Anda di halaman 1dari 16

PENDAHULUAN

Gangguan temporomandibular (TMD) adalah sekelompok gejala klinis


yang melibatkan otot pengunyahan, sendi di daerah orofasial, atau keduanya.
Gangguan ini memiliki gejala klinis seperti nyeri sendi, bunyi klik saat
membuka / menutup mulut, membuka mulut terbatas, gangguan pengunyahan,
dan sakit kepala. Namun keluhan nonspesifik sering diungkapkan oleh pasien,
misalnya nyeri leher atau bahu, tinitus, nyeri tekan di daerah sinus, dll.1
Dengan pertambahan umur, resesi gingiva, kehilangan perlekatan dan
resorpsi dari tulang alveolar, umumnya para lansia akan mengalami pengurangan
jumlah gigi. Berkurangnya gigi, terutama gigi posterior telah diindikasikan
sebagai penyebab gangguan TMJ karena kondilus mandibula akan mencari posisi
yang nyaman pada saat menutup mulut. Hal ini memicu perubahan letak kondilus
pada fosa glenoidalis dan menyebabkan gangguan TMJ. Pada gigi lansia terjadi
perubahan pada enamel, dentin, dan pulpa. Pada enamel akan terjadi atrisi, abrasi,
erosi, dan penipisan. Hal ini mengakibatkan warna gelap (coklat kekuningan)
pada gigi akibat warna dentin yang terlihat. Selanjutnya dentin akan berkurang,
terjadi dentin sklerotik, aktivitas odontoblas akan menurun dan kemudian dentin
menjadi keruh dan hipohidrasi. Pada pulpa akan terjadi penyempitan ruang pulpa
karena berbagai faktor, seperti pembentukan dentin sekunder, kalsifikasi pada
pulpa, resorpsi akar gigi bagian eksternal, bertambahnya kepadatan dan volume
dari serat kolagen pada pulpa, berkurangnya aliran saraf.2
Pada beberapa etiologi TMD yaitu multifaktorial dan gigi tanggal, jenis
kelamin, kebiasaan parafungsional (mengunyah satu sisi, bruxism, clenching)
dikenal sebagai faktor risiko timbulnya TMD, akan ada juga investigasi tentang
korelasi antara onset TMD di lansia dan faktor-faktor tersebut. Di Amerika
Serikat, dari sebuah studi epidemiologi, disimpulkan bahwa 75% dari populasi
yang diuji memiliki setidaknya satu gejala klinis TMD.4 Dalam sebuah studi pada
penghuni institusi perawatan jangka panjang ditemukan bahwa hanya 20% yang
memiliki satu gejala klinis. atau lebih banyak tanda klinis gangguan
temporomandibular. 1
Banyak penelitian tentang TMD telah dilakukan di luar negeri terutama
untuk populasi dewasa muda, tetapi tidak untuk populasi lanjut usia. Dari tahun
1990 hingga 2025, Indonesia diperkirakan memiliki peningkatan jumlah lansia
terbesar (sebesar 414%) di dunia. Pada tahun 2020, jumlah lansia diproyeksikan
menjadi 11,34% dari total penduduk.3 Dengan besarnya peningkatan jumlah
lansia tersebut, diperlukan lebih banyak penelitian tentang TMD untuk
meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia. Selain itu, ada kontroversi
mengenai korelasi antara usia dan TMD. Beberapa penelitian menunjukkan
peningkatan gejala TMD pada pasien usia lanjut, tetapi penelitian lain melaporkan
hasil yang bersamaan atau bahkan tidak ada korelasi antara TMD dan usia. Oleh
karena itu, diperlukan studi TMD pada lansia khususnya di Indonesia.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Lansia/Menua


Menua merupakan suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan fungsi normal
sehingga lebih rentan terhadap infeksi. Walaupun menua merupakan keadaan
alami dalam kehidupan manusia, para lansia tetap membutuhkan upaya
pemeliharaan serta peningkatan kesehatan dalam rangka mencapai masa tua yang
sehat, bahagia, berdaya guna, dan produktif.1
Proses menua pada lansia umumnya berupa pengurangan jumlah gigi-
geligi posterior dan anterior, terjadi degenerasi, penipisan mukosa, hiposalivasi,
penurunan aktivitas dan massa otot, serta terjadi kemunduran pada banyak fungsi
tubuh; salah satu di antaranya yaitu fungsi sendi temporomandibular (TMJ) untuk
mengunyah. TMJ dapat mengalami artritis dan osteoporosis akibat beban
berlebihan serta adanya faktor kehilangan gigi pada lansia yang berakibat kelainan
temporomandibular atau temporomandibula rdisorders (TMD).1
2.2 Pengertian TMD
Gangguan Temporomandibula (TMD) dapat juga didefinisikan sebagai
rasa sakit dan / atau disfungsi dalam otot-otot pengunyahan atau sendi
temporomandibular (TMJ), dan struktur terkait atau keduanya. Rasa nyeri pada
TMJ dan otot kraniofasial yang terkait dapat unilateral atau bilateral. Gangguan
sendi temporomandibula ini dianggap subdivisi patologi muskuloskeletal dan
menjadi sumber utama dari nyeri.2
2.3 Prevalensi Lansia serta hubungan dengan TMD
Jumlah lansia di Indonesia setiap tahunnya meningkat dengan usia harapan
hidup yang juga semakin meningkat dari tahun ke tahun. Data Komnas Lansia
mencatat pada tahun 2007 persentase lansia di Indonesia yaitu 7,18% dari total
populasi penduduk. Komnas lansia memperkirakan pada tahun 2020 persentase
lansia mencapai 11% jiwa, namun pada tahun 2010 persentase lansia di Indonesia
telah mencapai 22% jiwa. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan penduduk
lebih besar dari yang diperkirakan. Komnas Lansia juga memperkirakan pada
tahun 2025 persentase lansia di Indonesia mencapai 32% dari total populasi
penduduk. Pada lansia terjadi penurunan kemampuan pikir dan fisik yang
diakibatkan karena proses menua.1
Semakin lansia bertambah tua, semakin menurun pola kondisi fisik
maupun psikologis yang mengakibatkan lansia lebih rentan terhadap penyakit.
Pada penelitian ini paling banyak ditemukan interval umur 60-70 tahun sebanyak
55% dan paling sedikit yaitu interval umur >91 tahun hanya 1%. Hal ini
dikarenakan lansia dengan interval usia 60-70 tahun umumnya masih dapat
berkomunikasi dengan baik, beraktivitas normal dan kooperatif dibandingkan
dengan yang berusia >91 tahun yang kondisi fisiknya semakin menurun.
Penelitian inipun sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Iswatin et al.5
yang mendapatkan lansia berusia 70 tahun dominan dalam penelitian tersebut.1,4
Penelitian yang dilakukan pada lansia di Kecamatan Wanea mendapatkan
98 responden dengan kategori jenis kelamin diperoleh perempuan (64%) lebih
dominan dari laki-laki. Hal ini dikarenakan lansia perempuan di Kecamatan
Wanea lebih aktif dari pada laki-laki. Peneliti menemukan di lapangan bahwa
laki-laki lebih banyak menolak untuk diwawancarai daripada perempuan.
Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Iswatin et al.5 dan Maqfirah A et al.3
yang mendapatkan responden lansia perempuan lebih dominan dari pada laki-
laki.1
Temporomandibular Disorers (TMD) pada lansia di Kecamatan Wanea
diukur menggunakan Fonseca’s Questionnaire yaitu kuesioner baku dari Foseca
yang berasal dari Brazil. Hasil penelitian mengenai TMD pada lansia di
Kecamatan Wanea menunjukkan 70 (71%) lansia mengalami TMD dengan
klasifikasi 53 (54%) lansia mengalami TMD ringan, 12 (12%) lansia mengalami
TMD sedang, dan 5 (5%) lansia mengalami TMD berat; 28 (29%) lansia tidak
mengalami TMD. Hasil penelitian TMD dengan penggolongan jenis kelamin,
diperoleh hasil 10 (10%) lansia laki-laki dan 18 (19%) lansia perempuan yang
tidak mengalami TMD. Terdapat 16 (16%) lansia laki-laki dan 37 (38%) lansia
perempuan mengalami TMD ringan. Masing-masing 6 (6%) lansia lakilaki dan
perempuan mengalami TMD sedang dan 3 (3%) lansia laki-laki dan 2 (2%) lansia
perempuan yang mengalami TMD berat.1

2.4 Etiologi Temporomandibular Disorder


TMD dianggap sebagai gangguan multifaktorial dan tidak ada penyebab
khusus atau tunggal untuk itu. Ada beberapa faktor yang dapat merusak
keseimbangan TMJ dan sistem pengunyahan. Deformasi tulang, metaplasia
jaringan lunak TMJ dan pengurangan aktivitas otot sering merupakan respons
adaptif terhadap perubahan. Hiperaktif otot pengunyahan yang dihasilkan dari
kebiasaan parafungsional dapat menyebabkan respons adaptif dalam
keseimbangan dinamis karena hiperaktif dan beban tinggi dalam jangka panjang.
Perubahan berlebihan pada salah satu fungsi di atas dapat menyebabkan kecacatan
untuk beradaptasi yang mengarah ke gangguan TMJ. Sebagai contoh, trauma
eksternal pada bagian manapun mengakibatkan cedera dan gangguan pada fungsi
sendi normal. Selain itu, penyebab anatomi, sistemik, patofisiologis dan
emosional dapat membuat gangguan ini lebih parah.2,3
Umumnya para lansia akan mengalami pengurangan jumlah gigi.
Berkurangnya gigi, terutama gigi posterior telah diindikasikan sebagai penyebab
TMD karena kondil mandibula akan mencari posisi yang nyaman pada saat
menutup mulut. Hal ini didukung oleh Penelitian oleh Ribka11 yang melaporkan
adanya hubungan kehilangan gigi dengan TMD berdasarkan jumlah kuadran
kehilangan gigi posterior, dukungan oklusal, dan jumlah kehilangan gigi serta
terdapat peningkatan insiden TMD seiring dengan peningkatan jumlah kehilangan
gigi. Hal yang sering terjadi pada seseorang dnegan kehilangan gigi posterior
ialah terdapatnya perbedaan posisi salah satu atau kedua processus condylaris
sendi temporomandibular ketika beroklusi. Caput processus condylaris bisa
mengalami penekanan terlalu keras terhadap fossa glenoidalis dan menyebabkan
kartilago discus articularis rusak yang akan menarik ligamen terlalu kuat
sehingga menyebabkan gangguan pada kedua sendi rahang.1,3
Perubahan fisik pola kondisi fisik maupun psikologis yang mengakibatkan
lansia lebih rentan terhadap penyakit serta meruapakan faktor yang memicu
terjadinya TMD . Salah satunya adalah massa tulang, baik pada tulang alveolar
dan sendi rahang menurun pada lansia akibat menurunnya asupan kalsium dan
hilangnya mineral tulang.2 Menurut Moore, umumnya pada usia 35 tahun untuk
perempuan dan usia 45 tahun untuk laki-laki massa tulang mencapai maksimum.
Setelah titik itu, lebih banyak massa tulang yang hilang daripada yang dibentuk
sehingga perempuan cenderung mengalami osteoporosis. Hal tersebut
menjelaskan mengapa lansia perempuan lebih sering mengalami TMD dan bunyi
clicking dibandingkan lansia laki-laki.1,3,4
Perempuan umumnya lebih rentan terhadap penurunan kondisi fisik
diawali dengan adanya perubahan hormon yang terjadi. Pada lanjut usia,
perempuan telah mengalami menoupause dan seiring itu terjadi pula perubahan
psikologis yang menyebabkan perempuan lebih mudah mengalami stres. Stres
emosional dapat menyebabkan peningkatan aktifitas otot pada posisi istirahat
yang dapat menimbulkan kelelahan dan spasme otot. Spasme otot yang terjadi
akan meningkatkan respon saraf simpatis yang menyebabkan nyeri otot
mastikasi.1,3

2.5 Tanda dan gejala TMD


Tanda klinis dan gejala TMD dapat diklasifikasikan sebagai kelainan
muskular, internal derangement of the TMJ dan perubahan degeneratif pada
komponen tulang pada sendi.2
Diagnosis temporomandibular disorder merupakan kesimpulan dari
sejumlah masalah klinis yang melibatkan nyeri TMJ dan masalah pada otot
pengunyahan. Kebanyakan pasien dengan TMD menderita nyeri dari otot dan atau
sendi pada palpasi dan saat pergerakan mandibula, joint sounds dan keterbatasan
gerakan mandibula.2,5
Struktur dan fungsi jaringan konektif mengalami sintesis dan degradasi
makromolekul sel dan ekstraseluler secara terus-menerus. Proses remodeling ini
adalah adaptasi biologis terhadap lingkungan, yaitu respon stres biomekanis.
Adaptasi morfologi akan meminimalkan stres biomekanis. Sejak usia dewasa
muda, tulang rahang terus mengalami remodeling. Remodeling dianggap
menyebabkan penebalan jaringan pada permukaan sendi, misalnya produksi
osteosit, sebagai respon terhadap perubahan lingkungan, misalnya sebagai
kompensasi gigi yang telah dicabut. Sedangkan kegagalan menahan stres
biomekanis menyebabkan degenerasi prematur jaringan fibrosa sendi seperti
resorpsi tulang subartikular. Akibat proses menua, jaringan sendi mengalami
reduksi sel yang progresif sehingga hanya tersisa sedikit kondrosit dan fibroblas
yang kemudian menjadi fibrokartilago. Akibatnya terjadi penipisan meniskus
sendi dan dapat mengalami arthritis remodeling terjadi pada bagian anterior dan
posterior condyl, medial dan lateral eminensia sendi, dan atap fossa glenoid.
Derajat remodeling tidak berhubungan dengan usia tetapi sangat berhubungan
dengan kehilangan gigi. Terdapat lebih dari 95% individu memberikan gambaran
osteoartritis. Gambaran radiografik condyl yang utama adalah sklerosis
subkondral sehingga permukaan sendi menjadi rata karena erosi dan celah sendi
menjadi sempit. Secara histologis, terlihat bahwa stres mekanis menyebabkan
pemanjangan ligamen posterior meniskus, diikuti pergeseran ventromedial yang
menyebabkan tidak adekuatnya aliran darah sehingga terjadi iskemia di daerah
tersebut dan terjadi resorpsi tulang.2
Perubahan gigi geligi pada proses penuaan menjadi faktor yang memicu
terjadinya TMD dan berkaitan dengan proses fisiologis normal, dan proses
patologis akibat tekanan fungsional dan lingkungan. Gigi geligi mengalami
diskolorisasi menjadi lebih gelap dan kehilangan email akibat atrisi, abrasi dan
erosi. Secara umum ruang pulpa menyempit dan sensitivitas berkurang karena
adanya deposisi dentin sekunder. Resesi gingiva, hilangnya perlekatan periodontal
dan tulang alveolar merupakan perubahan jaringan periodontal yang umum
ditemukan pada lansia. Degenerasi tulang alveolar menyebabkan gigi geligi
tampak lebih panjang daripada sebelumnya. Resesi gingiva yang terjadi secara
signifikan tidak diikuti oleh peningkatan kedalaman poket periodontal. Massa
tulang, baik pada tulang alveolar dan sendi rahang menurun pada lansia akibat
menurunnya asupan kalsium dan hilangnya mineral tulang.2
Beberapa penelitian melaporkan bahwa perbedaan antara prevalensi tanda
oyektif dan subyektif TMD dapat ditemukan pada individu usia tua. Pada
penelitian terkini, joint sounds (termasuk krepitus) lebih sering ditemukan pada
kelompok lanjut usia. Kita perlu mengerti proses penuaan fisiologis pada sistem
oromandibular. Densitas fibroblast yang lebih rendah secara signifikan diteliti
pada jaringan retrodiskal lanjut usia. Sebagai tambahan, lanjut usia menunjukkan
secara signifikan distribusi yang lebih rendah pada jaringan vaskulae dan secara
signifikan lebih tinggi adanya jaringan ikat padat pada sepertiga sentral perlekatan
diskus posterior. Dengan bertambahnya usia, permukaan artikular kondilus
mandibular secara morfologis menunjukan perubahan degeneratif parah. Kondilus
dengan perubahan ini cenderung dari sisi mandibula dengan daerah yang minim
kontak oklusal.2
Secara radiografis, irregularitas plate tulang kortikal banyak dijumpai pada
dekade kelima dan keenam, sementara struktur yang poligonal atau datar dapat
diamati pada dekade ketujuh. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa krepitus
lebih sering pada kelompok usia lebih tua. Peneliti ini meneliti bahan autopsi TMJ
dan menyimpulkan bahwa arthrosis lebih sering pada subyek usia tua daripada
usia muda. Karena arthrosis bermanifes pada krepitus. Bagaimanapun, penulis
lain menganjurkan bahwa tampilan rediogafik TMJ bervariasi luas, perubahan
remodeling jarang terlihat dan tidak ada hubungan linear langsung antara usia dan
perubahan radiografik pada morfologi condylar. Sehingga tidak ada hubungan
statistik signifikan antara perubahan radiografik pada morfologi kondilar dan
tanda serta gejalanya. Turp et al menemukan pada penelitiannya bahwa spesialis
ortopedi menyarankan bahwa tidak perlu untuk mengisolasi joint sound (misalnya
tanpa nyeri). M. Schimitter et al menyarankan meskipun subyek usia tua lebih
sering menunjukkan joint sound (krepitus) TMD, tetapi mereka jarang menderita
nyeri.3
Range gerakan mandibula secara signifikan lebih besar pada subyek usia muda
daripada geriatrik. Penelitian lain menyimpulkan bahwa pembukaan mandibula
terbatas haeus di lhat sebagai cerminn perubahan terkait usia pada lanjut usia.3
Beberapa penelitian melaporkan bahwa analisis fungsi pengunyahan, nilai
aktivitas elektromyografik relatif sampai kontraksi volunter lebih tinggi untuk
subyek usia muda daripada lanjut usia. Lanjut usia menunjukkan hiperaktivitas
dari otot-otot pengunyahan selama perawatan postur dan sedikit hipoaktivitas dari
otot ini selama mengunyah ketika dianalisa dengan individu usia muda. Fakta ini
dapat dijelaskan oleh deterioration mekanisme kontrol neuromuskular dan
sensoris, dimana jika terdapat sel yang hilang terutama cel Bets pada korteks
motorik, menghambat otot ekstensor dan mengurangi tonus muskular yang
mengakibatkan amplitudo gerakan lebih tinggi pada individu lanjut usia. Saat
kekerasan makanan meningkat, diperlukan kekuatan otot untuk mengunyah, lebih
tinggi untuk individu lanjut usia. Peyron et al menemukan kehilangan otot
progresif saat usia berlanjut, berkisar sekitar 40% jika individu berusia 75 tahun
dan juga penurunan performance mastikasi.3

2.6 Terapi TMD


Tujuan utama pengobatan untuk gangguan temporomandibular adalah
untuk mengurangi atau menghilangkan rasa sakit dan / atau suara sendi, dan untuk
mengembalikan fungsi mandibula yang normal. Hal ini paling baik dicapai jika
ada faktor lain yang berkontribusi seperti stres, depresi, dan kebiasaan
parafungsional oral (yaitu, bruxism ) ditangani dan dimasukkan ke dalam strategi
pengobatan keseluruhan. Penting bagi dokter untuk menetapkan apakah masalah
mendasar adalah fisik atau psikogenik, karena ini akan menentukan pengobatan.
Sebagian besar gangguan psikogenik ditemukan pada kelompok nyeri dan
disfungsi myofascial gangguan temporomandibular yang memerlukan
penggunaan pengobatan psikotropika dan psikoterapi yang dijelaskan di bawah
ini.7

Bagian pertama : Terapi non surgical7

Penjelasan
langkah pertama dalam penatalaksanaan gangguan temporomandibular adalah
menjelaskan kepada pasien penyebab dan sifat gangguan yang mereka hadapi, dan
meyakinkan mereka tentang sifat jinak dari kondisi tersebut. Banyak pasien akan
mendapat manfaat dari kepastian bahwa gejala gangguan temporomandibula yang
mereka alami bukanlah "kanker". Evaluasi menyeluruh harus secara efektif untuk
mengetahui factor penyebab yang bisa menimbulkan dampak yang buruk

Edukasi dam self care


Langkah selanjutnya adalah merumuskan rutinitas perawatan diri yang harus
mencakup berikut ini; keterbatasan fungsi mandibula, kesadaran dan modifikasi
kebiasaan, program latihan di rumah dan menghindari stres. Keterbatasan fungsi
mandibula secara sengaja (yaitu, hindari mengunyah dan berbicara yang
berlebihan) didorong untuk mendorong istirahat atau imobilisasi struktur otot dan
artikular, sama seperti seorang atlet mengistirahatkan sendi yang cedera. Oleh
karena itu, pasien disarankan untuk mempertahankan diet lunak dan menghindari
makanan yang banyak mengunyah. Selain itu, pasien juga harus dilarang menguap
lebar, bernyanyi, mengunyah permen karet, dan aktivitas lain yang dapat
meningkatkan fungsi mandibula secara berlebihan. Pijat otot yang terkena dengan
penerapan panas lembab akan membantu menenangkan otot yang sakit atau lelah
dengan meningkatkan relaksasi otot.20 Pasien juga harus disarankan untuk
mengidentifikasi sumber stres, dan mencoba dan mengubah gaya hidup mereka
oleh karena itu.8 Kunjungan ke dokter gigi yang lama sering kali memperburuk
TMD sehingga Dokter Gigi harus mengizinkan pasien untuk mengistirahatkan
rahang secara berkala selama pengangkatan mereka. Penggunaan alat bantu mulut
untuk menahan rahang terbuka semoga bermanfaat.

Medikamen
Farmakoterapi dapat menjadi perawatan tambahan untuk meredakan gejala ketika
diresepkan sebagai bagian dari program manajemen yang komprehensif. Tidak
ada obat tunggal yang telah terbukti efektif untuk semua kasus gangguan
temporomandibular.1 Dokter yang menangani gangguan temporomandibular
harus memahami dengan baik berbagai kelompok obat yang mencakup obat
antiinflamasi non steroid, opiat , Anxiolytics, relaksan otot, obat penenang dan
antidepresan. 19
Efek analgesik dari obat antiinflamasi nonsteroid spesifik hanya pada kasus
gangguan temporomandibula di mana nyeri merupakan akibat dari proses
inflamasi seperti sinovitis atau miositis. Opiat paling baik diresepkan untuk nyeri
sedang hingga parah dalam waktu singkat karena potensi kecanduannya yang
tinggi. Pada dosis kasus biasa, opiat lebih efektif dalam meredam respons
emosional pasien terhadap nyeri daripada menghilangkan sensasi nyeri itu
sendiri.5 Di hadapan tingkat stres emosional yang tinggi terkait dengan gangguan
temporomandibular, agen penenang seperti benzodi- azepine, atau yang lebih
jarang fenotiazin, digunakan untuk membantu pasien mengatasi stres dengan
membantu mengurangi persepsi atau reaksi mereka terhadap stres. Dalam dosis
rendah, antidepresan tri-siklik juga telah terbukti bermanfaat dalam pengobatan
nyeri orofasial kronis seperti yang sering ditemukan pada kasus gangguan
temporomandibular yang sudah berlangsung lama.19
Kombinasi obat yang umum adalah meloxicam 7,5 mg dua kali sehari sebagai
anti-inflamasi dan amitriptyline 10 mg pada malam hari sebagai cara untuk
mengobati clenching / bruxism nocturnal.

Terapi splint oklusal


Bentuk perawatan yang paling umum yang diberikan oleh dokter gigi untuk
gangguan temporomandibular adalah terapi splint oklusal.2 Ini dapat juga disebut
sebagai alat penambah gigitan, alat oklusal, atau pelindung gigitan (Gbr. 5).
Tujuannya adalah untuk melindungi gigi dari beban tinggi yang tidak normal pada
clencher dan grinder dan juga untuk mengurangi beban maksimum pada TMJ,
terutama pada pasien dengan pengepakan / grinding di malam hari. Dengan
mengganggu oklusi, kontraksi maksimum otot pengunyahan juga dicegah yang
secara teoritis mengurangi nyeri otot. Meskipun penggunaan terapi splint oklusal
secara klinis terbukti mengurangi gejala gangguan temporomandibular pada lebih
dari 70 persen pasien, dasar fisiologis dari respons pengobatan belum pernah
dipahami dengan baik.1 Meskipun ada banyak desain splint oklusal yang tersedia,
splint yang paling efektif adalah yang dibuat khusus, aman, nyaman dipakai dan
tidak menyebabkan perubahan oklusal.21
Physioterapi
Tujuan fisioterapi adalah mengembalikan fungsi mandibula yang normal dengan
sejumlah teknik fisik yang berfungsi untuk meredakan nyeri muskuloskeletal dan
mempercepat penyembuhan jaringan.22 Fisioterapis juga dapat menggunakan
tindakan tambahan seperti tusuk jarum kering, TENS (stimulasi saraf listrik
transkutan) dan terapi ultrasonografi berdenyut untuk membantu meredakan nyeri
otot. Fisioterapi sangat berguna dalam pengelolaan nyeri myofascial dan
gangguan TMJ yang terkunci dan sangat penting setelah operasi TMJ.

Terapi perilaku
Jika ada kebiasaan terus-menerus yang memperburuk atau mempertahankan
gangguan temporomandibular yang tidak dapat dengan mudah dimodifikasi
dengan kesadaran pasien yang sederhana, maka program terapi perilaku kognitif
yang terstruktur mungkin diperlukan. Strategi modifikasi perilaku mungkin
termasuk konseling tentang gaya hidup, terapi relaksasi, hipnosis dan biofeedback
yang termasuk dalam domain Psikolog profesional.

Psikoterapi
Kadang-kadang, gangguan temporomandibular mungkin merupakan ekspresi
somatik dari gangguan psikologis atau psikiatri yang mendasari seperti depresi
atau gangguan konversi. Petunjuk untuk kemungkinan ini adalah ketika gejala
aneh dilaporkan, pasien menunjukkan perilaku aneh, atau penderitaan pasien
tampak berlebihan atau terus-menerus melebihi apa yang biasanya diharapkan dari
kondisi itu sendiri. Dalam kasus ini, rujukan psikiatri merupakan bagian wajib
dari strategi manajemen keseluruhan
BAB III
SIMPULAN

Tanda dan gejala TMD pada lanjut usia lebih sering berupa tanda obyektif
(krepitus pada pembukaan, nyeri pada palpasi muskular).3 Perawatan TMD pada
geriatrik dapat merupakan terapi konservatif berupa edukasi pasien, penggunaan
obat NSAIDS, terapiocclusal appliance, dan terapi fisik. Perawatan pada
rheumatoid arthritis harus berkoordinasi dengan ahli rheumatologist.
DAFTAR PUSTAKA

1. Gabrilla J, Lydia T dan Kustina Z. Gambaran Tempotomandibula disorder


pada lansia di kecamatan Wanea. Jurnal e-Gigi, Volume 4 nomor 2, Juli-
desember 2016. Hal : 90-95.
2. Okeson JP. Management of temporomandibular disorder and occlusion. 7 th
Ed. St Louis Missouri: Elsevier; 2013.p
3. Pedersen PH, Walls, Ship J. Textbook of Geriatric Dentistry 3rd ed.
Chennai:Wiley. 2015. P269
4. Chang JY,Kang SK, Auh QS, Hong JP, Chun YH. Prevalence of Sign and
Symptoms of Temporomandibular Disorders wih Aging.Korean J Oral Med.
2012; 37.
5. Nguyen MS, Triin J, Toai N, Mare S and Ulle VO. Symptoms and signs of
temporomandibular disorder among elderly Vietnamase. Proceedings of
Singapore Healthcare 2017, Vol. 26(4) 211–216.
6. Murrieta J, Emma A, Manuel V, Leisia O, Julieta M and Maria LJ.
Prevalance of temporomandibular joint disorder in a Mexica elderly group. J
Oral Res 2016; 5(1): 13-18.
7. Dimitroulis G. Management of temporomandibular joint disorder : A
surgeon’s perspective. Australian Dental Journal 2018; 63:(1 Suppl): S79–
S90.

Anda mungkin juga menyukai