Disusun oleh :
Andrew Sabastian Geraldyno Paago, S.Ked
Konsulen :
dr. Eka P, Sp.An
BAB I
PENDAHULUAN
Diabetes mellitus merupakan masalah endokrin yang paling sering dihadapi ahli
anestesi dalam melakukan pekerjaannya. Sebanyak 5 % orang dewasa di Barat mengidap
diabetes mellitus, lebih dari 50 % penderita diabetes mellitus suatu saat mengalami tindakan
pembedahan dalam hidupnya dan 75 % merupakan usia lanjut di atas 50 tahun. Sedangkan di
Indonesia angka prevalensi penderita diabetes mellitus adalah 1,5 % dan diperkirakan 25 %
penderita diabetes mellitus akan mengalami pembiusan dan pembedahan. Karena faktor
penyulit inilah mereka lebih banyak memerlukan pembedahan dari pada orang lain.
Penyebab tingginya morbiditas dan mortalitas pada diabetes mellitus adalah karena
penyulit kronis, hal tersebut terjadi karena hiperglikemia yang tak terkontrol dalam jangka
waktu lama, berupa mikro dan makroangiopati. Penyulit kronis tersebut berhubungan dengan
disfungsi organ seperti penyakit arteri koroner, penyakit pembuluh darah otak, hipertensi,
insufisiensi ginjal, neuropati autonomik diabetik, gangguan persendian jaringan kolagen
(keterbatasan ekstensi leher, penyembuhan luka yang buruk), gastroparesis, dan produksi
granulosit yang inadekuat Oleh karena itu perhatian utama ahli anestesi harus tertuju pada
evaluasi preoperatif dan penanganan penyakit-penyakit tersebut untuk menjamin kondisi
preoperatif yang optimal.
Ada tiga komplikasi akut DM yang mengancam jiwa, yaitu ketoasidosis dabetik,
koma non ketotik hipenosmolor dan hipoglikomia. Penurunan aklifitas insulin meningkatkan
katabolisme asam lemak bebas menghasilkan benda keton (asetoasetat dan hidroksibutirat)
Akumulasi asam-asam organik berakibat timbulnya asidosis metabolik anion-gab
yang disebut kotoasidosis diabetik. Kotoasidosis diabelik dapat diketahuidengan asidosis
laktat. Dimana asidosis laktat pada plasma terjadi peningkatan laktat (>6 mmol/L) dan tidak
terdapat aseton
dalam urine
dan
plasma.
Ketoasidosis
alkoholik dapat
dibedakan
dengan ketoasidosis diabetik dariadanya riwayat baru saja mongkonsumsi alkohol dalam
jumlah yang banyak (pesta minum) yang terjadi pada pasien non diabetik dengan kadar
glukosa rendah atau sedikit meningkat.
Manifestasi klinik dari ketoasidosis adalah dyspnue (uji kompensasi untuk asidosis
metabolik), nyeri perut yang menyerupai kolik abdomen, mual dan muntah, dan perubahan
sensoris. Penalalaksanaan kotoasidosis diabetik tergantung pada koreksi hiperglikemia (yang
1
mana jarang melebihi 500 mg/dl),penurunan kalium total tubuh, dan dehidrasi diinfus
dengan insulin, natrium dan cairan isotonis.
BAB II
PEMBAHASAN
DEFINISI
Diabetes mellitus adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh defisiensi insulin
ditandai dengan peningkatan kadar glukosa dalam plasma.
Saat ini, American Diabetes Association (ADA) dan WHO mengeluarkan kriteria
diagnostik terbaru. Kedua badan tersebut menganjurkan penurunan nilai ambang kadar
glukosa plasma puasa dan menetapkan klasifikasi lebih berdasarkan etiologi.
ADA telah menspesifikasikan bahwa diagnosis diabetes mellitus dibuat jika kadar
glukosa plasma sewaktu pada individu asimtomatik > 11,1 mmol/L (200 mg/dl). Jika kadar
glukosa plasma puasa > 7,0 mmol/L (126 mg/dl) pada individu asimtomatik, pemeriksaan
harus diulang pada hari yang berbeda dan diagnosis dibuat jika nilainya tetap di atas
ini. ADA
batas
menetapkan kadar glukosa plasma diantara 6,1 dan 7,0 mmol/L (110 dan 126
mg/dl) sebagai kadar glukosa plasma puasa terganggu. WHO juga merekomendasikan bahwa
diagnosis diabetes mellitus dibuat jika kadar glukosa plasma sewaktu > 11,1 mmol/L atau
200 mg/dl (darah vena > 10,0 mmol/L atau 180 mg/dl). Diabetes mellitus dapat juga
didiagnosis bila kadar glukosa plasma puasa > 7,0 mmol/L (126 mg/dl) dan tes kedua yang
serupa atau tes toleransi glukosa oral memberikan .hasil pada batas diabetes.
ETIOLOGI
Kemungkinan induksi diabetes tipe 2 dari berbagai macam kelainan hormonal,
sepertihormon sekresi kelenjar adrenal, hipofisis dan tiroid merupakan studi pengamatan
yangsedang naik daun saat ini. Sebagai contoh, timbulnya IGT dan diabetes mellitus
seringdisebut terkait oleh akromegali dan hiperkortisolisme atau sindrom Cushing.
Hipersekresi GH pada akromegali dan sindrom Cushing sering berakibat pada
resistansi insulin, baik pada hati dan organ lain, dengan simtoma hiperinsulinemia
danhiperglisemia, yang berdampak pada penyakit kardiovaskular dan berakibat kematian.
GH memang memiliki peran penting dalam metabolisme glukosa denganmenstimulasi
glukogenesis dan lipolisis, dan meningkatkan kadar glukosa darah dan asam lemak.
Sebaliknya,
insulin-like
meningkatkan
kepekaan
sebagian banyak
orang,
tetapi
karena juga
menghambat
sekresi
insulin dari pankreas,terapi ini akan memicu komplikasi pada toleransi glukosa.
Sedangkan
hipersekresi
hormon
kortisol
pada
hiperkortisolisme
yang
menjadi penyebab obesitas viseral, resistansi insulin, dan dislipidemia, mengarah pada
hiperglisemiadan turunnya toleransi glukosa, terjadinya resistansi insulin, stimulasi
glukoneogenesis
danglikogenolisis.
Saat
bersinergis
dengan
kofaktor
hipertensi,
Gejala Umum
Gejala hiperglisemia lebih lanjut menginduksi tiga gejala klasik lainnya:
jangka
panjang
tanpa
perawatan
memadai,
dapat
memicu
Gangguan pada sistem saraf hingga disfungsi saraf autonom, foot ulcer ,
amputasi,charcot joint dan disfungsi seksual
Gejala lain seperti dehidrasi, ketoasidosis, ketonuria dan hiperosmolar non-
KLASIFIKASI
Diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi 2 tipe utama. Tipe I (kerusakan sel p pankreas)
dan tipe II (gangguan sekresi insulin, dan biasanya retensi insulin) direkomendasikan untuk
menggantikan Istitah insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) dan Non Insulin
Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM).
Tipe I :
Jenis ini paling sering terdapat pada anak-anak dan dewasa muda. Defisiensi insulin terjadi
karena produksi yang rendah yang disebabkan oleh adanya destruka sel-sel pembuat insulin
melalui mekanisme imunologik, sehingga pasien ini selalu
pengobatannya
dan
cenderung
untuk
mengalami
jika
insulin
dihentikan pemberiannya.
Tipe II:
Kelainan ini disebabkan oleh 2 sebab yaitu resistensi insulin dan defisiensi insilin relatif,
muncul pada usia dewasa, pasien tidak cenderung mengalami ketoasidodis, sering kali
berbadan gemuk. Pengobatan penderita ini kadang cukup dengan diet saja, bila perlu dapat
diberikan obat anti diabetes oral dan jarang sekali memerlukan insulin kecuali pada keadaan
stres atau infeksi berat.
PATOFISIOLOGI
karena
perubahan
pada
post
reseptor
- Transport glukosa berkurang
- Menghalangi metabolisme glukosa intraseluler
menambah
risiko
terjadinya
pankreatitis.
Diabetes mellitus meningkatkan risiko iskemik miokard, infark serebrovaskular dan iskemik
renal karena meningkatnya insidensi dari penyakit arteri koronaria, ateromia arterial dan
penyakit parenkim ginjal. Peningkatan mortalitas dijumpai pada semua penderita yang
dilakukan -pembedahan dan terutama penderita tipe I men punyai risiko komplikasi pasca
operasi.
Respon stres terhadap pembedahan yang dihubungkan dengan hiperglikenia pada
pasien non diabetes sebagai hasil dari meningkatnya sekresi hormon katabolik pada keadaan
defisiensi insulin relatif. Defisiensi ini berkembang dari kombinasi antara menurunnya
sekresi insulin dan resistensi insulin. Sebagian dari resistensi insulin dihasilkan dari
meningkatnya sekresi katekolamin, kortisol dan growth hormone dan melibatkan perubahan
dari ikatan post-reseptor dari insulin dan selanjutnya penurunan dari transport glukosa
transmembran.
DIAGNOSIS
Diabetes mellitus dapat diketahui dengan adanya gejala yang timbul sebagai akibat
hiperglikemia seperti pofiuria, polidifsia, pofifagia, penurunan berat badan, gangguan
kesadaran, ketosis dan gangguan degeneratif (neuropati, retinopati, nefropati).
Diagnosis diabetes dapat ditegakkan metafii 3 cara. Dua dari 3 cara ini dapat dikerjakan
dengan mudah oleh dokter di bagian emergensi (Jinat tabef).
TABEL I : KRITERIA DIAGNOSIS DIABETES MELLITUS
Gejala diabetes + konsentrasi glukosa plasma sewaktu >= 200 mg/dl (11,1 mmol/k).
Sewaktu didefinisikan sebagai setiap saat tanpa memperhatikan waktu terakhir
makan. Kadar glnkosa plasma puasa >= 126 mg/dl (7,0 ,mmmo/L). Puasa
didefinisikan sebagai tidak ada asupan kalori dalam 8 jam terakhir, atau
Kadar glukosa plasma 2 jam setelah minum 75 gram glukosa oral pada tes toleransi
respon insulin terhadap rangsangan karbohidrat akan menurun untuk setiap dekade
kehidupan. Penyebab sekunder intoleransi karbohidrat harus selalu diperhitungkan sebagai
diagnosis banding. Penyakit tertentu seperti pankreatitis, hemokromatosis, feokromositoma
dan hipertiroidisme harus selalu disingkirkan terlebih dahulu. Gangguan primer metabolisme
lemak seperti hiperlipidemia primer dapat pula menyebabkan intoleransi karbohidrat
sekunder. Semua penderita hiperglikemia tanpa ketosis harus dicari kemungkinan
hipertrigliseridemia.
Sepsis
Neuropati autonomik
Komplikasi aterosklerosis (penyakit arteri koroner, stroke, penyakit pembuluh darah
perifer)
Ketoasidosis dan koma hiperglikemik hiperosmolar1,7
Pada tipe I terjadi proses autoimun yang dapat merusak sistem saraf autonom dan
darah
>
30
mmHg
pada
perubahan
posisi
tegak
berdiri).1,6,7
Pasien dengan neuropati autonomik dapat mengalami hipotensi berat setelah pemberian obat
anestesi, adanya peningkatan risiko gastroparesis, aspirasi, episode hipoksia dan retensi urin.
Hipotensi dapat terjadi pada 50% pasien diabetes mellitus dengan neuropati autonomik.
Insidensi neuropati autonomik bervariasi tergantung dari lamanya mengidap penyakit Pirart
mencatat laju sebesar 7% dalam 1 tahun setelah diagnosis dan sebesar 50 % untuk mereka
dengan diagnosis yang ditegakkan lebih dari 25 tahun sebelumnya. Burke mendapatkan 1,4
% pasiennya mengalami variasi laju jantung tak normal. Umumnya disfungsi autonomik
meningkat dengan bertambahnya umur dan lamanya sakit Ada hubungan antara tes refleks
kardiavaskuler yang memburuk dan kontrol gula darah. Beberapa pasien diabetes dengan
neuropati autonomik dapat meninggal mendadak. Kemungkinan ini terjadi karena respon
abnormal terhadap hipoksia, apnoe tidur atau aritmia jantung namun belum ada penjelasan
yang pasti. Pasien dengan neuropati autonomik mengandung risiko tinggi.
Pada diabetes mellitus lanjut sering dijumpai penyakit ginjal. Kondisi tersebut dengan
mikroalbuminuria dan kelainan filtrasi glomerulus yang dijumpai perubahan pada klirens
kreatinin. Dengan kontrol gula yang ketat pada penderita diabetes dapat melindungi fungsi
ginjal. Hipertensi, meskipun tidak pernah tinggi sekali akan timbul jika glomerular filtration
9
rate (GFR) berkurang. Jika ada hipertensi berat atau hipertensi timbul tiba-tiba, harus
difikirkan kemungkinan adanya suatu penyakit berupa stenosis arteria renalis yang
aterosklerotik. Aktifitas plasma renin adalah normal atau berkurang. Hipoaldosteronisme
yang hiporeninemik dengan hiperkalemia dan asidosis metabolik dengan hiperkloremia
sedang adalah suatu keadaan biasa pada nefropati diabetik. Infeksi dan sepsis memainkan
peranan penting dalam meningkatkan mortalitas dan morbiditas pasca bedah penderita , hal
tersebut dihubungkan dengan adanya fungsi leukosit yang terganggu. Penderita dengan
kontrol gula yang ketat dimana kadar gula dipertahankan di bawah 250 mg/dl fungsi leukosit
akan pulih.
Hogan melaporkan adanya peningkatan insiden kesulitan intubasi yang disebabkan
oleh "stiff joint syndrome" pada beberapa penderita . Pada awalnya sindrom ini terjadi pada
sendi phalanx proksimal jari IV dan V, kemudian meluas ke persendian lainnya dari jari dan
tangan, sendi atlantooksipital leher, dan sendi besar lainnya. Ketidak mampuan untuk
mengekstensikan kepala karena imobilitas atlantooksipital dapat menyulitkan intubasi. Akan
tetapi dari suatu penelitian retrospektif terhadap rekaman anestesi dari 725 pasien yang
dilakukan transplantasi ginjal dan atau transplantasi pankreas (209 diantaranya mengidap
diabetes), tidak seorangpun yang dilaporkan mempunyai tingkat kesulitan laringoskopi
sedang sampai berat. Secara keseluruhan 4,8% penderita diabetes yang mempunyai tingkat
kesulitan intubasi ringan sampai sedang dibandingkan 1,0% pada non penderita diabetes.
Kekakuan sendi ini disebabkan karena adanya jaringan kolagen abnormal periartikuler yang
disebabkan oleh mikroangiopari progresif. Kelainan kolagen dihubungkan dengan glikosilasi
non enzimatik protein. 'Banyak pasien ini mempunyai tanda "Prayer Sign" yaitu
ketidakmampuan mendekatkan permukaan kedua palmar dan sendi-sendi jari. Insidens " stiff
joint syndrome" dapat mencapai 30 % pada penderita DM tipe I.
Beberapa obat yang dipakai untuk anestesi dapat mengakibatkan perubahan di dalam
metabolisme karbohidrat, tetapi mekanisme dan tempat kerjanya belum jelas. Obat-obat
induksi dapat mempengaruhi homeostatis glukosa perioperatif. Etomediat menghambat
steroidogenesis adrenal dan sintesis kortisol melalui aksinya pada 11b-hydroxylase dan enzim
pemecah kolesterol, dan akibatnya akan menurunkan respon hiperglikemia terhadap
pembedahan kira-kira 1 mmol per liter pada pasien non diabetes. Pengaruh pada pasien
diabetes belum terbukti.
Benzodiazepin akan menurunkan sekresi ACTH, dan juga akan memproduksi kortisol
jika digunakan dengan dosis tinggi selama pembedahan. Obat-obat golongan ini akan
menurunkan stimulasi simpatis, tetapi merangsang sekresi growth hormone dan akan
menyebabkan penurunan respon glikemia pada pembedahan. Efek-efek ini minimal jika
midazolam diberikan pada dosis sedatif, tetapi dapat bermakna jika obat diberikan secara
kontinyu melalui infus intravena pada pasien di ICU.
Teknik anestesia dengan opiat dosis tinggi tidak hanya memberikan keseimbangan
hemodinamik, tetapi juga keseimbangan hormonal dan metabolik. Teknik ini secara efektil
menghambat seluruh sistem saraf impatis dan sumbu hipotalamik-pituitari, kemungkinan
melalui efek langsung pada hipotalamus dan pucat yang lebih tinggi. Peniadaan respon
hormonal katabolik terhadap pembedahan akan meniadakan hiperglikemia yang terjadi pada
pasien normal dan mungkin bermanfaat pada pasien diabetes.
Ether dapat meningkatkan kadar gula darah, menoegah efek insulin untuk transport
glukosa menyeberang membran sel dan secara tak langsung melalui peningkatan aktifitas
simpatis sehingga meningkatkan glikogenolisis di hati. Menurut Greene penggunaan halotan
pada pasien cukup memuaskan karena
kurang
hormon
pengaruhnya
terhadap
peningkatan
;
pertumbuhan, peningkatan kadar gula atau penurunan kadar insulin. Penelitian invitro halotan
dapat menghambat pelepasan insulin dalam merespon hiperglikemia, tetapi tidak sama |
pengaruhnya terhadap level insulin selama anestesi. Sedangkan enfluran dan isofluran tak
nyata pengaruhnya terhadap kadar gula darah.
Pengaruh propofol pada secresi insulin tidak diketahui. Pasien-pasien diabetik
menunjukkan penurunan kemampuan untuk membersihkan lipid dari sirkulasi. Meskipun hal
W tidak relevan selama anestesia singkat jika propofol digunakan untuk pemeliharaan atau
hanya sebagai obat induksi. Keadaan ini dapat terlihat pada pasien-pasien yang mendapat
11
propofol untuk sedasi jangka panjang di ICU. Obat-obat anestesi intra vena yang biasa
diberikan mempunyai efek yang tidak berarti terhadap kadar gula darah kecuali ketamin yang
menunjukkan peningkatan kadar gula akibat efek simpatomimetiknya.
Penggunaan anestesi lokal baik yang dilakukan dengan teknik epidural atau
subarakhnoid tak berefek pada metabolisme karbohidrat. Untuk prosedur pembedahan pada
pasien yang menderita insufisiensi vaskuler pada ekstremitas bawah sebagai suatu komplikasi
penderita, teknik subarakhnoid atau epidural lebih memuaskan dan tanpa menimbulkan
kcmplikasi. Epidural anestesia lebih efektif dibandingkan dengan anestesia umum dalam
mempertahankan perubahan kadar gula, growth hormon dan kortisol yang disebabkan
tindakan operasi.
12
dan ketoasidosis.
Menentukan kebutuhan insulin untuk mencegah hiperglikemia.
Pembedahan pada penderita DM tipe II tidak meningkatkan risiko, sehingga hanya
membutuhkan sedikit perubahan terapi yang sudah ada sebelumnya. Apakah terapi insulin
perlu diberikan pada perioperatif? Untuk bedah yang relatif kecil, jangan diberikan obat anti
diabetes oral kerja pendek pada hari operasi, dan obat kerja lama 2 hari sebelum pembedahan.
Untuk bedah besar, dosis kecil insulin mungkin dibutuhkan untuk mengontrol kadar gula
darah dan glikosuria.
Gavin mengindikasikan pemberian insulin pada penderita DM tipe II dengan kondisi
seperti di bawah :
2 sampai 3 hari sebelum pembedahan. Untuk pasien-pasien yang kronis, dengan kontrol
metabolik yang buruk, mungkin perlu dirawat di rumah sakit selama 2 sampai 3 hari untuk
penyesuaian , dosis insulin. Untuk bedah minor cukup dengan pemberian insulin subkutan.
Pada pagi hari sebelum pembedahan, pasien diberikan 1/3 sampai 2/3 dosis insulin normal
secara subkutan, bersamaan dengan pemberian cairan dextrose 5% 100 cc/jam/70 kgBB. Dua
pertiga dosis insulin normal diberikan jika kadar glukosa darah puasa lebih dari 250 mg/dl
setengah dosis insulin normal untuk kadar glukosa antara 120 sampai 250 mg/d!, dan
sepertiga dosis insulin normal untuk kadar glukosa di bawah 120 mg/dl. Pasien dengan kadar
glukosa darah rendah, atau normal tetap membutuhkan sejumlah kecil insulin untuk
mengimbangi peningkatan efek katabolik stres pembedahan, penurunan metabolisme protein,
dan mencegah lipolisis. Tanpa insulin, DM tipe I berisiko tinggi untuk mengalami ketosis
dengan pembedahan.
13
Terdapat beberapa regimen tatalaksana perioperatif untuk pasien DM. Yang paling
sering :t digunakan adalah pasien menerima sebagian -biasanya setengah dari dosis total
insulin pagi hari dalam bentuk insulin kerja sedang:
Tabel: Dua teknik yang umum digunakan untuk tatalaksana insulin perioperatif pada
pasien DM
Preoperatif
Infus kontinyu
D5W
(1
ml/kg/jam)
Intraoperatif
Pascaoperatif
14
dibandingkan dengan pemberian NPH insulin s.c atau i.m. Dan 10 sampai 15 unit RI dapat
ditambahkan 1 liter cairan dekstose 5% dengan kecepatan infus 1 - 1,5 ml/kg/jam (1
unit/jam/70 kg). Pemberian infus dextrose 5% (1 ml/kg/jam) dan insulin (50 unit RI dalam
250 ml NaCl 0,9%) melalui jalur intravena yang terpisah akan lebih fleksibel. Apabila terjadi
fluktuasi gula darah, infus RI dapat disesuaikan berdasarkan rumus dibawah ini (Rumus
Roizen):
atau
Diperlukan penambahan 30 mEq KCl untuk tiap 1 L dextrose karena insulin menyebabkan
pergeseran kalium intraselular.6,8
Pada pasien yang menjalani pembedahan besar diperlukan perencanaan yang seksama.
Teknik yang dianjurkan oleh Hins adalah sebagai berikut:
Glukosa 5-10 gr/jam ekuivalen dengan 100 - 200 cc dextrose 5% perjam diberikan intra vena.
Kalium dapat ditambahkan tetapi hati-hati pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Infus
lain diberikan lewat kanul yang sama sebagai berikut:
Campur 50 mRI kedalam 500cc 0,9%Nacl.
15
Infuskan dengan larutan 0,5-1 m/jam (5-10 cc/jam dengan pompa infus).
Ukur kadar gula darah tiap jam dan sesuaikan dengan kebutuhan insulin seperti di bawah ini :
Kadar gula darah
4,4
mmol (mg/dl)
( 80 )
Kebutuhan insulin
Matikan
pompa,
beri
glukosa IV
4,4 - 6,6
( 80 - 120 )
6,6-9,9
(120 - 180)
9,9 - 13,2
(180 - 240) .
> 13,75
(>250)
Obesitas dan infeksi berat akan menambah kebutuhan insulin 1,5 - 2 kali lipat Hal
penting yang harus diingat dalam mengelola kadar gula prabedah pada pasien diabetes adalah
menetapkan sasaran yang jelas kemudian pemantauan kadar gula darah untuk menyesuaikan
terapi sesuai sasaran.
Regimen lain untuk pemberian infus glukosa insulin dan kalium (GIK) dikenal
dengan regimen Alberti. Pemberiannya dapat terpisah atau bersama-sama. Berikut ini salah
satu teknik GIK. Pagi hari diberikan dosis intemiten insulin, kemudian 500 cc dextrose 5%
ditambah 10 KCl diberikan dengan kecepatan 2 cc/kg/jam. Infus insufin disiapkan dengan
mencampurkan 50 unit RI ke dalam 250 cc Nad 0,9% sehingga berkonsentrasi 0,2 unit/cc
larutan. Sebelum pemberian dextrose - kalium atau insulin, ukur kadar gula darah kemudian
cek gula darah tiap 2-3 jam, dan berikan dosis insulin sesuai dengan hasil pengukuran di
bawah ini:
Kadar gula
Infus insulin
16
5 cc/jam (1 unit/jam)
10 cc/jam (2 unit/jam)
15 cc/jam (3 unit/jam)
20 cc/jam (4 unit/jam)
Infus glukosa dan insulin harus tetap diteruskan sampai kondisi metabolik pasien
stabil dan pasien sudah boleh makan. Infus glukosa dan insulin dihentikan hanya setelah
pemberian subkutan insulin kerja pendek. Setelah pembedahan besar, infus glukosa dan
insulin harus diteruskan sampai pasien dapat makan makanan padat. Pada pasien-pasien ini,
kegunaan dari suntikan subkutan insulin kerja pendek sebelum makan dan insulin kerja
sedang pada waktu tidur. dianjurkan selama 24-48 jam pertama setelah infus glukosa dan
insulin dihentikan dan sebelum regimen insulin pasien dilanjutkan.
17
dipantau kadar gula darah pasca bedah. Pemeriksaan EKG postoperatif serial dianjurkan pada
pasien DM usia lanjut, penderita DM tipe I, dan penderita dengan penyakit jantung Infark
miokard postoperatif mungkin tanpa gejala dan mempunyai mortalitas yang tinggi. Jika ada
perubahan status mental, hipotensi yang tak dapat dijelaskar., atau disrimia, maka perlu
diwaspadai kemungkinan terjadinya infark miokard.
REFERENSI
Brown Jr and Frink. Anesthetic Management of Patients with Endocrine Disease
in A
Anestesia-Operasi
18
19