita reaksi depresi DST memberi penurunan drastis terhadap sekresi kortisol. Hasil pengobatan suatu obat anti depresi ditandai dengan respons supresi yang mendekati normal pada DST, sedangkan DST yang negatif mengindikasikan kegagalan terapi atau sembuh sebentar kemudian kambuh dengan cepat. Obat anti depresi golongan serotonin dan adrenergik agonis akan menurunkan aktivitas aksis HPA disamping perbaikan klinis depresinya demikian juga halnya obat yang bersifat atropin. Obat yang bersifat atropin like action atau kolinergik antagonis menimbulkan perbaikan kegiatan aksis HPA dan depresinya. Yang agak aneh adalah obat tianeptine yang merupakan obat anti depresi, juga memperbaiki aktivitas aksis HPA, namun bekerjanya justru menaikkan uptake serotonin dari celah sinap dibawa ke dalam sel neuron, berlawanan dengan obat konvensional.

26

2.3.3 Neuron Degenerasi pada Hiperkortisolisme Telah lama diketahui terjadinya atrofi jaringan otak pada penderita hiperkortisolisme oleh berbagai macam sebab. Atrofi jaringan otak manusia di daerah hipokampus terjadi pada penderita-penderita depresi berulang, kelainan depresi sesudah trauma, penuaan sebelum demensia, demensia, sindrom Cushing, dan skizofrenia. Pada semua kasus tersebut, didapatkan peningkatan kadar glukokortikoid dalam cairan tubuhnya sehingga diduga terkait sebagai penyebab degenerasi neuron hipokampus. Peningkatan usia disertai kenaikan aktivitas aksis HPA, terutama di atas 75 tahun, didapatkan gangguan fungsi memori dan kognisi. Terjadi atrofi hipokampus sekitar 10-14% dapat ditunjukkan pada pemeriksaan MRI. Hampir semua penderita depresi menunjukkan adanya defisit memori dan belajar pada tes-tes neuropsikologi. Kenaikan kognisi ini diduga termasuk gejala depresi yang akan membaik manakala depresinya sembuh. Ternyata kognisi tetap jelek sesudah keberhasilan pengobatan. Disamping itu, degenerasi ditemukan korelasi yang positif antara hiperkortisolemia dengan pengecilan volume hipokampus pada pemeriksaan MRI dari penderita depresi. Penderita sindrom Cushing yang mensekresi kortisol berlebihan

didapatkan gangguan kognisi dan akan membaik bila kadar kortisol direndahkan. Pada penderita demensia alzheimer didapat kenaikan kegiatan aksis HPA, dimana terdapat korelasi pengecilan hipokampus dari MRI dan aktivitas HPA. Degenerasi neuron hipokampus pada penderita alzheimer terjadi 10 tahun lebih dini sebelum gejala kegagalan intelektual terdeteksi. Hipokampus berperan penting dalam proses memori deklaratif dan spatial, disamping mengatur repon emosi dan regulasi aksis HPA. Struktur neuronnya plastis, rentan rusak, dan banyak mengandung reseptor-reseptor kortisol. Dalam kondisi normal reseptor akan berfungsi sebagai pengatur mekanisme umpan balik kegiatan aksis HPA. Degenerasi neuron ini bila cukup luas akan mengganggu fungsi kontrol mekanisme umpan balik kegiatan HPA dan selanjutnya hiperkortisolemia menjadi lebih hebat dan degenerasi neuron akan terus berlangsung. Kenaikan kortisol akut sesudah pemberian steroid peroral pada manusia dan pemberian stres pada hewan menimbulkan hambatan proses

27

pembentukan

memori.

Pemeriksaan

PET

scan

di

hipokampus

ketika

hiperkortisolemia menunjukkan uptake glukosa. Selain glukosa, kerusakan neuron hipokampus diduga berkaitan dengan peningkatan influks kalsium dan beberapa neurotransmitter antara lain serotonin, GABA, dan glutamat lewat reseptor NMDA (N-Metil-D-Aspartat). Terlepas dari mekanisme terjadinya degenerasi neuron hipokampus akibat hiperkortisolemia, proses tersebut memerlukan waktu 3-4 tahun. Bilamana gangguan kognisi muncul lebih awal biasanya masih bersifat reversibel. Dari beberapa penelitian awal ditunjukkan fenitoin dan tianeptine dapat memulihkan gangguan kognisi yang reversibel tersebut.

2.4 Manajemen Stres Manajemen stres adalah kemampuan untuk mengendalikan diri ketika situasi, orang-orang, dan kejadian-kejadian yang ada memeberi tuntutan yang berlebihan. Berikut beberapa langkah menghadapi stres: a. Mengenali stress Gejalanya antara lain gejala mental, fisik, dan sosial b. Mencari bantuan Lingkungan seperti teman, tim konseling, kelompok dukungan mendekatkan diri pada Tuhan. Beberapa cara manajemen stres: a. Belajar cara untuk merelaksasi tubuh Anda b. Jangan membebani diri berlebihan, bercerita, terlalu fokus pada masalah kecil, secara selektif, ubahlah cara anda bereaksi, dan hindari reaksi yang berlebihan c. Ubahlah cara pandang Anda d. Tidur cukup e. Hindari pemakaian obat yang tidak perlu f. Latihan relaksasi Beberapa terapi farmakologi pada penderita anxietas: Golongan Benzodiazepine sebagai obat anti-anxietas mempunyai ratio terapeutik lebih tinggi dan lebih kurang menimbulkan adiksi dengan toksisitas yang rendah, dibandingkan dengan meprobamate atau phenobarbital. serta

28

Disamping itu, phenobarbital meng-induksi enzim mikrosomal di hepar, sedangkan golongan benzodiazepine tidak. Golongan Benzodiazepine = drug of choise dari semua obat yang mempunyai keamanannya.

efek

anti-anxietas,

disebabkan

spesifitas,

potensi

dan

Spektrum klinis Benzodiazepine meliputi efek anti-anxietas, antikonvulsan, anti-insomnia, premedikasi tindakan operatif.

- Diazepam / Chlordiazepoxide : broadspectrum - Nitrazepam / Flurazepam : dosis anti-anxietas dan anti-insomnia berdekatan (non dose-related), lebih efektif sebagai anti-insomnia. - Midazolam : onset cepat dan kerja singkat, sesuaikebutuhsn untuk premedikasi tindakan operatif. - Bromazepam, Lorazepam, Clobazam : dosis antianxietas dan anti-insomnia berjauhan (dose-related), lebih efektif sebagai anti-anxietas.

Beberapa spesifikasi : - Clobazam = 1,5 benzodiazepine = psychomotor performance paling kurang terpengaruh, untuk pasien dewasa dan usia lanjut yang ingin tetap aktif. - Lorazepam = short half life benzodiazepine & no significant drug accumulation at clinical dose, untuk pasien-pasien dengan kelainan fungsi hati dan ginjal. - Alprazolam = efektif untuk anxietas antisipatorik, onset of action lebih cepat dan mempunyai komponen efek anti-depresi. - Sulpiride-50 = efektif untuk meredakan gejala somatik dari sindrom anxietas dan paling kecil resiko ketergantungan obat.

29

KESIMPULAN

Stres dapat merangsang timbulnya respons kegiatan aksis HPA. Respons aksis HPA ini akan segera hilang dan normal berkat adanya mekanisme umpan balik lewat kortisol yang mencapai reseptornya di hipotalamus dan atau hipokampus. Bagaimanapun besarnya atau lamanya stres berlangsung tidak akan terjadi gangguan homeostasis manakala mekanisme umpan balik tersebut masih berfungsi normal. Peningkatan sekresi CRF sebagai respons terhadap stres akan memacu kegiatan neuron LC yang selanjutnya mengaktifkan sistem adrenergik. Umpan balik negatif dari aksis HPA ini ditingkatkan oleh kegiatan sistem adrenergik akan mengakibatkan refleks simpato-adrenal untuk melepaskan adrenalin dan noreadrenalinnya yang akan mengakibatkan orang untuk bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Pada tingkat ini gejala psikiatri yang muncul adalah reaksi cemas atau anxietas.

30

DAFTAR PUSTAKA

1. Graeff, FG dan Junior, HZ. 2010. The hypothalamic-pituitary-adrenal axis in anxiety and panic. Psychology and neuroscience 3(1): 3-8. 2. Guilliams, Thomas and Edwards, Lena. 2010. Chronic Stress and the HPA Axis: Clinical Assessment and Therapeutic Considerations. Point Institute of Nutraceutical Research Vol.9 (2): 1-12. 3. Joesoef, AA. 1999. Stress dan Aktivitas Aksis HPA. Majalah Aksona No. 02 Th XIV Hal: 21-27. 4. Nugroho, Taufik Eko; Pujo, Jati Listiyanto; Nurcahyo, Widya Istanto. 2011. Fisiologi dan Patofisiologi Aksis Hipotalamus-Hipofisis-Adrenal. Semarang. Jurnal Anestesiologi Indonesia Volume III, Nomor 2. 5. Olson, Kelly et al. 2011. The Hypothalamic-Pituitary-Adrenal Axis: The Actions of the Central Nervous System and Potential Biomarkers. Anti-Aging Therapeutics Volume XIII, 91-100. American Academy of Anti-Aging Medicine; Chicago, IL USA. Chapter 10: 91-100. 6. Rohleder, Nicolas. The HypothalamicPituitaryAdrenal (HPA) Axis In Habitual Smokers Nicolas Rohleder, Clemens Kirschbaum. International Journal of Psychophysiology 59: 236-243. 7. Sondeijker, Frouke et al. 2007. Disruptive Behaviors And HPA-Axis Activity In Young Adolescent Boys And Girls From The General Population. F.E.P.L. Sondeijker et al. Journal of Psychiatric Research 41: 570578.

31

Anda mungkin juga menyukai