Anda di halaman 1dari 27

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................2
BAB II AFASIA.......................................................................................................3
2.1 DEFINISI AFASIA...................................................................................3
2.2 ETIOPATOFISIOLOGI.............................................................................3
2.3 ANATOMI OTAK.....................................................................................4
2.4 EPIDEMIOLOGI......................................................................................9
2.5 KLASIFIKASI AFASIA.........................................................................10
2.6 GEJALA KLINIS AFASIA.....................................................................15
2.7 DIAGNOSIS...........................................................................................17
2.8 PENATALAKSANAAN.........................................................................22
2.9 PROGNOSIS...........................................................................................25
BAB III KESIMPULAN........................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................28

1
BAB I PENDAHULUAN

Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi antara


sesamanya. Satu hal yang paling penting dalam interaksi adalah komunikasi,
Adapun tujuan dari komunikasi itu adalah menyampaikan informasi berupa ide
atau pesan secara lisan atau verbal. Alat yang diapakai saat berkomukasi adalah
bahasa.1

Bahasa sebagai alat komunikasi mempunyai peran yang sangat vital bagi
terlaksananya komunikasi. Akan tetapi, jika terjadi gangguan saat berbahasa maka
komunikasi tidak akan sesuai dengan yang diharapkan. Pada penderita afasia
kendala yang dihadapi adalah gangguan kemampuan berbahasa. Afasia dapat
menyebabkan kesulitan dalam berbicara, mendengarkan, membaca, dan menulis,
tetapi tidak mempengaruhi kecerdasan. Individu dengan afasia mungkin juga
memiliki masalah lain, seperti disartria, apraxia, dan masalah menelan.2

Beberapa laporan kasus, afasia disebabkan karena adanya perdarahan pada


otak, cedera kepala, tumor otak, atau penyakit degeneratif. Kerusakan ini terletak
pada bagian otak yang mengatur kemampuan berbahasa, yaitu area Broca dan area
Wernicke. Area Broca atau area 44 dan 45 Broadmann, bertanggung jawab atas
pelaksanaan motorik berbicara. Lesi pada area ini akan mengakibatkan kesulitan
dalam artikulasi tetapi penderita bisa memahami bahasa dan tulisan. Individu yang
mengalami kerusakan pada sisi kanan hemisfer serebri kanan otak mungkin
memiliki kesulitan di luar masalah bicara dan bahasa.1

Data epidemiologi penduduk Indonesia yang menderita afasia belum


diketahui. Deteksi dini saat anamnesa dan pemeriksaan dari afasia sangat penting
untuk memulai terapi afasia baik bagi pasien maupun pendamping pasien agar
defisit yang dialami tidak makin berat.1

2
BAB II AFASIA

2.1 DEFINISI AFASIA


Afasia adalah gangguan atau ketidakmampuan dalam berbahasa yang
disebabkan oleh gangguan pada otak, dimana gangguan tersebut bukan
merupakan penyakit yang herediter, tidak disebabkan oleh gangguan pendengaran,
gangguan penglihatan, atau kelemahan motorik.3
Afasia tidak meliputi kelainan perkembangan berbahasa atau disfasia,
gangguan motorik berbahasa seperti gagap, apraksia berbahasa, atau disartria, dan
bukan gangguan berbahasa yang diakibatkan oleh gangguan berpikir seperti pada
pasien skizofrenia.3

2.2 ETIOPATOFISIOLOGI
Afasia terjadi akibat kerusakan pada area pengaturan bahasa di otak. Pada
manusia, fungsi pengaturan bahasa mengalami lateralisasi ke hemisfer kiri otak
pada 96-99% orang yang dominan tangan kanan (kinan) dan 60% orang yang
dominan tangan kiri (kidal). Pada pasien yang menderita afasia, sebagian besar
lesi terletak pada hemisfer kiri.3,4
Afasia paling sering muncul akibat stroke, cedera kepala, tumor otak, atau
penyakit degeneratif. Kerusakan ini terletak pada bagian otak yang mengatur
kemampuan berbahasa, yaitu area Broca dan area Wernicke. Area Broca atau area
44 dan 45 Broadmann, bertanggung jawab atas pelaksanaan motorik berbicara.
Lesi pada area ini akan mengakibatkan kesulitan dalam artikulasi tetapi penderita
bisa memahami bahasa dan tulisan.4
Area Wernicke atau area 41 dan 42 Broadmann, merupakan area sensorik
penerima untuk impuls pendengaran. Lesi pada area ini akan mengakibatkan
penurunan hebat kemampuan memahami serta mengerti suatu bahasa. Secara
umum afasia muncul akibat lesi pada kedua area pengaturan bahasa di atas. Selain
itu lesi pada area disekitarnya juga dapat menyebabkan afasia transkortikal. Afasia

3
juga dapat muncul akibat lesi pada fasikulus arkuatus, yaitu penghubung antara
area Broca dan area Wernicke.4

Gambar 1. Sinopsis dari daerah otak digambarkan melalui analisis sindrom-, modalitas-dan gejala
tertentu. Perhatikan bahwa tidak ada tumpang tindih substansial antara anterior (Broca) dan
posterior (Wernicke), dan dapat terlihat asal diferensiasi vaskular. Sebaliknya pada daerah dengan
modalitas-atau gejala-gangguan tertentu menunjukkan tumpang tindih substansial dan tidak jelas
mengenai daerah vascular yang mana.3

Afasia dapat terjadi karena degenerasi atau kerusakan pada otak yang
melibatkan hemisfer serebri kiri. Kebanyakan afasia dan kelainan yang berkaitan
diakibatkan oleh stroke, kerusakan pada bagian kepala, tumor serebri, atau
penyakit degeneratif. Neuroanatomi dari komprehensi dan produksi bahasa
merupakan proses yang kompleks meliputi input auditori dan pengkodean bahasa
di lobus temporalis superior, analisis di lobus parietalis, dan ekspresi di lobus
frontalis, turun melalui traktus kortikobulbaris menuju kapsula interna dan batang
otak, dengan efek modulasi dari basal ganglia dan serebelum.3

2.3 ANATOMI OTAK


Korteks terbagi kepada empat lobus yaitu lobus frontalis berfungsi untuk
mongontrol motorik dan fungsi eksekutif yang lebih tinggi, lobus parietalis untuk

4
fungsi sensoris, lobus temporalis untuk mendengar, mengestor memori dan
pemahaman bahasa, dan lobus occipitalis untuk persepsi visual.5

Gambar 2. Anatomi Kortek Serebri Kiri5

Serebri terbagi kepada dua yaitu hemisfer serebri kiri dan hemisfer serebri
kanan. Kedua hemisfer dihubungkan oleh corpus callosum, yang merupakan satu
bundel besar serabut saraf. Lebih dari 90% kandal dan 60% kidal mempunyai
pusat bahasa di hemisfer serebri kiri. Ini juga dipanggil lateralisasi atau
dominant.4,5

5
Gambar 3. Area Fungsional di Korteks Serebri4

Terdapat 3 area utama pusat bahasa yaitu, area Broca, area Wernicke dan
area konduksi :3,4

 Area Broca yang merupakan area motorik untuk berbicara. Area Broca terletak
di posterior gyrus frontal. Secara neuroanatomi, daerah ini digambarkan
sebagai daerah Brodman 44 dan 45.

 Area Wernicke dimana pusat pemprosesan kata kata yang diucapkan terletak
di posterior gyrus temporal superior. Secara neuroanatomi, daerah ini
digambarkan sebagai daerah Brodmann 22.

 Area konduksi terdiri daripada fasikulus arkuata yang merupakan satu bundel
saraf yang melengkung dan menguhubungkan antara area Broca dan area
Wernicke. Kerusakan fasikulus arkuata menyebabkan: timbul defisit unutk
mengulang kata kata.

6
 Area Exner terletak tepat di atas area Broca dan anterior area kontrol motor
primer. Ini adalah area untuk menulis,berhampiran dengan lokasi gerakan
tangan. Kerusakan area Exner akan mengakibatkan agraphia. Dikenali sebagai
daerah Brodmann 6 secara neuroanatomi.

 Area membaca terletak di bagian media lobus oksipital kiri dan di splenium
corpus callosum. Ini adalah pusat untuk membaca. Ia menerima impuls dari
mata dan mengirimkan impuls tersebut ke daerah asosiasi untuk dianalisa
dengan, kemudian ihantar ke fasikulus arkuata. Lesi pada area ini
menyebabkan kebutaan kata murni. Daerah ini neuroanatomi digambarkan
sebagai daerah Brodmann 17.

Gambar 4. Percabangan Arteri Serebri Media.3

7
Arteri yang menyuplai area Broca dan area Wernicke ialah Arteri Serebri
Media. Arteri Serebri Media terbagi menjadi 4 segmen, yaitu M1 (dari ICA ke
bifurkasi atau trifurcation), M2 (dari bifurkasi MCA ke sulkus melingkar insula),
M3 (dari sulkus melingkar dengan aspek dangkal dari fisura Sylvian), dan M4,
yang terdiri dari cabang kortikal.3

Segmen M1 bercabang menjadi arteri lenticulostriate, yang memasuki


komisura anterior, kapsul internal, nukleus kaudatus, putamen dan globus
pallidus, dan arteri temporalis anterior, yang menyuplai lobus temporal anterior.3

Segmen M2 bermula dari titik divisi utama segmen M1, selama insula
dalam fisura Sylvian, dan berakhir pada margin insula. Terdapat dua percabangan
utama yaitu percabangan terminal superior terdiri dari arteri frontobasal lateral
(orbito-frontal) arteri sulcal prefrontal, arteri sulcal pra-Rolandic (precentral) dan
Rolandic (pusat). Percabangan terminal inferior bercabang mnejadi tiga ke arteri
di temporal (anterior, tengah, posterior), bercabang ke angular gyrus dan menjadi
dua cabang yang menyuplai di area parietal (anterior, posterior).3

Segmen M3 dimulai pada sulkus insula dan berakhir di permukaan fisura


Sylvian. Bagian ini dikirimkan melalui permukaan opercula frontal dan temporal
untuk mencapai permukaan luar fisura Sylvian.3

Segmen M4 dimulai pada permukaan fisura Sylvian dan membentang di


atas permukaan serebri. Cabang kortikal, yang memasok frontal, parietal,
temporal, dan oksipital, adalah sebagai berikut :3,4

 Orbitofrontal

 Prefrontal

 Presentral

 Sentral

 Anterior dan posterior parietal

 Temporo-oksipital

8
Area motorik menempati gyrus presentral (area broadmann 4) di lobus
frontal. Topografi ini diwakili oleh homunculus, seorang laki-laki kecil yang
tinggal di atas otak. Dikenali sebagai HAL (Head-Arm-Leg) kepala ke lengan ke
kaki dari lateral medial hemisfer.

Area motorik disuplai oleh arteri serebri anterior dan arteri serebri media
yang bercabang dari arteri karotis interna. Arteri serebri anterior menyuplai
korteks lobus frontalis dan lobus parietalis, dimana arteri serebri media menyuplai
korteks bagian lateral. Oleh itu arteri serebri anterior dan arteri serebri media
bertanggungjawab dalam menyuplai darah ke bagian kepala, tangan dan kaki.

Gambar 5. Area Motorik

2.4 EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia, data epidemiologi penduduk yang menderita afasia tidak
diketahui. Data insidensi di Amerika Serikat pun terbatas. Namun berdasarkan
data tersebut, stroke merupakan penyebab tersering dari afasia. Dikatakan dari
20% pasien stroke terdapat pula afasia. Di setiap tahunnya, terdapat sekitar
170.000 kasus afasia baru yang berkaitan dengan stroke. Jumlah pasien dengan

9
gangguan berbahasa yang diakibatkan oleh trauma otak, tumor otak, maupun lesi
lain pada otak tidak sepenuhnya diketahui. Penyebab tersering kedua dari afasia
ialah penyakit degeneratif seperti alzeimer atau demensia dengan prevalensi
alzeimer per tahun di Amerika ialah 5.000.000 kasus.3

2.5 KLASIFIKASI AFASIA


Afasia diklasifikasikan beragam, diantaranya ada yang berdasarkan :6
1. Manifestasi Klinis (alur bicara)
2. Distribusi Anatomi dari Lesi
3. Jenis Kemampuan

Pada klasifikasi berdasarkan manifestasi klinik, dibagi berdasarkan lancar


tidaknya berbicara. Pada klasifikasi ini didapatkan afasia yang berbentuk :6
1. Lancar (Fluent)
Pada afasia ini penderita bicara lancar, artikulasi dan irama baik, tetapi isi
bicara tidak bermakna dan tidak dapat dimengerti artinya. Penderita tidak dapat
mengerti bahasa sehingga tidak dapat berbicara kembali. Gambaran klinisnya
ialah: 3,6
 Keluaran bicara yang lancar
 Panjang kalimat normal
 Artikulasi dan irama bicara baik
 Terdapat parafasia
 Kemampuan memahami pendengaran dan membaca buruk
 Repetisi terganggu
 Menulis lancar tadi tidak ada arti
Seorang afasia yang non-fluent mungkin akan mengatakan dengan tidak
lancar dan tertegun-tegun: “mana… rokok… beli”. Sedangkan seorang afasia
fluent mungkin akan mengatakan dengan lancar: “rokok beli tembakau kemana
situ tadi gimana dia toko jalan”.6

2. Tidak lancar (Non-Fluent)


Pada afasia ini, output atau keluaran bicara terbatas. Penderita
menggunakan kalimat pendek dan bicara dalam bentuk sederhana. Sering disertai
artikulasi dan irama bicara yang buruk. Gambaran klinisnya ialah:6
 Pasien tampak sulit memulai bicara

10
 Panjang kalimat sedikit (5 kata atau kurang per kalimat)
 Gramatika bahasa berkurang dan tidak kompleks
 Artikulasi umumnya terganggu
 Irama bicara terganggu
 Pemahaman cukup baik, tapi sulit memahami kalimat yang lebih
kompleks
 Pengulanan (repetisi) buruk
 Kemampuan menamai, menyebut nama benda buruk

Gambar 6. Diagram Klasifikasi Afasia berdasarkan Manifestasi Klinis6

Berdasarkan distribusi anatomi dari lesinya, afasia dibedakan menjadi :6


1. Afasia Wernicke
Pemahaman terganggu terutama pada bahasa yang didengar dan dilihat,
baik untuk 1 kata maupun pada 1 kalimat utuh. Bahasa dapat diucapkan dengan
lancar namun sangat parafasik dan sirkumlokusius. Kecenderungan kesalahan
parafasik sangat tinggi hingga terkadang disebut neologisme, yang disebut juga
jargon afasia. Pembicaraan biasanya mengandung banyak kata sifat namun sedikit
mengandung kata benda atau kata kerja. Pembicaraan banyak, namun tanpa arti.6

11
Penggunaan bahasa tubuh tidak banyak membantu komunikasi. Pasien
tampak mengerti bahwa pembicaraannya tidak dapat dimengerti oleh orang lain
sehingga pasien tampak marah dan tidak sabar ketika pemeriksa tidak dapat
mengerti maksud dari pembicaraannya. Pada pasien dengan afasia wernicke dapat
disertai dengan agitasi motorik dan perilaku paranoid. Pasien dengan afasia
wernicke tidak dapat mengekspresikan pemikiran mereka melalui kata-kata yang
sesuai dan tidak dapat memahami arti dari setiap kata yang masuk. Lesi ini
terletak di area Wernicke.6
Bila area wernicke pada hemisfer dominan seorang dewasa mengalami
kerusakan, normalnya pasien akan kehilangan hampir seluruh fungi intelektual
yang berhubungan dengan bahasa atau imbolisme verbal seperti kemampuan
membaca, kemampuan memecahkan perhitungan matematika, dan bahkan
kemampuan untuk berpikir melalui problem yang logis. Bila area wernicke
mengalami kerusakan yang parah, pasien mungkin masih dapat mendengar
dengan sempurna dan bahkan masih dapat mengenali kata-kata namun tetap tak
mampu menyusun kata-kata ini menjadi suatu pikiran yang logis. Demikian juga,
pasien masih mampu membaca kata-kata tertulis namun tidak mampu mengenali
gagasan yang disampaikan.6
Oleh karena itu pasien yang mengalami afasia wernicke atau afasia global
tidak mampu memformulasikan buah pikirannya untuk dikomuikasikan. Atau bila
lesinya tidak terlalu parah, pasien masih mampu memformulasikan pikirannya
namun tak mampu menyusun kata-kata yang sesuai secara berurutan dan bersama-
sama untuk mengekspresikan pikirannya.
Etiologi paling sering dari afasia wernicke adalah emboli dari arteri serebri
media. Etiologi lain bisa berasal dari perdarahan intraserebral, trauma kepala
berat, dan tumor. Adanya hemianopia kanan atau quadrantanopia superior dan
pendataran sudut nasolabial kanan dapat mempertegas adanya lesi di area
wernicke.6

2. Afasia Broca
Pembicaraan tidak lancar, memerlukan usaha, dan banyak diinterupsi oleh
jeda yang dibuat pasien dalam rangka mencari kata-kata, serta seringkali pasien

12
juga menderita disartria. Pengeluaran kata-kata sangat terbatas sehingga terkadang
pasien hanya mau menjawab dengan kata “ya” atau “tidak. Penamaan benda dan
kemampuan merepetisi terganggu. Meski begitu, pemahaman bahasa masih intak
kecuali untuk kalimat yang sulit yang diucapkan dengan suara yang pelan atau
tanpa intonasi. Kemampuan membaca juga dipertahankan namun seskali pasien
kesulitan membaca kata imbuhan atau tatabahasa yang rumit. Kadang pasien
mampu menentukan apa yang ingin dikatakannya namun tak dapat mengatur
sistem vokalnya untuk menghasilkan kata-kata selain suara ribut. Efek ini disebut
afasia motorik yang disebabkan oleh kerusakan pada area bicara broca di regio
fasial prefrontal dan premotorik korteks serebri. Oleh karena itu, pola
keterampilan motorik yang dipakai untuk mengatur laring, bibir, mulut, sistem
respirasi, dan otot-otot lainnya yang dipakai untuk bicara dimulai dari daerah ini.
Terkadang, sekalipun pasien menderita disartria, pasien dapat bernyanyi dengan
baik. Hal inilah yang sedang diuji coba dalam terapi afasia broca.6
Defisit neurologis yang sering menyertai meliputi kelemahan pada wajah
bagian kanan, hemiparesis atau hemiplegia, dan buccofasial apraksia. Penyebab
paling sering ialah infark yang disebabkan oleh sumbatan pada arteri serebri
media. 6

3. Afasia Global
Pengeluaran kata tidak lancar dan pemahaman juga terganggu. Penamaan,
repetisi, membaca, dan menulis juga terganggu. Sindrom ini menyatakan adanya
disfungsi dari broca dan wernicke. Sindrom ini juga dapat menjadi gejala awal
dari afasia wernicke yang kemudian berkembang menjadi afasia wernicke yang
klasik.6

4. Afasia Konduktif
Pengeluaran kata-kata lancar namun parafasik, pemahaman bahasa masih
baik, namun repetisi sangat terganggu. Penamaan dan penulisan juga sangat
terganggu. Jika pasien diminta untuk membaca dengan suara keras, pasien akan
mengalami kesulitan, namun pasien dapat mengerti apa yang dibacanya.6

13
5. Afasia Anomik
Pada afasia jenis ini, fungsi yang terganggu yakni penamaan. Artikulasi,
pemahaman, dan repetisi masih baik namun pasien tidak dapat menyebutkan nama
dari benda-benda dan pasien kesulitan dalam mengeja kata-kata. Seringkali output
bahasa pasien parafasik, sirkumlokusius, dan tidak bermakna. Kelancaran bahasa
terganggu ketika pasien berusahan menyebutkan nama benda-benda. Afasia
anomik banyak ditemui pada kasus trauma kepala, ensefalopati metabolik, dan
penyakit alzheimer.6

Berdasarkan jenis kemampuannya, afasia dibedakan menjadi :6


1. Afasia Motorik
2. Afasia Sensorik
a) Afasia Korteks
b) Afasia Subkorteks
c) Afasia Transkortikal
 Afasia transkortikal motorik
Ciri-ciri yang nampak pada afasia transkortikal motorik menyerupai
afasia broca namun repetisi masih baik dan pasien cenderung
menghindari penggunaan tata bahasa. Pemeriksaan neurologis lain
biasanya normal. Lesi pada afasia transkortikal motorik biasanya
melibatkan area perbatasan antara arteri serebri anterior dan media.3
 Afasia transkortikal sensori
Afasia transkortikal sensori dicirikan dengan gejala yang menyerupai
afasia wernicke namun repetisi masih dapat dilakukan dengan baik.
Pada afasia ini lesi memutuskan area bahasa dari area asosiasi
temporoparietal selain area khusus bahasa. 3
Tabel 1. Perbedaan klinis antara afasia motorik dengan afasia sensorik3

Jenis Sensorik Afasia Motorik Afasia Sensorik

Gangguan Ekspresif Perseptif


Korteks Gangguan verbal dan isyarat Gangguan verbal dan isyarat
totalis totalis
Subkorteks Murni gangguan verbal Murni gangguan verbal
Pure word dumbness Word deafness

14
Transkortikal Membeo Gangguan verbal danisyarat
Word deafness
Agrafia, akalkulia, aleksia

2.6 GEJALA KLINIS AFASIA6

Tipe Pembicaraan Komprehensia Repetisi Gejala Lokasi lesi


Afasia yang
berkaitan
Broca Tidak lancar, Tetap baik Tergangg Kelemahan Frontal
butuh banyak u pada tangan suprasylvia
usaha dalam dan wajah n
berbicara, bagian
kurangnya kanan
suku kata,
kurangnya
output namun
dapat
mencetuskan
ide

Wernicke Lancar, Sangat Tidak Hemi- atau Temporal,


fasih berbicara, terganggu dapat quadrantan infrasylvian
artikulasi baik, dilakuka opia, tidak termasuk
tapi tanpa arti n ada paresis girus
angular dan
supramargi
nal

Konduktif Lancar Baik Tidak Biasanya Supramargi


dapat tidak dapat nal gyrus
dilakuka dilakukan atau insula
n

Global Sedikit, Sangat Tidak Hemiplegia Sebagian


tidak lancer terganggu dapat besar
dilakuka perisylvian
n atau lesi
terpisah
pada frontal

15
Tipe Pembicaraan Komprehensia Repetisi Gejala Lokasi lesi
Afasia yang
berkaitan
dan
temporal

Transkorti Tidak lancer Baik Sangat Bervariasi Anterior


kal baik atau
Motorik superior
area Broca

Transkorti Lancar Tidak dapat Sangat Bervariasi Area di


kal Sensori dilakukan baik sekitar
seperti halnya Wernicke
pada Wernicke

Tuli kata Sedikit Terganggu Tergangg Quadrantan Bilateral


murni parafasik atau u opia atau (atau bagian
normal tidak ada kiri saja)
sama sekali bagian
tengah
superior
temporal
gyrus

Buta kata Normal tapi Normal Normal Hemianopia Girus


murni tidak dapat kanan; tidak kalkarina
(aleksia bersuara keras dapat dan girus
tanpa membaca angularis
agrafia) tulisan
tangan
sendiri

Mutisme Tak bersuara Normal Tidak Tidak ada Sebagian


kata tapi mampu ada dari area
(afemia) menulis Broca

Anomik Kesulitan Normal Normal Bervariasi Lobus


afasia mencari temporalis
kata-kata bagian
dalam

16
2.7 DIAGNOSIS
1. Anamnesis

Afasia muncul secara mendadak pada pasien dengan stroke atau cedera
kepala. Pasien dengan penyakit neurodegeneratif atau lesi tumor dapat menderita
afasia secara perlahan. Tanda-tanda awal yang mencirikan lesi atau defisit yang
berasal dari area korteks atau jaras yang berdekatan dengan posisi area berbahasa
harus diwaspadai. Tanda-tanda tersebut meliputi hemianopia, defisit dari fungsi
motorik maupun sensori, atau defisit neurobehavioral seperti alexia, agrafia,
akalkulia, atau apraksia. Pada pasien harus ditanyakan riwayat kejang atau
episode afasia sebelumnya. Terkadang, sekalipun insidensinya rendah, afasia
dapat diakibatkan oleh ensefalitis herpes simpleks. Ciri dari penyakit ini meliputi
riwayat demam, kejang, nyeri kepala, dan perubahan perilaku.7

Riwayat nyeri kepala baik akut maupun kronik dapat menjadi petunjuk
penting untuk mendiagnosa kondisi tertentu seperti tumor otak maupun
malformasi arteri vena. Pada pasien harus ditanyakan tentang riwayat gangguan
pada memori atau riwayat gangguan dalam melakukan kegiatan sehari-hari karena
gangguan berbahasa bisa hanya merupakan satu bagian dari kondisi
neurodegeneratif yang menyeluruh seperti demensia. Perlu ditanyakan juga
apakah pasien kidal atau tidak, riwayat hipertensi, perdarahan otak sebelumnya,
penyakit jantung, penyakit vaskular otak, atau amiloid angiopati.7

2. Pemeriksaan Berbicara Spontan


Langkah pertama dalam menilai berbahasa adalah mendengarkan
bagaimana pasien berbicara spontan atau bercerita. Pasien dapat diminta untuk
menceritakan hal-hal yang terjadi dalam waktu dekat, misalnya bagaimana ia
sampai dirawat di rumah sakit. Yang dinilai ialah apakah bicaranya pelo, cadel,
tertegun, diprosodik (irama, ritme, intonasi terganggu) dan apakah ada afasia,
kesalahan sintaks, salah menggunakan kata, dan perseverasi.7

17
Parafasia ialah kegiatan mensubstitusi kata. Ada dua jenis parafasia.
Parafasia semantik atau verbal berarti mensubstitusi satu kata dengan kata yang
lainnya. Parafasia fonemik berarti mensubstitusi suatu bunyi dengan bunyi lain
yang biasanya berbunyi cukup mirip.7

3. Pemeriksaan Kelancaran Berbicara

Seseorang disebut lancar berbicara bila bicara spontannya lancar, tanpa


terbata-bata. Kelancaran berbicara verbal ini merupakan refleksi dari efisiensi
menemukan kata. Bila kemampuan ini diperiksa secara khusus dapat dideteksi
masalah berbahasa yang ringan pada lesi otak yang ringan atau demensia dini.
Defek yang ringan dapat dideteksi melalui tes kelancaran, menemukan kata yaitu
jumlah kata tertentu yang dapat diproduksi selama jangka waktu yang terbatas.
Sebagai contoh pasien diminta untuk menyebutkan sebanyak-banyaknya nama
jenis hewan atau menyebutkan kata-kata yang dimulai dengan huruf tertentu
selama jangka waktu satu menit. Tidak lupa pula kesalahan yang timbul dicatat
untuk melihat adanya parafasia atau tidak.7
Usia merupakan salah satu faktor yang berpengaruh secara bermakna
dalam pemeriksaan ini. Orang normal di bawah usia 69 tahun mampu
menyebutkan kira-kira 20 nama hewan dengan baik. Kemampuan ini menurun
pada orang berusia sekitar 70 tahun (±17 nama) dan terus menurun seiring dengan
bertambahnya usia. Pada usia 85 tahun, skor 10 mungkin merupakan batas normal
bawah. Orang normal umumnya dapat menyebutkan 36-60 kata yang berawalan
dengan huruf tertentu, tergantung dari tingkat intelegensi, usia, dan tingkat
pendidikan. Kemampuan yang hanya sampai 12 kata atau kurang untuk setiap
huruf merupakan petunjuk adanya penurunan kelancaran berbicara verbal namun
perlu diperhatikan pada pasien dengan tingkat pendidikan yang tidak lebih dari
sekolah menengah pertama.7
4. Pemeriksaan Pemahaman (Komprehensi) Bahasa Lisan
Pemeriksaan pemahaman bahasa lisan seringkali sulit dinilai. Pemeriksaan
klinis pada pasien rawat inap yang biasa dilakukan di samping tempat tidur pasien
dapat memberikan hasil yang menyesatkan. Langkah yang digunakan untuk

18
mengevaluasi pemahaman secara klinis meliputi cara konversasi, suruhan,
pertanyaan tertutup (ya atau tidak), dan menunjuk.7

Konversasi : Dengan mengajak pasien bercakap-cakap dapat dinilai
kemampuannya dalam memahami pertanyaan dan suruhan yang diberikan
oleh pemeriksa.

Suruhan : Serentetan suruhan, mulai dari yang sederhana (satu langkah)
sampai pada yang sulit dapat digunakan untuk menilai kemampuan pasien
dalam memahami perintah. Mula-mula pasien dapat disuruh bertepuk
tangan, kemudian tingkat kesulitan dinaikkan misalnya mengambil benda
dan meletakkan benda tersebut pada lokasi yang lain. Perlu diperhatikan
bahwa perintah tipe ini tidak dapat dilakukan pada pasien dengan
kelemahan motorik dan apraksia. Pasien juga dapat diminta untuk
menunjuk ke beberapa benda, mula-mula satu benda dan ditingkatkan
menjadi sebuah perintah berantai untuk menunjuk ke beberapa benda
secara berurutan. Pasien dengan afasia mungkin hanya mampu menunjuk
sampai 1-2 objek saja.

Ya atau Tidak : Kepada pasien dapat juga diberikan pertanyaan tertutup
dengan bentuk jawaban “ya” atau “tidak”. Mengingat kemungkinan salah
adalah 50%, jumlah pertanyaan yang diberikan minimal 6 pertanyaan
misalnya “Apakah anda bernama Budi?”, “Apakah AC di ruangan ini
mati?”, “Apakah ini Rumah Sakit?”, “Apakah di luar sedang hujan?”,
“Apakah saat ini malam hari?”.

Menunjuk : Pasien diminta untuk menunjuk mulai dari benda yang mudah
dipahami kemudian berlanjut ke benda yang lebih sulit. Contohnya :
“tunjukkan lampu” kemudian “tunjukkan gelas yang ada di samping
televisi”. Pemeriksaan sederhana ini dapat dilakukan di samping tempat
tidur pasien. Sekalipun kurang mampu menilai kemampuan pemahaman
dengan baik sekali, pemeriksaan ini dapat memberikan gambaran kasar
mengenai gangguan serta beratnya.7

5. Pemeriksaan Repetisi
Kemampuan mengulang dinilai dengan menyuruh pasien mengulang
mula-mula kata yang sederhana (satu patah kata) kemudian ditingkatkan menjadi

19
banyak (satu kalimat). Pemeriksa harus memperhatikan apakah pada tes repetisi
ini didapatkan parafasia, salah tatabahasa, kelupaan, atau penambahan. Orang
normal umumnya dapat mengulang kalimat yang mengandung 19 suku kata.
Banyak pasien afasia mengalami kesulitan dalam mengulang, namun ada juga
yang menunjukkan kemampuan yang baik dalam mengulang, bahkan lebih baik
dari pada berbicara spontan. Bila kemampuan mengulang terpelihara, maka
kelainan patologis sangat mungkin tidak berada di area perisylvian. Umumnya
daerah ekstrasylvian yang terlibat dalam kasus afasia tanpa defek repetisi terletak
di daerah perbatasan vaskuler (watershed area).7
6. Pemeriksaan Menamai dan Menemukan Kata
Kemampuan menamai objek merupakan salah satu dasar fungsi berbahasa.
Hal ini sedikit-banyak terganggu pada semua penderita afasia. Dengan demikian,
semua tes yang dilakukan untuk menilai afasia mencakup penilaian terhadap
kemampuan ini. Kesulitan menemukan kata erat kaitannya dengan kemampuan
menyebut nama (menamai) atau disebut anomia.5,7
Penilaian harus mencakup kemampuan pasien menyebutkan nama objek,
bagian dari objek, bagian tubuh, warna, dan bila perlu gambar geometrik, simbol
matematik, atau nama dari suatu tindakan. Dalam hal ini, perlu digunakan benda-
benda yang sering digunakan sampai ke benda-benda yang jarang ditemui atau
digunakan. Banyak penderita afasia yang masih mampu menamai objek yang
sering ditemui atau digunakan dengan cepat dan tepat, namun lamban dan
tertegun dengan melukiskan kegunaannya atau parafasia pada objek yang jarang
dijumpainya. Bila pasien tidak mampu atau sulit menamai, dapat dibantu dengan
memberikan suku kata pemula atau dengan menggunakan kalimat penuntun. Yang
penting ialah sampainya pasien kepada kata yang dibutuhkan, yakni kita nilai
kemampuan pasien dalam menamai objek. Ada pula pasien yang mengenal objek
dan mampu melukiskan kegunaannya namun tidak dapat menamainya.7
Pertama-tama terangkan kepada pasien bahwa ia akan disuruh
menyebutkan nama beberapa objek juga warna dan bagian dari objek tersebut.
Kita dapat menilai dengan memperlihatkan misalnya arloji, bolpoin, kaca mata,
kemudian bagian dari arloji, lensa kaca mata. Objek atau gambar yang dapat
digunakan misalnya meja, kursi, lampu, pintu, jendela. Bagian dari tubuh

20
misalnya mata, hidung, gigi, ibu jari, lutut. Warna misalnya merah, biru, hijau,
kuning, kelabu. Bagian dari objek contohnya jarum jam, sol sepatu, kepala ikat
pinggang, bingkai kaca mata.Perhatikanlah apakah pasien dapat menyebutkan
nama objek dengan cepat atau lamban, atau tertegun, atau menggunakan
sirkumlokusi, parafasia, neologisme, dan apakah ada perseverasi. Di samping
menggunakan objek, dapat pula digunakan gambar objek.7
Bila pasien tidak mampu menyebutkan nama objek, perlu diperhatikan
apakah pasien dapat memilih nama objek tersebut dari beberapa pilihan nama
objek. Pada pemeriksaan ini perlu digunakan kurang lebih 20 nama objek sebelum
menentukan bahwa tidak didapatkan gangguan.7
7. Pemeriksaan Sistem Bahasa
Evaluasi sistem bahasa harus dilakukan secara sistematis. Perlu
diperhatikan bagaimana pasien berbicara spontan, komprehensi, repetisi, maupun
menamai. Selain itu kemampuan membaca dan menulis harus dinilai pula. Tidak
lupa evaluasi dilakukan untuk memeriksa sisi otak mana yang dominan dengan
melihat penggunaan tangan.7
Dengan melakukan penilaian yang sistematis biasanya dalam waktu yang
singkat dapat diidentifikasi adanya afasia serta jenisnya. Pasien yang afasia selalu
agrafia dan sering aleksia, untuk itu pemeriksaan membaca dan menulis dapat
dipersingkat. Namun pada pasien yang tidak afasia, pemeriksaan membaca dan
menulis harus dilakukan sepenuhnya karena aleksia, agrafia, atau keduanya dapat
terjadi secara terpisah.7
8. Pemeriksaan Penggunaan Tangan
Penggunaan tangan dan sisi otak yang dominan mempunyai kaitan yang
erat. Sebelum menilai bahasa perlu ditanyakan pada pasien apakah ia kidal atau
menggunakan tangan kanan. Banyak orang kidal telah diajarkan untuk menulis
dengan tangan kanan, oleh karena itu observasi cara menulis saja tidak cukup
untuk mennetukan apakah ia seorang yang kidal atau kandal. Pasien dapat juga
diminta memperagakan gerakan tangan yang digunakan untuk memegang pisau,
melempar bola, dan sebagainya.7
9. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium, hanya diperlukan tergantung dari penyebab
kerusakan otaknya. Diagnosis afasia terutama berasal dari pemeriksaan klinik dan
kejiwaan karena afasia merupakan tanda klinis. Pemeriksaan radiologi, biasanya

21
dilakukan dalam hal untuk melokalisasi lesi dan mendiagnosa penyebab
kerusakan otak. CT (Computed Tomography) Scan efektif untuk mengetahui
adanya perdarahan otak atau stroke iskemik yang sudah lebih dari 48 jam. MRI
(Magnetic Resonance Imaging) mampu mendeteksi stroke sesegera mungkin
sampai 1 jam setelah onset. Penggunaan kontras mungkin perlu untuk mendeteksi
tumor.8

2.8 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada pasien afasia bergantung pada penyebab dari
sindrom afasia itu sendiri. Penanganan terhadap stroke akut seperti pemberian rPA
pada pasien stroke iskemik, terapi intervensi intra-arterial, stenting dan
endarterectomy karotid, atau kontrol dari tekanan darah dapat meringankan defisit
yang dialami. Pembedahan pada subdural hematoma atau tumor serebri juga
memberikan hasil yang cukup memuaskan. Pada afasia yang disebabkan oleh
infeksi seperti herpes simpleks dapat diberikan terapi antivirus.8
Terapi berbicara dan berbahasa merupakan terapi utama dalam afasia.
Waktu dan teknik pelaksanaan intervensi pada pasien afasia bervariasi luas karena
penelitian yang dilakukan sangat minim. Namun dalam beberapa penelitian telah
terbukti bahwa terapi berbicara dan berbahasa dapat meningkatkan prognosis
pasien afasia. Kesulitan yang dialami pasien dalam menjalani terapi ini sangat
beragam karena berbeda dari individu ke individu.8
Beberapa hal yang harus diperhatikan saat melakukan terapi pada pasien
afasia : 9
 Banyak pasien afasia menderita depresi oleh karena itu pasien afasia
memerlukan dukungan psikologis. Ketepatan diagnosis, terapi, dan
dukungan emosional dapat sangat berguna bagi pasien.
 Terdapat beberapa teknik terapi khusus untuk pasien dengan masalah
artikulasi, masalah kosa kata, minimnya ilmu kalimat, dan kurangnya
intonasi. Dalam kata lain, terapi pada pasien afasia dapat divariasi agar
sesuai dengan kebutuhan pasien

22
 Terapi farmako pada afasia masih bersifat eksperimental. Penggunaan
dopaminerjik, cholinerjik, dan obat-obatan stimulan belum memberikan
hasil yang jelas. Namun penggunaan terapi farmako sebagai pendamping
dari terapi berbicara telah menunjukkan hasil yang baik.
 Teknologi baru yang dinamakan stimulasi magnetik transkranial sedang
diuji coba pada pasien afasia dan sejauh ini menunjukkan hasil yang baik.

Gambar 7. Alur konsep penatalaksanaan perawatam afasia.9

Berikut merupakan beberapa bentuk terapi afasia yang paling sering


digunakan yaitu :8,9
1. Terapi Kognitif Linguistik
Bentuk terapi ini menekankan pada komponen emosional bahasa. Sebagai
contoh, beberapa latihan akan mengharuskan pasien untuk
menginterpretasikan karakteristik dari suara dengan nada emosi yang berbeda-
beda. Ada juga yang meminta pasien mendeskripsikan arti kata seperti kata
"gembira". Latihan-latihan seperti ini akan membantu pasien mempraktekkan
kemampuan komprehensif sementara tetap fokus pada pemahaman komponen
emosi dari bahasa.9
2. Program Stimulus

23
Jenis terapi ini menggunakan berbagai modalitas sensori. Termasuk gambar-
gambar dan musik. Program ini diperkenalkan denngan tingkat kesukaran
yang meningkat dari tingkat yang mudah ke tingkat yang sulit.9
3. Stimulation-Fascilitation Therapy
Jenis terapi afasia ini lebih fokus pada semantik (arti) dan sintaksis (sususan
kalimat) dari bahasa. Stimulus utama yang digunakan selama terapi adalah
stimulus audio. Prinsip terapi ini yaitu, peningkatan kemampuan berbahasa
akan lebih baik jika dilakukan dengan pengulangan.8
4. Terapi Kelompok (group therapy)
Dalam terapi ini, pasien disediakan konteks sosial untuk mempraktekkan
kemampuan berkomunikasi yang telah mereka pelajari selama sesi pribadi.
Selain itu, mereka juga akan mendapatkan umpan balik dari para terapis dan
pasien lainnya. Hal ini bisa juga dilakukan dengan anggota keluarga. Efeknya
akan sama sekaligus juga mempererat komunikasi pasien dengan orang-orang
tercinta mereka.8
5. Promoting Aphasic's Communicative Effectiveness (PACE)
Ini merupakan bentuk terapi pragmatik yang paling terkenal. Jenis terapi afasia
ini bertujuan meningkatkan kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan
percakapan sebagai alatnya. Dalam terapi ini, pasien akan terlibat percakapan
dengan terapis. Untuk menstimulus komunikasi yang spontan, jenis terapi ini
akan menggunakan lukisan-lukisan, gambar, serta benda-benda visual. Benda-
benda ini akan digunakan oleh pasien sebagai sumber ide untuk
dikomunikasikan dalam percakapan. Pasien dan terapi secara bergiliran akan
menyampaikan ide-ide mereka.9
6. Transcranial Magnetic Stimulation (TMS)
Terapi ini dilakukan dengan mendekatkan magnet langsung ke area otak yang
diduga menghambat pemulihan kemampuan berbahasa setelah stroke. Dengan
menekan fungsi dari bagian otak tersebut, maka pemulihan diharapakan akan
semakin cepat. Beberapa studi telah menunjukkan hasil yang menggembirakan.
Tetapi, masih diperlukan studi yang lebih besar untuk membuktikan efektivitas
terapi ini.9

24
2.9 PROGNOSIS
Prognosis pada pasien afasia sangat bergantung pada penyebabnya. Pada
afasia yang disebabkan oleh stroke, penanganan utama stroke dan kesembuhannya
sangat berpengaruh terhadap kesembuhan dari afasia itu sendiri. Mengingat
penyembuhan dari stroke memakan waktu lama dan biasanya meninggalkan bekas
defisit neurologis, kesembuhan afasia dari pasien stroke sangat tidak menentu.
Pada pasien afasia yang disebabkan oleh infeksi herpes simpleks misalnya,
kesembuhan dapat segera terjadi dengan memberikan terapi antiviral yang sesuai.9

Prognosis kesembuhan kemampuan berbahasa bervariasi, tergantung pada


ukuran lesi dan umur serta keadaan umum pasien. Secara umum, pasien dengan
tanda klinis yang lebih ringan memiliki kemungkinan sembuh yang lebih baik.
Afasia Broca secara fungsional memiliki prognosis yang lebih baik daripada
Afasia Wernicke. Terakhir, afasia akibat penyakit yang tidak dapat atau sulit
disembuhkan, misalnya tumor otak, memiliki tingkat prognosis yang buruk.9

25
BAB III KESIMPULAN

Afasia merupakan penyakit penyerta dari berbagai penyakit neurologis


lain seperti stroke, cedera kepala, tumor otak, dan penyakit neurodegeneratif.
Dengan gejala kurangnya pemahaman bahasa dan ketidakmampuan dalam
mengungkapkan kata-kata, afasia sangat berpengaruh bagi kualitas hidup pasien.
Afasia dapat mempersulit baik diagnosis maupun terapi dari berbagai penyakit
lain karena minimnya komunikasi yang dapat dilakukan bagi pasien.
Diagnosis dini dari afasia sangat penting untuk memulai terapi afasia baik
bagi pasien maupun pendamping pasien agar defisit yang dialami tidak makin
berat. Untuk itu, seorang dokter harus dapat mendiagnosa afasia dengan tepat,
baik dari segi pembuatan diagnosis afasia maupun dari segi mengklasifikasikan
afasia tersebut karena setiap jenis afasia dapat membutuhkan penatalaksanaan
yang berbeda. Sebelum itu, seorang dokter harus dapat melakukan pemeriksaan
diagnosis afasia dengan tepat, yakni meliputi anamnesa, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang untuk melihat penyebab dan lokasi lesi afasia.
Terapi utama dari afasia adalah terapi berbicara. Terapi ini biasa dilakukan
oleh tenaga rehabilitasi medik dan dipantau oleh ahli syaraf. Tingkat kebrhasilan
dari terapi ini sangat bergantung kepada penyebab dari afasia itu sendiri. Oleh
karena itu, afasia tidak boleh dibiarkan serta tidak boleh diterapi tunggal
melainkan biasanya digunakan terapi kombinasi.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Pearl L.P, Emsellem A. Helene, 2014, The Central Nervous System: Brain
and Cord dalam Neurologic a primer on localization, page 3-27.
2. American Speech Language Hearing Association (2012).
http://www.asha.org/PRPSpecificTopic.aspx?folderid=8589934663.

3. Howard, Kirshner dan Jacobs DH. eMedicine Neurology Specialties:


Aphasia. 2012.
http://emedicine.medscape.com/article/1135944clinical#showall

4. Guyton, Arthur C, dan John E Hall. Textbook of Medical Physiology.


Singapore: Elsevier, 2008.

5. Barrett, Kim E, Susan M Barman, Scott Boitano, dan Heddwen Brooks.


Ganong's Review of Medical Physiology. United States of America: McGraw
Hill, 2010.

6. Simon, Roger P, A David Greenberg, dan J Michael Aminoff. Lange :


Clinical Neurology 7e. United States of America: McGraw Hill, 2009.

7. Lumbantobing, S M. Neurologi Klinik : Pemeriksaan Fisik dan Mental.


Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2010.

8. Ropper, Allan H, dan Martin A Samuels. Adams and Victor's Principles of


Neurology. United States of America : McGraw Hill, 2009.

9. Longo, Dan L, Anthony S Fauci, Dennis L Kasper, dan Stephen L Hauser.


Harrison's Principles of Internal Medicine. United States of America:
McGraw Hill, 2012.

27

Anda mungkin juga menyukai