Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

AFASIA

OLEH
MULIANA HIJRAH

PEMBIMBING
dr. Nurusyariah Hammado, Sp.N, M.AppSci, M.NeuroSci

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2020

i
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Muliana Hijrah, S.Ked

NIM : 105505405319

Judul Referat : Afasia

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu

Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Oktober 2020

Pembimbing

dr. Nurusyariah Hammado, Sp.N, M.AppSci, M.NeuroSci

i
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN......................................................................................i

DAFTAR ISI….......................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................…...2

A. DEFINISI.....................................................................................................2

B. EPIDEMIOLOGI.........................................................................................2

C. ETIOLOGI...................................................................................................3

D. PATOFISIOLOGI.......................................................................................3

E. MANIFESTASI KLINIS.............................................................................5

F. KLASIFIKASI.............................................................................................6

G. DIAGNOSIS..............................................................................................10

H. DIAGNOSIS BANDING...........................................................................15

I. PENATALAKSANAAN...........................................................................16

J. PROGNOSIS..............................................................................................19

BAB III KESIMPULAN ......................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA …........................................................................................21

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Bahasa, bersama dengan bicara (speech), dan pemikiran (thoughts),


merupakan komponen utama dalam pembentukan proses berkomunikasi.
Pemikiran merupakan bagian dari aspek bahasa dan bergantung pada fungsi
bahasa, namun bahasa dapat berdiri sendiri tanpa adanya pemikiran.(1)
Afasia merupakan gangguan fungsi bahasa, yang mempengaruhi produksi
atau pemahaman ucapan dan kemampuan membaca atau menulis. Afasia selalu
disebabkan oleh kerusakan otak biasanya akibat stroke, terutama pada orang yang
lebih tua. Namun kerusakan otak yang menyebabkan afasia juga dapat timbul dari
trauma kepala, tumor otak, atau infeksi.(2)
Afasia memberikan dampak pada berbagai aspek kehidupan. Terutama
pada kesejahteraan pasien, kemandirian, partisipasi sosial, dan kualitas hidup
penderita. Dampak ini muncul diakibatkan komunikasi yang tidak adekuat antara
penderita dan lingkungan. Kemampuan fungsional yang rendah pada penderita
afasia dapat terjadi karena penderita tidak mampu mengungkapkan apa yang
penderita inginkan, tidak mampu menjawab pertanyaan atau berpartisipasi dalam
percakapan. Ketidakmampuan ini menyebabkan penderita menjadi frustasi,
marah, kehilangan harga diri, dan emosi penderita menjadi labil yang pada
akhirnya dapat menyebabkan penderita menjadi depresi.(3)

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI
Afasia adalah gangguan neurologis dalam berbahasa yang didapat akibat
kerusakan pada otak, biasanya di hemisfer kiri. Afasia meliputi kesulitan dalam
mengekspresikan diri ketika berbicara, kesulitan memahami pembicaraan,
kesulitan dalam membaca dan menulis.(4,5) Afasia bukanlah penyakit, melainkan
gejala kerusakan otak. Meskipun banyak ditemukan pada individu yang menderita
stroke, afasia juga dapat disebabkan oleh tumor otak, infeksi, peradangan, trauma
kepala, atau demensia yang memengaruhi daerah otak yang berhubungan dengan
bahasa.(5)

B. EPIDEMIOLOGI
Insidens afasia menurut National Institute on Deafness and Other
Communication Disorders (NIDCD) tahun 2015 terdapat 180.000 kasus baru per
tahun di Amerika Serikat.(6) National Institute of Neurological Disorders and
Stroke (NINDS) tahun 2015 menyatakan penderita afasia di Amerika Serikat
mencapai 1 juta orang, atau satu dari 250 warga negara Amerika Serikat
mengalami afasia. Sebanyak 15% di antara nya berusia <65 tahun dan 43%
berusia >85 tahun. Tidak terdapat perbedaan bermakna antar jenis kelamin dengan
afasia. Walaupun demikian, terdapat kecenderungan bahwa perempuan lebih
banyak mengalami afasia Wernicke dan global, sedangkan laki-laki lebih sering
mengalami afasia Broca.(4,5)
Studi kohort oleh Pedersen dkk di Copenhagen tahun 2004 melaporkan
prevalensi sindrom afasia pada stroke akut pertama kali yaitu, afasia global 32%,
Broca 12%, transkortikal motorik 2%, Wernicke 16%, transkortikal sensorik 7%,
konduksi 5%, dan anomik 25%. Setelah diikuti selama satu tahun, didapatkan
afasia global 7%, Broca 13%, transkortikal motorik 1%, Wernicke 5%,
transkortikal sensorik 0%, konduksi 6%, dan anomik 29%, selebihnya fungsi
bahasa kembali sempurna.(7)

2
C. ETIOLOGI
Afasia disebabkan oleh kerusakan pusat bahasa di otak. Pada kebanyakan
orang, pusat bahasa ini terletak di hemisfer kiri, tetapi afasia juga bisa terjadi
akibat kerusakan pada hemisfer kanan; ini sering disebut sebagai crossed aphasia,
untuk menunjukkan bahwa hemisfer kanan adalah bahasa yang dominan pada
individu ini.(4)

Penyebab paling sering afasia meliputi:(4)

 Stroke
o Iskemik — disebabkan oleh penyumbatan yang mengganggu aliran
darah ke bagian otak
o Hemoragik — disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah yang
merusak jaringan otak di sekitarnya
 Trauma kepala
 Tumor otak
 Bedah otak
 Infeksi otak
 Penyakit neurologis progresif (misalnya, demensia)

Stroke adalah penyebab afasia yang paling sering. Menurut National Aphasia
Association, sekitar 25% -40% penderita stroke mengalami afasia. Sekitar 35% –
40% orang dewasa yang dirawat di rumah sakit perawatan akut dengan diagnosis
stroke didiagnosis dengan afasia pada saat mereka dipulangkan.(2,4)

D. PATOFISIOLOGI
Terdapat 3 area utama pusat bahasa yaitu, area Broca, area Wernicke dan area
konduksi:
 Area Broca yang merupakan area motorik untuk berbicara. Area Broca
terletak di posterior gyrus frontal. Kerusakan area Broca menyebabkan
seserorang susah berbicara, memproduksi kata kata yang goyah dan tidak
lancar. Secara neuroanatomi, daerah ini digambarkan sebagai daerah
Brodmann 44 dan 45.

3
 Area Wernicke dimana pusat pemprosesan kata kata yang diucapkan
terletak di posterior gyrus temporal superior. Kerusakan pada area ini
menyebabkan penurunan pemahaman yang kronik Secara neuroanatomi,
daerah ini digambarkan sebagai daerah Brodmann 22.
 Area konduksi terdiri daripada fasikulus arkuata yang merupakan satu
bundel saraf yang melengkung dan menguhubungkan antara area Broca
dan area Wernicke. Kerusakan fasikulus arkuata menyebabkan: timbul
defisit unutk mengulang kata kata.
 Area Exner terletak tepat di atas area Broca dan anterior area kontrol
motor primer. Ini adalah area untuk menulis,berhampiran dengan lokasi
gerakan tangan. Kerusakan area Exner akan mengakibatkan agraphia.
Dikenali sebagai daerah Brodmann 6 secara neuroanatomi.
 Area membaca terletak di bagian media lobus oksipital kiri dan di
splenium corpus callosum. Ini adalah pusat untuk membaca. Ia menerima
impuls dari mata dan mengirimkan impuls tersebut ke daerah asosiasi
untuk dianalisa dengan, kemudian diihantarkan ke fasikulus arkuata. Lesi
pada area ini menyebabkan kebutaan kata murni. Daerah ini neuroanatomi
digambarkan sebagai daerah Brodmann 17.

Daerah Wernicke menerima input dari korteks visual di lobus oksipitalis,


suatu jalur yang penting untuk memahami tulisan dan menjelaskan benda yang
dilihat, serta dari korteks auditorius di lobus temporalis, suatu jalur yang esensial

4
untuk memahami bahasa lisan dan input dari korteks somatosensorik, suatu jalur
yang penting dalam kemampuan membaca braille. Input-input tersebut disalurkan
ke suatu daerah spesifik (gyrus angularis) korteks asosiasi parietal-temporal-
oksipital yang kemudian di teruskan ke daerah Wernicke dimana tempat
pemilihan dan rangkaian kata yang akan diucapkan dirumuskan. Perintah bahasa
ini kemudian disalurkan dari daerah Wernicke ke daerah Broca yang gilirannya
menerjemahkan pesan menjadi pola suara terprogram. Program suara ini
disampaikan dari daerah Broca ke daerah-daerah korteks motoric primer untuk
mengaktifkan otot-otot wajah dan lidah yang akan menghasilkan kata-kata yang
diinginkan. Demikian juga otot-otot tangan dapat diperintahkan untuk menulis
kata yang diinginkan.

E. MANIFESTASI KLINIS
Pengklasifikasian sindrom afasia dapat diawali dan dikerjakan secara bedside
dengan menilai modalitas dari fungsi bahasa, yaitu:
 Kelancaran bicara (fluency)
 Pemahaman
 Kemampuan pengulangan (repetisi)
 Kemampuan menemukan kata yang sesuai (word finding) dan atau
penamaan (naming). Semua pasien afasia yang juga disertai dengan
adanya gangguan kemampuan penamaan termasuk dalam parafasia.

Tabel 2. Jenis Kelancaran Bicara

Variabel Jenis Kelancaran Bicara


Tidak Lancar Lancar
Kecepatan Lambat (<50 kata/menit) Normal (>90 kata/menit)
Usaha Meningkat Normal
Artikulasi Disartrofonik Normal
Panjang kalimat Singkat (<5 kata) Normal (>5 kata)
Ritme bicara Abnormal, disprosodik Normal, prosodik
Isi Agramatisme, banyak Berisi
tambahan
Kesalahan parafasik Jarang, biasa literal Banyak kesalahan literal
dan semantik;
neologisme

F. KLASIFIKASI

5
Kemampuan berbahasa merupakan aktivitas yang kompleks melibatkan
banyak sirkuit, sehingga klasifikasi gangguan fungsi berbahasa sangat bervariasi
tergantung pada klinis dan lokasi kerusakan yang terjadi.(1)

Secara umum sindrom afasia terbagi menjadi:

1. Afasia Broca
Area Broca berada di korteks insula media dan mendapatkan suplai
darah dari arteri serebri media segmen M2 divisi superior. Sumbatan atau
oklusi di arteri tersebut dapat menyebabkan terjadinya afasia Broca.(1)
Area Broca bertetangga dengan area Exner yang merupakan pusat
menulis dan gyrus presentralis yang merupakan pusat motorik primer,
sehingga umumnya gambaran klinis penderita afasia Broca adalah selain
adanya afasia juga disertai hemiparesis berupa kekuatan tangan lebih lemah
dibandingkan tungkai, serta adanya gangguan menulis. Apraksia wajah dan
bicara juga sering dijumpai pada pasien dengan afasia Broca.(1)
Gangguan bahasa yang dijumpai adalah gangguan ekspresi bahasa dan
repetisi yang buruk (tingkat kata hingga kalimat). Bicara pasien sangat lambat
dan penuh usaha. Pasien juga mengalami kesulitan menamai suatu obyek dan
repetisi. Pasien dapat mengerti percakapan sehari-hari dan instruksi verbal,
namun mulai kesulitan pada sintaksis yang kompleks.(1)
2. Afasia Wernicke
Afasia Wernicke adalah sindrom afasia klasik yang berhubungan
dengan gangguan pada pemahaman berbahasa akibat lesi pada korteks
temporoparietal posterior kiri, yang akan memengaruhi elemen utama sistem
fonologi dan semantik yang berperan dalam pemahaman bahasa. Kelainan
tersebut disebabkan sumbatan akibat trombosis maupun emboli pada arteri
serebri media segmen M2 divisi inferior pada sisi hemisfer dominan
(umumnya kiri) yang memperdarahi lobus superior temporal.(1)
Gangguan pemahaman bahasa pada afasia Wernicke dimodulasi oleh
derajat analisis fonologi. Pemahaman berbahasa yang diucapkan, yang
membutuhkan analisis fonologi derajat tinggi, mengalami kerusakan yang
parah pada afasia Wernicke. Kemampuan pemahaman menulis kata, yang
dimediasi oleh fonologi dan proses visual, hanya mengalami sedikit kerusakan
dibandingkan pemahaman pengucapan kata.(1)
6
3. Afasia Global
Afasia tipe ini terjadi karena adanya lesi luas yang meliputi area Broca
maupun Wernicke, bisa akibat infark luas daerah parenkim otak yang
diperdarahi oleh arteri serebri media. Gangguan terjadi pada seluruh
komponen fungsi berbahasa. Terkadang afasia global juga dapat disertai
dengan apraksia verbal.(1)
Fluensi terganggu dengan produksi kata terbatas pada satu-dua kata
yang tidak memiliki makna, bahkan pasien tidak dapat berkata-kata sama
sekali. Selain itu, gangguan juga nampak pada kemampuan pemahaman baik
verbal maupun literal, serta kemampuan repetisi, membaca, dan menulis.(1)
4. Afasia Transkortikal (Ekstrasylvian)
Istilah afasia transkortikal pertama kali dikenalkan oleh Carl Wernicke,
1881 dan Lichtein, 1885. Goldstein tahun 1917 dalam die transkortikalen
aphasien memeberi catatan bahwa istilah transkortikal yang disematkan pada
afasia itu keliru, karena dapat dipersepsi sebagai afasia yang menghubungkan
antara dua area kortikal (Broca dan Wernicke).(1) Benson dan Ardila
menggunakan istilah baru yaitu ekstrasylvian untuk menggantikan
transkortikal. Afasia ekstrasylvian ini memiliki neuroanatomi di luar area
perisylvii. Afasia ekstrasylvian motorik memiliki gangguan klinis berupa
kesulitan dalam mengekspresikan bahasa, namun pemahaman relatif baik, dan
repetisi yang intak. Menurut Benson dan Ardila afasia jenis ini terbagi menjadi
dua tipe:(8)
a. Tipe I (afasia dinamik), merupakan bentuk evolusi dari afasia Broca.
Afasia ekstrasylvian motorik tipe I diperkirakan berada di area Broadmann
45 hemisfer dominan, lebih anterior dari area Broca.
b. Tipe II (afasia supplementary motor area/SMA), berada di supplementary
area hemisfer dominan.

Afasia ekstrasylvian sensorik pada konsep Wernicke-Lichtein merupakan


akibat putusnya hubungan antara area bahasa reseptif/sensorik (Wernicke)
dengan pusat konsep. Afasia ekstrasylvian menurut Wernicke-Lichtein ini
terbagi menjadi dua tipe:(8)

7
a. Tipe I, terkadang disebut afasia amnestik. Afasia jenis ini terletak di
perbatasan antara lobus temporal, parietal, dan oksipital, terutama di gyrus
angularis inferior dan area Broadmann 37.
b. Tipe II (afasia semantik). Afasia jenis ini terletak di korteks bagian
posterior, termasuk gyrus temporalis posterior superior dan gyrus
temporalis media.

Afasia ekstrasylvian campuran dapat terjadi pada gangguan perfusi


serebrovaskular akibat hipoksia, keracunan CO, syok hipertensif, dan henti
jantung. Infark/iskemik akibat gangguan perfusi itu dapat melibatkan zona
batas ota, yaitu area yang berada di antara dua teritori pembuluh darah besar,
dalam hal ini di antara teritori arteri serebri anterior dan serebri media.(1)

5. Afasia Anomik
Semua pasien dengan afasia tipe anomik, memiliki masalah dalam
mengingat nama sebuah benda. Gangguan penamaan ini disebabkan oleh
gangguan dalam kemampuan berbahasa. Misalnya saat seseorang pasien
diminta untuk menyebutkan nama dari gambar pulpen, pasien akan menjawab
“Benda yang digunakan untu menulis”, pasien tidak bisa menyebutkan bahwa
benda tersebut bernama pulpen.(1)
Afasia anomik yang terjadi pada seseorang dapat diakibatkan oleh
adanya aneurisma pada pembuluh darah otak, sehingga menghambat aliran
darah menuju area berbahasa. Afasia anomik biasanya disebabkan oleh adanya
lesi pada lobus temporal kiri inferior, di dekat batas antara lobus temporal dan
oksipital. Afasia ini juga dapat merupakan evolusi/perbaikan dari afasia global
atau Wernicke. Kuadranopia kanan atas merupakam gejala lain yang dapat
menyertai keadaan afasia anomik akut.(1)

8
6. Afasia Konduksi
Afasia konduksi memiliki gejala ketidakmampuan dalam mengulangi
bahasa yang diucapkan. Afasia ini disebabkan adanya diskoneksi antara area
Broca dan Wernicke, disebabkan oleh rusaknya fasikulus arcuata.(1)
Seperti pasien pada afasia Wernicke, pasien afasia konduksi mampu
mengucapkan kata dengan lancar namun banyak terdapat kesalahan parafrase.
Pemahaman pada pasien afasia konduksi masih bagus, namun karena adanya
kerusakan pada jalur yang menghubungkan area Wernicke dan Broca
menyebabkan gangguan kemampuan repetisi dan naming. Pasien afasia
konduksi tidak dapat membaca dengan suara keras, tetapi dapat membaca
dalam hati dengan pemahaman yang bagus.(1)
Kemampuan menulis juga kemungkinan terganggu, kemampuan
mengeja buruk, disertai adanya penghilangan dan penggantian huruf. Banyak
pasien afasia konduksi juga terganggu pergerakan volunternya.(1)
Tabel 1. Perbandingan Gejala Klinis Gangguan Bahasa pada Sindrom
Afasia Klasik

9
G. DIAGNOSIS
1. Pemeriksaan kelancaran berbicara
Seseorang disebut lancar berbicara bila bicara spontannya lancar, tanpa
terbata-bata. Kelancaran berbicara verbal ini merupakan refleksi dari efisiensi
menemukan kata. Bila kemampuan ini diperiksa secara khusus dapat dideteksi
masalah berbahasa yang ringan pada lesi otak yang ringan atau demensia dini.
Defek yang ringan dapat dideteksi melalui tes kelancaran, menemukan kata
yaitu jumlah kata tertentu yang dapat diproduksi selama jangka waktu yang
terbatas. Sebagai contoh pasien diminta untuk menyebutkan sebanyak-
banyaknya nama jenis hewan atau menyebutkan kata-kata yang dimulai
dengan huruf tertentu selama jangka waktu satu menit, misalnya huruf S atau
huruf B dalam 1 menit.(9)
Menyebutkan nama hewan: pasien disuruh menyebutkan sebanyak
mungkin nama hewan dalam waktu 60 detik. Kita catat jumlahnya serta
kesalahan yang ada, misalnya parafasia. Skor: orang normal umumnya mampu
menyebutkan 18-20 nama hewan selama 60 detik, dengan variasi kurang lebih
5-7.(9)
Usia merupakan salah satu faktor yang berpengaruh secara bermakna
dalam pemeriksaan ini. Orang normal di bawah usia 69 tahun mampu
menyebutkan kira-kira 20 nama hewan dengan baik. Kemampuan ini menurun
pada orang berusia sekitar 70 tahun (±17 nama) dan terus menurun seiring
dengan bertambahnya usia. Bila skor kurang dari 13 pada orang normal di
bawah usia 70 tahun, perlu dicurigai adanya gangguan dalam kelancaran
berbicara verbal. Skor yang di bawah 10 pada usia di bawah 80 tahun, sugestif
bagi masalah penemuan kata. Pada usia 85 tahun, skor 10 mungkin merupakan
batas normal bawah.(9)
Menyebutkan kata yang mulai dengan huruf tertentu: kepada pasien
dapat juga diberikan tugas menyebutkan kata yang mulai dengan huruf
tertentu, misalnya huruf S, A atau P. Tidak termasuk nama orang atau nama
kota. Orang normal umumnya dapat menyebutkan 36-60 kata yang berawalan
dengan huruf tertentu, tergantung dari tingkat intelegensi, usia, dan tingkat
pendidikan. Kemampuan yang hanya sampai 12 kata atau kurang untuk setiap
huruf merupakan petunjuk adanya penurunan kelancaran berbicara verbal

10
namun perlu diperhatikan pada pasien dengan tingkat pendidikan yang tidak
lebih dari sekolah menengah pertama.(9)
2. Pemeriksaan pemahaman (komprehensi bahasa lisan)
Pemeriksaan pemahaman bahasa lisan seringkali sulit dinilai.
Pemeriksaan klinis pada pasien rawat inap yang biasa dilakukan di samping
tempat tidur pasien dapat memberikan hasil yang menyesatkan. Langkah yang
digunakan untuk mengevaluasi pemahaman secara klinis meliputi cara
konversasi, suruhan, pertanyaan tertutup (ya atau tidak), dan menunjuk.(9)
 Konversasi
Dengan mengajak pasien bercakap-cakap dapat dinilai
kemampuannya dalam memahami pertanyaan dan suruhan yang
diberikan oleh pemeriksa.(9)
 Suruhan
Serentetan suruhan, mulai dari yang sederhana (satu langkah)
sampai pada yang sulit dapat digunakan untuk menilai kemampuan
pasien dalam memahami perintah. Mula-mula pasien dapat disuruh
bertepuk tangan, kemudian tingkat kesulitan dinaikkan misalnya
mengambil benda dan meletakkan benda tersebut pada lokasi yang
lain. Perlu diperhatikan bahwa perintah tipe ini tidak dapat dilakukan
pada pasien dengan kelemahan motorik dan apraksia. Pasien juga dapat
diminta untuk menunjuk ke beberapa benda, mula-mula satu benda dan
ditingkatkan menjadi sebuah perintah berantai untuk menunjuk ke
beberapa benda secara berurutan. Pasien dengan afasia mungkin hanya
mampu menunjuk sampai 1-2 objek saja. Jadi, pada pemeriksaan ini
pemeriksa (dokter) menambah jumlah objek yang harus ditunjuk,
sampai jumlah berapa pasien selalu gagal.(9)
 Ya atau Tidak
Kepada pasien dapat juga diberikan pertanyaan tertutup dengan
bentuk jawaban “ya” atau “tidak”. Mengingat kemungkinan salah
adalah 50%, jumlah pertanyaan yang diberikan minimal 6 pertanyaan
misalnya:(9)
“Apakah anda bernama Budi?”
“Apakah AC di ruangan ini mati?”

11
“Apakah ini Rumah Sakit?”
“Apakah di luar sedang hujan?”
“Apakah saat ini malam hari?”.
 Menunjuk
Pasien diminta untuk menunjuk mulai dari benda yang mudah
dipahami kemudian berlanjut ke benda yang lebih sulit. Contohnya :
“tunjukkan lampu” kemudian “tunjukkan gelas yang ada di samping
televisi”.(9)

Pemeriksaan sederhana ini dapat dilakukan di samping tempat tidur


pasien. Sekalipun kurang mampu menilai kemampuan pemahaman dengan
baik sekali, pemeriksaan ini dapat memberikan gambaran kasar mengenai
gangguan serta beratnya.(9)

3. Pemeriksaan repetisi (mengulang)


Kemampuan mengulang dinilai dengan menyuruh pasien mengulang
mula-mula kata yang sederhana (satu patah kata) kemudian ditingkatkan
menjadi banyak (satu kalimat). Jadi, kita ucapkan kata atau angka, dan
kemudian pasien disuruh mengulanginya.(9)
Pemeriksa harus memperhatikan apakah pada tes repetisi ini
didapatkan parafasia, salah tatabahasa, kelupaan, atau penambahan. Orang
normal umumnya dapat mengulang kalimat yang mengandung 19 suku kata.
Banyak pasien afasia mengalami kesulitan dalam mengulang, namun ada juga
yang menunjukkan kemampuan yang baik dalam mengulang, bahkan lebih
baik dari pada berbicara spontan. Bila kemampuan mengulang terpelihara,
maka kelainan patologis sangat mungkin tidak berada di area perisylvii.
Umumnya daerah ekstrasylvian yang terlibat dalam kasus afasia tanpa defek
repetisi terletak di daerah perbatasan vaskuler (watershed area).(9)
4. Pemeriksaan menamai dan menemukan kata
Kemampuan menamai objek merupakan salah satu dasar fungsi
berbahasa. Hal ini sedikit-banyak terganggu pada semua penderita afasia.
Dengan demikian, semua tes yang dilakukan untuk menilai afasia mencakup
penilaian terhadap kemampuan ini. Kesulitan menemukan kata erat kaitannya
dengan kemampuan menyebut nama (menamai) atau disebut anomia.(9)

12
Penilaian harus mencakup kemampuan pasien menyebutkan nama
objek, bagian dari objek, bagian tubuh, warna, dan bila perlu gambar
geometrik, simbol matematik, atau nama dari suatu tindakan. Dalam hal ini,
perlu digunakan benda-benda yang sering digunakan sampai ke benda-benda
yang jarang ditemui atau digunakan. Banyak penderita afasia yang masih
mampu menamai objek yang sering ditemui atau digunakan dengan cepat dan
tepat, namun lamban dan tertegun dengan melukiskan kegunaannya atau
parafasia pada objek yang jarang dijumpainya.(9)
Bila pasien tidak mampu atau sulit menamai, dapat dibantu dengan
memberikan suku kata pemula atau dengan menggunakan kalimat penuntun.
Yang penting ialah sampainya pasien kepada kata yang dibutuhkan, yakni kita
nilai kemampuan pasien dalam menamai objek. Ada pula pasien yang
mengenal objek dan mampu melukiskan kegunaannya namun tidak dapat
menamainya.(9)
Pertama-tama terangkan kepada pasien bahwa ia akan disuruh
menyebutkan nama beberapa objek juga warna dan bagian dari objek tersebut.
Kita dapat menilai dengan memperlihatkan misalnya arloji, bolpoin, kaca
mata, kemudian bagian dari arloji, lensa kaca mata. Objek atau gambar yang
dapat digunakan misalnya meja, kursi, lampu, pintu, jendela. Bagian dari
tubuh misalnya mata, hidung, gigi, ibu jari, lutut. Warna misalnya merah, biru,
hijau, kuning, kelabu. Bagian dari objek contohnya jarum jam, sol sepatu,
kepala ikat pinggang, bingkai kaca mata.Perhatikanlah apakah pasien dapat
menyebutkan nama objek dengan cepat atau lamban, atau tertegun, atau
menggunakan sirkumlokusi, parafasia, neologisme, dan apakah ada
perseverasi. Di samping menggunakan objek, dapat pula digunakan gambar
objek.(9)
Bila pasien tidak mampu menyebutkan nama objek, perlu diperhatikan
apakah pasien dapat memilih nama objek tersebut dari beberapa pilihan nama
objek. Pada pemeriksaan ini perlu digunakan kurang lebih 20 nama objek
sebelum menentukan bahwa tidak didapatkan gangguan.(9)
5. Pemeriksaan sistem bahasa
Evaluasi sistem bahasa harus dilakukan secara sistematis. Perlu
diperhatikan bagaimana pasien berbicara spontan, komprehensi, repetisi,
maupun menamai. Selain itu kemampuan membaca dan menulis harus dinilai
13
pula. Tidak lupa evaluasi dilakukan untuk memeriksa sisi otak mana yang
dominan dengan melihat penggunaan tangan.(9)
Dengan melakukan penilaian yang sistematis biasanya dalam waktu
yang singkat dapat diidentifikasi adanya afasia serta jenisnya. Pasien yang
afasia selalu agrafia dan sering aleksia, untuk itu pemeriksaan membaca dan
menulis dapat dipersingkat. Namun pada pasien yang tidak afasia,
pemeriksaan membaca dan menulis harus dilakukan sepenuhnya karena
aleksia, agrafia, atau keduanya dapat terjadi secara terpisah.(9)
6. Pemeriksaan penggunaan tangan (kidal atau kandal)
Penggunaan tangan dan sisi otak yang dominan mempunyai kaitan
yang erat. Sebelum menilai bahasa perlu ditentukan sisi otak mana yang
dominan, dengan melihat penggunaan tangan. Mula-mula tanyakan kepada
pasien apakah ia kandal (right handed) atau kidal. Banyak orang kidal telah
diajarkan untuk menulis dengan tangan kanan, oleh karena itu observasi cara
menulis saja tidak cukup untuk mennetukan apakah ia seorang yang kidal atau
kandal. Pasien dapat juga diminta memperagakan gerakan tangan yang
digunakan untuk memegang pisau, melempar bola, dan sebagainya.(9)
Tanyakan pula apakah ada kecenderungannya menggunakan tangan
yang lainnya. Spektrum penggunaan tangan bervariasi dari kandal yang kuat;
kanan sedikit lebih kuat dari kiri; kiri sedikit lebih kuat dan kanan dan kidal
yang kuat. Ada individu yang kecenderungan kandal dan kidalnya hampir
sama (ambi-dextrous).(9)
7. Pemeriksaan bicara-spontan
Langkah pertama dalam menilai berbahasa adalah mendengarkan
bagaimana pasien berbicara spontan atau bercerita. Dengan mendengarkan
pasien berbicara spontan atau bercerita, kita dapat memperoleh data yang
sangat berharga mengenai kemampuan berbahasa. Cara ini tidak kalah
pentingnya dari tes-tes bahasa yang formal. Pasien dapat diminta untuk
menceritakan hal-hal yang terjadi dalam waktu dekat, misalnya bagaimana ia
sampai dirawat di rumah sakit. Yang dinilai ialah apakah bicaranya pelo,
cadel, tertegun, diprosodik (irama, ritme, intonasi terganggu) dan apakah ada
afasia, kesalahan sintaks, salah menggunakan kata, dan perseverasi.(9)

14
Parafasia ialah kegiatan mensubstitusi kata. Ada dua jenis parafasia.
Parafasia semantik atau verbal berarti mensubstitusi satu kata dengan kata
yang lainnya. Parafasia fonemik berarti mensubstitusi suatu bunyi dengan
bunyi lain yang biasanya berbunyi cukup mirip.(9)
8. Pemeriksaan penunjang
Metode pencitraan dapat mengkonfirmasi lokasi gangguan pusat
bahasa. Termasuk pencitraan pembuluh untuk sistem karotis, vertebralis, dan
intrakranial melalui angiografi, CT dan/atau MRI angiografi, USG Doppler
arteri karotis dan vertebra, serta Doppler transkranial.(1)

H. DIAGNOSIS BANDING
1. Disartria berat
Disartria yang dimaksud tidak hanya paresis saraf XII, tetapi dapat
merupakan defisit neurologis berbagai pusat atau jaras motorik otot-otot bicara
lainnya. Disartria dapat disalahartikan sebagai afasia nonfluen. Pada disartria,
gangguan terletak pada vokalisasi huruf konsonan. Jika pasien mampu
menirukan tata urutan huruf vokal dari kata atau kalimat yang diberikan, maka
lebih diduga suatu disartria. Gangguan pada afasia nonfluen lebih diakibatkan
pada pemrograman kata, sehingga tata urutan huruf vokal tidak dapat benar
disebutkan pasien. Pada tipe yang berat, cenderung hanya bicara aaa..aaa..saja.
(1)

2. Demensia
Afasia dapat merupakan bagian dari sindrom demensia. Namun
demikian, jika terdapat ranah (domain) gangguan fungsi luhur lain yang nyata
sesuai dengan kriteria diagnosis demensia, maka lebih tepat diagnosisnya
ditegakkan sebagai demensia.(1)
3. Psikosis
Gangguan isi pikir atau asosiasi pikir pada diagnosis psikiatri perlu
dibedakan dari gangguan pemahaman kemampuan bahasa. Pasien afasia
memiliki tilikan yang baik, menyadari ada yang tidak beres dengan
komunikasinya. Lain halnya dengan skizofrenia, kemampuan pemahaman
bahasa tidak terganggu, tetapi memiliki tilikan yang buruk.(1)
4. Gangguan pendengaran (tuli reseptif maupun perseptif)

15
Pasien dengan gangguan pendengaran yang didapat setelah dewasa, isi
bicaranya dapat dimengerti dan terstruktur baik, meskipun kadang salah
dengar. Pada gangguan pendengaran sebelum kemampuan bahasa matur,
ekspresi bicaranya dapat terganggu, namun dapat berkomunikasi dengan
bahasa isyarat, pertanda ia memahami dan mampu mengekspresikan
maksudnya dengan baik. Klinis berbeda yang ditampilkan oleh pasien afasia
adalah adanya gangguan pemahaman yang bersalah dan pemahamannya.
Kadang juga muncul hal yang tidak dipahami dan pola kalimatnya tidak
teratur.(1)
5. Afemia/mutisme
Pasien afemia atau mutisme bukanlah afasia motorik. Afemia
didefinisikan sebagai hilangnya kemampuan artikulasi tanpa kehilangan
kemampuan untuk menulis dan pemahaman bahasa yang diucapkan. Afemia
juga mungkin berkaitan dengan apraksia buccofacial, sehingga menyebabkan
kehilangan kemampuan untuk menggerakkan mulut dan tidak mampu untuk
menghasilkan suara. Pada pasien afasia motorik tampak usahanya yang
memadai untuk bicara, namun terganggu ekspresi bicaranya, sedangkan pada
afemia tidak terlihat usaha tersebut sama sekali.(1)

I. PENATALAKSANAAN
Proses pemulihan afasia cenderung memakan waktu lam, dari bulan hingga
tahunan. Bahkan pada sebagian pasien dengan tingkat keparahan afasia berat,
dapat menetap sepanjang sisa hidupnya.(1) Maas dkk menunjukkan hanya 38%
penderita afasia yang mengalami resolusi pada 7 hari pertama pasca stroke. (10)
Lazar dkk mendapatkan bahwa 18 bulan setelah onset stroke, resolusi afasia
komplit hanya didapatkan pada 24%, sedangkan 43% pasien masih menderita
afasia yang signifikan.(1)
1. Medikamentosa
Hingga saat ini belum ada penatalaksanaan medikamentosa yang
dinilai efektif. Tatalaksana medikamentosa afasia akut akibat stroke terbatas
pada kesegeraan pengembalian perfusi otak dalam satu jam pertama onset.
Walaupun, demikian terdapat studi terhadap pirazetam, donepezil, dan
bromokriptin dapat memberikan luaran yang cukup menjanjikan.(1)

16
Zhang dkk (2016) memaparkan pada ulasan sistematisnya bahwa
terdapat variasi pemberian pirazetam dari 7 studi randomized controlled trial
(RCT) antara 6 minggu sampai 6 bulan. Dosis pemberiannya konsisten yaitu
4800 mg dan dapat diberikan dalam dosis terbagi dua kali per hari. Pirasetam
merupakan turunan siklik dari asam gamma aminobutirat (GABA) serta
dianggap dapat berperan dalam fase akut dan subakut. Namun mekanisme
pirasetam belum dipahami dengan baik. Kasler dkk menduga pirasetam
meningkatkan aliran darah otak di daerah bahasa utama yang berkorelasi
positif dengan pemulihan bahasa. Mekanisme lain adalah melibatkan modulasi
kolinergik, glutamatergik, dan dalam sistem neurotransmiter seperti GABA-
ergik.(1)
Donepezil dan agen kolinergik lain, seperti galantamin, bifeleman, dan
fisostigmin menunujukkan beberapa efek terapi positif afasia pasca stroke.
Donepezil merupakan penghambat antikolinesterase yang bekerja sentral dan
selektif. Donepezil diduga memfasilitasi neurotransmisi pada sambungan
kolinergik otak ke daerah bahasa. Jalur ini berperan penting untuk plastisitas
potensial jangka panjang meningkatkan atensi, pembelajaran, dan memori.(1)
Sebuah studi meneliti efek donepezil pada 11 pasien yang dievaluasi
selama 20 minggu. Empat minggu pertama diberikan dosis 5 mg, dilanjutkan
10 mg selama 12 minggu. Selama observasi empat minggu selanjutnya,
tercatat efek perbaikan fungsi berbahasa pada pasien, yaitu diskriminasi
fonemik, repetisi kata, mencocokkan gambar, menamai benda dan
peningkatan skor proses semantik leksikal, serta luaran fonologi yang
signifikan.(1)
Memantin merupakan agonis reseptor N-metil-d-aspartat (NMDA),
juga sudah diuji dengan RCT pada afasia dengan dosis 10 mg dua kali sehari
dan dilaporkan berhubungan dengan efek jangka panjang perbaikan
kemampuan fungsional.(1)

Terapi farmako pada afasia masih bersifat eksperimental. Penggunaan


dopaminerjik, cholinerjik, dan obat-obatan stimulan belum memberikan hasil
yang jelas. Namun penggunaan terapi farmako sebagai pendamping dari terapi
berbicara telah menunjukkan hasil yang baik. Pada afasia progresif primer,
obat yang digunakan untuk penyakit Alzheimer belum terbukti bermanfaat

17
(dan kekurangan kolinergik tidak terbukti seperti pada penyakit Alzheimer).
Antidepresan SSRI telah terbukti membantu masalah emosi dan perilaku.(11)

2. Nonmedikamentosa
Penatalaksanaan pada pasien afasia bergantung pada penyebab dari
sindrom afasia itu sendiri. Penanganan terhadap stroke akut seperti pemberian
rPA pada pasien stroke iskemik, terapi intervensi intra-arterial, stenting dan
endarterectomy karotid, atau kontrol dari tekanan darah dapat meringankan
defisit yang dialami. Pembedahan pada subdural hematoma atau tumor serebri
juga memberikan hasil yang cukup memuaskan. Pada afasia yang disebabkan
oleh infeksi seperti herpes simpleks dapat diberikan terapi antivirus.(11)
Terapi berbicara dan berbahasa merupakan terapi utama dalam afasia.
Waktu dan teknik pelaksanaan intervensi pada pasien afasia bervariasi luas
karena penelitian yang dilakukan sangat minim. Namun dalam beberapa
penelitian telah terbukti bahwa terapi berbicara dan berbahasa dapat
meningkatkan prognosis pasien afasia. Kesulitan yang dialami pasien dalam
menjalani terapi ini sangat beragam karena berbeda dari individu ke individu.
(11)

Beberapa hal yang harus diperhatikan saat melakukan terapi pada


pasien afasia :(11)
 Banyak pasien afasia menderita depresi oleh karena itu pasien afasia
memerlukan dukungan psikologis. Ketepatan diagnosis, terapi, dan
dukungan emosional dapat sangat berguna bagi pasien.
 Terdapat beberapa teknik terapi khusus untuk pasien dengan masalah
artikulasi, masalah kosa kata, minimnya ilmu kalimat, dan kurangnya
intonasi. Dalam kata lain, terapi pada pasien afasia dapat divariasi agar
sesuai dengan kebutuhan pasien.
 Uji klinis skala kecil dari pengobatan afasia telah dilaporkan. Ini
menunjukkan manfaat, membandingkan cukup baik dengan terapi
berbasis bukti untuk penyakit neurologis yang melibatkan obat-obatan.
Intensitas terapi bicara tampaknya berkorelasi dengan tingkat
pemulihan. Yang paling menarik adalah kombinasi terapi medis dan
terapi bicara memiliki manfaat yang lebih besar daripada terapi wicara
saja.

18
 Teknologi baru yang dinamakan stimulasi magnetik transkranial
sedang diuji coba pada pasien afasia dan sejauh ini menunjukkan hasil
yang baik.(12)

19
J. PROGNOSIS
Prognosis dari afasia sulit untuk diprediksi mengingat berbagai variasi kondisi.
Umumnya, orang yang lebih muda atau memiliki kerusakan otak yang relatif
kecil, prognosisnya lebih baik. Lokasi juga penting sebagai petunjuk lain untuk
prognosis. Secara umum, pasien cenderung memulihkan keterampilan dalam
pemahaman bahasa lebih lengkap dibandingkan keterampilan yang melibatkan
ekspresi.(5)

20
BAB III

KESIMPULAN

 Afasia merupakan gejala, bukan suatu penyakit.

 Afasia dapat didiagnosa dengan pemeriksaan kelancaran berbicara,

pemahaman, repetisi, menamai, menemukan kata, sistem bahasa,

penggunan tangan, dan bicara spontan, serta pemeriksaan penunjang.

 Terapi utama dari afasia adalah terapi berbicara. Tingkat keberhasilan dari

terapi ini sangat bergantung kepada penyebab dari afasia itu sendiri.

 Prognosisnya sulit untuk diprediksi, tergantung variasi kondisi, usia,

lokasi, dan luas lesi.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Prawiroharjo P, Tiksnadi A, Lastri DN. Afasia. In: Aninditha T, Wiratman W, editors.


Buku Ajar Neurologi FKUI. Jakarta: Penerbit Kedokteran Indonesia; 2017. p. 181–93.

2. National Aphasia Association. Aphasia [Internet]. 2014 [cited 2020 Oct 15]. Available
from: https://www.aphasia.org/aphasia-definitions/

3. Yunica NMD, Dewi PIS, Heri M, Widiari NKE. Terapi AIUEO terhadap Kemampuan
Berbicara (Afasia Motorik) pada Pasien Stroke. J Telenursing. 2019;1(2):397–8.

4. American Speech-Language-Hearing Association. Aphasia [Internet]. [cited 2020 Oct


18]. Available from: https://www.asha.org/practice-portal/clinical-topics/aphasia/

5. National Institute of Neurological Disorders and Stroke. Aphasia Information Page


[Internet]. 2015 [cited 2020 Oct 18]. Available from:
https://www.ninds.nih.gov/Disorders/All-Disorders/Aphasia-Information-Page

6. National Institute on Deafness and Other Communication Disorders. Aphasia


[Internet]. 2015 [cited 2020 Oct 18]. Available from: nidcd.nih.gov/health/aphasia

7. Pedersen PM, Vinter K, Olsen TS. Aphasia after stroke: type, severity and prognosis.
The Copenhagen aphasia study. Cerebrovasc Dis. 2004;17(1):35–43.

8. Ardila A. A proposed reinterpretation and reclassification of aphasic syndromes.


Aphasiology. 2010;24(3):363–94.

9. Lumbantobing SM. Neurologi Klinik : Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2010. 156–175 p.

10. Maas MB, Lev MH, Ay H, Singhal AB, Greer DM, Smith WS, et al. The Prognosis for
Aphasia in Stroke. 2013;21(5):350–7.

11. Kirshner HS. Aphasia Treatment & Management [Internet]. 2019 [cited 2020 Oct 21].
Available from: https://emedicine.medscape.com/article/1135944-treatment

12. Fridriksson J, Rorden C, Elm J, Sen S, George MS, Bonilha L. Transcranial Direct
Current Stimulation vs Sham Stimulation to Treat Aphasia After Stroke: A
Randomized Clinical Trial. JAMA Neurol [Internet]. 2018;75(12):1470–6. Available

22
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6583191/#!po=73.8095

23

Anda mungkin juga menyukai