Anda di halaman 1dari 71

DAFTAR PENULIS

Prof. Troeboes Poerwadi, dr, Sp.S(K).


Fauziyah Baoezier, dr, Sp.S(K).
Ratna Anggraeni, dr, Sp.S(K).
Leksmono P.,dr, MHPEd, Sp.S(K).
Margono Imam Sjahrir, dr, Sp.S(K).
Dr. Mohammad Hasan Machfoed, dr, MS, Sp.S(K).
Hendro Susilo, dr, Sp.S(K).
Herainy Hartono, dr, Sp.S(K).
J. Ekowahono R., dr, M.Kes, Sp.S.
Kurnia Kusumastuti, dr, Sp.S.
Mohammad Saiful Islam, dr, Sp.S.
Mudjiani Basuki, dr, Sp.S.
Paulus Sugianto, dr, Sp.S.

DAFTAR ISI

Sambutan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabayai


Sambutan Direktur RSU Dr. Soetomo Surabayaii
Kata Pengantariii
Daftar Penulis iv
I. KEGAWATAN NEUROLOGI
1.
2.
3.
4.

Koma
Kenaikan Tekanan Intrakranial
Miastenia Gravis
Sindrom Guillain Barre

II. GANGGUAN PEMBULUH DARAH OTAK


1.
2.
3.
4.
5.
6.

Transient Ischemic Attacks (Gangguan Pembuluh Darah Otak Sepintas)


Stroke Iskemik Akut
Stroke Perdarahan Intra Serebral
Perdarahan Subarachnoid
Komplikasi Stroke
Pencegahan Sekunder Stroke

III. NEUROPEDIATRI
1. Kejang Demam
IV. INFEKSI
1. Meningitis Bakterial
2. Meningitis Tuberkulosa
V. EPILEPSI
1. Kejang Status (Generalized tonic clonic status)

KEGAWATAN NEUROLOGI

Prof. Trocboes Poerwadi, dr,Sp.S(K).


Leksmono P.,dr, MHPEd, Sp.S(K).
Margono Imam Sjahrir, dr, Sp.S(K).
Hendro Susilo, dr, Sp.S(K).
Paulus Sugianto, dr, Sp.S.

1. KOMA
BATASAN
Suatu keadaan pasien yang tidak dapat dibangunkan dan tidak memberi
respons terhadap semua rangsangan, baik dari dalam maupun dari luar. Perlu
diingat bahwa koma adalah suatu tingkat yang meliputi seluruh spektrum
penurunan kesadaran mulai hanya sedikit mengantuk sampai ke mati otak.
PATOFISIOLOGI
Dapat disebabkan oleh karena : gangguan sirkulasi, ensephalomeningitis,
gangguan metabolisme, gangguan elektrolit dan endokrin, neoplasma, trauma
kapitis, epilepsi, penggunaan obat.
GEJALA KLINIS
Untuk menentukan tingkat kedalaman koma, digunakan skala penilaian
koma dan Glasgow (Glasgow Coma Scale = GCS) dan penentuan refleks batang
otak dengan skoring Pittsburg (Pittsburg Brain Stem Score = PBSS).
DIAGNOSIS/CARA PEMERIKSAAN
1. Hetero anamnesis yang teliti
2. Pemeriksaan
- Status interne
- Status neurologik
3. Pemeriksaan tambahan
- Darah: fungsi ginjal
fungsi hati
kadar gula darah
elektrolit
-

Oftalmoskop
Punksi lumbal bila tidak ada papil bendung
Eko-ensefalografi
CT scan
Elektro-ensefalografi

DIAGNOSIS BANDING
1. Afasia global
2. Locked in syndrome
3. Psikogenik
PENYULIT
1. Aspirasi/pneumonia hipostatik
2. Dekubitus (borok tekan)
3. Infeksi saluran kencing
PENATALAKSANAAN TERAPI UMUM:
-

Tahapan hidup dasar (basic life support) (Airway, Breathing, Circulation)


Perawatan kandung kemih, usus, posisi tubuh, hygiene mulut dsb.

KHUSUS
-

Selamatkan susunan saraf pusat dengan pemberian oksigen, tiamin dan

glukosa.
Perbaikan homeostasis ekstrakranial :
1. Kendalikan MAP tekanan arterial (rata-rata) dan normalkan volume darah
dengan vasopressor/vasodilator dan cairan :
a. Untuk mengembalikan sirkulasi spontan :
- Buatlah sedikit hipertensi ringan (MAP 120-140 mmHg) selama 1 -5

b.
c.
d.
e.

menit.
- Pertahankan normotensi dengan tekanan sistolik 120 - 130 mmHg.
Pada trauma kapitis buatlah sedikit hipotensi (MAP 60-90 mmHg).
Beri dopamin iv dengan dosis awa13 ug/kg/menit.
Lakukan kateterisasi, pemasangan CVP dan infus.
Posisi kepala dinaikkan 10-30 derajat dan posisi badan dibolak-balik

tiap 2 jam.
2. Pertahankan pernapasan yang terkontrol selama 2 jam sesudah arrest bila
perlu lebih lama.
3. Bila penderita gelisah diberikan :
a. Thiopental atau penthobarbital 5 mg/kg/jam (kadar plasma 2-4 mg/dl,
total 30 mg/kg). Untuk ini masih banyak pertentangan.
b. Diphenilhydantoin 7-10 mg/kg iv bolus ditambah 7 mg/kg/hari untuk
maintenance.
c. Diazepam 5 mg/70 kg iv titrasi bila dibutuhkan.

Untuk rasa sakit pada penderita yang sadar diberi narkotik dengan titrasi.
4. Pertahankan pCO2 arterial 25-35 mmHg dibawah pernafasan yang
terkontrol.
5. Pertahankan pH arterial 7,3 - 7,6
6. Pertahankan pCO2 arterial diatas 100 mmHg dengan FI 02 90 - 100 %,
sesudah 1-6 jam F1 02 50 %.
7. Pemberian kortikosteroid bila penyebabnya adalah lesi massa, bukan
gangguan pembuluh darah otak.
a. Methyl prednisolone 1 mg/kg iv dilanjutkan dengan 0,5 mg/kg/6 jam iv.

atau:
b. Dexamethasone 0,2 mg/kg iv disusul dengan 0,1 mg/kg/6 jam iv.
c. Tappering off kortikosteroid dalam 48- 72 jam.
8. Awasi variabel dalam darah:
a. Hematokrit 30-35 96, elektrolit normal
b. Plasma COP di atas 15 mmHg, serum albumin di atas 3 g/dl.
c. Osmolitas serum 280-330 mOsm/l.
d. Glukosa 100- 300 mg/dl.
9. Pertahankan normotermia.
10. Berikan infus:
a. Dextrose 5-10% dalam 0,25-0,5 % NaCl 30-50 ml/kg/hr
Bayi 100 ml/kg/hr, tambahkan Kalium bila diperlukan
b. Berikan alimentasi dextrose 20 %, asam amino, vitamin
Perbaikan homeostasis intrakranial.
1. Singkirkan kemungkinan proses desak ruang
2. Monitor tekanan intrakranial, diharapkan tek. < 15 mmHg
a. Hiperventilasi lewat endotracheal paling sedikit 2 menit (Pa CO 2 28 -30
mmHg)
b. Manitol 0,5-1 g/kg BB/kali diberikan tiap 4 jam dengan kontrol
osmolalitet.
c. Kortikosteroid.
d. Loop diuretik iv (Furosemid 0,5 mg/kg BB iv), bila ada tanda-tanda
kelebihan cairan.
e. Hipotermia 300- 320C
3. Monitor EEG secara teratur.
4. Monitor penyembuhan neurologik dan prognosis.
a. Tentukan CSF, CPK pada jam ke 48- 72.
b. Monitor kedalaman koma.
5. Tentukan dan kelola tindakan yang telah dilakukan
a. Tentukan secara periodik Cerebral Performance Categories (CPC) dan
Overload Performance Categories (OPC).

b. Tentukan secara akurat dan berikan keterangan mengenai kematian


otak (CPC 5) mulai 6 jam sesudah cardiac arrest.
c. Tentukan keadaan vegetatif yang menetap (CPC 4), bila tidak ada
respons 1- 2 minggu sesudah cardiac arrest.

SKORING BATANG OTAK


SKORING KOMA GLASGOW
A. Respon buka mata
Spontan
Atas Perintah
Karena nyeri
Negatif
B. Respons berbicara
Orientasi baik
Orientasi terganggu
Kurang jelas
Tak mengerti
Negatif

PITTSBURG
Tambahan pada GCS (A, B, C)
Refleks buka mata
4

Ya = 2

tidak = 1

3
2

Refleks kornea

Ya = 2
tidak = 1
Refleks mata boneka atau reflex kalori

Ya = 5

tidak = 1

4
3

Pupil kanan reaksi terhadap cahaya

Ya = 2

tidak = 1

1
C. Respons menarik
Menurut perintah
Melokalisir nyeri
Fleksi/menarik
Fleksi abnormal
Ekstensi
Negatif

Pupil kiri reaksi terhadap cahaya

Ya = 2

tidak = 1

4
3

Refleks muntah atau refleks batuk

Ya = 2

tidak = 1

1
Total GCS

Total PBSS

Baik

Baik

= 15

Buruk = 3

= 15

Buruk = 6

Penderita Tak Sadar/Koma

T=0

Ambil riwayat yang perlu dan mulai resusitasi (ABC, intubasi, pasang infus, tekanan darah, nadi, suhu, pernapasan, monito
T=5

Ambil darah i.v : periksa glukosa darah, analisa gas darah, elektrolit K, Na, PO4, BUN, Creatinin, SGPT, SGOT

Beri Oksigen, D40% 1 ampul, Naloxone 0,4 mg - 2 mg i.v

T = 10

Evaluasi Penderita

Tanda fokal : trauma, infeksi, vaskuler, tumor


Tanda peningkatan tekanan intra kranial Tak ada tanda fokal

CT Scan Kepala

Manitol 0,5 1,0 g/kg iv

Evaluasi kelainan metabolik

Furosemide 20 mg iv

T = 30

Hyperventilasi sampai PCO2 25-30 mmHg


menit

DAFTAR PUSTAKA
1. Becker KJ, Ulatowski JA: The comatose patient. In Johnson RT, et al. Current
therapy in neurologic disease 5th edition. St. Louis; Mosby-year book, Inc ;
1997: 1-5.
2. Berger JR : Clinical Approach to Stupor and Coma. In Bradley WG, et al :
Neurology in Clinical Practice. Principles of Diagnosis and Management 2 nd
edition. Boston, Butterworth-Heinemann, 1996: 39-60.
3. Don H. Coma. In Decision Making in Critical Care. Toronto-Philadeiphia :
B.C. Decker Inc,1985,69-79.1. Don H. Coma. In: Decision Making inCritical
Care. Toronto- Philadelphia: B.C. Decker mc, 1985,69-79.
4. Earnest MD, Cantrill. Coma. In: Johnson RT. ed Current Therapy in
Neurologic Disease-2. Philadelphia : B.C. Decker mc, 1987: 1- 5.
5. Huff JS : Altered Mental Status and Coma. In Tintinalle JE, et al : Emergency
medicine 6th edition. New York, Mc Graw-Hill, 2004:1390-1397.
6. Plum F, Posner JR. The Diagnosis of stupor and Coma. 3rd. F.A, 1986,1-73.
7. Safar P. Prolonged Life Support, Cerebral Resuscitation and Evaluating, and
Letting Die. In: Cardiopulmonary Cerebral Resuscitation. StavengerNormay, 1981,227- 276.

2. KENAIKAN TEKANAN INTRAKRANIAL


BATASAN
Keadaan

patologik

sehingga

terdapat

kenaikan

didalam

tekanan

intrakranial yang menyebabkan gangguan intrakranial.


PATOFLSIOLOGI
Kenaikan tekanan intrakranial ini disebabkan oleh karena :
-

Lesi massa : Pembekuan darah


Tumor
Abses
Aerocele

Pembengkakan otak :
Fokal
: kontusio serebri
keradangan pasca operasi

Diffus

: trauma kapitis
ensefalopati (sindroma Reye)
hipertensi intrakranial yang jinak
anoksia

Hidrosefalus dan ventrikel yang buntu


Kenaikan volume darah intrakranial :
Arterial
: hiperkapnia
Venous
: obstruksi jalan napas

ANAMNESIS DAN GEJALA KLINIS


-

Nyeri kepala yang hebat sejak bangun tidur atau penderita terbangun oleh

karena nyeri kepala, meningkat bila batuk, mengejan atau fleksi.


Vertigo
Mual
Muntah :
tanpa rangsang muntah
biasanya pagi hari
muntah proyektil

Bradipsike

DIAGNOSIS/CARA PEMERIKSAAN
-

Anamnesis : nyeri kepala yang hebat; vertigo; mual; muntah.


Bradikardia (detik jantung, 60 x / menit)
Papil bending
Kejang
Gangguan fungsi N. VI dan N. III.
Pemeriksaan klinik neurologik :
tampak sakit
adanya bradipsike
adanya : papil bendung
gangguan N. VI; N. III
kejang
Pengukuran tekanan intrakranial :
anterior fontanel tonometri : digital transducer
epidural sensor.

PENATALAKASANAAN TERAPI
-

Tujuan tatalaksana : pertahankan tekanan intrakranial kurang dari 15 mmHg

dan pertahankan tekanan perfusi otak 50-90 mmHg.


Normal tekanan intrakranial :
Dewasa dan anak usia > 5 th

: sampai 20 mmHg

Bayi

: sampai 8 mmHg

Neonatus

: sampai 5 mmHg

Pengobatan medik :
Letak kepala tergantung lesi
Hiperventilasi: Pa CO2 : 3,2 kpa atau 25 mmHg
Dehidrasi osmotik :
Dexamethasone :
awal 0,5 mg/kg dilanjutkan 0,25 mg/kg/hr.
Manitol 20 %: infus
awal 1,0 - 2,0 gr/kg dilanjutkan 0,25 - 0,5 gr/kg

Hipotermia : 32 derajat celcius rektal.


Pengobatan pembedahan :
Lesi massa diambila
Drainase liquor serebrospinalis.
Pencegahan:

Pembebasan jalan napas


posisi tubuh dibolak-balik
pengendalian metabolisme tubuh
kontrol kejang
seleksi obat

DAFTAR PUSTAKA
1. Chandra B. Neurologi Klinik : Kumpulan Kuliah. Surabaya: Lab/UPF Ilmu
Penyakit Saraf 1986,69-90.
2. Laurence T Dunn : Raised Intracranial Pressure. J. Neurol Neurosurg
Psychiatry 2002: 73 (Suppl 1) : i23-i27
3. Mickell J J, Ward ID. Evaluation and treatment of intracranial hypertension. In
: Peelock 1M, Myer EC, Neurologic Emergencies in infancy and childhood.
Philadelphia 1st ed. 1 larper and Row Publ, 1984, 71- 106.
4. Miller JD. Increased Intracranial Pressure. Theoretical Considerations. In
Peelock JM, Wer EC, Neurologic Emergencies in infancy and childhood.
Philadelphia: 1st ed. Haiper and Row Publ, 1984: 57-70.

3. MIASTENIA GRAVIS
BATASAN
Adalah suatu penyakit autoimun, yang disebabkan oleh gangguan
imunologis pada pada reseptor asetilkolin neuromuscular junction pasca sinaps.
PATOFISIOLOGI
Miastenia

gravis

merupakan

penyakit

autoimun

pada

transmisi

neuromuskular yang diakibatkan oleh antibodi yang menyerang reseptor


asetilkolin atau melawan muscle specific receptor tyrosine kinase (MuSK).
GEJALA KLINIS
Ada 4 kelompok (modifikasi kriteria Osserman)
1. Ocular myasthenia, hanya mengenai otot okular, dengan ptosis dan diplopia.
2. A. Mild generalized myasthenia
2. B. Moderate generalized myasthenia
3. Severe generalized myasthenia, dengan komplikasi bulbar dan respirasi.
A. Acute fidminuting, permulaan cepat, kelemahan hebat dari otot-otot
pernafasan. Progresivitas penyakit biasanya komplit dalam 6 bulan.
Respons terhadap obat kurang memuaskan, aktivitas penderita terbatas dan
mortalitas rendah.
B. Late severe, timbul paling sedikit 2 tahun setelah kelompok I dan II.
Progresivitas penyakit dapat pelan-pelan atau mendadak. Respons
terhadap obat dan prognosis jelek.
4. Myasthenic crisis, (menjadi buruknya) keadaan penderita miastenia gravis
yang menjadi lebih buruk, dapat disebabkan oleh:
Pekerjaan fisik yang berlebihan
Infeksi
Melahirkan
Obat yang menyebabkan blok neuromuskular, misalnya streptomycine,
neomycine, curare, kina, quinidine, chloroform, ether, morphin, sedativa,
muscle relaxan.

Penggunaan urus-urus (enema), mungkin disebabkan oleh karena


hilangnya kalium.

Cholinergic crisis
Disebabkan

oleh

pengobatan

dengan

anticholinestrase/obat-obat

cholinergic yang berlebihan. Hal ini menyebabkan penyebaran blok depolarisasi


dari transmisi neuromuskular.
Diagnosis ditegakkan dengan melihat pupil diameter < 2 mm cahaya
kamar. Tanda klinis diare, miosis, bronchospasm, emesis, lakrimasi dan
hipersalivasi.
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Anamnesis yang menjurus, terutama pada kelumpuhan yang berulang,
yang membaik dengan istirahat. Pada pagi hari biasanya masih baik, dan

melemah setelah aktivitas.


Penderita sering mengeluh kelopak mata menutup, pandangan ganda,

terutama setelah membaca lama atau pada waktu sore hari


Gangguan menelan (disfagia) dan disartria timbul pada sekitar sepertiga

penderita.
Kelemahan terutama pada otot proksimal dan leher.
Kadang-kadang penderita dapat mengalami gangguan pernafasan.
2. Pemeriksaan
Bertujuan untuk membuktikan kecepatan kelelahan otot
a. Fisik
Pemeriksaan motorik, gangguan terutama pada otot proksimal
Tes pita suara, dengan menghitung atau membaca keras selama 3

menit, suara akan menghilang.


Tes keping es, dengan menempelkan sekeping es pada mata yang

ptosis selama 2 menit, maka akan terjadi perbaikan pada ptosisnya.


b. Pemeriksaan tambahan
Elektrodiagnostik

Repetitive nerve stimulation (RNS)


Single fiber EMG, dikerjakan bila RNS normal

Tes farmakologi

Tes prostigmin/tensilon (edrophonium) iv


Pemeriksaan titer antibodi asetilkolin reseptor (AchR) CT scan toraks
untuk mencari adanya timoma

DIAGNOSIS BANDING

Guillain Barre Syndrome


Neuropati perifer
Polimiositis
Botulisme
Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome
Periodic paralysis

PENYULIT

Bisa timbul myasthenia crisis atau cholinergic crisis akibat terapi yang tidak

diawasi
Pneumonia

PENATALAKSANAAN TERAPI
1. Perawatan umum
Hindari rasa lelah yang berlebihan
Tidur secukupnya.
Menutup mata beberapa menit dalam satu jam
Diit banyak mengandung potasium
Hindari suhu terlalu panas maupun terlalu dingin
Hindari stres
2. Pengobatan
a. Antikolinesterase
Pyridostigmin bromida, dosis awal 3 x 60 mg, kemudian disesuaikan
dosisnya untuk mendapatkan efek optimal. Bila hasil tak memuaskan
pertimbangkan timektomi atau pemberian kortikosteroid.
b. Kortikosteroid
Mulai dengan dosis rendah (12-50 mg prednisone) kemudian
dinaikkan pelan-pelan sampai respons optimal (maksimal 50-60 mg
prednisone)

Dosis dipertahankan sampai perbaikan mencapai plateau (biasanya 6-

12 bulan)
Turunkan sangat pelan-pelan sampai dosis pemeliharaan minimal.
Awasi efek samping obat.
c. Imunosupresan:
Azathioprine dosis 50 mg/hari pada dewasa dan dinaikkan pelan-pelan

50 mg/minggu sampai mencapai dosis total 2-3 mg/kg/hari


Cyclosporine dengan dosis awal 3-4 mg/kg/hari dalam 2 dosis terbagi,
kemudian dinaikkan pelan-pelan sampai 6 mg/kg/hari sesuai

kebutuhan.
Cyclophosphamide, dengan dosis 1-2 mg/kg/hari
Mycophenolate mofetil, dengan dosis 1 gram/12 jam.
d. Imunoglobulin IV
Dosis 0,4 g/kg/hari selama 5 hari berturut-turut.
Terutama pada penderita myasthenia crisis atau sebelum dilakukan
timektomi
e. Plasmaferesis
Terutama pada penderita myasthenia crisis atau sebelum dilakukan
timektomi.
f. Timektomi
Indikasi:
Timoma
generalized myasthenia yang tidak dapat dikontrol dengan obat
antikoline torase
< 50 tahun
6-12 bulan tidak ada remisi spontan.
TERAPI KRISIS MIASTENIA
Terapi krisis sebaiknya dilakukan di ruang Intensive.

Kontrol Airway, dan perbaiki ventilasi.


Terapi antikolinesterase.
Kortikosteroid.
Plasma exhange atau IV Ig.

TERAPI KRISIS KOLINERGIK

Kontrol Airway.
Hentikan sementara pemberian antikolinesterase.
Perbaiki keadaan umum.
Atropinisasi.
0,4-0,6 mg i.v diulang tiap 15 menit sampai pupil dilatasi dan bronchial
sekresi terkontrol, baru kemudian dilakukan tappering off.
Kortikosteroid.
Plasma exchange atau IV Ig.

DAFTAR PUSTAKA
1. Amato AA. Neuromuscular junction disorders and myopathies. In: Samuels
MA, eds. Manual of Neurologic Therapeutics. 7nd ed. Philadelphia,
Lippincott Williams & Wilkins, 2004:260-266.
2. Andrew PI, Sanders DB. Juvenile Myasthenia Gravis. In: Jones HR, Devivo
DC, Darras BT, eds. Neuromuscular disorders of infancy, childhood, and
adolescence: a clinician's approach. Philadelphia, Butterworth-Heinemann,
2003:575-597.
3. Gooch CL. Myasthenia gravis. In: Aminoff MJ, Daroff RB., eds. Encyclopedia
of the neurological sciences. Vol.3. California, Academic Press, 2003:305-315
4. Engel AG. Myasthenia gravis and myasthenic syndromes. In: In: Noseworthy,
eds. Neurological therapeutics, principles and practice. Vol.2. London, Martin
Dunitz, j 2003:2378-2394.
5. Keesey JC. Clinical evaluation and management of myasthenia gravis. Muscle
Nerve 29:2004:484-505.
6. Davis JN : Myasthenia gravis. In. Medicine International 1996, 34; 10 : 110115

4. SINDROM GUILLAIN BARRE


BATASAN
Adalah penyakit imunologis sistem saraf perifer yang ditandai dengan
paralisis akut. Ada tiga jenis subtipe Sindrom Guillain Barre: acute inflammatory
demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP), acute motor-sensory axonal
neuropathy (AMSAN), dan acute motor axonal neuropathy (AMAN). Sindrom
Miller-Fisher (ataksia, arefleksia, oftalmoplegia) dianggap juga sebagai varian
Sindrom Guillain Bane.
Didapatkan bukti serologis infeksi Campy lobacter jejuni, Haemophilus
influenzac, Cytomegalovirus, Epstein-Barr virus, dan Mycoplasma pneumonia.
PATOFLSIOIAGI

Ada kesamaan molekular antara epitop mielin dan glikolipid yang terdapat
pula Campylobacter, Mycoplasma, dan berbagai agen infeksi, yang
mendahului serangan Sindrom Guillain Barre, kemungkinan merupakan

pencetus yang mendasari proscs imunologik.


Antibodi yang melawan agen infeksi ini mengadakan reaksi silang (cross-

react) dengan antigen spesifik pada sel Schwann atau aksolemma.


Ikatan antibodi dengan antigen sasaran pada saraf perifer menyebabkan blok

konduksi.
Pada AIDP terjadi demielinisasi, pada AMAN dan AMSAN terjadi degenerasi
aksonal.

GEJALA KLINIS

Kelumpuhan dan kesemutan pada bagian distal ekstremitas bawah yang

kemudian naik ke bagian proksimal tungkai, tubuh, lengan, dan wajah.


Sering didahului dengan infeksi sebelumnya
Kelumpuhan relatif simetris mengenai otot proksimal dan distal.
Modalitas saraf serabut besar (rasa raba, rasa getar, dan rasa posisi) lebih

terkena dibanding fungsi serabut saraf kecil (rasa nyeri dan suhu).
Penderita AMAN tidak ada gangguan sensoris.
Refleks tendon menurun atau hilang

Gangguan saraf otak terutama n. VII, IX, dan X dan ekstraokular pada 50%,
kasus, sering bilateral, selain itu dapat disertai dengan disfungsi saraf otonom
(hipotensi atau hipertensi) dan kadang-kadang aritmia jantung.

DIAGNOSIS/CARA PEMERIKSAAN
1. Anamnesis
Faktor pencetus, misalnya infeksi virus (infeksi saluran nafas bagian atas

atau saluran cerna), suntikan, dsb.


Penyakit berjalan mendadak, progresif, naik dari tungkai bawah ke

anggota gerak atas.


2. Pemeriksaan neurologi
Kelumpuhan tipe flasid mengenai otot proksimal dan distal.
Gangguan rasa raba, rasa getar, dan rasa posisi lebih terkena dibandingkan

rasa nyeri dan suhu


Gangguan saraf otak terutama n. VII perifer, gangguan menelan (n. IX, X)

serta kadana kadang disertai gangguan otot ekstraokular.


3. Pungsi lumbal
Didapatkan disosiasi sitoalbumin (kenaikan kadar protein tanpa diikuti
kenaikan sel) pada minggu kedua. Pada minggu pertama, kadar protein masih
normal.
4. Elektrodiagnostik
AIDP:

Konduksi sensoris sering nihil, bila muncul, latensi distal sangat

memanjang, kecepatan hantar saraf sangat lambat, dan amplitudo rendah


Konduksi motoris, distal latensi sangat memanjang, dan kecepatan hantar
saraf sangat lambat. Bisa didapatkan blok konduksi atau dispersi temporal

pada stimulasi proksimal.


F-wave dan H-reflex sangat memanjang atau nihil.

AMSAN:

Konduksi sensoris nihil, atau amplitudo rendah dengan distal latensi dan

kecepatan hantar saraf normal.


Konduksi motoris nihil, atau amplitudo rendah, dengan distal latensi dan
kecepatan hantar saraf normal.

AMAN :

Pemeriksaan konduksi saraf sama dengan AMSAN, kecuali konduksi


sensoris normal.

DIAGNOSIS BANDING
1.
2.
3.
4.

Polineuropati terutama oleh karena defisiensi atau metabolic


Tetraparesis oleh karena penyebab lain (misalnya mielitis transversa akut)
Hipokalemia
Myasthenia gravis

PENYULIT
1. Kelumpuhan otot pernafasan
2. Dekubitus
PENATALAKSANAAN TERAPI
1. Perawatan umum
Perawatan umum ditujukan pada pernafasan (breathing), kontrol tekanan
darah (blood), keseimbangan cairan dan elektrolit (bladder), nutrisi dan
vitamin (bowel), perawatan badan dan kulit (body & skin care), mata dan

mulut.
Bila ada tanda-tanda kelumpuhan otot pernafasan harus secepatnya
dirujuk/dikonsulkan ke bagian anestesia. Intubasi endotrakeal dikerjakan

bila kapasitas vital menurun 25-30% normal.


2. Pengobatan
Plasmaferesis: hanya berguna untuk penderita baru dan yang diberikan
dalam 7 hari setelah permulaan penyakit. Plasmaferesis tidak diberikan
pada penderita dengan gejala ringan atau pada keadaan klinis yang

bertambah baik atau menetap lebih dari I minggu.


Immunoglobulin 7S N 0.4 gram/kgBB/hari diberikan selama 5 hari.
Immunoglobulin intravena harus diberikan secepatnya, dianjurkan pada 7
hari pertama.

DAFTAR PUSTAKA

1. Amato AA. Motor neuropathies and peripheral neuropathies. In: Samuels MA,
eds. Manual of Neurologic Therapeutics. 7nd ed. Philadelphia, Lippincott
Williams & Wilkins, 2004:204-206.
2. Donofrio PD. Immunotherapy of idiopathic inflammatory neuropathies.
Muscle Nerve 28:2003:273-292.
3. Hughes R AC, Cornblath DR. Acute

inflammatory

demyelinating

polyradiculoneuropathy, acute motor axonal neuropathy and acute motor and


sensory axonal neuropathy. In: Noseworthy, eds. Neurological therapeutics,
principles and practice. Vol.2. London, Martin Dunitz, 2003:2041-2048.
4. Tavee J. Guillain Barre syndrome, clinical aspects. In: Aminoff MJ, Daroff
RB., eds. Encyclopedia of the neurological sciences. California, Academic
Press, 2003:489-495.
5. Kieseier BC, Kiefer R, Gold R, et al. Advances in understanding and treatment
of immune-mediated disorders of the peripheral nervous system. Muscle
Nerve 30:2004:131-136.

II. GANGGUAN PEMBULUH DARAH OTAK


Fauziyah Baoezier, dr, Sp.S(K).
Ratna Anggraeni, dr, Sp.S(K).
Margono Imam Sjahrir, dr, Sp.S(K).
Hendro Susilo, dr, Sp.S(K).
Mohammad Saiful Islam, dr, Sp.S.

1. TRANSIENT ISCHEMIC ATTACKS (TIA)

2. Atau

3. SERANGAN OTAK ISKEMKSEPINTAS (SOS)


BATASAN
Transient Ischemic Attacks (TIA) atau Serangan Otak iskemik Sepintas
(SOS) adalah defisit neurologik fokal yang terjadi mendadak dan pulih kembali
dalam waktu kurang dari 24 jam, disebabkan oleh gangguan primer peredaran
darah otak.
PATOFISIOLOGI
Iskemia sepintas pada sistem karotis atau cerebrobasilaris mengakibatkan
defisit neurologik fokal yang tidak menetap (reversibel).
DIAGNOSIS
Anamnesis yang cermat tentang gejala (symptoms) defisit neurologik fokal
merupakan dasar utama diagnosis TIA atau SOS. Tanda (signs) adanya defisit
neurologik fokal tidak ditemukan pada pemeriksaan fisik neurologik yang
dilakukan setelah serangan TIA atau SOS berlalu.
Pemeriksaan neurovaskular secara fisik maupun pemeriksaan penunjang
lainnya, terutama ditujukan untuk mencari faktor risiko yang mendasari terjadinya
TIA atau SOS. Pemeriksaan tersebut antara lain meliputi :
1.
2.
3.
4.
5.

Elektrokardiografi (EKG)
X-foto toraks.
Darah lengkap.
Kimia darah (kadar glukosa, serum elektrolit, tes faal ginjal dan hati).
Faal hemostasis (PT, aPTT).
Pada keadaan tertentu, mungkin diperlukan pemeriksaan lain, misalnya

ekhokardiografi,

Doppler

Angiography), angiografi.

karotis/TCD,

MRA

(Magnetic

Resosnance

PENATALAKSANAAN TERAPI
1. Pemeriksaan neurovaskular harus dilakukan pada setiap penderita yang
mengalami serangan 77.4 (20% penderita 714 akan mengalami stroke dalam
bulan pertama, sebagian besar terjadi pada 72 jam pertama, setelah serangan
TIA).
2. Penderita yang mengalami serangan TIA atau SOS lebih dari satu kali dalam
seminggu harus dirawat di rumah sakit untuk pemeriksaan dan terapi lebih
intensif.
3. Pemberian antiplatelet, terutama acetosal (100-300 mg/hari) per oral,
dilakukan sejak awal. Obat antiplatelet lain yang bisa diberikan adalah
clopidogrel (75 mg/hari), kombinasi acetosal (25 mg) dan dipiridamol (200
mg) sehari 2 kali, cilostazol (2x50-100 mgf hari), ticlopidin (sehari 2 kali 250
mg/hari).
4. Kontrol terhadap faktor risiko yang diketahui, antara lain dengan memperbaiki
gaya hidup (olahraga teratur, diet, menghentikan kebiasaan merokok, minum
alkohol, dan penggunaan narkoba), regulasi tekanan darah pada penderita
hipertensi, regulasi gula darah bagi penderita diabetes mellitus.

2. STROKE ISKEMIK AKUT


BATASAN
Stroke iskemik akut adalah defisit neurologik fokal yang timbul
mendadak, berlangsung lebih dari 24 jam, dan disebabkan oleh gangguan primer
peredaran darah otak berupa trombosis, embolisme, atau kelainan non-oklusif.
PATOFISIOLOGI
Iskemia yang disebabkan oleh proses trombosis, embolisme, atau kelainan
non-oklusif pada sistim karotis atau vertebrobasilaris mengakibatkan kematian sel
neuron dan defisit neurologik fokal.
DIAGNOSIS
Anamnesis yang cermat dan pemeriksaan fisik ditemukan adanya gejala
(symptonts) dan tanda (signs) defisit neurologik fokal.
Adanya gambaran iskemia otak pada pemeriksaan neuroimaging (terutama
CT scan) menunjang diagnosis pasti stroke iskemik akut.
Pemeriksaan neurovaskular secara fisik maupun pemeriksaan penunjang
lainnya, terutama ditujukan untuk mencari faktor risiko yang mendasari terjadinya
stroke dan penyulit yang terjadi.
Untuk ketepatan dan kecepatan diagnosis, perlu tersedia fasilitas standar
untuk pemeriksaan berikut ini :
1. CT (computed tomography) scan
Pemeriksaan CT scan kepala tanpa kontras harus dilakukan sesegera
mungkin setelah penderita tiba di ruang gawat darurat.
2. EKG (elektrokardiografi)
Karena pentingnya iskemia dan aritmia jantung, serta penyakit jantung
lainnya, sebagai penyebab stroke, maka pemeriksaan EKG harus dilakukan
pada semua penderita stroke akut.
3. Kadar gula darah
Pemeriksaan kadar gula darah sangat diperlukan karena pentingnya
diabetes mellitus sebagai salah satu faktor risiko utama stroke. Tingginya

kadar gula darah pada stroke akut berkaitan dengan tingginya angka kecacatan
dan kematian. Selain itu, dengan pemeriksaan dapat diketahui adanya
hipoglikemia yang memberikan gambaran klinis menyerupai stroke.
4. Elektrolit serum dan faal ginjal
Pemeriksaan ini diperlukan, terutama berkaitan dengan kemungkinan
pemberian obat osmoterapi pada penderita stroke yang disertai peningkatan
tekanan intrakranial dan keadaan dehidrasi.
5. Darah lengkap (hitung sel darah)
Pemeriksaan darah lengkap diperlukan untuk menentukan keadaan
hematologik yang dapat mempengaruhi stroke iskemik, misalnya anemia,
polisitemia, dan keganasan.
6. Faal hemostasis
Pemeriksaan jumlah trombocyte, waktu prothrombin (PT) dan
thromboplastin (aPTT) diperlukan terutama berkaitandengan penggunaan obat
antikoagulan dan trombolitik.
7. X-foto toraks
Pemeriksaan radiologik toraks berguna untuk menilai besar jantung,
adanya klasifikasi katup jantung, maupun edema paru.
8. Pemeriksaan lain yang diperlukan pada keadaan tertentu (sesuai indikasi)
adalah : tes faal hati, saturasi oksigen, analisis gas darah, toksikologi, kadar
alkohol dalam darah, fungsi lumbal (bila ada dugaan perdarahan subaraknoid,
tetapi gambaran CT scan normal), EEG (elektro-ensefalografi) terutama pada
paralysis Todd.
PENATALAKSANAAN TERAPI
Penatalaksanaan dini penderita stroke iskemik akut di ruang gawat darurat
meliputi upaya (1) menegakkan diagnosis dengan segera, (2) melakukan terapi
umum dan penyulit akut, (3) melakukan terapi spesifik fase akut, dan (4)
menentukan penatalaksanaan selanjutnya.
Terapi umum meliputi :
1. Memelihara jalan nafas, fungsi respirasi dan kardiovaskular.

2. Mengatasi febris dengan obat-antipiretika, kompres dingin, dan sedapat


mungkin mengatasi sumber penyebabnya.
3. Memantau dan mengelola tekanan darah dengan berpedoman pada konsensus,
bahwa obat antihipertensi diberikan jika tekanan sistolik > 220 mmHg atau
tekanan diastolik > 120 mm Hg. Pemberian obat antihipertensi pada keadaan
tekanan darah < 220/120 mm Hg dilakukan jika ada rencana pemberian rtPA,
atau stroke akut dengan hipertensi disertai ensefalopati hipertensif, diseksi
aortha, gagal ginjal akut, edema paru akut, gagal jantung kiri, infark myokard
akut. Oleh karena penurunan tekanan darah secara cepat dapat memperburuk
kondisi otak, maka pemberian nifedipin sublingual dan antihipertensif lain
yang mengakibatkan penurunan tekanan darah dengan cepat, harus dihindari.
4. Memantau dan mengelola kadar glukosa darah, karena pada stroke iskemik
akut, hipoglikemia maupun hiperglikemia dapat memperburuk kondisi otak.
Hiperglikemia, yang sering dijumpai pada stroke iskemia akut, mengakibatkan
semakin meluasnya kerusakan sel otak karena asidosis laktat. Karena itu,
kadar gula darah di atas 200 mg% harus segera diturunkan dengan suntikan
insulin. Demikian pula, setiap tindakan yang dapat mengakibatkan
hiperglikemia, seperti pemberian infuse dekstrose, harus dihindarkan.
Pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya penyulit medik, antara lain
penyulit pada jantung, paru (pneumonia), perdarahan saluran cerna, infeksi
saluran kemih, dekubitus, trombosis vena dalam, dan sepsis.
Penyulit neurologik yang perlu diwaspadai pada stroke iskemik akut
terutama adalah edema otak dan peningkatan tekanan intrakranial, kejang, serta
transformasi perdarahan pada infark.
1. Pada stroke iskemik akut, edema otak sering terjadi pada hari ke 3-5 setelah
serangan. Edema otak dapat mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial,
selanjutnya menimbulkan herniasi dan kompresi batang otak. Penatalaksanaan
edema otak dengan peningkatan tekanan intrakranial adalah, sebagai berikut :
a. Melakukan elevasi tempat tidur pada bagian kepala hingga 20-30 derajat,
untuk membantu memperbaiki aliran darah vena.
b. Hiperventilasi (dengan ventilator) sampai PCO2 30-35 mmHg. Penurunan
PCO2

ini

dapat

mengakibatkan

vasokontriksi

serebral

sehingga

menurunkan tekanan intrakranial sebesar 25-30%. Hiperventilasi ini hanya


bisa dilakukan untuk sementara waktu saja, karena vasokontriksi serebral
yang ditimbulkan dapat memperberat iskemia.
c. Osmoterapi dengan menggunakan larutan manitol 20%, diberikan dengan
dosis awal 1-1,5 g/kg berat badan selama 20 menit, dilanjutkan dosis 0,250,5 g/kg berat badan setiap 4-6 jam.
d. Tindakan bedah (surgical decompression).
2. Kejang pada umumnya terjadi sejak kurun waktu 24 jam setelah serangan
seringkali parsial, dengan atau tanpa diikuti kejang umum. Kejang yang
berlangsung

terus

menerus

(kejang

status)

dapat

berakibat

fatal.

Carbamazepine masih merupakan obat pilihan pertama untuk mengatasi


kejang pada stroke iskemik akut, akan tetapi, jika kejang berlangsung serial
atau status, pemberian injeksi phenitoin intravena lebih cepat dalam mencapai
kadar tunak dalam darah.
3. Sekitar 5% kasus stroke iskemik akut akan mengalami transformasi
perdarahan simtomatik. Penggunaan obat antitrombotik, terutama trombolitik
dan antikoagulan, dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya transformasi
perdarahan pada infark otak. Dalam hal tersebut, penggunaan trombolitik dan
antikoagulan harus segera dihentikan. Bila hematom sangat luas atau terjadi di
serebelum, perlu dipertimbangkan tindakan operatif.
Terapi spesifik pada stroke iskemik akut meliputi :
1. Pemberian suntikan rtPA intravena 0,9 mg/kg berat badan dengan dosis
maksimal 90 mg, dilakukan den-an prosedur tertentu. Berdasarkan kriteria
NINDS (National Institute of Neurological Disorders and Stroke), pemberian
rtPA hanya dilakukan dalam selang waktu 3 jam setelah serangan stroke
iskemik akut, gambaran CT scan kepala tidak menunjukkan adanya
perdarahan, penderita tidak pernah mengalami trauma kepala maupun
serangan stroke selama 3 bulan terakhir, serta tekanan darah sistolik < 185
mmHg dan diastolik < 110 mmHg.
2. Acetosal dosis rendah (100-300 mg) diberikan sejak dini, yaitu sejak selang
waktu kurang dari 48 jam setelah serangan stroke iskemik akut.

3. Pemberian obat neuroprotektan, misalnya Piracetam dan Citicoline, dan Pro 8


- Gly 9 - Pro 10 ACTH (4-10) yang diduga dapat melindungi neuron dari
kematian sel akibat iskemia, dapat diberikan sejak dini.
Perkembangan klinis penderita stroke isikemik akut seringkali sulit
diprediksi. Sebagian di antaranya ada yang memburuk dalam waktu 24-48 jam
setelah mengalami serangan. Beberapa pertimbangan berikut ini dipergunakan
untuk menentukan bahwa penderita harus dirawat di ruang perawatan intensif.
1. Gangguan jantung atau paru yang berat, karena dapat memperburuk iskemia
otak.
2. Infark otak luas, misalnya infark yang mengenai lebih dari 50% daerah
pasokan arteri serebri media, dengan risiko peningkatan tekanan intrakranial
dan herniasi serebral. Secara klinis, dugaan infark yang luas dapat dilihat dari
adanya hemiplegia yang nyata dengan deviasi mata dan penurunan kesadaran.
3. Infark batang otak yang luas. Hal ini dilihat dari pola pernafasan penderita,
adanya penurunan kesadaran, dan obstruksi jalan nafas akibat kelumpuhan
otot-otot faring dan lidah.
Untuk perawatan selanjutnya, sebaiknya penderita dirawat di unit stroke.
Unit ini melakukan perawatan integratif sejak fase akut, yang dilakukan oleh para
staf dengan kompetensi khusus, dan dikendalikan oleh tim multidisipliner.
Efektivitas perawatan di unit stroke telah dibuktikan oleh beberapa peneliti
(dibadingkan dengan perawatan di bangsal perawatan umum), dalam hal
menurunkan angka kematian dan kecacatan, mempersingkat masa perawatan,
serta menghemat biaya perawatan.
PREVENSI SEKUNDER
Untuk mencegah kekambuhan (serangan stroke ulang), upaya prevensi
sekunder harus dimulai sedini mungkin, sebelum penderita pulang dari rumah
sakit. Upaya ini ditujukan pada mekanisme patologik atau faktor risiko yang
mendasari terjadinya stroke iskemik akut. Penggunaan obat antiplatelet sangat
penting dalam upaya prevensi sekunder. Penyuluhan tentang stroke terhadap
penderita dan keluarganya (stroke education) juga termasuk upaya yang sangat
penting dalam upaya mencegah kekambuhan.

REHABILITASI DINI
Rehabilitasi dini sangat bermanfaat dalam upaya menurunkan angka
kecacatan dan mencegah terjadinya penyulit akibat imobilisasi atau tirah baring
lama. Mobilisasi dini dan tindakan lainnya sangat diperlukan untuk mencegah
terjadinya pneumonia, trombosis vena dalam, emboli paru, dekubitus, penyulit
ortopedik, dan kontraktur.
DAFTAR PUSTAKA
1. AHA Scientific Statement (2003 and 2005). Guidelines for the Early
Management of Patients With Ischemic Stroke.
2. Royal College of Physicians (2004). National Clinical Guidelines for Stroke.
2nded.
3. European Stroke Initiative Recommendation (2003). Ischemic Stroke,
Prophylaxis and Treatment.

3. PERDARAHAN INTRA SEREBRAL


BATASAN
Disfungsi neurologi fokal yang akut dan disebabkan oleh perdarahan
primer substansi otak yang terjadi secara spontan bukan oleh karena trauma
kapitis, disebabkan oleh karena pecahnya pembuluh arteri, vena dan kapiler.
PATOFISIOLOGI
Perdarahan yang disebabkan pecahnya arteria, pembuluh kapiler atau vena
di dalam parenkim otak, oleh karena gangguan hemodinamika (hipertensi),
kelainan dinding pembuluh darah (AVM, anuuisma, dll), dan faal koagulasi.
GEJALA KLINIS
Tergantung dan bagian otak yang terkena, yang ditandai dengan gejalagejala, sebagai berikut :

Gejala awal biasanya pada waktu melakukan kegiatan


Sakit kepala kadang-kadang hebat
Perubahan yang cepat dari defisit neurologi termasuk penurunan kesadaran

sampai koma.
Biasanya terdapat hipertensi sedang dan berat

DIAGNOSIS/CARA PEMERIKSAAN
Pemeriksaan :
1.
2.
3.
4.

Anamnesis
Pemeriksaan umum: tensi, nadi, respirasi suhu
Pemeriksaan klinis neurologi
Pemeriksaan tambahan
Darah : seperti pada RIND/PRIND
Punksi lumbal : jangan dikerjakan apabila diduga perdarahan intra
serebral. CT scan 1 MRI kepala nampak jelas area hiperdens/hiperintens
sejak awal serangan.

PENATALAKSANAAN TERAPI :
1. Medis :

Penderita dalam keadaan koma sedapat mungkin di ICU

Hiperventilasi
Dengan intubasi untuk membuat p CO2 28-34 mmHg.
Apabila ada kejang, biasanya pada perdarahan lesi dekat korteks Diberikan
diazepam intra vena pelan tidak lebih dari 2 mg/menit sampai kejang

berhenti atau maksimal 20 mg.


Diphenylhydantoin/Phenitoin parenteral dengan dosis pertama/bolus 10
-15 mg/kg BB intra vena selanjutnya diberikan 3 kali 100 mg /iv
Pemberian pelan-pelan 1 cc/ menit (perlu evaluasi kadar phenitoin dalam
plasma). Bila terdapat kejang status penanganan sesuai dengan protokol

kejang status.
Hipertensi : penanganan sesuai dengan penatalaksanaan hipertensi pada

stroke akut.
Pemberian cairan infus tidak boleh terlalu banyak, diberikan 1 liter/hari

kecuali bila panas > 1,5 liter/hari. Cairan yang diberikan Ringer lakta
Albumin 20% bila ada hipoalbuminia dan dapat untuk mengurangi edema.
Gambaran CT scan/MRI : terdapat edema luas dan mid line shift dan
sesudah 6 jam dari awitan dapat diberikan Manitol dosis : 0,25 - 0,5
gr/kgBB/kali, diberikan 6 kali sehari, sampai 7 hari sesudah itu tappering
off : 4 x sehari selama 2 hari ,3 x sehari selama 2 hari 2 x sehari selama 2
hari lalu stop.

2. Pembedahan
- Tindakan operatif pada perdarahan intra serebral dilakukan secara selektif
sesuai dengan indikasinya. (derajat kesadaran, lokalisasi dan besar
-

hematom serta tidak adanya penyakit lain yang memperberat keadaan)


Tindakan operatif dikerjakan pada kasus dengan efek massa atau

perdarahan pada fossa posterior/ perdarahan serebelar.


Volume hematom : Bila volume darah > 60 cc
Perlu diingat : Pada kasus kasus perdarahan intra serebral, waspada bahaya
DIC.

DAFTAR PUSTAKA

1. Grotta JC. Current Medical and Surgical Therapy for Cerebrovasculer


Disease. N. Engl J Med 1987; 317:1505 -1516.
2. Ropper AH. Cerebral Hemorrhage. In Johnson RT ed. Current Therapy in
Neurologic Disease-2. Philadelphia: B.C Decker me, 1987:163 - 165.
3. Toole JP, Patel AN. Cerebro-vasculer Disorder. 31rd. Me. Graw Hill Bool Co,
198- 298.
4. Zervas NT. Intracerebral Hemorrhage. In: Johnson RT ed: Current Therapy in
Neurologic Disease-2. Philadelphia: B.C. Decker me, 1985: 172 -274.
5. Perhimpunan dokter spesialis saraf Indonesia (PERDOSSI); Guidelines Stroke
seri ketiga 2000.

4. PERDARAHAN SUBARACHNOID
BATASAN
Adalah keadaan yang akut, karena terjadi perdarahan ke dalam ruangan
subarachnoid.
PATOFISIOLOGI
Perdarahan dapat terjadi akibat aneurisma pecah, kelainan pembekuan
darah, tumor otak dan beberapa sebab lain.
GEJALA KLINIS
1. Nyeri kepala hebat sesisi yang akut dengan atau tanpa gangguan kesadaran.
Kurang lebih 25% penderita didahului dengan nyeri kepala hebat (II).
2. Terdapat tanda rangsangan selaput otak (ineningeal sign) dan pada 10 %
penderita terdapat perdarahan subhialoid pada mata (subhyaloid bleeding).
3. Pada umumnya tidak dijumpai tanda fokal.
4. Bila dilakukan punksi lumbal selalu didapatkan cairan otak/likuor yang
berdarah.
DIAGNOSIS/CARA PEMERIKSAAN
1. Anamnesis (mulainya) akut, nyeri kepala hebat satu sisi, mual, muntah dapat
disusul gangguan kesadaran dan kejang.
2. Pemeriksaan klinis neurologis
3. Pemeriksaan tambahan
Funduskopi : cari subhyaloid bleeding.
CT scan kepala
LP : dilakukan dalam waktu 12 jam bilamana CT scan kepala tidak dapat
dikerjakan atau gambaran CT scan kepala normal, sedangkan klinis sangat
mencurigakan suatu perdarahan subarakhnoid, dan tidak ada kontra

indikasi LP. (D)


MRI tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis SAH
Angiografi sebagai persiapan operasi.

PENATALAKSANAAN TERAPI

Tatalaksana awal ditujukan untuk melakukan pencegahan terjadinya


perdarahan ulang dan mencegah terjadinya komplikasi sekunder, seperti infark
serebri atau hidrosephalus.
Tatalaksana lanjutan ditujukan untuk mengurangi gejala sisa yang sama
seperti yang dilakukan pada penanganan stroke iskemik.
1. Medis
Perawatan umum : 6 B
Perawatan khusus : tergantung etiologi
Pemberian Ca channel blocker: Nimodipine

untuk

mengurangi

vasospasme.
Antifibrinolitik tak boleh diberikan (A), karena dapat meningkatkan

terjadinya iskemik sererbral.


Steroid tidak boleh diberikan (D).
Pengobatan suportif :
Pemberian cairan yang cukup.
Oksigenasi.
Termasuk analgesik yang adekwat (Codein fosfat) (D).
Monitoring terjadinya komplikasi seperti hidrosephalus, inbalans elektrolit

dan hipotensi (D).


Perawatan hipertensi dan stop rokok (A)
Penderita dengan anamnesis keluarga (pada generasi pertama) yang jelas

dengan SAH atau adanya ginjal polikistik. Keluarganya harus diberitahu


bahwa mereka mempunyai risiko untuk terjadinya SAH, sehingga mereka

sebaiknya melakukan pemeriksaan neuro-vaskuler. (B)


Bila ada kejang : penanganan sesuai dengan protokol kejang pada stroke

intra serebral.
Bila penderita gelisah dapat diberikan :
Haloperidol dosis rendah per oral.
Diazepam dosis rendah
Untuk nyeri kepala diberikan analgetik bukan aspirin.
2. Pembedahan
Apabila didapatkan anerysma serebri yang pecah, maka operasi sebaiknya

dikerjakan oleh team neuro-vaskuler (A).


Pencegahan sekunder :

Penderita yang pernah mengalami stroke mempunyai risiko terjadinya stroke

30-43% dalam waktu 5 tahun.


Risiko untuk stroke sesudah TIA adalah 20% dalam bulan pertama.
Penderita dengan TIA dan stroke mempunyai risiko untuk terjadinya infark

miokard atau gangguan pembuluh darah.


Prevensi sekunder sudah harus dilakukan dalam waktu 7 hari sesudah serangan

stroke atau TIA (B).


Gaya hidup :
Berhenti merokok.
Olahraga teratur.
Diet dan menurunkan berat badan (B). Penurunan berat badan ada
hubungannya dengan penurunan tekanan darah (Ia) dan penurunan intake

lemak didapatkan hubungan dengan penurunan risiko kardiovaskular.


Menurunkan tekanan darah

DAFTAR PUSTAKA
1. Adam HP Antifibrinolytics in Aneurymal Subarachnoid Hemorrhage. Do They
Have a Role? Maybe. Arch Neurol 1987;114 - 118.
2. Beck DW, Adam HP, Flasma ES. Godersky IC, L.oftus CM. Combination of
Aminocaproic acid and Nicardipine in Treatment of Aneurymal Subarachnoid
Hemorrhage. Stroke 1988; 19:63-67.
3. Weir B, Antifibrinolytic in Subarachnoid Hemorrhage. Do They Have a Role?
No Arch Neuro11987; 44:116-118.
4. Perhimpunan dokter spesialis saraf Indonesia (PERDOSSI); Guidelines Stroke
Seri ketiga 2004.

5. KOMPLIKASI STROKE
Prevensi Komplikasi :
Peletakkan posisi penderita.
1. Untuk mengurangi risiko komplikasi sebaiknya penderita diletakkan baik
berbaring maupun duduk dalam posisi yang tepat, sehingga dapat mencegah
terjadinya aspirasi, komplikasi pernafasan, nyeri bahu, kontraktur dan
dekubitus (IV).
2. Penekanan pneumatic intermitten tidak dianjurkan dilakukan secara rutin pada
pembengkakan tangan. (Ib)
Trombcemboli vena (DVT).
-

Terjadi pada minggu I stroke.


Terjadi pada penderita tirah baring (immobile) dengan paralisis tungkai.
Pengaruhnya pada stroke tidak jelas.

Terapi:
1. Aspirin 50 - 300 mg/ hari sebagai antitrombotik (Ib).
2. Tidak dianjurkan pemberian antikoagulansia profilaktik secara rutin (Ib).
3. Penekanan dengan kaos kaki pada penderita stroke yang mengalami
kelemahan atau paralisis tungkai. (Ib).
4. Mobilisasi dini dan hidrasi optimal dipertahankan sebaik mungkin sejak
penderita dirawat di luar (D).
Penatalaksanaan kandung kemih dan saluran cerna
1. Semua bangsal dan unit stroke harus mempunyai protokol penatalaksanaan
inkontinensia urine, inkontinensia alvi dan konstipasi (B).
2. Pelayanan kontinensia harus mencakup perawatan di rumah sakit dan rumah
untuk menjaga kesinambungan perawatan (C)
3. Penanganan saluran cerna dan kemih secara aktif sejak penderita dirawat (B).
4. Dauer kateter hanya dipakai sesudah dipertimbangkan metoda alternatip yang
lain.
5. Jika inkontinensia menetap, tes yang lain dilakukan (urodinamik, fisiologi
anorektal) (B).

6. Dalam memilih alat bantu, harus dipertimbangkan kemudahan peletakkan dan


penggunaan dan nyaman (B).
7. Fungsi seksuil harus dipertmbangkan, terutama merupakan masalah potensial
sehubungan dengan dauer kateter (D).

6. PENCEGAHAN SEKUNDER STROKE


Risiko stroke berulang berkisar antara 30% - 45% dalam waktu 5 tahun.
Risiko terserang stroke komplit setelah TIA diperkirakan sebesar 20% dalam
bulan pertama. Penderita dengan stroke dan TIA juga terjadi peningkatan resiko
infark miokard dan kejadian vaskuler lain. Risiko terkena stroke lebih lanjut
terjadi terutama pada fase dini setelah TIA atau stroke. Maka pada penderita
sebaiknya segera diberikan prioritas tinggi pencegahan sekunder stroke berdasar
evidence based (pencegahan stroke dimulai maksimal 7 hari setelah stroke akut
/TIA ).
1. Perubahan gaya hidup :
Stop rokok.
Olah raga teratur.
Diet dan mencapai berat badan yang sesuai.
Mengurangi konsumsi garam dan mencegah alkohol berlebih.
2. EIipertensi :
Antihipertensi diberikan setelah fase hiperakut stroke sebagai pencegahan

stroke ulang maupun pencegahan kejadian vaskuler lain (Class I, Level A).
Karena manfaat ini juga nampak pada individu dengan dan tanpa riwayat
hipertensi maka pengobatan diberikan pada semua penderita stroke

iskemik clan TIA.


Target absolut clan penurunan tekanan darah bersifat individu namun
manfaat terlihat pada penurunan rata rata 10/5 mmHg dan tekanan darah

normal 120/80 mmHg ( 7NC -7) ( Class IIa, Level B).


Pengobatan terpadu hipertensi disertai modifikasi gaya hidup (Class IIb,

Level C).
Obat anti hipertensi yang optimal tetap sulit ditentukan, namun dari datadata yang ada menunjukkan penggunaan diuretika dan kombinasi diuretika
dan obat penghambat ACE (ACE I) (Class I, Level A). Pemilihan obatobat yang spesifik dan target penurunan tekanan darah hendaknya
disesuaikan secara individu berdasar data yang tersedia dan ciri spesifik
penderita masing masing (adanya oklusi ekstrakranial, gangguan ginjal,

penyakit jantung, dan diabetes) ( Class IIb, Level C)


3. Diabetes :

Kontrol ketat terhadap tekanan darah dan faktor lipid pada mereka dengan
diabetes (Class IIa, Level B). Semua golongan antihipertensi bisa dipakai
untuk kontrol tekanan darah dan sebagian besar penderita membutuhkan >
1 obat. ACEI (penghambat ACE) dan ARBs (penghambat reseptor
angiotensin) lebih efektif mengurangi progresivitas kelainan ginjal dan

dianjurkan sebagai obat pilihan untuk penderita dengan DM .


Pengaturan kadar glukosa mendekati normoglisemia pada mereka dengan
diabetes dan stroke iskemik atau TIA untuk mengurangi komplikasi
mikrovaskuler (Class I, Level of Evidence A) dan kemungkinan
komplikasi makrovaskuler (Class IIb, Level of Evidence B). Target untuk

hemoglobin AIc hendaknya < 7% (Class IIa, Level B).


4. Faktor lipid :
Penderita stroke iskemik/TIA dengan peningkatan kolesterol komorbiditas
dengan PJK atau penyakit atherosklerosis berpedoman pada tatalaksana
NCEP III, termasuk modifikasi gaya hidup, diet dan pengobatan (Class I,

Level A)
Diberikan pengobatan golongan statin dan target penurunan kolesterol
pada mereka dengan PJK atau atherosklerosis yang simtomatik adalah
LDL-C < 100 mg/dl dan LDL-C < 70 mg/dl untuk mereka yang sangat

berisiko tinggi dengan faktor risiko multipel.


Stroke iskemik/TIA dengan HDL-C yang rendah diberikan terapi dengan

niacin atau gemfibrozil (Class IIb, level B).


5. Terapi sulih hormon :
Tidak dianjurkan pemberian terapi sulih hormon (HRT) pada wanita
dengan stroke ITIA (Class III, level A)

6. Terapi antitrombotik dan antikoagulan :


Untuk penderita stroke iskemik/TIA non kardioembolik diberikan
antiplatelet untuk mengurangi risiko stroke ulang dan kejadian
kardiovaskuler lain (Class I, level A).

Aspirin (50- 325 mg/hr), kombinasi aspirin dan extended release


dypridamole, dan clopidogrel adalah merupakan pilihan untuk terapi awal

(Class IIa, level A).


Dibanding dengan aspirin sendiri, kombinasi dengan extended release
dipyridamole dan clopidogrel adalah aman. Disarankan kombinasi aspirin
dan extended release dipyridamol dibandingkan aspirin sendiri (Class IIa,

level A)
Clopidogrel mungkin dapat diberikan dibanding aspirin sendiri berdasar
penelitian-penelitian yang membandingkan keduanya secara langsung

(Class IIb, level B)


Pemilihan antiplatelet hendaknya disesuaikan dengan masing individu
dengan pertimbangan profil faktor risiko, toleransi, dan keadaan klinis

yang lain.
Penambahan aspirin terhadap clopidogrel meningkatkan risiko perdarahan
dan tidak diberikan secara rutin pada stroke iskemik atau pasien TIA

(Class III, Level A)


Clopidogrel dapat dipertimbangkan pada penderita yang alergi terhadap

aspirin (Class IIa, level B)


Penderita yang menderita stroke iskemik waktu mempergunakan aspirin,
belum ada bukti peningkatan dosis aspirin akan memberikan keuntungan

tambahan.
Antikoagulan mulai diberikan pada tiap penderita dengan persisten atau
paroxysmal atrial fibrilasi (valvular atau non valvular) kecuali terdapat
kontraindikasi. Warfarin dengan dosis yang disesuaikan (target INR 2,5;

kisaran 2.0-3.0) (Class I,level A)


Antikoagulan hendaknya tidak diberikan sebelum pencitraan otak

menyingkirkan kemungkinan perdarahan


Untuk penderita yang tidak dapat diberikan antikoagulan oral dianjurkan
penggunaan aspirin 325 mg /hari (Class I,level A)

Stenosis Karotis :

Penderita dengan stroke/TIA dalam waktu 6 bulan dan stenosis arteri karotis
berat unilateral (70% - 99%) dilakukan Endarterektomi karotis (Class I, level

A)
Stroke/TIA dan stenosis arteri karotis sedang (50%-69%) dilakukan
Endarterktomi karotis tergantung dari faktor-faktor seperti usia, kelamin,

komorbiditas dan beratnya gejala awal (Class I, level A)


Bila derajat stenosis < 50% tidak ada indikasi Endarterektomi karotis (Class

III, level A)
Penderita dengan stenosis berat (> 70%) disertai kesulitan akses pada
pembedahan, keadaan klinis yang menunjukkan risiko bedah yang tinggi,
restenosis pasca Endarterektomi maka Angioplasti dan Stenting tidak lebih
buruk dari Endarterktomi clan dapat dipertimbangkan utnuk dilakukan pada

penderita (Class IIB, level B).


Pada penderita dengan Arteri

Karotis

Al

usi

yang

simtomatis

Extracranial/Intracranial bypass tidak dikerjakan secara rutin. (Class III, level


A)

III. NEUROPEDIATRI
Dr. Mohammad Hasan Machfoed, dr, MS, Sp.S (K).
ProL. Troeboes Poerwadi, dr, Sp.S(K).
Mudjiani Basuki, dr, Sp.S.

1. KEJANG DEMAM
BATASAN
Definisi kejang demam berdasarkan International League Against
Epilepsy adalah kejang yang terjadi pada anak usia lebih dari 1 bulan yang disertai
panas badan. Panas bukan disebabkan oleh infeksi otak, tidak didapatkan riwayat
kejang neonatus dan kejang tanpa panas badan sebelumnya. Gejala kejang tidak
menyerupai kejang simtomatik.
PATOFISIOLOGI
Belum jelas
GEJALA KLINIS
Dikenal 2 bentuk kejang demam :
-

Kejang demam sederhana


Kejang demam komplikata
Kejang demam

Kejang demam komplikata

Usia

sederhana
6 bl - 3 th (jarang 5 th)

Terutama 0- 3 th

Faktor keturunan
Type kejang

+++
Tonik-klonik

Tidak jelas
Tonik-klonik seperti grandma atau

Lama kejang

(modifikasi grandmal)
Kebanyakan 1- 3 menit

hemikonvulsi
Lebih lama, 10 menit -jam seperti

Keadaan klinis

Pada saat panas biasanya

status
Kebanyakan keradangan SSP,

yang menyertai

karena infeksi saluran

intrakranial venous thrombosis,

kejang
Kelainan patologi

pernapasan atas (ISPA)


Tidak dijumpai

GPDO atau sesudah vaksinasi


Gambaran keradangan dan

di otak
Kelainan neurologi

Jarang

perubahan vaskuler
Sering dijumpai dan tergantung

sesudah kejang
EEG diantara

Cepat menjadi normal

dari kelainan neurologiknya


Abnormal selama panas,

Tidak perlu

abnormal
Diperlukan terutama untuk jangka

kejang.
Antikonvulsan

panjang.
Prognosis

Bagus pada kebanyakan

Perlu diawasi, sering terjadi defek


neurologik dan kejang ulang

CARA PEMERIKSAAN
-

Anamnesis (penting)
Pemeriksaan tambahan :
Darah : glukosa, serum elektrolit, BUN, Serum kreatinin
Funduskopi
Transiluminasi kepala
Punksi lumbal : terutama pada anak < 1 tahun
Pada kejang demam sederhana, tidak didapatkan kelainan.

DIAGNOSIS
Berdasarkan atas :
-

Anamnesis.
Gejala klinis.
Pemeriksaan laboratorium.

DIAGNOSIS BANDING
-

Meningitis
Ensefalitis
Subdural empyema

PENATALAKSANAAN TERAPI
Terapi fase akut:
-

Menghentikan kejang:
Diazepam 0.3-0.5 mg/kgBB IV/ per rectal setiap 8 jam selama masih
kejang
Phenobarbital : 2-8 mg/kgBB/24jam PO selama 5 hari
Asam valproat 15-40 mg/kgBB/hari PO selama 5 hari
Menurunkan panas badan:
Antipiretika : paracetamol 10 mg/kgBB PO
Kompres alcohol
Pengobatan penyebab
Pengobatan suportip: keseimbangan air dan elektrolit, bebaskan jalan nafas,
pemberian oksigen dsb.

Terapi pencegahan :
1. Kejang demam sederhana
- Pada prinsipnya adalah mencegah peningkatan suhu tubuh dengan
-

pemberian antipiretik.
Diberikan pula antipiretik : bila suhu tubuh > 38,50C diberikan diazepam

per rectal 0,3-0,5 mg/kg BB.


2. Kejang demam komplikata
- Diberikan pencegahan terus menerus dengan pemberian antikonvulsan
setiap hari selama 2-3 tahun bebas kejang sampai melampaui batas peka
-

kejang demam maximal 5 tahun.


Pencegahan diberikan bila :
Kejang lebih lama dan 15 menit
Diikuti dengan kelainan neurologik yang transient atau persisten.
Ada riwayat kejang tanpa panas pada keluarga.
Ada perkembangan neurologik yang abnormal sebelum kejang demam
yang pertama.
Kejang demam pada anak di bawah umur I tahun.
Bila ada kelainan EEG.
Digunakan :
1. Asam Valproat dosis 15 - 40 mg/kgbb/hr
2. Phenobarbital dosis 5 - 10 mg/kgbb/hr
3. Phenitoin dosis 5 - 8 mg/kgbb/hr
4. Carbamazepine 10 - 20 mg/kgbb/hr

PENYULIT
1. Epilepsi
2. Kelumpuhan anggota badan
3. Gangguan mental dan belajar
DAFTAR PUSTAKA
1. Bourgeois BFD. Antiepileptic drugs. In: Wallace S ed: Epilepsi in Children 1 st
Ed. London, Chapman and Hall Medical, 1996:535-540
2. Holmes GL. Febril Seizure.In: Johnson KI, Griffin JW, Mc Arthur JC editors:
Current Therapy in Neurologic Disease G`h Ed. St. Louis, Mosby, 2002: 3334.

3. Shinner S. Febrile seizure. In: Singer HS, Kossoff EH, Hofmann AL,
Crawford TO, editors: Treatment of Pediatric Neurologic Disorders. Boca
Raton- Florida, Taylor and Francis Group, 2005:73-78.

IV. INFEKSI
Fauziyah Baoezier, dr, Sp.S(K).
Ratna Anggraeni, dr, Sp.S(K).
Herainy Hartono, dr, Sp.S(K).
Paulus Sugianto, dr, Sp.S.

1. MENINGITIS BAKTERIAL

BATASAN
Adalah reaksi keradangan yang mengenai salah satu atau semua selaput
meningen di sekeliling otak dan medulla spinalis.
PATOFISIOLOGI
Bakteri dapat menyebabkan infeksi akut pada SSP melalui :
1. Implantasi langsung.
2. Perluasan langsung infeksi (perkontinuitatum).
3. Lewat aliran darah (hematogen).
GEJALA KLINIS
Gejala klinis meningitis pada penderita dewasa secara umum adalah nyeri
kepala, kaku kuduk, panas kadang sampai menggigil, fotofobia, mual, muntah,
kejang dan didapatkan tanda defisit neurologis fokal, atau penurunan kesadaran.
Gejala klinis pada anak berupa demam, lethargi, penurunan nafsu makan,
mual, muntah, distress nafas, cyanosis, apnea, penurunan kesadaran.
Pada meningitis oleh karena meningokokus perlu diingat tanda :
-

Syok = renjatan
Diatesis hemoragik
Gangguan ginjal

CARA PEMERIKSAAN
1. Anamnesis.
2. Pemeriksaan fisik : ada tanda-tanda rangsangan meningen, papiledema, gejala
neurologis fokal, didapatkan sumber infeksi, penurunan kesadaran.
3. Pada bayi didapatkan fontanella tampak menonjol, tonus menurun, kejang,
ataksia, .defisit neurologis fokal.
4. Punksi lumbal : tekanan meningkat, jumlah sel meningkat sampai ribuan
terutama polimorfonuklear, kadar protein meningkat, kadar glukosa menurun.

5. CT Scan kepala dengan kontras sebelum dilakukan punksi lumbal. Pada


keadaan CT Scan kepala tidak dimungkinkan dan tidak didapatkan kontra
indikasi, maka tindakan LP dapat dilakukan.
Selain pemeriksaan secara rutin, perlu diperiksa :
-

Hapusan (smear) pengecatan gram, fiksasi dengan pooled serum.


Kultur dapat dari darah, cairan serebrospinal atau fokus infeksi : OMP,
sinusitis, gigi.

Yang terbaru dilakukan pemeriksaan :


-

Immunoassay
Counter Particle Agglutination
Elisa (Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay)

Pemeriksaan tersebut diharapkan antara lain untuk mengetahui bakteri penyebab.


Pemeriksaan Radiologi :
-

X-foto Thorax, Waters, Mastoid, dan lain-lain (untuk mencari fokus primer).
CT Scan kepala + kontras / MRI kepala.

DIAGNOSIS
Ditegakkan berdasarkan :
1. Gejala kliniks
2. Hasil LP :
- Peningkatan jumlah sel terutama polimorfonuklear.
- Total protein meningkat.
- Glucosa menurun
- Ditemukan mikroorganisma dalam cairan serebrospinal.

DIAGNOSIS BANDING
1. Meningitis bentuk lain
2. Febris dengan kaku kuduk
3. Perdarahan subarachnoid
PENYULIT
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Edema otak (Vasogenik, Sitotoksik, Interstisial)


Ventrikulitis
SIADH (Syndrome Inappropriate Anti Diuretic Hormone)
Abses otak
Ensefalopatia
Efusi subdural
Kejang
Perlekatan dengan segala akibatnya : hidrosefalus, kelainan saraf otak dsb.

PENATALAKSANAAN TERAPI
1. Umum
2. Khusus
a. Tergantung dari umur
b. Tergantung penyebab
c. Tergantung penyulit
d. Terutama pada peningkatan tekanan intrakranial, yaitu :
- Perubahan pada retina.
- Respons pupil yang berubah
- Peningkatan tekanan darah yang disertai dengan bradikardi.
- Tanda-tanda fokal dan/atau tanda lateralisasi
Sebaiknya harus dilakukan pemeriksaan CT scan/ MRI kepala.

Tabel I. Penyebab Tersering Meningitis Bakterial


Umur/Keadaan
0-12 minggu

Penyebab/Bakteri
Group B streptococcus
E. Coli
L. monocytogenes

3 bulan - 50 tahun

S. pneumoniae

N. meningitidis
H. influenza
> 50 tahun)

S. pneumoniae
L. monocytogenes.
Gram negative bacilli

Fraktur basis kranii.

Staphylococci.
Gram negative bacilli
S. pneumoniae

Sesudah trauma kapitis dan operasi

Staphylococci.

bedah saraf

Gram negative bacilli


S. pneumoniae

Penderita dengan pengobatan

L. monocytogenes.

imunosupresan

Gram negative bacilli


S. pneumoniaeH. influenzae.

Tabel II. Antibiotik dan Dosis untuk Meningitis Bakteri


Antibiotik
Penicilllin G
Ampicillin
Cefotaxime
Ceftazidime
Ceftriaxone
Chloramphenicol
Amikacin
Kanamycin
Gentamycin
TrimethoprimSulfamethoxazole
Metronidazole
Sulbenicillin
Cloxacillin
Ciprofloxacin
Pefloxacin &
ofloxacin
Vancomycin
Oxacillin
Imipenem

Dosis total sehari

Dosis total sehari

Interval

untuk anak
200.000 U/kgBB/hr
400 mg/kgBB/hr
200 mg/kgBB/hr
100 mg/kgBB/hr
75-100 mg/kgBB/hr
75-100 mg/kgBB/hr

untuk dewasa
24 juta U/hr
12-18 gr/hr
8-12 gr/hr
8 gr/hr
4 gr/hr
4 gr/hr
1 gr/hr
1 gr/hr
200 gr/hr
10 mg/kg/hr
(trimethoprim)
1-2 gr/hr
12 gr/hr
12 gr/hr
1,5 gr/hr
800 gr/hr

pemberian
2-4 jam
4 jam
4 jam
4 jam
6 jam
6 jam
8 jam
8 jam
8-12 jam
8 jam

3 gr/hr
9-12 gr/hr
2 gr/hr

6 jam
4 jam
6 jam

5 mg/kgBB/hr
10 mg/kgBB/hr
(trimethoprim)

20-40 mg/kgBB/hr
200-300 mg/kgBB/hr

12 jam
4 jam
4 jam
12 jam
12 jam

Tabel III : Terapi antibiotik empirik.


Usia/ Bakteri Penyebab
0 - 12 minggu :
Streptococcus group B.
E. Coli.
L. monocytogenes.
3 bulan - 50 tahun :
S. pneumoniae
N. meningitidis.
H. Influenzae.
> 50 tahun
S. pneumoniae.
L. monocytogenes.
Gram negative bacilli.
Fraktur basis kranii :
Staphylococci.
Gram negative bacilli
S. pneumoniae
Sesudah trauma kapitis dan operasi
bedah saraf.
Staphylococci.
Gram negative bacilli
S. pneumoniae.
Penderita dengan pengobatan
imunosupresan
L. monocytogenes.
Gram negative bacilli
S. pneumoniae.
H. influenzae.
Pengobatan pilihan :
Usia > 3 bulan
Pada penderita yang alergi penicillin
dengan perkiraan jenis kuman :
Meningokokus.
Listeria
Follow up punksi lumbal

Antibiotik
Cephalosporin generasi ke III +
ampicillin (+dexamethason dalam 2
hari) pada bayi usia > 4 minggu.

Cephalosporin generasi ke III +


vancomycin (+ ampicillin ).

Cephalosporin generasi ke III +


vancomycin + ampicillin.

Cephalosporin generasi ke III +


vancomycin

Vancomycin + Ceftazidime.

Vancomycin+ampicillin+ceftazidime

Meropenem + vancomycin.

Vancomycin + Chloramphenicol.
Trimethoprim/ Sulfametoxazole.

Punksi lumbal dilakukan pada permulaan terapi dan disusul 3 hari kemudian,
selanjutnya tergantung dari hasil kultur atau tergantung jumlah sel. Bila 2 kali
pemeriksaan jumlah sel normal (< 30/3) penderita dipulangkan.

Perlu diingat adanya lasting damage : kerusakan yang menetap yaitu :


1. Sterilisasi yang terlambat dari cairan serebrospinal.
2. Protein cairan serebrospinal > 10 g/l
3. Glukosa cairan serebrospinal < 100 mg/l

PROGNOSIS
Tergantung dari :
1.
2.
3.
4.

Stadium penyakit
Tersedia antibiotik yang sesuai dan terapi yang adekwat
Ada lasting damage.
Komplikasi

Algoritma Tatalaksana Meningitis bakterial

Suspect Meningitis Bakterial

Papiledema atau Defisit Neurologis

Tidak Ada

DL, Kultur daerah Dexamethasone + Ceftriaxon atau Cefotaxime + Vancomycin Pada Neonatus, usia lanjut, dan
Tidak
penderita
Ada ras

DL

CT Scan Kepala

Peningkatan TIK

Taka da P

Monitol hyperventilasi

Lumbal Punksi

Organisme penyebab diketahui, diberikan pengobatan

DAFTAR PUSTAKA
1. Berger JR : Clinical Approach to Stupor and Coma. In Bradley WG, et al :
Neurology in Clinical Practice. Principles of Diagnosis and Management 2 nd
edition. Boston, Butterworth-Heinemann, 1996 :39-60.
2. Chandra B. : Meningitis purulenta dalarn Neurologi Klinik, Surabaya, PT.
Bina India Karya,1987 : 112-113.
3. Davis LE : Acute Bacterial Meningitis. In Johnson RT, et al . Current therapy
in neurologic disease 5th edition. St. Louis; Mosby-year book, Inc ; 1997:120127.
4. Karen L. Roos : Meningitis, New York, Oxford University Press, Inc, 1996.
5. Quaglianelo V, Shield WM.: Bacterial meningitis; Pathogenesis,
pathophysiology and prognosis. N. Engl. J Med, 1992, 327, 864 - 872.
6. Quagliarello V .J, Scheld WM.: Treatment of bacterial meningitis. N. Engl. J.
Med, 1997, Vol 336; 708-716
7. Sahs AL, Joynt RJ. Bacterial Meningitis. In Baker AB, Baker LH, Cs. Clinical
Neurology. 2 Philadelphia Harper & Row publ, 1981: 1-90.
8. Verma A: Infections of the nervous system. In Bradley W.G, et all: Neurology
in Clinical Practice Vol. II. Philadelphia, Butterworth Heinemann; 2004: 14731513

2. MENINGITIS TUBERKULOSA
BATASAN
Adalah reaksi keradangan yang mengenai salah satu atau semua selaput
meningen di sekeliling otak dan medulla spinalis yang disebabkan oleh karena
kuman tuberkulosa.
PATOFISIOLOGI
Akibat rangsangan yang diduga oleh karena proses immunologik,
menyebabkan tuberkel yang kecil-kecil (Richs foci) pecah masuk ke dalam aliran
serebro spinal ke dalam ruangan subarachnoid atau ke dalam sistem ventrikel
menyebabkan terjadi meningitis.
GEJALA KLINIS
Gejala-gejala seperti pada meningitis pada umumnya dan dapat dibagi
dalam 3 stadium :
1. Keluhan Non Spesifik
- Kelemahan umum, apatis, anoreksia, subfebril, nyeri kepala yang kumat-

kumatan dan nye,ri otot. Pada tahap ini kesadaran masih baik.
Pada bayi : rewel, nyeri perut, fontanelia yang cembung lebih sering

dijumpai dan kaku kuduk.


Pada orang dewasa : panas mungkin tidak dijumpai, kebingungan yang
kumat-kumatan dan kaku kuduk biasanya terjadi 1- 3 minggu sesudah

keluhan.
2. Stadium rangsang meningeal (stadium intermediate):
- Nyeri kepala, muntah, iritabel, kebingungan bertambah.
- Kelumpuhan saraf otak
- Hidrosefalus
- Penurunan kesadaran
- Papil edema yang ringan
- Terjadinya vaskulitis dan gangguan fokal
- Kejang-kejang
3. Stadium lanjut :
Kebingungan bertambah, delirium yang berfluktuasi dan gejala fokal
makin menghebat dan nyata. Pada tahap ini penderita sudah mengalami koma,

disertai tanda-tanda toksisitas sistemik, juga didapatkan tanpa paresis/


paralysis.
DIAGNOSIS
1. Anamnesis : mulai subakut, ada fokus infeksi, didapatkan kontak person.
2. Gejala klinis : tanda-tanda tersebut di atas
3. Pemeriksaan tambahan :
- Pemeriksaan laboratorium rutin
- Tuberkulin skin test.
- Pemeriksaan sputum dan kultur sputum.
- Funduskopi.
- Pemeriksan radiologik : X-foto Thoraks.
- Pemeriksaan liquor serebro spinalis
Pemeriksaan liquor rutin : tekanan meningkat, jumlah sel meningkat
terutama sel mononuklear, kadar protein meningkat, kadar glukosa

menurun.
Pemeriksaan dengan :
Smear : pengecatan Ziehl Nielsen/TTH bahan diambil dari pellicle.
Penentuan TBSA = Tuberculo stearic acid di dalam liquor.
Kultur.
Pemeriksaan liquor dilakukan 10 hari sekali sampai sel 30/3 dan
dipulangkan bila dua kali pemeriksaan jumlah sel tetap 30/3 atau
kurang.
Jangan melakukan punksi lumbal pada penderita dengan kesadaran
menurun, lebih baik dilakukan pemeriksaan CT scan terlebih dahulu.

CT Scan Kepala + Kontras/ MRI kepala, dikerjakan sebelum pelaksanaan


punksi lumbal.

DIAGNOSIS BANDING
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Meningoensefalitis oleh karena virus.


Partially treated bacterial meningitis
Meningitis pyogen oleh karena organisme yang tidak lazim
Meningitis oleh karena jamur
Abses otak dan /atau radang bernanah pada meningeal
Sarkoidosis SSP.

PENYULIT
1. Hidrosephalus.

2.
3.
4.
5.
6.

Kelumpuhan saraf otak.


Iskemia dan infark pada otak, myelum
Blokade di myelum dengan kerusakan di myelum dan akar saraf.
Ensephalopati tuberkulosa.
SIADH (Syndroma Inappropriate Anti Diuretic Hormon).

PENATALAKSANAAN TERAPI
1. Umum
2. Khusus
a. Tergantung dari :
1) Umur
2) Penyebab
3) Penyulit
b. Terutama pada peningkatan tekanan intrakranial yang meningkat yaitu :
- Perubahan pada retina.
- Respons pupil.
- Kenaikan tekanan darah yang disertai dengan bradikardia.
- Tanda-tanda defisit neurologis fokal dan/atau tanda lateralisasi.
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan CT scan, bila didapatkan tanda-tanda
tersebut (ad 4).

c. Obat-obat Tuberkulostatik :
Digunakan quadriple drug yaitu INH, Rifampicine, Pyrazinamide per oral
dan streptomycine sulfat intramuskuler.
Bila terdapat kelainan faal hepar digunakan INH, Streptomycine,
Ethambutol (15 mg/ kgBB).
d. Pemberian kortikosteroid :
Kortikosteroid diberikan bila :
-

Penderita dalam keadaan syok-renjatan.


Penderita dengan peningkatan tekanan intrakranial.
Ada tanda-tanda arachnoiditis.
Timbul tanda-tanda fokal yang progresip di hemisfer, batang otak,
myelum atau akar saraf.

Tabel obat-obat tuberkulostatik


Obat
INH

Dosis

Dosis

Anak :

Maksimal
Anak :

10 20 mg/kgBB/hr

50 mg/hr

Interval

ESO

Pemberian
24 jam

Hepatotoksik
Neuropati

per os

Rifampicine

perifer Reaksi

Dewasa :

Dewasa :

hematogen

5 10 mg/kgBB/hr

400 mg/hari

Alergi

per os
Anak :

600 mg/hr

24 jam

Hepatotoksik

2 gr/hr p.o

6 8 jam

Hepatotoksik

10 15 mg/kgBB/hr
p.o
Dewasa :
15 20 mg/kgBB/hr
Pyrazinamide

p.o
Anak :
15 30 mg/kgBB/hr
p.o
Dewasa :
30 35 mg/kgBB/hr
p.o

Hiperurisemia

Streptomycine Anak :
sulfat

1 gr/hr i.m

12 24 jam

Alergi

20 40 mg/kg/hr
Dewasa :

Dewasa :

15 mg/kg/hr i.m

Gangguan
Vestibuler

Lama pemberian obat-obat ini :

Pada penderita yang masuk pada stadium I dan II diberikan selama 9-12

bulan.
Pada penderita yang masuk pada stadium III pengobatan diberikan selama 12 -

18 bulan.
Pada penderita dengan tuberkuloma pengobatan diberikan selama 24 bulan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Berger JR: Clinical Approach to Stupor and Coma. In Bradley WG, et al :
Neurology in Clinical Practice. Principles of Diagnosis and Management 21
edition. Boston, Butterworth-Heinemann, 1996: 39-60.
2. Bharuca NE : Infectious of the nervous system. In Bradley WG, Daroff RB,
Fenichel GM, et al: Neurology in clinical practise Volume II. Boston,
Butterworth-Heineman, 1996:1181-1243
3. Chandra B. : Meningitis purulenta dalani Neurologi Klinik, Surabaya, PT.Bina
Indra Karya, 1987:114.
4. Davis LE : Acute Bacterial Meningitis. In Johnson RT, et al. Current therapy
in neurologic disease 5th edition. St. Louis; Mosby-year book, Inc ; 1997:120127
5. French G.L, Chan CY, Cheung S.H et al: Diagnosis of tuberculosa Meningitis
by detection of tuberculos-tearic acid in cerebro spinal fluid. Lancet, 1987:
117 - 119.
6. Karen L. Roos : Meningitis, New York, Oxford University Press, Inc, 1996
7. Vascon R.E, Wilkowski CL Tuberculous menigitis. Mayo clinic Proc. 62,1987;
1 29-1136.
8. Verma A: Infections of the nervous system. In Bradley W.G, et all : Neurology
in Clinical Practice Vol. II. Philadelphia, Butterworth Heinemann; 2004: 14731513
9. Zuger A, Lowy FD : Tuberculosis of the brain, meninges and spinal cord. In
Rom WN, Garay S : Tuberculosis. Boston, Little Brown & Company, 1996:
541-565.

V. EPILEPSI
Margono Imam Sjahrir, dr, Sp.S(K).
J. Ekowahono It, dr, M.Kes, SpS.
Kurnia Kusumastuti, dr, Sp.S.
Mudjiani Basuki, dr, Sp.S.

1. KEJANG STATUS

(Generalized tonic clonic status)


BATASAN
Suatu keadaan yang ditandai dengan serangan kejang yang berlangsung
lebih dari 5 menit atau berulang kali sedemikian rupa sehingga di antara dua
serangan kejang tetap tidak sadar.
PATOFISIOLOGI
Terjadi ledakan lepas muatan listrik dengan frekwensi tinggi dan
sekelompok sel saraf yang disebabkan ketidak seimbangan glutamat dengan
GABA dengan didahului pergeseran depolarisasi terus menerus dan potensial
membran dan ketidak seimbangan kelompok sel saraf perangsang dan
penghambat.
GEJALA KLINIS
Kejang umum tonik klonik yang berulang sedemikian rupa, sehingga
penderita tidak kembali ke tingkat kesadaran normal di antara dua kejang.
DIAGNOSIS
1. Anamnesis: ditujukan terutama untuk mencari penyebab yang mendasari.
2. Pemeriksaan fisik : sesuai dengan gejala klinis dan penyebabnya.
3. Pemeriksaan tambahan :
Darah : kimia darah, hematologi, dan kadar obat-obat anti epileptik di

dalam darah, gas darah.


EEG harus dikerjakan untuk waktu rekaman lebih dari 30 menit.
EKG

PENYEBAB
Banyak penyebab antara lain :

1.
2.
3.
4.
5.

Penghentian obat antikonvulsan secara mendadak.


Intoksikasi, gangguan keseimbangan elektrolit
Infeksi, trauma, tumor.
GPDO
Hipoglikemi

PENYULIT
1.
2.
3.
4.
5.

Kegagalan jantung
Fraktur
Edema serebri
Aspirasi pneumonia
Kegagalan ginjal mendadak (myoglobinunia)

PENATALAKSANAAN TERAPI :
PROSEDUR
Nilai fungsi kardiorespiratori, bila telah jelas kejang tonik klonik. Bila
meragukan, observasi dahulu serangan kejang tonik-kloniknya dan dilihat apakah
ada gangguan kesadaran pada akhir serangan.
Bebaskan jalan napas dan berikan Oz, bila perlu pasanglah infus dan ambil
darah vena untuk pemeriksaan : darah lengkap, BUN, elektrolit.
Periksa pula darah arteri untuk pH, PO2, PCO2, HCO3. Monitor
pernapasan, tekanan darah, dan EKG bila mungkin juga EEG.
Berikan infus dengan cairan NaCl, yang mengandung vitamin B kompleks
dan berikan pula bolus 50 cc 40% glukosa.

TAHAP PRODROMAL
Diazepam 10 mg IV (diberikan 2 - 5 mnt) atau per rektal, diulang 1x setelah 15
mnt, jika status masih berlangsung diberikan Lorazepam 4 mg IV bolus

Jika kejang masih berlangsung terus / berkembang menjadi status

TAHAP AWAL STATUS KEJANG


Diazepam drip 100 mg dalam 500 cc D 5%, sampai kadar dlm serum 0.2 - 0.8 mg
ditingkatkan sampai kejang berhenti atau terjadi tanda-tanda depresi pernapasan
Lorazepam 4 mg IV bolus (jika tidak diberikan awal)

Jika status masih berlangsung 30mnt

TAHAP MENETAP
Phenobarbital IV infus 10 mg/kg dg rata-rata 100mg/menit
(Penderita dirawat di ICU)
Atau
Phenytoin IV infuse 15mg/kg dg rata-rata 50 mg/mnt
Atau
Fosphenytoin IV infuse 15mg PE/kg dg rata-rata 100mg PE/min
Bila tidak tersedia dapat diberikan:
Diazepam pump dosis 100 mg diberikan dengan kecepatan mulai 0,5 cc/jam
ditingkatkan sampai kejang berhenti atau terjadi tanda-tanda depresi pernapasan

TAHAP STATUS EPILEPTIKUS REFRAKTORI


(Di Ruang ICU)
Anestesi umum
Propofol 2mg/kg IV bolus, diulang bila perlu dan kemudian diikuti infus terus
menerus 5-10mg/kg/jam, penurunan 1- 3 mg/kg/jam.
Bila status epileptikus telah terkontrol dalam 12 jam dosis obat bisa diturunkan
pelan-pelan selama 12 jam

ATA U
Thiopental : 100 - 250mg IV bolus diberikan selama lebih 20 mnt dan selanjutnya
diberikan bolus setiap 2 - 3 mnt sampai kejang terkontrol
DAFTAR PUSTAKA
1. Antonio V, Escueta D, TreimanflM. The Emergency Treatment of Status
Epilepticus. In Johnson RT ed. Current Therapy in Neurologic Disease.
Philadelphia; B.C. Decker mc,1985 51- 60.
2. Don H. Decision Making in Critical care. Philadelphia, B.C. Decker Inc 1985:
8-9.
3. Shorvon SD, Handbook of Epilepsy Treatment. London, Blackwell Science
2000:173 194
4. Treinian DM. Status Epilepticus. In Johnson RT ed. Current Therapy in
Neurologic Disease-2. Philadelphia; B.C. Decker mc,1985 : 38-42.

Anda mungkin juga menyukai