DAFTAR ISI
Koma
Kenaikan Tekanan Intrakranial
Miastenia Gravis
Sindrom Guillain Barre
III. NEUROPEDIATRI
1. Kejang Demam
IV. INFEKSI
1. Meningitis Bakterial
2. Meningitis Tuberkulosa
V. EPILEPSI
1. Kejang Status (Generalized tonic clonic status)
KEGAWATAN NEUROLOGI
1. KOMA
BATASAN
Suatu keadaan pasien yang tidak dapat dibangunkan dan tidak memberi
respons terhadap semua rangsangan, baik dari dalam maupun dari luar. Perlu
diingat bahwa koma adalah suatu tingkat yang meliputi seluruh spektrum
penurunan kesadaran mulai hanya sedikit mengantuk sampai ke mati otak.
PATOFISIOLOGI
Dapat disebabkan oleh karena : gangguan sirkulasi, ensephalomeningitis,
gangguan metabolisme, gangguan elektrolit dan endokrin, neoplasma, trauma
kapitis, epilepsi, penggunaan obat.
GEJALA KLINIS
Untuk menentukan tingkat kedalaman koma, digunakan skala penilaian
koma dan Glasgow (Glasgow Coma Scale = GCS) dan penentuan refleks batang
otak dengan skoring Pittsburg (Pittsburg Brain Stem Score = PBSS).
DIAGNOSIS/CARA PEMERIKSAAN
1. Hetero anamnesis yang teliti
2. Pemeriksaan
- Status interne
- Status neurologik
3. Pemeriksaan tambahan
- Darah: fungsi ginjal
fungsi hati
kadar gula darah
elektrolit
-
Oftalmoskop
Punksi lumbal bila tidak ada papil bendung
Eko-ensefalografi
CT scan
Elektro-ensefalografi
DIAGNOSIS BANDING
1. Afasia global
2. Locked in syndrome
3. Psikogenik
PENYULIT
1. Aspirasi/pneumonia hipostatik
2. Dekubitus (borok tekan)
3. Infeksi saluran kencing
PENATALAKSANAAN TERAPI UMUM:
-
KHUSUS
-
glukosa.
Perbaikan homeostasis ekstrakranial :
1. Kendalikan MAP tekanan arterial (rata-rata) dan normalkan volume darah
dengan vasopressor/vasodilator dan cairan :
a. Untuk mengembalikan sirkulasi spontan :
- Buatlah sedikit hipertensi ringan (MAP 120-140 mmHg) selama 1 -5
b.
c.
d.
e.
menit.
- Pertahankan normotensi dengan tekanan sistolik 120 - 130 mmHg.
Pada trauma kapitis buatlah sedikit hipotensi (MAP 60-90 mmHg).
Beri dopamin iv dengan dosis awa13 ug/kg/menit.
Lakukan kateterisasi, pemasangan CVP dan infus.
Posisi kepala dinaikkan 10-30 derajat dan posisi badan dibolak-balik
tiap 2 jam.
2. Pertahankan pernapasan yang terkontrol selama 2 jam sesudah arrest bila
perlu lebih lama.
3. Bila penderita gelisah diberikan :
a. Thiopental atau penthobarbital 5 mg/kg/jam (kadar plasma 2-4 mg/dl,
total 30 mg/kg). Untuk ini masih banyak pertentangan.
b. Diphenilhydantoin 7-10 mg/kg iv bolus ditambah 7 mg/kg/hari untuk
maintenance.
c. Diazepam 5 mg/70 kg iv titrasi bila dibutuhkan.
Untuk rasa sakit pada penderita yang sadar diberi narkotik dengan titrasi.
4. Pertahankan pCO2 arterial 25-35 mmHg dibawah pernafasan yang
terkontrol.
5. Pertahankan pH arterial 7,3 - 7,6
6. Pertahankan pCO2 arterial diatas 100 mmHg dengan FI 02 90 - 100 %,
sesudah 1-6 jam F1 02 50 %.
7. Pemberian kortikosteroid bila penyebabnya adalah lesi massa, bukan
gangguan pembuluh darah otak.
a. Methyl prednisolone 1 mg/kg iv dilanjutkan dengan 0,5 mg/kg/6 jam iv.
atau:
b. Dexamethasone 0,2 mg/kg iv disusul dengan 0,1 mg/kg/6 jam iv.
c. Tappering off kortikosteroid dalam 48- 72 jam.
8. Awasi variabel dalam darah:
a. Hematokrit 30-35 96, elektrolit normal
b. Plasma COP di atas 15 mmHg, serum albumin di atas 3 g/dl.
c. Osmolitas serum 280-330 mOsm/l.
d. Glukosa 100- 300 mg/dl.
9. Pertahankan normotermia.
10. Berikan infus:
a. Dextrose 5-10% dalam 0,25-0,5 % NaCl 30-50 ml/kg/hr
Bayi 100 ml/kg/hr, tambahkan Kalium bila diperlukan
b. Berikan alimentasi dextrose 20 %, asam amino, vitamin
Perbaikan homeostasis intrakranial.
1. Singkirkan kemungkinan proses desak ruang
2. Monitor tekanan intrakranial, diharapkan tek. < 15 mmHg
a. Hiperventilasi lewat endotracheal paling sedikit 2 menit (Pa CO 2 28 -30
mmHg)
b. Manitol 0,5-1 g/kg BB/kali diberikan tiap 4 jam dengan kontrol
osmolalitet.
c. Kortikosteroid.
d. Loop diuretik iv (Furosemid 0,5 mg/kg BB iv), bila ada tanda-tanda
kelebihan cairan.
e. Hipotermia 300- 320C
3. Monitor EEG secara teratur.
4. Monitor penyembuhan neurologik dan prognosis.
a. Tentukan CSF, CPK pada jam ke 48- 72.
b. Monitor kedalaman koma.
5. Tentukan dan kelola tindakan yang telah dilakukan
a. Tentukan secara periodik Cerebral Performance Categories (CPC) dan
Overload Performance Categories (OPC).
PITTSBURG
Tambahan pada GCS (A, B, C)
Refleks buka mata
4
Ya = 2
tidak = 1
3
2
Refleks kornea
Ya = 2
tidak = 1
Refleks mata boneka atau reflex kalori
Ya = 5
tidak = 1
4
3
Ya = 2
tidak = 1
1
C. Respons menarik
Menurut perintah
Melokalisir nyeri
Fleksi/menarik
Fleksi abnormal
Ekstensi
Negatif
Ya = 2
tidak = 1
4
3
Ya = 2
tidak = 1
1
Total GCS
Total PBSS
Baik
Baik
= 15
Buruk = 3
= 15
Buruk = 6
T=0
Ambil riwayat yang perlu dan mulai resusitasi (ABC, intubasi, pasang infus, tekanan darah, nadi, suhu, pernapasan, monito
T=5
Ambil darah i.v : periksa glukosa darah, analisa gas darah, elektrolit K, Na, PO4, BUN, Creatinin, SGPT, SGOT
T = 10
Evaluasi Penderita
CT Scan Kepala
Furosemide 20 mg iv
T = 30
DAFTAR PUSTAKA
1. Becker KJ, Ulatowski JA: The comatose patient. In Johnson RT, et al. Current
therapy in neurologic disease 5th edition. St. Louis; Mosby-year book, Inc ;
1997: 1-5.
2. Berger JR : Clinical Approach to Stupor and Coma. In Bradley WG, et al :
Neurology in Clinical Practice. Principles of Diagnosis and Management 2 nd
edition. Boston, Butterworth-Heinemann, 1996: 39-60.
3. Don H. Coma. In Decision Making in Critical Care. Toronto-Philadeiphia :
B.C. Decker Inc,1985,69-79.1. Don H. Coma. In: Decision Making inCritical
Care. Toronto- Philadelphia: B.C. Decker mc, 1985,69-79.
4. Earnest MD, Cantrill. Coma. In: Johnson RT. ed Current Therapy in
Neurologic Disease-2. Philadelphia : B.C. Decker mc, 1987: 1- 5.
5. Huff JS : Altered Mental Status and Coma. In Tintinalle JE, et al : Emergency
medicine 6th edition. New York, Mc Graw-Hill, 2004:1390-1397.
6. Plum F, Posner JR. The Diagnosis of stupor and Coma. 3rd. F.A, 1986,1-73.
7. Safar P. Prolonged Life Support, Cerebral Resuscitation and Evaluating, and
Letting Die. In: Cardiopulmonary Cerebral Resuscitation. StavengerNormay, 1981,227- 276.
patologik
sehingga
terdapat
kenaikan
didalam
tekanan
Pembengkakan otak :
Fokal
: kontusio serebri
keradangan pasca operasi
Diffus
: trauma kapitis
ensefalopati (sindroma Reye)
hipertensi intrakranial yang jinak
anoksia
Nyeri kepala yang hebat sejak bangun tidur atau penderita terbangun oleh
Bradipsike
DIAGNOSIS/CARA PEMERIKSAAN
-
PENATALAKASANAAN TERAPI
-
: sampai 20 mmHg
Bayi
: sampai 8 mmHg
Neonatus
: sampai 5 mmHg
Pengobatan medik :
Letak kepala tergantung lesi
Hiperventilasi: Pa CO2 : 3,2 kpa atau 25 mmHg
Dehidrasi osmotik :
Dexamethasone :
awal 0,5 mg/kg dilanjutkan 0,25 mg/kg/hr.
Manitol 20 %: infus
awal 1,0 - 2,0 gr/kg dilanjutkan 0,25 - 0,5 gr/kg
DAFTAR PUSTAKA
1. Chandra B. Neurologi Klinik : Kumpulan Kuliah. Surabaya: Lab/UPF Ilmu
Penyakit Saraf 1986,69-90.
2. Laurence T Dunn : Raised Intracranial Pressure. J. Neurol Neurosurg
Psychiatry 2002: 73 (Suppl 1) : i23-i27
3. Mickell J J, Ward ID. Evaluation and treatment of intracranial hypertension. In
: Peelock 1M, Myer EC, Neurologic Emergencies in infancy and childhood.
Philadelphia 1st ed. 1 larper and Row Publ, 1984, 71- 106.
4. Miller JD. Increased Intracranial Pressure. Theoretical Considerations. In
Peelock JM, Wer EC, Neurologic Emergencies in infancy and childhood.
Philadelphia: 1st ed. Haiper and Row Publ, 1984: 57-70.
3. MIASTENIA GRAVIS
BATASAN
Adalah suatu penyakit autoimun, yang disebabkan oleh gangguan
imunologis pada pada reseptor asetilkolin neuromuscular junction pasca sinaps.
PATOFISIOLOGI
Miastenia
gravis
merupakan
penyakit
autoimun
pada
transmisi
Cholinergic crisis
Disebabkan
oleh
pengobatan
dengan
anticholinestrase/obat-obat
penderita.
Kelemahan terutama pada otot proksimal dan leher.
Kadang-kadang penderita dapat mengalami gangguan pernafasan.
2. Pemeriksaan
Bertujuan untuk membuktikan kecepatan kelelahan otot
a. Fisik
Pemeriksaan motorik, gangguan terutama pada otot proksimal
Tes pita suara, dengan menghitung atau membaca keras selama 3
Tes farmakologi
DIAGNOSIS BANDING
PENYULIT
Bisa timbul myasthenia crisis atau cholinergic crisis akibat terapi yang tidak
diawasi
Pneumonia
PENATALAKSANAAN TERAPI
1. Perawatan umum
Hindari rasa lelah yang berlebihan
Tidur secukupnya.
Menutup mata beberapa menit dalam satu jam
Diit banyak mengandung potasium
Hindari suhu terlalu panas maupun terlalu dingin
Hindari stres
2. Pengobatan
a. Antikolinesterase
Pyridostigmin bromida, dosis awal 3 x 60 mg, kemudian disesuaikan
dosisnya untuk mendapatkan efek optimal. Bila hasil tak memuaskan
pertimbangkan timektomi atau pemberian kortikosteroid.
b. Kortikosteroid
Mulai dengan dosis rendah (12-50 mg prednisone) kemudian
dinaikkan pelan-pelan sampai respons optimal (maksimal 50-60 mg
prednisone)
12 bulan)
Turunkan sangat pelan-pelan sampai dosis pemeliharaan minimal.
Awasi efek samping obat.
c. Imunosupresan:
Azathioprine dosis 50 mg/hari pada dewasa dan dinaikkan pelan-pelan
kebutuhan.
Cyclophosphamide, dengan dosis 1-2 mg/kg/hari
Mycophenolate mofetil, dengan dosis 1 gram/12 jam.
d. Imunoglobulin IV
Dosis 0,4 g/kg/hari selama 5 hari berturut-turut.
Terutama pada penderita myasthenia crisis atau sebelum dilakukan
timektomi
e. Plasmaferesis
Terutama pada penderita myasthenia crisis atau sebelum dilakukan
timektomi.
f. Timektomi
Indikasi:
Timoma
generalized myasthenia yang tidak dapat dikontrol dengan obat
antikoline torase
< 50 tahun
6-12 bulan tidak ada remisi spontan.
TERAPI KRISIS MIASTENIA
Terapi krisis sebaiknya dilakukan di ruang Intensive.
Kontrol Airway.
Hentikan sementara pemberian antikolinesterase.
Perbaiki keadaan umum.
Atropinisasi.
0,4-0,6 mg i.v diulang tiap 15 menit sampai pupil dilatasi dan bronchial
sekresi terkontrol, baru kemudian dilakukan tappering off.
Kortikosteroid.
Plasma exchange atau IV Ig.
DAFTAR PUSTAKA
1. Amato AA. Neuromuscular junction disorders and myopathies. In: Samuels
MA, eds. Manual of Neurologic Therapeutics. 7nd ed. Philadelphia,
Lippincott Williams & Wilkins, 2004:260-266.
2. Andrew PI, Sanders DB. Juvenile Myasthenia Gravis. In: Jones HR, Devivo
DC, Darras BT, eds. Neuromuscular disorders of infancy, childhood, and
adolescence: a clinician's approach. Philadelphia, Butterworth-Heinemann,
2003:575-597.
3. Gooch CL. Myasthenia gravis. In: Aminoff MJ, Daroff RB., eds. Encyclopedia
of the neurological sciences. Vol.3. California, Academic Press, 2003:305-315
4. Engel AG. Myasthenia gravis and myasthenic syndromes. In: In: Noseworthy,
eds. Neurological therapeutics, principles and practice. Vol.2. London, Martin
Dunitz, j 2003:2378-2394.
5. Keesey JC. Clinical evaluation and management of myasthenia gravis. Muscle
Nerve 29:2004:484-505.
6. Davis JN : Myasthenia gravis. In. Medicine International 1996, 34; 10 : 110115
Ada kesamaan molekular antara epitop mielin dan glikolipid yang terdapat
pula Campylobacter, Mycoplasma, dan berbagai agen infeksi, yang
mendahului serangan Sindrom Guillain Barre, kemungkinan merupakan
konduksi.
Pada AIDP terjadi demielinisasi, pada AMAN dan AMSAN terjadi degenerasi
aksonal.
GEJALA KLINIS
terkena dibanding fungsi serabut saraf kecil (rasa nyeri dan suhu).
Penderita AMAN tidak ada gangguan sensoris.
Refleks tendon menurun atau hilang
Gangguan saraf otak terutama n. VII, IX, dan X dan ekstraokular pada 50%,
kasus, sering bilateral, selain itu dapat disertai dengan disfungsi saraf otonom
(hipotensi atau hipertensi) dan kadang-kadang aritmia jantung.
DIAGNOSIS/CARA PEMERIKSAAN
1. Anamnesis
Faktor pencetus, misalnya infeksi virus (infeksi saluran nafas bagian atas
AMSAN:
Konduksi sensoris nihil, atau amplitudo rendah dengan distal latensi dan
AMAN :
DIAGNOSIS BANDING
1.
2.
3.
4.
PENYULIT
1. Kelumpuhan otot pernafasan
2. Dekubitus
PENATALAKSANAAN TERAPI
1. Perawatan umum
Perawatan umum ditujukan pada pernafasan (breathing), kontrol tekanan
darah (blood), keseimbangan cairan dan elektrolit (bladder), nutrisi dan
vitamin (bowel), perawatan badan dan kulit (body & skin care), mata dan
mulut.
Bila ada tanda-tanda kelumpuhan otot pernafasan harus secepatnya
dirujuk/dikonsulkan ke bagian anestesia. Intubasi endotrakeal dikerjakan
DAFTAR PUSTAKA
1. Amato AA. Motor neuropathies and peripheral neuropathies. In: Samuels MA,
eds. Manual of Neurologic Therapeutics. 7nd ed. Philadelphia, Lippincott
Williams & Wilkins, 2004:204-206.
2. Donofrio PD. Immunotherapy of idiopathic inflammatory neuropathies.
Muscle Nerve 28:2003:273-292.
3. Hughes R AC, Cornblath DR. Acute
inflammatory
demyelinating
2. Atau
Elektrokardiografi (EKG)
X-foto toraks.
Darah lengkap.
Kimia darah (kadar glukosa, serum elektrolit, tes faal ginjal dan hati).
Faal hemostasis (PT, aPTT).
Pada keadaan tertentu, mungkin diperlukan pemeriksaan lain, misalnya
ekhokardiografi,
Doppler
Angiography), angiografi.
karotis/TCD,
MRA
(Magnetic
Resosnance
PENATALAKSANAAN TERAPI
1. Pemeriksaan neurovaskular harus dilakukan pada setiap penderita yang
mengalami serangan 77.4 (20% penderita 714 akan mengalami stroke dalam
bulan pertama, sebagian besar terjadi pada 72 jam pertama, setelah serangan
TIA).
2. Penderita yang mengalami serangan TIA atau SOS lebih dari satu kali dalam
seminggu harus dirawat di rumah sakit untuk pemeriksaan dan terapi lebih
intensif.
3. Pemberian antiplatelet, terutama acetosal (100-300 mg/hari) per oral,
dilakukan sejak awal. Obat antiplatelet lain yang bisa diberikan adalah
clopidogrel (75 mg/hari), kombinasi acetosal (25 mg) dan dipiridamol (200
mg) sehari 2 kali, cilostazol (2x50-100 mgf hari), ticlopidin (sehari 2 kali 250
mg/hari).
4. Kontrol terhadap faktor risiko yang diketahui, antara lain dengan memperbaiki
gaya hidup (olahraga teratur, diet, menghentikan kebiasaan merokok, minum
alkohol, dan penggunaan narkoba), regulasi tekanan darah pada penderita
hipertensi, regulasi gula darah bagi penderita diabetes mellitus.
kadar gula darah pada stroke akut berkaitan dengan tingginya angka kecacatan
dan kematian. Selain itu, dengan pemeriksaan dapat diketahui adanya
hipoglikemia yang memberikan gambaran klinis menyerupai stroke.
4. Elektrolit serum dan faal ginjal
Pemeriksaan ini diperlukan, terutama berkaitan dengan kemungkinan
pemberian obat osmoterapi pada penderita stroke yang disertai peningkatan
tekanan intrakranial dan keadaan dehidrasi.
5. Darah lengkap (hitung sel darah)
Pemeriksaan darah lengkap diperlukan untuk menentukan keadaan
hematologik yang dapat mempengaruhi stroke iskemik, misalnya anemia,
polisitemia, dan keganasan.
6. Faal hemostasis
Pemeriksaan jumlah trombocyte, waktu prothrombin (PT) dan
thromboplastin (aPTT) diperlukan terutama berkaitandengan penggunaan obat
antikoagulan dan trombolitik.
7. X-foto toraks
Pemeriksaan radiologik toraks berguna untuk menilai besar jantung,
adanya klasifikasi katup jantung, maupun edema paru.
8. Pemeriksaan lain yang diperlukan pada keadaan tertentu (sesuai indikasi)
adalah : tes faal hati, saturasi oksigen, analisis gas darah, toksikologi, kadar
alkohol dalam darah, fungsi lumbal (bila ada dugaan perdarahan subaraknoid,
tetapi gambaran CT scan normal), EEG (elektro-ensefalografi) terutama pada
paralysis Todd.
PENATALAKSANAAN TERAPI
Penatalaksanaan dini penderita stroke iskemik akut di ruang gawat darurat
meliputi upaya (1) menegakkan diagnosis dengan segera, (2) melakukan terapi
umum dan penyulit akut, (3) melakukan terapi spesifik fase akut, dan (4)
menentukan penatalaksanaan selanjutnya.
Terapi umum meliputi :
1. Memelihara jalan nafas, fungsi respirasi dan kardiovaskular.
ini
dapat
mengakibatkan
vasokontriksi
serebral
sehingga
terus
menerus
(kejang
status)
dapat
berakibat
fatal.
REHABILITASI DINI
Rehabilitasi dini sangat bermanfaat dalam upaya menurunkan angka
kecacatan dan mencegah terjadinya penyulit akibat imobilisasi atau tirah baring
lama. Mobilisasi dini dan tindakan lainnya sangat diperlukan untuk mencegah
terjadinya pneumonia, trombosis vena dalam, emboli paru, dekubitus, penyulit
ortopedik, dan kontraktur.
DAFTAR PUSTAKA
1. AHA Scientific Statement (2003 and 2005). Guidelines for the Early
Management of Patients With Ischemic Stroke.
2. Royal College of Physicians (2004). National Clinical Guidelines for Stroke.
2nded.
3. European Stroke Initiative Recommendation (2003). Ischemic Stroke,
Prophylaxis and Treatment.
sampai koma.
Biasanya terdapat hipertensi sedang dan berat
DIAGNOSIS/CARA PEMERIKSAAN
Pemeriksaan :
1.
2.
3.
4.
Anamnesis
Pemeriksaan umum: tensi, nadi, respirasi suhu
Pemeriksaan klinis neurologi
Pemeriksaan tambahan
Darah : seperti pada RIND/PRIND
Punksi lumbal : jangan dikerjakan apabila diduga perdarahan intra
serebral. CT scan 1 MRI kepala nampak jelas area hiperdens/hiperintens
sejak awal serangan.
PENATALAKSANAAN TERAPI :
1. Medis :
Hiperventilasi
Dengan intubasi untuk membuat p CO2 28-34 mmHg.
Apabila ada kejang, biasanya pada perdarahan lesi dekat korteks Diberikan
diazepam intra vena pelan tidak lebih dari 2 mg/menit sampai kejang
kejang status.
Hipertensi : penanganan sesuai dengan penatalaksanaan hipertensi pada
stroke akut.
Pemberian cairan infus tidak boleh terlalu banyak, diberikan 1 liter/hari
kecuali bila panas > 1,5 liter/hari. Cairan yang diberikan Ringer lakta
Albumin 20% bila ada hipoalbuminia dan dapat untuk mengurangi edema.
Gambaran CT scan/MRI : terdapat edema luas dan mid line shift dan
sesudah 6 jam dari awitan dapat diberikan Manitol dosis : 0,25 - 0,5
gr/kgBB/kali, diberikan 6 kali sehari, sampai 7 hari sesudah itu tappering
off : 4 x sehari selama 2 hari ,3 x sehari selama 2 hari 2 x sehari selama 2
hari lalu stop.
2. Pembedahan
- Tindakan operatif pada perdarahan intra serebral dilakukan secara selektif
sesuai dengan indikasinya. (derajat kesadaran, lokalisasi dan besar
-
DAFTAR PUSTAKA
4. PERDARAHAN SUBARACHNOID
BATASAN
Adalah keadaan yang akut, karena terjadi perdarahan ke dalam ruangan
subarachnoid.
PATOFISIOLOGI
Perdarahan dapat terjadi akibat aneurisma pecah, kelainan pembekuan
darah, tumor otak dan beberapa sebab lain.
GEJALA KLINIS
1. Nyeri kepala hebat sesisi yang akut dengan atau tanpa gangguan kesadaran.
Kurang lebih 25% penderita didahului dengan nyeri kepala hebat (II).
2. Terdapat tanda rangsangan selaput otak (ineningeal sign) dan pada 10 %
penderita terdapat perdarahan subhialoid pada mata (subhyaloid bleeding).
3. Pada umumnya tidak dijumpai tanda fokal.
4. Bila dilakukan punksi lumbal selalu didapatkan cairan otak/likuor yang
berdarah.
DIAGNOSIS/CARA PEMERIKSAAN
1. Anamnesis (mulainya) akut, nyeri kepala hebat satu sisi, mual, muntah dapat
disusul gangguan kesadaran dan kejang.
2. Pemeriksaan klinis neurologis
3. Pemeriksaan tambahan
Funduskopi : cari subhyaloid bleeding.
CT scan kepala
LP : dilakukan dalam waktu 12 jam bilamana CT scan kepala tidak dapat
dikerjakan atau gambaran CT scan kepala normal, sedangkan klinis sangat
mencurigakan suatu perdarahan subarakhnoid, dan tidak ada kontra
PENATALAKSANAAN TERAPI
untuk
mengurangi
vasospasme.
Antifibrinolitik tak boleh diberikan (A), karena dapat meningkatkan
intra serebral.
Bila penderita gelisah dapat diberikan :
Haloperidol dosis rendah per oral.
Diazepam dosis rendah
Untuk nyeri kepala diberikan analgetik bukan aspirin.
2. Pembedahan
Apabila didapatkan anerysma serebri yang pecah, maka operasi sebaiknya
DAFTAR PUSTAKA
1. Adam HP Antifibrinolytics in Aneurymal Subarachnoid Hemorrhage. Do They
Have a Role? Maybe. Arch Neurol 1987;114 - 118.
2. Beck DW, Adam HP, Flasma ES. Godersky IC, L.oftus CM. Combination of
Aminocaproic acid and Nicardipine in Treatment of Aneurymal Subarachnoid
Hemorrhage. Stroke 1988; 19:63-67.
3. Weir B, Antifibrinolytic in Subarachnoid Hemorrhage. Do They Have a Role?
No Arch Neuro11987; 44:116-118.
4. Perhimpunan dokter spesialis saraf Indonesia (PERDOSSI); Guidelines Stroke
Seri ketiga 2004.
5. KOMPLIKASI STROKE
Prevensi Komplikasi :
Peletakkan posisi penderita.
1. Untuk mengurangi risiko komplikasi sebaiknya penderita diletakkan baik
berbaring maupun duduk dalam posisi yang tepat, sehingga dapat mencegah
terjadinya aspirasi, komplikasi pernafasan, nyeri bahu, kontraktur dan
dekubitus (IV).
2. Penekanan pneumatic intermitten tidak dianjurkan dilakukan secara rutin pada
pembengkakan tangan. (Ib)
Trombcemboli vena (DVT).
-
Terapi:
1. Aspirin 50 - 300 mg/ hari sebagai antitrombotik (Ib).
2. Tidak dianjurkan pemberian antikoagulansia profilaktik secara rutin (Ib).
3. Penekanan dengan kaos kaki pada penderita stroke yang mengalami
kelemahan atau paralisis tungkai. (Ib).
4. Mobilisasi dini dan hidrasi optimal dipertahankan sebaik mungkin sejak
penderita dirawat di luar (D).
Penatalaksanaan kandung kemih dan saluran cerna
1. Semua bangsal dan unit stroke harus mempunyai protokol penatalaksanaan
inkontinensia urine, inkontinensia alvi dan konstipasi (B).
2. Pelayanan kontinensia harus mencakup perawatan di rumah sakit dan rumah
untuk menjaga kesinambungan perawatan (C)
3. Penanganan saluran cerna dan kemih secara aktif sejak penderita dirawat (B).
4. Dauer kateter hanya dipakai sesudah dipertimbangkan metoda alternatip yang
lain.
5. Jika inkontinensia menetap, tes yang lain dilakukan (urodinamik, fisiologi
anorektal) (B).
stroke ulang maupun pencegahan kejadian vaskuler lain (Class I, Level A).
Karena manfaat ini juga nampak pada individu dengan dan tanpa riwayat
hipertensi maka pengobatan diberikan pada semua penderita stroke
Level C).
Obat anti hipertensi yang optimal tetap sulit ditentukan, namun dari datadata yang ada menunjukkan penggunaan diuretika dan kombinasi diuretika
dan obat penghambat ACE (ACE I) (Class I, Level A). Pemilihan obatobat yang spesifik dan target penurunan tekanan darah hendaknya
disesuaikan secara individu berdasar data yang tersedia dan ciri spesifik
penderita masing masing (adanya oklusi ekstrakranial, gangguan ginjal,
Kontrol ketat terhadap tekanan darah dan faktor lipid pada mereka dengan
diabetes (Class IIa, Level B). Semua golongan antihipertensi bisa dipakai
untuk kontrol tekanan darah dan sebagian besar penderita membutuhkan >
1 obat. ACEI (penghambat ACE) dan ARBs (penghambat reseptor
angiotensin) lebih efektif mengurangi progresivitas kelainan ginjal dan
Level A)
Diberikan pengobatan golongan statin dan target penurunan kolesterol
pada mereka dengan PJK atau atherosklerosis yang simtomatik adalah
LDL-C < 100 mg/dl dan LDL-C < 70 mg/dl untuk mereka yang sangat
level A)
Clopidogrel mungkin dapat diberikan dibanding aspirin sendiri berdasar
penelitian-penelitian yang membandingkan keduanya secara langsung
yang lain.
Penambahan aspirin terhadap clopidogrel meningkatkan risiko perdarahan
dan tidak diberikan secara rutin pada stroke iskemik atau pasien TIA
tambahan.
Antikoagulan mulai diberikan pada tiap penderita dengan persisten atau
paroxysmal atrial fibrilasi (valvular atau non valvular) kecuali terdapat
kontraindikasi. Warfarin dengan dosis yang disesuaikan (target INR 2,5;
Stenosis Karotis :
Penderita dengan stroke/TIA dalam waktu 6 bulan dan stenosis arteri karotis
berat unilateral (70% - 99%) dilakukan Endarterektomi karotis (Class I, level
A)
Stroke/TIA dan stenosis arteri karotis sedang (50%-69%) dilakukan
Endarterktomi karotis tergantung dari faktor-faktor seperti usia, kelamin,
III, level A)
Penderita dengan stenosis berat (> 70%) disertai kesulitan akses pada
pembedahan, keadaan klinis yang menunjukkan risiko bedah yang tinggi,
restenosis pasca Endarterektomi maka Angioplasti dan Stenting tidak lebih
buruk dari Endarterktomi clan dapat dipertimbangkan utnuk dilakukan pada
Karotis
Al
usi
yang
simtomatis
III. NEUROPEDIATRI
Dr. Mohammad Hasan Machfoed, dr, MS, Sp.S (K).
ProL. Troeboes Poerwadi, dr, Sp.S(K).
Mudjiani Basuki, dr, Sp.S.
1. KEJANG DEMAM
BATASAN
Definisi kejang demam berdasarkan International League Against
Epilepsy adalah kejang yang terjadi pada anak usia lebih dari 1 bulan yang disertai
panas badan. Panas bukan disebabkan oleh infeksi otak, tidak didapatkan riwayat
kejang neonatus dan kejang tanpa panas badan sebelumnya. Gejala kejang tidak
menyerupai kejang simtomatik.
PATOFISIOLOGI
Belum jelas
GEJALA KLINIS
Dikenal 2 bentuk kejang demam :
-
Usia
sederhana
6 bl - 3 th (jarang 5 th)
Terutama 0- 3 th
Faktor keturunan
Type kejang
+++
Tonik-klonik
Tidak jelas
Tonik-klonik seperti grandma atau
Lama kejang
(modifikasi grandmal)
Kebanyakan 1- 3 menit
hemikonvulsi
Lebih lama, 10 menit -jam seperti
Keadaan klinis
status
Kebanyakan keradangan SSP,
yang menyertai
kejang
Kelainan patologi
di otak
Kelainan neurologi
Jarang
perubahan vaskuler
Sering dijumpai dan tergantung
sesudah kejang
EEG diantara
Tidak perlu
abnormal
Diperlukan terutama untuk jangka
kejang.
Antikonvulsan
panjang.
Prognosis
CARA PEMERIKSAAN
-
Anamnesis (penting)
Pemeriksaan tambahan :
Darah : glukosa, serum elektrolit, BUN, Serum kreatinin
Funduskopi
Transiluminasi kepala
Punksi lumbal : terutama pada anak < 1 tahun
Pada kejang demam sederhana, tidak didapatkan kelainan.
DIAGNOSIS
Berdasarkan atas :
-
Anamnesis.
Gejala klinis.
Pemeriksaan laboratorium.
DIAGNOSIS BANDING
-
Meningitis
Ensefalitis
Subdural empyema
PENATALAKSANAAN TERAPI
Terapi fase akut:
-
Menghentikan kejang:
Diazepam 0.3-0.5 mg/kgBB IV/ per rectal setiap 8 jam selama masih
kejang
Phenobarbital : 2-8 mg/kgBB/24jam PO selama 5 hari
Asam valproat 15-40 mg/kgBB/hari PO selama 5 hari
Menurunkan panas badan:
Antipiretika : paracetamol 10 mg/kgBB PO
Kompres alcohol
Pengobatan penyebab
Pengobatan suportip: keseimbangan air dan elektrolit, bebaskan jalan nafas,
pemberian oksigen dsb.
Terapi pencegahan :
1. Kejang demam sederhana
- Pada prinsipnya adalah mencegah peningkatan suhu tubuh dengan
-
pemberian antipiretik.
Diberikan pula antipiretik : bila suhu tubuh > 38,50C diberikan diazepam
PENYULIT
1. Epilepsi
2. Kelumpuhan anggota badan
3. Gangguan mental dan belajar
DAFTAR PUSTAKA
1. Bourgeois BFD. Antiepileptic drugs. In: Wallace S ed: Epilepsi in Children 1 st
Ed. London, Chapman and Hall Medical, 1996:535-540
2. Holmes GL. Febril Seizure.In: Johnson KI, Griffin JW, Mc Arthur JC editors:
Current Therapy in Neurologic Disease G`h Ed. St. Louis, Mosby, 2002: 3334.
3. Shinner S. Febrile seizure. In: Singer HS, Kossoff EH, Hofmann AL,
Crawford TO, editors: Treatment of Pediatric Neurologic Disorders. Boca
Raton- Florida, Taylor and Francis Group, 2005:73-78.
IV. INFEKSI
Fauziyah Baoezier, dr, Sp.S(K).
Ratna Anggraeni, dr, Sp.S(K).
Herainy Hartono, dr, Sp.S(K).
Paulus Sugianto, dr, Sp.S.
1. MENINGITIS BAKTERIAL
BATASAN
Adalah reaksi keradangan yang mengenai salah satu atau semua selaput
meningen di sekeliling otak dan medulla spinalis.
PATOFISIOLOGI
Bakteri dapat menyebabkan infeksi akut pada SSP melalui :
1. Implantasi langsung.
2. Perluasan langsung infeksi (perkontinuitatum).
3. Lewat aliran darah (hematogen).
GEJALA KLINIS
Gejala klinis meningitis pada penderita dewasa secara umum adalah nyeri
kepala, kaku kuduk, panas kadang sampai menggigil, fotofobia, mual, muntah,
kejang dan didapatkan tanda defisit neurologis fokal, atau penurunan kesadaran.
Gejala klinis pada anak berupa demam, lethargi, penurunan nafsu makan,
mual, muntah, distress nafas, cyanosis, apnea, penurunan kesadaran.
Pada meningitis oleh karena meningokokus perlu diingat tanda :
-
Syok = renjatan
Diatesis hemoragik
Gangguan ginjal
CARA PEMERIKSAAN
1. Anamnesis.
2. Pemeriksaan fisik : ada tanda-tanda rangsangan meningen, papiledema, gejala
neurologis fokal, didapatkan sumber infeksi, penurunan kesadaran.
3. Pada bayi didapatkan fontanella tampak menonjol, tonus menurun, kejang,
ataksia, .defisit neurologis fokal.
4. Punksi lumbal : tekanan meningkat, jumlah sel meningkat sampai ribuan
terutama polimorfonuklear, kadar protein meningkat, kadar glukosa menurun.
Immunoassay
Counter Particle Agglutination
Elisa (Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay)
X-foto Thorax, Waters, Mastoid, dan lain-lain (untuk mencari fokus primer).
CT Scan kepala + kontras / MRI kepala.
DIAGNOSIS
Ditegakkan berdasarkan :
1. Gejala kliniks
2. Hasil LP :
- Peningkatan jumlah sel terutama polimorfonuklear.
- Total protein meningkat.
- Glucosa menurun
- Ditemukan mikroorganisma dalam cairan serebrospinal.
DIAGNOSIS BANDING
1. Meningitis bentuk lain
2. Febris dengan kaku kuduk
3. Perdarahan subarachnoid
PENYULIT
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
PENATALAKSANAAN TERAPI
1. Umum
2. Khusus
a. Tergantung dari umur
b. Tergantung penyebab
c. Tergantung penyulit
d. Terutama pada peningkatan tekanan intrakranial, yaitu :
- Perubahan pada retina.
- Respons pupil yang berubah
- Peningkatan tekanan darah yang disertai dengan bradikardi.
- Tanda-tanda fokal dan/atau tanda lateralisasi
Sebaiknya harus dilakukan pemeriksaan CT scan/ MRI kepala.
Penyebab/Bakteri
Group B streptococcus
E. Coli
L. monocytogenes
3 bulan - 50 tahun
S. pneumoniae
N. meningitidis
H. influenza
> 50 tahun)
S. pneumoniae
L. monocytogenes.
Gram negative bacilli
Staphylococci.
Gram negative bacilli
S. pneumoniae
Staphylococci.
bedah saraf
L. monocytogenes.
imunosupresan
Interval
untuk anak
200.000 U/kgBB/hr
400 mg/kgBB/hr
200 mg/kgBB/hr
100 mg/kgBB/hr
75-100 mg/kgBB/hr
75-100 mg/kgBB/hr
untuk dewasa
24 juta U/hr
12-18 gr/hr
8-12 gr/hr
8 gr/hr
4 gr/hr
4 gr/hr
1 gr/hr
1 gr/hr
200 gr/hr
10 mg/kg/hr
(trimethoprim)
1-2 gr/hr
12 gr/hr
12 gr/hr
1,5 gr/hr
800 gr/hr
pemberian
2-4 jam
4 jam
4 jam
4 jam
6 jam
6 jam
8 jam
8 jam
8-12 jam
8 jam
3 gr/hr
9-12 gr/hr
2 gr/hr
6 jam
4 jam
6 jam
5 mg/kgBB/hr
10 mg/kgBB/hr
(trimethoprim)
20-40 mg/kgBB/hr
200-300 mg/kgBB/hr
12 jam
4 jam
4 jam
12 jam
12 jam
Antibiotik
Cephalosporin generasi ke III +
ampicillin (+dexamethason dalam 2
hari) pada bayi usia > 4 minggu.
Vancomycin + Ceftazidime.
Vancomycin+ampicillin+ceftazidime
Meropenem + vancomycin.
Vancomycin + Chloramphenicol.
Trimethoprim/ Sulfametoxazole.
Punksi lumbal dilakukan pada permulaan terapi dan disusul 3 hari kemudian,
selanjutnya tergantung dari hasil kultur atau tergantung jumlah sel. Bila 2 kali
pemeriksaan jumlah sel normal (< 30/3) penderita dipulangkan.
PROGNOSIS
Tergantung dari :
1.
2.
3.
4.
Stadium penyakit
Tersedia antibiotik yang sesuai dan terapi yang adekwat
Ada lasting damage.
Komplikasi
Tidak Ada
DL, Kultur daerah Dexamethasone + Ceftriaxon atau Cefotaxime + Vancomycin Pada Neonatus, usia lanjut, dan
Tidak
penderita
Ada ras
DL
CT Scan Kepala
Peningkatan TIK
Taka da P
Monitol hyperventilasi
Lumbal Punksi
DAFTAR PUSTAKA
1. Berger JR : Clinical Approach to Stupor and Coma. In Bradley WG, et al :
Neurology in Clinical Practice. Principles of Diagnosis and Management 2 nd
edition. Boston, Butterworth-Heinemann, 1996 :39-60.
2. Chandra B. : Meningitis purulenta dalarn Neurologi Klinik, Surabaya, PT.
Bina India Karya,1987 : 112-113.
3. Davis LE : Acute Bacterial Meningitis. In Johnson RT, et al . Current therapy
in neurologic disease 5th edition. St. Louis; Mosby-year book, Inc ; 1997:120127.
4. Karen L. Roos : Meningitis, New York, Oxford University Press, Inc, 1996.
5. Quaglianelo V, Shield WM.: Bacterial meningitis; Pathogenesis,
pathophysiology and prognosis. N. Engl. J Med, 1992, 327, 864 - 872.
6. Quagliarello V .J, Scheld WM.: Treatment of bacterial meningitis. N. Engl. J.
Med, 1997, Vol 336; 708-716
7. Sahs AL, Joynt RJ. Bacterial Meningitis. In Baker AB, Baker LH, Cs. Clinical
Neurology. 2 Philadelphia Harper & Row publ, 1981: 1-90.
8. Verma A: Infections of the nervous system. In Bradley W.G, et all: Neurology
in Clinical Practice Vol. II. Philadelphia, Butterworth Heinemann; 2004: 14731513
2. MENINGITIS TUBERKULOSA
BATASAN
Adalah reaksi keradangan yang mengenai salah satu atau semua selaput
meningen di sekeliling otak dan medulla spinalis yang disebabkan oleh karena
kuman tuberkulosa.
PATOFISIOLOGI
Akibat rangsangan yang diduga oleh karena proses immunologik,
menyebabkan tuberkel yang kecil-kecil (Richs foci) pecah masuk ke dalam aliran
serebro spinal ke dalam ruangan subarachnoid atau ke dalam sistem ventrikel
menyebabkan terjadi meningitis.
GEJALA KLINIS
Gejala-gejala seperti pada meningitis pada umumnya dan dapat dibagi
dalam 3 stadium :
1. Keluhan Non Spesifik
- Kelemahan umum, apatis, anoreksia, subfebril, nyeri kepala yang kumat-
kumatan dan nye,ri otot. Pada tahap ini kesadaran masih baik.
Pada bayi : rewel, nyeri perut, fontanelia yang cembung lebih sering
keluhan.
2. Stadium rangsang meningeal (stadium intermediate):
- Nyeri kepala, muntah, iritabel, kebingungan bertambah.
- Kelumpuhan saraf otak
- Hidrosefalus
- Penurunan kesadaran
- Papil edema yang ringan
- Terjadinya vaskulitis dan gangguan fokal
- Kejang-kejang
3. Stadium lanjut :
Kebingungan bertambah, delirium yang berfluktuasi dan gejala fokal
makin menghebat dan nyata. Pada tahap ini penderita sudah mengalami koma,
menurun.
Pemeriksaan dengan :
Smear : pengecatan Ziehl Nielsen/TTH bahan diambil dari pellicle.
Penentuan TBSA = Tuberculo stearic acid di dalam liquor.
Kultur.
Pemeriksaan liquor dilakukan 10 hari sekali sampai sel 30/3 dan
dipulangkan bila dua kali pemeriksaan jumlah sel tetap 30/3 atau
kurang.
Jangan melakukan punksi lumbal pada penderita dengan kesadaran
menurun, lebih baik dilakukan pemeriksaan CT scan terlebih dahulu.
DIAGNOSIS BANDING
1.
2.
3.
4.
5.
6.
PENYULIT
1. Hidrosephalus.
2.
3.
4.
5.
6.
PENATALAKSANAAN TERAPI
1. Umum
2. Khusus
a. Tergantung dari :
1) Umur
2) Penyebab
3) Penyulit
b. Terutama pada peningkatan tekanan intrakranial yang meningkat yaitu :
- Perubahan pada retina.
- Respons pupil.
- Kenaikan tekanan darah yang disertai dengan bradikardia.
- Tanda-tanda defisit neurologis fokal dan/atau tanda lateralisasi.
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan CT scan, bila didapatkan tanda-tanda
tersebut (ad 4).
c. Obat-obat Tuberkulostatik :
Digunakan quadriple drug yaitu INH, Rifampicine, Pyrazinamide per oral
dan streptomycine sulfat intramuskuler.
Bila terdapat kelainan faal hepar digunakan INH, Streptomycine,
Ethambutol (15 mg/ kgBB).
d. Pemberian kortikosteroid :
Kortikosteroid diberikan bila :
-
Dosis
Dosis
Anak :
Maksimal
Anak :
10 20 mg/kgBB/hr
50 mg/hr
Interval
ESO
Pemberian
24 jam
Hepatotoksik
Neuropati
per os
Rifampicine
perifer Reaksi
Dewasa :
Dewasa :
hematogen
5 10 mg/kgBB/hr
400 mg/hari
Alergi
per os
Anak :
600 mg/hr
24 jam
Hepatotoksik
2 gr/hr p.o
6 8 jam
Hepatotoksik
10 15 mg/kgBB/hr
p.o
Dewasa :
15 20 mg/kgBB/hr
Pyrazinamide
p.o
Anak :
15 30 mg/kgBB/hr
p.o
Dewasa :
30 35 mg/kgBB/hr
p.o
Hiperurisemia
Streptomycine Anak :
sulfat
1 gr/hr i.m
12 24 jam
Alergi
20 40 mg/kg/hr
Dewasa :
Dewasa :
15 mg/kg/hr i.m
Gangguan
Vestibuler
Pada penderita yang masuk pada stadium I dan II diberikan selama 9-12
bulan.
Pada penderita yang masuk pada stadium III pengobatan diberikan selama 12 -
18 bulan.
Pada penderita dengan tuberkuloma pengobatan diberikan selama 24 bulan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Berger JR: Clinical Approach to Stupor and Coma. In Bradley WG, et al :
Neurology in Clinical Practice. Principles of Diagnosis and Management 21
edition. Boston, Butterworth-Heinemann, 1996: 39-60.
2. Bharuca NE : Infectious of the nervous system. In Bradley WG, Daroff RB,
Fenichel GM, et al: Neurology in clinical practise Volume II. Boston,
Butterworth-Heineman, 1996:1181-1243
3. Chandra B. : Meningitis purulenta dalani Neurologi Klinik, Surabaya, PT.Bina
Indra Karya, 1987:114.
4. Davis LE : Acute Bacterial Meningitis. In Johnson RT, et al. Current therapy
in neurologic disease 5th edition. St. Louis; Mosby-year book, Inc ; 1997:120127
5. French G.L, Chan CY, Cheung S.H et al: Diagnosis of tuberculosa Meningitis
by detection of tuberculos-tearic acid in cerebro spinal fluid. Lancet, 1987:
117 - 119.
6. Karen L. Roos : Meningitis, New York, Oxford University Press, Inc, 1996
7. Vascon R.E, Wilkowski CL Tuberculous menigitis. Mayo clinic Proc. 62,1987;
1 29-1136.
8. Verma A: Infections of the nervous system. In Bradley W.G, et all : Neurology
in Clinical Practice Vol. II. Philadelphia, Butterworth Heinemann; 2004: 14731513
9. Zuger A, Lowy FD : Tuberculosis of the brain, meninges and spinal cord. In
Rom WN, Garay S : Tuberculosis. Boston, Little Brown & Company, 1996:
541-565.
V. EPILEPSI
Margono Imam Sjahrir, dr, Sp.S(K).
J. Ekowahono It, dr, M.Kes, SpS.
Kurnia Kusumastuti, dr, Sp.S.
Mudjiani Basuki, dr, Sp.S.
1. KEJANG STATUS
PENYEBAB
Banyak penyebab antara lain :
1.
2.
3.
4.
5.
PENYULIT
1.
2.
3.
4.
5.
Kegagalan jantung
Fraktur
Edema serebri
Aspirasi pneumonia
Kegagalan ginjal mendadak (myoglobinunia)
PENATALAKSANAAN TERAPI :
PROSEDUR
Nilai fungsi kardiorespiratori, bila telah jelas kejang tonik klonik. Bila
meragukan, observasi dahulu serangan kejang tonik-kloniknya dan dilihat apakah
ada gangguan kesadaran pada akhir serangan.
Bebaskan jalan napas dan berikan Oz, bila perlu pasanglah infus dan ambil
darah vena untuk pemeriksaan : darah lengkap, BUN, elektrolit.
Periksa pula darah arteri untuk pH, PO2, PCO2, HCO3. Monitor
pernapasan, tekanan darah, dan EKG bila mungkin juga EEG.
Berikan infus dengan cairan NaCl, yang mengandung vitamin B kompleks
dan berikan pula bolus 50 cc 40% glukosa.
TAHAP PRODROMAL
Diazepam 10 mg IV (diberikan 2 - 5 mnt) atau per rektal, diulang 1x setelah 15
mnt, jika status masih berlangsung diberikan Lorazepam 4 mg IV bolus
TAHAP MENETAP
Phenobarbital IV infus 10 mg/kg dg rata-rata 100mg/menit
(Penderita dirawat di ICU)
Atau
Phenytoin IV infuse 15mg/kg dg rata-rata 50 mg/mnt
Atau
Fosphenytoin IV infuse 15mg PE/kg dg rata-rata 100mg PE/min
Bila tidak tersedia dapat diberikan:
Diazepam pump dosis 100 mg diberikan dengan kecepatan mulai 0,5 cc/jam
ditingkatkan sampai kejang berhenti atau terjadi tanda-tanda depresi pernapasan
ATA U
Thiopental : 100 - 250mg IV bolus diberikan selama lebih 20 mnt dan selanjutnya
diberikan bolus setiap 2 - 3 mnt sampai kejang terkontrol
DAFTAR PUSTAKA
1. Antonio V, Escueta D, TreimanflM. The Emergency Treatment of Status
Epilepticus. In Johnson RT ed. Current Therapy in Neurologic Disease.
Philadelphia; B.C. Decker mc,1985 51- 60.
2. Don H. Decision Making in Critical care. Philadelphia, B.C. Decker Inc 1985:
8-9.
3. Shorvon SD, Handbook of Epilepsy Treatment. London, Blackwell Science
2000:173 194
4. Treinian DM. Status Epilepticus. In Johnson RT ed. Current Therapy in
Neurologic Disease-2. Philadelphia; B.C. Decker mc,1985 : 38-42.