Anda di halaman 1dari 9

1

Laporan Kasus

Pendekatan Kedokteran Keluarga pada Penatalaksanaan Dispepsia


Purwaningsih
Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas,Fakultas Kedokteran Unhas

Abstrak

Studi kasus ini menyajikan penatalaksanaan dispepsia pada seorang pasien dengan
pendekatan kedokteran keluarga yang bersifat holistik, komprehensif, terpadu, dan
berkesinambungan. Didapatkan perbaikan masalah klinis pasien. Dilakukan pula pencegahan
melalui edukasi agar keluarga tidak menderita penyakit yang sama dengan pasien.

Pendahuluan

Dispepsia menggambarkan keluhan atau kumpulan gejala yang terdiri dari nyeri atau
rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh,
dan sendawa. Dispepsia merupakan salah satu dari berbagai keluhan umum yang dapat ditemui
oleh dokter yakni hampir 30% di praktik umum2,4,6. Keluhan ini dapat disebabkan oleh karena
:

- Esofagogastroduodenal : tukak peptik, gastritis, tumor, dsb


- Obat-obatan : antiinflamsi nonsteroid, Teofilin, digitalis, antibiotik, dsb
- Hepatobilier : hepatitis, kolesistitis, tumor, disfungsi sphincter odii, dsb
- Pankreas : pankreatitis, keganasan.
- Penyakit sistemik : Diabetes Mellitus, penyakit tiroid, gagal ginjal, penyakit jantung koroner,
dsb
- Gangguan fungsional : Dispepsia fungsional, Irritable bowel syndrome.

Mayoritas pasien Asia dengan dispepsia yang belum diinvestigasi dan tanpa tanda
bahaya merupakan dispepsia fungsional. Berdasarkan hasil penelitian di negara-negara Asia
(Cina, Hong Kong, Indonesia, Korea, Malaysia, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Vietnam)
didapatkan 43-79,5% pasien dengan dispepsia adalah dispepsia fungsional. Dari hasil
endoskopi yang dilakukan pada 550 pasien dispepsia dalam beberapa senter di Indonesia pada
Januari 2003 sampai April 2004, didapatkan 44,7 % kasus kelainan minimal pada gastritis dan
duodenitis; 6,5% kasus dengan ulkus gaster; dan normal pada 8,2% kasus.1

Di Indonesia, data prevalensi infeksi Hp pada pasien ulkus peptikum (tanpa riwayat
pemakaian obat-obatan anti-inflamasi non-steroid/OAINS) bervariasi dari 90-100% dan untuk
pasien dispepsia fungsional sebanyak 20- 40% dengan berbagai metode diagnostik
(pemeriksaan serologi, kultur, dan histopatologi). Prevalensi infeksi Hp pada pasien dispepsia
yang menjalani pemeriksaan endoskopik di berbagai rumah sakit pendidikan kedokteran di
Indonesia (2003-2004) ditemukan sebesar 10.2%. Prevalensi yang cukup tinggi ditemui di
2

Makasar tahun 2011 (55%), Solo tahun 2008 (51,8%), Yogyakarta (30.6%) dan Surabaya tahun
2013 (23,5%), serta prevalensi terendah di Jakarta (8%).1

Pada studi kasus kali ini akan dikemukakan mengenai dispepsia dan faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi keberhasilan penatalaksanaannya baik dari segi psikososial, perilaku, dan
pelayanan kesehatan. Mengingat penyakit ini sering berulang dan mengganggu aktivitas
pasien, maka diperlukan suatu pendekatan dokter keluarga agar penatalaksanaan yang
diberikan dapat optimal.

Ilustrasi Kasus

Seorang perempuan berusia 54 tahun datang ke Puskesmas Rappokalling dengan


keluhan nyeri perut daerah atas tengah (epigastric) yang muncul sejak kemarin terutama saat
makan dan saat setelah makan. Nyeri menjalar ke arah belakang kedua hipokondrium. Keluhan
disertai adanya rasa mual saat rasa nyerinya meningkat. Riwayat keluhan yang sama dua tahun
lalu dan telah rutin memeriksakan diri ke dokter dan rutin minum obat. Pasien memiliki pola
makan yang kurang teratur dan jarang mengonsumsi teh, kopi, soda, alkohol ataupun makan
makanan yang pedas. Riwayat keluhan yang sama dalam keluarga tidak ada. Pasien memiliki
riwayat hipertensi dengan pengobatan teratur dan arthritis dengan pengobatan NSAID sejak
tahun lalu. Dari faktor psikoekonomi pasien mengaku stress karena faktor kemiskinan dan
suaminya sudah 7 tahun dipenjara.

Pasien merupakan ibu rumah tangga yang tinggal bersama 2 orang anak dan 1 orang
cucunya. Pasien sudah menikah dan memiliki 4 anak yang dua diantaranya telah menikah dan
memiliki 2 cucu. Pasien tinggal di sebuah rumah dengan luas 21 m2. Rumah terdiri dari 2
kamar tidur,1 kamar mandi luar, dan dapur. Lantai rumah terbuat dari tanah semen dan tegel,
dinding rumah terbuat dari kayu tripleks dan bata tanpa plester,atap rumah terbuat dari seng.
Ventilasi rumah dan pencahayaan kurang. Kebersihan dan kerapihan rumah baik. Sumber air
yang dipakai untuk sehari-hari adalah dari air sumur. Sedangkan untuk minum, pasien
menggunakan air PDAM yang tidak dimasak. Pemasukan pasien berasal dari pendapatan anak
laki-lakinya dengan gaji Rp1.600.0000/bulan. Pasien makan 3 kali sehari dengan lauk yang
beraneka ragam.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik,tampak sakit ringan,kesadaran


compos mentis. Status Gizi : berat badan 56 kg, tinggi badan 146 cm, IMT 26.6 kg/m2 (obese
1). Tanda-tanda Vital : - Tekanan Darah : 150/90 mmHg
- Nadi : 72x/menit
- Pernapasan : 20x/menit
- Suhu : 36.6
Dalam menetapkan masalah serta faktor yang mempengaruhi, digunakan konsep
Mandala of Health 5(Gambar 1). Diagnosis holistik yang ditegakkan pada pasien adalah
3

sebagai berikut. Pada poin I, alasan kedatangan: nyeri perut yang menyebabkan aktivitas pasien
terganggu. Pada poin II, diagnosis kerja yang ditegakkan adalah dispepsia. Pada poin III
didapatkan masalah perilaku berupa perilaku yang tidak sehat dengan rutin mengonsumsi air
PDAM yang tidak dimasak. Pada poin IV didapatkan masalah pendapatan kurang. Pada poin
V ditetapkan skala fungsional pasien derajat 2.
Tindakan yang dilakukan meliputi tindakan terhadap pasien dan keluarga. Pada pasien
diberikan obat antasida yang diminum 3 kali sehari sebelum makan dan bila dalam 3 hari tidak
membaik maka obat diganti dengan golongan proton pump inhibitor (omeprazole) yang
diminum 1 kali sehari sebelum makan dan dilakukan edukasi pada pasien dan keluarga
mengenai pola hidup sehat untuk mencegah terjadinya dispepsia seperti dengan mengganti air
minum menjadi air galon atau air masak dan tidak mengonsumsi dalam jumlah yang banyak
berupa kopi, teh, ataupun soda, makan teratur, dan hindari stress juga mewaspadai munculnya
gejala akibat penyakit lain.

Gambar 1. Konsep Mandala of Health


4

Tabel 1. Skoring Kemampuan Penyelesaian Masalah Dalam Keluarga

No. Masalah Skor Upaya Penyelesaian Resume Hasil Skor


Awal Akhir
Akhir Perbaikan

1 Faktor Biologi : Pasien adalah 3 -Edukasi mengenai penyakit -Terselenggara 4


seorang perempuan usia 54 dispepsia penyuluhan
tahun dngan riwayat hipertensi
-Pengobatan -Perbaikan gejala klinis

2 Faktor perilaku kesehatan : 5 Edukasi keluarga untuk Pasien sudah sering 5


Rutin memeriksakan diri ke mengingatkan pasien memeriksakan kesehatan
puskesmas dan rajin minum memeriksakan kesehatan secara berkala
obat secara berkala

3 Faktor Gaya Hidup : 3 Edukasi mengenai jadwal Keluarga akan membantu 4


makan yang harus dirutinkan mengingtakan makan
Jadwal makan tidak teratur dan
rutin mengonsumsi air PDAM
tidak dimasak

4 Lingkungan rumah : 3 Memperbaiki ventilasi dan Pintu dan jendela rumah 5


Ventilasi dan pencahayaan pencahayaan rumah dengan dibiarkan terbuka pada
rumah kurang membuka pintu dan jendela siang hari
pada siang hari

Total Skor 14 18

Rata-rata 3.5 4.5

Klasifikasi skor kemampuan menyelesaikan masalah3,5 :


Skor 1 Tidak dilakukan, keluarga menolak, tidak ada partisipasi.
Skor 2 Keluarga mau melakukan tapi tidak mampu, tidak ada sumber (hanya keinginan);
penyelesaian masalah dilakukan sepenuhnya oleh provider.
Skor 3 Keluarga mau melakukan namun perlu penggalian sumber yang belum dimanfaatkan,
penyelesaian masalah dilakukan sebagian besar oleh provider
Skor 4 Keluarga mau melakukan namun tak sepenuhnya, masih tergantung pada upaya
provider
Skor 5 Dapat dilakukan sepenuhnya oleh keluarga
99 Not Applicable
5

Pembahasan :

Pada kasus ini, pasien didiagnosis dengn dispepsia. Diagnosis ditegakkan berdasarkan dari
hasil anamnesis yang dilakukan saat pasien datang memeriksakan diri ke Puskesmas
Rappokalling.
Berdasarkan hasil anamnesis, pasien datang dengan keluhan nyeri perut atas bagian tengah
yang mulai dirasakan sejak kemarin terutama saat makan dan saat setelah makan. Nyeri
menjalar ke arah belakang kedua hipokondrium. Keluhan disertai adanya rasa mual saat rasa
nyerinya meningkat. Riwayat keluhan yang sama dua tahun lalu dan telah rutin memeriksakan
diri ke dokter dan rutin minum obat. Pasien memiliki pola makan yang kurang teratur dan
jarang mengonsumsi teh, kopi, soda, alkohol ataupun makan makanan yang pedas. Riwayat
keluhan yang sama dalam keluarga tidak ada. Pasien memiliki riwayat hipertensi dengan
pengobatan teratur dan arthritis dengan pengobatan NSAID sejak tahun lalu. Dari faktor
psikoekonomi pasien mengaku stress karena faktor kemiskinan dan suaminya sudah 7 tahun
dipenjara.

Anjuran penatalaksanaan penyakit terdiri dari upaya promotif,preventif,kuratif,dan


rehabilitative. Upaya promotif meliputi edukasi terhadap keluarga untuk tidak meminum air
mentah, perbanyak konsumsi sayur dan buah-buahan, dan rajin berolahraga. Upaya preventif
seperti membatasi konsumsi garam dan lemak,serta rutin memeriksakan kesehatan di
puskesmas terkait masalah dispepsia. Sedangkan upaya kuratif yang dilakukan untuk pasien
adalah dengan pemberian terapi farmakologis dengan menggunakan antasida untuk mengatasi
dispepsianya dan omperazole 1x1 jika antasida tidak mempan dan pasien juga diberikan obat
antihipertensi yaitu amlodipin 5 mg 1x1 karena target tekanan darah belum tercapai. Selain
terapi farmakologis, diberikan juga terapi non farmakologis dengan pemberian konseling
tentang diet untuk pasien dispepsia dan hipertensi. Upaya rehabilitative yang dilakukan seperti
menganjurkan pasien untuk kontrol rutin di puskesmas.
Dalam penatalaksaan dispepsia perlu dilakukan investigasi mengenai penyebab
dispepsianya agar target terapi lebih tepat walaupun terapinya hampir sama. Karena puskesmas
merupakan pelayanan pertama masyarakat maka pasien dikategorikan dalam dispepsia yang
belum diinvestigasi karena tidak adanya alat pemeriksaan helicobacter pylori berupa urea
breath test. Strategi tata laksana optimal pada fase ini adalah memberikan terapi empirik selama
1-4 minggu sebelum hasil investigasi awal, yaitu pemeriksaan adanya Hp.1
Untuk daerah dan etnis tertentu serta pasien dengan faktor risiko tinggi, pemeriksaan
helicobacter pylori harus dilakukan lebih awal. Obat yang dipergunakan dapat berupa antasida,
antisekresi asam lambung (PPI misalnya omeprazole, rabeprazole dan lansoprazole dan/atau
H2-Receptor Antagonist [H2RA]), prokinetik, dan sitoprotektor (misalnya rebamipide), di
6

mana pilihan ditentukan berdasarkan dominasi keluhan dan riwayat pengobatan pasien
sebelumnya. Masih ditunggu pengembangan obat baru yang bekerja melalui down-regulation
proton pump yang diharapkan memiliki mekanisme kerja yang lebih baik dari PPI, yaitu DLBS
2411. 1
Terkait dengan prevalensi infeksi Hp yang tinggi, strategi test and treat diterapkan pada
pasien dengan keluhan dispepsia tanpa tanda bahaya. Test and treat dilakukan pada 1:
Pasien dengan dispepsia tanpa komplikasi yang tidak berespon terhadap perubahan gaya
hidup, antasida, pemberian PPI tunggal selama 2-4 minggu dan tanpa tanda bahaya.
Pasien dengan riwayat ulkus gaster atau ulkus duodenum yang belum pernah diperiksa.
Pasien yang akan minum OAINS, terutama dengan riwayat ulkus gastroduodenal.
Anemia defisiensi besi yang tidak dapat dijelaskan, purpura trombositopenik idiopatik dan
defisiensi vitamin B12.
Test and treat tidak dilakukan pada:
Penyakit refluks gastroesofageal (GERD)
Anak-anak dengan dispepsia fungsional

Gambar 2. Algoritme Tata


Laksana Dispepsia di
Berbagai Tingkat
Layanan Kesehatan1
7

Menurut teori H.L. Blum terdapat empat faktor yang mendasari munculnya suatu penyakit.
Faktor tersebut antara lain : faktor biologi, faktor lingkungan, faktor pelayanan kesehatan, dan
faktor perilaku. Mengacu pada teori tersebut, kejadian dispepsia pada pasien ini dapat
dijabarkan sebagai berikut :5

1. Faktor biologi
Faktor biologi pada pasien ini adalah perempuan,usia pasien 54 tahun. Suatu penelitian
di Indonesia dengan sampel kecil didapatkan prevelensi dispepsia tertinggi ada pada rentang
usia 46-55 tahun. Hal ini dikaitkan dengan aktivitas olahraga rutin yang menurun dan
penurunan aktivitas hormonal fisiologis. Olahraga efektif meningkatkan kemampuan
manajemen stress, merangsang peningkatan sistem imun terhadap H.pylori, mereduksi
rangsangan asam lambung dan membantu seseorang bertahan terhadap stress. Adapun
faktor hormonal dalam suatu percobaan memperlihatkan adanya pengaruh progesteron,
estradiol dan prolaktin terhadap kontraktilitas otot polos dan memperlambat waktu transit
gastrointestinal.7
Faktor jenis kelamin mempunyai pengaruh yang tidak signifikan terhadap kejadian
dispepsia. Namun dalam beberapa studi didapatkan penderita perempuan lebih banyak. 7,8
2. Faktor lingkungan
Pasien memiliki masalah yang dapat menimbulkan stress psikis yaitu pisah dari suami
yang sudah dipenjara 7 tahun dan belum keluar juga masalah kemiskinan yang membuat
pasien harus menghemat biaya air minum dengan meminta air PDAM tetangga. Gangguan
psikososial merupakan salah satu faktor pencetus yang berperan dalam dispepsia fungsional.
Derajat beratnya gangguan psikososial sejalan dengan tingkat keparahan dispepsia.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa depresi dan ansietas berperan pada terjadinya

dispepsia fungsional 8

3. Faktor pelayanan kesehatan


Pada pelayanan kesehatan yakni Puskesmas Rappokalling, tersedia tenaga kesehatan
yang berkompetensi dalam mendiagnosis serta obat-obat tatalaksana awal ataupun
kelanjutan eradikasi penyabab dyspepsia.
4. Faktor perilaku
Faktor perilaku merupakan faktor yang dominan dalam proses terjadinya penyakit
terutama untuk kasus dispepsia. Pada pasien ini, didapatkan kebiasaan makan yang kurang
teratur. Namun untuk masalah berobat dan memeriksakan diri ke dokter pasien rutin
melaksanakannya.7
8

Hingga saat ini dispepsia selalu menjadi penyakit terbanyak di kunjungan puskesmas
karena beberapa hal seperti karena faktor ekonomi, psikologis, dan ketidakaturan penduduk
terhadapa pola dan waktu makan. Walaupun dispepsia mudah ditangani namun kasus
kekambuhannya sering terjadi dan untuk mengetahui penyebabnya penderita malas untuk
memeriksakan lebih lanjut di beberapa tempat pelayanan kesehatan yang lebih lanjut dan
masalah yang ditimbulkan dapat menurunkan produktivitas masyarakat. Oleh karena itu,
perlunya pendekatan dokter keluarga untuk memastikan,mendiagnosis dini dan mengawasi
para pasien dan keluarganya untuk tercapainya tujuan kesehatan. Prinsip pokok dari dokter
keluarga adalah untuk dapat menyelenggarakan pelayanan kedokteran menyeluruh sehingga
dapat meningkatkan taraf mutu pelayanan kesehatan masyarakat. 3
9

DAFTAR PUSTAKA

1. PGI-KSHPI. (2014). Konsensus Nasional Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi


Helicobacter pylory. Jakarta : Dokter Spesialis gastroenterologi
2. Kasper DL,Fauci AS,Lonjo DL,et.al. (2005) . Harrisons Principles of Internal
Medicine,16th ed.McGraw Hill Med.
3. Depkes RI. (2010). Rencana Operasional Promosi Kesehatan dalam Pengendalian
Penyakit Tidak Menular. Jakarta; Kementrian Kesehatan RI
4. Depkes RI. (2013). Panduan Praktis Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer. Jakarta.
5. Suyono.(2010). Kesehatan Lingkungan. Available in
http://ejournal.kopertis4.or.id/file.php?file=karyailmiah&id=742
6. Dharmika Djojoningrat (2015). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Kumpulan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia.
7. Inna S Santos, et al (2005). Artikel penelitian : Prevalence of Helicobacter pylori
Infection and Assosiated Factors Among Adults in Southern Brazil : a population-based
cross- sectional study. BMC Public Health.
8. Yuri Muya, et al (2015). Artikel penelitian :Karakteristik penderita dispepsia funsional
yang mengalami kekambuhan di bagian ilmu penyakit dalam RSUP Dr.M.Djamil
Padang, Sumatra Barat tahun 2011

Anda mungkin juga menyukai