Anda di halaman 1dari 38

Case Report Session

BELL’S PALSY

Oleh:
Ulfayanti Syahmar
1740312091

Preseptor:
Prof. Dr. dr. Darwin Amir, Sp.S (K)
dr. Restu Susanti, Sp.S, M.Biomed

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF


RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2018

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan kurnia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan case
report session yang berjudul Perdarahan Subarachnoid.Case report session ini
ditulis dengan tujuan untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis dan
pembaca tentang Perdarahan subarachnoid, selain penulisan ini juga bertujuan
untuk memenuhi salah satu syarat dalam menjalani kepaniteraan klinik di Bagian
Ilmu penyakit syaraf RSUP Dr. M. Djamil Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas Padang.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua


pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan case report session ini,
terutama preseptor Prof. Dr. dr. Darwin Amir, Sp.S (K) dan dr. Restu Susanty
Sp.S, M.Biomed yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan,
saran, dan perbaikan kepada penulis untuk lebih baik lagi.

Dengan demikian, kami berharap agar case report session ini dapat
bermanfaat dalam menambah wawasan penulis dan pembaca mengenai
perdarahan subaraknoid.

Padang, 20 Mei 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang 4
1.2. Tujuan penulisan 5
1.3. Metode penulisan 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi dan Fisiologi 6
2.2. Definisi 9
2.3. Epidemiologi 10
2.4. Etiologi 10
2.5. Patofisiologi 12
2.6. Manifestasi Klinis 14
2.7. Diagnosis 17
2.8. Penatalaksanaan 24
2.9. Prognosis 27
DAFTAR PUSTAKA 29
BAB III ILUSTRASI KASUS 31
BAB IV DISKUSI 39
BAB V KESIMPULAN 41

3
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bell’s palsy merupakan gangguan idiopatik nervus cranialis yaitu nervus
fasialis (N.VII) yang menyebabkan kelemahan wajah tipe lower motor neuron
yang bersifat akut. Bell’s palsy ditemukan oleh dokter dari inggris yang bernama
Charles Bell. Bell’s palsy didefinisikan sebagai suatu keadaan paresis atau
kelumpuhan yang akut dan idiopatik akibat disfungsi nervus fasialis perifer.
Nervus fasialis memiliki sekitar 10.000 serabut saraf yang terdiri dari 7.000
serabut saraf motorik untuk otot-otot wajah dan 3.000 serabut saraf membentuk
saraf intermedius (Nerve of Wrisberg) yang bersifat sensorik untuk pengecapan
2/3 anterior lidah dan serabut parasimpatik untuk kelenjar parotis, submandibula,
sublingual dan lakrimal. Manifestasi klinis penyakit ini sesuai dengan letak
gangguan pada cabang nervus fasialis.
Bell’s palsy setiap tahunnya terjadi pada sekitar 20 pasien per 100.000
penduduk. Pasien dapat sembuh tanpa pengobatan (71%), terdapat 84% pasien
yang sembuh total atau mendekati pemulihan normal. Pasien berusia 60 tahun
atau lebih tua memiliki kemungkinan sebesar 40% untuk sembuh total namun
cederung dengan gejala sisa yang lebih tinggi. Pasien yang lebih muda, kurang
daru 30 tahun hanya memiliki kemungkinan 10-15% untuk atau meliki sekuele
jangka panjang.
Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), Bell’s Palsy
termasuk dalam standar kompetensi dengan level kemampuan 4. Dokter umum
harus mampu menegakkan diagnosis klinis dan melakukakan penatalaksanaan
penyakit secara mandiri dan tuntas. Oleh karena itu, penulis tertarik mengangkat
topik ini sebagai judul penulisan case report session.

1.2 Rumusan Masalah


Case Report Session ini membahas mengenai bell’s palsy meliputi,
defenisi, anatomi saraf fasialis, epidemiologi, faktor risiko, patogenesis,
klasifikasi, gejala dan tanda klinis, diagnosis, tatalaksana, dan prognosis dari
Bell’s palsy serta laporan kasus dan diskusinya.

4
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan case report session ini adalah untuk memahami
mengenai defenisi,anatomi saraf fasialis, epidemiologi, faktor risiko, patogenesis,
klasifikasi, gejala dan tanda klinis, diagnosis, tatalaksana, komplikasi dan
prognosis dari bell’s palsy.

1.4 Metode Penulisan


Metode penulisan makalah ini adalah dengan studi kepustakaan dengan
merujuk pada berbagai literature.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Nervus Fasialis


Nervus fasialis merupakan nervus cranialis ketujuh yang berasal dari
medulla oblongata, berjalan melalui tulang temporal, hingga mencapai otot-otot
wajah. Perjalanan panjang dan berkelok-kelok serta berada di dalam saluran
tulang yang sempit dan kaku membuat nervus fasialis ini sering mengalami
gangguan. Nervus ini memiliki 5 cabang utama yang mensarafi otot wajah,
lakrimasi, salivasi, pengaturan impedansi dalam telinga tengah, sensasi nyeri,
raba, suhu dan kecap. Nervus fasialis terdiri dari serabut saraf motorik,
somatosensorik serta intermedius.1,2
Nervus fasialis mempunyai 2 subdivisi , yaitu:7,8
 Nervus fasialis propius yang mempersarafi otot-otot wajah, otot platisma,
stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga tengah.
 Nervus intermediet (pars intermedius wisberg) merupakan subdivisi saraf
yang lebih tipis yang membawa saraf aferen otonom, eferen otonom,
aferen somatis.
 Aferen otonom:
Berfungsi mengantar impuls dari alat pengecap di 2/3 depan lidah.
Sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah dihantar melalui saraf
lingual ke korda timpani dan kemudian ke ganglion genikulatum serta
ke nukleus traktus solitarius.
 Eferen otonom (parasimpatik eferen):
Berfungsi mengantarkan impuls untung merangsang salivasi. Impuls
berjalan ke glandula sublingualis dan submandibularis untuk
merangsang salivasi.
 Aferen somatik
Daerah overlapping (disarafi oleh lebih dari satu saraf atau tumpang
tindih) antara N.VII dan N.V (rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu
dan rasa raba) dari sebagian daerah kulit dan mukosa terdapat pada

6
lidah, palatum, meatus akustikus eksterna, dan bagian luar membran
timpani.

Gambar 1. Nervus Fasialis

Inti motorik N.VII terletak di pons. Serabutnya mengitari N.VI, dan keluar
di bagian lateral pons. Nevus intermedius keluar di permukaan lateral pons di
antara saraf VII dan saraf VIII. Ketiga nervus ini masuk ke dalam meatus
akustikus internus. Di dalam meatus ini, nervus fasialis dan intermediet berpisah
dari N.VIII dan terus ke lateral dalam kanalis fasialis, kemudian ke atas ke tingkat
ganglion genikulatum. Pada ujung akhir kanalis, saraf fasialis meninggalkan
kranium melalui foramen stilomastoideus. Dari titik ini, serat motorik menyebar
di atas wajah yang beberapa diantaranya masuk dalam kanalis glandula parotis.7

7
Gambar 2. Persarafan Nervus VII

Nukleus fasialis juga menerima impuls dari talamus yang merangsang


gerakan ekspresi emosional pada otot-otot wajah. Selain itu terdapat pula
hubungan dengan gangglion basalis. Apabila terdapat gangguan pada bagian ini

8
atau bagian lain dari sistem piramidal, memungkinkan terjadinya penurunan atau
hilangnya ekspresi wajah (hipomimia atau amimi).7,8

2.2Definisi
Bell’s palsy merupakan penyakit yang ditandai dengan kelemahan atau
kelumpuhan pada wajah yang bersifat akut dengan etiologi yang belum diketahui
secara pasti atau idiopatik. Penyakit pertama kali diteliti oleh seorang ahli bedah
dari Skotlandia bernama Sir Charles Bell (1821). Beliau meneliti beberapa
penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan nervus fasialis
perifer yang etiologinya tidak diketahui disebut dengan Bell's palsy.11,3

Bell’s Palsy berhubungan erat dengan berbagai faktor dan sering


merupakan bagian dari gejala penyakit lain. Penyakit ini lebih sering ditemukan
pada orang dewasa. Infeksi nervus fasialis oleh virus herpes simplex diyakini
dapat mendasari penyakit ini. Virus ini dapat menyebabkan nervus fasialis
terkompresi dan membengkak saat berjalan melalui tulang temporal.1,2,8

2.3Epedemiologi

Bell’s palsy merupakan penyebab terbanyak ketiga dari paralisis wajah


yang bersifat akut. Kejadian Bell’s palsy di Amerika Serikat terjadi setiap tahun
sekitar 23 kasus per 100.000 penduduk, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden
Bell’s palsy didunia diperkirkan terjadi sekitar 20/100.000 orang per tahun.
Penyakit ini banyak terjadi di antara usia 15 dan 40 tahun. Bell’s palsy dapat
terjadi pada pria dan wanita, meskipun insidennya dapat meningkat pada wanita
hamil. 8,9

2.4Etiologi
Etiologi paralisis nervus fasialis sebenarnya belum pasti namun dikaitkan
dengan beberapa hal diantaranya kelainan kongenital, infeksi, keganasan, trauma,
gangguan pembuluh darah, idiopatik, dan penyakit-penyakit tertentu. Berbagai hal
tersebut kemudian menyebabkan edema dan iskemia akibat penekanan (kompresi)
pada nervus fasialis:1,5

9

Infeksi Virus
Penyakit ini juga dikaitkan dengan infeksi khususnya infeksi virus
1,9
herpes simpleks (HSV). Penemuan HSV dalam cairan endoneural juga
dijelaskan dalam sebuah penelitian kepada penderita Bell’s palsy derajat
berat yang menjalani pembedahan.. Virus HSV diperkirakan dapat
berpindah secara axonal dari saraf sensorik dan menempati sel ganglion
(dorman). Pada saat penderita mengalami penurunan sistem imun, maka
akan terjadi reaktivasi virus yang akan berujung pada kerusakan lokal pada
myelin saraf.9
 Keganasan
Metastasis tumor seperti tumor payudara, paru-paru, dan prostat ke
tulang temporal merupakan penyebab paralisis nervus fasialis yang juga
sering ditemukan. Selain itu penyebaran langsung dari tumor primer
regional dan sel schwann, kista dan tumor ganas maupun jinak dari
kelenjar parotis selanjutnya dapat menginvasi cabang akhir dari saraf
fasialis yang bermanifestasi menjadi paralisis pada wajah..2
 Trauma
Paralisis nervus bisa terjadi karena trauma kapitis, terutama jika
terjadi fraktur basis cranii yang terjadi secara longitudinal. Selain itu luka
tusuk, luka tembak serta juga bisa menjadi penyebab paralisis N.VII.
Tindakan iatrogenik juga dapat mencederai nervus fasialis seperti pada
saat operasi mastoid, operasi neuroma akustik/neuralgia trigeminal dan
operasi kelenjar parotis ataupun adanya riwayat kelahiran dengan
menggunakan alat forsep.2
 Kongenital
Paralisis pada salah satu sisi wajah dapat terjadi sejak lahir
(kongenital) yang bersifat irreversible. Kelainan ini sering terjadi secara
bersama dengan kelainan kongenital pada telinga dan tulang pendengaran
ataupun disertai dengan kelemahan otot okuler seperti pada sindrom
moibeus.1,5

10
 Idiopatik ( Bell’s Palsy )
Penyebab penyakit ini kebanyakan tidak dapat dijelaskan serta
tidak menyertai penyakit lain. Etiologi idiopatik ini menyebabkan parese
Bell yang diawali dengan edema nervus fasialis, karena kompresi atau
terjepitnya nervus ini dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan
kelumpuhan tipe LMN yang disebut sebagai Bell’s Palsy.5
 Penyakit-penyakit tertentu
Adapun penyakit yang terjadi koinsiden dengan paralisis N.VII
adalah DM, hepertensi berat, anestesi lokal pada pencabutan gigi, infeksi
telinga tengah (OMSK) serta sindrom Guillian Barre.

2.5Patofisiologi
Pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut pada nervus fasialis di
daerah tulang temporal atau di sekitar foramen stilomastoideus. Bell’s palsy
hampir selalu terjadi secara unilateral. Patofisiologinya belum jelas, teori yang
dianut saat ini yaitu teori vaskuler. Pada Bell’s Palsy terjadi iskemi primer pada
nervus fasialis yang disebabkan oleh vasodilatasi pembuluh darah yang terletak
antara nervus fasialis dan dinding kanalis fasialis. Iskemi primer karena berbagai
faktor diantaranya infeksi menyebabkan gangguan mikrosirkulasi intraneural
yang menimbulkan iskemi sekunder dengan akibat gangguan fungsi nervus
fasialis. Terjepitnya nervus fasialis di daerah foramen stilomastoideus dan
menimbulkan kelumpuhan tipe LMN yang disebut sebagai Bell’s Palsy. Selain itu
salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang
menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari
saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal. 3,5
Perjalanan nervus fasialis yang rumit bermula dari tulang temporal melalui
kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong dan menyempit pada
foramen mental membuat mudahnya nervus ini mengalami gangguang seprti
proses inflamasi, demyelinisasi atau iskemik yang akhirnya menyebabkan
gangguan dari konduksi saraf. Gangguan impuls motorik yang dihantarkan oleh
nervus fasialis dapat terjadi di lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear.3

11
Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan
kaca jendela yang terbuka diduga juga sebagai salah satu penyebab terjadinya
Bell’s palsy. Hal tersebut diperkirakan karena udara dingin menyebabkan nervus
fasialis menjadi bengkak atau sembab sehingga nervus ini terjepit di dalam
foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis tipe LMN. Lesi
LMN pada nervus ini terletak pada pons, sudut serebelo-pontin, os petrosum atau
kavum timpani, atau foramen stilomastoideus serta pada cabang-cabang perifer.
Paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bersamaan dengan tuli perseptif
ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah).
Berdasarkan beberapa penelitian memaparkan bahwa penyebab utama Bell’s palsy
adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang
menyerang saraf kranialis. Virus herpes zoster dapat menjadi penyebab utama
karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada infeksi herpes zoster di
ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan
kelumpuhan fasialis LMN.3

Gambar 3. Paralisis Bell’s Palsy

12
Paralisis wajah pada Bell’s palsy akan terjadi mulai dari bagian atas hingga
bagian bawah dari otot wajah (seluruhnya akan lumpuh). Dahi tidak dapat
dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup (lagoftalmus) dan pada usaha untuk
memejamkan mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Selain itu pada
sudut mulut juga tidak bisa digerakkan, bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma
tidak bisa digerakkan. Akibat lagoftalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan
secara normal. Gejala-gejala penyerta seperti ageusia dan hiperakusis tidak ada
karena bagian nervus fasialis yang terjepit di foramen stilomastoideum yaitu
serabut korda timpani dan serabut yang mensyarafi muskulus stapedius sudah
tidak ada.3

2.6 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinik Bell’s Palsy dengan memperhatikan riwayat penyakit
dan gejala kelumpuhan yang bersifat akut dan khas, kebanyakan gejala yang
ditimbulkan berupa kelainan motorik dan dapat didiagnosis dengan inspeksi saja.
Perasaan nyeri, pegal, linu dan rasa tidak enak pada telinga atau sekitarya sering
merupakan gejala awal penyakit ini yang segera diikuti oleh gejala kelumpuhan
otot wajah berupa :
 Dahi tidak dapat dikerutkan atau kerutan dahi hanya terlihat pada sisi yang
sehat.
 Pada sisi yang lumpuh kelopak mata tidak dapat menutup (lagofhalmus).
 Gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bola mata
berputar ke atas bila memejamkan mata, fenomena ini disebut Bell's sign.
 Sudut mulut tidak dapat digerakkan, plika nasolabialis mendatar pada sisi
yang lumpuh dan mencong ke sisi yang sehat.
 Selain gejala-gejala diatas, dapat juga ditemukan gejala lain yang
menyertai antara lain : gangguan fungsi pengecap, hiperakusis dan
gangguan lakrimasi.

13
Gejala yang ditimbulkan merupakan cerminan dari lokasi lesi pada cabang N.VII,
meliputi:3,5

a. Lesi setinggi foramen stilomastoideus


Gejala berupa paralisis otot-otot wajah sesuai lesi (uniteral). Sudut mulut
sisi lesi jatuh dan tidak dapat diangkat, makanan berkumpul diantara pipi
dan gusi pada sebelah lesi, tidak dapat menutup mata dan mengerutkan
kening pada sisi lesi. Kelumpuhan ini adalah berupa tipe flaksid, LMN.
Pengecapan dan sekresi air liur masih baik.

b. Lesi di kanalis fasialis (lesi diantara khorda tympani dengan n.stapedeus)


Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), ditambah dengan hilangnya
ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang
terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan
terlibatnya saraf intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di antara pons
dan titik dimana korda timpani bergabung dengan saraf fasialis di kanalis
fasialis.
c. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)
Gejala dan tanda klinik seperti (a) dan (b) di tambah dengan hiperakusis.

d. Lesi ditempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum


Gejala dan tanda kilinik seperti pada (a),(b),(c) disertai dengan nyeri di
belakang dan didalam liang telinga, dan kegagalan lakrimal. Kasus seperti
ini dapat terjadi pascaherpes di membrana timpani dan konka.
e. Lesi di meatus akustikus internus
Gejala dan tanda klinik seperti diatas ditambah dengan tuli akibat
terlibatnya nervus akustikus.
f. Lesi ditempat keluarnya saraf fasialis dari pons.
Gejala dan tanda klinik sama dengan diatas, disertai gejala dan tanda
terlibatnya saraf trigeminus, saraf akustikus dan kadang – kadang juga
saraf abdusen, saraf aksesorius dan saraf hipoglossus.

14
Gambar 4. Gejala Bell’s Palsy menggambarkan lokasi lesi
2.7 Diagnosis
Diagnosis Bell’s palsy umumnya dapat ditegakkan berdasarkan gejala
klinik akibat kelumpuhan nervus fasialis perifer diikuti pemeriksaan fisik dan
penunjang untuk menyingkirkan penyebab lain dari kelumpuhan nervus fasialis
perifer ini. Beberapa pemeriksaan penting dilakukan untuk menentukan letak lesi
dan derajat kerusakan nervus fasialis yang berpengaruh pada luaran klinis
penyakit ini. Harus dibedakan antara lesi UMN dan LMN. Pada Bell’s palsy
lesinya bersifat LMN karena terjadi pada percabangan nervus kranialis ketujuh.1

15
a. Anamnesis1

Sebagian besar pasien datang keluhan kelemahan pada salah satu sisi
wajah disertai beberapa keluhan lain diantaranya:

 Keluhan mulut mencong dan kelopak mata tidak dapat dipejamkan


dengan sempurna (lagoftalmos)
 Pasien tidak dapat bersiul atau meniup serta apabila berkumur atau
minum maka air keluar melalui sisi mulut yang lumpuh.
 Makanan berkumpul di antar mukosa mulut dan gusi pada sisi yang
lumpuh, serta sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang.

 Nyeri postauricular terjadi pada 50% pasien. Nyeri dirasakan pada


regio mastoid yang muncul secara simultan dengan parese.
 Mata kering dialami oleh kebanyakan pasien. Hal ini disebabkan
oleh dua hal yaitu lambatnya atau tidak adanya aliran air mata dan
kelopak mata yang tidak bisa menutup sempurna (lagoftalmus).
Penurunan fungsi orbicularis oculi yang dipersarafi oleh cabang
nervus fasialis yang mengalami ganngu dalam mengalirkan air
mata menyebabkan hanya sedikit aliran air mata yang mencapai
saccus lakrimal.
 Gangguan atau hilangnya pengecapan akibat kerusakan pada
nervus korda timpani yang mempersarafi 2/3 bagian lidah anterior
 Hiperakusis kerusakan telinga akibat meningkatnya iritabilitas
neuron sensoris.
 Riwayat pekerjaan dan aktivitas dilakukan pada malam hari di
ruangan terbuka atau di luar ruangan yang bersuhu dingin.
 Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti
infeksi saluran pernafasan, otitis, herpes, dan lain-lain.

b. Pemeriksaan Fisik1

 Pemeriksaan fungsi saraf motorik


Terdapat 10 otot-otot utama wajah yang dipersarafi oleh nervus fasialis
perifer dan berfungsi untuk menciptakan mimik (ekspresi wajah).

16
Adapun urutan ke-10 otot-otot tersebut dari sisi superior adalah
sebagai berikut :
 Pasien diminta mengangkat alis ke atas untuk memeriksa muskulus
frontalis.
 Pasien diminta mengerutkan alis untuk memeriksa muskulus
sourcilier
 Pasien diminta mengangkat dan mengerutkan hidung ke atas untuk
memeriksa muskulus piramidalis
 Pasien diminta memejamkan kedua mata kuat-kuat untuk
memeriksa muskulus orbikularis okuli
 Pasien diminta senyum lebar dengan memperlihatkan gigi untuk
memeriksa muskulus zigomatikus
 Pasien diminta memonyongkan mulut kedepan sambil
memperlihatkan gigi untuk memeriksa muskulus zigomatikus dan
muskulus mentalis.
 Pasien diminta menggembungkan kedua pipi untuk memeriksa
muskulus businator
 Pasien diminta bersiul untuk memeriksa muskulus orbikularis oris,
 Pasien diminta menarik kedua sudut bibir ke bawah untuk
memeriksa muskulus triangularis
 Pemeriksaan fungsi sensorik
 Pemeriksaan fungsi pengecapan dengan gustometri
Sistem pengecapan pada 2/3 anterior lidah dipersarafi oleh
cabang nervus fasialis yaitu nervus korda timpani. Kerusakan pada
N.VII sebelum percabangan korda timpani dapat menyebabkan ageusi
(hilangnya pengecapan).1,2
Pemeriksaan ini dimulai dengan meminta penderitra
menjulurkan lidah, kemudian pemeriksa menaruh bubuk gula (manis),
kina (pahit), asam sitrat (asam) atau garam (asin) pada lidah penderita.
Penderita diminta menyebutkan pengecapan yang dirasakannya dengan
isyarat, misalnya 1 untuk rasa manis, 2 untuk rasa pahit, 3 untuk rasa
asin, dan 4 untuk rasa asam. Fungsi korda timpani diperiksa gustometri

17
yaitu dengan cara membedakan ambang rangsang antara lidah sisi
kanan dan sisi kiri, jika terdapat perbedaan sebesar 50% antara kedua
sisi lidah maka fungsi korda timpani dianggap patologis.1,2

Schimer Test atau Naso-Lacrymal Reflex
Fungsi lakrimasi mata dapat dinilai dengan tes schimer.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara meletakkan kertas lakmus pada
dasar konjungtiva. Penilaian berdasarkan atas rembesan air mata yang
membasahi kertas lakmus pada kedua lakmus. Berkurang air mata atau
terdapatnya perbedaan antara lakmus kanan dan kiri lebih atau sama
dengan 50% menunjukkan lesi nervus fasialis setinggi ganglion
genikulatum.1,6,7

 Refleks Stapedius
Menguji adanya reflex stapedius bertujuan untuk mengetahui
baik tidaknya fungsi N. stapedius cabang N.VII. Pengujian ini
menggunakan elektoakustik impedans meter, caranya memberikan
ransangan pada muskulus stapedius pada telinga ipsilateral atau
kontralateral lesi dengan memperdengarkan suatu nada yang keras,
yang akan membangkitkan respon suatu gerakan reflek dari otot
stapedius. Jika nada tersebut diperdengarkan pada telinga yang normal,
maka reflek pada perangsangan kedua telinga dapat menjelaskan suatu
kelainan pada bagian aferen saraf kranialis.
 Grading dengan House-Brackmann
Pemeriksaan House-Brackmann bertujuan untuk mengetahui
gambaran disfungsi motorik pada parese nervus fasial serta karakteristik
dari kelumpuhannya. Mulai grade 1 (normal) hingga grade 6 (kelumpuhan
yang komplit). 4

18
Tabel 1. Pemeriksaan House-Brackmann
Grade Penjelasan Karakteristik
I Normal Fungsi nervus fasial normal
II Disfungsi ringan Kelemahan yang sedikit terlihat pada inspeksi dekat,
bisa ada sedikit sinkinesis.
Pada keadaan istirahat wajah simetris dan selaras.
Pergerakan dahi sedang sampai baik
Menutup mata dengan usaha yang minimal
Terdapat sedikit asimetris pada mulut jika melakukan
pergerakan
III Disfungsi Terlihat tapi tidak tampak adanya perbedaan antara
sedang kedua sisi
Adanya sinkinesis ringan
Dapat ditemukam spasme atau kontraktur hemifasial
Pada istirahat simetris dan selaras
Pergerakan dahi ringan sampai sedang
Menutup mata dengan usaha
Mulut sedikit lemah dengan pergerakan yang
maksimum
IV Disfungsi Tampak kelemahan bagian wajah yang jelas dan
sedang berat asimetri
Kemampuan menggerakkan dahi tidak ada
Tidak dapat menutup mata dengan sempurna
Mulut tampak asimetris dan sulit digerakkan.
V Disfungsi berat Wajah tampak asimetris
Pergerakan wajah tidak ada dan sulit dinilai
Dahi tidak dapat digerakkan
Tidak dapat menutup mata
Mulut tidak simetris dan sulit digerakkan
VI Total parese Tidak ada pergerakkan

19
c. Pemeriksaan Penunjang
 Elektromiografi (EMG)
Pemeriksaan EMG berfungsi untuk menentukan perjalanan impuls
atau reinervasi pasien. Interpretasi pola EMG dapat diklasifikasikan sebagai
respon normal, pola denervasi, pola fibrilasi, atau suatu pola yang kacau
yang mengesankan suatu miopati atau neuropati. Namun, nilai suatu EMG
sangat terbatas kurang dari 21 hari setelah paralisis akut. EMG akan
memperlihatkan potensial denervasi, jika sebelum 21 hari wajah tidak dapat
bergerak. Potensial fibrilasi merupakan suatu tanda positif yang
menunjukkan kepulihan sebagian serabut. Potensial ini terlihat sebelum 21
hari.
 Elektroneuronografi (ENOG)
ENOG dapat memberikan informasi lebih awal dibandingkan
dengan EMG. ENOG melakukan stimulasi pada satu titik sementara pada
pengukuran EMG harus dilakukan pada satu titik yang lebih distal dari
saraf yang diperiksa. Kecepatan hantaran saraf dapat dinilai. Jika dalam 10
hari terdapat reduksi 90% pada ENOG yang dibandingkan dengan sisi
lainnya, maka kemungkinan sembuh juga berkurang secara bermakna.
Fisch Eselin melaporkan bahwa suatu penurunan sebesar 25% berakibat
penyembuhan tidak lengkap pada 88% pasien mereka, sementara 77%
pasien yang mampu mempertahankan respons di atas angka tersebut
mengalami penyembuhan normal pada nervus fasialisnya.2

2.8 Tatalaksana
Selain gangguan anatomi dan fungsi, Bell’s Palsy juga dapat
mengakibatkan gangguan psikologi sehingga penyakit ini harus ditatalaksana
sesegera mungkin. Adapun tujuan penatalaksanaan Bell’s palsy adalah untuk
mempercepat proses penyembuhan, mencegah terjadinya kelumpuhan komplit
dari kelumpuhan parsial sehingga dapat meningkatkan angka penyembuhan
komplit, menurunkan angka terjadinya sinkinesis dan kontraktur wajah serta
mencegah kelainan pada mata akibat lagoftalmus dan penurunan lakrimasi pada

20
pasien. Pasien Bell’s palsy juga harus melakukan kontrol rutin (rawat jalan) dalam
jangka waktu lama setelah proses akut ditangani.9
Canadian Society of Otolaryngology Head and Neck Surgery dan
Canadian Neurological Sciences Federation melakukan pengamatan terhadap
beberapa modalitas terapi Bell’s palsy. Keduanya meenjelaskan mengenai bukti
penanganan Bell’s palsy dengan pemberian kortikosteroid dan antiviral,
elektrostimulasi, fisioterapi dan operasi dekompresi nervus fasialis. Selain itu
mereka juga membahas mengenai terapi perlindungan mata, dan investigasi lebih
jauh pada pasien yang memiliki kelemahan wajah yang persisten dan progresif.
Berikut dijelaskan dalam tabel mengenai rekomendasi terapi Bell’s Palsy menurut
dua lembaga tersebut.8
Tabel 2. Rumusan rekomendasi terapi Bell’s palsy menurut Canadian Society of
Otolaryngology-Head and Neck Surgery dan Canadian Neurological Sciences
Federation8

a) Medikamentosa
- Kortikosteroid
Berdasarkan pedoman American Academy of Neurology tahun
2012 menyatakan bahwa streoid efektif untuk meningkatkan kemungkinan
pemulihan fungsi nervus fasialis pada Bell’s Palsy onset baru. Selain itu

21
perdoman yang dikeluarkan oleh American Academy of Otolaryngology–
Head and Neck Surgery Foundation (AAO-HNSF) pada November tahun
2013 juga mendukung pedoman AAN sebelumnya. Pedoman ini
merekomendasikan penggunaan kortikosteroid dalam 72 jam sejak
timbulnya gejala.10,11,12
Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa pasien yang diobati
dengan steroid khususnya prednisolon dalam 48 jam memiliki tingkat
pemulihan komplit secara bermakna daripada pasien yang tidak diobati,
sedangkan penilitian lain menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan
signifikan dalam tingkat pemulihan penyakit ini yang terlihat antara pasien
yang diobati pada 49-72 jam dan pasien yang tidak diobati sehingga
pemberian prednisolon lebih direkomendasikan untuk 48 jam sejak
timbulnya gejala. Dosis prednison yang dianjurkan untuk pengobatan
Bell’s Palsy adalah 1 mg/kg atau 60 mg/hari selama 6 hari diikuti
tappering off untuk pengobata total selama 10 hari. 10
Steroid dosis tinggi (prednison >120 mg/hari) telah aman
digunakan untuk mengobati Bell’s palsy khususnya Bell’s palsy yang
terjadi pada pasien diabetes melitus. Namun, dosis optimal belum
ditetapkan. Pemberian steroid pada kasus ini harus diperhartikan karena
terdapat risiko hiperglikemia akibat penggunaan steroid ini.10
- Agen Anti Viral10
Pengobatan antivirus merupakan cara terbaru dalam menangani
Bell’s Palsy akut yang disebabkan oleh virus. Berdasarkan spectrum
aktivitasnya dan toksisitasnya yang rendah, asiklovir (acycloguanosine)
sebagai analog nukleosida purin sintetik dapat digunakan untuk mencegah
Herpes Simpleks tipe I dan II, Varisella Zooster, dan Epstein Barr virus
serta cytomegalovirus. Asiklovir berfungsi untuk mencegah polymerase
dan replikasi DNA virus dengan bentuk yang dikonversi (difosforilasi),
sehingga asiklovir bertindak sebagai analog nukleosida.
Pemberian asiklovir intravena dengan dosis 10 mg/kgBB setiap 8
jam selama 7 hari pada gejala defisit neurologis yang disebabkan oleh

22
herpes zooster otikus, diberikan segera setelah onset sehingga dapat
mencegah degenerasi nervus fasialis pada telinga.10

b) Non-Medikamentosa
- Dekompresi Nervus Fasial
Pembedahan untuk mendekompresi nervus sebenarnya masih
kontroversial. Pasien yang diidentifikasi akan menderita kelumpuhan
persisten akibat kerusakan nervus yang ireversibel merupak prioritas
utama untuk dilakukan intervensi bedah. Pembedahan dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan bells palsy komplit yang belum
berespon terhadap pemberian terapi medikamentosa maupun pada pasien
yang telah mengalami degenerasi aksonal lebih dari 90% yang ditunjukkan
pada EMG. Sebelum dilakukan pembedahan, MRI harus dilakukan
terlebih dahulu untuk menentukan lokasi lesi. Dokter bedah kemudian
dapat memutuskan segmen yang didekompresi, segmen rahang atas
didekompresi secara eksternal, segmen labirin dan ganglion geniculate
harus didekompresi dengan kraniotomi fossa tengah. 10,13
- Fisioterapi
Fisioterapi dapat dilakukan kepada pasien antara lain (1) massage,
(2) stimulasi elektris, (3) terapi latihan dengan menggunakan cermin
(mirror exercise), (4) edukasi kepada pasien. Adapun untuk
pelaksanaannya dapat disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pasien.
Massage adalah pijitan tangan yang akan merangsang reseptor sensorik
dari kulit dan jaringan subcutaneous sehingga dapat memberikan efek
rileksasi dan mengurangi kaku pada wajah. Terapi latihan lain pada wajah
adalah dengan menggunakan cermin (mirror exercise) yang dapat
memberikan biofeedback sehingga dapat mencegah terjadinya kontraktur
dan melatih kembali gerakan volunter pada wajah pasien. Latihan ini
dianjurkan pada stadium akut dilakukan dan dikombinasikan dengan
medikamentosa khususnya pemberian prednison.

23
2.9 Prognosis10

Pasien yang menderita Bell palsy umumnya mengalami neurapraxia atau


blok konduksi saraf lokal. Pasien ini cenderung memiliki prognosis pemulihan
saraf yang cepat dan komplit. Pasien dengan axonotmesis atau dengan gangguan
akson, juga dapat memiliki pemulihan yang cukup baik, namun biasanya tidak
komplit. Faktor risiko dianggap terkait dengan luaran yang buruk pada pasien
dengan Bell’s palsy yaitu (1) pasien dengan usia lebih dari 60 tahun, (2) terjadi
paralisis komplit (kerusakan nerus fasialis sebesar 97%), dan (3) penurunan
sensasi rasa atau penurunan aliran saliva pada sisi wajah yang paralisis (biasanya
turun 10-25% dibandingkan dengan sisi wajah yang normal). Namun dikethui
pasien dapat sembuh tanpa pengobatan (71%) yang 84% diantaranya akan sembuh
total atau mendekati keadaan normal. Faktor-faktor lain yang dianggap terkait
dengan luaran yang buruk termasuk nyeri di daerah aurikularis posterior dan
penurunan lakrimasi.
Pasien berusia 60 tahun atau lebih tua memiliki kemungkinan sebesar
40% untuk sembuh total namun cederung dengan gejala sisa. Pasien yang lebih
muda, kurang dari 30 tahun hanya memiliki kemungkinan 10-15% untuk tidak
sembuh (jarang memiliki sekuele jangka panjang). Semakin cepat pemulihan,
semakin kecil kemungkinan timbulnya gejala sisa atau sekuele, seperti yang
dirangkum di bawah ini:
- Jika terjadi pemulihan fungsi dalam 3 minggu, maka pemulihan kemungkinan
besar akan komplit.
- Jika pemulihan terjadi antara 3 minggu hingga 2 bulan, maka hasil akhir
biasanya memuaskan.
- Jika pemulihan tidak dimulai sampai 2-4 bulan sejak onset, kemungkinan
gejala sisa permanen, termasuk sisa paresis dan sinkinesis akan lebih tinggi
tinggi.
- Jika tidak ada pemulihan yang terjadi selama 4 bulan, maka pasien mungkin
memiliki gejala sisa dari penyakit, yang meliputi sinkinesis, crocodile tears,
dan spasme hemifasial yang bersifat jarang.
Berkaitan dengan rekurensi, Bel’sl palsy memiliki tingkat kekambuhan
sebesar 7%. Paralisis bisa muncul kembali pada sisi yang sama atau berlawanan

24
dari paralisi awal. Kekambuhan biasanya dikaitkan dengan riwayat keluarga
Bell’s palsy yang rekuren. Kebanyakan pasien dengan Bell’s palsy rekuren
memang memiliki etiologi yang mendasari untuk kekambuhan tersebut.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Mardjono M, Sidharta P, 2004. Nervus fasialis. Dalam Neurologi Klinis


Dasar. Jakarta : Dian Rakyat
2. Sjarifuddin, Bashiruddin J, Bramantyo B. Kelumpuhan Nervus Fasialis
Perifer. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Leher. 6th ed. Jakarta : Balai Penerbit FK-UI, 2007.

3. Monnel, K., Zachariah, S., Khoromi, S. 2009. Bell’s Palsy. Available


from: http://emedicine.medscape.com/article/1146903. Diakses pada
tanggal 15 Juni 2018.

4. SM. Lumbantobing. Neurologi Klinik, Pemeriksaan Fisik dan Mental.


Jakarta : Balai Penerbit FK-UI, 2006.
5. Aminoff, MJ et al. 2005. Lange medical book : Clinical Neurology, Sixth
Edition, Mcgraw-Hill.
6. Ropper, AH., Brown, Robert H. 2005. Adams & Victors’ Principles of
Neurology, Eight Edition, McGraw-Hill.
7. Maisel R, Levine S. Gangguan Saraf Fasialis. Dalam Boies Buku Ajar
Penyakit THT edisi 6. Jakarta : EGC, 1997.

8. De Almeida, JR. et al., (2014). Management Of Bell Palsy: Clinical


Practice Guideline. CMAJ : Canadian Med. Ass. J, Vol. 186(12), pp. 917–
922
9. Holland, J. Bell’s Palsy. Brithis Medical Journal. 2008;01;1204.
10. Taylor DC, Zachariah SB, Benbadis SR. Bell Palsy. 2017. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1146903. Diakses pada tanggal 15
Juni 2018.
11. Gronseth GS, Paduga R. Evidence-based guideline update: Steroids and
antivirals for Bell palsy: Report of the Guideline Development
Subcommittee of the American Academy of Neurology. Neurology. 2012.
12. Baugh R, Basura G, Ishii L, Schwartz S, Drumheller C, Burkholder R, et
al. Clinical Practice Guideline: Bell’s Palsy. Otolaryngol Head Neck Surg
November 2013 vol. 149 no. 3 suppl S1-S27.

26
13. Anderson P. New AAN guideline on Bell’s palsy. Medscape Medical
News. November 7, 2012. Accessed November 12, 2012.

27
BAB III
ILUSTRASI KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. F
Umur : 27 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Pedagang
Suku Bangsa : Minang
Alamat : Andalas, Padang

ANAMNESIS
Seorang pasien laki-laki berumur 22 tahun datang ke Poliklinik Neurologi RSUP
DR. M. Djamil pada tanggal 3 Juni 2018, dengan :
Keluhan Utama
Mulut mencong ke sebelah kiri sejak 2 hari yang lalu
Riwayat Penyakit Sekarang
- Mulut mencong ke sebelah kiri sejak 2 hari yang lalu
- Awalnya pasien merasa wajahnya bergerak-gerak sendiri dan terasa tebal,
lidah juga terasa tebal, hingga ketika pasien bangun tidur pasien merasakan
mulutnya tiba-tiba mencong ke kiri.
- Pasien juga merasakan mata kiri tidak bisa tertutup sempurna dan terasa
kering
- Gangguan pengecapan tidak ada
- Gangguan pendengaran tidak ada
- Riwayat demam sebelum mulut mencong tidak ada
- Riwayat trauma pada kepala tidak ada
- Kelumpuhan anggota gerak tidak ada
Riwayat Penyakit Dahulu
- Tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya
- Riwayat hipertensi tidak ada
- Riwayat telinga berair tidak ada

28
Riwayat Penyakit Keluarga
- Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama seperti
pasien
Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, dan Kebiasaan
- Pasien seorang pegawai toko, sering kelelahan dan terpapar udara dingin

PEMERIKSAAN FISIK
 Keadaan umum : Baik
 Kesadaran : CMC, GCS 15, E4M6V5
 Tekanan darah : 130/90 mmHg
 Frekuensi Nadi : 80x/mnt
 Frekuensi pernafasan : 20x/mnt
 Suhu : 36,7°C
 Kepala :
Konjungtiva : tak anemis
Sklera : tak ikterik
 Leher : tidak ada kelainan
 Thorax :
Pulmo :
Inspeksi : simetris kiri dan kanan
Palpasi : tidak dapat dinilai
Perkusi : sonor
Auskultasi : vesikuler, ronchi -/-, wheezing -/-
Cor :
Inspeksi : ictus cordis tak terlihat
Palpasi : ictus teraba 1 jari medial LMCS RIC IV
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : bunyi jantung murni, irama takikardi, bising (-)
- Abdomen :
Inspeksi : tidak tampak membuncit
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : tympani

29
Auskultasi : Bising usus (+) normal
- Korpus Vertebrae
Inspeksi : deformitas (-)
Palpasi : gibbus (-)

Pemeriksaan Neurologis
1. Tanda rangsang Meningen:
- Kaku kuduk :-
- Kernig :-
- Brudzinski I :-
- Brudzinski II :-
2. Tanda peningkatan TIK
-Pupil : isokor, reflek cahaya +/+ Ф3mm/3mm
3. Pemeriksaan Nervus Cranialis:

Nervus kranialis Kanan Kiri


N I (Olfaktorius)
-subjektif Baik Baik
-objektif (dg bahan) Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N II (Optikus)
-tajam penglihatan Baik Baik
-lapangan pandang Baik Baik
-melihat warna Baik Baik
-funduskopi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N III (Okulomotorius)
-bola mata Ortho Ortho
-ptosis Tidak ada Tidak ada
-gerakan bulbus Ke segala arah Ke segala arah
-strabismus Tidak ada Tidak ada
-nistagmus Tidak ada Tidak ada
-ekso/endotalmus Tidak ada Tidak ada
-pupil

30
bentuk Bulat, isokor,  3 mm Bulat, isokor,  3 mm
reflex cahaya + +
reflex akomodasi + +
reflex konvergensi + +
N IV (Trochlearis)
-gerakan mata ke bawah Bebas Bebas
-sikap bulbus Ortho Ortho
-diplopia Tidak ada Tidak ada
N V (Trigeminus)
-Motorik
membuka mulut Baik Baik
menggerakkan rahang Baik Baik
menggigit Baik Baik
mengunyah Baik Baik

-Sensorik
Divisi Oftalmika
*reflex kornea + +
*sensibilitas + +
Divisi Maksila
*reflex Masseter Baik Baik
*sensibilitas Baik Baik
Divisi Mandibula
*sensibilitas Baik Baik
N VI (Abdusen)
-gerakan mata ke lateral Bebas Bebas
-sikap bulbus Ortho Ortho
-diplopia Tidak ada Tidak ada
N VII (Fasialis)
-raut wajah Plika nasolabialis kiri lebih datar
-sekresi air mata + +

31
-fisura palpebra + -
-menggerakkan dahi + -
-menutup mata + -
-mencibir/bersiul + -
-memperlihatkan gigi + -
-sensasi lidah 2/3 depan + +
-hiperakusis - -
N VIII (Vestibularis)
-suara berbisik Baik Baik
-detik arloji Baik Baik
-rinne test Tidak diperiksa Tidak diperiksa
-weber test Tidak diperiksa Tidak diperiksa
-swabach test Tidak diperiksa Tidak diperiksa
*memanjang
*memendek
-nistagmus Tidak ada Tidak ada
*pendular
*vertical
*siklikal
-pengaruh posisi kepala Tidak ada Tidak ada
N IX (Glossofaringeus)
-sensasi lidah 1/3 blkg Baik Baik
-refleks muntah (Geg Rx) + +
N X (Vagus)
-Arkus faring Simetris
-uvula Di tengah
-menelan Baik
-artikulasi Baik
-suara Baik
-nadi Teratur

32
N XI (Asesorius)
-menoleh ke kanan +
-menoleh ke kiri +
-mengangkat bahu kanan +
-mengangkat bahu kiri +
N XII (Hipoglosus)
-kedudukan lidah dalam Di tengah
-kedudukan lidah Di tengah
dijulurkan
-tremor -
-fasikulasi -
-atropi -

4. Koordinasi: baik

5. Pemeriksaan Fungsi Motorik;


Kanan Kiri
a.Badan -Respirasi Simetris kiri dan kanan
-duduk Simetris Simetris
b.Berdiri & -gerakan spontan Tidak ada Tidak ada
berjalan
-tremor Tidak ada Tidak ada
-atetosis Tidak ada Tidak ada
-mioklonik Tidak ada Tidak ada
-khorea Tidak ada Tidak ada

c.Ekstremitas Superior Inferior


Kanan Kiri Kanan Kiri
-gerakan Aktif Aktif Aktif Aktif
-kekuatan 555 555 555 555
-tropi Eutropi Eutropi Eutropi Eutropi

33
-tonus Eutonus Eutonus Eutonus Eutonus

6. Pemeriksaan sensibilitas: baik

7. Sistem reflex
a.Refleks fisiologis
Kanan Kiri kanan Kiri
Kornea + + Biseps ++ ++
Berbangkis Triseps ++ ++
Laring KPR ++ ++
Masseter APR ++ ++
Dinding Bulbokavernosus
perut
-atas
-bawah
-tengah
Cremaster
Sfingter

b.Patologis
Lengan Kanan Kiri Tungkai Kanan Kiri
Hofmann- - - Babinski - -
Tromner
Chaddoks - -
Oppenheim - -
Gordon - -
Schaeffer - -
Klonus paha - -
Klonos kaki - -

34
8. Fungsi otonom
-miksi : baik
-defekasi : baik
-sekresi keringat : baik

9.Fungsi luhur :
Kesadaran Tanda demensia
-reaksi bicara : baik -refleks Glabella : -
-reaksi intelek : baik -refleks Snout :-
-reaksi emosi : baik -refleks mengisap : -
-refleks memegang : -
-refleks Palmomental : -

Diagnosis
Diagnosa klinis : Paralisis nervus fasialis sinistra tipe perifer
Diagnosa topiK : Nervus VII sinistra
Diagnosa etiologi : Idiopatik
Diagnosa sekunder :-

Prognosis:
Quo ad vitam : bonam
Quo ad sanam : bonam
Quo ad functionam: bonam

Terapi
 Istirahat
 Prednisone 3x5 mg
 Neurodex 3x1 tab
 Fisioterapi

35
BAB IV
DISKUSI

Seorang pasien laki-laki, usia 22 tahun, datang ke Poliklinik RSUP Dr. M


Djamil Padang dengan keluhan wajah mencong ke kiri sejak 2 hari yang lalu.
Awalnya pasien merasa wajahnya bergerak-gerak sendiri dan terasa tebal, lidah
juga terasa tebal, hingga ketika pasien bangun tidur pasien merasakan mulutnya
tiba-tiba mencong ke kiri. Pasien juga merasakan mata kiri tidak bisa tertutup
sempurna dan terasa kering. Berdasarkan anamnesis, keluhan pasien ini sesuai
dengan paralisis nervus fasialis tipe perifer, dimana paralisis terjadi pada sisi
wajah sebelah kiri saja. Hal ini terjadi karena kerusakan pada inti nervus fasialis
atau infranuklearnya, sehingga impuls homolateral untuk otot-otot wajah bagian
atas dan kontralateral untuk otot-otot wajah bagian bawah terganggu. Pada pasien
ini tidak ditemukan gangguan pengecapan dan pendengaran. Hal ini dapat
menyingkirkan keterlibatan ganglion genikulatum sebagai induk sel pengecap 2/3
bagian depan lidah maupun meatus akustikus internus yang dapat mengganggu
pendengaran. Pasien tidak memiliki riwayat telinga berair, sehingga dapat
disingkirkan kemungkinan etiologinya merupakan suatu otitis media. Riwayat
trauma juga disangkal sehingga dapat disingkirkan kemungkinan fraktur os
temporal, dan tidak adanya riwayat hipertensi serta tidak adanya kelumpuhan
anggota gerak dapat menyingkirkan kemungkinan suatu lesi sentral.
Dari riwayat sosial dan kebiasaan, pasien adalah seorang pedagang yang
terbiasa terkena udara dingin dan kelelahan. Hal ini merupakan faktor risiko yang
dapat menyebabkan nervus fasialis menjadi sembab dan terjepit pada foramen
stilomastoideum dan menimbulkan kelumpuhan nervus fasialis tipe LMN
(perifer). Kelumpuhan ini disebut dengan Bell’s Palsy.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien baik, tekanan
darah 130/90 mmHg, nadi 80x/menit, nafas 20x/menit, suhu 36,5 0 C. Dari
pemeriksaan nervus kranialis, didapatkan pemeriksaan N.I-N.XII baik, kecuali
N.VII. Pada pemeriksaan N.VII didapatkan raut wajah yang tidak simetris,
dimana plika nasolabialis kiri lebih datar, dahi sebelah kiri tidak dapat dikerutkan,
kelopak mata kiri tidak dapat ditutup, tidak dapat bersiul, dan tidak dapat

36
memperlihatkan gigi. Tidak ditemukan hipeakusis karena jika nervus fasialis
terjepit di foramen stilomastoideum maka ia tidak lagi mengandung serabut korda
timpani dan serabut yang mempersarafi muskulus stapedius. Tidak adanya
kelumpuhan anggota gerak dapat menyingkirkan kemungkinan stroke yang dapat
menyebabkan paralisis N.VII, yang lesinya bersifat sentral.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik tersebut dapat ditegakkan diagnosis
klinis Paresis Nervus VII tipe perifer (Bell’s Palsy), dengan diagnosis topik
Nervus VII, dan etiologi idiopatik.
Prinsip penatalaksanaan pada pasien dengan Bell’s Palsy secara
medikamentosa yaitu dengan pemberian kortikosteroid, seperti prednison 1
mg/kgBB (prednisone 60 mg), di tappering off diturunkan 2 tab/hari sampai 10
hari (stadium akut), diberikan Nurodex 3x1 tab, dan dapat ditambahkan analgetik
(bila nyeri). Tatalaksana non medikamentosa berupa fisioterapi, dilakukan setelah
hari ke 4 awitan. Hal ini dapat dilakukan dengan melatih sisi wajah yang lumpuh
untuk melakukan gerakan seperti mengerutkan dahi, menutup mata, tersenyum,
bersiul/meniup, mengangkat sudut mulut, dapat juga dilakukan massase wajah sisi
yang lumpuh. Tujuan fisioterapi ini untuk mempertahankan tonus otot yang
lumpuh.
Prognosis kasus ini adalah bonam, karena berdasarkan epidemiologi
dengan Bell’s Palsy akan sembuh sempurna (dalam waktu 3 bulan). Paralisis
ringan atau sedang pada saat awitan merupakan tanda prognosis baik.

37
BAB V

KESIMPULAN

Bell’s palsy merupakan gangguan idiopatik nervus cranialis yaitu nervus


fasialis (N.VII) yang bersifat akut. Berdasarkan data epidemiologi, Bell’s Palsy
terjadi 20/100.000 penduduk per tahun. Adapun penyebab Bell’s Palsy yang
masih diperkirakan yaitu infeksi, keganasan, trauma, gangguan pembuluh darah,
idiopatik, dan penyakit-penyakit tertentu yang menyebabkan adalah edema dan
iskemia akibat penekanan (kompresi) pada nervus fasialis
Mekanisme terjadinya bells palsy masih belum diketahui pasti. Teori
vaskuler dan inflamasi. Pada Bell’s palsy terjadi akibat berkurangnya aliran darah
ke nervus fasialis yang disebabkan oleh vasodiltasi pembuluh darah yang terletak
antara saraf fasialis dan dinding kanalis fasialis. Vasoditasi pembuluh darah ini
terjadi karena beberapa sebab diantaranya infeksi virus, proses imunologik dll.
Kurangnya aliran darah yang terjadi menyebabkan gangguan mikrosirkulasi di
dalam nervus fasialis sehingga oksigen yang terdapat pada nervus tersebut tidak
memadai. Manifestasi klinis pada Bell’s Palsy terlihat pada lemah atau lumpuhnya
otot wajah, gangguan untuk menutup mata, nyeri di telinga atau mastoid,
perubahan atau penurunan sensasi pengecapan, hiperakusis, numbness pada pipi
atau mulut, epiphora, nyeri di bagian auricular.
Berdasarkan gejala tersebut Bell’s Palsy dapat di grading menjadi Grade 1
(normal), Grade 2 (Disfungsi ringan), Grade 3 (Disfungsi sedang), Grade 4
(Disfungsi sedang yang berat), Grade 5 (Disfungsi parah), Disfungsi yang parah.,
Grade 6 (Paresis total). Tatalaksana pasien Bell’s Palsy meliputi pemberian
kortikosteroid, pemberian agen antivirus, pembedahan maupun fisioterapi.
Prognosis pasien Bell’s palsy umumnya baik, terutama pada pasien berumur muda
(kurang dari 30 tahun).

38

Anda mungkin juga menyukai