PENDAHULUAN
1
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. T
Umur : 29 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Swasta
Pendidikan : SMA
Agama : Islam
Alamat : Pondok Meja
DAFTAR MASALAH
No Masalah Aktif Tanggal Masalah Pasif Tanggal
1. Sefalgia Kronik
2. Hemiparese Dextra
3. Parase N.I sinistra
(anosmia ipsilateral)
4. Parase N.II dextra et
sinistra
2
(-). Obat warung yang selama ini dikonsumsi sudah tidak meredakan
nyeri kepala yang dirasakan oleh pasien. Pasien juga mengeluh merasa
sulit berkonsentrasi pada pekerjaannya, tidur berlebihan, dan merasa
lambat dalam beraktivitas. Pasien lalu berobat kedokter dan diberi obat.
Namun pasien tidak rutin berobat dan mengkonsumsi obat yang
diberikan oleh dokter, karena merasa keluhannya membaik.
± 4 bulan yang lalu, pasien mengeluhkan nyeri kepalanya semakin
memberat. Nyeri dirasakan terus menerus sehingga mengganggu
aktivitas pasien. Keluhan ini juga disertai kaki dan tangan kanan pasien
terasa lemah. Pasien juga mengeluhkan pandangan kedua mata perlahan
mulai kabur. Pasien juga merasa berat badannya semakin menurun.
Nyeri kepala bagian depan (+), hilang timbul, dan tidak berkurang setiap
harinya, keluhan lainnya yaitu muntah (+), demam (-), dan kejang (-),
lalu pasien berobat ke dokter dan dilakukan pemeriksaan CT-Scan dan
didapatkan hasil adanya tumor otak sebelah kiri. Pasien disarankan untuk
operasi tapi pasien menolak.
± 2 minggu yang lalu, pasien mengeluhkan pandangan kedua mata
semakin buram. Pasien juga mengatakan hidung sebelah kiri seperti
tersumbat dan tidak dapat mencium bau dengan normal seperti hidung
sebelahnya. Nyeri kepala yang semakin memberat pada bagian depan
ditepi dahi, dan muntah (+) berkurang. Pasien juga merasakan lengan
dan kaki kanan semakin melemah, sehingga pasien kesulitan untuk
memegang sesuatu dan lemas saat berjalan.
± 1 hari yang lalu, pasien mengeluhkan nyeri kepala dirasakan
semakin berat. Nyeri kepala yang dirasakan timbul beberapa jam, dan
semakin memberat di pagi hari serta saat posisi tidur terlalu datar.
Pandangan mata buram (+), lengan dan tungkai kanan terasa kaku
sehingga pasien sulit untuk melakukan aktivitas, muntah satu kali tanpa
didahului mual, dan muntah berupa makanan yang dimakan. Kejang (-),
demam (-).
2. Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat trauma kepala (-)
3
Riwayat alergi obat (-)
Riwayat hipertensi (-)
Riwayat diabetes melitus (-)
Riwayat epilepsi (-)
Riwayat stroke (-)
4
sklera ikterik (-/-), pupil bulat, isokor, ± 3 mm/± 3
mm, refleks cahaya (+/+),
THT : Dalam batas normal
Mulut : bibir sianosis (-), mukosa kering (-), , lidah hiperemis (-),
T1- T1, faring hiperemis(-).
Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid(-)
Dada : Simetris kanan =kiri
Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis ics V teraba di 2 jari lateral linea
midclavicula
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : BJ I dan BJ II regular, gallop (-), murmur (-)
Paru :
Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris kanan dan kiri
Palpasi : Fremitus vokal kanan=kiri
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing(-/-)
Abdomen :
Inspeksi : Tampak datar, massa (-).
Palpasi : Nyeri tekan abdomen (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Alat kelamin : Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas :
Superior : Akral hangat, edema (-)/(-), CRT < 2 detik
Inferior : Akral hangat, edema (-)/(-), CRT < 2detik
5
4. Status Neurologi
1. Kesadaran kualitatif : Kompos mentis
2. Kesadaran kuantitatif (GCS) :15 (E4M6V5)
3. Kepala
a. Bentuk :Normocephal
b. Simetri :(+)
4. Tanda Rangsang meningeal
a. Kaku kuduk : -
b. Brudzinsky1 : -
c. Brudzinsky2 : -
d. Brudzinsky3 :-|-
e. Brudzinsky4 :-|-
f. Laseque :-/-
g. Kernig :-/-
5. Nervus Cranialis
Nervus Kranialis Kanan Kiri
N I (Olfaktorius)
Subjektif Baik Baik
Objektif (dengan bahan) Baik Anosmia
N II (Optikus)
Tajam penglihatan 6/12 1/60
Lapangan pandang Menyempit Menyempit dengan
skotoma sentral
Melihat warna Baik Buta warna
Funduskopi Papiledema Atrofi Papil
N III (Okulomotorius)
Sela mata Simetris Simetris
Ptosis Tidak ada Tidak ada
Pergerakan bola mata Normal Normal
Nistagmus Tidak ada Tidak ada
Ekso/endotalmus Tidak ada Tidak ada
Pupil :
Dijulurkan
Atropi papil -
Disartria -
Tremor -
F. Gerakan-gerakan Abnormal
Gerakan-gerakan Abnormal Hasil Pemeriksaan
Tremor -
Athetosis -
Miokloni -
Khorea -
G. Alat Vegetatif
Alat Vegetatif Hasil Pemeriksaan
Miksi Normal
Defekasi -
V. PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Kesan:
- Tumor Massa Otak Kiri (susp. Oligodendroglioma)
VI. DIAGNOSIS
Diagnosis Klinis :
- Sefalgia Kronik
- Hemiparese dekstra
- Parese N. I sinistra (anosmia)
- Parese N. II dextra et sinistra
Diagnosis Topis : Hemisfer cerebri sinistra
Diagnosis Etiologi : Tumor Lobus Frontal
VII. PENATALAKSANAAN
Non-Medikamentosa :
- Pantau kesadaran dan tanda vital
- Elevasi kepala 30
- Konsul ke bedah saraf untuk tatalaksana selanjutnya (pembedahan)
- Edukasi :
o Menjelaskan kepada pasien dan keluarganya mengenai
penyakit pasien, faktor risiko, penatalaksanaan, komplikasi
serta prognosisnya.
o Menjelaskan kepada pasien dan keluarga, bila sudah
ditatalaksana dengan pembedahan, kemungkinan tumor dapat
kambuh sehingga pasien perlu menjaga pola makan yang sehat
dan bergizi, perbanyak makan buah dan sayuran, serta rajin
berolahraga.
Medikamentosa :
- IVFD NaCL 0,9% 20 tpm
- Inj. Dexamethasone 4 x 5 mg
- Inj. Ketorolac 3 x 30 mg
- Inj. Omeprazole 2 x 40 mg
VIII. PROGNOSIS:
- Ad vitam : dubia ad bonam
- Ad functionam : dubia ad bonam
- Ad sanationam : dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Anatomi Otak
Otak terletak dalam rongga cranium, terdiri atas semua bagian system
saraf pusat (SSP) diatas korda spinalis. Secara anatomis terdiri dari cerebrum
cerebellum, brainstem, dan limbic system. Secara garis besar, sistem saraf dibagi
menjadi 2, yaitu sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat (SSP)
terbentuk oleh otak dan medulla spinalis. Sistem saraf disisi luar SSP disebut
sistem saraf tepi (SST). Fungsi dari SST adalah menghantarkan informasi bolak
balik antara SSP dengan bagian tubuh lainnya.6
3.2.2 Klasifikasi
Tumor otak memiliki banyak klasifikasi :
Klasifikasi tumor, terbagi dua yaitu :9
3.2.4 Etiologi
Penyebab tumor otak hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti,
walaupun telah banyak penyelidikan yang dilakukan. Adapun faktor-faktor yang
perlu ditinjau sebagai penyebab tumor otak, sebagai berikut:8
1. Herediter
Riwayat tumor otak dalam satu anggota keluarga jarang ditemukan kecuali
pada meningioma, astrositoma dan neurofibroma dapat dijumpai pada
anggota-anggota sekeluarga (5-10%). Sklerosis tuberose atau penyakit Sturge-
Weber yang dapat dianggap sebagai manifestasi pertumbuhan baru,
memperlihatkan faktor familial yang jelas. Selain jenis-jenis neoplasma
tersebut tidak ada bukti-bukti yang kuat untuk memikirkan adanya faktor-
faktor herediter yang kuat pada neoplasma.
2. Sisa-sisa Sel Embrional (Embryonic Cell Rest)
Bangunan-bangunan embrional berkembang menjadi bangunan-bangunan
yang mempunyai morfologi dan fungsi yang terintegrasi dalam tubuh. Tetapi
ada kalanya sebagian dari bangunan embrional tertinggal dalam tubuh,
menjadi ganas dan merusak bangunan di sekitarnya. Perkembangan abnormal
itu dapat terjadi pada kraniofaringioma, terutama intrakranial dan kordoma.
3. Radiasi
Jaringan dalam sistem saraf pusat peka terhadap radiasi dan dapat mengalami
perubahan degenerasi, namun belum ada bukti radiasi dapat memicu
terjadinya suatu glioma. Pernah dilaporkan bahwa meningioma terjadi setelah
timbulnya suatu radiasi.Selain itu pada pasien-pasien penderita tinea kapitis
yang medapat radiasi kepala jangka panjang.
4. Virus
Banyak penelitian tentang inokulasi virus pada binatang kecil dan besar yang
dilakukan dengan maksud untuk mengetahui peran infeksi virus dalam proses
terjadinya neoplasma, tetapi hingga saat ini belum ditemukan hubungan antara
infeksi virus dengan perkembangan tumor pada sistem saraf pusat.
5. Substansi-substansi Karsinogenik
Penyelidikan tentang substansi karsinogen sudah lama dan luas dilakukan.
Kini telah diakui bahwa ada substansi yang karsinogenik seperti
methylcholanthrone, nitroso-ethyl-urea. Ini berdasarkan percobaan yang
dilakukan pada hewan.
3.2.6 Diagnosis3
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Keluhan yang timbul dapat berupa sakit kepala, mual, penurunan nafsu
makan, muntah proyektil, kejang, defisit neurologik (penglihatan dobel,
strabismus, gangguan keseimbangan, kelumpuhan ekstremitas gerak, dsb),
perubahan kepribadian, mood, mental, atau penurunan fungsi kognitif.
Pemeriksaan status generalis dan lokalis serta pemeriksaan neurooftalmologi
diperlukan.
Kanker otak melibatkan struktur yang dapat mendestruksi jaras
pengllihatan dan gerakan bola mata, baik secara langsung maupun tidak langsung,
sehingga beberapa kanker otak dapat memiliki manifestasi neurooftalmologi yang
khas seperti tumor regio sella, tumor regio pineal, tumor fossa posterior, dan
tumor basis kranii.
Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan neurooftalmologi terutama
untuk menjelaskan kesesuaian gangguan klinis dengan fungsional kanker otak.
Pemeriksaan ini juga berguna untuk mengevaluasi pre dan post tindakan (operasi,
radioterapi dan kemoterapi) pada tumor-tumor tersebut.
2. Pemeriksaan Fungsi Luhur
Gangguan kognitif dapat merupakan soft sign, gejala awal pada kanker
otak, khususnya pada tumor glioma derajat rendah, limfoma, atau metastasis.
Fungsi kognitif juga dapat mengalami gangguan baik melalui mekanisme
langsung akibat destruksi jaras kognitif oleh kanker otak, maupun mekanisme
tidak langsung akibat terapi, seperti operasi, kemoterapi, atau radioterapi. Oleh
karena itu, pemeriksaan fungsi luhur berguna untuk menjelaskan kesesuaian
gangguan klinis dengan fungsional kanker otak, serta mengevaluasi pre- dan post
tindakan (operasi, radioterapi dan kemoterapi). Bagi keluarga, penilaian fungsi
luhur akan sangat mem-bantu dalam merawat pasien dan melakukan pendekatan
berdasarkan hendaya.
3.Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Terutama untuk melihat keadaan umum pasien dan kesiapannya untuk
terapi yang akan dijalani (bedah, radiasi, ataupun kemoterapi), yaitu: Darah
lengkap, Hemostasis LDH, Fungsi hati, ginjal, gula darah, Serologi hepatitis B
dan C, Elektrolit lengkap.
b. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan radiologis yang perlu dilakukan antara lain: CT Scan dengan
kontras, MRI dengan kontras, MRS dan DWI, serta PET CT (atas indikasi).
Pemeriksaan radiologi standar adalah CT scan dan MRI dengan kontras. CT scan
berguna untuk melihat adanya tumor pada langkah awal penegakkan diagnosis
dan sangat baik untuk melihat kalsifikasi, lesi erosi/destruksi pada tulang
tengkorak. MRI dapat melihat gambaran jaringan lunak dengan lebih jelas dan
sangat baik untuk tumor infratentorial, namun mempu-nyai keterbatasan dalam
hal menilai kalsifikasi. Pemeriksaan fungsional MRI seperti MRS sangat baik
untuk menentukan daerah nekrosis dengan tumor yang masih viabel sehingga baik
digunakan sebagai penuntun biopsi serta untuk menyingkirkan diagnosis banding,
demikian juga pemeriksaan DWI. Pemeriksaan positron emission tomography
(PET) dapat berguna pascaterapi untuk membedakan antara tumor yang rekuren
dan jaringan nekrosis akibat radiasi.
c. Pemeriksaan cairan serebrospinal
Dapat dilakukan pemeriksaan sitologi dan flowcytometry untuk
menegakkan diagnosis limfoma pada susunan saraf pusat atau kecurigaan
metastasis leptomeningeal atau penyebaran kraniospinal, seperti ependimoma.
3.2.7 Tatalaksana2,3
Tatalaksana terhadap tumor otak adalah paliatif (pelayanan pada pasien
yang penyakitnya sudah tidak bereaksi terhadap pengobatan kuratif atau tidak
dapat disembuhkan secara medis) dan melibatkan penghilangan atau mengurangi
simtomatologi serius. Pendekatan terapeutik ini mencakup radiasi, yang menjadi
dasar pengobatan, pembedahan (biasanya pada metastase intrakranial tunggal),
kemoterapi. Pemilihan jenis terapi pada tumor otak tergantung pada beberapa
faktor, antara lain:
Kondisi umum penderita
Tersedianya alat yang lengkap
Pengertian penderita dan keluarganya
Luasnya metastasis.
a. Tatalaksana Simptomatik
Tatalaksana Penurunan Tekanan Intrakranial
Pasien dengan kanker otak sering datang dalam keadaan neuroemergency
akibat peningkatan tekanan intrakranial. Hal ini terutama diakibatkan oleh efek
desak ruang dari edema peritumoral atau edema difus, selain oleh ukuran massa
yang besar atau ventrikulomegali karena obstruksi oleh massa tersebut.
Edema serebri dapat disebabkan oleh efek tumor maupun terkait terapi,
seperti pasca operasi atau radioterapi. Gejala yang muncul dapat berupa nyeri
kepala, mual dan muntah, perburukan gejala neurologis, dan penurunan
kesadaran.
Pemberian kortikosteroid sangat efektif untuk mengurangi edema serebri
dan memperbaiki gejala yang disebabkan oleh edema serebri, yang efeknya sudah
dapat terlihat dalam 24-36 jam. Agen yang direkomendasikan adalah
deksametason dengan dosis bolus intravena 10 mg dilanjutkan dosis rumatan 16-
20mg/hari intravena lalu tappering off 2-16 mg (dalam dosis terbagi) bergantung
pada klinis. Mannitol tidak dianjurkan diberikan karena dapat memperburuk
edema, kecuali bersamaan dengan deksamethason pada situasi yang berat, seperti
pascaoperasi.
Efek samping pemberian steroid yakni gangguan toleransi glukosa, stress-
ulcer, miopati, perubahan mood, peningkatan nafsu makan, Cushingoid dan
sebagainya. Sebagian besar dari efek samping tersebut bersifat reversibel apabila
steroid dihentikan.
Selain efek samping, hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian
steroid yakni interaksi obat. Kadar antikonvulsan serum dapat dipengaruhi oleh
deksametason seperti fenitoin dan karbamazepin, sehingga membutuhkan
monitoring. Pemberian deksametason dapat diturunkan secara bertahap, sebesar
25-50% dari dosis awal tiap 3-5 hari, tergantung dari klinis pasien. Pada pasien
kanker otak metastasis yang sedang menjalani radioterapi, pemberian
deksametason bisa diperpanjang hingga 7 hari.
Tatalaksana Nyeri
Pada kanker otak, nyeri yang muncul biasanya adalah nyeri kepala.
Berdasarkan patofisiologinya, tatalaksana nyeri ini berbeda dengan nyeri kanker
pada umumnya. Nyeri kepala akibat kanker otak bisa disebabkan akibat traksi
langsung tumor terhadap reseptor nyeri di sekitarnya. Gejala klinis nyeri
biasanya bersifat lokal atau radikular ke sekitarnya, yang disebut nyeri
neuropatik. Pada kasus ini pilihan obat nyeri adalah analgesik yang tidak
menimbulkan efek sedasi atau muntah karena dapat mirip dengan gejala kanker
otak pada umumnya. Oleh karena itu dapat diberikan parasetamol dengan dosis
20mg/berat badan per kali dengan dosis maksimal 4000 mg/hari, baik secara oral
maupun intravena sesuai dengan beratnya nyeri. Jika komponen nyeri neuropatik
yang lebih dominan, maka golongan antikonvulsan menjadi pilihan utama,
seperti gabapentin 100-1200mg/hari, maksimal 3600mg/hari.
Nyeri kepala tersering adalah akibat peningkatan tekanan intrakranial,
yang jika bersifat akut terutama akibat edema peritumoral. Oleh karena itu
tatalaksana utama bukanlah obat golongan analgesik, namun golongan
glukokortikoid seperti deksamethason atau metilprednisolon intravena atau oral
sesuai dengan derajat nyerinya.
Tatalaksana Kejang
Epilepsi merupakan kelainan yang sering ditemukan pada pasien kanker
otak. Tiga puluh persen pasien akan mengalami kejang sebagai manifestasi awal.
Bentuk bangkitan yang paling sering pada pasien ini adalah bangkitan fokal
dengan atau tanpa perubahan menjadi umum sekunder. Oleh karena tingginya
tingkat rekurensi, maka seluruh pasien kanker otak yang mengalami kejang harus
diberikan antikonvulsan. Pemilihan antikonvulsan ditentukan berdasarkan
pertimbangan dari profil efek samping, interaksi obat dan biaya.
Obat antikonvulsan yang sering diberikan seperti fenitoin dan
karbamazepin kurang dianjurkan karena dapat berinteraksi dengan obat-obatan,
seperti deksamethason dan kemoterapi. Alternatif lain mencakup levetiracetam,
sodium valproat, lamotrigin, klobazam, topiramat, atau okskarbazepin.
Levetiracetam lebih dianjurkan (Level A) dan memiliki profil efek samping yang
lebih baik dengan dosis antara 20-40 mg/kgBB, serta dapat digunakan pasca
operasi kraniotomi.
b. Pembedahan
Operasi pada kanker otak dapat bertujuan untuk menegakkan diagnosis
yang tepat, menurunkan tekanan intrakranial, mengurangi kecacatan, dan
meningkatkan efektifitas terapi lain. Reseksi tumor pada umumnya
direkomendasikan untuk hampir seluruh jenis kanker otak yang operabel. Kanker
otak yang terletak jauh di dalam dapat diterapi dengan tindakan bedah kecuali
apabila tindakan bedah tidak memungkinkan (keadaan umum buruk, toleransi
operasi rendah). Teknik operasi meliputi membuka sebagian tulang tengkorak dan
selaput otak pada lokasi tumor. Tumor diangkat sebanyak mungkin kemudian
sampel jaringan dikirim ke ahli patologi anatomi untuk diperiksa jenis tumor.
Biopsi stereotaktik dapat dikerjakan pada lesi yang letak dalam. Pada
operasi biopsi stereotaktik dilakukan penentuan lokasi target dengan komputer
dan secara tiga dimensi (3D scanning). Pasien akan dipasang frame stereotaktik
di kepala kemudian dilakukan CT scan. Hasil CT scan diolah dengan software
planning untuk ditentukan koordinat target. Berdasarkan data ini, pada saat
operasi akan dibuat sayatan kecil pada kulit kepala dan dibuat satu lubang
(burrhole) pada tulang tengkorak. Kemudian jarum biopsi akan dimasukkan ke
arah tumor sesuai koordinat. Sampel jaringan kemudian dikirim ke ahli patologi
anatomi.
Pada glioma derajat tinggi maka operasi dilanjutkan dengan radioterapi
dan kemoterapi. Pilihan teknik anestesi untuk operasi intrakranial adalah anestesi
umum untuk sebagian besar kasus, atau sedasi dalam dikombinasikan dengan
blok kulit kepala untuk kraniotomi awake (sesuai indikasi).
c. Radioterapi
Radioterapi memiliki banyak peranan pada berbagai jenis kanker otak.
Radioterapi diberikan pada pasien dengan keadaan inoperabel, sebagai adjuvan
pasca operasi, atau pada kasus rekuren yang sebelumnya telah dilakukan
tindakan operasi. Pada dasarnya teknik radioterapi yang dipakai adalah 3D
conformal radiotherapy, namun teknik lain dapat juga digunakan untuk pasien
tertentu seperti stereotactic radiosurgery/radiotherapy, dan IMRT.
e. Gizi
Skrining gizi dengan malnutrition screening tool (MST), bila skor ≥3
(rawat inap), atau skor MST ≥2 (rawat jalan) dengan kondisi khusus (sakit kritis,
kemoterapi, radiasi, hemodialisis) ditangani bersama tim spesialis gizi klinik.
Bila asupan memenuhi 75-100% dari kebutuhan lalu dilakukan konseling
gizi. Bila asupan memenuhi 50-75% dari kebutuhan, dilakukan pemberian oral
nutrition support. Bila asupan <50%, dilakukan pemasangan jalur enteral (pipa
nasogastrik/orogastrik/gastrostomi). Bila terdapat kontraindikasi nutrisi enteral
(ileus, perdarahan saluran cerna), diberikan nutrisi parenteral. Jalur enteral
dipertimbangkan bila pasien malnutrisi dan jalur oral terdapat penyulit.
Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan mencakup keadaan umum, tanda
vital dan status generalis; pemeriksaan tanda-tanda kaheksia (muscle wasting, iga
gambang), penggunaan pipa nasogastrik/pipa orogastrik/gastrostomi (+/-);
pemeriksaan fungsi saluran cerna; kapasitas fungsional dengan Karnofsky
performance score (KPS) atau kekuatan genggaman tangan, pemeriksaan
antropometri: TB, BB, IMT; pemeriksaan komposisi tubuh (massa lemak, massa
otot, total cairan tubuh) dengan bioelectric impedance; imbang cairan;
pemeriksaan penunjang untuk mengetahui defisiensi makro- dan makronutrien
(sesuai klinis pasien).
Pemberian terapi gizi dilakukan dengan perhitungan kebutuhan.
Kebutuhan energi dihitung menggunakan kalorimetri indirek/persamaan Harris-
Benedict/rule of thumb. Nutrisi diberikan bertahap sesuai dengan toleransi
pasien. Kebutuhan protein 1,2–2 g/BB/hari, lemak 25-30%, karbohidrat: 55-60%.
Mikronutrien sesuai AKG (berasal dari bahan makanan sumber, suplementasi
setelah kemoradiasi). Bila pasien menggunakan obat golongan carbamazepin,
fenobarbital, fenitoin perlu tambahan suplemen vitamin D dan kalsium untuk
mencegah gangguan tulang.
Pasien dengan terapi fenitoin perlu ditambahkan suplementasi vitamin B1
dan asam folat 1 mg/hari. Pemberian nutrien spesifik berupa eicosapetanoic acid
hingga 2 g/hari dan asam amino rantai bercabang 12 g/hari.
Pemantauan terapi gizi dilakukan dengan analisis asupan ulang tiap 1-2
hari serta keadaan umum, klinis, dan tanda vital. Bila toleransi asupan baik,
nutrisi ditingkatkan 20% dari asupan sebelumnya. Selain itu pada pemantauan
terapi gizi dilakukan juga pemeriksaan antropometri, fungsi saluran cerna;
kapasitas fungsional (skor Karnofsky, kekuatan genggaman tangan dengan hand
dynamometer); dan pemeriksaan penunjang sesuai dengan kondisi pasien.
f. Psikiatri
Pasien dengan kanker otak dapat mengalami gangguan psikiatri hingga
78%, baik bersifat organik akibat tumornya atau fungsional yang berupa
gangguan penyesuaian, depresi, dan ansietas. Hal ini dapat menghambat proses
tatalaksana terhadap pasien. Oleh karena itu, diperlukan pendampingan mulai dari
menyampaikan informasi tentang diagnosis dan keadaan pasien (breaking the bad
news) melalui pertemuan keluarga (family meeting) dan pada tahap-tahap
pengobatan selanjutnya. Pasien juga dapat diberikan psikoterapi suportif dan
relaksasi yang akan membantu pasien dan keluarga, terutama pada perawatan
paliatif.
g. Penilaian Fungsional
Menggunakan Karnofsky performance score (KPS), dinilai saat awal
masuk dan saat keluar dari perawatan.
h. Perawatan Paliatif
Dilakukan pada pasien-pasien yang dinyatakan perlu mendapatkan terapi
paliatif dan dilakukan terapi secara multidisiplin bersama dokter penanggung
jawab utama, serta dokter gizi, rehabilitasi medik, psikiatri, dan ahli terapi paliatif.
3.2.8 Prognosis
Prognosisnya tergantung jenis tumor spesifik. Berdasarkan data di
Negara-negara maju, dengan diagnosis dini dan juga penanganan yang tepat
melalui pembedahan dilanjutkan dengan radioterapi, angka ketahanan hidup 5
tahun (5 years survival) berkisar 50-60% dan angka ketahanan hidup 10 tahaun
(10 years survival) berkisar 30-40%. Beberapa hal yang merupakan prognosis
buruk tumor otak metastase adalah usia lanjut, gejala-gejala muncul kurang dari
1 minggu, dan adanya penurunan kesadaran.3,8
3.3.2 Epidemiologi
Sindroma Foster-Kennedy jarang ditemukan, diperkirakan terjadi pada
1% hingga 2,5% massa intrakranial. Tonnis hanya menemukan 28 kasus dalam
3.033 kasus tumor intrakranial. Von Wowern menemukan 4 dari 686 tumor
frontal. Huber meneumkan 1 dari 46,6 dan Cushing menemukan 7 dari 29
meningioma alur penciuman. Hanya 37 kasus sindrom Foster-Kennedy telah
didokumentasikan secara lengkap antara tahun 1909-1989 semua kecuali satu
dengan bukti adanya massa intrakranial.4,11
3.3.3 Etiologi
Penyebab sindroma Foster Kennedy 68% adalah tumor terutama tumor
lobus frontalis, meningioma dari cekungan olfactory (meningioma olfactory
groove), dan sayap sfenoid (sphenoid-wings). Sisanya yaitu sebanyak 32%
disebabkan oleh kondisi non tumor seperti arteriosklerosis, optochiasmatic
arachnoiditis dan aneurisma karotis.2
1. Tumor Lobus Frontalis
Tumor-tumor di lobus frontalis (glioblastoma, astrositoma, oligo-
dendroglioma, meningioma dan tumor-tumor metastase) sebenarnya terletak agak
jauh dari visual pathways, sehingga gejala pada mata sebenarnya sangat jarang
terjadi. Diperkirakan 50% nya tidak terjadi gejala-gejala di mata, kecuali bila
tumor tersebut terletak didasar lobus frontalis dan meluas menuju chiasma. Gejala
yang timbul pada mata tidak khas dan umumnya merupakan akibat dari
peningkatan tekanan intrakranial. Beberapa kasus timbul dengan gejala mata yang
bervariasi mulai dari hilangnya penglihatan unilateral secara perlahan sampai
amaurosis. Pada beberapa kasus timbul sindroma Foster-Kennedy yang inkomplit
yaitu adanya papil atrofi primer dengan skotoma sentral pada sisi tumor dan
papiledema pada sisi yang berlawanan. Coppeto (1983) melaporkan suatu kasus
sindroma Foster-Kennedy pada seorang penderita plasmacytoma intrakranial
soliter di fossa kranii anterior yang mana tumor ini merupakan proses sekunder
akibat metastase dari multiple myeloma.
2. Meningioma olfactory groove
Meningioma olfactory groove adalah tumor yang berasal dari sel-sel
arachnoid dekat olfactory groove dan crista galli dimana terdapat traktus saraf
olfaktorius yang berfungsi untuk penciuman.
Tanda-tanda peningkatan TIK dan anosmia sering timbul mendahului
gejala pada mata yang pada umumnya berupa penurunan tajam penglihatan yang
bisa muncul satu persatu atau bersmaan. Bila tumor terletak di depan dan tidak
berdekatan dengan saraf optik, hanya timbul tanda-tanda peningkatan TIK pada
pemeriksaan fundus yang tampak berupa papiledema. Pada pemeriksaan lapang
pandang tanda-tanda yang timbul selain peleberan bintik buta adalah penyempitan
lapang pandang perifer dan hilangnya tajam penglihatan sentral. Bila tumor ini
tumbuh ke belakang dan menekan saraf optik akan timbul papil atrofi bilateral
dengan bentuk yang bervariasi pada dua sisi mata. Jarang sekali timbul gambaran
fundus yang serupa pada dua sisi karena tumot ini tumbuh dari arah garis tengah
dan tumbuh asimetris ke salah satu sisi chiasma.
Gangguan lapang pandang yang timbul bervariasi. Pada tumor yang
terletak lebih ke frontal mungkin dijumpai lapang pandang yang normal. Kadang-
kadang juga timbul amaurosis pada satu mata dan defek temporal pada mata yang
lain. Sangat jarang terjadi hemianopsia bitemporal. Dari sudut pandang diagnostik
skotoma sentral dan parasentral dengan atau tanpa hemianopsia temporal lebih
penting dan lebih menjurus. Foto X-ray memberikan petunjuk diagnosis yang
penting. Lebih kurang 50% penderita dijumpai gambaran hiperostosis disepanjang
crista galii, kalsifikasi tumor dan kadang-kadang juga ossifikasi kecil pada tempat
asal tumor. Dengan CT-Scan akan tampak meningioma dengan edema perifokal
secara langsung.
Tumor yang terletak di anterior bila ukurannya besar akan menyebabkan
papiledema bilateral, namun kadang-kadang juga menyebabkan papil atrofi pada
sisi tumor dan papiledema pada sisi lainnya yang merupakan karakteristik
sindroma Foster-Kennedy. Meningioma olfactory groove ini harus mencapai
ukuran yang cukup besar sebelum menekan saraf optik atau chiasma.13
3. Meningioma Sphenoid Ridge
Meningioma jenis ini menyebabkan gangguan pada mata bila tumor
meluas ke arah medial dan mengenai saraf optik dan fissura orbitalis superior.
Beberapa tanda yang bisa muncul antara lain exophtalmos unilateral, parese N III,
IV, VI, dan kadang-kadang juga hipestesi kornea unilateral. Kerusakan saraf optik
ipsilateral cukup sering terjadi sehingga menimbulkan hilangnya penglihatan
unilateral. Gangguan lapang pandang yang timbul bersifat unilateral yang dimulai
dari sisi temporal atau nasal dan meluas menjadi hemianopia unilateral temporal
atau nasal bahkan ada yang menjadi amaurosis unilateral. Keluhan penderita
meliputi diplopida, dan turunnya tajam penglihatan yang disertai dengan proptosis
unilateral. Exophtalmos yang timbul secara perlahan-lahan tanpa rasa nyeri
disertai dengan pembengkakan yang dapat diraba pada daerah temporal/ipsilateral
dari tumor dan hilangnya penglihatan serta gangguan pergerakan bola mata
merupakan gejala khas tumor ini.13
4. Meningioma Tuberkulum Sellae (Tumor tipe suprasella)
Dari anamnesis didapatkan riwayat hilangnya penglihatan secara perlahan
yang akhirnya berkembang menjadi amaurosis total dalam waktu beberapa tahun.
Terdapat periode laten yang cukup lama antara terkenanya mata yang satu dan
mata yang lain. Gangguan lapang pandang yang timbul dapat berupa amaurosis
pada satu mata dan temporal hemianopia pada mata yang lain akibat dari tumor
yang mengenai saraf optik dan bagian depan dari chiasma. Akibat perjalanan
penyakit yang unilateral, gambaran oftalmoskopis papil saraf optik yang tampak
adalah papil atrofi yang unilateral atau lebih berat pada satu sisi. Foto x-ray
ditemukan hiperostosis tuberkulum sellae dan tidak adanya perubahan besar pada
sellae, atau adanya kalsifikasi tumor.13
5. Kraniofaringioma (Tumor tipe Suprasella dan intrasella)
Kraniofaringioma adalah tumor yang berasal dari sisa-sisa epitel duktus
craniopharyngeal yang tersebar di sepanjang tangkai dari glandula pytuitari dan
banyak menyerang usia anak dan dewasa muda. Gejala pada mata yang timbul
pada kraniofaringioma usia anak-anak adalah akibat dari peningkatan tekanan
intrakranial berupa papiledema. Gangguan lapangan pandang yang berupa
hemianopsia bitemporal pada anak sulit untuk diketahui, sedangkan pada dewasa
lebih mudah. Pada umumnya hilangnya penglihatan atau gangguan lapang
pandang muncul lebih dahulu pada satu sisi akibat terjadinya papil atrofi primer.
Kadang-kadang juga tampak gambaran papiledema pada saraf optik yang belum
mengalami atrofi. Gangguan lapang pandang yang timbul pada umumnya berupa
hemianopsia bitemporal yang asimetris dimana garis pemisah nya tidak terletak di
tengah tapi bergeser bisa ke arah lapang pandang yang buta atau ke arah lapang
pandang mata yang normal. Sering juga timbul parese N.III sebagai akibat
perluasan tumor ke arah parasela atau sinus kavernosus.13
6. Adenoma Pituitari (Tumor tipe Intrasella dan Suprasella)
Pada tipe yang nonhormon secreting, gejala yang timbul meliputi
sindroma kiasma (hilangnya penglihatan, defek lapang pandang, dan perubahan
gambaran fundus papil saraf optik), hipopituitarisme dan gambaran x-ray yang
lebih jelas berupa sella yang kosong seperti balon. Gangguan lapang pandang
yang timbul antara lain hemianopsia bitemporal yang asimetris. Kadang-kadang
bisa juga timbul skotoma sentral dan paracentral. Seringkali gejala ini timbul
pertama kali tanpa disertai gejala dan tanda pada mata yang lain. Ruben dari
Western ophtalmic Hospital London telah melaporkan adanya sindroma Foster
Kennedy pada satu kasus adenoma pituitary dengan gangguan visus sebagai gejala
utamanya.13
7. Tumor Ekstracranial
Aga pada tahun 2001 melaporkan suatu kasus sindroma Foster Kennedy
yang disebabkan oleh juvenile nasopharyngeal angiofibroma. kKsus ini menimpa
seorang anak laki-laki Ethiopia berusia 18 tahun dengan gejala awal epistaksis
dan obstruksi cavum nasi. Tumor ini adalah tumor jinak nasofaring yang tumbuh
membesar ke arah kranial sehingga menyebabkan peningkatan tekanan
intrakranial dan kompresi pada saraf optik. 13
3.3.5 Patofisiologi
Patofisiologi Papil Atrofi
Papil atrofi merupakan suatu proses lanjut dari penyakit apapun yang
menyebabkan kerusakan permanen pada sel-sel Ganglion dan akson akson saraf
optik, termasuk akibat proses-proses iskemik inflamasi kompresi infiltrasi dan
demielinisasi. Diagnosis klinis papil atrofi didasarkan pada gambaran papil yang
abnormal baik warna dan struktur serta perubahan pada pembuluh darah retina
dan lapisan saraf retina, gangguan fungsi visual (tajam penglihatan, buta warn,
lapang pandang dan visual evoked response) yang terlokalisir pada saraf optik.
Beberapa jenis gangguan lapangan pandang yang timbul baik altitudinal,
sektoral, bow-tie ataupun temporal bisa menjadi petunjuk dari patogenesa dan
lokasi penyakit. Pada fase awal hampir kehilangan warna merahnya dan isinya
perlahan-lahan menghilang sehingga meninggalkan gambar cekungan dangkal
dan pucat yang merupakan gambaran dari lamina cribrosa pada fase lanjut
pembuluh darah retina dengan ukuran normal masih tampak muncul dari bagian
tengah cup yang pucat. Pada sebagian besar kasus perubahan menuju atrofi tidak
menimbulkan perubahan yang berarti pada kapiler.
Pada fase lanjut tanda-tanda atrofi yang muncul antara lain menipisnya
berkas serabut saraf di daerah arkuata, reflek cahaya yang meningkat di sekitar
pembuluh darah retina, penurunan isi pembuluh darah retina dan papil yang pucat
dengan gambaran kapiler-kapiler pada papil yang sulit dilihat .
3.3.6 Diagnosis
a. Anamnesis
Hal-hal lain yang perlu diketahui antara lain penyakit okular atau sistemik
yang sedang atau pernah diderita serta pengobatannya, riwayat trauma (meliputi
wajah dan kepala), dan riwayat penyakit keluarga.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan oftalmologi meliputi berbagai pemeriksaan seperti tajam
penglihatan, tes buta warna, sensitifitas kontras, tekanan intraokuler, pemeriksaan
segmen anterior (termasuk fungsi pupil dan adanya defek pupil aferen),
eksoftalmometri, pemeriksaan segmen posterior (dengan oftalmoskopi),
pergerakan bola mata, pemeriksaan lapang pandang dan pemeriksaan
elektrofisiologi.
Pada pemeriksaan lapang pandang, dapat ditemukan gangguan lapang
pandang dalam area 30°. Secara umum gangguan lapang pandang akibat kelainan
saraf optik meliputi pola-pola yang khas. Kelainan saraf optik dapat menekan
fungsi dari serabut-serabut di bagian Sentral saraf optik sehingga menyebabkan
defek yang dapat terletak di sentral, parasentral, perisentral atau sentrosekal. Pola
lain yang timbul akibat kerusakan dari bundel-bundel serabut saraf antara lain
depresi menyeluruh, defek altitudinal, dan defek arkuata.
Pada pemeriksaan papil saraf optik, yang harus diperhatikan dari papil
saraf optik adalah bentuk warna ukuran kontur, perbandingan cup dan disc serta
kualitas dan kuantitas serabut-serabut saraf yang keluar dari tepi-tepi papil.
c. Pemeriksaan Penunjang
1. CT-Scan dan MRI
Uji pencitraan masa kini dengan USG, CT-Scan dan MRI dapat
memberi informasi lebih akurat tentang proses penyakit dalam bola mata
orbita maupun sistem saraf pusat. Contohnya untuk mengidentifikasi
adanya masa perdarahan hidrosefalus atau trombosis sinus kavernosus.
Pilihan untuk mempergunakan uji ini harus dipertimbangkan sesuai
kondisi masing-masing penderita.
2. Ultrasonografi
Ultrasonografi baik A-scan maupun B-scan dengan probe khusus
orbita dapat menunjang pemeriksaan orbita, contohnya pada ditemuinya
pelebaran saraf optik intraorbital dengan mengukur ketebalan saraf dan
pembungkusnya pada kondisi saraf optik yang tegang pada posisi mata
melirik ke lateral (uji 30°). Ultrasonografi dapat membedakan antara
adanya cairan dalam pembungkus saraf atau suatu massa dalam saraf
dimana cairan akan tampak sebagai area sonolusen.
3. Flourescein angiografi
Dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis papiledema. Pada fase
arterial, fluorescein belum tampak. Pada fase arteriovena didapatkan
gambaran dilatasi kapiler mikroorganisme dan perdarahan ‘flame shape’
pada permukaan papil dan peripapilar retina. Kebocoran fluorescein
mungkin terjadi dari dilatasi kapiler. Pada papil edema yang akut
didapatkan peningkatan dilatasi kapiler peripapiler dengan leakage pada
fase akhir. Pada fase akhir terjadi hiperfluroscein pada bagian superficial
dan dalam diskusi optik.
3.3.7 Tatalaksana
Pada pasien dengan sindroma FosterKennedy, tatalaksana utama tidak
selalu berupa pengangkatan tumor. Pada laporan kasus yang dituliskan oleh
Acebes, melakukan control tekanan intrakranial oleh karena desakan tumor
menyebabkan gangguan pada drainase sinus sagital serebri memberikan hasil
yang baik berupa peningkatan tajam penglihatan tidak hanya pada mata yang
mengalami papilledema namun juga pada mata yang mengalami papilatrofi.
Dalam laporan lainnya juga disebutkan bahwa perbaikan visus dapat terjadi
dengan mengontrol tekanan intrakranial.14,15
Penatalaksanaan yang perlu dilakukan dengan segera adalah terhadap
peningkatan tekanan intrakranial yang menyebabkan papil edema, sedangkan
papil atrofi sifatnya irreversible sehingga tidak ada penatalaksanaan khusus yang
dapat dilakukan. Selanjutnya penatalaksanaan dilakukan berdasarkan etiologi dari
kasus tersebut.13
.Mengendalikan Peningkatan Tekanan Intrakranial13,14
- Infus manitol
Infus manitol 20% 1 gr/kgBB selama 15 menit dapat menurunkan
tekanan intrakranial dimana sifatnya hipertonis akan membuat gradasi
osmotik plasma lebih tinggi dari jaringan otak sehingga terjadi penyerapan
cairan yang cepat.
- Kontrol hiperventilasi
PCO2 yang rendah setelah hiperventilasi dapat menimbulkan
vasokontriksi sehingga dapat menurunkan tekanan intrakranial.
Pelaksanaannya harus disertai monitoring ketat terhadap tekanan darah dan
analisa gas darah karena dapat menurunkan tekanan perfusi serebral.
- Drainase cairan serebrospinal
Drainase secara kontinu misalnya dengan shunt lumboperitoneal
atau ventriculoperitoneal mengalirkan langsung cairan serebrospinal
sehingga menurunkan tekanan intrakranial
- Pemberian obat-obatan
Golongan inhibitor karbonik anhidrase (asetazolamid) menurunkan
produksi cairan cerebrospinal melalui penghambatan enzim karbonik
anhidrase yang menyebabkan menurunnya transpor aktif natrium pada epitel
koroid. Golongan sedatif seperti propofol, barbiturat ataupun etomidate
menurunkan metabolisme jaringan otak sehingga mencegah meluasnya area
yang iskemia.
- Terapi steroid
Steroid mengurangi edema di sekeliling tumor namun tidak
mempengaruhi pertumbuhan tumornya dosisnya 40 sampai 60 MG perhari
oral atau 16 sampai 12 MG Dexamethasone yang dapat diturunkan secara
bertahap setelah 4 Minggu
Terapi Pembedahan2,3,13,14
Pembedahan untuk evakuasi massa atau tumor, dilakukan sesuai lokasinya
bisa dilakukan secara craniotomy, burrhole, craniectomy, transsphenoid atau
transoral. Prosedurnya bisa secara parsial removal, complete removal atau
internal decompression bergantung pada jenis dan kondisi massa atau tumor
tersebut.
Pembedahan untuk reaksi vaskular, dekompresi/unroofing kanalis optikus,
pembedahan untuk aneurisma: ligasi, clipping, trapping, wrapping, atau dengan
endovasculat technique.
Radioterapi2,3,14
Radioterapi memiliki nilai penting dalam penatalaksanaan tumor ganas
seperti astrositoma, medulloblastoma dan germinoma serta beberapa tumor jinak
seperti adenoma pituitari dan kraniofaringioma.
BAB IV
ANALISA KASUS
BAB V
KESIMPULAN
Salah satu gejala yang timbul akibat tumor otak lobus frontal adalah
sindroma Foster-Kennedy oleh karena adanya peningkatan tekanan intrakranial
dan penekanan saraf optik. Sindroma Foster-Kennedy ditandai dengan gambaran
papil atrofi pada sisi ipsilateral lesi dan papil edema pada sisi kontralateral lesi
serta anosmia ipsilateral lesi. Penegakkan diagnosis dilakukan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pada kondisi ini, penatalaksanaan yang perlu dilakukan dengan segera
adalah menurunkan tekanan intrakranial yang menyebabkan papil edema,
sedangkan papil atrofi sifatnya irreversible sehingga tidak ada penatalaksanaan
khusus yang dapat dilakukan. Pemberian kortikosteroid sangat efektif untuk
menurunkan gejala peningkatan tekanan intrakranial dan memperbaiki gejala yang
disebabkan oleh edema serebri (nyeri kepala, mual dan muntah, perburukan gejala
saraf akibat kompresi, dan penurunan kesadaran).
Penegakkan diagnosis dini dan tatalaksana yang sesuai dapat mencegah
kerusakan penglihatan lebih lanjut dan juga bertujuan “life saving”.
DAFTAR PUSTAKA