Anda di halaman 1dari 42

JOURNAL READING

Rolly Riksanto B, S.Ked


Muliana Hijrah, S.Ked
Ida Wahyuni, S.Ked
KASUS

Seorang wanita (74 tahun), tinggal di Londrina, dibawa ke IGD dari kota tetangga
Joinville dengan keluhan mual, muntah, diare, dan sakit perut dengan evolusi 24 jam, sedang
dirawat dan diberikan pengobatan simptomatik. Pasien berkembang dengan penurunan
kesadaran, oligoanuria, hipotensi, akral dingin, dan bintik ekimosis generalized. Pasien
kemudian dibawa ke IGD (hari 0) di Joinville, pada 2019. Keluarga pasien melaporkan
pasien hanya memiliki hipertensi arteri sistemik, dikompensasikan dengan monoterapi.
Pasien menggunakan lorasartan dan omeprazole. Keluarga pasien menyangkal diabetes,
alkoholisme, atau komordibitas lainnya yang diketahui. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan
GCS 3, dengan tekanan darah yang inaudible, takikardi dan takipneu, dan tanda perfusi
perifer yang buruk. Penggantian volume yang agresif, pemantauan hemodinamik, inisiasi
obat vasoaktif dan intubasi orotrakeal, dukungan ventilasi invasif, dan isolasi pernapasan
dilakukan.
KASUS

Tes laboratorium menunjukkan: hitung darah lengkap, WBC 30.9×10^9/Μl (promielosit


1%, mielosit 2%, metamielosit 10%, bands 40%, segmented 39%, eosinofil 0%, limfosit 5%
and monosit 3%). RBC 3.98×1012/μL, hemoglobin 11.7 g/dL, hematocrit 37.4% dan
trombosit 56.3×109/μL. Albumin 1.6 g/dL (Normal Range NR, 3.5–5.0 g/dL), kreatinin 2.29
(NN, 0.52–1.04 mg/dL), kalium 3.3 (NN, 3, 5–5.1 mmol/L), CRP 19.2 (NN,<1.0 mg/dL),
lactat 11.6 (NN, 0.5–2.2 mmol/L), PT/international normatizated ratio (INR) 4.22 (NN, 1.00-
1.20), APTT 3.94 (NN,>1.30 detik). AGD: pH 6.98 (NN, 7.35-7.45); pO2 92.0 (NN, 83.0–
108.0 mmHg), pCO2 32.0 (NN, 35.0–48.0 mmHg); HCO3 7.50 (NN, 18.0–23.0 mmol/L);
TCO2 8.50 (NN, 22.00–29.00 mmol/L); BE 23.10 (NN, 2.00–3.00 mmol/L) and SO2 91.0%
(NN, 95–98%). Pemeriksaan cairan serebrospinal didapatkan keruh, berwarna kuning, tidak
ada bekuan darah, dengan hitung 10.9×109/μL (PMN 85%, limfomononuklear 15%), RBC
8.16×10^9/μL, glukosa 29 mg/dL, total protein 389 mg/dL, Cl 109 mEq/L, LDH 388 U/L.
VDRL and BAAR were negative.
KASUS

Skrining dan bakterioskopi menunjukkan banyak neutrofil dan beberapa diplokokus


gram negatif. Investigasi dari cryptococcus dengan China menunjukkan encapsulated yeast,
dan infeksi jamur oleh Cryptococcus neoformans dikonfirmasi dengan penelitian antigen
kriptokokus dengan aglutinasi lateks tes, namun hanya dilakukan pada CSF. Tes serologi
untuk hepatitis B and C, HIV, CMV dan sifilis negatif (hari ke-1). Urin dan kultur darah
menunjukkan tidak ada pertumbuhan bakteri. Pengujian molekuler genogroup (qPCR) untuk
Neisseria meningitidis mendeteksi genogroup C dalam CSF dan sampel serum (hari ke-3).
Setelah masuk (hari 0), ceftriaxone (2g per 12 jam), clindamycin (600mg per 12 jam) and
dexametason dimulai. Setelah identifikasi infeksi fungal, liposomal amphotericin B (600mg
per hari), fluconazole (400mg per hari) juga dimulai. Pasien berkembang (hari ke-2) dengan
syok septik refrakter, DIC, dan instabilitas hemodinamik progresif, tanpa tanpa respons
terhadap terapi yang diberikan. Dialisis darurat dicoba tanpa respons klinis. Pasien
berevolusi menjadi disfungsi multi organ dan meninggal dalam waktu kurang dari 48 jam.
KASUS

Didiagnosis dengan matrix-assisted laser desorption ionization–time of flight mass


spectrometry (MALDI-TOF MS)-based identification. Pasien mulai diberikan intravenous
meropenem, metronidazole and linezolid. Metronidazol diganti dengan cotrimoxazole
diikuti dengan hal kultur. Meskipun diberiman pengobatan anti-microbial, tanda klinis
umum pasien tidak mengalami perbaikan. Pasien memiliki resiko penyebaran yang tinggi,
resisten antibiotik dan infeksi paru multiple. Pasien meninggal pada saat rawat inap hari
ke-22.
DISKUSI

Nocardia brain abscess adalah infeksi opoturnistik yang biasanya terjadi pada pasien
dengan immunosupresi. Faktor resiko yang paling sering dari infeksi Nocardia adalah
penggunaan kortikosteroid, malignansi, dan penyakit paru yang terlokalisir. Ini jarang
menyebabkan abses serebral, sekitar 2% atau 30-50 kasus/tahun.
Nocardia cyriacigeorgica adalah spesies yang baru-baru ini dideskripsikan dan sangat
jarang dilaporkan menjadi penyebab penyakit pada manusia. Hanya ada 4 kasus yang
dilaporkan mengenai abses serebral yang disebabkan oleh Nocardia cyriacigeorgica.
BRAIN ABSCESS ASSOCIATED WITH
POLYMICROBIAL INFECTION AFTER
INTRAORAL LACERATION: A PEDIATRIC
CASE REPORT
KASUS

Seorang anak perempuan (9 tahun) dengan congenital cyanotic heart disease (CCHD),
Katarak kongenital, scoliosis, dan retardasi mental datang dengan demam, mual, dan
muntah selama 2 hari. 3 hari setelah onset gejala, dia mengalami hemiparese. Dia pernah
jatuh saat sedang menaruh recorder dalam mulutnya dan menderita intaoral trauma 14 hari
sebelum masuk rumah sakit. Sebelumnya telah terdiagnosis complex CCHD, termasuk
atrioventricular septal defect, hypoplastic left ventricle, Koarcatkasio Aorta, dan PDA. Dia
telah melakukan pulmonary artery banding dan ligasi PDA pada saat berumur 1 bulan dan
bidirectional Glenn operation pada saat berumur 4 tahun.
Pemfis: sadar namun tampak mengantuk dengan pupil simetris dan isokor, hypotonia
ringan, refleks perenggangan otot yang cepat, extensor plantar response pada bagian kanan.
KASUS

  Pemeriksaan neurologis: tidak ada meningeal sign. TTV: T (38,7 C), BP (86/52 mmHg),
HR (84x/menit), RR (20x/menit), Saturasi O2 (72% dengan O2 2L/menit via nasal canula).
Auskutasi: grade 3/6 systolic ejection murmur, yang jelas terdengar pada bagian kiri atas
garis sternum tanpa radiasi lain.

Pemerikaasn Lab: WBC (8200/uL) dengan neutrofil 67,6%, Hb (16,9%), dan platelet
(19,4x/uL). Inflammatory biomarker mengalami sedikit kenaikan: C-reactive protein (0.84
mg/dL), procalcitonin (0.07 ng/mL) dan lactate dehydrogenase (267 U/L).blood culture:
negatif. transthoracic echocardiography : tidak dapat mengidentifikasi valvular regurgitasi
baru atau yang progresif, ukuran dan lokasi vegetasi, dan abses intracardiac.

CT-Scan: ring-enhanced lesion (15 mm × 10 mm) dengan perilesi edema pada posterior
limb dari kapsul internal dari cerebral hemisphere kiri dengan midline shift.
KASUS
MRI: ring-enhancing lesion (15 mm × 10 mm) dengan edema dan mass effect yang
berdekatan dengan jumlah yang banyak.
Telah mejalani emergency drainage under craniotomy, dan terdapat 1 mL purulent
material yang teraspirasi. Berdasarkan temuan klinis dan pencitraan, diagnosis: Brain
abscess dan diberikan meropenem and vancomycin secara simultan sebagai antibiotik
empirik.
S. intermedius, P. micra, and F. Nucleatum, terisolasi dari abses. Echo scan dari V.
Jugularis interna dan Jantung tidak menunjukkan adanya trombosis. Pada hari ke 26,
meropenem diganti dengan ceftriakson. Glycerol dan Kampo medechine goreisan
digunakan untuk memperbaiki edema.
Pada hari berikutnya, hemiplegia kanan membaik menuju baseline dan pasien boleh
pulang setelah minggu ke delapan pemberian antibiotik IV ( 3 minggu meropenem dan 5
minggu Ceftrakson)
DISKUSI

• Pada kasus, sulit mendiagnosis abses otak dikarenakan gejala yang didapatkan tidak
spesifik, terutama pada anak-anak dengan developmental delay.
• Cyanotic heart disease mendasari 12,8%-69,4% dari semua kasus dengan abses otak pada
pasien, kejadian tertinggi terjadi pada anak-anak.
• CCHD juga dilaporkan menjadi penyebab tersering abses otak pada anak
• Penyakit jantung menjadi etiologi yang mendasari penyebaran bakteri secara
hematogenous
• Keberhasilan management abses otak biasanya memerlukan kombinasi terapi
pembedahan dan antibiotik.
A FIRST CASE OF MENINGITIS/ENCHEPALITIS
ASSOCIATED WITH SARS-CORONA VIRUS-
KASUS

Pria 24 tahun. Tidak pernah pergi ke luar negeri. Mengeluhkan sakit kepala, kelelahan
umum, dan demam pada Februari 2020. pada hari kedua, pasien konsultasi pada seorang
dokter di dekatnya. disana, ia diresepkan Laninamivir dan antipiretik, agen penyebab
influenza tidak terdeteksi pada diagnostic test. 3 hari kemudian, pasien mengunjungi klinik
lain dikarenakan terjadi perburukan pada gejala yang telah ia alami, nyeri kepala dan nyeri
tenggorokan. Pasien melakukan Chest X-ray dan pemeriksaan darah dan menunjukkan hasil
negatif. Pada hari ke-9, ia ditemukan tergeletak di lantai dengan gangguan kesadaran.
Selama emergency transport, pasien mengalami generalized seizures sekitar 1 menit.
Saat sampai di RS, GCS: 6 (E4 V1 M1) dengan stabilitas hemodinamik. Terdapat
kekakuan leher yang jelas.
KASUS
  Pemeriksaan Lab: Peningkatan WBC, neutrofil dominan, limfosit relatif menurun, dan
kenaikan –reactives protein. CT-scan: tidak ada brain edema. Chest CT: small group ground
glass opacity (ggo) pada lobus superior paru kanan dan kedua lobus inferior. Pemeriksaaan
punksi lumbal: jernih, tidak berwarna dan tekanan awal >320 mmO. CSF count: 12/uL-10
mononuclear dan 2 PMN tanpa eritrosit. Anti-HSV 1 dan varicella-zoster IgM tidak
terdeteksi pada serum sampel. RT-PCR test SARS-CoV-2: nasopharyngeal swab (negatif)
dan CSF (positif).
Selama emergency treatment, endotracheal intubation dan ventilasi mekanik diperlukan
dikarenakan multiple epileptic seizures. Ditransfer ke ICU dengan diagnosis meningitis dan
viral pneumonia.
Setelah masuk ICU, diberikan intravenous (IV) ceftriaxone, vancomycin, aciclovir dan
steroid. Diberikan juga intravenous (IV) Levetiraceta
KASUS

Favipiravir diberikan melalui nasogastric tube selama 10 hari semenjak hari ke 2. DWI:
hiperintensitas sepanjang dinding inferior horn ventrikel lateral kanan. FLAIR images:
hyperintense signal berubah pada right mesial temporal lobe dan hippocampus dengan
atrofi ringan hippocampalis. Contrast-enhanced imaging: tidak terdapat peningkatan dural
yang pasti. Temuan inj mengindikasikan ventrikulitis lateral kanan dan ensefalitisterutama
pada right mesial lobe dan hippocampus. T2-weighted image: pan-paranasal sinusitis.
pada hari ke-15, dilanjutkan pengobatan bakterial pneumonia dan gangguan kesadar
yang menyebabkan ensefalitis terkait dengan SARS-CoV-2 di ICU
DISKUSI

• Penelitian melaporkan urutan genome terdeteksi di otak pada semua autopsi SARS-Cov
dengan real-time RT-PCR, terutama di area hippocampus
• Pada penelitian terbaru mengklaim bahwa urutan genom SARS-Cov dan SARS-Cov-2
mirip
• ACE2 yang berperan sebagai reseptor SARS-Cov dan SARS-Cov-2 mungkin yang
mendasari virus ini menginveksi tempat yang sama pada otak manusia
KASUS

Seorang wanita 65 tahun dengan riwayat karsinoma sel ginjal kiri pasca nefrektomi parsial pada tahun 2018,
adenoma hipofisis dengan status akromegali pasca reseksi parsial pada tahun 1993 (pada terapi penggantian
prednison kronis), karsinoid paru , meningioma dan riwayat emboli paru pada apixaban. Dia datang dari
fasilitas luar dengan 2 minggu diare, mialgia, dan kelelahan ekstrim dan dengan 3 hari ptosis kelopak mata kiri.
Dia dinyatakan positif COVID-19 melalui pengujian nasofaring RT-PCR dan ditemukan sebelumnya pernah
terpapar dengan anggota keluarga yang positif COVID-19. Dia menyangkal adanya dispnea, disfagia, kelelahan
mengunyah atau kelemahan proksimal.

Pada pemeriksaan, dia mengalami ptosis mata kiri yang kelelahan dan diplopia dengan pandangan vertikal ke
atas setelah 20 detik. Dia juga memiliki kelemahan penutupan mata ringan. Dia melaporkan kelelahan umum
tetapi tidak ada kelemahan fokal pada pemeriksaan neurologis. Dia memiliki kekuatan normal dan refleks
normal. Skor komposit MG adalah 4 (3 untuk ptosis dan 1 untuk kelemahan penutupan mata).
KASUS

Pekerjaan laboratorium yang ekstensif menunjukkan peningkatan penanda inflamasi, termasuk IL-6 pada 3 pg / ml, CRP
serum 88,4 mg, feritin serum 966 ng/ml, serum fibrinogen 546 mg /dl, dan D-dimer 521 ng/ml.
Acetylcholine receptor (AchR)-binding antibody (Ab) positif dengan titer tinggi 7,39 nmol / L (normal <0,02 nmol / l),
striational Ab positif dengan titer tinggi 1: 960 (normal <1: 120), dan AchR modulasi Ab 78% (0-20% dilaporkan sebagai
persentase kehilangan AChR normal) bersama dengan anti-MuSK Ab negatif.
EMG dilakukan pada hari ke 2 rawat inap dan konsisten dengan defisit transmisi neuromuskuler dengan respon penurunan
pada tes stimulasi saraf berulang dari orbicularis okuli kiri lebih dari 10% (terlihat pada putaran keempat). Ice-pack test
positif.
CT thoraks : tidak menunjukkan infiltrat paru dan negatif untuk timoma.
MRI : normal pada orbit menyingkirkan etiologi infiltratif, dan MRI otak biasa-biasa saja.
Panel paraneoplastik negatif dan termasuk antibodi terhadap saluran kalsium tipe P / Q dan saluran kalsium tipe N.
KASUS

Berdasarkan kombinasi temuan dari riwayat, pemeriksaan laboratorium dan tes elektrodiagnostik, dia didiagnosis dengan
miastenia gravis okular seropositif.
Skor komposit MG untuk masuk pertama adalah 3 (2 untuk ptosis dan 1 untuk kelemahan penutupan mata). Skor komposit
MG saat masuk kedua adalah 0.
Pasien mulai menggunakan pyridostigmine 60 mg setiap 6 jam pada hari ketiga masuk dan dia melaporkan perbaikan
subyektif dalam diplopia dan ptosis pada hari ke 4 masuk. Namun, dia masih positif COVID-19 saat ini. Dia dipulangkan
dengan pyridostigmine 60 mg q 6 jam sebagai pengobatan di rumah dan dengan rekomendasi untuk karantina di rumah dan
tindak lanjut di klinik neuromuskuler dalam 6 minggu.
KASUS
Beberapa hari setelah dipulangkan, pasien mengeluh mual dan diare serta kehilangan rasa dan penciuman,
mungkin karena infeksi COVID-19. Akhirnya, dia dipindahkan dari rumah sakit luar karena syok septik dan
telah menerima ceftriaxone dan azithro- mycin. Dia secara konsisten membutuhkan 4 L oksigen karena
gangguan pernapasan dan menerima 1 unit plasma pemulihan pada hari ke-4 setelah masuk kedua. Konsultasi
Neurologi dilakukan dengan kekhawatiran memburuknya miastenia atau reaksi merugikan terhadap
piridostigmin karena gejala gastrointestinal dan gangguan pernapasannya. Namun, tidak adanya diare selama
rawat inap pertamanya di rumah sakit ketika dia mulai menggunakan piridostigmin bersama dengan temuan
baru pada foto rontgen dadanya tentang opasitas di dasar paru-paru kiri dan konsolidasi sentral di pinggiran
paru kanan, lebih mengarah ke COVID-19 gejala terkait dibandingkan karena MG. Dia ditempatkan dalam
posisi tengkurap selama 1 jam selama 4 hari, mulai dengan deksametason IV 6 mg dan akhirnya menerima 4
dosis deksametason IV. Dosis piridostigminnya dikurangi menjadi 60 mg q 8 jam. Dia terus mengalami ptosis
ringan tetapi tidak ada diplopia atau kelemahan yang melelahkan.

Dia akhirnya disapih ke ruang udara pada hari ke 10 masuk dan tidak lagi mengalami sesak napas atau batuk.
Dia mengalami beberapa episode bradikardia sinus asimtomatik dengan detak jantung mendekati 40 detik,
yang kemungkinan disebabkan oleh disautonomia yang dapat dilihat dengan COVID-19. Setelah evaluasi
ulang sebulan kemudian, dia memiliki gejala sisa COVID-19 dan MG okular.
DISKUSI

• Pasien dalam lapsus ini menderita gejala mata yang menunjukkan perbaikan dengan piridostigmin yang mengindikasikan
bahwa temuan ini adalah sekunder dari miastenia, dengan kekekalan tidak langsung dari COVID-19.
• Komplikasi neurologis dalam bentuk reaksi autoimun, seperti sindrom Guillain-Barré (GBS) dan MG, dapat dipicu oleh
infeksi virus COVID-19. Seiring dengan kecenderungan yang mendasari pasien untuk penyakit karena faktor genetik,
faktor lingkungan juga dapat berperan.
• Mekanisme yang mendasari patologi penyakit belum ditetapkan dengan jelas dan membutuhkan investigasi lebih lanjut.
• Namun, diketahui bahwa ada penurunan ketersediaan AchR di sambungan neuromuskuler postsynaptic karena kerusakan
oleh antibodi dan respon inflamasi, yang memainkan peran kunci dalam patogenesis. Antibodi yang dihasilkan oleh reaksi
inflamasi terhadap agen eksternal, seperti virus, dapat menghasilkan respons imun yang dipicu yang bereaksi silang
dengan AchR karena kemiripan molekuler yang menyebabkan kerusakan.
• COVID-19 memiliki afinitas dengan reseptor ACE-2, secara langsung menyebabkan pembentukan autoantibodi dan
menyebabkan kaskade inflamasi yang signifikan. Reseptor ACE-2 diekspresikan di berbagai organ, seperti paru-paru,
ginjal, dan hati. Hal ini menghasilkan sitokin dan kemokin proinflamasi bersama dengan penipisan sel B dan T dengan
peningkatan kadar interleukin dan TNF-a, yang berkorelasi dengan keparahan penyakit, dan peningkatan risiko serangan
autoimun reaktif silang terhadap reseptor tubuh kita sendiri. Produksi antibodi myasthenia gravis adalah proses yang
bergantung pada sel B dan memainkan peran penting dalam hilangnya toleransi diri dan disregulasi.
DISKUSI

• IL-6 adalah penanda inflamasi yang ditemukan pada COVID-19 dan MG yang dapat dikaitkan dengan
tingkat kematian yang lebih tinggi pada COVID-19. Dalam kasus kami, pasien memiliki gejala COVID-19
ringan hingga sedang berdasarkan pedoman ATS / IDSA. Respon inflamasi yang sedang berlangsung
bersamaan dengan produksi spesies oksigen reaktif yang merusak dapat menyebabkan ARDS dan fibrosis
paru jangka panjang.
• Kasus ini memiliki manifestasi neuromuskuler setelah 2 minggu gejala prodromal virus.
• Ada kemungkinan manifestasi MG pada pasien mungkin merupakan komplikasi spesifik dari infeksi
COVID-19 atau munculnya MG pasca infeksi.
• Pengobatan ditargetkan pada perbaikan gejala dengan piridostigmin dan terapi imunosupresif (kortikosteroid
dan agen hemat steroid jangka panjang) untuk mengontrol produksi antibodi dan mengurangi keparahan
penyakit.
• Perlu dicatat bahwa kesimpulan yang diambil dari satu kasus terbatas dan hanya dapat menyarankan asosiasi.
Pengamatan dari kasus lebih lanjut akan diperlukan untuk mengkonsolidasikan temuan kami.
KASUS

Seorang wanita berusia 51 tahun datang ke rumah sakit setempat dengan keluhan sesak, demam, dan muntah. Dia tidak
memiliki riwayat neurologis terkait. Dia demam, takikardia, dan hipoksia. X-ray dada menunjukkan kekeruhan luas ruang
udara yang tidak merata. SARS-CoV-2 PCR dari usap nasofaring positif. Dia diintubasi, dan dirawat dengan obat penenang.
Pada hari ke 18 rumah sakit, dia dipindahkan ke fasilitas kami karena demam yang terus-menerus dan gagal untuk
berkembang secara klinis.

Sedatif ditahan pada saat kedatangan. Pemeriksaan neurologis terkenal karena tidak responsif (GCS 3). Pupil sama dan reaktif
terhadap cahaya, respon kornea utuh, dan respon oculocephalic ke kiri terganggu. Tonus otot lembek seluruhnya, dan
ekstremitas tidak bergerak secara spontan atau ke rangsangan yang berbahaya. Refleks tendon dalam tertekan, dan respon
plantar tidak terdengar.
MRI otak yang dilakukan dengan dan tanpa kontras gadolinium pada hari ke-24 rumah sakit menunjukkan lesi hiperintens
yang tersebar pada pencitraan FLAIR pada substansia alba hemisfer dalam dan juxta-cortical. Lesi ini hiperintens pada
pencitraan berbobot difusi (DWI), dan sebagian kecil menunjukkan difusi terbatas yang halus pada koefisien difusi semu
(ADC), menunjukkan ketajaman, tetapi tidak konsisten dengan infark (Gambar 1, 2). Sebuah hiperintensitas FLAIR di materi
putih juxtacortical frontal kiri menunjukkan peningkatan ringan dengan kontras gadolinium (Gbr. 3). Ada sedikit perdarahan
intraventrikular (IVH) yang melapisi di tanduk oksipital kedua ventrikel lateral. Urutan Gradient Echo tidak menunjukkan
bukti perdarahan parenkim.
KASUS
Pungsi lumbal adalah atraumatik. Analisis CSF menunjukkan 1 sel darah putih, 2.095 sel darah merah dengan xantokromia, 62
mg / dl protein, 56 mg / dl glukosa. Kultur bakteri, kultur jamur, dan panel PCR (termasuk HSV, VZV, EBV, dan CMV) negatif.
Ada empat pita oligoklonal, hadir di serum dan CSF. SARS-CoV-2 tidak terdeteksi oleh PCR kualitatif.
Fungsi ginjal normal selama perjalanan rumah sakit. Transaminase sedikit meningkat. CT angiogram pada Kepala dan Leher
normal, tidak termasuk aneurisma yang pecah sebagai penyebab IVH. Ekokardiogram transthoracic dan tes serum untuk
antibodi ANA, ANCA, Sifilis, HIV, dan Aquaporin 4 negatif atau normal. EEG menunjukkan perlambatan difus.
Methylprednisolone 1 g IV setiap hari selama 5 hari diberikan untuk dugaan ADEM. Ujian dengan obat penenang yang
diadakan sama sekali tidak berubah. Imunoglobulin intravena (IVIG) 0,4 g / kg setiap hari diberikan selama 5 hari mulai hari
ke-31 di rumah sakit. Kewaspadaan meningkat secara bertahap dan pada hari ke-36 di rumah sakit ia mulai mengikuti perintah
sederhana. Hemipresis kiri menjadi jelas. Pada hari ke-39 di rumah sakit, dia diekstubasi dan dapat mulai berbicara, dan pada
hari ke-59 di rumah sakit, dia berorientasi penuh. MRI otak dengan dan tanpa kontras gadolinium diulangi di rumah sakit pada
hari ke 29, 38, dan 58 dengan peningkatan jumlah dan distribusi lesi FLAIR (Gbr. 1, 2) dan lesi baru yang meningkatkan frontal
kanan (Gbr. 3) .
KASUS

ADEM adalah penyakit demielinasi yang jarang, sering kali pasca-virus, dan lebih sering terlihat pada anak-anak daripada
orang dewasa. Secara klinis heterogen, umumnya menyebabkan ensefalopati dan defisit multifokal. MRI biasanya
menunjukkan hiperintensitas FLAIR dalam materi putih tua dan pada antarmuka materi abu-abu/putih. Peningkatan pasca-
kontras tidak selalu ada tetapi sering kali terjadi peningkatan tajam atau tepi. Pembatasan difusi dapat dilihat, terutama pada
awal perjalanan penyakit. Lesi ADEM bisa jadi hemoragik, tetapi etiologi dari perdarahan intraventrikular dalam kasus ini
masih belum jelas. Antikoagulasi belum digunakan, tekanan darah terkontrol dengan baik, tidak ada bukti laboratorium
koagulopati, dan dia tidak mengalami trauma.

Lokasi dan evolusi lesi pada MRI, peningkatan kontras yang jarang, pemeriksaan klinis, dan CSF semuanya konsisten dengan
kejadian demielinasi akut, dan situasi klinis dalam kasus ini, berminggu-minggu setelah infeksi virus akut, menguntungkan
untuk perkembangan ADEM. ADEM telah dilaporkan pada seorang anak setelah infeksi virus corona. Karena semakin banyak
pasien mencapai minggu-minggu setelah infeksi awal COVID-19, ADEM harus dianggap sebagai penyebab ensefalopati berat
atau defisit neurologis multifokal yang berpotensi dapat diobati.
KASUS

Seorang pria 74 tahun dengan riwayat medis sebelumnya dari fibrilasi atrium, stroke kardioemboli, penyakit parkinson,
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), dan selulitis baru-baru ini dibawa ke unit gawat darurat dengan keluhan utama
demam dan batuk. Pasien menjalani pemeriksaan lengkap, termasuk laboratorium rutin dan rontgen dada, yang tidak
mengungkapkan. Pasien dipulangkan ke rumah dengan kecurigaan bahwa ini adalah eksaserbasi COPD-nya. Pasien pulang
dengan antibiotik oral. Pasien kembali ke ruang gawat darurat (IGD) dalam waktu 24 jam dengan gejala yang memburuk,
termasuk sakit kepala, perubahan status mental, demam, dan batuk.
Pasien tersebut berasal dari Belanda dan dibawa ke rumah sakit kami tujuh hari setelah tiba di Amerika Serikat. Pasien
dirawat di rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut. Semua tindakan perlindungan dan tindakan pencegahan untuk
dugaan infeksi COVID-19 telah diambil. Pasien ditempatkan di ruang isolasi. X-ray dada berulang menunjukkan efusi
pleura kanan kecil dengan kekeruhan ground glass bilateral (lihat Gambar 1). CT dada menunjukkan konsolidasi bibasilar
yang tidak merata dan kekeruhan subpleural. Baik sputum tenggorokan dan kultur nasofaring negatif untuk strep. Kultur
darah negatif, dan analisis urin negatif. Tes influenza A dan B negatif.
KASUS

Karena perubahan status mental yang parah, neurologi dikonsultasikan. Setelah pemeriksaan, pasien ditemukan
encephalopathic, nonverbal, dan tidak dapat mengikuti perintah apapun; Namun, dia mampu menggerakkan semua
ekstremitasnya dan bereaksi terhadap rangsangan berbahaya. Tidak ada kekakuan nuchal yang ditemukan. CT scan kepala
dan EEG dipesan segera. CT scan kepala tidak menunjukkan kelainan akut. Terdapat area encephalomalacia di regio
temporal kiri, konsisten dengan riwayat stroke emboli sebelumnya (lihat Gambar 2). EEG menunjukkan perlambatan
bilateral dan perlambatan fokus di daerah temporal kiri dengan gelombang yang berlawanan tajam (lihat Gambar 3).
KASUS

Pasien memulai pengobatan antiepilepsi sebagai profilaksis mengingat kemungkinan kejang subklinis pada pasien ini
dengan area encephalomalacia dan pelepasan epileptiform di wilayah temporal kanan. Pasien diobati secara empiris
dengan vankomisin, meropenem, dan asiklovir. Pungsi lumbal tidak menunjukkan bukti adanya infeksi sistem saraf pusat.
Karena perkembangannya dalam simtomatologi, dia kemudian diuji untuk COVID-19 dan ternyata positif. Pasien
mengalami gagal napas dan membutuhkan intubasi dan dipindahkan ke ICU. Berdasarkan pengalaman anekdot dari pusat
kesehatan lain, pasien mulai menggunakan hydroxychloroquine dan lopinavir / ritonavir, dan dilanjutkan dengan
antibiotik spektrum luas. Pasien saat ini tetap di ICU, sakit kritis dengan prognosis buruk.
DISKUSI

• Bukti saat ini menunjukkan bahwa pasien COVID-19 umumnya memiliki gejala neurologis yang dimanifestasikan
sebagai stroke akut (6%), gangguan kesadaran (15%), dan cedera otot rangka (19%).
• Pasien lansia dengan kondisi kronis berada pada peningkatan risiko status mental yang berubah dalam pengaturan infeksi
akut. Karena COVID-19 mempengaruhi lebih banyak orang tua dan orang-orang dengan kondisi yang sudah ada
sebelumnya, pasien dengan kondisi neurologis sebelumnya dan gejala pernapasan akut berada pada peningkatan risiko
ensefalopati pada presentasi awal.
• Pemeriksaan cairan serebrospinal pada pasien ini normal; oleh karena itu, COVID-19 tidak melewati sawar darah-otak
dan tidak menyebabkan meningitis atau ensefalitis.
• Kasus ini menyoroti pentingnya mengidentifikasi ensefalopati sebagai tanda presentasi COVID-19.
• Pasien dengan tes COVID-19 positif dengan ciri umum batuk, demam, dan sesak napas dapat datang ke UGD dengan
ensefalopati, atau dapat mengembangkan ensefalopati selama mereka dirawat di rumah sakit.
• Ahli neurologis harus tahu bahwa hal ini mungkin terjadi dalam keadaan akut.
THANK YOU

Anda mungkin juga menyukai