Anda di halaman 1dari 20

REFERAT ANESTESI

PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA PASIEN


DIABETES MILLITUS

Disusun oleh :
Andrew Sabastian Geraldyno Paago, S.Ked

Konsulen :
dr. Eka P, Sp.An

KEPANITRAAN KLINIK ILMU ANESTESIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
RUMAH SAKIT MARINIR CILANDAK
5 September 9 Oktober 2016

BAB I

PENDAHULUAN

Diabetes mellitus merupakan masalah endokrin yang paling sering dihadapi ahli
anestesi dalam melakukan pekerjaannya. Sebanyak 5 % orang dewasa di Barat mengidap
diabetes mellitus, lebih dari 50 % penderita diabetes mellitus suatu saat mengalami tindakan
pembedahan dalam hidupnya dan 75 % merupakan usia lanjut di atas 50 tahun. Sedangkan di
Indonesia angka prevalensi penderita diabetes mellitus adalah 1,5 % dan diperkirakan 25 %
penderita diabetes mellitus akan mengalami pembiusan dan pembedahan. Karena faktor
penyulit inilah mereka lebih banyak memerlukan pembedahan dari pada orang lain.
Penyebab tingginya morbiditas dan mortalitas pada diabetes mellitus adalah karena
penyulit kronis, hal tersebut terjadi karena hiperglikemia yang tak terkontrol dalam jangka
waktu lama, berupa mikro dan makroangiopati. Penyulit kronis tersebut berhubungan dengan
disfungsi organ seperti penyakit arteri koroner, penyakit pembuluh darah otak, hipertensi,
insufisiensi ginjal, neuropati autonomik diabetik, gangguan persendian jaringan kolagen
(keterbatasan ekstensi leher, penyembuhan luka yang buruk), gastroparesis, dan produksi
granulosit yang inadekuat Oleh karena itu perhatian utama ahli anestesi harus tertuju pada
evaluasi preoperatif dan penanganan penyakit-penyakit tersebut untuk menjamin kondisi
preoperatif yang optimal.
Ada tiga komplikasi akut DM yang mengancam jiwa, yaitu ketoasidosis dabetik,
koma non ketotik hipenosmolor dan hipoglikomia. Penurunan aklifitas insulin meningkatkan
katabolisme asam lemak bebas menghasilkan benda keton (asetoasetat dan hidroksibutirat)
Akumulasi asam-asam organik berakibat timbulnya asidosis metabolik anion-gab
yang disebut kotoasidosis diabetik. Kotoasidosis diabelik dapat diketahuidengan asidosis
laktat. Dimana asidosis laktat pada plasma terjadi peningkatan laktat (>6 mmol/L) dan tidak
terdapat aseton

dalam urine

dan

plasma.

Ketoasidosis

alkoholik dapat

dibedakan

dengan ketoasidosis diabetik dariadanya riwayat baru saja mongkonsumsi alkohol dalam
jumlah yang banyak (pesta minum) yang terjadi pada pasien non diabetik dengan kadar
glukosa rendah atau sedikit meningkat.
Manifestasi klinik dari ketoasidosis adalah dyspnue (uji kompensasi untuk asidosis
metabolik), nyeri perut yang menyerupai kolik abdomen, mual dan muntah, dan perubahan
sensoris. Penalalaksanaan kotoasidosis diabetik tergantung pada koreksi hiperglikemia (yang
1

mana jarang melebihi 500 mg/dl),penurunan kalium total tubuh, dan dehidrasi diinfus
dengan insulin, natrium dan cairan isotonis.

BAB II
PEMBAHASAN

DEFINISI
Diabetes mellitus adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh defisiensi insulin
ditandai dengan peningkatan kadar glukosa dalam plasma.
Saat ini, American Diabetes Association (ADA) dan WHO mengeluarkan kriteria
diagnostik terbaru. Kedua badan tersebut menganjurkan penurunan nilai ambang kadar
glukosa plasma puasa dan menetapkan klasifikasi lebih berdasarkan etiologi.
ADA telah menspesifikasikan bahwa diagnosis diabetes mellitus dibuat jika kadar
glukosa plasma sewaktu pada individu asimtomatik > 11,1 mmol/L (200 mg/dl). Jika kadar
glukosa plasma puasa > 7,0 mmol/L (126 mg/dl) pada individu asimtomatik, pemeriksaan
harus diulang pada hari yang berbeda dan diagnosis dibuat jika nilainya tetap di atas
ini. ADA

batas

menetapkan kadar glukosa plasma diantara 6,1 dan 7,0 mmol/L (110 dan 126

mg/dl) sebagai kadar glukosa plasma puasa terganggu. WHO juga merekomendasikan bahwa
diagnosis diabetes mellitus dibuat jika kadar glukosa plasma sewaktu > 11,1 mmol/L atau
200 mg/dl (darah vena > 10,0 mmol/L atau 180 mg/dl). Diabetes mellitus dapat juga
didiagnosis bila kadar glukosa plasma puasa > 7,0 mmol/L (126 mg/dl) dan tes kedua yang
serupa atau tes toleransi glukosa oral memberikan .hasil pada batas diabetes.

ETIOLOGI
Kemungkinan induksi diabetes tipe 2 dari berbagai macam kelainan hormonal,
sepertihormon sekresi kelenjar adrenal, hipofisis dan tiroid merupakan studi pengamatan
yangsedang naik daun saat ini. Sebagai contoh, timbulnya IGT dan diabetes mellitus
seringdisebut terkait oleh akromegali dan hiperkortisolisme atau sindrom Cushing.
Hipersekresi GH pada akromegali dan sindrom Cushing sering berakibat pada
resistansi insulin, baik pada hati dan organ lain, dengan simtoma hiperinsulinemia
danhiperglisemia, yang berdampak pada penyakit kardiovaskular dan berakibat kematian.
GH memang memiliki peran penting dalam metabolisme glukosa denganmenstimulasi
glukogenesis dan lipolisis, dan meningkatkan kadar glukosa darah dan asam lemak.
Sebaliknya,

insulin-like

gr owth f act or 1(IGF-I)

meningkatkan

kepekaan

terhadapinsulin,terutama pada otot lurik. Terapi dengan somatostatin dapat meredam


kelebihanGH pada

sebagian banyak

orang,

tetapi

karena juga

menghambat

sekresi

insulin dari pankreas,terapi ini akan memicu komplikasi pada toleransi glukosa.
Sedangkan

hipersekresi

hormon

kortisol

pada

hiperkortisolisme

yang

menjadi penyebab obesitas viseral, resistansi insulin, dan dislipidemia, mengarah pada
hiperglisemiadan turunnya toleransi glukosa, terjadinya resistansi insulin, stimulasi
glukoneogenesis

danglikogenolisis.

Saat

bersinergis

dengan

kofaktor

hipertensi,

hiperkoagulasi, dapatmeningkatkan risiko kardiovaskular.Hipersekresi hormon juga terjadi


pada kelenjar tiroid berupa tri-iodotironina denganhipertiroidisme yang menyebabkan
abnormalnya toleransi glukosa.Pada penderita tumor neuroendokrin, terjadi perubahan
toleransi glukosa yangdisebabkan oleh hiposekresi insulin, seperti yang terjadi pada pasien
bedah pankreas,feokromositoma, glukagonoma dan somatostatinoma.Hipersekresi hormon
ditengarai juga menginduksi diabetes tipe lain, yaitu tipe 1.Sinergi hormon berbentuk
sitokina, interferon-gamma dan TNF-alfa, dijumpai membawasinyal apoptosis bagi sel beta,
baik in vitr omaupunin vivo. Apoptosis sel beta juga terjadiakibat mekanisme Fas-FasL,
dan/atau hipersekresi molekul sitotoksik, seperti granzim dan perforin; selain hiperaktivitas
sel T CD8-dan CD4

Gejala Umum
Gejala hiperglisemia lebih lanjut menginduksi tiga gejala klasik lainnya:

Poliuria - sering buang air kecil


Polidipsia - selalu merasa haus
Polifagia - selalu merasa lapar
Penurunan berat badan, seringkali hanya pada diabetes mellitus tipe 1
Setelah

jangka

panjang

tanpa

perawatan

memadai,

dapat

memicu

berbagai komplikasikronis, seperti:

Gangguan pada mata dengan potensi berakibat pada kebutaan,


Gangguan pada ginjal hingga berakibat pada gagal ginjal
Gangguan kardiovaskular, disertai lesi membran basalis yang dapat diketahui
dengan pemeriksaan menggunakan mikroskop elektron,

Gangguan pada sistem saraf hingga disfungsi saraf autonom, foot ulcer ,
amputasi,charcot joint dan disfungsi seksual
Gejala lain seperti dehidrasi, ketoasidosis, ketonuria dan hiperosmolar non-

ketotik yang dapat berakibat pada stupor dan koma

KLASIFIKASI
Diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi 2 tipe utama. Tipe I (kerusakan sel p pankreas)
dan tipe II (gangguan sekresi insulin, dan biasanya retensi insulin) direkomendasikan untuk
menggantikan Istitah insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) dan Non Insulin
Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM).
Tipe I :
Jenis ini paling sering terdapat pada anak-anak dan dewasa muda. Defisiensi insulin terjadi
karena produksi yang rendah yang disebabkan oleh adanya destruka sel-sel pembuat insulin
melalui mekanisme imunologik, sehingga pasien ini selalu
pengobatannya

dan

cenderung

untuk

mengalami

memerlukan insulin sebagai


ketoasidosis

jika

insulin

dihentikan pemberiannya.
Tipe II:
Kelainan ini disebabkan oleh 2 sebab yaitu resistensi insulin dan defisiensi insilin relatif,
muncul pada usia dewasa, pasien tidak cenderung mengalami ketoasidodis, sering kali
berbadan gemuk. Pengobatan penderita ini kadang cukup dengan diet saja, bila perlu dapat
diberikan obat anti diabetes oral dan jarang sekali memerlukan insulin kecuali pada keadaan
stres atau infeksi berat.

PATOFISIOLOGI

Pulau-pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari pankreas tersebar di


seluruh pankreas tetapi berat semuanya hanya 1 - 3% dari berat total pankreas. Besarnya
pulau-pulau Langerhans ini berbeda-beda, yang terkecil adalah 50m. sedangkan yang terbesar
300 m. Terbanyak adalah yang besarnya antara 100 dan 225 m. Jumlah semua pulau
Langerhans di pankreas diperkirakan antara 100.000 dan 2.500.00. Pulau-pulau Langerhans
paling kurang tersusun atas tiga jenis sel : sel-sel a memproduksi glukagon yang menjadi
faktor hiperglikemik, sel-sel d yang mensekresi insulin , dan sel-sel d yang membuat
somatostatin. Pertama insulin disintesa sebagai proinsulin diubah menjadi insulin melalui
pembelahan proteolitik dan kemudian dibungkus kedalam butir-butir diantara sel-sel b.
Sejumlah besar insulin, normalnya kira-kira 200 unit disimpan dalam pankreas. Sintesa terus
berlangsung dengan rangsangan glukosa. Glukosa dan fruktosa merupakan pengatur utama
pelepasan insulin. Stimulator lain dari pelepasan insulin termasuk asam amino, glukagon,
hormon-hormon gastrointestinal (gastrin, sekretin, cholecystokinin-pancreozymin, dan
enteroglucagon), dan asetilkolin. Epinefrin dan. norepinefrin menghambat pelepasan insulin
dengan merangsang reseptor a adrenergik dan merangsang pelepasan insulin pada
reseptor b adrenergik.
Pada tipe I terjadi defisiensi insulin yang berat menyebabkan mobilisasi asam lemak
bebas dari jaringan lemak dan pelepasan asam amino dari dalam otot. Hiperglikemia terjadi
karena dosis insulin yang normal tidak cukup untuk menandingi meningkatnya kebutuhan
insulin. Hati melalui proses glukoneogenesis, akan mengubah asam amino dan asam lemak
bebas membentuk glukosa dan benda keton. Keduanya mempunyai peran penting dalam
timbulnya gejala ketoasidosis. Pada tipe I dijumpai peningkatan glukagon yang merangsang
hati untuk mengubah asam lemak bebas menjadi benda keton. Hipotesis terjadinya tipe I
dihubungkan dengan infeksi virus yang membentuk respon autoimun yang menyebabkan
dirusaknya sel beta oleh antibodi. Infeksi oleh virus dianggap sebagai trigger factor pada
mereka yang sudah mempunyai predisposisi genetik terhadap diabetes mellitus. Virus-virus
yang dianggap mempunyai pengaruh adalah : virus coxsackie B, virus encephalamiokardias,
mumps, rubella, cytomegalovirus, mononudeosis infectiosa, varicella dan virus hepatftis.
Sedangkan patofisiologi tipe II tidak jelas dipahami, tapi yang pasti ada hubungannya
dengan faktor keturunan. Pada tipe II terjadi defisiensi insulin relatif, hal ini kadang
diperberat oleh resistensi insulin yang biasanya disebabkan karena kegemukan.
Dianggap bahwa kegemukan akan :

Mengurangi jumlah reseptor insulin di sel target


Menyebabkan resistensi terhadap insulin

karena

perubahan

pada

post

reseptor
- Transport glukosa berkurang
- Menghalangi metabolisme glukosa intraseluler

Menimbulkan faktor-faktor yang bertanggung jawab terhadap defek seluler, berupa:

- Bertambahnya penimbunan lemak


- Bertambah masuknya energi ke dalam tubuh
- Komposisi diet (terutama banyak makanan lemak)
- Inaktivasi lemak
Pada malnutrisi protein dianggap sel-sel 5 banyak yang rusak. Sedangkan alkohol
dianggap

menambah

risiko

terjadinya

pankreatitis.

Diabetes mellitus meningkatkan risiko iskemik miokard, infark serebrovaskular dan iskemik
renal karena meningkatnya insidensi dari penyakit arteri koronaria, ateromia arterial dan
penyakit parenkim ginjal. Peningkatan mortalitas dijumpai pada semua penderita yang
dilakukan -pembedahan dan terutama penderita tipe I men punyai risiko komplikasi pasca
operasi.
Respon stres terhadap pembedahan yang dihubungkan dengan hiperglikenia pada
pasien non diabetes sebagai hasil dari meningkatnya sekresi hormon katabolik pada keadaan
defisiensi insulin relatif. Defisiensi ini berkembang dari kombinasi antara menurunnya
sekresi insulin dan resistensi insulin. Sebagian dari resistensi insulin dihasilkan dari
meningkatnya sekresi katekolamin, kortisol dan growth hormone dan melibatkan perubahan
dari ikatan post-reseptor dari insulin dan selanjutnya penurunan dari transport glukosa
transmembran.

DIAGNOSIS

Diabetes mellitus dapat diketahui dengan adanya gejala yang timbul sebagai akibat
hiperglikemia seperti pofiuria, polidifsia, pofifagia, penurunan berat badan, gangguan
kesadaran, ketosis dan gangguan degeneratif (neuropati, retinopati, nefropati).
Diagnosis diabetes dapat ditegakkan metafii 3 cara. Dua dari 3 cara ini dapat dikerjakan
dengan mudah oleh dokter di bagian emergensi (Jinat tabef).
TABEL I : KRITERIA DIAGNOSIS DIABETES MELLITUS

Gejala diabetes + konsentrasi glukosa plasma sewaktu >= 200 mg/dl (11,1 mmol/k).
Sewaktu didefinisikan sebagai setiap saat tanpa memperhatikan waktu terakhir
makan. Kadar glnkosa plasma puasa >= 126 mg/dl (7,0 ,mmmo/L). Puasa

didefinisikan sebagai tidak ada asupan kalori dalam 8 jam terakhir, atau
Kadar glukosa plasma 2 jam setelah minum 75 gram glukosa oral pada tes toleransi

glukosa oral >= 200 mg/dl.


Apabila tidak terdapat hiperglikemia yang nyata pada keadaan dekompensasi
metabolik akut (seperti diabetes ketoasidosis atau sindrom hiperglikemikhiperosmolar-nonketotik), kriteria ini harus dikonfirmasi dengan mengulang penilaian
pada hari yang berbeda. Penilaian yang ketiga (tes toleransi glukosa oral) tidak
dianjurkan untuk penggunaan klinis rutin.
Pada pemeriksaan tes toleransi glukosa oral usia juga harus diperhitungkan, karena

respon insulin terhadap rangsangan karbohidrat akan menurun untuk setiap dekade
kehidupan. Penyebab sekunder intoleransi karbohidrat harus selalu diperhitungkan sebagai
diagnosis banding. Penyakit tertentu seperti pankreatitis, hemokromatosis, feokromositoma
dan hipertiroidisme harus selalu disingkirkan terlebih dahulu. Gangguan primer metabolisme
lemak seperti hiperlipidemia primer dapat pula menyebabkan intoleransi karbohidrat
sekunder. Semua penderita hiperglikemia tanpa ketosis harus dicari kemungkinan
hipertrigliseridemia.

FAKTOR RISIKO UNTUK PASIEN BEDAH DIABETES

Suatu penelitian memperlihatkan bahwa pasien diabetes mempunyai mortalitas dan


morbiditas pasca bedah lebih tinggi dibandingkan pasien normal. Masalah yang dapat muncul
adalah infeksi, sepsis dan komplikasi dari arteriosklerosis. Suatu penelitian menunjukkan 11
% pasien diabetes mengalami komplikasi miokardiak pada pasca bedah terutama infeksi
pneumonia. Komplikasi jantung terjadi pada 7% dari pasien diabetes, mortalitas pasca bedah
4%, terutama pada pasien yang sebelumnya menderita penyakit jantung. Penelitian
menunjukkan bahwa pembedahan pada pasien diabetes dapat meningkatkan mortalitas
sampai 10 kali, yang disebabkan oleh:

Sepsis
Neuropati autonomik
Komplikasi aterosklerosis (penyakit arteri koroner, stroke, penyakit pembuluh darah

perifer)
Ketoasidosis dan koma hiperglikemik hiperosmolar1,7
Pada tipe I terjadi proses autoimun yang dapat merusak sistem saraf autonom dan

meningkatkan neuropati autonomik, dengan gejala klinik : hipohidrosis; berkurangnya respon


denyut jantung terhadap valsava maneuver (<5 x/mnt) dan hipotensi ortostatik (penurunan
tekanan

darah

>

30

mmHg

pada

perubahan

posisi

tegak

berdiri).1,6,7

Pasien dengan neuropati autonomik dapat mengalami hipotensi berat setelah pemberian obat
anestesi, adanya peningkatan risiko gastroparesis, aspirasi, episode hipoksia dan retensi urin.
Hipotensi dapat terjadi pada 50% pasien diabetes mellitus dengan neuropati autonomik.
Insidensi neuropati autonomik bervariasi tergantung dari lamanya mengidap penyakit Pirart
mencatat laju sebesar 7% dalam 1 tahun setelah diagnosis dan sebesar 50 % untuk mereka
dengan diagnosis yang ditegakkan lebih dari 25 tahun sebelumnya. Burke mendapatkan 1,4
% pasiennya mengalami variasi laju jantung tak normal. Umumnya disfungsi autonomik
meningkat dengan bertambahnya umur dan lamanya sakit Ada hubungan antara tes refleks
kardiavaskuler yang memburuk dan kontrol gula darah. Beberapa pasien diabetes dengan
neuropati autonomik dapat meninggal mendadak. Kemungkinan ini terjadi karena respon
abnormal terhadap hipoksia, apnoe tidur atau aritmia jantung namun belum ada penjelasan
yang pasti. Pasien dengan neuropati autonomik mengandung risiko tinggi.
Pada diabetes mellitus lanjut sering dijumpai penyakit ginjal. Kondisi tersebut dengan
mikroalbuminuria dan kelainan filtrasi glomerulus yang dijumpai perubahan pada klirens
kreatinin. Dengan kontrol gula yang ketat pada penderita diabetes dapat melindungi fungsi
ginjal. Hipertensi, meskipun tidak pernah tinggi sekali akan timbul jika glomerular filtration
9

rate (GFR) berkurang. Jika ada hipertensi berat atau hipertensi timbul tiba-tiba, harus
difikirkan kemungkinan adanya suatu penyakit berupa stenosis arteria renalis yang
aterosklerotik. Aktifitas plasma renin adalah normal atau berkurang. Hipoaldosteronisme
yang hiporeninemik dengan hiperkalemia dan asidosis metabolik dengan hiperkloremia
sedang adalah suatu keadaan biasa pada nefropati diabetik. Infeksi dan sepsis memainkan
peranan penting dalam meningkatkan mortalitas dan morbiditas pasca bedah penderita , hal
tersebut dihubungkan dengan adanya fungsi leukosit yang terganggu. Penderita dengan
kontrol gula yang ketat dimana kadar gula dipertahankan di bawah 250 mg/dl fungsi leukosit
akan pulih.
Hogan melaporkan adanya peningkatan insiden kesulitan intubasi yang disebabkan
oleh "stiff joint syndrome" pada beberapa penderita . Pada awalnya sindrom ini terjadi pada
sendi phalanx proksimal jari IV dan V, kemudian meluas ke persendian lainnya dari jari dan
tangan, sendi atlantooksipital leher, dan sendi besar lainnya. Ketidak mampuan untuk
mengekstensikan kepala karena imobilitas atlantooksipital dapat menyulitkan intubasi. Akan
tetapi dari suatu penelitian retrospektif terhadap rekaman anestesi dari 725 pasien yang
dilakukan transplantasi ginjal dan atau transplantasi pankreas (209 diantaranya mengidap
diabetes), tidak seorangpun yang dilaporkan mempunyai tingkat kesulitan laringoskopi
sedang sampai berat. Secara keseluruhan 4,8% penderita diabetes yang mempunyai tingkat
kesulitan intubasi ringan sampai sedang dibandingkan 1,0% pada non penderita diabetes.
Kekakuan sendi ini disebabkan karena adanya jaringan kolagen abnormal periartikuler yang
disebabkan oleh mikroangiopari progresif. Kelainan kolagen dihubungkan dengan glikosilasi
non enzimatik protein. 'Banyak pasien ini mempunyai tanda "Prayer Sign" yaitu
ketidakmampuan mendekatkan permukaan kedua palmar dan sendi-sendi jari. Insidens " stiff
joint syndrome" dapat mencapai 30 % pada penderita DM tipe I.

PENGARUH OBAT ANESTESI PADA PENDERITA DM


Seperti telah diketahui beberapa obat anestesi dapat meningkatkan gula darah, maka
pemilihan obat anestesi dianggap sama pentingnya dengan stabilisasi dan pengawasan status
diabetesnya.
10

Beberapa obat yang dipakai untuk anestesi dapat mengakibatkan perubahan di dalam
metabolisme karbohidrat, tetapi mekanisme dan tempat kerjanya belum jelas. Obat-obat
induksi dapat mempengaruhi homeostatis glukosa perioperatif. Etomediat menghambat
steroidogenesis adrenal dan sintesis kortisol melalui aksinya pada 11b-hydroxylase dan enzim
pemecah kolesterol, dan akibatnya akan menurunkan respon hiperglikemia terhadap
pembedahan kira-kira 1 mmol per liter pada pasien non diabetes. Pengaruh pada pasien
diabetes belum terbukti.
Benzodiazepin akan menurunkan sekresi ACTH, dan juga akan memproduksi kortisol
jika digunakan dengan dosis tinggi selama pembedahan. Obat-obat golongan ini akan
menurunkan stimulasi simpatis, tetapi merangsang sekresi growth hormone dan akan
menyebabkan penurunan respon glikemia pada pembedahan. Efek-efek ini minimal jika
midazolam diberikan pada dosis sedatif, tetapi dapat bermakna jika obat diberikan secara
kontinyu melalui infus intravena pada pasien di ICU.
Teknik anestesia dengan opiat dosis tinggi tidak hanya memberikan keseimbangan
hemodinamik, tetapi juga keseimbangan hormonal dan metabolik. Teknik ini secara efektil
menghambat seluruh sistem saraf impatis dan sumbu hipotalamik-pituitari, kemungkinan
melalui efek langsung pada hipotalamus dan pucat yang lebih tinggi. Peniadaan respon
hormonal katabolik terhadap pembedahan akan meniadakan hiperglikemia yang terjadi pada
pasien normal dan mungkin bermanfaat pada pasien diabetes.
Ether dapat meningkatkan kadar gula darah, menoegah efek insulin untuk transport
glukosa menyeberang membran sel dan secara tak langsung melalui peningkatan aktifitas
simpatis sehingga meningkatkan glikogenolisis di hati. Menurut Greene penggunaan halotan
pada pasien cukup memuaskan karena

kurang

hormon

pengaruhnya

terhadap

peningkatan
;

pertumbuhan, peningkatan kadar gula atau penurunan kadar insulin. Penelitian invitro halotan
dapat menghambat pelepasan insulin dalam merespon hiperglikemia, tetapi tidak sama |
pengaruhnya terhadap level insulin selama anestesi. Sedangkan enfluran dan isofluran tak
nyata pengaruhnya terhadap kadar gula darah.
Pengaruh propofol pada secresi insulin tidak diketahui. Pasien-pasien diabetik
menunjukkan penurunan kemampuan untuk membersihkan lipid dari sirkulasi. Meskipun hal
W tidak relevan selama anestesia singkat jika propofol digunakan untuk pemeliharaan atau
hanya sebagai obat induksi. Keadaan ini dapat terlihat pada pasien-pasien yang mendapat
11

propofol untuk sedasi jangka panjang di ICU. Obat-obat anestesi intra vena yang biasa
diberikan mempunyai efek yang tidak berarti terhadap kadar gula darah kecuali ketamin yang
menunjukkan peningkatan kadar gula akibat efek simpatomimetiknya.
Penggunaan anestesi lokal baik yang dilakukan dengan teknik epidural atau
subarakhnoid tak berefek pada metabolisme karbohidrat. Untuk prosedur pembedahan pada
pasien yang menderita insufisiensi vaskuler pada ekstremitas bawah sebagai suatu komplikasi
penderita, teknik subarakhnoid atau epidural lebih memuaskan dan tanpa menimbulkan
kcmplikasi. Epidural anestesia lebih efektif dibandingkan dengan anestesia umum dalam
mempertahankan perubahan kadar gula, growth hormon dan kortisol yang disebabkan
tindakan operasi.

TEKNIK ANESTESIA PADA PENDERITA DM


Teknik anestesia, terutama dengan penggunaan spinal, epidural, spiangnik dan
blokade regional yang lain, dapat mengatur sekresi hormon katabolik dan sekresi insulin
residual, Peningkatan sirkulasi glukosa perioperatif, konsentrasi epinefrin dan kortisol yang
dijumpai pada pasien non diabetik yang timbul akibat stres pembedahan dengan anestesia
umum dihambat oleh anestesia epidural. Infus phentolamine perioperatif, suatu penghambat
kompetitif reseptor a-adrenergik, menurunkan respon gula darah terhadap pembedahan
dengan menghilangkan penekanan sekresi insulin secara parstal.
Tidak ada bukti bahwa anestesia regional sendiri, atau kombinasi dengan anestesia
umum memberikan banyak keuntungan pada pasien diabetes yang dilakukan pembedahan
dalam hal mortalitas dan komplikasi mayor. Anestesia regional dapat memberikan risiko yang
lebih besar pada pasien diabetes dengan neuropati autonomik. Hipotensi yang dalam dapat
terjadi dengan akibat gangguan pada pasien dengan penyakit arteri koronaria, serebrovaskular
dan retinovaskular. Risiko infeksi dan gangguan vaskular dapat meningkat dengan
penggunaan teknik regsonal pada pasien diabetes. Abses epidural lebih sering terjadi pada
anestesia spinal dan epidural. Sebaliknya, neuropati perifer diabetik yang timbul setelah
anestesia epidural dapat dlkacaukan dengan komplikasi anestesia dan blok regional.
Kombinasi anestesi lokal dengan epinefrin dapat menyebabkan risiko yang lebih besar
terjadinya cedera saraf iskemik dan atau edema pada penderita diabetes mellitus.

12

KONTROL METABOLIK PERIOPERATIF


Tujuan pokok adalah :

Mengoreksi kelainan asam basa, cairan dan elektrolit sebelum pembedahan.


Memberikan kecukupan karbohidrat untuk mencegah metabolisme katabolik

dan ketoasidosis.
Menentukan kebutuhan insulin untuk mencegah hiperglikemia.
Pembedahan pada penderita DM tipe II tidak meningkatkan risiko, sehingga hanya

membutuhkan sedikit perubahan terapi yang sudah ada sebelumnya. Apakah terapi insulin
perlu diberikan pada perioperatif? Untuk bedah yang relatif kecil, jangan diberikan obat anti
diabetes oral kerja pendek pada hari operasi, dan obat kerja lama 2 hari sebelum pembedahan.
Untuk bedah besar, dosis kecil insulin mungkin dibutuhkan untuk mengontrol kadar gula
darah dan glikosuria.
Gavin mengindikasikan pemberian insulin pada penderita DM tipe II dengan kondisi
seperti di bawah :

Gula darah puasa > 180 mg/dl


Hemoglobinglikosilasi8-10 g%
Lama pembedahan lebih 2 jam
Pada DM tipe I, idealnya kontrol gula darah yang dapat diterima harus tercapai dalam

2 sampai 3 hari sebelum pembedahan. Untuk pasien-pasien yang kronis, dengan kontrol
metabolik yang buruk, mungkin perlu dirawat di rumah sakit selama 2 sampai 3 hari untuk
penyesuaian , dosis insulin. Untuk bedah minor cukup dengan pemberian insulin subkutan.
Pada pagi hari sebelum pembedahan, pasien diberikan 1/3 sampai 2/3 dosis insulin normal
secara subkutan, bersamaan dengan pemberian cairan dextrose 5% 100 cc/jam/70 kgBB. Dua
pertiga dosis insulin normal diberikan jika kadar glukosa darah puasa lebih dari 250 mg/dl
setengah dosis insulin normal untuk kadar glukosa antara 120 sampai 250 mg/d!, dan
sepertiga dosis insulin normal untuk kadar glukosa di bawah 120 mg/dl. Pasien dengan kadar
glukosa darah rendah, atau normal tetap membutuhkan sejumlah kecil insulin untuk
mengimbangi peningkatan efek katabolik stres pembedahan, penurunan metabolisme protein,
dan mencegah lipolisis. Tanpa insulin, DM tipe I berisiko tinggi untuk mengalami ketosis
dengan pembedahan.

13

Terdapat beberapa regimen tatalaksana perioperatif untuk pasien DM. Yang paling
sering :t digunakan adalah pasien menerima sebagian -biasanya setengah dari dosis total
insulin pagi hari dalam bentuk insulin kerja sedang:
Tabel: Dua teknik yang umum digunakan untuk tatalaksana insulin perioperatif pada
pasien DM

Preoperatif

Pemberian secara bolus

Infus kontinyu

D5W (1,5 ml/kg/jam)

D5W

NPH insulin (1/2 dosis biasa pagi hari) (NPH=neutral


protamine Hagedorn)

(1

ml/kg/jam)

Regular insulin Unit/jam


= Glukosa plasma : 150

Intraoperatif

Regular insulin (berdasarkan sliding scale)

Sama dengan preoperatif

Pascaoperatif

Sama dengan intraoperatif

Sama dengan preoperatif

Untuk mengurangi risiko hipoglikemia, insulin diberikan setelah akses intravena


dipasang dan kadar gula darah pagi hari diperiksa. Sebagai contoh, pasien yang normalnya
mendapat 20 unit NPH dan 10 unit regular insulin (RI) tiap pagi dan kadar gula darahnya 150
mg/dl akan mendapat 15 unit NPH s.c. atau i.m. sebelum pembedahan bersama-sama dengan
infus cairan dextrose 5% (1,5 ml/kg/jam). Dextrose tambahan dapat diberikan apabila pasien
mengalami hipoglikemia (<100 mg/dl). Sebaliknya, hiperglikemia intra operatif (>250 mg/dl)
diobati dengan RI intravena berdasarkan slicing scale. Satu unit RI yang diberikan kepada
orang dewasa akan menurunkan glukosa plasma sebanyak 65 sampai 30 mg/dl. Harus diingat
bahwa dosis ini adalah suatu perkiraan dan tidak bisa dipakai pada pasien dalam keadaan
katabolik (sepsis, hipertermi).
Metode lainnya adalah dengan memberikan insulin kerja pendek dalam infus secara
kontinyu. Keuntungan teknik ini adalah kontrol pemberian insulin akan lebih tepat

14

dibandingkan dengan pemberian NPH insulin s.c atau i.m. Dan 10 sampai 15 unit RI dapat
ditambahkan 1 liter cairan dekstose 5% dengan kecepatan infus 1 - 1,5 ml/kg/jam (1
unit/jam/70 kg). Pemberian infus dextrose 5% (1 ml/kg/jam) dan insulin (50 unit RI dalam
250 ml NaCl 0,9%) melalui jalur intravena yang terpisah akan lebih fleksibel. Apabila terjadi
fluktuasi gula darah, infus RI dapat disesuaikan berdasarkan rumus dibawah ini (Rumus
Roizen):

Gukosa plasma (mg/dl)


Unit perjam =
150

atau

Glukosa plasma (mg/dl)


Unit per jam =
100
pada pemakaian steroid, obesitas, terapi insulin dalam jumlah tinggi dan infeksi

Diperlukan penambahan 30 mEq KCl untuk tiap 1 L dextrose karena insulin menyebabkan
pergeseran kalium intraselular.6,8
Pada pasien yang menjalani pembedahan besar diperlukan perencanaan yang seksama.
Teknik yang dianjurkan oleh Hins adalah sebagai berikut:
Glukosa 5-10 gr/jam ekuivalen dengan 100 - 200 cc dextrose 5% perjam diberikan intra vena.
Kalium dapat ditambahkan tetapi hati-hati pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Infus
lain diberikan lewat kanul yang sama sebagai berikut:
Campur 50 mRI kedalam 500cc 0,9%Nacl.

15

Infuskan dengan larutan 0,5-1 m/jam (5-10 cc/jam dengan pompa infus).
Ukur kadar gula darah tiap jam dan sesuaikan dengan kebutuhan insulin seperti di bawah ini :
Kadar gula darah

4,4

mmol (mg/dl)

( 80 )

Kebutuhan insulin

Matikan

pompa,

beri

glukosa IV
4,4 - 6,6

( 80 - 120 )

Kurangi insulin menjadi


0,2 - 0,7 u/jam

6,6-9,9

(120 - 180)

teruskan insulin 0,5 1 m/jam

9,9 - 13,2

(180 - 240) .

Naikkan laju insulin 0,8 1,5 m/jam

> 13,75

(>250)

Laju insulin 1,5 m/jam


atau lebih

Obesitas dan infeksi berat akan menambah kebutuhan insulin 1,5 - 2 kali lipat Hal
penting yang harus diingat dalam mengelola kadar gula prabedah pada pasien diabetes adalah
menetapkan sasaran yang jelas kemudian pemantauan kadar gula darah untuk menyesuaikan
terapi sesuai sasaran.
Regimen lain untuk pemberian infus glukosa insulin dan kalium (GIK) dikenal
dengan regimen Alberti. Pemberiannya dapat terpisah atau bersama-sama. Berikut ini salah
satu teknik GIK. Pagi hari diberikan dosis intemiten insulin, kemudian 500 cc dextrose 5%
ditambah 10 KCl diberikan dengan kecepatan 2 cc/kg/jam. Infus insufin disiapkan dengan
mencampurkan 50 unit RI ke dalam 250 cc Nad 0,9% sehingga berkonsentrasi 0,2 unit/cc
larutan. Sebelum pemberian dextrose - kalium atau insulin, ukur kadar gula darah kemudian
cek gula darah tiap 2-3 jam, dan berikan dosis insulin sesuai dengan hasil pengukuran di
bawah ini:
Kadar gula

Infus insulin

16

< 150 mg/dl

5 cc/jam (1 unit/jam)

150 - 250 mg/dl

10 cc/jam (2 unit/jam)

250 - 300 mg/dl

15 cc/jam (3 unit/jam)

300 - 400 mg/dl

20 cc/jam (4 unit/jam)

PERAWATAN PASCA BEDAH

Infus glukosa dan insulin harus tetap diteruskan sampai kondisi metabolik pasien
stabil dan pasien sudah boleh makan. Infus glukosa dan insulin dihentikan hanya setelah
pemberian subkutan insulin kerja pendek. Setelah pembedahan besar, infus glukosa dan
insulin harus diteruskan sampai pasien dapat makan makanan padat. Pada pasien-pasien ini,
kegunaan dari suntikan subkutan insulin kerja pendek sebelum makan dan insulin kerja
sedang pada waktu tidur. dianjurkan selama 24-48 jam pertama setelah infus glukosa dan
insulin dihentikan dan sebelum regimen insulin pasien dilanjutkan.

Perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya hipoglikemia atau hiperglikemia pasien


pasca bedah terutama bite terdapat keterlambatan bangun atau penurunan kesadaran. Harus

17

dipantau kadar gula darah pasca bedah. Pemeriksaan EKG postoperatif serial dianjurkan pada
pasien DM usia lanjut, penderita DM tipe I, dan penderita dengan penyakit jantung Infark
miokard postoperatif mungkin tanpa gejala dan mempunyai mortalitas yang tinggi. Jika ada
perubahan status mental, hipotensi yang tak dapat dijelaskar., atau disrimia, maka perlu
diwaspadai kemungkinan terjadinya infark miokard.

REFERENSI
Brown Jr and Frink. Anesthetic Management of Patients with Endocrine Disease

in A

Practice of Anesthesia, 6th ed, Edward Arnold, 1996: 995-1004.


Gieseeke and Lee. Diabetic Trauma Patients in Text Book of Trauma Anesthesia ang Critical
Care, Mosby Year Book Inc, 1993: 663-671.
Tjokroprawiro A. Diabetes Mellitus

Anestesia-Operasi

dalam Buku Naskah Lengkap

Konas III IDSAI, 1992: 209-218.


William J, Fenderl. Diseases of the Endocrine System in Anesthesia and Common Diseases,
2nd ed, Philadelphia, WBSaunders, 1991: 204-215.
Roizen MF. Anesthetic Implications of Concurent Diseases in Miller RD ed. Anesthesia,
4th ed, Churchill Livingstone, 1994: 903-1014.

18

Mathes DD. Management of Common Endocrine Disorder in Stone DJ ed. Perioperative


Care, 1sted, Mosby Year Book Inc, 1998: 235-265.
McAnulty GR,

Robertshaw HJ, Hall GM. Anaesthetic Management of Patients with

Diabetes Mellitus in British Journal of Anaesthesia, London, 2000: 80-90.


Morgan JR. Clinical Anesthesiology, 2nded, Lange Medical Book, 1996: 636-655.
Haznam MW. Pankreas Endokrin dalam Endokrinologi, Percetakan Angkasa Offset,
Bandung, 1991: 36-106.
Worthley. Synopsis of Intensive Care Medicine, Longman, 1994: 611-623.
Zaloga Gary P. Endocrine Consultation in Clinical Anesthesia Practice, WB Saunders, 1994:
185-209.
Litt L, Roizen MF. Endocrine and Renal Function in Risk and Outcome in Anesthesia, JB
Lippincott, 1988: 111-125.
Roizen MF. Endocrine Abnormalities and Anesthesia, Renal Disfunction dan Diabetes, IARS
Review Course Lecture, 19%: 104-113.
Rush MD, Winslett S, Wisdom KD. Endocrine Emergencies in Tintinalli, Kelen, Stapezynski
ed. Emergency Medicine, 5th ed, Me Graw Hill, 1998: 1355.

19

Anda mungkin juga menyukai